Gambaran Penanganan Kasus Trauma Gigi Permanen Oleh Dokter Gigi di Kecamatan Medan Baru, Medan Sunggal, Medan Helvetia, Medan Petisah, Medan Maimun dan Medan Selayang
GAMBARAN PENANGANAN KASUS TRAUMA GIGI PERMANEN
OLEH DOKTER GIGI DI KECAMATAN MEDAN BARU, MEDAN
SUNGGAL, MEDAN HELVETIA, MEDAN PETISAH
MEDAN MAIMUN DAN MEDAN SELAYANG
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi
Oleh: Rudini Ritonga NIM : 080600006
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2014
(2)
Fakultas Kedokteran Gigi
Departemen Kedokteran Gigi Anak Tahun 2014
Rudini Ritonga
Gambaran Penanganan Kasus Trauma Gigi Permanen Oleh Dokter Gigi di Kecamatan Medan Baru, Medan Sunggal, Medan Helvetia, Medan Petisah, Medan Maimun dan Medan Selayang.
xi + 59 halaman
Trauma gigi pada saat ini merupakan masalah yang cukup serius pada kesehatan masyarakat, khususnya pada anak dan remaja. Penelitian melaporkan sebanyak sepertiga dari anak di taman kanak-kanak mengalami trauma pada gigi sulung dan seperempat anak sekolah telah mengalami trauma gigi permanen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui berapa banyak jumlah kasus dan perawatan dari kasus trauma gigi permanen yang dirawat oleh dokter gigi di kecamatan Medan Baru, Medan Sunggal, Medan Helvetia, Medan Petisah, Medan Maimun dan Medan Selayang.
Rancangan penelitian ini adalah survei deskriptif. Jumlah sampel adalah 96 dokter gigi di kecamatan Medan Baru, Medan Sunggal, Medan Helvetia, Medan Petisah, Medan Maimun dan Medan Selayang. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara disertai alat bantu kuesioner.
(3)
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah kasus yang ditemukan oleh dokter gigi secara keseluruhan dalam setahun adalah 685 kasus sebagian besar terjadi pada usia 7-8 tahun sebanyak 27,6% dan tempat kejadian paling sering terjadi adalah sekolah sebanyak 28,6%, dengan jumlah kasus yang paling banyak ditemukan adalah enamel fracture sebanyak 148 kasus (21,61%) yang ditemukan oleh 49 dokter gigi, enamel dentin fracture 129 kasus (18,83%) yang ditemukan oleh 48 dokter gigi. Sebagian besar perawatan yang dilakukan terhadap beberapa kasus trauma gigi oleh dokter gigi tidak sesuai dengan standar perawatan yang ditetapkan oleh International Association of Dental Traumatology (IADT) guidelines.
Disimpulkan bahwa jumlah kasus trauma gigi permanen yang ditemukan oleh 65 dokter gigi di Kota Medan dalam 1 tahun sebanyak 685 kasus. Usia anak-anak yang paling sering terjadi trauma adalah pada usia 7 – 8 tahun sebanyak 27,6% dengan tempat kejadian paling sering adalah sekolah sebanyak 28,6%. Jenis trauma gigi permanen yang paling sering ditemukan adalah trauma enamel fracture sebanyak 49 dokter gigi (18,99%) dan enamel dentin fracture sebanyak 48 dokter gigi (18,60%). Berdasarkan jawaban atas pertanyaan mengenai perawatan yang telah dilakukan oleh dokter gigi terhadap kasus-kasus trauma dapat disimpulkan bahwa sebagian besar dokter gigi melakukan perawatan yang tidak sesuai dengan standar perawatan terhadap beberapa kasus-kasus trauma.
(4)
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan
di hadapan tim penguji skripsi
Medan, 27 Maret 2014
Pembimbing: Tanda Tangan
Ami Angela Harahap, drg., Sp.KGA., M.Sc ……….
(5)
TIM PENGUJI SKRIPSI
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan dihadapan tim penguji skripsi Pada tanggal 27 Maret 2014
TIM PENGUJI
Ketua : Yati Roesnawi, drg
Anggota : 1. Ami Angela Harahap, drg,. Sp. KGA, M.Sc 2. Siti Salmiah, drg,. Sp.KGA
(6)
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi.
Ucapan terima kasih yang tiada henti penulis haturkan kepada Ibunda Nurdiani dan Ayahanda Daud Ritonga tercinta yang telah membesarkan, mendidik, membimbing, mendoakan serta memberikan dukungan moril maupun materil kepada penulis, juga kepada adik tersayang Rini Hardianti, Ayu Kumala dan Muslich Yusuf Al-Adha atas motivasi dan doanya selama ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mendapat bimbingan, dukungan, motivasi serta doa dari berbagai pihak oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Nazruddin, drg., C.Ort., Ph.D., Sp.Ort selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara dan Dosen Pembimbing Akademik.
2. Yati Roesnawi, drg., selaku Ketua Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Anak (IKGA).
3. Ami Angela Harahap, drg., Sp.KGA., M.Sc. selaku dosen pembimbing skripsi penulis yang telah begitu banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
4. Seluruh staf pengajar Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, khususnya seluruh staf pengajar dan tenaga administrasi Departemen IKGA yang telah memberikan bantuan dan bimbingan kepada penulis.
5. Teman-teman sejawat angkatan 2008, khususnya teman-teman seperjuangan menulis Skripsi di Departemen IKGA, Mala, Kiki, Wanda, Vita.
6. Sahabat-sahabat terbaik penulis, Ira, Aqwam, Hilman, Edi, Anugrah, teman-teman kos dan teman-teman Alumni V SMA Negeri Perisai yang tidak dapat
(7)
disebutkan satu persatu. Terima kasih atas kekompakan dan persahabatan yang telah tercipta, semoga persahabatan kita tak lekang termakan waktu.
7. Seluruh dokter gigi di kotamadya Medan khususnya di kecamatan Medan Baru, Medan Sunggal, Medan Helvetia, Medan Petisah, Medan Maimun dan Medan Selayang yang telah berpartisipasi dalam penelitian ini.
8. Keluarga besar K-Mus FKG USU, drg. Andryas, drg. Armia, drg Hubban, Bang Eko, Bang Aizat, Bang Yogi, Bang Fauzan, Bang Yusuf, Mike, Ridwan, Ridho, Riyan, dan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu, atas bantuan, motivasi, dan kekeluargaan selama menjalani perkuliahan di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari bahwa penulis masih dalam proses pembelajaran sehingga skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan untuk kedepannya.
Akhir kata penulis mengharapkan semoga penulisan skripsi ini diridhoi Allah SWT dan dapat memberikan sumbangan ilmu yang berguna bagi fakultas dan masyarakat umumnya.
Medan, 22 Maret 2014 Penulis,
Rudini Ritonga NIM: 080600006
(8)
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ...
HALAMAN PERSETUJUAN SKRIPSI ... HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI ...
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 2
1.3 Tujuan Penelitian ... 3
1.4 Manfaat Penelitian ... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Trauma ... 4
2.1.1 Trauma Gigi ... 4
2.2 Epidemiologi dan Prevalensi ... 4
2.3 Etiologi ... 7
2.3.1 Faktor Lingkungan... 7
2.3.2 Faktor Perilaku ... 8
2.3.3 Faktor Tidak Sengaja ... 9
2.3.4 Faktor Disengaja ... 10
2.4 Klasifikasi Trauma Gigi ... 11
2.4.1 Kerusakan pada Jaringan Keras Gigi ... 11
2.4.2 Kerusakan pada Jaringan Periodontal ... 14
(9)
2.4.3 Kerusakan pada Jaringan Tulang Pendukung ... 17
2.5 Pemeriksaan ... 18
2.5.1 Pemeriksaan Klinis ... 18
2.5.2 Pemeriksaan Riwayat Pasien ... 19
2.5.3 Pemeriksaan Fisik ... 22
2.5.4 Pemeriksaan Radiografi ... 22
2.6 Perawatan ... 23
2.7 Kerangka Teori ... 26
2.8 Kerangka Konsep ... 26
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 27
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 27
3.2.1 Lokasi Penelitian ... 27
3.2.2 Waktu Penelitian ... 27
3.3 Populasi dan Sampel ... 27
3.3.1 Populasi ... 27
3.3.2 Sampel ... 28
3.4 Kriteria Inklusi dan Kriteria Eksklusi ... 29
3.4.1 Kriteria Inklusi ... 29
3.4.2 Kriteria Eksklusi ... 29
3.5 Variabel Penelitian ... 29
3.6 Defenisi Operasional ... 30
3.7 Cara Pengambilan Data ... 31
3.8 Alur Penelitian ... 32
3.9 Pengolahan dan Analisa Data ... 32
3.9.1 Pengolahan Data ... 32
3.9.2 Analisa Data ... 33
3.10 Etika Penelitian ... 33
BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Gambaran Karakteristik Responden Dokter gigi ... 34
4.2 Gambaran Umum Kasus Trauma Gigi Permanen yang Dirawat oleh Dokter Gigi……… ... 35
4.3 Prevalensi Trauma Gigi Permanen ... 37
4.4 Penanganan Trauma Gigi Permanen yang Dilakukan oleh Dokter gigi ... 38
4.4.1 Enamel Infraction ... 39
4.4.2 Enamel Fracture (Uncomplicated Crown Fracture) ... 39 4.4.3 Enamel Dentin Fracture(Uncomplicated
(10)
Crown Fracture) ... 40
4.4.4 Complicated Crown Fracture dengan Akar Belum Tertutup Sempurna... 41
4.4.5 Complicate Crown Fracture dengan Akar Tertutup Sempurna ... 42
4.4.6 Fraktur Alveolar ... 43
4.4.7 Concussion ... 44
4.4.8 Subluxation ... 45
4.4.9 Extrusive Luxation ... 46
4.4.10 Intrusive Luxation ... 46
4.4.11 Avulsi ... 47
BAB 5 PEMBAHASAN ... 49
BAB 6 KESIMPULAN dan SARAN 6.1 Kesimpulan ... 55
6.2 Saran ... 56
DAFTAR PUSTAKA ... 57 LAMPIRAN
(11)
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman 1. Distribusi Sampel Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin pada Sekolah
Dasar di Kota Sulaimani, Irak ... 6
2. Distribusi Trauma Gigi Berdasarkan Jenis Kelamin dan Regio Gigi pada Sekolah Dasar Kota Sulaimani, Irak ... 6
3. Distribusi Trauma Gigi Berdasarkan Jenis dan Regio Gigi di Kota Maduravoyal, Chennai India ... 7
4. Karakteristik Responden Dokter Gigi ... 35
5. Lama Praktik Dokter Gigi ... 35
6. Persentase Dokter Gigi yang Pernah Mendapat Kasus Trauma Gigi Permanen ... 36
7. Persentase Dokter Gigi yang Pernah Melakukan Perawatan Trauma ... 36
8. Persentase Dokter Gigi yang Punya Rekam Medik Khusus Trauma ... 36
9. Distribusi Trauma Gigi Berdasarkan Usia Anak yang Mengalami Trauma ... 37
10.Persentase Tempat Kejadian Trauma ... 37
11.Persentase Distribusi Kasus Trauma Gigi Permanen ... 38
12.Persentase Penanganan Kasus Enamel Infraction... 39
13.Persentase Perawatan Kasus Enamel Infraction ... 39
14.Persentase Penanganan Kasus Enamel Frcture ... 40
15.Persentase Perawatan Kasus Enamel Fracture ... 40
16.Persentase Penanganan Kasus Enamel Dentin Fracture ... 41
17.Persentase Perawatan Kasus Enamel Dentin Fracture ... 41
18.Persentase Penanganan Kasus Complicated Crown Fracture dengan Akar Belum Tertutup Sempurna ... 42
(12)
19.Persentase Perawatan Kasus Complicated Crown Fracture dengan
Akar Belum Tertutup Sempurna ... 42
20.Persentase Penanganan Kasus Complicated Crown Fracture dengan Akar Tertutup Sempurna ... 42
21.Persentase Perawatan Kasus Complicated Crown Fracture dengan Akar Belum Tertutup Sempurna ... 43
22.Persentase Penanganan Kasus Fraktur Alveolar ... 43
23.Persentase Perawatan Kasus Fraktur Alveolar ... 44
24.Persentase Penanganan Kasus Concussion ... 44
25.Persentase Perawatan Kasus Concussion ... 45
26.Persentase Penanganan Kasus Subluxation ... 45
27.Persentase Perawatan Kasus Subluxation ... 45
28.Persentase Penanganan Kasus Extrusive Luxation ... 46
29.Persentase Perawatan Kasus Extrusive Luxation ... 46
30.Persentase Penanganan Kasus Intrusive Luxation ... 47
31.Persentase Perawatan Kasus Intrusive Luxation ... 47
32.Persentase Penanganan Kasus Avulsi ... 47
33.Persentase Perawatan Kasus Avulsi ... 48
34.Persentase Tempat Rujukan ... 48
35.Persentase Materi Trauma yang Diterima Responden Selama Belajar di FKG ... 48
(13)
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Bagan Terjadinya Trauma ... 8
2. Crown Infraction ... 12
3. Uncomplicated Crown Fracture (Enamel Fracture) ... 12
4. Uncomplicated Crown Fracture (Enamel Dentin Fracture) ... 13
5. Complicated Crown Fracture ... 13
6. Uncomplicated Crown-Root Fracture ... 13
7. Complicated Crown-Root Fracture ... 14
8. Root Fracture ... 14
9. Concussion ... 14
10.Subluxation (Loosening) ... 15
11.Intrusive Luxation ... 15
12.Extrusive Luxation ... 16
13.Lateral Luxation... 16
14.Avulsion... 16
15.Kerusakan pada Gingiva dan Mukosa ... 17
16.Kerusakan pada Jaringan Tulang Pendukung ... 18
(14)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1. Surat Persetujuan Komisi Etik
2.
