Ekologi Terumbu Karang .1 Oseanografi

60 penduduk 11,66; 2 sekolah dasar 453 penduduk 40,17; 3 sekolah menengah pertama 375 penduduk 33,13; 4 sekolah menengah atas 136 penduduk 12,01; dan 5 perguruan tinggi 36 penduduk 3,18. Dari data yang ada, dapat dikatakan tungkat pendidikan masyarakat tergolong rendah. Hal ini disebabkan kurangnya sarana dan prasarana pendidikan yang ada, dimana berdasarkan hasil observasi di Desa Basaan hanya terdapat sekolah dasar SD dan sekolah menengah pertama SMP, sedangkan sekolah menengah atas SMA terdapat di Ratatotok dan Belang yang jaraknya cukup jauh dari Desa Basaan. Usaha ekonomi produktif yang dilakukan masyarakat selain dalam bidang penangkapan ikan, maka melalui kelompok nelayan yang ada mereka melakukan usaha pemeliharaan ikan dalan kurungan jaring apung KJA. Mengingat pembangunan kelautan dan perikanan di kawasan ini akan melibatkan partisipasi semua kalangan masyarakat, maka upaya memberdayakan ekonomi masyarakat merupakan keharusan. Pemberdayaan ekonomi yang dimaksud diharapkan mampu meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia SDM dan kesejahteraannya tanpa mengesampingkan kultural dan sistem nilai yang dianut. 4.2 Ekologi Terumbu Karang 4.2.1 Oseanografi Perairan sekitar Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus memiliki pasang surut ganda utama atau semi diurnal tides, terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam satu hari dengan nilai tunggang pasut tidal range sebesar 1,17 m. Pasang surut di perairan ini dipengaruhi oleh rambatan pasang surut dari perairan Laut Maluku. Kondisi ini menunjang kegiatan budidaya perikanan dengan metode kurungan jaring apung KJA dan jaring tancap. Pada umumnya arus yang bergerak ke dalam Teluk Totok lebih dominan, terutama melewati selat-selat yang ada di Pulau Putus-Putus, karena adanya masukan massa air dari Laut Maluku. Analisis pola arus pasang surut tersebut menunjukkan bahwa kecepatan arus di perairan sekitar Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus memenuhi persyaratan untuk kegiatan budidaya terutama metode KJA. Melihat kondisi geografis Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus, semua arah angin dapat membangkitkan gelombang, terutama arah angin dari selatan dan 61 timur. Kondisi bergelombang yang besar terjadi pada saat musim selatan bulan Agustus hingga Oktober dengan tinggi gelombang lebih besar dari 1 m. Hasil pengukuran beberapa variabel kualitas air Tabel 12 menunjukkan bahwa kondisi perairan Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus dalam kondisi yang baik. Nilai oksigen terlarut yang diperoleh lebih besar 3 mll menggambarkan bahwa perairan mendukung kehidupan organisme laut khususnya ikan. Apabila oksigen terlarut kurang dari 3 mll dan berlangsung dalam waktu lama, akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan kurangnya nafsu makan ikan. Walaupun demikian pada kondisi oksigen terlarut dalam jumlah yang sangat banyak dapat juga mengakibatkan terjadinya kematian pada ikan, sebab di dalam pembuluh-pembuluh darah terjadi emboli gas yang dapat mengakibatkan tertutupnya pembuluh-pembuluh rambut dalam daun-daun insang ikan. Tabel 12 Pengukuran parameter fisik-kimia perairan STASIUN KED. KONDUK TURBID DO TEMP SAL. KECEPATAN m mScm NTU mll °C o oo ARUS cmdtk 1 45,4 4,05 27,7 29,6 15.6 10 46,5 2 3,73 26,9 30,4 2 46,1 4,22 28,6 30,1 25.2 10 46,6 2 4,35 27,5 30,5 3 46,1 4,12 26,8 30,1 29.5 10 46,2 4,15 26,9 30,1 4 46,3 4,08 27,5 30,3 31.4 10 46,6 3 4,07 27,5 30,5 5 46,4 4,05 26,2 30,3 32.3 10 46,3 2 4,03 25,9 30,3 6 46,5 3,80 26,7 30,4 22.5 10 46,3 6 3,54 26,4 31,2 Cat: Pengukuran dilakukan tanggal 7 september 2011 Suhu permukaan laut merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan, kesehatan dan penyebaran organisme laut. Umumnya organisme di daerah terumbu beradaptasi dengan kisaran suhu yang normal di mana mereka tinggal dan apabila suhu air menjadi lebih dingin atau lebih panas dari suhu normal, organisme yang hidup akan menderita atau bahkan mati. Khususnya organisme karang, perubahan suhu yang cukup besar dapat 62 menyebabkan pemutihan karang dan menyebabkan kematian bagi karang. Suhu yang optimal untuk pertumbuhan karang adalah 25-28 o C Nybakken 1988. Distribusi salinitas di daerah ini secara signifikan tidak berbeda antar stasiun penelitian. Hasil ini menunjukkan bahwa sebaran salinitas hampir homogen dan masih berada dalam kisaran ideal untuk kegiatan budidaya. Proses metabolisme terutama di dalam osmoregulasi dengan tekanan osmotik pada karang dapat berlangsung dengan baik. Karang mempunyai toleransi terhadap salinitas 27‰- 40‰ dengan salinitas optimal 32‰-35‰ Nybakken 1988.

