BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kemajuan teknologi akhir-akhir ini telah memicu selera masyarakat makin bervariasi, sedangkan dari sisi pedagang terutama yang memiliki modal besar
melakukan perubahan metode atau cara dalam memasarkan produknya. Saat ini kecenderungan yang terjadi adalah menawarkan cara berbelanja yang modern kepada
konsumen, ini terutama dilakukan oleh pedagang ritel kebutuhan rumah tangga umumnya dijual secara ritel. Hal ini dapat dilihat dengan mulai menjamurnya pasar-
pasar modern atau mulai didirikannya pasar modern supermarket, swalayan, hypermarket di banyak kota termasuk kota Solo.
Ritel yang berfokus pada penjualan barang sehari-hari, secara garis besar terbagi dua, yaitu pasar tradisional dan ritel modern. Pengertian pasar tradisional
adalah tempat bertemunya penjual dan pembeli serta ditandai dengan adanya transaksi penjual pembeli secara langsung dan biasanya ada proses tawar-menawar,
bangunan biasanya terdiri dari kios-kios atau gerai dan dasaran terbuka yang dibuka oleh penjual maupun suatu pengelola pasar. Sementara, ritel modern tidak banyak
berbeda dari pasar tradisional, namun pasar jenis ini penjual dan pembeli tidak bertransaksi secara langsung melainkan pembeli melihat label harga yang tercantum
dalam barang barcode, berada dalam bangunan dan pelayanannya dilakukan secara
mandiri swalayan atau dilayani oleh pramuniaga. Barang-barang yang dijual, antara lain bahan makanan seperti buah, sayuran, dan daging. Sebagian besar barang lainnya
yang dijual adalah barang yang dapat bertahan lama. Pasar modern atau lebih dikenal sebagai ritel modern menawarkan berbagai
keperluan masyarakat, sehingga dengan datang ke pasar modern masyarakat sudah dapat membeli hampir seluruh kebutuhannya. Menurut Levy dan Weitz dalam Rosa,
2008. Perdagangan secara ritel retailing adalah usaha atau bisnis yang menambahkan nilai kepada produk dan jasa yang dijual kepada konsumen untuk
kebutuhan sendiri atau keluarga. Penjualan secara ritel juga berarti menjual jasa sehingga sangatlah wajar bila pedagang ritel berlomba-lomba merebut konsumen baik
dari produk sekaligus menawarkan jasa. Meningkatnya pendapatan dan gaya hidup masyarakat dalam berbelanja
memicu keberadaan ritel modern semakin diminati. Sebaliknya, pasar tradisional seolah ditinggalkan oleh masyarakat. Ritel modern semakin terasa keberadaannya
dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Berbagai macam pusat perbelanjaan modern bermunculan dengan bermacam bentuk dan ukuran. Beberapa contoh bentuk pusat
perbelanjaan modern misalnya minimarket, supermarket, dan hipermarket. Dunia bisnis ritel di Indonesia telah berkembang demikian pesat sesuai
dengan perkembangan dinamika perekonomian yang terus mengalami proses modernisasi dalam era globalisasi ini. Begitu luasnya industri ritel ini, sehingga
sektor ritel memberikan kontribusi 75 terhadap total perdagangan nasional. Dari 98,8 juta angkatan kerja, sekitar 17 juta orang 18 bekerja di sektor ritel. Pada
tahun 2002, bisnis ritel tumbuh 16,4 . Menurut Aprindo Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia, tahun 2004 omzet ritel nasional sebesar Rp 400 triliun, bertumbuh 15
dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2005 diperkirakan naik 25 sehingga tahun 2005, omzet ritel nasional diperkirakan mencapai Rp 500 triliun. Nielsen mencatat
perkembangan ritel 2010 meningkat 8 daripada kuartal yang sama tahun 2009 dalam Damanik, 2010. Dari data di atas, dapat dilihat bahwa perkembangan ritel
memang tergolong pesat. Hal ini bisa dipicu oleh perkembangan zaman yang mana gaya hidup masyarakat menuntut efisiensi dan kenyamanan yang dapat mereka
temukan di ritel modern. Tempat yang nyaman, kelengkapan produk, dan kemudahan bertransaksi merupakan beberapa hal yang mempengaruhi pilihan masyarakat untuk
memilih berbelanja di ritel modern. Ritel modern dirasa lebih dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbelanja.