Lembar Penjelasan Kepada Calon Subjek Penelitian 3. Informed Consent4. Kuesioner
(15)
2
Fakultas Kedokteran Gigi
Departemen Kedokteran Gigi Anak Tahun 2014
Rudini Ritonga
Gambaran Penanganan Kasus Trauma Gigi Permanen Oleh Dokter Gigi di Kecamatan Medan Baru, Medan Sunggal, Medan Helvetia, Medan Petisah, Medan Maimun dan Medan Selayang.
xi + 59 halaman
Trauma gigi pada saat ini merupakan masalah yang cukup serius pada kesehatan masyarakat, khususnya pada anak dan remaja. Penelitian melaporkan sebanyak sepertiga dari anak di taman kanak-kanak mengalami trauma pada gigi sulung dan seperempat anak sekolah telah mengalami trauma gigi permanen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui berapa banyak jumlah kasus dan perawatan dari kasus trauma gigi permanen yang dirawat oleh dokter gigi di kecamatan Medan Baru, Medan Sunggal, Medan Helvetia, Medan Petisah, Medan Maimun dan Medan Selayang.
Rancangan penelitian ini adalah survei deskriptif. Jumlah sampel adalah 96 dokter gigi di kecamatan Medan Baru, Medan Sunggal, Medan Helvetia, Medan Petisah, Medan Maimun dan Medan Selayang. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara disertai alat bantu kuesioner.
(16)
pada usia 7-8 tahun sebanyak 27,6% dan tempat kejadian paling sering terjadi adalah sekolah sebanyak 28,6%, dengan jumlah kasus yang paling banyak ditemukan adalah enamel fracture sebanyak 148 kasus (21,61%) yang ditemukan oleh 49 dokter gigi, enamel dentin fracture 129 kasus (18,83%) yang ditemukan oleh 48 dokter gigi. Sebagian besar perawatan yang dilakukan terhadap beberapa kasus trauma gigi oleh dokter gigi tidak sesuai dengan standar perawatan yang ditetapkan oleh International Association of Dental Traumatology (IADT) guidelines.
Disimpulkan bahwa jumlah kasus trauma gigi permanen yang ditemukan oleh 65 dokter gigi di Kota Medan dalam 1 tahun sebanyak 685 kasus. Usia anak-anak yang paling sering terjadi trauma adalah pada usia 7 – 8 tahun sebanyak 27,6% dengan tempat kejadian paling sering adalah sekolah sebanyak 28,6%. Jenis trauma gigi permanen yang paling sering ditemukan adalah trauma enamel fracture sebanyak 49 dokter gigi (18,99%) dan enamel dentin fracture sebanyak 48 dokter gigi (18,60%). Berdasarkan jawaban atas pertanyaan mengenai perawatan yang telah dilakukan oleh dokter gigi terhadap kasus-kasus trauma dapat disimpulkan bahwa sebagian besar dokter gigi melakukan perawatan yang tidak sesuai dengan standar perawatan terhadap beberapa kasus-kasus trauma.
(17)
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Trauma gigi pada saat ini merupakan masalah yang cukup serius pada kesehatan masyarakat, khususnya pada anak dan remaja. Walaupun regio rongga mulut hanya mencakup 1%, namun berdasarkan penelitian di Swedia menunjukkan 5% trauma di rongga mulut terjadi mencakup seluruh usia. Berbagai penelitian juga memperlihatkan tingginya insiden cedera pada rongga mulut dibandingkan dengan cedera lainnya.1,2 Penelitian melaporkan sebanyak sepertiga dari anak di taman kanak-kanak mengalami trauma pada gigi sulung dan seperempat anak sekolah telah mengalami trauma gigi permanen. Namun data epidemiologi dari berbagai penelitian menunjukkan prevalensi dan insidensi yang berbeda disetiap daerah. Hal ini disebabkan karena faktor lingkungan, sosial ekonomi, kebiasaan dan latar belakang budaya yang berbeda serta perbedaan metodologi dan sistem klasifikasi trauma gigi yang digunakan berbeda.2,3
Penyebab utama trauma gigi pada anak adalah jatuh, bermain, saat berolah raga dan kecelakaan. Penyebab lain yang dapat menyebabkan trauma adalah kekerasan pada anak dan penggunaan gigi yang tidak sesuai.1-4 Penelitian Hecova et.al melaporkan bahwa jatuh dan benturanpada saat bermain baik di rumah maupun di sekolah merupakan faktor utama terjadinya trauma gigi pada anak usia 7 - 10 tahun.5
Berbagai klasifikasi trauma gigi banyak dijumpai dan hal ini sangat penting untuk menentukan diagnosis dan rencana perawatan. Klasifikasi trauma gigi dari Andreason yang diadopsi oleh World Health Organization (WHO) merupakan klasifikasi yang direkomendasikan untuk digunakan karena klasifikasi ini dapat digunakan pada gigi sulung dan gigi permanen serta meliputi injuri pada jaringan keras gigi dan pulpa, jaringan periodontal, tulang alveolar serta injuri pada gingiva dan oral mukosa.2
(18)
Berdasarkan konsensus penanganan trauma gigi, pasien yang terkena trauma gigi harus segera datang ke rumah sakit dan dievaluasi oleh dokter gigi.6 Dokter gigi cukup sering menghadapi kasus cedera gigi di praktik mereka. Lebih lanjut diperoleh data bahwa 40% anak datang untuk pertama kali ke dokter gigi karena trauma gigi.7 Penatalaksanaan perawatan trauma gigi harus didasari oleh diagnosa yang tepat dan harus segera dilakukan untuk menghindari komplikasi lebih lanjut. Dokter gigi diharapkan dapat memberikan perawatan yang adekuat dan kompeten untuk melakukan perawatan trauma gigi. Berdasarkan beberapa laporan penelitian pada berapa tahun terakhir mengenai perawatan trauma gigi oleh dokter gigi mendapatkan hasil yang mengecewakan, seperti perawatan trauma gigi yang tidak adekuat. Penelitian yang dilakukan Kostopoulo & Duggal melaporkan pengetahuan perawatan darurat dari trauma gigi antara dokter gigi yang baru lulus dengan dokter gigi yang sudah lama berpraktik tidak adekuat. Hamilton et.alcited in Glendor U, menunjukkan bahwa pengetahuan dokter gigi tentang waktu splinting gigi kasus avulsi dan perawatan abses akut karena trauma tidak akurat.8
Perawatan yang tidak adekuat dan kurangnya pengetahuan dokter gigi dan personal pada unit gawat darurat dapat menimbulkan konsekuensi yang serius pada hasil perawatan dan akan menyebabkan komplikasi lebih lanjut dan akan mempengaruhi kualitas hidup anak dikemudian hari.8,9
Berdasarkan kenyataan tersebut, peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengetahuan dokter gigi terhadap trauma anak di Medan.
1.2 Rumusan Masalah
1) Berapa banyak kasus trauma gigi permanen anak usia 6 – 12 tahun yang datang ke praktik dokter gigi di kecamatan Medan Baru, Medan Sunggal, Medan Helvetia, Medan Petisah, Medan Maimun dan Medan Selayang.
2) Bagaimana perawatan yang dilakukan oleh dokter gigi terhadap kasus trauma gigi permanen pada anak usia 6 – 12 tahun di Medan Baru, Medan Sunggal, Medan Helvetia, Medan Petisah, Medan Maimun dan Medan Selayang.
(19)
1.3 Tujuan Penelitian
1) Untuk mengetahui berapa banyak jumlah kasus trauma gigi yang dirawat oleh dokter gigi di kecamatan Medan Baru, Medan Sunggal, Medan Helvetia, Medan Petisah, Medan Maimun dan Medan Selayang.
2) Untuk mengetahui perawatan kasus trauma gigi permanen yang dilakukan oleh dokter gigi di kecamatan Medan Baru, Medan Sunggal, Medan Helvetia, Medan Petisah, Medan Maimun dan Medan Selayang.
1.4 Manfaat Penelitian
1) Menjadi masukan bagi dokter gigi dan peneliti terhadap pentingnya penanganan kasus trauma gigi permanen pada anak.
2) Memberikan informasi pada peneliti dan institusi pendidikan terhadap berapa banyak kasus trauma gigi permanen dan perawatan yang telah dilakukan oleh dokter gigi di kecamatan Medan Baru, Medan Sunggal, Medan Helvetia, Medan Petisah, Medan Maimun dan Medan Selayang.
3) Memberikan landasan bagi intitusi pendidikan untuk lebih menekankan materi trauma gigi pada mahasiswa dan dokter gigi melalui kegiatan perkuliahan dan seminar.
