Keragaman Jenis Rayap Intensitas Serangan Rayap

Tabel 4. Frekuensi bulan basah, bulan lembab, dan bulan kering kabupaten Cirebon tahun 1996 – 2005 No Kriteria Bulan Frekuensi 1 Bulan Kering Ch 60 mm 45 2 Bulan Lembab Ch 60 – 100 mm 10 3 Bulan Basah 100 mm 65 TOTAL 120 Dari data frekuensi bulan basah, bulan lembab, dan bulan kering didapatkan nilai Md rata-rata bulan kering, dan Mw rata-rata bulan basah berturut-turut, 4,5 dan 6,5. Dari data tersebut maka dihasilkan nilai Q daerah Cirebon sebesar 69,2. Nilai Q untuk menentukan klasifikasi Schmidt – Ferguson dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Data Tipe Iklim Schmidt – Ferguson No Nilai Q Tipe Iklim Sifat 1 – 14.3 A Sangat basah 2 14.3 – 33.3 B Basah 3 33.3 – 60 C Agak basah 4 60 – 100 D Sedang 5 100 – 167 E Agak kering 6 167 – 300 F Kering 7 300 – 700 G Sangat kering 8 ≥700 H Luar biasa kering Sumber:Rafi’i, 1995 Dari perhitungan diatas dapat diketahui bahwa menurut klasifikasi Schmidt dan Furgeson daerah penelitian Cirebon diperoleh nilai Q = 69.2. Hal ini dapat disimpulkan bahwa kota Cirebon termasuk kedalam tipe iklim D yang memiliki sifat sedang. Adapun suhu minimun rata-rata 26°C, dan suhu maksimum rata-rata adalah 28 °C. Dengan perhitungan yang sama dari data curah hujan di Bogor, dapat disimpulkan Kota Bogor termasuk ke dalam tipe iklim B yang memiliki sifat basah, dengan suhu minimum rata-rata 21.8 °C, dan suhu maksimum rata-rata adalah 26 °C. Indeks iklim dan ketinggian tempat yang dimiliki oleh setiap lokasi penelitian sebagai berikut: Tabel 6. Iklim, Indeks iklim dan ketinggian tempat. No kota Iklim Indeks Iklim Ketinggian Tempat mdpl 1 Cirebon D 69.2 7,5 Bogor B 19.13 190 Suhu dan kelembaban rata-rata setiap lokasi penelitian terdapat pada Tabel 7. Tabel 7. Suhu dan Kelembaban daerah penelitian No Kota Suhu °C Kelembaban 1 Cirebon 26 – 28 °C 58 2 Bogor 21.8 – 26 °C 70 Suhu merupakan faktor penting yang mempengaruhi kehidupan serangga, baik terhadap perkembangan hidup maupun aktivitasnya. Pengaruh suhu terhadap perkembangan serangga terbagi dalam kisaran suhu yaitu suhu maksimum dan minimum yang merupakan kisaran suhu tertinggi dan terendah yang dapat menyebabkan kematian serangga, suhu estivasi atau hibernasi merupakan kisaran suhu di atas atau di bawah suhu optimum yang mengakibatkan serangga mengurangi aktivitasnya atau dorman, dan kisaran suhu optimum yang merupakan kisaran suhu dimana serangga dapat berkembangbiak dan menjalankan aktivitasnya. Pada sebagian besar serangga kisaran suhu optimumnya adalah 15 °C - 38°C. Dari data suhu yang diperoleh, menunjukkan bahwa daerah Bogor memungkinkan perkembangan hidup dan aktivitas serangga termasuk rayap. Perubahan kelembaban sangat mempengaruhi aktivitas jelajah rayap. Pada kelembaban yang rendah, rayap bergerak menuju daerah dengan suhu yang lebih rendah. Rayap mempunyai kemampuan untuk menjaga kelembaban di dalam liang-liang kembara sehingga rayap dapat bergerak ke daerah yang lebih kering. Rayap tanah seperti Coptotermes, Macrotermes, Odontotermes dan sebagainya memerlukan kelembaban yang tinggi. Kelembaban optimum untuk aktivitas dan perkembangan rayap sebesar 75 - 90. Pada rayap kayu kering Cryptotermes tidak memerlukan kelembaban yang tinggi. Suhu dan kelembaban merupakan faktor yang secara bersama-sama mempengaruhi aktivitas rayap. Perubahan kondisi lingkungan akan mengakibatkan perubahan perkembangan, aktivitas dan perilaku rayap. 4.4.2 Unsur Hara dan Kandungan Bahan Organik Sampel Tanah Rayap tanah lebih menyukai tanah dengan kadar unsur hara dan bahan organik yang tinggi. Karena bahan organik dan unsur hara di dalam tanah sangat berpengaruh bagi perkembangan dan aktivitas rayap. Sampel tanah yang banyak mengandung bahan organik mudah terbakar atau cepat habis. Dari hasil pengujian laboratorium sampel tanah Bogor lebih mudah terbakar dan cepat habis dibandingkan dengan sampel tanah Cirebon, hal ini menunjukkan sampel tanah Bogor lebih banyak mengandung bahan organik dibandingkan dengan sampel tanah Cirebon. a. Pengujian bahan organik b. Pengujian bahan organik Sampel tanah bogor Sampel tanah Cirebon Gambar 5. Pengujian Bahan Organik Sample tanah Cirebon dan Bogor 4.4.3 Kadar air Tanah Sampel Tabel 8. Data rata-rata Ma, Mb, dan Mc untuk perhitungan kadar air. SAMPEL TANAH Mc Ma Mb w CIREBON 23.3 56.02 47.98 34.036 BOGOR 23.58 49.82 40.7 53.27 Keterangan: Mc = Berat wadah Ma = Berat wadah dan tanah sebelum di oven Mb = Berat wadah dan tanah setelah di oven w = Kadar air tanah Dari data tersebut dihasilkan kadar air tanah masing-masing daerah penelitian Cirebon dan Bogor berturut-turut adalah 34,036 dan 53,27, Hasil perhitungan tersebut menunjukkan kadar air sampel tanah Bogor lebih tinggi tanah dengan kadar air yang tinggi lebih disenangi oleh rayap tanah, sehingga daerah Bogor lebih mudah terserang rayap tanah dibandingkan dengan daerah Cirebon yang memiliki kadar air lebih rendah dari kadar air Bogor. Memperhatikan hasil analisis tekstur tanah terlihat bahwa tanah yang banyak mengandung pasir dan sedikit mengandung liat adalah tanah dari Cirebon. Melihat karakteristik tekstur tanah tersebut dapat dikatakan bahwa pada daerah tersebut tidak disukai oleh rayap tanah. Rayap tanah sangat menyukai tanah dengan kandungan liat yang tinggi. Tanah dengan kandungan pasir rendah dan kandungan liat tinggi adalah pada tanah dari Bogor. Karakteristik tanah inilah yang paling disukai oleh rayap tanah.