4.2.2 Komponen Bentik Penyusun Terumbu Karang

Kondisi terumbu karang ditentukan mengikuti parameter kriteria baku kerusakan terumbu karang dari Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 4 Tahun 2001 dan Yap dan Gomes 1984. Tabel 13 Kategori penentuan kondisi terumbu karang Kepmen LH No 4 tahun 2001 Yap dan Gomez 1984 Kategori Sub Kategori Tutupan Karang Kategori Tutupan Karang Rusak Buruk 0 - 24,9 Poor 0 - 24,9 Sedang 25 - 49,9 Enough 25 - 49,9 Baik Baik 50 - 74,9 Good 50 - 74,9 Baik sekali 75 - 100 excellent 75 - 100 Kondisi terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus tahun 2011, diperoleh tutupan karang pada Stasiun 1, 2, 5 dan 6 sebesar 25-49,9 sehingga dikategorikan enough-sedang, Stasiun 4 dengan tutupan karang 23,50 dikategorikan poor-buruk dan Stasiun 3 dengan tutupan karang 72,95 dikategorikan good-baik. Selain itu dari hasil pengukuran kondisi fisik-kimia perairan Tabel 12 secara umum memiliki nilai dengan kisaran yang mendukung kehidupan terumbu karang, kecuali nilai turbiditas pada kedalaman 10 meter di Stasiun 6 sebesar 6 NTU yang berada di atas ambang batas sebesar 5 NTU berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut. Tutupan karang di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus telah mengalami degradasi. Laju degradasi berkisar dari 0,02tahun hingga 7,74tahun. Degradasi terkecil terjadi di Stasiun 3 Pulau Hogow kedalaman 10 meter dan 63 terbesar di Stasiun 4 Pulau Putus-Putus kedalaman 3 meter. Stasiun 1,2,4,5 mengalami laju degradasi yang tinggi pada kedalaman 3 meter, dan untuk Stasiun 6 yang mengalami laju degradasi yang tinggi pada kedalaman 3 dan 10 meter. Tabel 14 Laju degradasi terumbu karang Stasiun Laju Degradasi tahun 3m 10m St-1 6,93 3,24 St-2 6,28 0,51 St-3 0,42 0,02 St-4 7,74 2,63 St-5 5,72 1,52 St-6 5,96 6,20 Gambar 11 Perubahan persentase tutupan karang tahun 2002-2011 64 Pada pengamatan persentase tutupan karang, secara keseluruhan terlihat adanya penurunan tutupan karang. Pada Stasiun 1, 2, 3 dan 6 penurunan tutupan karang pada tahun 2002-2009 relatif kecil. Penurunan yang cukup besar terjadi pada tahun 2011 di Stasiun 1 kedalaman 3 meter 15, 10 meter 8, 2 kedalaman 3 meter 13, 4 kedalaman 3 meter 12 dan 6 kedalaman 3 meter 29, 10 meter 15. Penurunan yang cukup besar pada tahun 2011 di beberapa stasiun tersebut, disebabkan adanya fenomena pemutihan karang coral bleaching yang umumnya terlihat pada kedalaman 3 meter dan mulai teramati sejak tahun 2009, dan khusus pada Stasiun 6 juga teramati tingkat kekeruhan yang tinggi pada kedalaman 10 meter. Khusus Stasiun 3, persentase tutupan karang relatif stabil dari tahun 2002 hingga 2011. Salah satu faktor yang membedakan kondisi tutupan karang di Stasiun 3 dengan stasiun lainnya, karena tidak ditemukan fenomena pemutihan karang di lokasi ini. Pada Stasiun 4 penurunan yang cukup besar 5 terjadi di kedalaman 10 meter pada tahun 2005, tahun 2006-2010 terjadi penurunan yang relatif kecil dan pada tahun 2011 terjadi penurunan yang besar di kedalaman 3 meter 13 tetapi terjadi peningkatan di kedalaman 10 meter 4. Penurunan tutupan karang yang cukup besar di Stasiun 5 terjadi pada tahun 2007-2008 di kedalaman 3 meter 7-9, relatif stabil pada tahun 2009-2010 dan meningkat pada tahun 2011 kedalaman 3 meter 1, 10 meter 3. Gambar 12 Luasan tutupan karang hidup dan komponen biotik Dari Gambar 12 terlihat bahwa degradasi persentase tutupan karang juga menyebabkan penurunan luasan terumbu karang yang memiliki karang hidup. 