(20)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Trauma
Trauma berasal dari kata Yunani yang berarti luka. Pengertian luka adalah cedera yang serius pada tubuh, sering timbul dari kekerasan atau kecelakaan, atau kejadian yang menyebabkan kecacatan. Trauma dapat terjadi dimana saja, kapan saja dan memerlukan suatu pengambilan keputusan perawatan dengan segera serta melakukan keterampilan perawatan yang akan mempengaruhi prognosa dari gigi tersebut. The American Trauma Society mendefinisikan trauma sebagai suatu cedera yang disebabkan oleh tekanan fisik. Trauma dapat disebabkan karena kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, tenggelam, tembakan, luka bakar, penusukan atau serangan dari benda tumpul.10,11
2.1.1 Trauma Gigi
Trauma gigi adalah trauma yang terjadi pada mulut dan gigi, termasuk struktur mulut, seperti lidah, bibir dan pipi, merupakan cedera aksidental yang terjadi pada masa bayi, anak, remaja serta dewasa. 12,13
2.2 Epidemiologi dan Prevalensi
Kasus trauma gigi masih terabaikan, walaupun prevalensi kasus ini cukup tinggi, serta dampaknya yang sangat signifikan terhadap individu dan masyarakat. Disamping itu penurunan yang luar biasa dari prevalensi dan keparahan dari karies gigi pada kalangan anak dibeberapa negara maju, tetapi kasus trauma gigi cenderung meningkat. Melihat kecenderungan itu beberapa negara memberikan perhatian khusus pada penanganan kasus trauma gigi.2
Distribusi kejadian pada trauma gigi bervariasi diberbagai periode kehidupan. Distribusi ini bervariasi tergantung pada lokasi, tingkat sosial ekonomi, kebiasaan dan kultur serta tergantung dengan metode dan klasifikasi yang digunakan dalam suatu
(21)
penelitian prevalensi dan insiden. Hal ini berkaitan dengan beragam aktivitas sosial, olah raga dan berbagai aktivitas kebudayan yang menyebabkan terjadinya trauma gigi, bahkan di Australia terdapat perbedaan yang signifikan antar komunitas.6
Trauma gigi yang paling sering terjadi pada gigi sulung antara usia 2-4 tahun serta pada gigi permanen 8-10 tahun.14 Kecelakaan di dalam dan di sekitar rumah serta sekolah adalah penyebab utama dari trauma gigi dengan kondisi injuri yang berbeda-beda seperti fraktur sederhana sampai kehilangan gigi. Berbagai penelitian telah memastikan bahwa prevalensi trauma gigi, lebih tinggi pada pasien yang memiliki nilai overjet insisivus, overbite, open bite yang besar serta pada pasien kelas II divisi 1.15
Baghdadi et.al, melaporkan prevalensi trauma gigi anak di Baghdad pada usia 6-12 tahun sebesar 7,7%. Al-Sayyab melaporkan trauma gigi anterior di daerah pedesaan Irak pada anak usia 2-13 tahun sebesar 15,3% dan Al-Hayadi melaporkan prevalensi trauma gigi pada usia 4-15 tahun sebesar 29,6% di wilayah pusat Irak.15 Insidensi trauma gigi pada usia antara 0-19 tahun di Swedia adalah 13,2% per 1000 orang dalam satu tahun. Sebanyak 14% tercatat sebagai complicated Traumatic Dental Injury (TDI) pada gigi permanen dengan trauma pada pulpa atau ligamen periodontal.8
Kejadian trauma berdasarkan jenis kelamin berbeda disetiap negara, namun secara umum ditemukan bahwa anak laki-laki cenderung dua kali lebih besar dibandingkan anak perempuan.2 Penelitian Noori dan Al-Obaidi melaporkan hal yang berbeda bahwa 50,8% trauma gigi terjadi pada anak laki-laki dan 49,2% tejadi pada anak perempuan pada usia 6-13 tahun.15 Jokic melaporkan dari 447 pasien berusia 6-25 tahun pada periode 2001-2006 terjadi trauma gigi pada anak laki-laki 56,2% dan 43,8% pada anak perempuan. Hal ini disebabkan karena anak laki-laki lebih agresif dalam melakukan aktifitas olahraga dan kebiasaan atau permainan mereka lebih menantang, berbahaya dan berisiko tinggi.14
Berdasarkan gigi geligi yang terlibat dapat diambil kesimpulan secara umum bahwa kebanyakan trauma hanya melibatkan satu gigi permanen dan gigi yang paling sering terkena adalah gigi insisivus sentralis maksila namun terdapat kemungkinan
(22)
trauma mengenai trauma lebih dari satu gigi. Noori dan Al-Obaidi melaporkan bahwa insisivus sentralis maksila merupakan gigi yang paling sering terkena trauma gigi diikuti gigi insisivus sentralis mandibula dan gigi insisivus lateralis maksila. Gigi geligi anterior disebelah kanan pada maksila lebih sering terkena dibandingkan dengan gigi disebelah kiri.15 Ingel et.al, melaporkan bahwa dari 600 anak sekolah pada usia 11-13 tahun di Chenai, insisivus sentralis maksila merupakan gigi yang paling sering fraktur 72,2%, insisivus lateralis maksila 12,7%, insisivus sentralis mandibula 7,6%, kaninus maksila 5,1%, insisivus lateralis mandibula 1,3%, kaninus mandibula 1,3%.16
Hal di atas merupakan hal yang wajar mengingat gigi insisivus sentralis maksila merupakan gigi yang paling protrusif, sehingga gigi tersebut mudah terkena berbagai objek, gigi yang pertama kali terbentur ketika jatuh dan gigi insisivus permanen maksila merupakan gigi yang pertama kali erupsi pada usia 6-7 tahun, dan gigi tersebut telah ada sejak anak mulai bermain atau melakukan aktifitas di sekolah.
Tabel 1. Distribusi sampel berdasarkan usia dan jenis kelamin pada Sekolah Dasar di Kota Sulaimani, Irak15
Tabel 2. Distribusi trauma gigi berdasarkan jenis dan regio gigi pada Sekolah Dasar Kota Sulaimani, Irak15
Kelompok usia Jenis kelamin
Laki-Laki, n (%) Perempuan, n (%) Total, n (%)
6-7 641 (16) 684 (17) 1325 (33)
8-9 630 (15.7) 623 (15.5) 1253 (31.2)
10-11 594 (14.8) 555 (13.8) 1149 (28.6)
12-13 175 (4.4) 113 (2.8) 288 (7.2)
Total 2040 (50.8) 1975 (49.2) 4015 (100)
Posisi
Kanan (%) Kiri (%)
Total (%) Kaninus Insisivus
Lateralis Insisivus Sentralis Insisivus Sentralis Insisivus
Lateralis Kaninus
Maksila 1 (0.3) 3 (0.9) 165 (49.1) 131 (39) 11 (3.3) 3 (0.9) 314 (93.5) Mandibula 1 (0.3) 3 (0.9) 6 (1.8) 11 (3.3) 1 (0.3) 0 (0) 93 (38.3)
Total 179
(53.3) 157 (46.7)
336 (100)
(23)
Tabel 3. Distribusi trauma gigi berdasarkan jenis dan regio gigi di kota Maduravoyal, Chennai India16
2.3 Etiologi
Trauma gigi disebabkan karena adanya benturan yang dapat menimbulkan energi mekanis yang cukup memproduksi suatu injuri. Setiap objek, yang bergerak atau tidak bergerak, bernyawa atau tidak bernyawa dalam pergerakannya memiliki energi yang tergantung pada masa dan kecepatan. Peningkatan pada masa atau kecepatan akan meningkatkan energi, oleh sebab itu sangat relevan untuk mengerti bahwa pergerakan dan keadaan dapat membangkitkan energi mekanis dan bisa menimbulkan trauma. Kekerasan, olahraga dan kecelakaan lalu lintas, dan jatuh merupakan penyebab dari trauma gigi. Penyebab trauma ini mengarahkan bahwa faktor lingkungan dan faktor tingkah laku merupakan penyebab dari trauma gigi.2
2.3.1 Faktor Lingkungan
Penyebab utama trauma gigi dari lingkungan adalah hilang atau berkurangnya lahan bermain. Data di Inggris menunjukkan bahwa prevalensi trauma gigi lebih tinggi pada daerah yang mempunyai lahan bermain sedikit dengan daerah yang memiliki lahan bermain lebih luas, contoh prevalensi trauma gigi di Newham sebesar 43,8% dan 34,4% di Bury dan Salford sedangkan jika dibandingkan dengan prevalensi trauma gigi keseluruhan di Inggris hanya berkisar 17%-15%. Sebagai tambahan, area bermain anak yang terbatas pada daerah yang kurang lahan bermain lebih cenderung terkena trauma dibandingkan dengan anak yang memilki lahan bermain yang cukup.2Daerah padat penduduk merupakan salah satu faktor terjadinya trauma. Hal ini disebabkan karena arena bermain yang mereka miliki kurang aman.
Posisi
Kanan (%)
Kaninus Insisivus
Lateralis
Insisivus Sentralis
Maksila 5,1 12,7 72,2
(24)
Begitu juga dengan fasilitas olahraga, jalan yang sempit, dan daerah perumahan yang tidak nyaman. Lingkungan ini memfasilitasi terjadinya benturan yang dapat menyebabkan trauma.2
Gambar 1. Bagan terjadinya trauma2
2.3.2 Faktor Perilaku
Perilaku juga memilki peran yang sangat penting untuk terjadinya trauma gigi. Anak yang terlalu aktif lebih cenderung mempunyai risiko yang tinggi dibandingkan dengan anak yang tidak aktif. Lallo cited in Glendor melaporkan bahwa anak yang hiperaktif secara signifikan jauh lebih banyak mengalami trauma gigi dari pada anak yang non-hiperaktif.2
Di seluruh dunia, aktivitas fisik, tingkat kekerasan dan kecelakaan lalulintas tercatat sebagian besar sebagai penyebab trauma gigi. Penggunaan gigi dengan tidak sesuai seperti menggigit benda-benda keras dan aktifitas kasar lainnya dapat menyebabkan terjadinya trauma gigi, tetapi dalam tingkat yang kecil.2
FAKTOR MANUSIA FAKTOR
LINGKUNGAN
VEKTOR (ENERGI MEKANIS)
(25)
2.3.3 Faktor Tidak Disengaja a) Jatuh dan Benturan
Jatuh, benturan dan tertimpa oleh suatu benda merupakan penyebab utama dari trauma gigi. Rumah dan lingkungan adalah tempat yang sering terjadinya trauma dan penting untuk mengetahui penyebab jatuh dan benturan yang yang terjadi.2,4,18 Yi Gong melaporkan bahwa 39,6% pasien gawat darurat trauma gigi yang berobat ke rumah sakit gigi dan mulut di kota Beijing disebabkan oleh jatuh.18
b) Aktifitas Olah Raga
Penyebab utama yang terjadi pada kasus trauma gigi di waktu luang pada usia remaja adalah olahraga. Federation Dentaire International (FDI) telah mengkelompokkan olahraga kedalam dua kategori yang berisiko untuk terjadinya trauma gigi: olahraga dengan risiko tertinggi yaitu American football, Hockey, ice hockey, lacrosse, beladiri, rugby, dan skating; dan olahraga dengan risiko yang sedang seperti bola basket, renang, squash, senam, parachutting dan polo air. Olah raga kontak seperti ice hockey, soccer, baseball, American football, baseball, rugby, gulat dan hanball telah dikonfirmasi merupakan olahraga yang dapat menyebabkan trauma.2
c) Kecelakaan Lalulintas
Kecelakaan lalulintas seperti pejalan kaki, sepeda dan mobil dapat menyebabkan trauma gigi. Cedera wajah dan gigi yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor lebih sering terkena pada remaja dan pada kursi penumpang yang di depan lebih rentan terkena cedera. Trauma dalam kelompok ini lebih mendominasi dari berbagai trauma gigi, trauma yang mengenai struktur tulang pendukung, jaringan lunak seperti bibir bawah dan dagu. Penelitian kecelakaan lalulintas di jalan dari Nigeria menunjukkan bahwa penumpang yang duduk di kursi belakang lebih sering terkena trauma pada rahang atas. Pemberlakuan batas kecepatan, pemakaian sabuk pengaman, air bags, dan mobil dengan memiliki bangku khusus untuk anak akan angka trauma. Trauma yang disebabkan oleh sepeda telah dilaporkan. Trauma ini
(26)
biasanya cukup berat dan mengenai jaringan keras dan jaringan lunak, dampak dari vektor kecepatan.2
d) Penggunaan Gigi Tidak Sesuai Fungsi
Ada beberapa penelitian yang memasukkan hal ini ke dalam kategori etiologi dikarenakan masih banyak orang menggunakan gigi ini tidak sesuai fungsinya. Nicolau et al, melaporkan bahwa 6% trauma gigi disebabkan karena penggunaan gigi yang tidak sesuai fungsi. Umumnya penggunaan gigi tidak sesuai fungsi telah banyak dijelaskan diberbagai literatur, seperti menggigit pulpen, membuka penjepit rambut, membuka bungkusan makanan ringan, memotong atau menahan objek dan membuka tutup botol.2