4.5 Intensitas Serangan Rayap

Intensitas serangan rayap menunjukkan tingkat kerusakan yang terjadi pada bangunan akibat serangan rayap. Dari hasil pemasangan contoh kayu umpan pada daerah Bogor, terlihat bahwa baik kayu kelas awet rendah maupun kayu kelas awet sedang telah terserang rayap tanah pada umur pemasangan 2 bulan. Kayu kelas awet rendah Kelas IV rata-rata telah terserang rayap sebesar 30 dan kayu kelas awet sedang III terserang 20 . Kondisi ini menggambarkan bahwa serangan rayap di daerah ini relatif tinggi. Sedangkan hasil pemasangan kayu umpan yang berumur 2 bulan pada daerah Cirebon menunjukan hanya kayu kelas awet rendah kelas IV yang terserang rayap tanah dengan kerusakan sebesar 10 . Berdasarkan Data Intensitas serangan selama 6 bulan pada kayu kelas kuat rendah kelas IV dan sedang kelas III untuk masing-masing kota Cirebon, dan Bogor secara berurutan adalah 31.68, 26.75, 86 , dan 53.04 . Kayu kelas I dan II untuk daerah Cirebon tidak terserang rayap, sedangkan intensitas serangan pada kayu kelas kuat I dan II untuk daerah bogor menunjukan persentase yang sangat kecil namun terserang jamur hal ini disebabkan karena kelembaban tanah. Perbedaan intensitas serangan rayap ini disebabkan oleh perbedaan jenis rayap yang menyerang bangunan dan kondisi bangunan. Rayap Coptotermes memberikan dampak perusakan yang paling besar dibandingkan rayap tanah lainnya, karena rayap ini mampu menyerang tidak saja kayu non struktural seperti kusen pintu maupun jendela tetapi juga menyerang struktur atap dan plate. Rayap tanah Microtermes dan Macrotermes lebih banyak dijumpai menyerang kayu non struktural seperi kusen pintu dan jendela, dan tidak banyak dijumpai menyerang struktur atap. Selain itu pada bagian bangunan yang lebih rendah, lebih mudah diserang rayap karena beberapa jenis rayap tanah mempunyai kemampuan untuk menyerang pada bagian tersebut. Rayap tanah pada umumnya menyerang bagian dinding bangunan seperti di Bogor. Sementara di Cirebon lebih banyak menyerang bagian kusen dan jendela.

