Efikasi ekstrak lengkuas pada mikroba indigenous buah salak (salacca edulis reinw)

(1)

EFIKASI EKSTRAK LENGKUAS PADA MIKROBA

INDIGENOUS BUAH SALAK (Salacca edulis Reinw)

REIVANIA ROSIHAN

PROGRAM STUDI KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH ASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Jakarta, Desember 2014

Reivania Rosihan 1110096000049


(5)

ABSTRAK

REIVANIA ROSIHAN, Efikasi Ekstrak Lengkuas Pada Mikroba Indigenous Buah Salak (Salacca edulis Reinw). Dibawah bimbingan SETYADJIT dan

SANDRA HERMANTO.

Penelitian mengenai potensi ekstrak rimpang lengkuas merah dalam menghambat pertumbuhan kapang/ khamir indigenous salak telah dilakukan. Bahan yang digunakan adalah rimpang lengkuas merah yang diekstrak dengan berbagai pelarut yaitu dengan air dingin (akuades), air panas (±100˚C), etil asetat, dan n-heksana. Selanjutnya dilakukan uji aktivitas antijamur dan uji pembentukan zona hambat pada variasi suhu (15˚C,25˚C,30˚C, dan 35˚C), analisis total fenolik dan identifikasi konventional dengan pengamatan karakter morfologi kapang. Kapang yang digunakan dalam penelitian diisolasi langsung dari buah salak busuk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis ekstrak dan suhu inkubasi mempengaruhi pertumbuhan kapang/khamir perusak buah salak. Ekstrak terbaik dalam menghambat pertumbuhan kapang/ khamir adalah ekstrak etil asetat. Hasil identifikasi morfologi kapang diduga sebagian kapang dan khamir yang tumbuh dalam buah salak adalah Aspergillus sp, Thielaviopsis sp, Penicillium sp, Saccharomyces sp, Rhodotorula sp, dan Streptomyces sp. Ekstrak lengkuas tidak diperlukan pada ruang pendingin, namun sebaiknya digunakan pada suhu kamar.


(6)

ABSTRACT

REIVANIA ROSIHAN, Efficacy of Galangal Extract on Indigenous Microbes of Snake Fruit (Salacca edulis Reinw). The adviser are SETYADJIT and SANDRA HERMANTO.

Research on the potential of red galangal rhizome extract in inhibiting the growth of mold / yeast indigenous snake fruit has been done. The materials used were red galangal rhizome extracted with various solvents with cold water (distilled water), hot water (± 100˚C), ethyl acetate, and n-hexane. After that, antifungal activity tested on inhibition zone formation by used variations of incubation temperatures (15C, 25˚C, 30C, and 35˚C), the analysis of total phenolic and conventional identification with the observed morphological characters mold. Molds used in the study were isolated directly from rotten snake fruit. The results showed that the type of extract and incubation temperature affects the growth of mold / yeast destroyer snake fruit. The best extract in inhibiting the growth of mold / yeast is ethyl acetate. The results of the morphological identification of suspected mold fungi and yeasts are partially grown in snake fruit were Aspergillus sp, Thielaviopsis sp, Penicillium sp, Saccharomyces sp, Rhodotorula sp, and Streptomyces sp. Galangal extract is not required in the refrigerator, but should be used at room temperature.


(7)

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan pada Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian yang berjudul “Efikasi Ekstrak Lengkuas Pada Mikroba Indigenous Buah Salak (Salacca edulis Reinw)”. Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya yang setia mengorbankan jiwa raga dan lainnya untuk tegaknya syi’ar Islam, yang pengaruh dan manfaatnya hingga kini masih terasa.

Penulisan skripsi ini dapat diselesaikan berkat adanya pihak-pihak yang telah memberikan bimbingan dan dukungannya kepada penulis. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya terutama kepada :

1. Dr. Setyadjit, MAppSc, selaku pembimbing I yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan bimbingannya kepada penulis selama penyusunan skripsi ini. 2. Sandra Hermanto, M.Si, selaku pembimbing II yang telah membimbing dan

memberikan arahan dalam penulisan skripsi ini.

3. Anna Muawanah, M.Si, selaku dosen penguji I yang telah memberikan saran dan kritiknya pada skripsi ini.

4. Adi Riyadhi, M.Si, selaku dosen penguji II yang telah memberikan saran dan kritiknya pada skripsi ini.


(8)

ii

5. Yusraini Dian Inayati Siregar, M.Si, selaku Ketua Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Dr. Agus Salim, M.Si, selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Isalmi Aziz, MT selaku pembimbing akademik dan seluruh dosen Program Studi Kimia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan serta bimbingan kepada penulis.

8. Para karyawan BB-Pascapanen yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan pengalaman kepada penulis.

9. Kedua orang tua, Bapak Rosihan Rosman dan Ibu Vera Syarief serta kakakku Riviega Rosihan, yang selalu mendoakan, melimpahkan kasih sayang, memotivasi dan memberikan dukungan moril serta materil kepada penulis. 10.Teman-teman seperjuangan di Program Studi Kimia 2010 yang telah

memberikan semangat, doa dan dukungan serta membantu penulis.

11.Teman-teman di Laboratorium Kimia dan Mikrobiologi BB-Pascapanen Bogor, yang telah memberi masukan hingga skripsi ini selesai.

Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan.

Jakarta, Desember 2014


(9)

iii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR. ... i

DAFTAR ISI. ... iii

DAFTAR TABEL. ... vii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. ... 1

1.2 Perumusan Masalah. ... 3

1.3 Hipotesa Penelitian. ... 3

1.4 Tujuan Penelitian. ... 4

1.5 Manfaat Penelitian. ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lengkuas (Alpinia Galanga) . ... 5

2.1.1. Karakteristik Lengkuas ... 5

2.1.2. Kandungan Bioaktif. ... 6

2.1.2.1. Senyawa Fenolik ... 6

2.1.2.2. 1’-Asetosikhavikol Asetat (ACA). ... 8

2.2. Ekstraksi ... 10


(10)

iv

2.2.2. Cara Ekstraksi ... 12

2.3. Kandungan Senyawa Fenolik ... 15

2.4 Salak Pondoh ... 19

2.4.1. Karakteristik ... 19

2.4.2.Kerusakan Pascapanen ... 22

2.4.3. Mikroba Perusak Salak... ... 23

2.4.3.1. Kapang ... 23

2.4.3.2. Klasifikasi Kapang.. ... 25

2.4.3.3. Morfologi Kapang ... 26

2.5 Antimikroba ... 27

2.5.1. Jenis-Jenis Antimikroba ... 28

2.5.2. Mekanisme Kerja Antimikroba ... 29

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian . ... 32

3.2 Alat dan Bahan . ... 32

3.2.1 Alat . ... 32

3.2.2 Bahan . ... 32

3.3 Metode Penelitian . ... 33

3.3.1 Pembuatan Ekstrak . ... 33

3.3.1.1. Ekstraksi lengkuas dengan air dingin (akuades) ... 32

3.3.1.2. Ekstraksi lengkuas dengan air panas ... . 33


(11)

v

3.3.1.4. Ekstraksi lengkuas dengan pelarut etil asetat ... 34

3.3.2. Analisis Total Fenolik ... 34

3.3.2.1.Persiapan Larutan Standar Asam Galat ... 34

3.3.2.2. Penetapan Kadar Fenol ... 35

3.3.3. Uji Aktivitas Antimikroba ... 35

3.3.3.1 Penyiapan Isolasi Kapang / Khamir ... 35

3.3.3.2 Uji Pembentukan Zona Hambat ... 36

3.4 Pengamatan Karakter Morfologi Kapang ... 37

3.5. Hubungan Antara Jenis Ekstrak dan Daya Hambat ... 37

3.6. Skema Penelitian ... 39

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Total Fenolik Ekstrak Lengkuas ... 40

4.2. Karakter Morfologi Isolat Kapang ... 41

4.2.1. Isolat S13E, S13F, S13G, dan S11D ... 42

4.2.2. Isolat S8A1 ... 47

4.2.3.Isolat S11B ... 48

4.2.4. Isolat S10B ... 51

4.2.5. Isolat S11A1 ... 52

4.2.6. Isolat S11A3 ... 53

4.3. Aktivitas Antimikroba Berbagai Jenis Ekstrak ... 56


(12)

vi

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan ... 74

5.2. Saran ... 74

DAFTAR PUSTAKA . ... 75


(13)

vii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Aktivitas beberapa komponen bioaktif pada rempah-rempah (Duke,

1994). . ... 7

Tabel 2. Konstanta dielektrikum pelarut organik ... 12

Tabel 3. Komposisi kimia daging buah salak pondoh ... 22

Tabel 4. Kadar total fenolik pada ekstrak lengkuas ... 40

Tabel 5. Hasil pengamatan karakter morfologi dari isolat buah salak busuk ... 55

Tabel 6. Pertumbuhan kapang Aspergillus sp. (S13E) pada berbagai perlakuan ... 58

Tabel 7. Pertumbuhan kapangAspergillus sp. (S13F) pada berbagai perlakuan ... 59

Tabel 8. Pertumbuhan kapang Aspergillus sp. (S13G) pada berbagai perlakuan ... 61

Tabel 9. Pertumbuhan kapang Aspergillus sp. (S11D) pada berbagai Perlakuan ... 62

Tabel 10. Pertumbuhan kapang Thielaviopsis sp. (S8A1) pada berbagai perlakuan ... 64

Tabel 11. Pertumbuhan kapang Penicillium sp. (S11B) pada berbagai perlakuan ... 66

Tabel 12. Pertumbuhan khamir Saccharomyces sp. (S10B) pada berbagai perlakuan ... 68


(14)

viii

Tabel 13. Pertumbuhan khamir Rhodotorula sp. (S11A1) pada berbagai

perlakuan ... 70 Tabel 14. Pertumbuhan kapang Streptomyces sp. (S11A3) pada berbagai

perlakuan ... 71 Tabel 15. Hubungan antara daya hambat dengan konsentrasi ACA ... 72


(15)

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Lengkuas Merah (A) (Dokumentasi pribadi) dan lengkuas

Putih (B) (Ulfah, 2013). ... 5 Gambar 2. Struktur Kimia 1’-Asetoksihavikol asetat (Stecher, 1968).. ... 9 Gambar 3. Struktur kimia dari beberapa kandungan utama lengkuas

(Chudiwal et al., 2010)... 10 Gambar 4 Reaksi Pembentukan Kompleks Molibdenum-Tungsten Blue

(Julkunen-Tiito, 1985)... 15 Gambar 5. Sistem Komponen Spektrometer UV-Vis (Munifah, 2005) ... 19 Gambar 6. (a) Struktur Morfologi Aspergillus secara umum; (b) Hifa bersekat dan tidak bersekat (Benson, 2001). ... 27 Gambar 7. Struktur kimia Benomyl (Mnif et al., 2011) ... 29 Gambar 8. Diagram alir penelitian ... 39 Gambar 9. Hasil pengamatan karakter morfologi secara mikroskopik dari

Aspergillus sp. S13E umur 7 hari pada medium PDA di suhu ruang 43 Gambar 10. Hasil pengamatan karakter morfologi secara mikroskopik dari

Aspergillus sp. S13F umur 7 hari pada medium PDA di suhu ruang 44 Gambar 11. Hasil pengamatan karakter morfologi secara mikroskopik dari

Aspergillus sp. S13G umur 7 hari pada medium PDA di suhu ruang 45 Gambar 12. Hasil pengamatan karakter morfologi secara mikroskopik dari


(16)

x

Gambar 13. Hasil pengamatan karakter morfologi secara mikroskopik dan makroskopik dari Thielaviopsis sp. S8A1 umur 7 hari pada medium PDA di suhu ruang. ... 48 Gambar 14. Hasil pengamatan karakter morfologi secara mikroskopik dan

makroskopik dari Penicillium sp. S11B umur 7 hari pada medium PDA di suhu ruang. ... 50 Gambar 15. Hasil pengamatan karakter morfologi secara mikroskopik dan

makroskopik dari Saccharomyces sp. S10B umur 7 hari pada

medium PDA di suhu ruang. ... 52 Gambar 16. Hasil pengamatan karakter morfologi secara mikroskopik dan

makroskopik dari Rhodotorula sp. S11A3 umur 7 hari pada medium PDA di suhu ruang ... 53 Gambar 17. Hasil pengamatan karakter morfologi secara mikroskopik dan

makroskopik dari Streptomyces sp. S11A3 umur 7 hari pada medium PDA di suhu ruang ... 54


(17)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Tabel Foto Uji Pembentukan Zona Hambat Aspergillus sp.