e) Penyakit dan Berkebutuhan Khusus
Penyakit yang menyerang merupakan kasus yang langka sebagai penyebab trauma gigi, umumnya penyakit yang diderita adalah epilepsi, cerebral palsy, anemia dan sakit kepala. Sebuah penelitian dari 437 pasien pada sebuah lembaga melaporkan 52% mengalami trauma gigi. Sepertiga dari kasus kejadian trauma gigi berulang pada sebagian pasien berhubungan langsung dengan pasien yang terkena epilepsi. Pada penelitian lainnya pada pasien epilepsi melaporkan selama setahun pasien yang menderita epilepsi mengalami trauma gigi sebesar 10%.2
2.3.4 Faktor Disengaja a) Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik merupakan penyebab yang sangat tragis dari trauma mulut pada anak. Dilaporkan bahwa kekerasan fisik terjadi sekitar 0,6% anak dan 10% diantaranya merupakan trauma yang melibatkan gigi. Pada tahun 1972 di New York dilaporkan terjadi sekitar 5200 kasus kekerasan pada anak. 20 tahun kemudian di Amerika dilaporkan sekitar 2.694.000 anak mengalami kekerasan fisik oleh orang tua atau wali mereka. Diperkirakan sekitar 4000-6000 anak di Amerika Serikat meninggal akibat penganiayaan. Sekitar 75% anak yang mengalami kekerasan fisik
(27)
yang sebagian besar yang mengunjungi rumah sakit terkena cedera kepala, wajah, mulut atau leher. Hasil pemeriksaan yang didapat sangat fatal, seperti adanya perdarahan intrakranial. Dokter gigi telah melihat 16-29% kasus kekerasan, tetapi hanya 6-14% yang dokter gigi yang melaporkan kasus tersebut.2
b) Tindakan Iatrogenik Kedokteran Gigi
Insiden yang terjadi dari kasus perianesthetic trauma gigi bervariasi dari 0,04% hingga 12% dan anestesi dianggap merupakan kasus yang paling sering diklaim di Inggris dan sepertiga yang diklaim dari semua kasus yang ada. Sebuah penelitian retrospektif yang dilakukan di Prancis melaporkan bahwa terjadi 9,5 kasus dari 100 kali anestesi dalam satu tahun. Sedangkan penelitian yang lain melaporkan kasus yang terjadi pertahunnya sekitar 1:150 hingga 1:1000 kasus. Umumnya gigi yang terkena adalah insisivus maksila merupakan yang sering terkena, khususnya gigi 21. Skeie dan Schwartz melaporkan spektrum gigi yang trauma akibat perianesthetic yang terjadi adalah 47%, disposisi atau mobility 41% dan gigi yang avulsi 10%. Givol et al melaporkan bahwa 72% pasien yang berusia antara 50-70% umumnya mengalami trauma pada insisivus maksila (87%) dan insisivus mandibula (12,5%). Sebagian besar faktor risiko trauma yang terjadi karena dentin yang tipis.2
2.4 Klasifikasi Trauma Gigi
Terdapat beberapa klasifikasi trauma gigi, diantaranya adalah klasifikasi Andreasen, WHO, Garcia-Godoy, serta klasifikasi Ellis Davey.18 Klasifikasi yang dipakai dalam penelitian ini adalah klasifikasi Andreasen yang diadopsi oleh WHO, yang membagi klasifikasi berdasarkan trauma yang mengenai jaringan keras gigi dan pulpa, kerusakan pada jaringan periodontal, kerusakan jaringan tulang pendukung, serta kerusakan pada gingiva dan mukosa mulut.1
2.4.1 Kerusakan pada Jaringan Keras Gigi
1) Crown infraction adalah fraktur pada mahkota yang hanya mengalami keretakan saja, tanpa adanya kehilangan dari struktur lain dari gigi. Garis infraksi
(28)
terlihat jelas, terutama dengan transiluminasi, biasa terlihat garis yang jelas pada mahkota gigi dan gambar radiografi.19-23
1 2 3 4 5
Gambar 2. Crown Infraction: (1) Tampak depan (2) Tampak oklusal (3) Tampak depan animasi (4) Tampak lateral animasi (5) Gambar radiografi.22
2) Uncomplicated crown fracture (enamel fracture) adalah fraktur yang hanya mengenai daerah lapisan enamel saja.19-23
1 2 3 4 5
Gambar 3. Uncomplicated crown fracture (enamel farcture) (1) Tampak depan (2) Tampak oklusal (3) Tampak depan animasi (4) Tampak lateral animasi (5) Gambar radiografi.22
3) Uncomplicated crown fracture (enamel-dentin fracture) adalah fraktur yang mengenai enamel dan dentin tetapi tidak mengenai pulpa dan disertai dengan adanya kehilangan pada bagian dari gigi baik pada enamel atau dentin, maupun kehilangan dari keduanya.19-23
(29)
1 2 3 4 5
Gambar 4. Uncomplicated crown fracture (enamel-dentin fracture) (1) Tampak depan (2) Tampak oklusal (3) Tampak depan animasi (4) Tampak lateral animasi (5) Gambar radiografi.22
4) Complicated crown fracture adalah fraktur pada enamel dan dentin serta telah mengenai pulpa dan ada ditemukannya kehilangan struktur gigi dengan pulpa terpapar.19-23
1 2 3 4 5
Gambar 5. Complicated crown fracture (1) Tampak depan (2) Tampak oklusal (3) Tampak depan animasi (4) Tampak lateral animasi (5) Gambar radiografi.22
5) Uncomplicated crown-root fracture adalah fraktur yang mengenai atau yang melibatkan enamel, dentin, sementum tanpa adanya mengenai pulpa disertai dengan adanya kehilangan dari struktur gigi tanpa disertai dengan terlihatnya pulpa. Fraktur meluas hingga daerah gingiva cekat.19-23
1 2 3 4 5
Gambar 6. Uncomplicated crown-root fracture (1) Tampak depan (2) Tampak oklusal (3) Tampak depan animasi (4) Tampak lateral animasi (5) Gambar radiografi.22
(30)
6) Complicated crown-root fracture adalah fraktur yang mengenai enamel, dentin, sementum, hingga mencapai pulpa.19-23
1 2 3 4 5
Gambar 7. Complicated crown-root fracture (1) Tampak depan (2) Tampak oklusal (3) Tampak depan animasi (4) Tampak lateral animasi (5) Gambar radiografi.22
7) Root fracture adalah fraktur yang mengenai enamel, dentin, sementum dan pulpa.19-23
1 2 3 4 5
Gambar 8. Root fracture (1) Tampak depan (2) Tampak oklusal (3) Tampak depan animasi (4) Tampak lateral animasi (5) Gambar radiografi.22
2.4.2 Kerusakan pada Jaringan Periodontal
1) Concussion adalah cedera pada gigi atau struktur di sekitar gigi tanpa adanya mobilitas dan perpindahan gigi, tetapi memiliki rasa sakit ketika diperkusi.19-23
(31)
Gambar 9. Concussion (1) Tampak depan (2) Tampak oklusal (3) Tampak depan animasi (4) Tampak lateral animasi (5) Gambar radiografi.22
2) Subluxation (loosening) adalah cedera pada periodonsium tanpa adanya disposisi pada gigi tetapi disertai dengan sedikit mobiliti.19-23
1 2 3 4 5
Gambar 10. Subluxation (loosening) (1) Tampak depan (2) Tampak oklusal (3) Tampak depan animasi (4) Tampak lateral animasi (5) Gambar radiografi.22
3) Intrusive luxation adalah perpindahan bagian apikal gigi ke dalam tulang alveolar. Gigi terdorong ke dalam soket, menekan ligamen periodontal dan akibat dari fraktur tersebut hancurnya soket alveolar. Di bawah ini adalah gambar dari intrusive luxation. Cedera ini merupakan cedera yang paling serius diantara yang disposisi apikal lainnya.19-23
Gambar 11. Intrusive luxation (1) Tampak depan (2) Tampak oklusal (3) Tampak depan animasi (4) Tampak lateral animasi (5) Gambar radiografi.22
4) Extrusive luxation adalah fraktur yang menyebabkan terjadinya disposisi pada gigi secara aksial dari soketnya dan terjadinya avulsi secara parsial. Biasanya pada daerah ligamen periodontal pecah.19-23
(32)
1 2 3 4 5
Gambar 12. Extrusive luxation (1) Tampak depan (2) Tampak oklusal (3) Tampak depan animasi (4) Tampak lateral animasi (5) Gambar radiografi
5) Lateral luxation adalah disposisi pada gigi selain dari arah aksial. Ligamen periodontal robek dan memar dan patahnya tulang pendukung dari tulang alveolar. 19-23
1 2 3 4 5
Gambar 13. Lateral luxation (1) Tampak depan (2) Tampak oklusal (3) Tampak depan animasi (4) Tampak lateral animasi (5) Gambar radiografi.22
6) Exarticulation (complete luksasi/avulsion) adalah kondisi dimana keadaan gigi keluar dari soketnya. Secara klinis soket ditemukan kosong atau diisi dengan koagulum.19-23
1 2 3 4 5
Gambar 14. Avulsion (1) Tampak depan, (2) Tampak oklusal, (3) Tampak depan animasi, (4) Tampak lateral animasi, (5) Gambar radiografi.22
(33)
2.4.3 Kerusakan pada Gingiva dan Mukosa Mulut
1) Laserasi adalah luka pada jaringan lunak yang disebabkan oleh benda tajam seperti pisau atau pecahan luka. Luka terbuka tersebut seperti robeknya jaringan epitel dan jaringan subepitel.2
2) Kontusio adalah luka memar disebabkan oleh pukulan benda tumpul dan meyebabkan terjadi perdarahan pada daerah submukosa tanpa disertai robek daerah submukosa. 2
3) Abrasi adalah luka pada daerah superfisial yang disebabkan karena adanya gesekan atau goresan pada suatu benda, sehingga terdapat permukaan yang berdarah atau lecet. 2
1 2 3
Gambar 15. Kerusakan pada gingiva dan mukosa (1) Laserasi, (2) Kontusi, (3) Abrasi.2
2.4.4 Kerusakan pada Jaringan Tulang Pendukung
1) Comminution of the maxillary and mandibular alveolar socket adalah kerusakan dan kompresi yang terjadi pada soket alveolar. Hal ini dapat dilihat pada kasus intrusi dan luksasi lateral.2
2) Fraktur soket alveolar maksila dan mandibula adalah fraktur tulang alveolar pada maksila dan mandibula yang melibatkan dinding soket labial atau lingual, dibatasi oleh bagian fasial atau lingual dari dinding soket. 2
3) Fraktur prosesus alveolaris maksila dan mandibula adalah fraktur yang mengenai prosesus alveolaris pada maksila dan mandibula dengan atau tanpa melibatkan soket alveolar gigi. 2
(34)
4) Fraktur korpus maksila dan mandibula adalah fraktur pada korpus maksila dan mandibula yang melibatkan prosesus alveolaris dengan atau tanpa melibatkan soket alveolar gigi. 2
1 2 3 4 5 6
Gambar 16. Kerusakan pada jaringan tulang pendukung (1) Comminution of alveolar socket, (2)
Fractures of facial or lingual alveolar socket wall, (3) dan (4) fraktur proses alveolaris
dengan atau tanpa melibatkan soket gigi, (5) dan (6) fraktur korpus maksila atau mandibula dengan atau tanpa melibatkan soket gigi.2
2.5 Pemeriksaan
Trauma gigi merupakan keadaan yang harus ditangani dengan baik untuk mengembalikan fungsi gigi yang terkena trauma. Prognosis yang baik pada trauma gigi tidak hanya bergantung pada jenis trauma tetapi juga pada terapi yang tepat. 23 Terapi yang benar tergantung pada diagnosa yang tepat. Diagnosa yang tepat dapat diperoleh dengan berbagai pemeriksaan yang kompleks, seperti pemeriksaan klinis, riwayat trauma pasien dan radiologi gigi. Informasi yang diperoleh dari berbagai seluruh pemeriksaan akan membantu dokter gigi dalam menentukan diagnosa trauma dan menentukan prioritas perawatan yang dilakukan.24
2.5.1 Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan klinis yang memadai tergantung pada pemeriksaan dari seluruh daerah yang terkena trauma dan penggunaan pemeriksaan khusus trauma. Prosedur diagnostik dapat disimpulkan seperti berikut :24
1. Pencatatan luka ekstra oral dan pengambilan anamnese 2. Pencatatan cedera pada mukosa dan gusi
(35)
3. Pemeriksaan pada mahkota gigi untuk melihat adanya dan besarnya keretakan, pemaparan pulpa serta perubahan warna.
4. Pencatatan perpindahan gigi (seperti, intrusi, ekstrusi, perpindahan lateral atau avulsi)
5. Gangguan pada oklusi
6. Mobiliti yang abnormal pada gigi atau adanya fragmen pada tulang alveolar 7. Melakukan palpasi untuk mengetahui keadaan tulang alveolar
8. Melakukan perkusi untuk mengetahui keterlibatan jaringan pendukung gigi 9. Melakukan tes termal untuk mengetahui vitalitas gigi.