4.6 Efikasi Bahan Pengawet

Bahan pengawet yang digunakan dalam pengawetan kayu bangunan, telah dilakukan pengujian efikasi bahan pengawet terhadap organisme perusak. Beberapa hasil pengujian efikasi bahan pengawet terhadap organisme perusak disajikan pada tabel di bawah ini. Tabel 10. Efikasi Bahan Pengawet Golongan CCF dan CCB No Tipe Bahan Pengawet Organisme Perusak Jenis Kayu Konsentasi larutan Retensi 1 CCF Coptotermes Karet 4.0 7.7 Cryptotermes 10 45.1 2 CCB 1 Coptotermes Karet 6.4 15.6 Cryptotermes 6.4 14.1 Cryptotermes 6.4 39.6 3 CCB 2 Coptotermes Pinus 10 73.7 Coptotermes Karet 2.0 6.2 Cryptotermes 4.0 19.6 4 CCB 3 Coptotermes Pinus 4.6 21.0 Coptotermes Karet 4.5 18.2 Cryptotermes 4.6 9.5 Cryptotermes 10 42.7 Cryptotermes 4.5 26.3 Organisme perusak yang dimaksud antara lain rayap tanah. Retensi bahan pengawet merupakan banyaknya bahan pengawet yang masuk ke dalam kayu, yang dinyatakan dalam satuan kg . Dari data di alas, khususnya untuk bahan pengawet dari golongan CCF tembaga, khrom, flour pada jasad penguji rayap tanah Coptotermes, dengan konsentrasi larutan 4 dan retensi yang dicapai 7.7 kg , menunjukkan kematian pada rayap tersebut. Bila memperhatikan ketentuan dalam standar Pengawetan Kayu untuk Perumahan dan Gedung SNI 03-5010.1-1999 besarnya retensi yang harus dicapai pada pengawetan kayu untuk penggunaan di luar atap sebesar 8.6 kgm3, maka persyaratan besaran retensi tersebut dapat dikurangi, karena hasil efikasi bahan pengawet retensinya lebih rendah. Pada jasad penguji rayap Cryptotermes, besaran retensi yang harus dicapai adalah 45.1 kg dengan konsentrasi larutan 10 . Untuk bahan pengawet golongan CCB tembaga, khrom, boron pada jasad penguji rayap tanah Coptotermes menunjukkan besaran retensi bahan pengawet yang bervariasi. Pada kayu pinus, retensi bahan pengawet yang dapat mematikan sebesar 73.7 kg dengan konsentrasi larutan 10 untuk bahan pengawet CCB 2 dan 21.0 kg dengan konsentrasi larutan 4.6 untuk bahan pengawet CCB 3. Sementara retensi bahan pengawet pada jenis kayu karat sebesar 15.6 kg dengan konsentrasi larutan 6.4 untuk bahan pengawet CCB 1, retensi sebesar ≤ 6.2 kg dengan konsentrasi larutan ≤ 2.0 untuk bahan pengawet CCB 2, dan ≤ 18.2 kg dengan konsentrasi larutan ≤4.5 untuk bahan pengawet CCB 3. Jenis kayu pinus sangat mempengaruhi besarnya retensi yang dapat mematikan rayap tanah Coptotermes, hal ini kemungkinan disebabkan zat kimia yang terkandung di dalam kayu tersebut dapat menetralisir sebagian bahan pengawet yang masuk ke dalam kayu pinus. Mempertimbangkan hat tersebut, untuk kayu-kayu yang berasal dari kelompok kayu lunak softwood besarnya retensi bahan pengawet yang terdapat di dalam standar sebaiknya ditinjau kembali. Hal ini berkaitan dengan hasil pengujian pada rayap Coptotermes, retensi bahan pengawet yang mematikan rayap tersebut lebih besar dari ketentuan standar. Sementara pada kayu-kayu keras hardwood, hasil pengujian menunjukkan ada besaran retensi bahan pengawet yang lebih rendah maupun yang lebih tinggi dari standar yang mematikan rayap tanah Coptotermes. Khusus bahan pengawet CCB 2, retensi yang mematikan rayap tanah sebesar ≤ 6.2 kg , besarnya retensi ini lebih rendah daripada ketentuan standar. Sementara untuk bahan pengawet CCB 3 retensi yang mematikan rayap tanah sebesar ≤18.2 kg , hal ini lebih tinggi dari ketentuan standar. Bila memperhatikan ketentuan dalam standar Pengawetan Kayu untuk Perumahan dan Gedung SNI 03-5010.1-1999 besamya retensi yang harus dicapai pada pengawetan kayu untuk penggunaan di luar atap sebesar 8.6 kg .

