Tipe Iklim, Suhu, Kelembaban, dan Ketinggian Tempat Daerah Penelitian

Suhu dan kelembaban rata-rata setiap lokasi penelitian terdapat pada Tabel 7. Tabel 7. Suhu dan Kelembaban daerah penelitian No Kota Suhu °C Kelembaban 1 Cirebon 26 – 28 °C 58 2 Bogor 21.8 – 26 °C 70 Suhu merupakan faktor penting yang mempengaruhi kehidupan serangga, baik terhadap perkembangan hidup maupun aktivitasnya. Pengaruh suhu terhadap perkembangan serangga terbagi dalam kisaran suhu yaitu suhu maksimum dan minimum yang merupakan kisaran suhu tertinggi dan terendah yang dapat menyebabkan kematian serangga, suhu estivasi atau hibernasi merupakan kisaran suhu di atas atau di bawah suhu optimum yang mengakibatkan serangga mengurangi aktivitasnya atau dorman, dan kisaran suhu optimum yang merupakan kisaran suhu dimana serangga dapat berkembangbiak dan menjalankan aktivitasnya. Pada sebagian besar serangga kisaran suhu optimumnya adalah 15 °C - 38°C. Dari data suhu yang diperoleh, menunjukkan bahwa daerah Bogor memungkinkan perkembangan hidup dan aktivitas serangga termasuk rayap. Perubahan kelembaban sangat mempengaruhi aktivitas jelajah rayap. Pada kelembaban yang rendah, rayap bergerak menuju daerah dengan suhu yang lebih rendah. Rayap mempunyai kemampuan untuk menjaga kelembaban di dalam liang-liang kembara sehingga rayap dapat bergerak ke daerah yang lebih kering. Rayap tanah seperti Coptotermes, Macrotermes, Odontotermes dan sebagainya memerlukan kelembaban yang tinggi. Kelembaban optimum untuk aktivitas dan perkembangan rayap sebesar 75 - 90. Pada rayap kayu kering Cryptotermes tidak memerlukan kelembaban yang tinggi. Suhu dan kelembaban merupakan faktor yang secara bersama-sama mempengaruhi aktivitas rayap. Perubahan kondisi lingkungan akan mengakibatkan perubahan perkembangan, aktivitas dan perilaku rayap. 4.4.2 Unsur Hara dan Kandungan Bahan Organik Sampel Tanah Rayap tanah lebih menyukai tanah dengan kadar unsur hara dan bahan organik yang tinggi. Karena bahan organik dan unsur hara di dalam tanah sangat berpengaruh bagi perkembangan dan aktivitas rayap. Sampel tanah yang banyak mengandung bahan organik mudah terbakar atau cepat habis. Dari hasil pengujian laboratorium sampel tanah Bogor lebih mudah terbakar dan cepat habis dibandingkan dengan sampel tanah Cirebon, hal ini menunjukkan sampel tanah Bogor lebih banyak mengandung bahan organik dibandingkan dengan sampel tanah Cirebon. a. Pengujian bahan organik b. Pengujian bahan organik Sampel tanah bogor Sampel tanah Cirebon Gambar 5. Pengujian Bahan Organik Sample tanah Cirebon dan Bogor 4.4.3 Kadar air Tanah Sampel Tabel 8. Data rata-rata Ma, Mb, dan Mc untuk perhitungan kadar air. SAMPEL TANAH Mc Ma Mb w CIREBON 23.3 56.02 47.98 34.036 BOGOR 23.58 49.82 40.7 53.27 Keterangan: Mc = Berat wadah Ma = Berat wadah dan tanah sebelum di oven Mb = Berat wadah dan tanah setelah di oven w = Kadar air tanah Dari data tersebut dihasilkan kadar air tanah masing-masing daerah penelitian Cirebon dan Bogor berturut-turut adalah 34,036 dan 53,27, Hasil perhitungan tersebut menunjukkan kadar air sampel tanah Bogor lebih tinggi tanah dengan kadar air yang tinggi lebih disenangi oleh rayap tanah, sehingga daerah Bogor lebih mudah terserang rayap tanah dibandingkan dengan daerah Cirebon yang memiliki kadar air lebih rendah dari kadar air Bogor. Memperhatikan hasil analisis tekstur tanah terlihat bahwa tanah yang banyak mengandung pasir dan sedikit mengandung liat adalah tanah dari Cirebon. Melihat karakteristik tekstur tanah tersebut dapat dikatakan bahwa pada daerah tersebut tidak disukai oleh rayap tanah. Rayap tanah sangat menyukai tanah dengan kandungan liat yang tinggi. Tanah dengan kandungan pasir rendah dan kandungan liat tinggi adalah pada tanah dari Bogor. Karakteristik tanah inilah yang paling disukai oleh rayap tanah.