2.5.2 Pemeriksaan Riwayat Pasien
Informasi yang dibutuhkan seperti kapan, dimana, dan bagaimana trauma gigi terjadi dapat diperoleh dari pasien atau pendamping pasien. Waktu kapan terjadinya trauma gigi sangat penting diketahui karena informasi ini akan mempengaruhi jenis perawatan yang akan dilakukan serta prognosis dari kasus trauma tersebut. Tentukan bagian rongga mulut yang terlibat dan perluasan trauma gigi. Jika pasien atau pendamping melaporkan adanya fragmen gigi yang hilang, dapat ditanyakan apakah ada fragmen gigi atau gigi avulsi tersebut juga dibawa ke klinik.25
Perlu ditanyakan beberapa tanda-tanda adanya trauma pada kepala. Trauma pada kepala merupakan hal yang paling umum mengakibatkan kematian. 25%-50% dari seluruh kecelakaan pada anak sampai usia 14 tahun meliputi cedera pada kepala. Tanda-tanda cedera pada kepala yang harus dipertanyakan meliputi: hilang kesadaran sewaktu terjadinya trauma, perdarahan pada kepala atau telinga, adanya disorientasi, sakit kepala yang berkepanjangan, kehilangan penglihatan atau pupil yang dilatasi, kejang, kesulitan berbicara. Semua informasi yang diperoleh dari pencatatan ini dimasukkan kedalam rekam medik khusus trauma seperti di bawah ini.25
(36)
REKAM MEDIK PADA TRAUMA GIGI AKUT
Nama Pasien : ………
Tanggal Lahir : ………
Tanggal pemeriksaan : ………
Waktu pemeriksaan : ………
Yang Merujuk : ………
Diagnosa : ………
Apakah ada rasa nyeri pada gigi terhadap udara dingin ? Ya Tidak Jika ya, gigi yang mana ? ………
Apakah ada rasa sakit pada saat oklusi ? Ya Tidak
Pemeriksaan riwayat umum: apakah terdapat penyakit sistemik Ya Tidak Jika Ya, jelaskan………...
Apakah ada alergi ? Ya Tidak
Jika Ya, jelaskan………
Pernahkah anda melakukan suntik anti tetanus ? Ya Tidak Jika ya, kapan ?………..
Apakah sebelumnya saudara pernah mengalami trauma gigi ? Ya Tidak Jika ya,
Kapan ?……….. Gigi mana yang terkena trauma ?
Perawatan yang diberikan dan siapa tenaga medisnya ? ……….
Trauma pada saat ini : ……….
Tanggal : ……….. Waktu : ……….
Lokasi kejadian : ………..
Proses kejadian : ………..
Apakah kamu pernah sakit kepala atau merasakan sakit pada saat ini ? Ya Tidak Apakah kamu pernah mual atau merasakan mual pada saat ini ? Ya Tidak Apakah kamu pernah muntah atau muntah pada saat ini ? Ya Tidak Apakah kamu pingsan pada saat kecelakaan ?
Jika ya, berapa lama ?
Ya Tidak
Dapatkah kamu mengingat apa yang terjadi, sebelum, pada saat atau
setelah kecelakaan ? Ya Tidak
(37)
Jika ya, gigi yang mana ? ………
Apakah pernah melakukan perawatan pada di tempat yang lain ? Ya Tidak
Setelah avulsi, berikut informasi yang dibutuhkan :
Di mana gigi di temukan (tanah, aspal, lantai, dan lain-lain) ? ………... Apakah gigi kotor ? Ya / Tidak
Bagaimana anda menyimpan gigi tersebut ? ………... Bagaimana anda membersihkan gigi tersebut sebelum dipasangkan kembali ? ………. Kapan gigi tersebeut di pasangkan kembali ? ……….. Apakah diberikan antitoxoid tetanus ? ……… Apakah diberikan antibiotik ? ……….. Jenis antibiotik ? ……….. Dosis ? ……….
Pemeriksaan objektif – yang ditemukan pada pemeriksaan ekstraoral
Apakah kondisi umum pasien terganggu ? Ya Tidak
Jika Ya : Nadi
Tekanan darah Reflex pupil Kondisi serebral
Temuan objektif pada bagian luar kepala dan leher ? Ya Tidak Jika Ya, jenis dan lokasinya ? ……… Temuan objektif pada bagian dalam kepala dan leher ? Ya Tidak Jika Ya, jenis dan lokasinya ?
Gambar 17. Rekam medik khusus trauma2
2.5.3 Pemeriksan Fisik
Pemeriksaan ini penting dilakukan untuk memeriksa keseluruhan tubuh. Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan ekstra oral dan intra oral yaitu pemeriksaan
(38)
luka pada ekstra oral dan palpasi pada tulang wajah, luka pada mukosa dan gingiva, palpasi pada tulang alveolar, disposisi gigi, oklusi yang abnormal, keadaan gigi yang terkena trauma, mobiliti dan vitalitas dari gigi.25 Pembersihan pada luka atau debris harus dilakukan secara hati-hati. Tes vitalitas dilakukan dengan menggunakan es, thermal test, heated gutta-percha, ethyl chlorida. Penilaian pada beberapa syaraf kranial yang termasuk pada trauma wajah yaitu: persarafan olfaktorius, optikus, trigeminal, okulomotorius, facialis, hypoglous dan lainnya.24
2.5.4 Pemeriksaan Radiografi
Setiap gigi yang terkena trauma harus dilakukan pemeriksaan radiografi. Pemeriksaan ini memiliki dua tujuan yaitu melihat pembentukan dan perkembangan akar gigi serta melihat seberapa dekat trauma tersebut mengenai gigi dan jaringan periodontal. Pemeriksaan radiografi dibutuhkan untuk melihat perkembangan akar gigi fraktur akar, mengetahui subluksasi dan luksasi ektrusi dan intrusi gigi serta fraktur tulang alveolar. Pengambilan radiografi dari sudut yang berbeda terkadang dibutuhkan juga untuk pemeriksaaan yang akurat dan tergantung pada jenis fraktur dan dislokasi gigi dan fraktur akar.23-25
Metode yang ideal adalah penggunaan tiga gambaran radiografi periapikal dengan angulasi yang berbeda dan satu foto oklusal. Foto panoramik diindikasikan pada kasus fraktur rahang atau adanya masalah pada TMJ. Khusus pada kasus LeFort 1,2,3 disarankan menggunakan conventional computed tomograph (CT) scanning. Sekarang teknik Micro CT scanning telah diperkenalkan yang mempunyai resolusi yang optimal serta tingkat radiasi yang lebih rendah. Mendiagnosa secara tiga dimensi, dan sangat Micro CT scanning dapat digunakan. penting dan sangat dianjurkan.23-25
2.6 Perawatan
Perawatan yang dilakukan pada kasus trauma adalah perawatan yang sesuai guidelines dari Andreasen. Perawatan dibagi menjadi 2 kategori, yaitu perawatan
(39)
pada gigi sulung dan perawatan pada gigi permanen. Perawatan pada gigi permanen meliputi perawatan pada kerusakan pada jaringan keras gigi dan pulpa serta struktur jaringan pendukung.23,25
Perawatan pada kasus enamel infraction, dilakukan perawatan dengan menggunakan resin komposit untuk mencegah terjadinya perubahan warna, jika tidak ada tidak perlu perawatan. Tujuan perawatannya untuk menjaga integritas dari struktur enamel dan vitalitas pulpa. Progonosis kasus ini tidak dijumpai adanya komplikasi.18, 20-22
Perawatan yang dilakukan pada kasus complicated crown fracture adalah untuk menjaga vitalitas pulpa dan mengembalikan estetika dan fungsi normal dari gigi.9 Jenis perawatan yang dapat dilakukan adalah direct pulp capping dan pulpotomi parsial.18, 20-22
Perawatan pada kasus uncomplicated crown fracture (enamel fracture) adalah jika masih terdapatnya fragmen gigi, maka fragmen tersebut dilekatkan kembali pada gigi tersebut. Lakukan penghalusan atau merestorasi kembali dengan resin komposit tergantung pada lokasi dan luasnya fraktur.18, 20-22
Perawatan pada kasus uncomplicated crown fracture (enamel-dentin fracture) adalah untuk mempertahankan vitalitas pulpa dan mengembalikan estetika serta mengembalikan fungsi secara normal. Jika bibir, lidah dan gingival terluka, harus dilakukan pemeriksaan pada fragmen gigi. Ketika menemukan laserasi pada pada jaringan lunak, maka perlu dilakukan pemeriksaan radiografi.9 Jika fragmen gigi masih ada, maka dapat dilekatkan kembali pada gigi yang fraktur tersebut dan pengkonturan atau merestorasi dengan resin komposit dapat dilakukan tergantung pada luas dan lokasi dari fraktur.18, 20-22
Pada kasus concussion tidak memerlukan perawatan yang spesifik tetapi hanya melakukan perawatan pada proses penyembuhan pada ligamen periodontal dan menjaga vitalitas pulpa serta memantau kondisi pulpa selama satu tahun.18, 20-22
Perawatan pada kasus subluxation (loosening) tergantung pada derajat kegoyangannya, jika terdapat kegoyangan gigi hanya derajat satu maka tidak membutuhkan perawatan yang khusus, tetapi bila kegoyangan gigi lebih dari satu
(40)
dereajat maka untuk mendapatkan kenyamanan pada gigi pasien, dilakukan perawatan selama dua minggu dengan menggunakan splinting yang fleksibel.18, 20-22
Perawatan pada kasus intrusive luxation dapat dilakukan perawatan mereposisi gigi secara pasif (mengembalikan posisi gigi pada posisi sebelum kejadian), pengembalian posisi secara aktif (reposisi dengan menggunakan daya tarik), atau pembedahan dan kemudian menstabilkan posisi gigi dengan menggunakan splinting selama 4 minggu pada posisi anatomi fisiologisnya untuk mengoptimalkan proses penyembuhan pada ligamen periodontal dan suplai neurovascular serta tetap menjaga integritas fungsi gigi dan pada gigi permanen yang berpotensi erupsi kembali hanya dilakukan observasi intrusi lebih dari 3 mm, dengan tujuan agar terjadi erupsi secara spontan. Pada gigi permanen tujuannya adalah mereposisikan gigi dengan perawatan ortodontik dan diawali dengan perawatan endodontik dalam tiga minggu setelah trauma.18, 20-22
Perawatan extrusive luxation yaitu melakukan reposisi pada gigi yang terlibat secepat mungkin kemudian menstabilkan gigi pada posisi anatomi yang benar untuk mengoptimalkan proses penyembuhan pada daerah ligamen periodontal dan suplai neurovascular untuk menjaga integritas estetik dan fungsional. Reposisi tersebut dilakukan dengan cara memberikan tekanan pada daerah apikal dengan pelan namun pasti secara bertahap dengan menghilangkan gumpalan darah yang terbentuk di antara apeks akar dan dasar soket. Splin dilakukan selama dua minggu.18, 20-22
Perawatan yang dilakukan pada kasus lateral luxation adalah melakukan reposisi sesegera mungkin dan menstabilkan gigi pada posisi fisiologis anatominya agar proses penyembuhan pada ligamen dapat dilakukan secara optimal dan menjaga suplai neurovascular integritas estetik dan fungsional. Reposisi dilakukan dengan menggunakan tekanan digital ringan. Gigi yang yang mengalami disposisi mungkin perlu dilakukan ekstruksi untuk membebaskan gigi dari kunci apikal pada pelat tulang kortikal. Splinting dilakukan selama dua sampai empat minggu kemudian dilakukan perawatan saluran akar sesuai dengan kondisi pertumbuhan dan perkembangan akar gigi yang terkena trauma.18, 20-22
(41)
Perawatan yang diberikan pada pasien dengan kasus exarticulation (completed luksasi/avulsion) pada gigi permanen sebaiknya gigi yang avulsi segera dimasukkan kembali kedalam soket dan gigi tersebut diposisikan pada lokasi anatomi yang benar agar penyembuhan pada ligamen periodontal dapat optimal, kemudian dilakukan perawatan saluran akar sesuai kondisi pertumbuhan dan perkembangan akar gigi yang terkena trauma.18, 20-22
Fraktur tulang pendukung sering melibatkan tulang alveolar gigi yang trauma atau pada tulang alveolar gigi tetangga. Fraktur ini sering menyebabkan gangguan oklusal. Perawatan yang dilakukan adalah mereposisi segmen tulang alveolar dan dilakukan splin pada gigi tetangga yang terdekat selama 2-4 minggu. Informasikan kepada orang tua, agar anak melaksanakan program diet lunak selama 10-14 hari dan menyikat gigi dengan bulu sikat yang lembut setelah selesai makan. Pengontrolan dilakukan setelah 1 minggu, setelah 3-4 minggu dilakukan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan radiografi disertai dengan pembukaan splinting. Pemeriksaan klinis dan radiografi dilakukan kembali setelah 6-8 minggu, kemudian tetap dilakukan control berkala.18, 20-22
(42)
2.7Kerangka Teori
2.8 Kerangka Konsep
Trauma Gigi Permanen Berdasarkan Klasifikasi Andreason yang di Adopsi oleh WHO
Perawatan Trauma Gigi Permanen oleh Dokter Gigi
Perawatan Emerjensi
Klasifikasi Andreasen-WHO
Trauma Gigi
Gigi Permanen
Gigi Sulung
Faktor Predisposisi
Faktor Etiologi
Anak Pencegahan
Perawatan Lanjutan Kerusakan pada
Jaringan Keras Gigi Kerusakan pada Jaringan Periodontal
Kerusakan pada Jaringan Tulang
Kerusakan pada Gingiva di Mukosa
(43)
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian survei deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Pendekatan cross sectional dimaksud yaitu subjek penelitian hanya diobservasi satu kali saja yaitu pada saat survei lapangan.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada praktik dokter gigi di Kecamatan Medan Baru, Medan Sunggal, Medan Helvetia, Medan Petisah, Medan Maimun dan Medan Selayang.