(S13E). ... 83

Lampiran 2. Tabel Foto Uji Pembentukan Zona Hambat Aspergillus sp. (S13F) ... 84

Lampiran 3. Tabel Foto Uji Pembentukan Zona Hambat Aspergillus sp. (S13G) ... 85

Lampiran 4. Tabel Foto Uji Pembentukan Zona Hambat Aspergillus sp. (S11D) ... 86

Lampiran 5. Tabel Foto Uji Pembentukan Zona Hambat Thielaviopsis sp. (S8A1) ... 87

Lampiran 6. Tabel Foto Uji Pembentukan Zona Hambat Penicillium sp. (S11B) ... 88

Lampiran 7. Tabel Foto Uji Pembentukan Zona Hambat Saccharomyces sp. (S10B) ... 89

Lampiran 8. Tabel Foto Uji Pembentukan Zona Hambat Rhodotorula sp. (S11A1) ... 90

Lampiran 9. Tabel Foto Uji Pembentukan Zona Hambat Streptomyces sp. (S11A3) ... 91

Lampiran 10. Contoh Perhitungan Total Fenolik ... 92

Lampiran 11. Total Fenolik ... 93


(18)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Buah salak merupakan salah satu jenis buah tropis asli Indonesia yang banyak digemari karena mempunyai rasa yang khas. Salah satu jenis salak adalah salak pondoh. Buah salak pondoh harganya lebih tinggi dibanding dengan salak jenis yang lain sehingga mampu untuk meningkatkan pendapatan petani dari hasil panennya. Buah salak pondoh (Sallaca edulis) sama dengan hasil hortikultura yang lain yang cepat mengalami kerusakan selama penyimpanan, kerusakan tersebut dapat terjadi karena reaksi enzimatis, reaksi kimia dan aktivitas mikroorganisme (Syafi’ah, 2010).

Salak termasuk buah yang bersifat perishable/ mudah rusak. Tranggono (1992) mengatakan bahwa salak pondoh yang telah dipetik dan disimpan pada suhu kamar, pada hari ke 10 sudah menunjukkan tanda-tanda kebusukan dan tidak layak dikonsumsi. Pangkal buah salak yang berbentuk meruncing sangat peka terhadap beban mekanik yang menimpanya. Kerusakan fisik pada salak menjadi titik awal infasi jamur perusak yang sudah mengkontaminasi buah sejak di lapangan. Pertumbuhan dan kegiatan fisiologik jamur akan meningkatkan suhu dalam tumpukan buah. Peningkatan suhu, memar pada buah dan serangan jamur, akan mempercepat terjadinya penurunan mutu dan kerusakan buah.


(19)

2 Usaha pencegahan kerusakan dan pengendalian penyakit buah yang disebabkan oleh jamur selama pasca panen, umumnya menggunakan fungisida. Penanganan menggunakan bahan kimia masih dipandang sebagai metode yang paling efektif dan murah dalam menghambat penyakit pasca panen. Senyawa seperti thiabendazole, imazilil, sodium ortho-phenylphenate adalah komponen-komponen aktif dalam fungisida yang sering digunakan. Namun, penggunaan senyawa-senyawa ini secara terus-menerus ternyata justru menyebabkan resistensi beberapa jenis jamur perusak terhadap fungisida ini (Novianti, 2009).

Peningkatan kesadaran masyarakat akan efek samping penggunaan fungisida terhadap lingkungan dan kesehatan karena residu toksisitasnya mendorong dilakukannya penelitian tentang senyawa-senyawa antijamur yang aman dan ramah lingkungan (natural fungisida). Dalam penelitian ini digunakan lengkuas sebagai fungisida yang ramah lingkungan.Lengkuas (Alpinia galanga L. Swartz) merupakan salah satu tanam-an dari famili Zingiberaceae yang rimpangnya dapat dimanfaatkan sebagai obat (Hernani, 2010). Berdasarkan warna rimpang, dikenal dua kultivar lengkuas, yaitu lengkuas berimpang putih (Alpinia galanga (L) Wild) dan lengkuas berimpang merah (Alpinia purpurata K. Schum). Lengkuas merah merupakan tanaman obat yang telah dibuktikan pada berbagai penelitian, memiliki daya antijamur dibandingkan jenis lengkuas putih. Kandungan minyak atsiri dan komponen antijamur pada lengkuas merah, memiliki konsentrasi yang lebih tinggi dibanding lengkuas putih (Budiarti, 2007).

Berdasarkan penelitian Yuharmen, et al. (2002) menunjukkan adanya aktivitas penghambatan pertumbuhan mikroba oleh minyak atsiri dan fraksi


(20)

3 metanol rimpang lengkuas pada beberapa spesies bakteri dan jamur. Efikasi merupakan efektivitas pestisida terhadap organisme sasaran yang didaftarkan berdasarkan pada hasil percobaan lapangan atau laboratorium menurut metode yang berlaku (Permentan, 2007). Pestisida yang dimaksud juga termasuk fungisida.

Penggunaan ekstrak rimpang lengkuas sebagai penanggulangan hama dan penyakit khususnya jamur dinilai bersifat ramah lingkungan. Namun demikian, ekstrak lengkuas belum banyak digunakan untuk pengawetan buah-buahan termasuk buah salak segar. Oleh karena itu, maka dilakukan penelitian dengan menggunakan ekstrak rimpang lengkuas merah sebagai agen antimikroba untuk mencegah kerusakan dari buah salak pondoh selama penyimpanan.

1.2.Perumusan Masalah

1. Apakah ekstrak rimpang lengkuas merah mampu menghambat pertumbuhan mikroba indigenous salak?

2. Jenis pelarut manakah yang menghasilkan efikasi terbesar dalam penghambatan pertumbuhan mikroba indigenous salak?

3. Bagaimanakah hubungan total fenolik ekstrak rimpang lengkuas merah terhadap penghambatan pertumbuhan mikroba indigenous salak?

1.3.Hipotesis Penelitian

1. Ekstrak rimpang lengkuas merah mampu menghambat pertumbuhan mikroba indigenous salak.


(21)

4 2. Jenis pelarut yang paling bisa menghasilkan efikasi terbesar adalah

pelarut semipolar.

2. Total fenolik ekstrak rimpang lengkuas merah berhubungan dengan penghambatan pertumbuhan mikroba indigenous salak.

1.4.Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui kemampuan ekstrak lengkuas merah dalam menghambat pertumbuhan mikroba indigenous salak.

2. Mengetahui pengaruh jenis pelarut yang digunakan terhadap efikasi ekstrak lengkuas dalam menghambat pertumbuhan mikroba indigenous salak.

3. Mengetahui hubungan antara total fenolik ekstrak rimpang lengkuas merah dengan daya hambat pertumbuhan mikroba indigenous salak.

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini yaitu memberikan informasi secara ilmiah kepada masyarakat tentang potensi, kandungan senyawa aktif dan total fenolik dari ekstrak rimpang lengkuas merah (Alpinia purpurata K. Schum) yang dapat dipergunakan untuk menghambat pertumbuhan mikroba indigenus salak dalam rangka meningkatkan mutu dan nilai jual buah salak pondoh.


(22)

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Lengkuas (Alpinia galanga)

2.1.1. Karakteristik Lengkuas

Tanaman lengkuas termasuk famili Zingiberaceae (Sudarnadi, 1996 dan Mangoting et al., 2008). Secara umum ada dua jenis lengkuas yang dikenal, yaitu lengkuas merah (Alpinia purpurata K. Schum) dan lengkuas putih (Alpinia galanga (L) Wild). Lengkuas putih biasanya digunakan untuk bumbu masakan dan lengkuas merah dimanfaatkan sebagai obat (Hernani et al., 2007). Lengkuas berkhasiat untuk mengobati panu, bronkhitis, masuk angin, dan diare.

Gambar 1. Lengkuas Merah (A) (Dokumentasi pribadi) dan lengkuas Putih (B) (Ulfah, 2013).

Secara umum ada dua jenis lengkuas yang dikenal, yaitu lengkuas merah (Alpinia purpurata K. Schum) dan lengkuas putih (Alpinia galanga (L) Wild). Lengkuas putih biasanya digunakan untuk bumbu masakan dan lengkuas merah dimanfaatkan sebagai obat (Hernani et al., 2007). Lengkuas berimpang merah memiliki batang semu berukuran tinggi 1-1,5 m, diameter batang 1 cm, dan diameter rimpang 2 cm (Budiarti, 2007). Lengkuas berimpang putih mempunyai


(23)

6 batang semu setinggi 3 m, diameter batang 2,5 cm, dan diameter rimpang 3-4 cm. Lengkuas merah merupakan tanaman obat yang telah dibuktikan berbagai penelitian memiliki daya antijamur dibandingkan jenis lengkuas putih. Kandungan minyak atsiri dan komponen antijamur pada lengkuas merah, memiliki konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan pada lengkuas putih (Budiarti, 2007).

2.1.2. Kandungan Bioaktif 2.1.2.1. Senyawa Fenolik

Senyawa fenolik terdiri atas molekul-molekul besar dengan beragam struktur, karakteristik utamanya adalah adanya cincin aromatik yang memiliki gugus hidroksil. Kebanyakan senyawa fenolik termasuk ke dalam kelompok flavonoid (Pratt dan Hudson, 1990). Perasan rimpang lengkuas mempunyai daya hambat dan daya bunuh terhadap bakteri karena mengandung minyak atsiri antara lain alkohol, senyawa fenol termasuk flavonoid dan deterjen yang bersifat bakterisidal. Flavonoid merupakan senyawa fenol bekerja dengan cara mendenaturasi protein dan merusak membran sel bakteri. Denaturasi protein menyebabkan aktivitas metabolisme sel terhenti karena berhentinya semua aktivitas metabolisme berakibat pada kematian sel bakteri (Sumayani et al., 2008).

Selain itu, komponen bioaktif pada rempah-rempah, khususnya dari famili Zingiberaceae yang terbanyak adalah dari jenis flavonoid yang merupakan golongan fenolik terbesar. Pada golongan flavonoid dikenal golongan flavonol.