4.5 Intensitas Serangan Rayap

Intensitas serangan rayap menunjukkan tingkat kerusakan yang terjadi pada bangunan akibat serangan rayap. Dari hasil pemasangan contoh kayu umpan pada daerah Bogor, terlihat bahwa baik kayu kelas awet rendah maupun kayu kelas awet sedang telah terserang rayap tanah pada umur pemasangan 2 bulan. Kayu kelas awet rendah Kelas IV rata-rata telah terserang rayap sebesar 30 dan kayu kelas awet sedang III terserang 20 . Kondisi ini menggambarkan bahwa serangan rayap di daerah ini relatif tinggi. Sedangkan hasil pemasangan kayu umpan yang berumur 2 bulan pada daerah Cirebon menunjukan hanya kayu kelas awet rendah kelas IV yang terserang rayap tanah dengan kerusakan sebesar 10 . Berdasarkan Data Intensitas serangan selama 6 bulan pada kayu kelas kuat rendah kelas IV dan sedang kelas III untuk masing-masing kota Cirebon, dan Bogor secara berurutan adalah 31.68, 26.75, 86 , dan 53.04 . Kayu kelas I dan II untuk daerah Cirebon tidak terserang rayap, sedangkan intensitas serangan pada kayu kelas kuat I dan II untuk daerah bogor menunjukan persentase yang sangat kecil namun terserang jamur hal ini disebabkan karena kelembaban tanah. Perbedaan intensitas serangan rayap ini disebabkan oleh perbedaan jenis rayap yang menyerang bangunan dan kondisi bangunan. Rayap Coptotermes memberikan dampak perusakan yang paling besar dibandingkan rayap tanah lainnya, karena rayap ini mampu menyerang tidak saja kayu non struktural seperti kusen pintu maupun jendela tetapi juga menyerang struktur atap dan plate. Rayap tanah Microtermes dan Macrotermes lebih banyak dijumpai menyerang kayu non struktural seperi kusen pintu dan jendela, dan tidak banyak dijumpai menyerang struktur atap. Selain itu pada bagian bangunan yang lebih rendah, lebih mudah diserang rayap karena beberapa jenis rayap tanah mempunyai kemampuan untuk menyerang pada bagian tersebut. Rayap tanah pada umumnya menyerang bagian dinding bangunan seperti di Bogor. Sementara di Cirebon lebih banyak menyerang bagian kusen dan jendela.