65 Secara keseluruhan, luasan terumbu karang di Pulau Hogow dan Pulau Putus- Putus sebesar 114,96 Ha. Pada tahun 2002, luasan tutupan karang hidup sebesar 63,20 Ha dan menjadi hanya 49,90 Ha pada tahun 2011. Akibat penurunan tutupan karang hidup memunculkan ruang yang ditempati oleh komponen biotik lainnya di terumbu karang seperti algae, soft coral dan fauna lainnya. Penempatan ruang ini, mengakibatkan luasan tutupan komponen biotik dari tahun 2002 hingga 2010 tidak mengalami perubahan secara drastis. Penurunan tutupan komponen biotik yang cukup besar justru di temukan pada tahun 2011. Perubahan persentase tutupan komponen penyusun terumbu karang pada Stasiun 1 secara siknifikan terjadi pada tahun 2006 dan 2011 Tabel 15. Perubahan pada tahun 2006 terlihat pada penurunan yang cukup besar pada tutupan alga 10,00 pada tahun 2005 menjadi 2,68 dan peningkatan tutupan abiotik berupa pasir dan rubble 6,70 pada tahun 2005 menjadi 28,55. Pada tahun 2011 terjadi penurunan tutupan karang hidup yang cukup besar yaitu 58,45 pada tahun 2010 menjadi 40,52, diikuti dengan lonjakan tutupan abiotik berupa pasir dan patahan karang 12,73 pada tahun 2010 menjadi 32,25. Tabel 15 Persentase tutupan komponen penyusun terumbu karang Stasiun 1 Komponen 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 BIOTIK Karang Hidup 66,94 66,00 64,60 63,25 62,62 62,15 61,85 59,35 58,45 40,52 Karang Lunak 4,20 7,70 14,82 4,50 4,30 7,00 10,45 12,23 5,70 3,10 Sponge 7,02 1,55 4,07 4,40 1,60 3,10 3,65 2,87 2,10 7,20 Alga 4,87 6,50 1,70 10,00 2,68 5,75 4,40 10,02 8,80 8,08 Fauna lain 0,39 1,60 0,07 0,70 0,25 1,60 0,90 0,92 0,71 0,00 Jumlah 83,42 83,35 85,26 82,85 71,45 79,60 81,25 85,39 75,76 58,90 ABIOTIK Karang Mati 11,80 6,30 3,54 10,45 6,25 10,35 2,90 3,80 11,51 8,85 Pasir dll. 4,78 10,35 11,20 6,70 22,30 10,05 15,85 10,81 12,73 32,25 Jumlah 16,58 16,65 14,74 17,15 28,55 20,40 18,75 14,61 24,24 41,10 Pada Stasiun 2, perubahan persentase tutupan komponen penyusun terumbu karang secara signifikan terjadi pada tahun 2011 Gambar 16. Dimana perubahan pada tahun 2011 terlihat pada penurunan yang cukup besar pada tutupan karang hidup 53,77 pada tahun 2010 menjadi 44,15 dan tutupan alga 21,83 pada 66 tahun 2010 menjadi 10,70. Penurunan kedua komponen biotik tersebut diikuti dengan peningkatan yang cukup besar dari tutupan komponen abiotik yaitu karang mati 8,10 pada tahun 2010 menjadi 20,55 dan pasir dan patahan karang 9,09 pada tahun 2010 menjadi 17,10. Tabel 16 Persentase tutupan komponen penyusun terumbu karang Stasiun 2 Komponen 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 BIOTIK Karang Hidup 60,14 59,13 58,60 59,10 59,13 58,28 57,18 55,45 53,77 44,15 Karang Lunak 24,50 22,42 22,08 21,60 24,40 23,80 26,17 22,50 21,83 10,70 Sponge 0,30 0,90 2,58 1,65 0,92 2,40 1,40 0,53 0,93 0,40 Alga 2,40 1,80 1,45 1,00 3,00 2,30 2,40 4,68 6,18 6,85 Fauna lain 0,70 1,50 0,00 1,25 0,45 1,90 0,70 0,10 0,10 0,25 Jumlah 88,04 85,75 84,71 84,60 87,90 88,68 87,85 83,26 82,81 62,35 ABIOTIK Karang Mati 1,05 3,25 4,44 4,20 3,10 2,80 2,80 6,95 8,10 20,55 Pasir dll. 10,91 11,00 10,85 11,20 9,00 8,52 9,35 9,79 9,09 17,10 Jumlah 11,96 14,25 15,29 15,40 12,10 11,32 12,15 16,74 17,19 37,65 Tabel 17 