(24)

7 Komponen flavonol yang banyak tersebar pada tanaman misalnya yang terdapat pada lengkuas adalah galangin, kaemferol, kuersetin, dan mirisetin. Salah satu golongan flavonoid adalah kalkon. Kalkon adalah komponen yang berwarna kuning terang. Komponen lainnya yang ditemukan pada Alpinia adalah flavonon. Komponen flavonon dan dihidroflavonol dikenal sebagai senyawa yang bersifat fungistatik dan fungisida dan yang terdapat pada tumbuhan Alpinia dan Kaempferia dari golongan Zingiberaceae adalah alpinetin (Hemzela, 2006). Pada minyak atsiri lengkuas, seperti telah diteliti oleh Scheffer et al. (1981) dan De Pooter et al. (1985) terdapat senyawa 1,8-sineol, a-pinen, limonen, terpineol, tujon, mirsen. Masing-masing komponen tersebut mempunyai aktivitas bioaktif seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Aktivitas beberapa komponen bioaktif pada rempah-rempah (Duke, 1994).

Jenis Komponen Beberapa aktivitas bioaktif

1,8-sineol Antiseptik, bakterisida, herbisida, insektifuga

a-pinen Pencegah kanker. Insektifuga

Limonen Antikanker, herbisida, insektisida

Terpineol Antialergik, antiseptik, bakterisida, insektifuga

Tujon Herbisida

Kaemferol Antifertilitas, antioksidan, pencegah kanker, mutagenik

Kuersetin Antioksidan, bakterisida, mutagenik, antifeedant

Mirisetin Antifeedant, pencegah kanker

Mirsen Bakterisida, insektifuga

Senyawa antijamur dari lengkuas yang sangat efektif untuk menghambat pertumbuhan jamur Trichophyton mentagrophytes dan Candida albicans adalah


(25)

8 (E)-8β, 17 epoksilabd-12-en-15, 16-dial, (E)-8-(17)-12-labadiene-15, 16-dial, dan galanolakton. Senyawa-senyawa tersebut termasuk dalam golongan diterpen (Parwata, 2008).

2.1.2.2. 1’-Asetosikhavikol Asetat (ACA).

Lengkuas merah merupakan tanaman obat yang telah dibuktikan berbagai penelitian memiliki daya antijamur dibandingkan jenis lengkuas putih. Kandungan minyak atsiri dan komponen antijamur pada lengkuas merah, memiliki konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan pada lengkuas putih (Budiarti, 2007).

Komponen kimia utama yang memberikan aroma pada lengkuas adalah senyawa asetoksihavikol asetat (ACA/ galangal asetat) yang bersifat sebagai anti alergi, antioksidan, dan antijamur (Hernani, 2010). De Pooter et al. (1985) menyatakan bahwa rimpang lengkuas mengandung senyawa 1’-asetosikhavikol asetat sekitar 0,5-1% dari minyak atsiri rimpang lengkuas segar dengan metode destilasi uap, sedangkan Kondo et al. (1993) menemukan senyawa ACA sebesar lebih kurang 0,11% (per 100 gram bahan lengkuas segar) yang diperoleh dengan metode kromatografi kinerja tinggi (HPLC) preparatif.

ACA termasuk kelompok monoterpen, tergolong ke dalam fenil propanoid yang diduga berasal dari jalur sikhimat. ACA larut dalam pelarut yang semipolar seperti etil asetat, diklorometana atau kloroform. ACA memiliki nama lain yaitu Benzenemethanol, 4-(acetyloxy)-alpha-ethenyl-acetate, (S)-Acetoxychavicol acetate (CAS). Berat molekul ACA (C13H15O4) adalah 234 (Rusmarilin, 2003).


(26)

9 ACA juga memiliki titik didih 325,4˚C dalam 760 mmHg (CAS). Struktur ACA dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Struktur Kimia 1’-Asetoksihavikol asetat (Stecher, 1968).

ACA diduga berasal dari jalur sikhimat dan disintesis melalui jalur metabolisme yang berasal dari L-fenilalanin dan atau L-tirosin, selanjutnya akan dihasilkan asam p-kumarat, sampai akhirnya terbentuk senyawa ACA (Manitto, 1992 ; Mann 1994).

Analisis kadar ACA lengkuas merah menggunakan GC-MS bertujuan untuk untuk identifikasi atau penentuan kadar ACA yang dikandungnya Analisis GC-MS menunjukkan bahwa senyawa utama ekstrak lengkuas adalah 1, 8-cineole, β- bisaboline dan β -selinene. Sedangkan α-selinene, farnesene, asam 1,2-benzenedicarboxylic, germacrene B dan pentadekana adalah komponen kecil. 1, 8-Cineole adalah monoterpen teroksigenasi, sementara β-caryophyllene adalah sesquiterpene. Selain itu, β-bisabolene dan β-selinene adalah terpen (Chudiwal et al., 2010).


(27)

10 Gambar 3. Struktur kimia dari beberapa kandungan utama lengkuas (Chudiwal et al., 2010).

2.2. Ekstraksi

Ekstraksi adalah pemisahan suatu zat dengan pembagian antara dua pelarut yang tidak dapat bercampur untuk mengambil zat terlarut tersebut dari suatu pelarut ke pelarut lain (Setyowati, 2009). Serbuk yang diekstrak mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan tidak dapat larut dalam pelarut organik seperti serat, karbohidrat, protein dan lain-lain. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai serbuk dapat digolongkan ke dalam golongan minyak

Galanga

Camphor

β-Pinene

α-Pinene

Kaemperol

β-Bisaboline

β-Selinene 1,8- Cineole

Trans-p-coumaryl diacetate

Trans-p-hidroxycinnamyl acetate Trans-p-coumaryl alcohol

Trans-p-hydroxycinnamaldehyde

1’S’-1’-hydrotoxychavicol acetate

1’S’-1’-acetoxyeugenol acetate


(28)

11 atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain. Struktur kimia yang berbeda-beda dapat mempengaruhi kelarutan serta stabilitas senyawa-senyawa tersebut terhadap pemanasan, udara, cahaya, logam berat dan derajat keasaman. Diketahuinya senyawa aktif yang dikandung dalam serbuk dapat mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat.

Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa dari serbuk nabati atau serbuk hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian pelarut diuapkan sehingga diperoleh massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Soesilo, 1989). Beberapa faktor utama yang diperlukan pada pemilihan pelarut yaitu selektivitas, ekonomis, dan ramah lingkungan. Pemekatan dan penguapan (evaporasi) merupakan proses penguapan pelarut sehingga diperoleh ekstrak kental atau pekat (Soesilo, 1989).

2.2.1. Pelarut Organik

Proses ekstraksi didasarkan pada kelarutan komponen terhadap komponen lain dalam campuran. Kelarutan suatu komponen tergantung pada derajat kepolarannya. Pelarut organik berdasarkan konstanta elektrikum dapat dibedakan menjadi dua yaitu pelarut polar dan pelarut non-polar. Konstanta dielektrikum dinyatakan sebagai gaya tolak-menolak antara dua partikel yang bermuatan listrik dalam suatu molekul. Semakin tinggi konstanta dielektrikumnya maka pelarut bersifat semakin polar (Sudarmadji et al., 1989). Urutan tingkat kepolaran


(29)

12 beberapa pelarut organik berdasarkan nilai konstanta dielektriknya dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Konstanta dielektrikum pelarut organik

Pelarut Rumus Kimia Tititk Didih Konstanta Dielektrik Heksana CH3-CH2-CH2-CH2

-CH2-CH3

6λ˚C 2,0

Benzen C6H6 80˚C 2,3

Khloroform CHCl3 61˚C 4,8

Etil asetat CH3-C(=O)-O-CH2 -CH3

77˚C 6,0

Etanol CH3-CH2-OH 78,4˚C 24,3

Metanol CH3-OH 65˚C 33,1

Air H-O-H 100˚C 80,4

Sumber : Sudarmadji et al., (1989)

Ekstraksi dapat menggunakan pelarut tunggal dan pelarut campuran. Pelarut campuran yang biasa digunakan yaitu campuran air dan etanol, campuran air dan metanol, campuran air dan eter (Agoes, 2007). Menurut Guenther (1987), syarat pelarut yang digunakan pertama harus bersifat selektif artinya pelarut harus dapat melarutkan semua senyawa dengan cepat. Syarat kedua harus mempunyai titik didih yang cukup rendah. Hal ini supaya pelarut mudah dapat diuapkan tanpa menggunakan suhu tinggi, namun titik didih pelarut tidak boleh terlalu rendah karena akan mengakibatkan kehilangan akibat penguapan. Syarat ketiga bersifat inert artinya pelarut tidak bereaksi dengan komponen minyak.

2.2.2. Cara Ekstraksi

Metode ekstraksi menggunakan pelarut dapat dibagi menjadi dua berdasarkan temperatur yang digunakan (Ritiasa, 2000), yaitu:


(30)

13 1. Maserasi, ialah suatu proses pengekstrak serbuk dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruang. Metode maserasi digunakan untuk mengekstrak serbuk yang mengandug komponen kimia yang mudah larut dalam cairan pengekstrak. Cairan pengekstrak akan masuk ke dalam sel melewati dinding sel. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan di luar sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh cairan pengekstrak dengan konsentrasi rendah (proses difusi). Peristiwa tersebut berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel.

2. Perkolasi, ialah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Prinsip perkolasi yaitu serbuk sampel ditempatkan dalam suatu bejana silinder, yang bagian bawahnya diberi sekat berpori. Cairan pengekstrak dialirkan dari atas ke bawah melalui serbuk tersebut, cairan pengekstrak akan melarutkan zat aktif sel-sel yang dilalui sampai mencapai keadaan jenuh. Gerak kebawah disebabkan adanya gaya gravitasi, dikurangi dengan daya kapiler yang cenderung untuk menahan. Kekuatan yang berperan pada perkolasi antara lain: gaya berat, kekentalan, daya larut, tegangan permukaan, difusi, osmosis, adhesi dan daya kapiler. Secara umum proses perkolasi ini dilakukan pada temperatur ruang. Sedangkan parameter berhentinya penambahan pelarut adalah perkolat sudah tidak mengandung


(31)

14 senyawa lagi berdasarkan pengamatan secara fisik pada ekstraksi bahan alam terlihat pada tetesan perkolat yang sudah tidak berwarna.

2. Cara panas, terdiri dari:

1. Refluks, ialah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendinginan balik. Ekstraksi dengan refluks digunakan untuk bahan-bahan yang tahan terhadap pemanasan. Penarikan komponen kimia yang dilakukan dengan cara sampel dimasukkan ke dalam labu alas bulat bersama-sama dengan cairan pengekstrak lalu dipanaskan, uap-uap cairan ekstrak terkondensasi pada kondesor menjadi molekul-molekul cairan pengekstrak yang akan turun kembali menuju labu alas bulat, akan mengekstrak kembali sampel yang berada pada labu alas bulat, demikian seterusnya berlangsung secara berkesinambungan sampai penyaringan sempurna, penggantian pelarut dilakukan sebanyak 3 kali setiap 3-4 jam. Filtrat yang diperoleh dikumpulkan dan dipekatkan.

2. Sokhletasi, ialah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru pada umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi secara terus-menerus dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendinginan balik (Ritiasa, 2000). Sokhletasi merupakan metode ekstraksi dengan cara pemanasan dan terjadi sirkulasi pelarut yang membasahi sampel. Akan tetapi proses ini hanya cocok untuk senyawa organik yang tidak dipengaruhi oleh suhu atau bersifat termostabil (Harborne, 1996).


(32)

15 3. Digestasi, ialah maserasi kinetik (dengan adanya pengadukan) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan. Pada umumnya dilakukan pada suhu 40-50ºC (Ritiasa, 2000).