3.2.2 Waktu Penelitian
Proposal dilakukan awal Januari 2014. Waktu penelitian dimulai pada minggu kedua Januari sampai minggu kedua Februari 2014. Pengolahan dan analisa data dilakukan satu minggu, mulai minggu ketiga Februari 2014 sampai minggu keempat Februari 2014. Penyusunan laporan penelitian pertama Maret 2014 sampai minggu ketiga Maret 2014.
3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi
Populasi penelitian adalah semua dokter gigi yang berada di Kotamadya Medan.
(44)
3.3.2 Sampel
Sampel dari penelitian ini adalah praktik yang ada di kotamadya Medan. Secara administrasi kota Medan terdiri atas 21 kecamatan yang digolongkan lagi menjadi 2 golongan yaitu lingkar luar dan lingkar dalam. Lingkar luar terdiri atas 11 kecamatan yaitu: kecamatan Medan Tuntungan, Selayang, Sunggal, Johor, Denai, Perjuangan, Amplas, Tembung, Marelan, Labuhan dan Belawan. Lingkar dalam terdiri atas 10 kecamatan yaitu: kecamatan Medan Baru, Petisah, Barat, Helvetia, Polonia, Medan Area, Medan Kota, Maimun, Medan Timur dan Medan Deli. Penentuan kecamatan dengan metode purposive sampling (sampel dengan kondisi tertentu). Penetuan besar sampel berdasarkan penaksiran proporsi populasi dengan ketelitian absolute (absolute precision).
Penggunaan rumus dibawah ini dilakukan karena penelitian ini menggunakan skala pengukuran kategorikal yaitu skala nominal. Skala nominal tidak mempunyai makna besaran, tetapi hanya sekedar pemberian label.
N = Z 21-α/2.P(1-P)/ d2
= 1,962. 0, 5 . (1-0, 5)/(0,1)2 = 96,04
Dengan ketentuan : N : jumlah sampel
Zα : nilai kepercayaan 0,95%= 1,96 P : proporsi populasi 50%= 0,5 d : presisi (0,1)
(45)
3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.4.1 Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi adalah karakteristik umum yang harus dipenuhi oleh subjek sehingga dapat diikutsertakan ke dalam penelitian. Dalam penelitian ini, kriteria inklusi:
a. Dokter gigi yang praktik kecamatan Medan Baru, Medan Sunggal, Medan Helvetia, Medan Petisah, Medan Maimun dan Medan Selayang.
b. Keadaan umum dokter gigi baik.
c. Dokter gigi yang bersedia mengisi kuesioner.
3.4.2 Kriteria Eksklusi
Kriteria ekslusi adalah hal-hal yang menyebabkan subjek penelitian yang telah memenuhi kriteria inklusi tidak dapat diikutsertakan dalam penelitian. Kriteria eksklusinya adalah:
a. Dokter gigi yang menolak ikut serta peneltian
b. Dokter gigi yang tidak berada di tempat saat dilakukan penelitian.
3.5Variabel Penelitian Variabel Independen :
- Perawatan trauma gigi yang dilakukan oleh dokter gigi selama 1 tahun (01 Januari 2012 – 31 Desember 2012)
Variabel Dependen :
- Data trauma gigi permanen pada anak selama 1 tahun (01 Januari 2012 – 31 Desember 2012) yang berusia 6 – 16 tahun.
(46)
3.6 Defenisi Operasional
Variabel Defenisi Oprasional Cara Ukur Alat Ukur
Dokter Gigi
Dokter gigi yang melakukan praktik di Kecamatan Medan Baru, Medan Sunggal, Medan Helvetia, Medan Petisah, Medan Maimun dan Medan Selayang.
Wawancara Kuesioner
Pendidikan Terkahir
Ijazah pendidikan terakhir yang diterima oleh
dokter gigi Wawancara Kuesioner
Lokasi Praktik
Tempat dokter gigi melakukan praktik, baik
praktik bersama maupun praktik pribadi. Wawancara Kuesioner Jenis
Kelamin
Pertanda gender seseorang, yaitu laki-laki atau
perempuan Wawancara Kuesioner
Lama Praktik
Lamanya dokter gigi melakukan praktik hingga
pengisian kuesioner ini dilakukan Wawancara Kuesioner Daerah
Praktik Tempat dimana dokter gigi tersebut praktik Wawancara Kuesioner
Usia
Usia responden dihitung berdasarkan tanggal, bulan, dan tahun kelahiran subjek penelitian pada saat diteliti
Wawancara Kuesioner
Lokasi
Kejadian Tempat dimana pasien mengalami trauma gigi Wawancara Kuesioner Trauma Gigi Permanen Menurut WHO yang di Adopsi dari Andreasen
1. Kerusakan pada jaringan keras gigi dan pulpa
- Enamel infraction yaitu fraktur pada mahkota yang hanya mengalami keretakan saja, tanpa adanya kehilangan dari struktur lain dari gigi. - Uncomplicated crown fracture (enamel
fracture) adalah fraktur yang hanya mengenai daerah lapisan enamel saja.
- Complicate crown fracture adalah fraktur pada enamel dan dentin dan telah mengenai pulpa dan ada ditemukannya kehilangan struktur gigi dengan pulpa terpapar.
(47)
2. Kerusakan pada jaringan periodontal
- Concussion adalah cedera pada gigi atau struktur di sekitar gigi tanpa adanya mobilitas dan perpindahan gigi, tetapi memiliki rasa sakit ketika diperkusi
- Subluxation (loosening) adalah cedera pada periodonsium tanpa adanya disposisi pada gigi tetapi disertai dengan sedikit mobiliti. - Intrusive luxation adalah perpindahan bagian
apikal gigi ke dalam tulang alveolar. Gigi terdorong ke dalam soket, menekan ligamen periodontal dan akibat dari fracture tersebut hancurnya soket alveolar.
- Extrsusive luxation adalah fracture yang menyebabkan terjadinya disposisi pada gigi secara aksial dari soketnya dan terjadinya avulsi secara parsial.
- Lateral luxation adalah disposisi pada gigi selain dari arah aksial. Ligamen periodontal robek dan memar dan patahnya tulang pendukung dari tulang alveolar.
- Exarticulation (complete luksasi/avulsion) adalah kondisi dimana keadaan gigi keluar dari soketnya. Secara klinis soket ditemukan kosong atau diisi dengan koagulum.
3.7 Cara Pengambilan Data
Pengambilan data dilakukan dengan pengisian kuesioner yang dilakukan oleh dokter gigi di tempat praktik. Peneliti menjelaskan terlebih dahulu maksud dan tujuan dilakukannya penelitian ini. Bila dokter gigi bersedia untuk ikut serta pada penelitian ini, maka kuesioner dapat diberikan. Pengisian kuesioner dapat diisi langsung oleh dokter gigi bila ada waktu, dan jika tidak maka kuesioner akan tinggalkan dan akan diambil kembali pada waktu yang telah disepakati bersama. Pembagian kuesioner
(48)
dilakukan terlebih dahulu pada satu kecamatan Medan Helvetia dengan membagi tiga hingga lima kuesioner perhari pada waktu hari kerja di daerah tersebut sampai selesai kemudian penyebaran kuesioner dibagikan pada kecamatan Medan Sunggal, Medan Baru dan Medan Petisah. Berhubung karena dokter gigi di keempat kecamatan diatas tidak memenuhi jumlah sampel maka dipilih lagi dua kecamatan lain yaitu kecamatan Medan Maimun dan kecamatan Medan Selayang.
3.8 Alur Penelitian
3.9 Pengolahan dan Analisa Data 3.9.1 Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan secara komputerisasi. Pengolahan data secara komputerisasi melalui proses:
a) Editing ( Penyuntingan Data)
Hasil wawancara, angket, atau pengamatan dari lapangan harus dilakukan penyutingan (editing) terlebih dahulu. Editing adalah merupakan kegiatan untuk pengecekan dan perbaikan isian formulir atau kuesioner tersebut.
b) Membuat Lembaran Kode (Coding Sheet)
Coding dilakukan untuk mengubah data yang telah terkumpul ke dalam bentuk yang lebih ringkas dengan menggunakan kode.
c) Memasukkan Data (Data Entry)
Mengisi kolom-kolom atau kotak-kotak lembar kode sesuai dengan jawaban masing-masing pertanyaan.
Pengolahan dan analisa data Pengisisan
kuesioner oleh responden Izin Ethical
(49)
d) Penyimpanan data (saving)
Merupakan penyimpanan data sebelum data diolah dan di analisa. e) Tabulasi
Membuat tabel-tabel data sesuai dengan tujuan penelitian. f) Cleaning
Merupakan kegiatan pengetikan kembali data yang sudah di entry untuk mengetahui ada kesalahan atau tidak.
3.9.2 Analisa Data
Data diolah secara deskriptif yaitu data univariat dan dihitung dalam bentuk persentase. Data tersebut disajikan dalam bentuk tabel.
3.10 Etika Penelitian
Etika penelitian dalam penelitian ini mencakup hal sebagai berikut: 1. Lembar Persetujuan (Informed Consent)
Penelitian meminta secara sukarela responden penelitian untuk berpartisipasi dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Responden yang setuju, dimohon untuk menandatangani lembar persetujuan responden penelitian untuk berpartisipasi dalam kegiatan penelitian.
2. Kerahasiaan ( Confidentialty)
Data yang terkumpul dalam penelitian ini dijamin kerahasiannya oleh peneliti, karena itu data yang ditampilkan dalam bentuk data kelompok bukan data pribadi masing-masing responden.
3. Ethical Clearance
Peneliti mengajukan lembar persetujuan pelaksanaan penelitian kepada Komisi Etik Penelitian kesehatan berdasarkan ketentuan yang bersifat internasional maupun.
(50)
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1 Gambaran Karakteristik Responden Dokter Gigi
Karakteristik dokter gigi yang menjadi responden meliputi jenis kelamin, pendidikan terakhir dokter gigi, tahun tamat, jenis praktik, dan lama praktik serta rerata jumlah kasus yang ditemukan dalam satu tahun. Responden tersebut berasal dari 6 kecamatan yaitu Medan Baru 27 dokter gigi (28,12%), Medan Sunggal 18 dokter gigi (18,75%), Medan Helvetia 20 dokter gigi (20,83%), Medan Petisah 16 dokter gigi (16,67%), Medan Maimun 8 dokter gigi (8,34%) dan Medan Selayang 7 dokter gigi (7,29%) dengan jumlah responden 96 dokter gigi (Tabel 4).
Berdasarkan jenis kelamin diperoleh persentase dokter gigi 40 laki-laki (42%) dan 56 perempuan (58%). Berdasarkan strata pendidikan, persentase dokter gigi umum 90 dokter gigi (94%) dan dokter gigi spesialis sebanyak 6 dokter gigi (6%). Berdasarkan tahun tamat dokter gigi, persentase tamat dibawah tahun 2000 sebanyak 17 dokter gigi (17,7%) dan tamat diatas tahun 2000 sebanyak 79 dokter gigi (82,3%). Berdasarkan jenis praktik diperoleh praktik dokter gigi umum sebanyak 91 dokter gigi (95%) dan praktik dokter gigi spesialis sebanyak 5 dokter gigi (5%) (Tabel 4). Berdasarkan lamanya praktik, persentase dibawah 5 tahun sebanyak 34 dokter gigi (35,41%), 5-10 tahun sebanyak 34 dokter gigi (35,41%), 10-20 tahun sebanyak 17 dokter gigi (17,71%) dan 30-40 tahun sebanyak 11 dokter gigi (11,47%) (Tabel 5).