Persentase tutupan komponen penyusun terumbu karang Stasiun 3 Komponen 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 BIOTIK Karang Hidup 74,84 72,80 72,86 73,85 72,83 73,35 73,60 73,00 78,81 72,95 Karang Lunak 7,06 8,60 9,00 8,20 8,66 9,00 7,75 9,25 7,95 2,90 Sponge 1,90 1,50 2,42 1,20 1,35 1,20 1,10 2,00 1,10 0,95 Alga 3,30 3,35 2,06 3,40 4,16 3,05 3,85 1,85 1,20 7,85 Fauna lain 0,65 0,65 0,23 1,20 1,05 0,70 0,85 1,15 0,90 0,20 Jumlah 87,75 86,90 86,57 87,85 88,05 87,30 87,15 87,25 89,96 84,85 ABIOTIK Karang Mati 6,30 6,00 6,55 4,80 4,90 5,80 5,90 6,53 3,90 4,15 Pasir dll. 5,95 7,10 6,88 7,35 7,05 6,90 6,95 6,22 6,14 11,00 Jumlah 12,25 13,10 13,43 12,15 11,95 12,70 12,85 12,75 10,04 15,15 Perubahan yang terjadi di Stasiun 3 tidak siknifikan Tabel 17. Terjadinya perbedaan nilai merupakan fluktuasi tutupan pada komponen biotik dan abiotik setiap tahun. Pada Stasiun 3 ini terjadi fluktuasi tutupan karang hidup, seperti peningkatan tutupan pada tahun 2005, 2007, 2008 dan yang cukup besar terjadi pada tahun 2010 73,00 pada tahun 2009 menjadi 78,81. Meskipun demikian pada tahun 2011 terjadi penurunan tutupan komponen biotik 89,96 pada tahun 67 2010 menjadi 84,85 dan peningkatan tutupan abiotik 10,04 pada tahun 2010 menjadi 15,15, dimana perubahan ini lebih besar dibandingkan dengan yang terjadi tahun-tahun sebelumnya. Tabel 18 Persentase tutupan komponen penyusun terumbu karang Stasiun 4 Komponen 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 BIOTIK Karang Hidup 38,06 37,40 37,22 34,58 34,10 33,55 31,07 29,33 27,69 23,50 Karang Lunak 18,52 19,35 17,87 16,50 16,82 21,01 21,50 20,27 21,10 16,12 Sponge 0,00 0,85 0,00 0,35 0,58 0,35 0,00 0,60 0,90 0,60 Alga 12,72 11,60 11,07 15,47 16,65 13,04 16,11 16,90 17,87 3,94 Fauna lain 1,00 0,60 0,50 1,30 0,10 0,60 0,00 3,40 2,45 0,60 Jumlah 70,30 69,80 66,66 68,20 68,25 68,55 68,68 70,50 70,01 44,76 ABIOTIK Karang Mati 6,60 6,80 8,58 5,65 5,60 6,28 5,12 5,55 5,40 7,66 Pasir dll. 23,10 23,40 24,75 26,15 26,15 25,17 26,20 23,95 24,59 47,58 Jumlah 29,70 30,20 33,34 31,80 31,75 31,45 31,32 29,50 29,99 55,24 Perubahan persentase tutupan komponen penyusun terumbu karang yang terjadi di Stasiun 4 dan 5 dari tahun 2002 hingga 2010 tidak siknifikan Tabel 18 dan 19. Perubahan yang siknifikan terlihat pada tahun 2011 pada total persentase tutupan biotik dan abiotik. Di Stasiun 4 terjadi penurunan tutupan biotik 70,01 pada tahun 2010 menjadi 44,76 dan peningkatan tutupan abiotik 29,99 pada tahun 2010 menjadi 55,24. Demikian juga di Stasiun 5 terjadi hal yang sama, penurunan tutupan biotik 80,65 pada tahun 2010 menjadi 56,75 dan peningkatan tutupan abiotik 19,35 pada tahun 2010 menjadi 43,25. Tabel 19 Persentase tutupan komponen penyusun terumbu karang Stasiun 5 Komponen 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 BIOTIK Karang Hidup 40,65 39,84 38,57 37,97 38,26 34,45 28,53 27,39 25,88 27,78 Karang Lunak 27,05 27,76 27,48 29,53 26,04 25,60 36,97 36,82 39,07 20,45 Sponge 1,30 1,25 1,51 1,75 2,17 2,30 2,20 1,54 1,20 0,35 Alga 12,55 11,45 11,56 13,80 13,20 14,80 12,10 12,23 12,45 6,17 Fauna lain 0,95 2,95 1,52 0,90 0,70 3,20 0,90 1,48 2,05 2,00 Jumlah 82,50 83,25 80,64 83,95 80,37 80,35 80,70 79,46 80,65 56,75 ABIOTIK Karang Mati 3,35 2,20 4,58 4,15 6,20 8,00 7,40 6,56 5,70 5,15 Pasir dll. 14,15 14,55 14,79 11,90 13,43 11,65 11,90 13,98 13,65 38,10 