2.3. Kandungan Senyawa Fenolik

Pengujian total fenolik dilakukan dengan metode Folin Ciocalteau yang didasarkan pada kemampuan senyawa fenolik bereaksi dengan oksidator fosfomolibdat dibawah kondisi alkalis menghasilkan senyawa fenolat dan kompleks molibdenum-tungsten berwarna biru. Reagen ini tidak bersifat spesifik untuk senyawa fenol dan warna yang dihasilkan sangat tergantung pada gugus hidroksi dan kedudukan gugus tersebut dalam struktur molekul. Warna biru yang dihasilkan tidak hanya ditentukan oleh jumlah senyawa fenolik yang ada, tetapi juga oleh variasi struktur dan agen-agen pereduksi non fenolik (Julkunen-Tiito, 1985).

Gambar 4. Reaksi Pembentukan Kompleks Molibdenum-Tungsten Blue (Julkunen-Tiito, 1985).

Penggunaan asam galat sebagai standar pengujian karena asam galat (asam 3,4,5-trihidroksibenzena) memiliki gugus hidroksil dan ikatan rangkap terkonjugasi pada masing-masing cincin benzena sehingga senyawa ini mudah


(33)

16 bereaksi membentuk kompleks dengan reagen Folin-Ciocalteau serta merupakan unit penyusun senyawa fenolik (Rorong dan Suryanto, 2010). Reaksi uji dapat dilihat pada gambar 4.

Pada saat direaksikan antara reagen Folin-Ciocalteau dengan senyawa fenolik akan terjadi perubahan warna dari kuning menjadi biru. Intensitas warna biru ditentukan dengan banyaknya kandungan fenol dalam larutan sampel. Semakin besar konsentrasi senyawa fenolik dalam sampel semakin pekat warna biru yang terlihat. Menurut Singleton dan Rossi (1965), warna biru yang teramati berbanding lurus dengan konsentrasi ion fenolat yang terbentuk, semakin besar konsentrasi senyawa fenolik maka semakin banyak ion fenolat yang terbentuk sehingga warna biru yang dihasilkan semakin pekat. Nely (2007) mengatakan penambahan larutan Na2CO3 pada uji fenolik bertujuan untuk membuat suasana basa agar terjadi reaksi reduksi Folin-Ciocalteau oleh gugus hidroksil dari fenolik di dalam sampel.

Spektrofotometer Uv-Vis (Harmita, 2006)

Spektrum Uv-Vis merupakan hasil interaksi antara radiasi elektromagnetik (REM) dengan molekul. REM merupakan bentuk energi radiasi yang memiliki sifat gelombang dan partikel (foton). REM bersifat sebagai gelombang maka perlu diketahui beberapa parameter, seperti panjang gelombang, frekuensi, bilangan gelombang dan serapan. REM memiliki vektor listrik dan magnet yang bergetar dalam bidang yang tegak lurus satu sama lain dan masing-masingnya tegak lurus pada perambatan radiasi.


(34)

17 Spektrofotometer digunakan untuk mengukur besarnya energi yang diabsorbsi atau diteruskan. Jika radiasi monokromatik melewati larutan mengandung zat yang dapat menyerap, maka radiasi ini akan dipantulkan, diabsorbsi oleh zat tersebut dan sisanya akan ditransmisikan.

Lambert dan Beer telah menurunkan secara empiris hubungan antara intensitas cahaya yang ditransmisikan dengan tebalnya larutan dan hubungan antara intensitas tersebut dengan konsentrasi zat. Hukum Lambert-Beer:

dimana: Po = Intensitas cahaya masuk P = Intensitas cahaya keluar

c = Konsentrasi zat yang menyerap sinar k = Tetapan

Hukum Lambert menyatakan bahwa bila suatu cahaya monokromatik dialirkan pada suatu media yang transparan, maka bertambah turunnya cahaya berbanding lurus dengan panjang media penyerapan cahaya. Hal itu juga dapat ditulis dengan persamaan berikut:

dimana: Po = Intensitas cahaya masuk P = Intensitas cahaya keluar

b = Konsentrasi zat yang menyerap sinar k = Tetapan

Jadi, apabila hukum Beer-Lambert digabung dapat dinyatakan bahwa bila suatu media penyerap yang transparan, maka bertambah turunnya cahaya


(35)

18 berbanding lurus dengan media penyerap dan konsentrasi media penyerap. Hal ini dapat dinyatakan dengan persamaan:

dimana: Po = Intensitas cahaya masuk

P = Intensitas cahaya keluar

c = Konsentrasi zat yang menyerap sinar A = Absorbansi (Sinar yang diserap)

a = Absortivitas spesifik (jika c dalam gr/L) b = Ketebalan media yang dilalui sinar

E = Extingsi (Absortivitas molar (jika c dalam mol/L).

Ada empat bagian penting dalam spektofotometer UV-Vis yaitu: 1. Lampu

Berkas cahaya putih yang keluar dari lampu ini adalah kombinasi dari semua panjang gelombang spektrum tampak (visible).

2. Monokromator

Bagian yang mengisolasi suatu pita dengan panjang gelombang yang sempit dari dalam semua energi cahaya yang memasukinya.

3. Phototube

Tempat ditaruhnya sampel yang akan diradiasi. 4. Detektor

Suatu piranti yang mengubah energi radiasi menjadi energi listrik yang berhubungan dengan daya radiasi yang di adsorpsi oleh permukaan yang peka.


(36)

19 5. Sistem Komputer

Suatu program untuk menerjemahkan sistem dari penurunan intensitas cahaya akibat absopsi oleh sampel berbanding dengan konsentrasinya serta menyimpan data kurva kalibrasi atau hasil uji sebelumnya (Munifah, 2005).

Gambar 5. Sistem Komponen Spektrometer UV-Vis (Munifah, 2005) Spektrometer UV-Vis memiliki kemampuan untuk mengukur konsentrasi suatu sampel baik yang tidak berwarna maupun yang berwarna. Larutan tanpa warna akan diabsorpsi pada panjang gelombang lebih rendah dari 400 nm oleh sinar UV, sedangkan larutan yang berwarna akan diabsorpsi pada kisaran panjang gelombang antara 400 nm hingga 780 nm. Panjang gelombang absorpsi biasanya dilaporkan sebagai max, yaitu panjang gelombang pada titik tertinggi kurva.

2.4. Salak Pondoh

2.4.1. Karakteristik

Salak (Salacca edulis) merupakan tanaman buah yang disukai dan mempunyai prospek yang baik untuk diusahakan. Tanaman salak termasuk famili Palmae yang tumbuh berumpun dengan tinggi 4,5-7 meter (Kusumo, et al, 1999).


(37)

20 Salak merupakan salah satu buah tropis yang banyak diminati oleh orang. Buah salak memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi (Tim Karya Mandiri, 2010).

Buah salak terdiri atas kulit buah, daging buah dan biji. Sisik kulit buah menjadi satu dengan kulit buahnya. Kulit buah sangat tipis, tebalnya sekitar 0,3 mm. Sedangkan kulit luar buah salak berfungsi sebagai pelindung alami terhadap daging buah yang dibungkusya terhadap pengaruh keadaan lingkungan. Daging buah tidak berserat berwarna putih kekuningan, kuning kecoklatan, atau merah tergantung varietasnya. Rasa buah manis, manis agak asam, manis agak sepet atau manis bercampur asam dan sepet. Dalam 1 buah salak mengandung 1-3 biji. Bijinya berwarna coklat berbentuk persegi dan berkeping satu (Nazarudin dan Kristiawati, 1992).

Umur buah salak yang baik untuk dipasarkan adalah antara 6-7 bulan sejak keluarnya bunga, tetapi jika musim hujan tiba pada saat buah salak sudah membesar (4-5 bulan), maka petani memanen buahnya lebih awal dari biasanya. Hal ini disebabkan karena buah salak tersebut cepat membesar sehingga terjadi ketidak seimbangan dalam membesarkan kulit dan isi mengakibatkan kulit buah pecah sebelum mencapai umur 6-7 bulan (Sumarto, 1976).

Menurut Nazaruddin dan Kristiawati, (1992) buah salak yang sudah masak umumnya mempunyai ciri-ciri seperti di bawah ini :

a. Kulit buah bersih mengkilap dan susunan sisiknya tampak lebih renggang. b. Bila buah dipetik, mudah sekali terlepas dari tandan buah.

c. Biji salak berwarna coklat gelap kehitaman.


(38)

21 e. Bila dicium menyebar aroma salak dan bila dimasukan kedalam air akan

terapung.

Diantara bermacam-macam salak yang ada, salak pondoh merupakan salak yang paling disukai oleh konsumen. Salak pondoh merupakan salah satu varietas salak yang banyak dibudidayakan di daerah Sleman, Yogyakarta. Tanaman salak pondoh mempunyai batang pendek, berumah dua, berduri banyak, tumbuh tegak dengan ketinggian 3-7 meter dari atas permukaan tanah, batang beruas banyak, perakaran dangkal dan kuat, daun majemuk menyirip dengan ujung anak daun lebih lebar (Santosa, 1990). Buah salak pondoh pada umumnya lebih kecil daripada buah salak jenis lain. Namun dewasa ini dikenal jenis salak pondoh ekspor yang ukurannya normal seperti buah salak biasa. Warna kulit salak pondoh bervariasi mulai dari coklat kehitaman, coklat kemerahan, kuning kemerahan, coklat kekuningan dan merah gelap kehitaman dengan rasa buahnya yang manis (Santoso, 1990).

Salak pondoh memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh salak varietas lain yaitu telah manis ketika buah masih muda. Namun kelemahan dari buah ini adalah umur simpannya setelah panen sangat singkat. Menurut Tranggono (1992), buah salak pondoh yang telah dipetik dan disimpan pada suhu kamar, pada hari ke 10 sudah menunjukkan tanda-tanda kebusukan dan tidak layak dikonsumsi.

Adapun komposisi kimia dari daging buah salak pondoh dalam setiap 100 g dapat dilihat pada Tabel 3.


(39)

22 Tabel 3. Komposisi kimia daging buah salak pondoh

Komposisi Kadar

Energi (Kkal) 77

Protein (g) 0,40 (0,94*)

Lemak (g) 0,00

Karbohidrat (g) 20,90

Serat kasar (g) -

Kadar abu (g) 0,67 (0,63*)

Kalsium (mg) 28,00

Fosfor (mg) 18,00

Besi (mg) 4,2

Vitamin A (IU) 0,00

Vitamin B1 (mg) 0,04

Vitamin C (mg) 2,00 (2,43*)

Air (g) 78,00 (82,81)

Tanin (g) 0,58 (0,63*)

Pektin (g) 0,94*

Asam sitrat (g) 0,62*

Asam Malat (g) 2,04*

Sumber : Novianti (2009); *Suhardi et al (1997)

2.4.2. Kerusakan Pasca panen

Di daerah tropis, kehilangan pasca panen pada buah dan sayuran segar sangat besar. Kerusakan oleh mikrobia dianggap faktor utamanya. Infeksi oleh mikroba yang terjadi melalui luka pada saat panen atau sesudahnya merupakan kerugian utama yang menyebabkan pembusukan buah. Perkembangan selanjutnya setelah terjadi infeksi bergantung pada kemampuan enzimatis patogen dan kondisi fisiologis jaringan inang yang meliputi kelembaban, kemudahan untuk diserang patogen, dan ketahanan jaringan inang sebelum proses infeksi sempurna (Novianti, 2009).