(51)
Tabel 4. Karateristik Responden Dokter Gigi
Karakteristik n (%)
Distribusi Praktik Dokter Gigi Medan Baru Medan Sunggal Medan Helvetia MedanPetisah Medan Maimun Medan Selayang 27 (28,12) 18 (18,75) 20 (20,83) 16 (16,67) 8 (8,34) 7 (7,29) Jenis kelamin Laki-laki Perempuan 40 (42) 56 (58) Strata Pendidikan
Dokter gigi Umum Dokter gigi spesialis
90 (94) 6 (6) Tahun Tamat <2000 >2000 17 (17,7) 79 (82,3) Jenis Praktik
Praktik dokter gigi umum Praktik dokter gigi spesialis
91 (95) 5 (5)
Tabel 5. Lama Praktik Dokter Gigi
Lama Praktik Dokter Gigi n (%)
• < 5 tahun
• 5-10 tahun
• 10-20 tahun
• 20-30 tahun
34 (35.41) 34 (35.41) 17 (17.71) 11 (11.47)
Jumlah 96 (100)
4.2 Gambaran Umum Kasus Trauma Gigi Permanen yang Dirawat oleh Dokter Gigi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 96 dokter gigi, hanya 65 dokter gigi (67,7%) yang pernah menemukan kasus trauma gigi permanen dan 31 dokter gigi (32,3%) tidak pernah menemukan kasus trauma gigi permanen selama praktik (Tabel 6). Jumlah kasus yang dirawat oleh 65 dokter gigi sebanyak 685 kasus dalam 1 tahun dari Januari hingga Desember 2012 (Tabel 6). Berdasarkan dari 65 dokter gigi (100%) yang pernah menemukan kasus trauma gigi permanen, 47 dokter gigi
(52)
(72,31%) melakukan perawatan, 14 dokter gigi (21,54%) kadang-kadang melakukan perawatan dan 4 dokter gigi (6,15%) tidak melakukan perawatan (Tabel 7). Pencatatan kasus trauma gigi hanya 13 dokter gigi (20%) yang mempunyai rekam medik khusus trauma di praktik dan 52 dokter gigi (80%) tidak ada yang mempunyai rekam medik khusus trauma (Tabel 8).
Kasus trauma gigi permanen yang paling sering ditemukan dokter gigi adalah pada anak usia 7-8 tahun yaitu sebanyak 18 dokter gigi (27,7%), dan usia 9-10 tahun sebanyak 14 dokter gigi (21,53%), 6-7 tahun dijawab oleh 13 dokter gigi (20%), 8-9 tahun sebanyak 8 dokter gigi (12,3%), 10-11 tahun 7 dokter gigi (10,77%) dan 11-12 tahun 5 dokter gigi (7,7%) (Tabel 9).
Tabel 6. Persentase Dokter Gigi yang Pernah Mendapat Kasus Trauma Gigi Permanen
Dokter yang Pernah Mendapat Kasus Trauma Gigi
Permanen n (%)
Jumlah Kasus
•Ya
•Tidak
65 (67,7)
31 (32,3) 685
Jumlah 96 (100)
Tabel 7. Persentase Dokter Gigi yang Pernah Melakukan Perawatan Trauma Dokter Gigi yang Pernah Melakukan Perawatan Trauma n (%)
•Ya
•Kadang-kadang
•Tidak
47 (72,31) 14 (21,54) 4 (6,15)
Jumlah 65 (100)
Tabel 8. Persentase Dokter Gigi yang Punya Rekam Medik Khusus Trauma Dokter yang Punya Rekam Medik Khusus Trauma n (%)
•Ya
•Tidak
13 (20) 52 (80)
(53)
Tabel 9. Distribusi Trauma Gigi Berdasarkan Usia Anak yang Mengalami Trauma Usia Rerata Pasien yang Sering Terkena Trauma n (%)
• 6-7 tahun
• 7-8 tahun
• 8-9 tahun
• 9-10 tahun
• 10-11 tahun
• 11-12 tahun
13 (20) 18 (27,7) 8 (12,3) 14 (21,53) 7 (10,77) 5 (7,7)
Jumlah 65 (100)
Tempat kejadian trauma gigi permanen yang paling sering ditemukan oleh dokter gigi adalah di sekolah yaitu sebanyak 23 dokter gigi (35,39%), diikuti jalan raya dan rumah yaitu masing-masing sebanyak 15 dokter gigi (23,07%), yang menemukan arena bermain yaitu sebanyak 12 dokter gigi (18,47%) (Tabel 10).
Tabel 10. Persentase Tempat Kejadian Trauma
Tempat Paling Sering Terjadinya Trauma n (%)
• Rumah
• Sekolah
• Jalan Raya
• Arena Bermain
• Lain-lain 15 (23,07) 23 (35,39) 15 (23,07) 12 (18,47) 0 (0)
Jumlah 65 (100)
4.3 Prevalensi Trauma Gigi Permanen
Pada penelitian ini, kasus trauma yang paling banyak ditemukan selama satu tahun oleh dokter gigi adalah enamel fracture dan enamel-dentin fracture masing-masing sebanyak 148 kasus (21,61%) oleh 49 dokter gigi dan 129 kasus (18,83%) oleh 48 dokter gigi, kasus enamel infraction ditemukan oleh 33 dokter gigi sebanyak 103 kasus (15%), complicated crown fractured dengan akar tertutup sempurna ditemukan oleh 16 dokter gigi sebanyak 54 kasus (7,9%), complicated crown fractured dengan akar belum tertutup sempurna ditemukan oleh 14 dokter gigi sebanyak 45 kasus (6,57%), concussion ditemukan oleh 17 dokter gigi sebanyak 38
(54)
kasus (5,55%), kasus subluxation ditemukan oleh 18 dokter gigi sebanyak 18 dokter gigi sebanyak 35 kasus (5,11%), kasus extrusive luxation ditemukan oleh 17 dokter gigi sebanyak 54 kasus (7,89%) dan intrusive luxation ditemukan 17 dokter gigi sebanyak 32 kasus (4,67%) sebanyak. Kasus trauma yang paling jarang ditemukan ada dua kasus yaitu fracture alveolar sebanyak 18 kasus (2,63%) oleh 12 dokter gigi dan avulsi 29 kasus (4,24%) oleh 17 dokter gigi (Tabel 11).
Tabel 11. Persentase Distribusi Kasus Trauma Gigi Permanen
No Jenis Trauma
Jumlah Dokter Gigi
yang Menemukan
Kasus
Jumlah Kasus
n (%)
1 Enamel Infraction 33 103 (15)
2 Enamel Fracture 49 148 (21,61)
3 Enamel Dentin Fracture 48 129 (18,83)
4 Complicate Crown Fracture dengan Akar
Belum Tertutup Sempurna 16 54 (7,9)
5 Complicate Crown Fracture dengan Akar
Tertutup Sempurna 14 45 (6,57)
6 Fracture Alveolar 12 18 (2,63)
7 Concussion 17 38 (5,55)
8 Subluxation 18 35 (5,11)
9 ExtrusiveLuxation/Partial Displacement 17 54 (7,89)
10 Intrusive Luxation 17 32 (4,67)
11 Avulsi 17 29 (4,24)
Jumlah 685 (100)
4.4 Penanganan dan Perawatan Trauma Gigi permanen yang Dilakukan oleh Dokter Gigi
Perawatan trauma gigi permanen yang dapat dilakukan oleh dokter gigi terdiri atas dibiarkan/observasi, dihaluskan mahkota gigi yang tajam, penambalan dengan bahan sementara dan bahan tetap, restorasi, perawatan pulpa, ekstraksi, mereposisi dan splinting serta pembuatan gigi tiruan.
(55)
4.4.1 Enamel Infraction
Dokter gigi yang pernah menemui kasus enamel infraction dari 65 dokter gigi sebanyak 33 dokter gigi (50,8%) dan 32 dokter gigi (49,2%) tidak pernah menemukan kasus ini (Tabel 12). Perawatan yang paling banyak dilakukan dokter gigi untuk kasus enamel infraction melakukan observasi sebanyak 15 dokter gigi (45,46%), penambalan dengan bahan tetap sebanyak 10 dokter gigi (30,3%), dan pengahalusan mahkota gigi yang tajam sebanyak 8 dokter gigi (24,24%).
Tabel 12. Persentase Penanganan Kasus Enamel Infraction
Kasus Enamel Infraction n (%) Jumlah
Kasus
•Ada
•Tidak Ada
33 (50,8) 32 (49,2)
103
Jumlah 65 (100)
Tabel 13. Persentase Perawatan Enamel Infraction
Perawatan yang Dilakukan pada Kasus Enamel Infraksi n (%)
•Dibiarkan/Observasi
•Dihaluskan Mahkota Gigi yang Tajam
•Ditambal dengan Bahan Tambalan Sementara
•Ditambal dengan Bahan Tambalan Tetap
•Perawatan lain
•Dirujuk ke Sp.KGA
15 (45,46) 8 (24,24)
0 (0) 10 (30,3)
0 (0) 0 (0)
Jumlah 33(100)
4.4.2 Enamel Fracture
Kasus fraktur enamel dijumpai oleh 49 dokter gigi (75,85%) dari 65 dokter gigi yang pernah mendapatkan kasus trauma gigi permanen sedangkan 16 dokter gigi (24,61%) tidak pernah menjumpai kasus ini (Tabel 14). Secara keseluruhan, perawatan yang paling banyak dilakukan dokter gigi adalah penambalan dengan bahan tambalan tetap sebanyak 26 dokter gigi (53,06%), penghalusan mahkota gigi yang tajam sebanyak 16 dokter gigi (32,65%), 4 dokter gigi (8,17%) hanya melakukan observasi, 2 dokter gigi (4,08%), penambalan dengan bahan tambalan
(56)
sementara dan dokter gigi yang melakukan perawatan lain masing-masing sebanyak 1 dokter gigi (2,04%) (Tabel 15).
Table 14. Persentase Penanganan Kasus Enamel Fracture
Kasus Enamel Frcature n (%) Jumlah
kasus
•Ada
•Tidak Ada
49 (73,85) 16 (24,61)
148
Jumlah 65 (100)
Tabel 15. Persentase Perawatan Kasus Enamel Fracture
Perawatan yang Dilakukan pada Kasus Enamel Fracture n (%)
• Dibiarkan/observasi
• Dihaluskan Mahkota Gigi yang Tajam
• Ditambal dengan Bahan Tambalan Sementara
• Ditambal dengan Bahan Tambalan Tetap
• Perawatan Lain
• Dirujuk ke Sp.KGA
4 (8,17) 16 (32.65)
2 (4.08) 26 (53.06)
1 (2.04) 0 (0)
Jumlah 49(100)
4.4.3 Enamel-DentinFracture
Sebanyak 48 dokter gigi (75,85%) dari 65 dokter gigi pernah mendapat kasus enamel-dentin fracture sedangkan 17 dokter gigi (26,15%) tidak pernah menemukan kasus enamel-dentin fracture (Tabel 16). Secara keseluruhan, dokter gigi lebih banyak melakukan perawatan penambalan dengan bahan tambalan tetap yaitu 25 dokter gigi (52,08%), 12 dokter gigi (25%) melakukan perawatan lain yaitu pemasangan crown, 8 dokter gigi (16,67) melakukan penghalusan pada mahkota gigi yang tajam dan 2 dokter gigi (4,17%) yang melakukan observasi serta penambalan sementara sebanya 1 dokter gigi (2,08%) (Tabel 17).