Jumlah 17,50 16,75 19,36 16,05 19,63 19,65 19,30 20,54 19,35 43,25 68 Kesamaan perubahan yang terjadi pada Stasiun 4 dan 5, disebabkan oleh karena posisi stasiun-stasiun tersebut yang sejajar dan terletak pada sisi bagian luar Pulau Putus-Putus yang berbatasan langsung dengan Laut Maluku. Posisi ini menyebabkan tekanan yang diterima baik secara alami maupun aktivitas manusia pada kedua stasiun tersebut relatif sama. Persentase tutupan pada Stasiun 6 mengalami perubahan yang siknifikan pada komponen karang hidup di tahun 2011 Tabel 20. Pada tahun 2011 tersebut, penurunan tutupan karang hidup sangat besar 47,81 pada tahun 2010 menjadi 25,95, diikuti dengan peningkatan tutupan karang mati 6,40 pada tahun 2010 menjadi 17,60 dan pasir dan rubble 17,86 pada tahun 2010 menjadi 33,65. Tabel 20 Persentase tutupan komponen penyusun terumbu karang Stasiun 6 Komponen 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 BIOTIK Karang Hidup 48,40 48,59 48,29 48,85 48,51 48,05 48,05 48,11 47,81 25,95 Karang Lunak 12,79 14,00 14,53 16,45 17,48 17,65 10,50 11,99 9,14 9,15 Sponge 1,20 1,10 2,08 1,20 1,40 0,90 3,10 3,25 4,30 2,20 Alga 8,60 9,11 7,67 10,65 9,27 7,75 12,35 11,54 12,59 10,70 Fauna lain 1,20 2,90 2,18 1,60 0,80 1,60 2,65 1,70 1,90 0,75 Jumlah 72,19 75,70 74,75 78,75 77,46 75,95 76,65 76,59 75,74 48,75 ABIOTIK Karang Mati 5,30 7,70 7,53 3,55 4,55 5,15 4,10 5,20 6,40 17,60 Pasir dll. 22,51 16,60 17,72 17,70 17,99 18,90 19,25 18,21 17,86 33,65 Jumlah 27,81 24,30 25,25 21,25 22,54 24,05 23,35 23,41 24,26 51,25 Tingginya penurunan tutupan karang batu di Stasiun 6 pada tahun 2011 sangat dipengaruhi oleh kondisi perairan, dimana hasil pengukuran kualitas air khususnya kekeruhan pada lokasi ini menunjukkan nilai yang cukup tinggi yaitu sebesar 6 NTU Tabel 12. Seperti diketahui karang sangat sensitif terhadap tingkat kekeruhansedimentasi, pada tingkatan kekeruhan yang tinggi dapat menyebabkan kematian karang. Menurut Knowlton 2001 dan Hughes et al. 2003, karang merupakan fauna dominan dalam ekosistem terumbu karang yang mengalami ancaman kerusakan sebagai akibat interaksi global dan lokal dari berbagai pihak yang berkontribusi terhadap degradasi karang. Selanjutnya menurut mereka, degradasi 69 karang dapat didefinisikan sebagai kematian jaringan karang hidup dan menurunnya keragaman hayati karang seiring meningkatnya penutupan dari alga dan komponen biotik lainnya. Lebih lanjut dalam beberapa penelitian dikatakan bahwa kegiatan-kegiatan yang berkontribusi terhadap degradasi terumbu karang meliputi penangkapan dan perubahan struktur tropik yang mengakibatkan perubahan struktur dalam rantai makanan Jackson et al. 2001; Pandolfi et al. 2003, polusi nutrient Pastorok Bilyard 1985, sedimen Rogers 1990; Fabricius 2005, toksin Glynn et al. 1989, perubahan suhu permukaan laut Glynn D‟Croz 1990; Glynn 1993, 1996; Hoegh-Guldberg 1999. Tekanan yang menyebabkan karang terdegradasi secara langsung melalui peningkatan tingkat kematian dan secara tidak langsung melalui peningkatan penyakit dan menurunnya proses rekruitmen karang. Pengamatan di lokasi penelitian menunjukkan faktor penangkapan ikan yang dilakukan nelayan menjadi salah satu penyebab utama degradasi terumbu karang karena beberapa nelayan masih menggunakan cara-cara yang merusak seperti penggunaan bom dan racun dari getah pohon. Selain faktor teknik