Persaingan yang ketat di bisnis ritel modern, khususnya di Indonesia, juga disebabkan semakin banyaknya bisnis ritel modern dari luar negeri yang memasuki
pasar domestik. Masuknya bisnis ritel modern dari luar negri yang dikelola secara profesional menuntut bisnis ritel modern dari dalam negri untuk dikelola secara
profesional pula agar mampu bersaing dalam melayani konsumen. Persaingan untuk memperebutkan konsumen di bisnis ritel modern pun semakin ketat dengan semakin
banyaknya pusat perbelanjaan domestik yang bermunculan, realitas kompetitifnya adalah pusat-pusat perbelanjaan harus bekerja sekeras mungkin untuk menarik
konsumen dari pusat perbelanjaan lain. Oleh karena itu diperlukan strategi yang jitu untuk memperebutkan konsumen. Strategi yang dapat digunakan agar ritel modern
mampu bersaing di antaranya adalah membangun kualitas pelayanan dan pembentukan kepuasan konsumen yang berkelanjutan.
Di Karesidenan Surakarta sendiri terutama Solo telah banyak berdiri pasar modern ritel yang selalu berlomba untuk mendapatkan konsumen sehingga
menimbulkan persaingan bisnis. Untuk memenangkan persaingan, perusahaan harus mampu memberikan kepuasan kepada para konsumen, misalnya memberikan produk
yang bermutu yang lebih baik, harga lebih murah, penyerahan produk lebih cepat dan pelayanan yang lebih baik daripada para pesaingnya.
Ritel modern sendiri memang menawarkan konsep baru dalam berbelanja. Beragam fasilitas ditawarkan oleh pusat-pusat perbelanjaan modern di Solo. Sebut
saja salah satu pusat perbelanjaan modern yang terkenal di kota Solo, Solo Grand Mall. Dengan konsep one stop shopping yang tersedia di dalamnya, seperti adanya
hipermarket untuk membeli kebutuhan sehari-hari, tempat hiburan keluarga, food court yang menyediakan aneka menu makanan yang bervariasi membuat tempat ini
semakin ramai dikunjungi orang. Pusat perbelanjaan modern ini memang menawarkan pelayanan yang lebih baik dan juga produk yang lebih lengkap.
Pemasar pada umumnya menginginkan bahwa konsumen yang diciptakannya dapat dipertahankan selamanya. Ini bukan tugas yang mudah mengingat perubahan-
perubahan yang dapat terjadi setiap saat, baik perubahan pada diri konsumen seperti selera maupun aspek psikologis serta perubahan kondisi lingkungan yang
mempengaruhi aspek-aspek psikologis, sosial, dan kultural konsumen. Meskipun pemasar sudah memiliki segmen konsumen yang dianggap loyal, dalam kondisi ini
pemasar tetap perlu memberikan perhatian kepada konsumen supaya konsumen tidak berpaling kepada pesaing. Tekanan-tekanan persaingan yang mengarah pada
perubahan loyalitas konsumen juga tidak dapat diabaikan. Loyal tidaknya konsumen berdasarkan ingatan atau pengalaman mereka
retention terhadap pelayanan termasuk produk yang dikonsumsi. Sumarwan dalam Rosa, 2008 mengatakan bahwa loyal tidaknya konsumen dilatarbelakangi oleh
pembelajaran atau pengalaman mereka. Masih menurut Sumarwan, pembelajaran konsumen ini merupakan sesuatu yang berkelanjutan. Konsumen akan menerima
informasi setiap saat dan dimanapun. Karena itu ia akan selalu memperoleh pengetahuan baru dari membaca, melihat, mendengar dan berfikir dari
pengalamannya. Semua proses ini akan mempengaruhi yang diputuskan, apa yang dibeli dan dan apa yang dikonsumsi. Selanjutnya, menurut Lamb dalam Rosa, 2008
penampilan, suasana serta citra toko akan memposisikan toko tersebut di benak konsumen.