Kebanyakan buah mempunyai pH yang rendah (<4,5). Ini berarti kerusakan mikrobiologis yang mungkin timbul disebabkan oleh jamur perusak pangan, karena pada pH rendah bakteri sulit tumbuh pada bahan pangan. Berdasarkan


(40)

23 daya perusaknya maka jamur perusak pangan dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu, jamur yang merusak tanaman sebelum panen dan jamur yang menyerang komoditas setelah panen. Sifat pertumbuhan yang khas dari jamur adalah berbentuk kapas dan biasanya terlihat pada buah-buahan yang membusuk. Pertumbuhannya dapat berwarna hitam, putih, atau berbagai macam warna. Adanya jamur pada buah atau sayuran dapat menimbulkan kerusakan sangat hebat hingga merusak jaringan tanaman hingga menyerupai bubur (Novianti, 2009).

2.4.3. Mikroba Perusak Salak

Bahan pangan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan merupakan bahan yang mudah rusak (perishable), misalnya buah salak yang memar sehingga daging buahnya menjadi berwarna coklat. Buah salak yang ketika dipanen berasa manis, namun setelah dibiarkan beberapa hari kemudian daging buah berangsur-angsur melunak dan kemudian menjadi berasa asam karena perubahan oleh enzim. Hal ini terjadi disebabkan adanya kerusakan mikrobiologis oleh bakteri, ragi dan jamur karena kondisi bahan sesuai dengan kebutuhan hidup mikroba. Pembusukan buah salak disebabkan oleh tiga jenis jamur yaitu Ceratocystis paradoxa, Fusarium sp, dan Aspergilus sp (Novianti, 2009). Menurut Oka (1964) dalam Semangun (1989) pembusukan buah salak pondoh kadang-kadang juga disebabkan oleh bakteri, Erwinia carotovora. Namun, kerusakan oleh mikroba yang paling utama disebabkan oleh kapang.

2.4.3.1. Kapang

Kapang adalah sekelompok mikroba yang tergolong dalam fungi dengan ciri khas memiliki filamen (miselium). Kapang termasuk mikroba yang penting


(41)

24 dalam mikrobiologi pangan karena selain berperan penting dalam industri makanan, kapang juga banyak menjadi penyebab kerusakan pangan. Kapang adalah fungi multiseluler yang mempunyai filamen dan pertumbuhannya pada makanan mudah dilihat karena penampakannya yang berserabut seperti kapas. Pertumbuhannya mula-mula akan berwarna putih, tetapi jika spora telah timbul akan terbentuk berbagai warna tergantung dari jenis kapang.

Sifat fisiologi kapang (Waluyo, 2007), yaitu: (1) Umumnya kebanyakan kapang membutuhkan water activity (aw) minimal untuk pertumbuhan lebih rendah dibandingkan dengan khamir dan bakteri. Kadar air bahan pangan kurang dari 14-15%, misalnya pada beras dan serealia, dapat menghambat atau memperlambat pertumbuhan kebanyakan khamir; (2) Kebanyakan kapang bersifat mesofilik yaitu tumbuh baik pada suhu kamar. Suhu optimum pertumbuhan untuk kebanyakan kapang adalah sekitar 25-300C tetapi beberapa dapat tumbuh pada suhu 35-37°C atau lebih tinggi. Beberapa kapang bersifat psikrotrofik dan beberapa bersifat termofilik; (3) Semua kapang bersifat aerobik, yaitu membutuhkan oksigen untuk pertumbuhannya. Kebanyakan kapang dapat pada kisaran pH yang luas, yaitu 2-8,5 tetapi biasanya pertumbuhannya akan lebih baik pada kondisi asam atau pH rendah; (4) Pada umumnya kapang dapat menggunakan berbagai komponen makanan, dari yang sederhana hingga kompleks. Kebanyakan kapang memproduksi enzim hidrolitik, misal amylase, pektinase, proteinase dan lipase, oleh karena itu dapat tumbuh pada makanan-makanan yang mengandung pati, pektin, protein atau lipid, dan (5) Beberapa kapang mengeluarkan komponen yang dapat menghambat organisme lainnya.


(42)

25 Komponen itu disebut antibiotik,misalnya penisilin yang diproduksi oleh Penicillium chrysogenum dan clavasin yang diproduksi oleh Aspergillus clavatus. Pertumbuhan kapang biasanya berjalan lambat bila dibandingkan dengan pertumbuhan khamir dan bakteri. Oleh karena itu jika kondisi pertumbuhan memungkinkan semua mikroorganisme untuk tumbuh, kapang biasanya kalah dalam kompetisi dengan khamir dan bakteri. Tetapi sekali kapang dapat mulai tumbuh, pertumbuhan yang ditandai dengan pembentukan miselium dapat berlangsung dengan cepat.

2.4.3.2. Klasifikasi Kapang

Berdasarkan ada tidaknya septa dibedakan beberapa kelas (Waluyo, 2007) yaitu :

1. Kapang tidak bersepta

a. Kelas Oomycetes (spora seksual disebut oospora) terdiri dari ordo saprolegniales (spesies Saprolegnia) dan ordo Peronosporales (spesies Pythium).

b. Kelas Zygomycetes (spora seksual zigospora) terdiri dari ordo Mucorales (spora aseksual adalah sporangiospora) seperti : Mucor mucedo, Zygorrhynchus, Rhizopus, Absidia dan Thamnidium.

2. Kapang bersepta

a. Kelas fungi tidak sempurna (imperfecti) tidak mempunyai spora seksual


(43)

26 a). Famili Monialiaceae: Aspergillus, Penicillium, Trichothecium, Geotrichum, Neurospora, Sporatrichum, Botrytis, Cephalosporium, Trichoderma, Scopulariopsis, Pullularia.

b). Famili Dematiceae: Cladosporium, Helminthosporium, Alternaria, Stempylium.

c). Famili Tuberculariaceae : Fusarium

d). Famili Cryptococcaceae (fungsi seperti khusus atau false yeast) : Candida (khamir), Cryptococcus

e). Famili Rhodotorulacee : Rhodotorula (khamir).

2). Ordo Melanconiales : Colletotrichum, Gleosporium, Pestalozzia. 3). Ordo Sphaeropsidales (konidia berbentuk botol, dinamakan piknidia) : Phoma, Dlipodia.

b. Kelas Ascomycetes. Spora seksual adalah askospora, sperti : jenis Endomyces, Monascus, Sclerotinia. Yang termasuk dalam fungi imperfecti: Neurospora, Eurotium (tahap seksual dari Aspergillus), dan Penicillium.

2.4.3.3. Morfologi Kapang

Kapang terdiri dari suatu thallus yang tersusun dari filamen yang bercabang yang disebut dengan hifa. Kumpulan dari hifa disebut dengan miselium. Hifa tumbuh dari spora yang melakukan germinasi membentuk suatu tuba germ, dimana tuba ini akan tumbuh terus membentuk filamen yang panjang dan bercabang yang disebut hifa, kemudian seterusnya akan membentuk suatu


(44)

27 massa hifa yang disebut miselium. Pembentukan miselium merupakan sifat yang membedakan grup-grup didalam fungi.

Hifa dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu hifa vegetatif atau hifa tumbuh dan hifa fertil yang membentuk bagian reproduksi. Pada kebanyakan kapang hifa fertil tumbuh di atas permukaan, tetapi pada beberapa kapang mungkin terendam. Penyerapan nutrien terjadi pada permukaan miselium.

Sifat-sifat kapang baik penampakan makroskopik ataupun mikroskopik digunakan untuk identifikasi dan klasifikasi kapang. Kapang dapat dibedakan menjadi dua kelompok berdasarkan struktur hifa yaitu hifa tidak bersekat atau nonseptat dan hifa bersekat atau septatyang membagi hifa dalam ruangan-ruangan, dimana setiap ruangan mempunyai satu atau lebih inti sel (nukleus). Dinding penyekat yang disebut septum tidak tertutup rapat sehingga sitoplasma masih bebas bergerak dari suatu ruangan ke ruangan lainnya.

Gambar 6. (a) Struktur Morfologi Aspergillus secara umum; (b) Hifa bersekat dan tidak bersekat (Benson, 2001).

2.5. Antimikroba

Mikroorganisme dapat menyebabkan rusaknya bahan pangan, infeksi, dan menimbulkan penyakit. Mikroorganisme dapat disingkirkan, dihambat, dan


(45)

28 dibunuh dengan cara fisik maupun kimia. Senyawa antimikroba adalah zat yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba dan dapat digunakan untuk kepentingan pengobatan infeksi pada manusia, hewan, dan tumbuhan. Antimikroba meliputi antibakteri, antifungal, antiprotozoa, dan antivirus (Inayati, 2007).

2.5.2. Jenis-Jenis Antimikroba

Antifungi/antimikroba adalah suatu bahan yang dapat mengganggu pertumbuhan mikroorganisme. Pemakaian bahan antimikroba umumnya dalam suatu usaha untuk mengendalikan bakteri maupun jamur. Pengendalian mikroba yaitu segala kegiatan yang dapat menghambat, membasmi, atau menyingkirkan mikroorganisme. Tujuan utama pengendalian mikroorganisme untuk mencegah pembusukan dan perusakan oleh mikroorganisme, mencegah penyebaran penyakit dan infeksi, dan membasmi mikroorganisme pada inang yang terinfeksi. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu bahan antimikroba, seperti mampu mematikan mikroorganisme, mudah larut dan bersifat stabil, tidak bersifat racun bagi manusia dan hewan, tidak bergabung dengan bahan organik, efektif pada suhu kamar dan suhu tubuh, tidak menimbulkan karat dan warna, berkemampuan menghilangkan bau yang kurang sedap, murah dan mudah didapat (Pelczar & Chan 1988).

Upaya pengendalian penyakit pada buah yang disebabkan oleh jamur selama pasca panen umumnya dilakukan menggunakan fungisida (Pantastico, 1975). Senyawa-senyawa seperti thiabendazole, imazilil, sodium ortho-phenylphenate, benzimidazole (benomyl) adalah komponen-komponen aktif dalam


(46)

29 fungisida sintetis, sedangkan fungisida alami tidak mengandung bahan aktif yang membahayakan.

Gambar 7. Struktur Kimia Benomyl (Mnif et al., 2011)

2.5.3. Mekanisme Kerja Antimikroba

Mekanisme kerja antijamur dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, sebagai pengganggu membran sel, gangguan ini terjadi karena adanya ergosterol dalam sel jamur, ini adalah komponen sterol yang sangat penting dan sangat mudah diserang oleh antibiotik turunan polien. Kompleks polien-ergosterol yang terjadi dapat membentuk suatu pori dan melalui pori tersebut konstituen essensial sel jamur seperti ion K, fosfat anorganik, asam karboksilat, asam amino dan ester fosfat bocor keluar hingga menyebabkan kematian sel jamur. Penghambatan biosintesis ergosterol dalam sel jamur, mekanisme ini merupakan mekanisme yang disebabkan oleh senyawa turunan imidazol karena mampu menimbulkan ketidakteraturan membran sitoplasma jamur dengan cara mengubah permeabilitas membran dan mengubah fungsi membran dalam proses pengangkutan senyawa – senyawa essensial yang dapat menyebabkan ketidakseimbangan metabolik sehingga menghambat pertumbuhan atau menimbulkan kematian sel jamur (Sholichah 2010).


(47)

30 Kedua, melalui hambatan sintesis asam nukleat dan protein jamur, merupakan mekanisme yang disebabkan oleh senyawa turunan pirimidin. Efek antijamur terjadi karena senyawa turunan pirimidin mampu mengalami metabolisme dalam sel jamur menjadi suatu antimetabolit. Metabolik antagonis tersebut kemudian bergabung dengan asam ribonukleat dan kemudian menghambat sintesis asam nukleat dan protein jamur. Penghambatan mitosis jamur, efek antijamur terjadi karena senyawa antibiotik griseofulvin yang mampu mengikat protein mikrotubuli dalam sel, kemudian merusak struktur spindle mitotic dan menghentikan metafasa pembelahan sel jamur (Sholichah, 2010).