penangkapan ikan, degradasi terumbu karang di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus ditemukan fenomena pemutihan karang. Dalam kurun waktu 10 tahun pengamatan selalu di temukan karang-karang yang mengalami pemutihan pada semua lokasi, dengan jumlah terbesar ditemukan pada tahun 2009 hingga 2010. Hal ini sangat terlihat dampaknya dengan turunnya secara drastis luasan tutupan karang pada pengamatan tahun 2011. Isu pemutihan karang sebagai salah satu penyebab degradasi karang juga terjadi di Wakatobi Indonesia BAPPENAS 2010 dan Timur Karibia Donner et al. 2007 yang disebabkan oleh kenaikan suhu permukaan. Kejadian yang sama juga dilaporkan oleh Watlington 2006 di pulau Virginia, Garrison et al. 2003 di Afrika dan Levitus et al. 2000 di Tropical Western Atlantic. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tekanan simultan dari berbagai sumber merupakan penyebab degradasi karang. Dalam analisis komponen utama principal component analysis-PCA, variabel yang dilihat adalah komponen-komponen bentik penyusun terumbu karang. Dalam analisis ini digunakan 2 sumbu yang memiliki kontribusi terbesar terhadap karakteristik perairan. Untuk kedalaman 3 meter, sumbu pertama memberikan kontribusi sebesar 44,21 terhadap sebaran karakteristik ACB 70 Acropora branching, ACT Acropora tabulate dan CM coral masive pada Stasiun 1, 2 dan 6. Pada sumbu ini korelasi yang bersifat negatif ditunjukkan oleh komponen ACT dan CM, artinya disaat persentase tutupan ACB tinggi pada Stasiun 1, 2 dan 6, akan diikuti dengan rendahnya persentase tutupan ACT dan CM. Sumbu kedua memberikan kontribusi 35,52 terhadap sebaran CF coral foliose , SC soft coral dan algae pada Stasiun 3, 4 dan 5. Korelasi negatif ditunjukkan CF pada Stasiun 4 dan 5, sedangkan SC dan algae pada Stasiun 3, jadi ketika persentase tutupan CF tinggi di Stasiun 3 akan diikuti dengan persentase tutupan SC dan algae yang rendah. Hal sebaliknya terjadi di Stasiun 4 dan 5. Gambar 13 Proyeksi dari stasiun dan komponen bentik dalam bidang dua dimensi sumbu 1 dan sumbu 2 dengan menggunakan PCA Untuk kedalaman 10 meter, sumbu pertama memberikan kontribusi sebesar 44,64 terhadap sebaran karakteristik SC dan algae pada Stasiun 4, 5 dan 6. Pada sumbu ini korelasi yang ada bersifat positif. Sumbu kedua memberikan kontribusi 24,46 terhadap sebaran CF, ACB dan CB coral branching pada Stasiun 1, 2 dan 3. Korelasi negatif ditunjukkan CF pada Stasiun 4 dan 5, jadi ketika persentase tutupan ACB dan CB tinggi di Stasiun 4 dan 5 akan diikuti dengan persentase tutupan CF yang rendah. Dominasi karang dengan bentuk pertumbuhan ACB dan CB di Stasiun 4 dan 5 karena posisi lokasi berhadapan langsung dengan Laut Maluku sehingga sering mengalami gempuran ombak serta memiliki reef flat yang cukup luas, kondisi seperti itu tidak cocok untuk karang dengan bentuk ACB CE CB CM CF SC Algae DCA St-1 St-2 St-4 St-5 St-3 St-6 -2,5 -2 -1,5 -1 -0,5 0,5 1 1,5 2 2,5 -2,5 -2 -1,5 -1 -0,5 0,5 1 1,5 2 2,5 -- a xi s F2 2 4 .4 6 -- -- axis F1 44.64 -- Kedalaman 10 meter ACB ACT CB CM CF SC Algae DCA St-1 St-2 St-4 St-5 St-3 St-6 -2 -1,5 -1 -0,5 0,5 1 1,5 2 -2 -1,5 -1 -0,5 0,5 1 1,5 2 -- a xi s F2 3 5 .5 1 -- -- axis F1 44.21 -- Kedalaman 3 meter 71 pertumbuhan CF. Wilayah terumbu karang yang sering mendapat tekanan fisik gelombang perairan biasanya disominasi oleh karang bercabang.

