Agroforestry dalam perspektif sosiologi

3.2.Agroforestry dalam perspektif sosiologi

  lingkungan

  Dahulu, orang menganggap tanah, udara, air, energi, logam dan kayu tersedia tanpa batas (boundless supply) sehingga akan terus- menerus mampu mendukung kehidupan manusia. Dengan kata lain, manusia adalah pusat dari alam semesta atau terkenal dengan sebutan paham antroposentrisme. Pandangan ini berpikiran bahwa segala kebijakan yang diambil mengenai lingkungan hidup harus dinilai berdasarkan manusia dan pemikirannya.

  Dengan demikian alam hanya dipandang sebagai objek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan

  Antroposentrisme ini bersifat instrumentalis, dengan kata lain pola hubungan manusia dan alam hanya dilihat dalam relasi instrumentalnya saja (Keraf dalam Susilo, 2008). Ini berarti orientasi pada alam tidak diletakkkan sebagai tujuan tindakan sosial manusia, melainkan ia hanya dinilai sebatas alat bagi kepentingan manusia. Kekayaan alam semesta, seperti: binatang, tumbuhan, air, udara ataupun yang terdapat didalam bumi seperti minyak, batubara, dan bahan tambang lainnya hanya dianggap sebagai alat untuk mencapai kesejahteraan manusia. Karena hanya berorientasi pada kepentingan manusia, akibatnya masalah- masalah lingkungan selalu diabaikan.

  menurunnya daya dukung lingkungan ini telah membawa manusia dalam kesadaran bahwa lingkungan pada kenyataannya tidak mampu menyangga kerusakan akibat ulah manusia akhirnya menjadi dasar lahirnya agroforestry. Walaupun telah lama dipraktikkan, konsepsi Agroforestry baru mengemuka pasca kongres Kehutanan Sedunia ke VIII di Jakarta yang mengambil tema

  Forest for People.

  Kartodiharjo (2008) menyebutkan bahwa setelah kongres itu, Food Agricultural Organization (FAO) menetapkan Forestry for Local Community Development menjadi satu kebijakan baru sebgai penegasan orintasi pembangunan bagi rakyat dengan tujuan untuk meningkatkan taraf hidup penduduk pedesaan, mengikutsertakannya dalam proses pengambilan keputusan yang langsung mempengaruhi penghidupannya dan untuk mengubah mereka menjadi warga negara yang dinamik serta mampu memberikan sumbangan yang lebih luas. Negara-negara berkembang kemudian menjabarkan rincian tema tersebut yang disesuaikan dengan kondisi setempat masing-masing,sehingga di kenal berbagai istilah seperti Agroforestry, Social Forestry, Community Forestry, sedangkan khususnya di Indonesia dikenal dengan istilah- istilah PMDH (Pembangunan Masyarakat Desa Hutan), MaLu (Mantri-Lurah), dll.

  Kebijakan tersebut secara tidak langsung telah membawa paradigma baru dalam konteks pengelolaan sumber daya hutan menjadi lebih mempertimbangkan pengelolaan sumber daya alam (natural resources management) serta etika baru dalam hubungan manusia dengan lingkungannya yakni paham ekosentrisme yang Kebijakan tersebut secara tidak langsung telah membawa paradigma baru dalam konteks pengelolaan sumber daya hutan menjadi lebih mempertimbangkan pengelolaan sumber daya alam (natural resources management) serta etika baru dalam hubungan manusia dengan lingkungannya yakni paham ekosentrisme yang

  nyata

  gerakan

  untuk menyelamatkan

  ekologis, baik yang hidup maupun tidak hidup.

  lingkungan ini juga memiliki beberapa

  Paham ini memandang manusia sebagai

  keunggulan baik dari segi ekologi lingkungan,

  bagian dari alam, bukan diatas atau bahkan

  ekonomi, sosial-budaya dan politik (Darusman,

  berlawananan sehingga wajib menjaga

  2002 dalam Ohorella, 2012) yaitu :

  lingkungan agar tetap seimbang. Salah satu

  1) Keunggulan ekologilingkungan agroforestry

  versi teori ekosentrisme yang popular saat ini

  memiliki stabilitas ekologi yang tinggi,

  adalah Deep Ecology. Deep Ecology menuntut

  karena agroforestry memiliki: a) Multi-

  suatu etika baru yang tidak berpusat pada

  jenis, artinya memiliki keanekaragaman

  manusia, tetapi berpusat pada makhluk hidup

  hayati yang lebih banyak atau memiliki

  seluruhnya dalam kaitan dengan upaya

  rantai makananenergi yang lebih lengkap ;

  mengatasi persoalan lingkungan hidup. Deep

  b) Multi-strata tajuk dapat menciptakan

  Ecology memandang hubungan antara alam

  iklim mikro dan konservasi tanah dan air

  dan kehidupan sosial dengan pokok-pokok

  yang lebih baik; c) Kesinambungan

  bahasan sebagai berikut: Pertama, manusia dan

  vegetasi, sehingga tidak pernah terjadi

  kepentingannya bukan lagi ukuran bagi seusatu

  keterbukaan permukaan tanah yang ekstrim,

  yang lain. Ia tidak hanya melihat spesies

  yang merusak keseimbangan ekologinya; d)

  manusia saja, tetapi juga memandang spesies

  Penggunaan bentang lahan secara efisien.