Pengujian aktivitas bahan antimikroba secara in vitro dapat dilakukan melalui dua cara. Cara pertama yaitu metode dilusi, cara ini digunakan untuk menentukan kadar hambat minimum dan kadar bunuh minimum dari bahan antimikroba. Prinsip dari metode dilusi menggunakan satu seri tabung reaksi yang diisi medium cair dan sejumlah tertentu sel mikroba yang diuji. Selanjutnya masing-masing tabung diisi dengan bahan antimikroba yang telah diencerkan secara serial, kemudian seri tabung diinkubasi pada suhu 37˚C selama 18-24 jam dan diamati terjadinya kekeruhan konsentrasi terendah bahan antimikroba pada tabung yang ditunjukkan dengan hasil biakan yang mulai tampak jernih (tidak ada pertumbuhan jamur merupakan konsentrasi hambat minimum). Biakan dari semua tabung yang jernih ditumbuhkan pada medium agar padat, diinkubasi selama 24 jam, dan diamati ada tidaknya koloni jamur yang tumbuh (Tortora et al, 2001).

Cara kedua yaitu metode difusi cakram (Uji Kirby-Baner). Prinsip dari metode difusi cakram adalah menempatkan kertas cakram yang sudah


(48)

31 mengandung bahan antimikroba tertentu pada medium lempeng padat yang telah dicampur dengan jamur yang akan diuji. Medium ini kemudian diinkubasi pada suhu 37˚C selama 18-24 jam, selanjutnya diamati adanya zona jernih disekitar kertas cakram. Daerah jernih yang tampak di sekeliling kertas cakram menunjukkan tidak adanya pertumbuhan mikroba. Jamur yang sensitif terhadap bahan antimikroba akan ditandai dengan adanya daerah hambatan disekitar cakram, sedangkan jamur yang resisten terlihat tetap tumbuh pada tepi kertas cakram (Tortora et al, 2001).

Penentuan daya antimikroba didasarkan pada besarnya zona hambat yang terbentuk, dinyatakan dalam tiga kategori (Lorian, 1980), yaitu:

1. Zona hambat total yaitu bila zona hambat yang terbentuk di sekitar silinder terbentuk jernih.

2. Zona hambat parsial yaitu bila di dalam zona hambat yang terbentuk masih terdapat adanya pertumbuhan beberapa koloni jamur.

3. Zona hambat nol yaitu bila tidak ada zona hambat yang terbentuk disekeliling silinder.


(49)

32

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1.Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian yang bertempat di Cimanggu-Bogor. Penelitian dilaksanakan mulai dari bulan Maret 2014 sampai dengan bulan Oktober 2014.

3.2. Alat dan Bahan

3.2.1. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Erlenmeyer, tabung reaksi, rak tabung reaksi, cawan petri, pipet tetes, pipet mikro, gelas ukur, gelas piala, kertas saring, labu ukur, autoklaf, rotary evaporator, sentrifuge, cover glass, Spektrofotometer UV-Vis Cary 60, dan Mikroskop Trinokular LW Scientific.

3.2.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lengkuas merah dari daerah Bogor, buah salak pondoh yang telah busuk, pelarut n-heksana, pelarut etil asetat, akuades, tween 80, larutan benomyl 500 ppm, larutan natrium klorida, media PDA (Potato Dextrosa Agar), reagen Folin Ciocalteu, pelarut metanol 80%, larutan asam galat, dan larutan natrium karbonat 7%.


(50)

33

3.3. Metode Penelitian

3.3.1. Pembuatan Ekstrak

Bahan baku rimpang lengkuas merahyang berumur ± 7 bulan, dicuci dan dibersihkan dari kotoran yang melekat. Setelah itu rimpang lengkuas dikecilkan ukurannya melalui pengirisan, dan kemudian diparut. Selanjutnya, dilakukan pembuatan ekstrak secara maserasi dengan empat jenis pelarut, yaitu air dingin, air panas, pelarut n-heksana dan pelarut etil asetat.

1.3.1.1. Ekstraksi lengkuas dengan air dingin (akuades)

Lengkuas yang sebelumnya telah diparut ditimbang sebanyak 50 g, lalu dimasukkan ke dalam gelas beaker kemudian ditambah 500 ml akuades. Selanjutnya, ditunggu selama 10 menit sambil diaduk rata. Kemudian direndam selama 24 jam, selanjutnya di sentrifuge dan filtrat yang dihasilkan diuapkan pelarutnya menggunakan rotary evaporator selama 45 menit dengan suhu 50°C sampai sisa pelarut habis dan menghasilkan ekstrak kental.

1.3.1.2. Ekstraksi lengkuas dengan air panas

Lengkuas sebelumnya telah diparut, kemudian 500 ml air dipanaskan sampai mendidih dan lengkuas sebanyak 50 g dimasukkan, lalu ditunggu selama 10 menit (± 100°C) sambil diaduk rata. Kemudian direndam selama 24 jam, selanjutnya di sentrifuge dan filtrat yang dihasilkan diuapkan pelarutnya menggunakan rotary evaporator selama 20 menit dengan 50°C sampai sisa pelarut habis dan menghasilkan ekstrak kental.


(51)

34

1.3.1.3. Ekstraksi lengkuas dengan pelarut n-heksana

Pembuatan ekstrak lengkuas dengan menggunakan larutan n-heksana dilakukan secara maserasi basah. Lengkuas ditimbang sebanyak 50 g dan dilarutkan dalam 500 ml larutan n-heksan.Kemudian direndam selama 24 jam, selanjutnya di sentrifuge dan filtrat yang dihasilkan diuapkan pelarutnya menggunakan rotary evaporator pada suhu 55°C sampai 20 menit sisa pelarut habis dan menghasilkan ekstrak kental.

1.3.1.4. Ekstraksi lengkuas dengan pelarut etil asetat

Pembuatan ekstrak lengkuas dengan menggunakan larutan etil asetat dilakukan secara maserasi basah. Lengkuas ditimbang sebanyak 50 g dan dilarutkan dalam 500 ml larutan etil asetat. Kemudian direndam selama 24 jam, selanjutnya di sentrifuge dan filtrat yang dihasilkan diuapkan pelarutnya menggunakan rotary evaporator pada suhu 40°C selama 20 menit sampai sisa pelarut habis dan menghasilkan ekstrak kental.

3.3.2. Analisis Total Fenolik

3.3.2.1. Persiapan Larutan Standar Asam Galat

Pembuatan larutan induk asam galat, ditimbang 50 mg asam galat dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml, ditambahkan akuades sampai 100 ml sehingga diperoleh konsentrasi 500 ppm dari larutan induk dipipet 1; 2.5;5;10;15,20 ml diencerkan dengan akuades sampai volume 50 ml. Sehingga dihasilkan larutan dengan konsentrasi 10, 25, 50, 100, 150, 200 ppm asam galat.


(52)

35

3.3.2.2. Penetapan Kadar Fenol

Ekstrak diambil sebanyak 0,5 ml dan dilarutkan dalam 9,5 ml metanol, kemudian di ultrasonic selama 20 menit. Setelah itu disaring, filtrat diambil 0,5 ml. Kemudian ditambahkan 1 ml reagen Folin Ciocalteu, 10 ml Na2CO3 7% dan ditambahkan akuades sampai dengan 25 ml. Campuran tersebut didiamkan disuhu ruang selama 90 menit lalu dilakukan pengukuran dengan spektrofotometer Uv-Vis pada panjang gelombang 750 nm. Semua sampel dianalisa dua kali (Singleton dan Rossi, 1965).

3.3.3. Uji Aktivitas Antimikroba

3.3.3.1. Penyiapan Isolasi Kapang / Khamir

Kapang diisolasi dari buah salak pondoh yang telah rusak. Tanda-anda kerusakan adalah sampel berbau busuk dan ditumbuhi kapang/khamir. Setelah itu sampel diambil sebanyak 10 g, lalu dimasukkan ke dalam 90 ml larutan pengencer NaCl 0,85% steril. Sebanyak 1 ml cairan dari sampel diambil dan dimasukkan dalam cawan petri steril kemudian dituangkan media PDA dan diinkubasi pada suhu kamar selama dua hari. Koloni kapang/khamir yang tumbuh dari sampel diambil dengan menggunakan ose secara aseptis dan dipindahkan ke cawan yang berisi PDA beku dan dilakukan gores kuadran. Gores kuadran dilakukan sebanyak tiga kali untuk mendapatkan kultur murni. Cara ini dilakukan untuk setiap jenis koloni kapang / khamir yang berbeda.Setelah diperoleh kultur kapang/khamir


(53)

36 murni selanjutnya dibuat agar miring untuk masing-masing kultur dan diberi kode kultur sebagai stok. Kultur stok disegarkan terlebih dahulu setiap kali digunakan.

Isolat kapang dari kultur stok yang telah berumur 7 hari, dipanen sporanya. Sebanyak 10 ml pengencer steril ditambahkan menjadi ± 109. Kemudian dilakukan metode plating. Sebanyak 1 ml suspensi spora dituamgkan ke dalam cawan petri steril . kemudian dituangkan media PDA dan diinkubasi selama 2 hari (Daulay, 1989 dalam Sukasih et al., 2008).

3.3.3.2 Uji Pembentukan Zona Hambat

Pengujian ini dilakukan dengan metode difusi sumur (Berghe dan Vlientinck, 1991; Rios et al., 1988 dalam Hutasoit et al., 2013). Uji ini dilakukan dengan menentukan daya hambat ekstrak dengan melihat terbentuknya zona hambat disekitar sumur ekstrak, meliputi zona hambat total yang ditandai dengan zona hambat bening sempurna, zona hambat parsial yang ditandai dengan zona hambat tidak bening sempurna dan zona hambat yang tidak dapat terukur. Ekstrak diuji dengan metode difusi sumur. Sebanyak 1 ml suspensi semua masing-masing isolat dengan konsentrasi 1x105 konidia/ml dimasukkan ke dalam cawan petri kemudian dituangi media PDA 20 ml yang masih cair. Biakan tersebut digoyang sampai konidia bercampur rata ke seluruh media. Setelah beku dibuat lubang dengan blue tips steril ± 5 mm tepat di bagian tengah petri. Selanjutnya lubang sumur diisi 100 l ekstrak. Biakan diinkubasi pada suhu 35°C, ditaruh dalam suhu kamar 30°C, disimpan dalam suhu AC dan suhu kulkas dengan masing-masing suhu 25°C dan 15°C. Selanjutnya diameter koloni diukur dengan jangka sorong selama 2-3 hari sampai jamur memenuhi petri. Kontrol yang digunakan adalah


(54)

37 PDA, Benomyl 500 ppm, tween 80 + pelarut etil asetat dan tween 80 + pelarut n-heksana.

3.4. Pengamatan Karakter Morfologi Kapang (Listiandiani, 2011).

Identifikasi isolat kapang dilakukan dengan pengamatan karakter morfologi kapang. Hal-hal yang perlu diamati pada pengamatan karakter morfologi secara mikroskopik meliputi ada atau tidak spora, dan bentuk spora seksual dan spora aseksual, jenis dan bentuk hifa kapang dan karakter lainnya. Pengamatan kapang menggunakan mikroskop cahaya atau mikroskop trinokular, yaitu biakan yang telah 7 hari pada agar miring diambil dengan ose secara aseptis. Lalu digoreskan ke media PDA dengan cara gores sinambung. Setelah 3-5 hari, kapang yang tumbuh di dalam media PDA tersebut diamati warna koloni dan warna sebalik koloni.