4.2.3 Kondisi Ikan Target

Dari hasil penelitian, ditemukan 86 spesies yang masuk dalam 13 famili ikan target. Jumlah spesies yang ditemukan bervariasi pada setiap tahun dan stasiun pengamatan. Gambar 14 menunjukkan bahwa perubahan jumlah spesies tidak membentuk suatu pola dari tahun ke tahun, dimana hal tersebut terlihat dari nilai indeks determinasi R 2 yang sangat kecil. Gambar 14 Perubahan jumlah spesies ikan target tahun 2002-2011 Seperti yang diungkapkan Nybakken 1988, perubahan jumlah spesies ikan target pada suatu lokasi sulit untuk dilihat jika lokasi tersebut masih mempunyai banyak tempat beradaptasi khusus yang didapat dari persaingan pada suatu keadaan karang. Jadi dapat dikatakan bahwa, ikan-ikan ini mempunyai 72 relung ekologi yang lebih sempit dan berarti daerah itu dapat menampung lebih banyak spesies. Emor 1993 dalam penelitiannya di pulau Bunaken menyatakan bahwa banyaknya spesies ikan karang disebabkan terdapatnya variasi habitat yang ada di terumbu karang, dimana semua tipe habitat yang ada diisi oleh spesies ikan karang yang berbeda. Gambar 15 Perubahan jumlah Individu ikan target tahun 2002-2011 Jumlah individu ikan target yang ditemukan pada masing-masing kedalaman dan stasiun berkisar dari 351 individu250m 2 kedalaman 10m Stasiun 6 tahun 2008 hingga 2027 individu250m 2 kedalaman 10m Stasiun 3 tahun 2002. Berbeda dengan jumlah spesies, pada jumlah individu membentuk suatu pola penurunan jumlah individu dari tahun 2002 hingga 2011 dengan koefisien determinasi lebih dari 0,5. Penurunan jumlah individu ikan target di Pulau Hogow 73 dan Pulau Putus-Putus ini Gambar 15 mengikuti apa yang terjadi pada luasan tutupan karang hidup. Seperti yang dikemukakan oleh Hutomo et al. 1988 dalam penelitiannya di pulau Bali dan Batam bahwa kondisi karang yang baik, ditandai dengan persentase tutupan karang hidup yang tinggi berhubungan linier dengan kelimpahan ikan. Hal ini ditunjang oleh pendapat Sutton 1983 in Emor 1993 yang mendapatkan hubungan positif antara kelimpahan ikan karang dengan heterogenitas habitat karang. Seperti halnya pada jumlah individu, biomassa ikan target di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus menunjukkan suatu pola penurunan dari tahun 2002 hingga 2008 dan mulai meningkat pada tahun 2009 Gambar 16. Setelah dilakukan analisis diperoleh model − dengan koefisien determinasi R 2 = 0,69 artinya model ini layak untuk digunakan. Walaupun dari data jumlah individu dan biomassa terlihat adanya penurunan, tidak bisa karena hal tersebut dapat membuktikan secara meyakinkan bahwa penurunan yang terjadi pada komunitas ikan target semata-mata karena tekanan kegiatan eksploitasi ikan target. Data kondisi terumbu karang telah menunjukkan, bahwa efek penurunan tutupan karang hidup telah memainkan peran penting dalam menghasilkan kondisi ikan target seperti yang telah diamati. Gambar 16 Penurunan biomassa ikan target tahun 2002 hingga 2011 74 Penurunan biomassa ikan target akan mempengaruhi keberadaan ekosistem terumbu karang yaitu dengan adanya perubahan kondisi ikan target akan secara substansial berpengaruh terhadap perubahan tingkatan tropik tropic level di ekosistem terumbu karang dan memiliki dampak terhadap ketahanan hidup dan interaksi antara spesies ikan target. Selain itu, dengan memperhatikan hubungan antara ukuran panjang dan fekunditas, diharapkan bahwa biomassa ikan target dewasa yang dilihat dari ukuran panjangnya dijelaskan lebih rinci pada bab 4.3 cukup untuk mendukung hasil telur lebih besar dan output larva per satuan luas terumbu karang khususnya pada wilayah pemijahan, sehingga produksi larva terus meningkat dan tersebar ke wilayah terumbu karang sekitarnya. Berdasarkan jumlah