4.6 Efikasi Bahan Pengawet

Bahan pengawet yang digunakan dalam pengawetan kayu bangunan, telah dilakukan pengujian efikasi bahan pengawet terhadap organisme perusak. Beberapa hasil pengujian efikasi bahan pengawet terhadap organisme perusak disajikan pada tabel di bawah ini. Tabel 10. Efikasi Bahan Pengawet Golongan CCF dan CCB No Tipe Bahan Pengawet Organisme Perusak Jenis Kayu Konsentasi larutan Retensi 1 CCF Coptotermes Karet 4.0 7.7 Cryptotermes 10 45.1 2 CCB 1 Coptotermes Karet 6.4 15.6 Cryptotermes 6.4 14.1 Cryptotermes 6.4 39.6 3 CCB 2 Coptotermes Pinus 10 73.7 Coptotermes Karet 2.0 6.2 Cryptotermes 4.0 19.6 4 CCB 3 Coptotermes Pinus 4.6 21.0 Coptotermes Karet 4.5 18.2 Cryptotermes 4.6 9.5 Cryptotermes 10 42.7 Cryptotermes 4.5 26.3 Organisme perusak yang dimaksud antara lain rayap tanah. Retensi bahan pengawet merupakan banyaknya bahan pengawet yang masuk ke dalam kayu, yang dinyatakan dalam satuan kg . Dari data di alas, khususnya untuk bahan pengawet dari golongan CCF tembaga, khrom, flour pada jasad penguji rayap tanah Coptotermes, dengan konsentrasi larutan 4 dan retensi yang dicapai 7.7 kg , menunjukkan kematian pada rayap tersebut. Bila memperhatikan ketentuan dalam standar Pengawetan Kayu untuk Perumahan dan Gedung SNI 03-5010.1-1999 besarnya retensi yang harus dicapai pada pengawetan kayu untuk penggunaan di luar atap sebesar 8.6 kgm3, maka persyaratan besaran retensi tersebut dapat dikurangi, karena hasil efikasi bahan pengawet retensinya lebih rendah. Pada jasad penguji rayap Cryptotermes, besaran retensi yang harus dicapai adalah 45.1 kg dengan konsentrasi larutan 10 . Untuk bahan pengawet golongan CCB tembaga, khrom, boron pada jasad penguji rayap tanah Coptotermes menunjukkan besaran retensi bahan pengawet yang bervariasi. Pada kayu pinus, retensi bahan pengawet yang dapat mematikan sebesar 73.7 kg dengan konsentrasi larutan 10 untuk bahan pengawet CCB 2 dan 21.0 kg dengan konsentrasi larutan 4.6 untuk bahan pengawet CCB 3. Sementara retensi bahan pengawet pada jenis kayu karat sebesar 15.6 kg dengan konsentrasi larutan 6.4 untuk bahan pengawet CCB 1, retensi sebesar ≤ 6.2 kg dengan konsentrasi larutan ≤ 2.0 untuk bahan pengawet CCB 2, dan ≤ 18.2 kg dengan konsentrasi larutan ≤4.5 untuk bahan pengawet CCB 3. Jenis kayu pinus sangat mempengaruhi besarnya retensi yang dapat mematikan rayap tanah Coptotermes, hal ini kemungkinan disebabkan zat kimia yang terkandung di dalam kayu tersebut dapat menetralisir sebagian bahan pengawet yang masuk ke dalam kayu pinus. Mempertimbangkan hat tersebut, untuk kayu-kayu yang berasal dari kelompok kayu lunak softwood besarnya retensi bahan pengawet yang terdapat di dalam standar sebaiknya ditinjau kembali. Hal ini berkaitan dengan hasil pengujian pada rayap Coptotermes, retensi bahan pengawet yang mematikan rayap tersebut lebih besar dari ketentuan standar. Sementara pada kayu-kayu keras hardwood, hasil pengujian menunjukkan ada besaran retensi bahan pengawet yang lebih rendah maupun yang lebih tinggi dari standar yang mematikan rayap tanah Coptotermes. Khusus bahan pengawet CCB 2, retensi yang mematikan rayap tanah sebesar ≤ 6.2 kg , besarnya retensi ini lebih rendah daripada ketentuan standar. Sementara untuk bahan pengawet CCB 3 retensi yang mematikan rayap tanah sebesar ≤18.2 kg , hal ini lebih tinggi dari ketentuan standar. Bila memperhatikan ketentuan dalam standar Pengawetan Kayu untuk Perumahan dan Gedung SNI 03-5010.1-1999 besamya retensi yang harus dicapai pada pengawetan kayu untuk penggunaan di luar atap sebesar 8.6 kg .

4.7 Teknik Perlindungan

Beberapa teknik perlindungan bangunan terhadap serangan rayap yang telah dilakukan oleh masyarakat antara lain dengan pengawetan kayu bangunan baik dengan bahan pengawet maupun dengan menggunakan residu atau oli bekas. Residu ini bukan merupakan bahan pengawet yang dapat digunakan untuk menahan serangan rayap, namun bahan ini sudah memasyarakat dan mudah didapat di setiap toko material. Masyarakat percaya bahwa dengan menggunakan residu, bangunannya akan terhindar dari serangan rayap. Pengawetan kayu dengan residu biasanya dilakukan dengan cara pengecatan. Selain dengan residu, masyarakat mempercayai bahwa dengan melakukan pengecatan pada kayu bangunan dengan cat kayu juga dapat menghindarkan kayu tersebut dari serangan rayap. Disamping pengawetan kayu, masyarakat juga telah melakukan perlakuan tanah atau pondasi dengan menggunakan residu dengan cara menaburkannya pada bagian tersebut. Pengawetan kayu bangunan dengan bahan pengawet juga telah dilakukan oleh masyarakat, namum jumlahnya relatif sedikit. Hal ini terjadi kemungkinan karena harga bahan pengawet kayu yang relatif mahal dan masyarakat belum menyadari keuntungan yang diperoleh bila telah melakukan pengawetan kayu bangunan. Biasanya apabila bangunan yang dimiliki sudah terkena serangan rayap, pemiliknya baru menyadari keuntungan melakukan pencegahan serangan