Secara umum dapat dikatakan bahwa loyalitas adalah salah satu cara dimana konsumen mengekspresikan kepuasannya atas performa produk atau jasa yang
diterimanya Bloemer dan Kasper, dalam Karsono, 2008. Menurut Rowleys dan dawes dalam Karsono, 2008 loyalitas merupakan sikap attitudes dan perilaku
behaviour, seperti pengulangan berlangganan dan membeli, dan merekomendasikan secara positif, sehingga mempengaruhi konsumen sesungguhnya aktual dan
konsumen potensial. Pendapat ini diperkuat oleh penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Dick dan Basu dalam Karsono, 2008. Yang menyatakan bahwa
loyalitas ditentukan oleh kekuatan dari hubungan antara sikap relatif dan pengulangan berlangganan.
Zeithaml dalam Clottey, dkk, 2008 menyatakan penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa loyalitas konsumen itu meliputi aspek perilaku maupun sikap.
Pendekatan perilaku menyebutkan konsumen dianggap loyal selama mereka terus membeli dan menggunakan produk atau jasa tersebut Woodside, dkk, dalam Clottey,
dkk, 2008. Sementara, Reichheld dalam Clottey, dkk, 2008 menyatakan bahwa bukti terkuat dalam menilai loyalitas konsumen adalah persentase seberapa banyak
konsumen yang cukup antusias untuk mengajak teman atau rekan mereka untuk mengkonsumsi produk atau jasa yang sama. Pendekatan sikap menyebutkan bahwa
konsumen dianggap loyal jika merasakan rasa memiliki atau komitmen pada produk atau jasa tersebut.
Anderson, dkk dalam Akbar Parvez, 2009 menyatakan bahwa telah menemukan hubungan positif antara kepuasan konsumen dan loyalitas konsumen.
Sejumlah penelitian pada sektor pelayanan secara empirik juga telah menghubungkan antara kepuasan dan perilaku-perilaku seperti tetap menggunakan penyedia layanan
yang sama dan bersedia melakukan komunikasi getok tular word of mouth communication. Hart Johnson dalam Akbar Parvez, 2009 telah menambahkan
bahwa salah satu kondisi konsumen yang loyal adalah konsumen yang benar-benar merasa puas.
Penelitian tentang hubungan kualitas pelayanan dan kecenderungan loyalitas konsumen telah diteliti Oleh Boulding, dkk 1993 dan juga oleh Cronin dan Taylor
1992. Dalam penelitian mereka, Cronin dan Taylor memfokuskan pada pembelian berulang, dimana Bourding, dkk 1993 memfokuskan pada elemen pembelian sama
baiknya dengan keinginan untuk merekomendasikan pada orang lain. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Cronin dan Taylor 1992, kualitas pelayanan tidak
menunjukkan hubungan positif dengan niat membeli kembali, dimana Boulding, dkk 1993 menemukan hubungan positif antara kualitas pelayanan dan niat membeli
kembali dan keinginan untuk merekomendasikan yang mana hal tersebut merupakan bentuk loyalitas.
Ritel modern memang menawarkan fasilitas dan pelayanan yang dirasa lebih baik. Seperti telah disebutkan di atas, kemajuan teknologi serta adanya perubahan
dalam diri konsumen baik itu dalam hal selera, aspek psikologis, aspek sosial maupun aspek kultural cenderung membuat banyak orang yang lebih suka berbelanja di ritel
modern dan banyak konsumen yang loyal dengan ritel modern, hal ini dapat dilihat salah satunya dengan kepemilikan kartu anggota. Namun, walaupun perkembangan
ritel modern cukup pesat dari tahun ke tahunnya, namun tidaklah dapat dipungkiri untuk mempertahankan konsumen yang loyal, para pedagang ritel modern tetap harus
konsisten terus menerus memperbaiki pelayanan dan memberikan fasilitas terbaik guna memperoleh kepuasan konsumen mengingat akan ada banyak tekanan-tekanan
persaingan yang tidak dapat diabaikan. Hal ini merupakan fenomena yang cukup
menarik untuk diteliti, bagaimana loyalitas konsumen pada ritel modern itu sendiri. Menyadari praktek di lapangan yang selalu berubah, maka konflik antara penyedia
jasa dan pelanggannya akan tetap muncul. Hal inilah yang melatarbelakangi peneliti ingin meneliti lebih lanjut mengenai loyalitas konsumen pada ritel modern.
B. Perumusan Masalah