4.7 Teknik Perlindungan

Beberapa teknik perlindungan bangunan terhadap serangan rayap yang telah dilakukan oleh masyarakat antara lain dengan pengawetan kayu bangunan baik dengan bahan pengawet maupun dengan menggunakan residu atau oli bekas. Residu ini bukan merupakan bahan pengawet yang dapat digunakan untuk menahan serangan rayap, namun bahan ini sudah memasyarakat dan mudah didapat di setiap toko material. Masyarakat percaya bahwa dengan menggunakan residu, bangunannya akan terhindar dari serangan rayap. Pengawetan kayu dengan residu biasanya dilakukan dengan cara pengecatan. Selain dengan residu, masyarakat mempercayai bahwa dengan melakukan pengecatan pada kayu bangunan dengan cat kayu juga dapat menghindarkan kayu tersebut dari serangan rayap. Disamping pengawetan kayu, masyarakat juga telah melakukan perlakuan tanah atau pondasi dengan menggunakan residu dengan cara menaburkannya pada bagian tersebut. Pengawetan kayu bangunan dengan bahan pengawet juga telah dilakukan oleh masyarakat, namum jumlahnya relatif sedikit. Hal ini terjadi kemungkinan karena harga bahan pengawet kayu yang relatif mahal dan masyarakat belum menyadari keuntungan yang diperoleh bila telah melakukan pengawetan kayu bangunan. Biasanya apabila bangunan yang dimiliki sudah terkena serangan rayap, pemiliknya baru menyadari keuntungan melakukan pencegahan serangan rayap pada bangunan. Disamping pengawetan kayu, masyarakat melakukan perlindungan bangunan dengan memperbaiki bagian-bagian bangunan yang mengalami kerusakan akibat kebocoran serta menjaga kebersihan bangunan tersebut. Pada bangunan gedung atau pemerintah terutama yang mendapat bantuan dana dari luar negeri mensyaratkan dalam pembangunannya untuk melakukan pengawetan kayu dan perlakuan tanah pada bangunan yang akan didirikan. Sedangkan pada bangunan yang sudah berdiri, akan dilakukan penanggulangan serangan rayap bila serangan tersebut sudah dianggap parah dan membahayakan keselamatan penghuni. Dalam standar SNI 03-2404-2000 tatacara pencegahan serangan rayap pada bangunan rumah dan gedung, pada bangunan yang akan didirikan terlebih dahulu dilakukan perlakuan tanahtapak dimana bangunan tersebut didirikan dan dilakukan pengawetan kayu bangunan yang mempunyai kelas awet III - V serta kayu gubal kelas awet I - II. Demikian juga dalam SNI 03- 2405-2000 tatacara penanggulangan serangan rayap pada bangunan rumah dan gedung, namun dilakukan pengeboran dan injeksi pada tanah dan dinding. Selain itu pengawetan kayu dapat juga dilakukan dengan injeksi larutan bahan pengawet atau dengan pasak pengawet. Kedua standar tersebut berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia. Hubungan Intensitas Serangan Rayap dengan Faktor lingkungan Dari hasil analisis regresi hubungan intensitas serangan rayap dengan indeks iklim dan ketinggian tempat berdasarkan data hasil penelitian Departemen Pekerjaan Umum Kota Bandung, diperoleh persamaan regresi sebagai berikut: IS = 2,71 - 0,0133IK- 0,134 KT Keterangan: IS = intensitas serangan IK = indeks iklim KT = ketinggian tempat Nilai koefisien determinasi sebesar 53.4 , hal ini menggambarkan bahwa bila terjadi perubahan pada intensitas serangan rayap, hanya dapat dijelaskan sebesar 53.4 saja oleh indeks iklim dan ketinggian tempat. Sedangkan sisanya sebesar 46.6 disebabkan faktor-faktor lain. Dalam persamaan tersebut terlihat bahwa indeks iklim dan ketinggian tempat berpengaruh nyata pada taraf 40 . Intensitas serangan berhubungan negatif dengan indeks iklim dan ketinggian tempat, yang berarti semakin rendah indeks iklim dan ketinggian tempat maka intensitas serangan rayap semakin besar. Sedangkan hasil penelitian ini menunjukan bahwa ketinggian tempat berhubungan positif dengan intensitas serangan rayap tanah, yang berarti semakin tinggi ketinggian tempat maka intensitas serangan semakin besar. Hasil analisis regresi hubungan antara frekuensi serangan rayap pada bangunan dengan indeks iklim dan ketinggian tempat berdasarkan data penelitian Departemen Pekerjaan Umum Kota Bandung, diperoleh persamaan sebagai berikut: F =68,4 - 0,263 IK - 1,15 KT Nilai koefisien determinasi dari persaman tersebut sebesar 56.8 yang menunjukkan bahwa bila terjadi perubahan pada frekuensi serangan rayap, hanya dapat dijelaskan sebesar 56.8 saja oleh indeks iklim dan ketinggian tempat,