Kemudian pengamatan secara mikroskopis dilakukan dengan mengambil sedikit biakan kapang dengan menggunakan ose, lalu ditusuk ke dalam kaca obyek cekung yang berisi media PDA, lalu ditutup dengan cover glass. Setelah itu diamati dibawah mikroskop dengan pembesaran 40X.

3.5. Hubungan Antara Jenis Ekstrak dan Daya Hambat

Pada penelitian ini, metode perhitungan jumlah daya hambat terhadap ekstrak dengan berbagai suhu, tidak ditemukan referensi yang terkait dengan metode ini, namun dikarenakan metode ini diperlukan untuk mendukung adanya hubungan senyawa aktif lengkuas merah dengan daya hambat yang dihasilkan dari ekstrak tersebut. Sehingga dibentuk metode pengukuran daya hambat jenis


(55)

38 ekstrak lengkuas pada masing-masing isolat pada berbagai suhu dengan kisaran keefektifan yaitu ekstrak sangat efektif menghambat pertumbuhan kapang/ khamir (+), ekstrak efektif menghambat pertumbuhan kapang/ khamir (++) sampai ekstrak cukup efektif menghambat pertumbuhan kapang/ khamir (+++). Kisaran data ini diperoleh berdasarkan hasil pertumbuhan kapang/ khamir yang dipengaruhi oleh berbagai ekstrak lengkuas dan benomyl 500 ppm. Kemudian dihitung total keseluruhan hasil jumlah daya hambat dari masing-masing isolat.


(56)

39

3.6. Skema Penelitian

Skema penelitian dibuat agar memudahkan dalam melihat dan mengetahui proses penelitian. Dimana skema penelitian tersebut akan diawali dengan pembuatan ekstrak lengkuas yang dilakukan dengan proses maserasi sampai didapatkan ekstrak kental, hingga berbagai macam pengujian.

Gambar 8. Diagram alir penelitian Ekstrak Lengkuas

Air Dingin

Air Panas

n-Heksana

Etil Asetat Rimpang Lengkuas

Dicuci, Diparut

di sentrifuge dan di evaporasi

Uji Aktivitas Antimikroba

Penyiapan Isolasi Kapang / Khamir dari buah salak busuk

Uji Pembentukan Zona Hambat

Pengamatan Karakter Morfologi Kapang

Analisis Total Fenolik

Persiapan Larutan Standar Asam Galat


(57)

40

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Total Fenolik Ekstrak Lengkuas

Analisa total fenolik pada penelitian ini menggunakan ekstrak lengkuas dengan bermacam-macam variasi pelarut. Pelarut ysng digunakan adalah air dingin, air panas, pelarut etil asetat, dan pelarut n-heksana. Ekstrak lengkuas dibuat dengan menggunakan metode maserasi selama 24 jam. Hal ini bertujuan untuk melarutkan komponen flavonon dan dihidroflavonol dikenal sebagai senyawa yang bersifat fungistatik dan fungisida yang terdapat pada lengkuas (Hemzela, 2006). Hal ini dibuktikan dengan dihasilkannya Tabel 4 dibawah ini.

Tabel 4. Kadar total fenolik pada ekstrak lengkuas.

Keterangan: * Srividya et al., (2010)

Hasil pengujian kadar total fenolik menunjukkan bahwa ekstrak air panas lengkuas memiliki kandungan senyawa fenolik paling tinggi yaitu 1110,3 ppm GAE, lalu ekstrak etil asetat lengkuas sebesar 746, 3 ppm GAE, ekstrak air dingin lengkuas sebesar 733,6 ppm GAE dan ekstrak n-heksana lengkuas sebesar 293, 4 ppm GAE. Sedangkan hasil penelitian Srividya et al., (2010) total fenolik dari

Sampel Kadar Total Fenolik (ppm GAE) Ekstrak Air Dingin Lengkuas 733,6 (220 ± 0.87*)

Ekstrak Air Panas Lengkuas 1110,3

Ekstrak Etil Asetat Lengkuas 746, 3 (227 ± 1.03*) Ekstrak N-Heksana Lengkuas 293, 4


(58)

41 ekstrak etil asetat lengkuas adalah 227 ± 1.03 ppm GAE dan ekstrak air dingin lengkuas 220 ± 0.87 ppm GAE. Hal ini membuktikan bahwa penelitian telah dilakukan memiliki total fenolik jauh lebih tinggi daripada dengan hasil penelitian Srividya et al., (2010).

Berdasarkan Tabel 4 diatas menunjukkan bahwa kadar total fenolik tertinggi adalah ekstrak air panas lengkuas dibandingkan dengan ekstrak air dingin lengkuas. Perbedaan pelarut ternyata menghasilkan perbedaan total fenolik dan lama ekstraksi juga mempengaruhi ekstrak yang dihasilkan (Revilla et al., 1998). Hal ini juga terlihat pada ekstrak etil asetat lengkuas yang memiliki kadar total fenolik lebih tinggi dibandingkan ekstrak n-heksana lengkuas.

4.2. Karakter Morfologi Isolat Kapang

Identifikasi konvensional kapang dilakukan dengan pengamatan karakter morfologi. Berdasarkan hasil pengamatan karakter morfologi, terlihat bahwa sembilan isolat tersebut adalah tujuh isolat berbentuk kapang dan dua isolat berbentuk khamir. Sembilan isolat ini memiliki karakteristik yang berbeda-beda dan diidentifikasi sebagai kapang Aspergilus sp. (Isolat S13E, S13F, S13G dan S11D), Penicillium sp. (Isolat S11B), Thielaviopsis sp. (Isolat S8A1), Saccharomyces sp. (Isolat S10B), Rhodotorula sp. (Isolat S11A1) dan Streptomyces sp. (Isolat S11A3). Hasil identifikasi berdasarkan karakter morfologi kapang/khamir sebagai berikut.


(59)

42 4.2.1. Isolat S13E, S13F, S13G, dan S11D.

Pengamatan karakter morfologi dilakukan pada isolat kapang S13E, S13F, S13G dan S11D berumur 7 hari, pada medium PDA yang ditaruh di suhu ruang. Berdasarkan hasil pengamatan karakter morfologi secara mikroskopik dengan pembesaran 40X, isolat kapang S13E, S13F, S13G dan S11D ditemukan struktur kepala konidia, konidiofor, vesikel, dan hifa. Berdasarkan hasil pengamatan karakter morfologi secara makroskopik, koloni kapang S13E berwarna hijau lumut dan S13F terlihat berwarna hijau lumut agak gelap. Berbeda dengankoloni kapang S13G dan S11D, yang mana koloni kapang S13G berwarna putih agak krem, sedangkan koloni kapang S11D berwarna hitam. Hasil yang diperoleh menunjukkan isolat kapang S13E, S13F, S13G, dan S11D diduga termasuk ke dalam genus Aspergillus sesuai dengan deskripsi kapang Aspergillus oleh Barnett dan Barrry (1972). Menurut Koneman dan Roberts (1985), Aspergillus sp. memiliki variasi warna koloni dari kuning, hijau, kebiruan, putih hingga hitam.

Hasil pengamatan karakter morfologi pada isolat S13E dan S13F secara mikroskopis dengan pembesaran 40X dan makroskopis diduga termasuk ke dalam genus Aspergillus sp. sesuai dengan deskripsi kapang Aspergillus sp. (Barnett and Barry, 1972). Hal ini disebabkan karena adanya bentuk struktur kepala konidia semibulat dan konidia yang berbentuk bulat. Selain itu, terbentuk adanya hifa berseptat dan konidiofor tidak berseptat. Berdasarkan gambar diatas, terlihat bahwa warna koloni S13E pada tampak depan berwarna hijau lumut dan tampak belakang berwarna kuning muda. Begitu juga pada warna koloni S13F terlihat


(60)

43 pada tampak depan berwarna hijau lumut agak gelap dan tampak belakang sama seperti S13E yaitu berwarna kuning muda.

Keterangan :

a. Kepala konidia; b. Konidiofor; c. Vesikel; d. Hifa;

e. Konidia; f. Sekat; g. Tampak depan; h. Tampak belakang. a

b c

d

e f

Gambar 9. Hasil pengamatan karakter morfologi secara mikroskopik dari Aspergillus sp. S13E umur 7 hari pada medium PDA di suhu ruang.


(61)

44

Keterangan:

a. Kepala konidia; b. Konidiofor; c. Vesikel; d. Hifa;

e. Konidia; f. Sekat; g. Tampak depan; h. Tampak belakang.

Gambar 10. Hasil pengamatan karakter morfologi secara mikroskopik dari Aspergillus sp. S13F umur 7 hari pada medium PDA di suhu ruang.

Hasil pengamatan karakter morfologi pada isolat S13E dan S13F secara mikroskopis dengan pembesaran 40X dan makroskopis diduga termasuk ke dalam genus Aspergillus sp. sesuai dengan deskripsi kapang Aspergillus sp. (Barnett and Barry, 1972). Hal ini disebabkan karena adanya bentuk struktur kepala konidia semibulat dan konidia yang berbentuk bulat. Selain itu, terbentuk adanya hifa berseptat dan konidiofor tidak berseptat. Berdasarkan gambar diatas, terlihat bahwa warna koloni S13E pada tampak depan berwarna hijau lumut dan tampak belakang berwarna kuning muda. Begitu juga pada warna koloni S13F terlihat pada tampak depan berwarna hijau lumut agak gelap dan tampak belakang sama seperti S13E yaitu berwarna kuning muda.

a b

c

d

e

f


(62)

45

Keterangan:

a. Kepala konidia; b. Konidiofor; c. Vesikel; d. Hifa;

e. Konidia; f. Sekat; g. Tampak depan; h. Tampak belakang. Gambar 11. Hasil pengamatan karakter morfologi secara mikroskopik dari

Aspergillus sp. S13G umur 7 hari pada medium PDA di suhu ruang.

Hasil pengamatan karakter morfologi pada isolat S13G secara mikroskopis dan makroskopis diduga juga termasuk ke dalam genus Aspergillus sp. sesuai dengan deskripsi kapang Aspergillus sp. (Barnet and Barry, 1972). Hal ini disebabkan karena adanya bentuk struktur kepala konidia semibulat dan konidia yang berbentuk bulat. Selain itu, terbentuk adanya hifa berseptat dan konidiofor tidak berseptat. Berdasarkan gambar diatas, terlihat bahwa warna koloni S13G

a b

c

d e

f


(63)

46 pada tampak depan berwarna putih agak kekuningan dan tampak belakang berwarna coklat muda.

Hasil pengamatan karakter morfologi pada isolat S11D secara mikroskopis dan makroskopis diduga juga termasuk ke dalam genus Aspergillus sp. sesuai dengan deskripsi kapang Aspergillus sp. (Barnet and Barry, 1972). Hal ini disebabkan karena adanya bentuk struktur kepala konidia semibulat dan konidia yang berbentuk bulat. Selain itu, terbentuk adanya hifa berseptat dan konidiofor tidak berseptat. Berdasarkan gambar diatas, terlihat bahwa warna koloni S11D pada tampak depan berbentuk bintik-bintik dengan warna hitam dan tampak belakang berwarna putih transparan.

Keterangan:

a. Kepala konidia; b. Konidiofor; c. Vesikel; d. Hifa;

e. Konidia; f. Sekat; g. Tampak depan; h. Tampak belakang. Gambar 12. Hasil pengamatan karakter morfologi secara mikroskopik dari

Aspergillus sp. S11D umur 7 hari pada medium PDA di suhu ruang. a b

c d

e f


(64)

47 4.2.2. Isolat S8A1.