(57)
Tabel 16. Persentase Penanganan Kasus Enamel-Dentin Fracture
Jumlah Kasus Enamel Dentin Fracture n (%) Jumlah kasus
• Ada
• Tidak Ada
48 (75,85) 17 (26,15)
129
Jumlah 65 (100)
Tabel 17. Persentase Perawatan Kasus Enamel Dentin Fracture
Perawatan yang Dilakukan pada Kasus Enamel Dentin Fracture n (%)
•Dibiarkan/observasi
•Dihaluskan Mahkota Gigi yang Tajam
•Ditambal dengan Bahan Tambalan Sementara
•Ditambal dengan Bahan Tambalan Tetap
•Perawatan lain (pemasangan crown)
•Dirujuk ke Sp.KGA
2 (4,17) 8 (16,67)
1 (2,08) 25 (52,08)
12 (25) 0 (0)
Jumlah 48 (100)
4.4.4 Complicated Crown Fracture dengan Akar Belum Tertutup Sempurna
Sebanyak 16 dokter gigi (24,61%) dari 65 dokter gigi pernah mendapat 54 kasus complicated crown fracture dengan akar belum tertutup sempurna dan 49 dokter gigi (75,39%) tidak pernah mendapatkan kasus ini (Tabel 18). Kebanyakan perawatan yang dilakukan oleh dokter gigi pada kasus ini adalah pulp capping dan restorasi sebanyak 6 dokter gigi (37,5%), 3 dokter gigi (18,75%) melakukan apeksifikasi, pulpektomi dan restorasi serta apeksogenesis dilakukan oleh masing-masing 2 dokter gigi (12,5%), 2 dokter gigi (12,5%) merujuk ke Sp.KGA dan 1 dokter gigi (6,25%) melakukan pulpotomi (Tabel 19).
(58)
Tabel 18. Persentase Penanganan Kasus Complicated Crown Fracture dengan Akar Belum Tertutup Sempurna
Penanganan Kasus Complicated Crown Fracture dengan
Akar Belum Tertutup Sempurna n (%)
Jumlah kasus
•Ada
•Tidak Ada
16 (24,61) 49 (75,39)
54
Jumlah 65 (100)
Tabel 19. Persentase Perawatan Kasus Complicated Crown Fracture dengan Akar Belum Tertutup Sempurna
Perawatan yang Dilakukan pada Kasus Complicated Crown
Fracture dengan Akar belum Tertutup Sempurna n (%)
• Dibiarkan/Observasi
• Pulpotomi + Restorasi
• Pulpektomi + Restorasi
• Pulp capping + Restorasi
• Apeksifikasi
• Apeksogenesis
• Perawatan lain
• Dirujuk ke Sp.KGA
0 (0) 1 (6,25) 2 (12,5) 6 (37,5) 3 (18,75) 2 (12,5) 0 (0) 2 (12,5)
Jumlah 16 (100)
4.4.5 Complicated Crown Fracture dengan Akar Tertutup Sempurna Sebanyak 14 dokter gigi (21,53%) dari 65 dokter gigi pernah mendapat 45 kasus complicated crown fracture dengan akar tertutup sempurna dan 51 dokter gigi (78,46%) tidak pernah menemukan kasus ini (Tabel 20) dan perawatan yang paling banyak dilakukan pada kasus ini oleh dokter gigi adalah pulpektomi dan restorasi yaitu sebanyak 7 dokter gigi (50%), 3 dokter gigi (21,43%) melakukan apeksogenesis, 2 dokter gigi (14,29%) melakukan apeksifikasi, yang melakukan observasi dan merujuk masing-masing sebanyak 1 dokter gigi (7,14%) (Tabel 21).
Tabel 20. Persentase Penanganan Kasus Complicated Crown Fracture dengan Akar Tertutup Sempurna
Jumlah Kasus Complicated Crown Fracture dengan
Akar yang Tertutup Sempurna n (%)
Jumlah kasus
• Ada
• Tidak Ada
14 (21,54) 51 (78,46)
45
(59)
Tabel 21. Persentase Perawatan Kasus Complicated Crown Fracture dengan Akar Tertutup Sempurna
Perawatan Kasus Complicated Crown Fracture dengan Akar
Tertutup Sempurna n (%)
• Dibiarkan/Observasi
• Pulpotomi + Restorasi
• Pulpektomi + Restorasi
• Pulp capping + Restorasi
• Apeksifikasi
• Apeksogenesis
• Perawatan Lain (Splinting)
• Dirujuk ke Sp.KGA
1 (7,14) 0 (0) 7 (50%)
0 (0) 2 (14,29) 3 (21,43)
0 (0) 1 (7,14)
Jumlah 14 (100)
4.4.6 Fraktur Alveolar
Sebanyak 12 dokter gigi (18,46%) dari 65 dokter gigi pernah mendapat 18 kasus trauma fraktur alveolar dan 53 dokter gigi (81,54%) tidak pernah menemukan kasus ini (Tabel 22). Perawatan yang paling banyak dilakukan oleh dokter gigi pada kasus trauma fraktur alveolar adalah reposisi dan splinting sebanyak 5 dokter gigi (41,67%), 4 dokter gigi (33,33) melakukan perawatan lain yaitu hanya melakukan splinting, 2 dokter gigi (16,67%) melakukan perawatan observasi dan hanya 1 dokter gigi (8,33%) (Tabel 23).
Tabel 22. Persentase Penanganan Kasus Fraktur Alveolar
Jumlah Kasus Fraktur Alveolar n (%) Jumlah
kasus
•Ada
•Tidak Ada
12 (18,46) 53 (81,54)
18
(1)
benar terhadap perawatan yang telah dilakukan dan terdapatnya beberapa perbedaan terhadap standar perawatan pada kasus trauma gigi permanen yang dilakukan oleh dokter gigi di Medan dikarenakan beberapa faktor, salah satunya disebabkan karena Indonesia merupakan negara yang masih dalam tahap berkembang sedangkan di beberapa negara maju juga masih terdapatnya perawatan yang dilakukan oleh dokter gigi tidak sesuai dengan standar perawatan sedangkan hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Zodik et al, bahwa jawaban yang benar diisi oleh responden dari 10 pertanyaan sebesar 71,7% dan yang menjawab benar dari empat pertanyaan mengenai avulsi sebanyak 60,2%.27
Berdasarkan keadaan ini dan untuk memenuhi jawaban dari 28 dokter gigi (29,16%) yang tidak merasa cukup terhadap materi trauma gigi yang didapat selama menempuh pendidikan di FKG maka perlu diadakannya seminar mengenai trauma pada gigi permanen.
(2)
70
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Trauma gigi adalah trauma yang terjadi pada mulut dan gigi, termasuk struktur mulut, seperti lidah, bibir dan pipi merupakan cedera aksidental yang terjadi pada masa bayi, anak, remaja serta dewasa.12,13 Trauma gigi merupakan masalah yang cukup serius di kalangan masyarakat khususnya anak-anak dan remaja, sehingga menjadi pelajaran yang cukup penting dan menarik bagi dokter gigi serta pelayan kesehatan lainnya dalam menangani kasus ini. Pada penelitian ini perawatan kasus trauma gigi permanen oleh dokter gigi dibagi berdasarkan pernah atau tidaknya dokter gigi mendapatkan kasus trauma gigi permanen baik kasus trauma baru atau kasus trauma lama serta penanganan yang dilakukan dan diperoleh kesimpulan bahwa:
1. Jumlah kasus trauma gigi permanen yang ditemukan oleh 65 dokter gigi di Kota Medan dalam 1 tahun sebanyak 685 kasus.
2. Usia anak-anak yang paling sering terjadi trauma adalah pada usia 7 – 8 tahun sebanyak 27,6% dengan tempat kejadian paling sering adalah sekolah sebanyak 28,6%.
3. Jenis trauma gigi permanen yang paling sering ditemukan adalah trauma enamel fracture sebanyak 49 dokter gigi (18,99%) dan enamel dentin fracture
sebanyak 48 dokter gigi (18,60%).
4. Berdasarkan jawaban atas pertanyaan mengenai perawatan yang telah dilakukan oleh dokter gigi terhadap kasus-kasus trauma dapat disimpulkan bahwa sebagian besar dokter gigi melakukan perawatan yang tidak sesuai dengan standar perawatan terhadap beberapa kasus-kasus trauma.
(3)
permanen di Kotamadya Medan.,
2. Perlu penambahan jam terhadap materi trauma pada perkuliahan serta cara penanganan yang dilakukan
3. Perlu dilakukan program seminar-seminar kedokteran gigi untuk mengetahui perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran gigi khususnya mengenai trauma gigi pada anak.
(4)
72
DAFTAR PUSTAKA
1. Al-Obaida M. Knowledge and management of traumatic dental injuries in a group of Saudi primary school teachers. Dent Traumatol 2010; 26: 338-341. 2. Glendor U, Marcenes W, JO Andreasen. Classification, epidemiology and
etiology. In: Andreasen JO, Andreasen FM, Andersson L, Textbook and color atlas of traumatic injuries to the teeth, 4 th ed., Copenhagen: Blackwell Munksgaard., 2007: 217-224.
3. Skele SM, Audestad E, Bardsen A. Traumatic dental injuries knowledge and awareness among present and prospective teachers in selected urban and rural areas of Norway. Dent Traumatol 2010; 26; 243-247.
4. Glendor U. Aetiology and risk factors realted to traumatic dental injuires – a review of the literature. Dent Traumatol 2009; 25; 19-31.
5. Hecova H, Tzigkounakis V, Merglova V, Netolicky J. A retrospective of 889 injured permanent teeth. Dent Traumatol 2010; 26; 466-475.
6. Cinar C, Atabek D, Alacam A. Knowledge of dentist in the management of traumatic dental injuries in Ankara, Turkey. Oral Health Prev Dent 2013; 11; 23-30.
7. Lygidakis NA, Marinou D., Katsaris N. Analysis of dental emergencies presenting to a community paediatric dentistry center. Int J Paediatr Dent 1998;8: 181-90
8. Glendor U. Has education of professional caregivers and lay people in dental trauma care failed. Dent Traumatol 2009; 25; 12-18.
9. Glendor U. Epidemiology of traumatic dental injuries a 12 years review of the literature. Dent Traumatol 2008; 24; 603-611.
10.Kiran DN, Anupama K. Emergency Trauma Care: ATLS. J Adv Dent Res 2011; 2.
(5)
2002; 11.
12.Notes E.
13.Went PF et al. Traumatic dental injuries in primary dentition: epidemiological study among preschool children in South Brazil. Dent Traumatol 2010; 26; 168-173.
14.Jokic NI, Danko B, Fugosic V, Masjtrovic, Skrinjaric I. Dental trauma in children and young adults visiting a university dental clinic. Dent Traumatol 2009; 25: 84-87.
15.Noori JA, Al-Obaidi WA. Traumatic dental injuries among primary school children in Sulaimani City, Iraq. Dent Traumatol 2009; 25: 442-446.
16.Ingle NA, Baratam N, Charania Z. Prevalence and factors associated with traumatic dental injuries (TDI) to anterior teeth of 11-13 year old school going children of Maduravoyal, Chennai. J Oral Health Comm Dent 2010; 4(3): 55-60.
17.Gong Y, Xue L, Wang N, Wu C. Emergncy dental injuries presented at the Beijing Stomatology Hospital in China. Dent Traumatol 2011; 27: 203-207. 18.Elisa B, Bastone, J Terry. Freer, Jhon R. McNamara. Epidemiology of dental
trauma: A review of the literature. Aust Dent J 2000; 45: (1): 2-9.
19.American Academy of Pediatrics Dentistry. Clinical guideline on management of acute dental trauma. Council on clinical affairs.2004.
20.Lam R, Abbot P, Lloid C, Lloid C, Kruger E, Tennant M. Dental trauma in an Australian centre. Dent Traumatol 2008; 24: 663-670.
21.American Academy of Pediatrics Dentistry. Clinical guideline on management of acute dental trauma. Council on clinical affairs.2011; 34: 6
(6)
74
23.Cameron A, Widmer R, Abbot P, Heggie AAC, Raphael S. Trauma management. In: Cameron AC, Widmer RP, Handbook of pediatric dentistry, 3 rd ed., Canberra: Mosby elsevier., 2008: 115-167.
24.Andreasen FM, Andreasen JO, Tsukiboshi M. Examination and diagnosis of dental injuries. In: Andreasen JO, Andreasen FM, Andersson L, Textbook and color atlas of traumatic injuries to the teeth, 4 th ed., Copenhagen: Blackwell munksgaard., 2007: 255-279.
25.Tsukiboshi M. Classification and examination. In: Tsukiboshi M, Amagun, Aichi. Treatment planning for traumatized teeth, 1st ed. Japan : Quintessence, 1998 : 11-99
26.Zadik Y, Marom Y, Levin L. Dental practioners’ knowledge and implementation of the 2007 International Association of Dental Traumatolgy guidelines for management of dental trauma. Dent Traumatol 2009; 25: 490-493.
27.Yeng T, Parashos P. An into dentist’ management methods of dental trauma to maxillary permanent incisors in Victoria, Australia. Dent Traumatol 2008; 24: 443-448.