individu dari masing-masing jenis ikan target yang diperoleh, dilakukan perhitungan indeks keannekaragaman. Secara keseluruhan, indeks keannekaragaman ikan target yang diperoleh cukup tinggi dengan rata-rata nilai yang diperoleh pada keseluruhan stasiun pengamatan sebesar 2,48 hingga 3,19. Nilai rata-rata tertinggi diperoleh pada Stasiun 1 kedalaman 3 meter dan terendah pada Stasiun 2 kedalaman 10 meter. Dari Tabel 21 terlihat bahwa terdapat perbedaan nilai rata-rata indeks keanekaragaman antara kedalaman 3 meter dan 10 meter. Pada kedalaman 3 meter nilai indeks keanekaragaman yang diperoleh lebih besar 3, sedangkan pada kedalaman 10 meter lebih kecil 3. Hal ini tentunya berhubungan dengan keberagaman habitat komponen bentik penyusun terumbu karang yang ada pada masing-masing kedalaman. Pada lokasi penelitian, ditemukan keberagaman habitat yang lebih banyak pada kedalaman 3 meter. Topografi lokasi ikut mendukung keberagaman habitat yang ada, dimana kedalaman 3 meter umumnya terletak pada daerah reef flat hingga reef slope, sedangkan kedalaman 10 meter umumnya sudah berada pada daerah drop dengan tingkat kemiringan hingga 90 o . Kondisi ini menyebabkan komponen bentik karang yang mendiami kedalaman 10 meter didominasi oleh tipe bentuk pertumbuhan tertentu, seperti karang encrusting dan foliose. Lebih sedikitnya tipe habitat yang ada pada kedalaman 10 meter menyebabkan jenis ikan target yang ada pada kedalaman ini lebih sedikit dibandingkan dengan kedalaman 3 meter. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa tingginya keragaman ikan target pada suatu lokasi berhubungan erat dengan variasi habitat yang ada di terumbu karang, dimana semua tipe habitat yang ada diisi oleh jenis ikan target. 75 Tabel 21 Indeks keanekaragaman H‟ ikan target Tahun 1 2 3 4 5 6 3m 10m 3m 10m 3m 10m 3m 10m 3m 10m 3m 10m 2002 3,17 2,94 3,20 2,62 3,35 3,27 3,19 3,21 3,25 3,29 3,41 3,09 2003 2,86 2,86 3,09 2,34 3,17 3,10 3,08 2,97 3,28 3,13 3,16 2,82 2004 3,06 2,74 3,00 2,31 3,19 3,03 3,05 2,99 3,25 3,15 3,17 3,03 2005 3,13 2,81 3,08 2,41 3,18 2,65 3,22 3,01 3,30 3,16 3,38 2,94 2006 3,16 2,78 2,99 2,28 3,04 3,19 3,23 3,04 3,22 3,11 3,20 2,88 2007 3,18 2,43 2,74 2,44 3,10 3,03 3,12 3,02 2,92 2,94 2,87 2,38 2008 3,24 2,90 3,00 2,70 2,95 2,49 2,90 2,62 2,86 2,12 2,75 2,86 2009 3,41 2,61 3,15 2,53 3,11 2,79 3,15 2,82 3,27 2,96 3,03 2,89 2010 3,37 2,90 3,30 2,57 3,27 3,07 3,21 2,83 3,23 3,10 3,10 2,92 2011 3,33 2,95 3,26 2,63 3,29 2,89 3,18 2,45 3,22 2,87 3,08 2,86 Rata-rata 3,19 2,79 3,08 2,48 3,17 2,95 3,13 2,90 3,18 2,98 3,11 2,87 Keberadaan ikan target di lokasi peneltian, juga dilihat dari sisi potensi sumberdaya perikanannya. Potensi ini menggambarkan perikanan terumbu yang ada di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus dengan mengestimasi kelimpahan stok, hasil tangkapan potensial dan MSY maximum sustainable yield optimal. Gambar 17 Stok, potensial tangkapan dan MSY opt ikan target tahun 2002-2011 Adanya degradasi yang terjadi pada tutupan karang hidup, berimplikasi terhadap keberadaan stok ikan target, seperti pada Gambar 17 terlihat penurunan stok, potensial tangkapan dan MSY opt dari tahun 2002 hingga 2011, dimana khusus untuk stok pada tahun 2002 sebesar 24.579.800 ekor menjadi 11.065.600 76 ekor pada tahun 2011. Penurunan yang sangat besar ini tentu sangat mengkhawatirkan dari sudut ekologi karena hal ini mengindikasikan terjadinya degradasi kualitas terumbu karang di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus. Dampak langsung dari hal tersebut dirasakan oleh nelayan khususnya nelayan yang beraktifitas di terumbu karang.

4.3 Penentuan Wilayah Pemijahan, Pembesaran dan Mencari Makan Secara Spasial Dan Temporal