Berdasarkan hasil isolasi kulit buah salak, diperoleh satu jenis kapang yang berbeda dari isolat-isolat lainnya. Salah satu jenis cendawan ini diduga termasuk ke dalam genus Thielaviopsis sp. sesuai dengan deskripsi kapang Thielaviopsis oleh Barnet dan Barry (1972). Pengamatan karakter morfologi dilakukan pada isolat kapang S8A1 berumur 7 hari, pada medium PDA yang ditaruh di suhu ruang. Berdasarkan hasil pengamatan karakter morfologi secara mikroskopik dengan pembesaran 40X isolat kapang S8A1 ditemukan struktur fialid, fialospora, konidiofor, dan hifa. Sedangkan hasil pengamatan karakter morfologi secara makroskopik, koloni kapang S8A1 berwarna hitam berserabut. Kapang ini diidentifikasi berdasarkan morfologi spora, yaitu memiliki ciri-ciri letak konidiofor pada miselium cabang lateral yang pendek, spora berwarna subhialin gelap, spora berbentuk agak oval melonjong, tersusun dalam bentuk massa (kumpulan rantai yang panjang), dan memiliki klamidospora yang berdinding tebal. (Simajuntak, et al. 2008). Selain itu, terbentuk adanya hifa berseptat dan konidiofor tidak berseptat. Berdasarkan gambar dibawah, terlihat bahwa warna koloni S8A1 pada tampak depan berbentuk serabut dengan warna hitam dan tampak belakang berwarna putih transparan. Hal ini terlihat pada gambar dibawah ini.


(65)

48

Keterangan:

a. Konidiofor; b. Fialid; c. Fialospora; d. Klamidospora; e. Hifa; f. Sekat; g. Tampak depan; h. Tampak belakang

Gambar 13. Hasil pengamatan karakter morfologi secara mikroskopik dan makroskopik dari Thielaviopsis sp. S8A1 umur 7 hari pada medium PDA di suhu ruang.

4.2.3. Isolat S11B.

Berdasarkan hasil isolasi kulit buah salak, diperoleh satu jenis kapang yang berbeda dari isolat-isolat lainnya. Salah satu jenis cendawan ini diduga termasuk ke dalam genus Penicillium sp. sesuai dengan deskripsi kapang Penicillium oleh Barnet dan Barry (1972). Pengamatan karakter morfologi dilakukan pada isolat kapang S11B berumur 7 hari, pada medium PDA yang ditaruh di suhu ruang. Berdasarkan hasil pengamatan karakter morfologi secara

a

b c d e

g

h


(66)

49 mikroskopik dengan pembesaran 40X, isolat kapang S11B ditemukan struktur konidia, fialid, konidiofor, dan hifa. Selain itu tidak ditemukannya bentuk seksual sehingga dapat disimpulkan bahwa kapang tersebut dalam fase anamorf. Sedangkan hasil pengamatan karakter morfologi secara makroskopik, koloni kapang S11B berwarna putih berserabut. Kapang ini diidentifikasi berdasarkan morfologi spora, yaitu memiliki ciri-ciri yaitu: (1) Hifa septat, miselium bercabang, biasanya berwarna, (2) Konidiofora septat dan muncul diatas permukaan, berasal dari hifa dibawah permukaan, bercabang atau tidak bercabang, (3) Kepala yang membawa spora berbentuk seperti sapu, dengan sterigmata atau fialida muncul dalam kelompok, (4) Konidia membentuk rantai karena muncul satu per satu dari sterigmata, (5) Konidia waktu masih muda berwarna hijau, kemudian berubah menjasi kebiruan atau kecoklatan. (Waluyo, 2007). Menurut Samson, et al. (2004), karakter morfologi Penicillium yaitu memiliki konidia tersusun seperti rantai yang dihasilkan oleh conidiogenous cell yang disebut fialid. Fialid dihasilkan oleh struktur yang disebut metula. Metula pada Penicillium dapat bercabang atau tidak bercabang. Struktur antara metula dengan konidiofor disebut branch. Tipe- tipe percabangan atau branch pada Penicilliumterdiri dari: simple branch(non-branched or monoverticillate), one-stage branched symmetrical), two-one-stage branched (biverticillate-asymmetrical) atau three to more staged branched. Fialid umumnya berbentuk seperti botol dengan ujungnya agak menyempit. Konidia tersusun seperti rantai yang memanjang, berbentuk bulat atau agak lonjong (Ellis, et al. 2007).


(67)

50 Berdasarkan gambar dibawah, terlihat bahwa warna koloni S11B pada tampak depan berbentuk serabut dengan warna putih dan tampak belakang berwarna coklat muda. Selain itu, tipe percabangan dari Penicillium sp. S11B adalah two-stage branched, memiiki hifa dan konidiofor berseptat. Hal ini terlihat pada gambar dibawah ini.

Keterangan:

a. Konidia; b. Metula; c. Fialid; d. Konidiofor septat; e. Hifa septat; f. Tampak depan; g. Tampak belakang.

Gambar 14. Hasil pengamatan karakter morfologi secara mikroskopik dan makroskopik dari Penicillium sp. S11B umur 7 hari pada medium PDA di suhu ruang.

a b

c d e


(68)

51 4.2.4. Isolat S10B

Berdasarkan hasil isolasi kulit buah salak, bukan hanya kapang saja yang ditemukan tetapi juga diperoleh khamir. Salah satu jenis cendawan ini diduga termasuk ke dalam genus Saccharomyces sp. sesuai dengan deskripsi kapang Saccharomyces oleh Sanger (2004).

Pengamatan karakter morfologi dilakukan pada isolat khamir S10B berumur 7 hari, pada medium PDA yang ditaruh di suhu ruang. Menurut Alwi (2009) genus Saccharomyces memiliki reproduksi aseksual dengan pembelahan (fission). Berdasarkan hasil pengamatan karakter morfologi secara mikroskopik dengan pembesaran 40X, isolat kapang S10B ditemukan bentuk blastospora berbentuk bulat lonjong, silindris, oval atau bulat telur yang dipengaruhi oleh strainnya. Sedangkan hasil pengamatan karakter morfologi secara makroskopik, koloni khamir S10B dilihat dari tampak depan terlihat berwarna putih mengkilat, sedangkan pada tampak belakang berwarna putih transparan. Dapat berkembang biak dengan membelah diri melalui “budding cell”. Reproduksinya dapat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan serta jumlah nutrisi yang tersedia bagi pertumbuhan sel. Hal ini terlihat pada gambar dibawah ini.


(69)

52

Keterangan:

a. Blastospora; b. Tampak depan; c. Tampak belakang.

Gambar 15. Hasil pengamatan karakter morfologi secara mikroskopik dan makroskopik dari Saccharomyces sp. S10B umur 7 hari pada medium PDA di suhu ruang.

4.2.5. Isolat S11A1.

Spesies-spesies khamir selain genus Saccharomyces, ditemukan juga spesies khamir lain yang diduga termasuk dalam Filum Basidiomycota yaitu genus Rhodotorula. Menurut Alwi (2009), genus Rhodotorula memiliki warna koloni orange, merah atau kuning. Bentuk sel bulat, semi bulat atau elips, dan memiliki reproduksi aseksual. Berdasarkan hasil pengamatan karakter morfologi secara mikroskopik dengan pembesaran 40X, isolat kapang S11A1 ditemukan bentuk bulat dengan titik berwarna orange didalamnya. Sedangkan jika dari hasil

a b


(70)

53 makroskopik, terlihat pada tampak depan bahwa koloni berwarna orange mengkilat dan dilihat dari tambak belakang berwarna kuning transparan. Hal ini dapat terlihat dari gambar dibawah ini.

Keterangan:

a. Tampak depan; b. Tampak belakang

Gambar 16. Hasil pengamatan karakter morfologi secara mikroskopik dan makroskopik dari Rhodotorula sp. S11A1 umur 7 hari pada medium PDA di suhu ruang.

4.2.6. Isolat S11A3.

Streptomyces merupakan bakteri yang berbentuk batang bercabang dan termasuk Gram positif (Madigan et al., 2003). Secara mikroskopik dengan pembesaran 40X, isolat S11A3 menurut Madigan et al. (2006) diduga termasuk kedalam bakteri Streptomyces sp. Hal ini terlihat seperti jamur karena memiliki hifa dan konidia, ukuran hifa yang kecil, sebagian besar hifa bercabang,

a


(1)

89 Lampiran 7. Tabel Foto Uji Pembentukan Zona Hambat Saccharomyces sp.

(S10B)

Perlakuan Temperatur (ºC)

15 25 30 35

PDA

S10B

Air Dingin

Air Panas

Etil Asetat

N-Heksana

Benomyl 500 ppm

Tween 80 + Etil Asetat

Tween 80 + N-Heksana


(2)

90 Lampiran 8. Tabel Foto Uji Pembentukan Zona Hambat Rhodotorula sp.

(S11A1)

Perlakuan Temperatur (ºC)

15 25 30 35

PDA

S11A1

Air Dingin

Air Panas

Etil Asetat

N-Heksana

Benomyl 500 ppm

Tween 80 + Etil Asetat

Tween 80 + N-Heksana


(3)

91 Lampiran 9. Tabel Foto Uji Pembentukan Zona Hambat Streptomyces sp.

(S11A3)

Perlakuan Temperatur (ºC)

15 25 30 35

PDA

S11A3

Air Dingin

Air Panas

Etil Asetat

N-Heksana

Benomyl 500 ppm Tween 80 + Etil Asetat Tween 80 + N-Heksana


(4)

92 Lampiran 10. Contoh Perhitungan Total Fenolik

1) Grafik Kalibrasi Asam Galat

Persamaan garis regresi : y = ax + b

2) y = Absorbansi Ekstrak Air Dingin Lengkuas; substitusi ke persamaan garis regresi

0,2210 = 0,003x + 0,001

10 = 733,3, ppm y = 0.0031x + 0.001

R² = 0.9974

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7

0 50 100 150 200 250

A

b

sor

b

an

si

Konsentrasi (ppm)

Asam Galat

Absorbansi


(5)

93 Lampiran 11. Total Fenolik

No Sampel Ulangan Absorbansi Total Fenolik

(ppm)

Total Fenolik

Rata-Rata (ppm )

SD

1 Ekstrak Air Dingin 1 0,2210 733,3 733,6 0,47

2 0,2212 734

2 Ekstrak Air Panas 1 0,3296 1095,3 1110,3 21,21

2 0,3386 1125,3

3 Ekstrak Etil Asetat 1 0,1188 785,3 746,3 55,15

2 0,1071 707,3

4 Ekstrak N-Heksana 1 0,0466 304 293,3 15,08


(6)

94 Lampiran 12. Jumlah Daya Hambat Secara Umum

Sampel Mikroba

I (S13E) II (S13F) III (S13G) IV (S11D) V (S8A1) Ekstrak Air

Dingin

0 0 0 2 2

Ekstrak Air Panas

0 2 0 0 2

Ekstrak Etil Asetat

2 2 2 2 2

Ekstrak N-Heksana

0 2 2 2 2

Benomyl 500 ppm

0 2 0 0 2

Sampel Mikroba VI (S11B) VII (S10B) VIII (S11A1) IX (S11A3)

Ʃ Daya Hambat Ekstrak Air

Dingin

0 0 0 0 4

Ekstrak Air Panas

0 0 0 2 6

Ekstrak Etil Asetat

3 3 3 2 21

Ekstrak N-Heksana

0 3 2 2 15

Benomyl 500 ppm

0 2 2 0 8