  lain. Demikian pula, Deep Ecology tidak hanya

  2) Keunggulan ekonomi yakni memberi

  memusatkan perhatian pada kepentingan

  kesejahteraan kepada petani relatif lebih

  jangka pendek, tetapi jangka panjang. Maka,

  tinggi dan berkesinambungan, karena

  prinsip moral yang dikembangkan Deep

  agroforestry memiliki: a) Tanaman yang

  Ecology menyangkut kepentingan seluruh

  ditanam lebih beragam, yang biasanya

  komunitas ekologis. Kedua, pandangan tentang

  dipilih jenis-jenis tanaman yang mempunyai

  lingkungan harus bersifat praktis. Artinya,

  nilai komersial dengan potensi pasar yang

  etika ini menuntut suatu pemahaman baru

  besar; b) Kebutuhan investasi yang relatif

  tentang relasi etis dalam alam semesta

  rendah, atau mungkin dapat dilakukan

  (terutama antar manusia dengan makhluk lain)

  secara bertahap.

  3) Keunggulan sosial budaya yaitu keunggulan

  diterjemahkan dalam gerakan lingkungan.

  agroforestry yang berhubungan dengan

  (Susilo,2008). Dengan demikian, Deep

  kesesuaian (adaptibility) yang tinggi dengan

  Ecology menjadi suatu alternatif yang menarik

  kondisi pengetahuan, ketrampilan dan sikap

  untuk melakukan gerakan penyelamatan

  budaya masyarakat petani. Hal ini karena

  lingkungan secara bersama-sama dengan

  agroforestry memiliki: a) Teknologi yang

  mengubah cara berpikir, gaya hidup dan

  fleksibel, dapat dilaksanakan mulai dari

  perilaku individu, masyarakat dan kebijakan

  sangat intensif untuk masyarakat yang

  politik dan ekonomi.

  sudah maju, sampai kurang intensif untuk

  Agroforestry sebagai suatu sistem pengelolaan

  masyarakat yang masih tradisional dan

  lahan dengan berasaskan kelestarian, yang

  subsisten; b) Kebutuhan input, proses

  meningkatkan hasil lahan secara keseluruhan,

  pengelolaan sampai jenis hasil agroforestry

  umumnya sudah sangat dikenal dan biasa

  pertanian (termasuk tanaman pohon-pohonan)

  dipergunakan oleh masyarakat setempat; c)

  dan tanaman hutan danatau hewan secara

  Filosofi budidaya yang efisien, yakni

  bersamaan atau berurutan pada unit lahan yang

  memperoleh hasil yang relatif besar dengan

  sama, dan menerapkan cara-cara pengelolaan

  biaya atau pengorbanan yang relatif kecil.

  yang sesuai dengan kebudayaan penduduk

  4) Keunggulan politis agroforestry dapat

  setempat (King dan Chandler, 1978 dalam

  memenuhi hasrat politik masyarakat luas

  Ohorella, 2012) dapat dikatakan sejalan dengan

  dan kepentingan bangsa secara keseluruhan,

  paham Deep Ecology. Asas kelestarian yang

  yakni: a) Agroforestry dapat dan sangat

  terkandung dalam agroforestry menunjukkan

  cocok dilakukan oleh masyarakat luas,

  pentingnya menjaga keseimbangan antara

  adanya pemerataan kesempatan usaha, serta

  manusia dengan lingkungannya sehingga perlu

  menciptakan struktur supply yang lebih

  dilakukan upaya pengelolaan lingkungan yang

  kompetitif ; b) Dapat meredakan ketegangan

  baik untuk mendukung kehidupan manusia.

  atau konflik politik, yang selama ini terus

  Selain itu, sistem agroforestry sebagai bentuk

  memanas akibat ketimpangan peran antar

  Seminar Nasional Agroforestri III, 29 Mei 2012

  Iskandar, U. 2000. Mencari Pola Pengelolaan

  Kepercayaan yang diberikan masyarakat

  Hutan Tropika (Alternatif Pengelolaan

  akan direspon dengan ‗rasa memiliki‘ dan

  Hutan

  Yang

  Selaras Dengan

  menjaga sumber daya hutanlahan yang

  Desentralisasi dan Otonomi daerah).

  memberi manfaat nyata kepada mereka.

  BIGRAF Publishing. Yogyakarta. P3-26. Salman, D. 2005. Pembangunan Partisipatoris.