Pengelolaan Lahan Pertanian Ramah Lingkungan dengan Sistem Intensifikasi Tanaman Padi Melalui Pemanfaatan Mikroorganisme Lokal dalam Pembuatan Kompos (Studi Kasus di Desa Sidodadi Kabupaten Deli Serdang)

(1)

KABUPATEN DELI SERDANG)

T E S I S

Oleh

EKAMAIDA

057004004/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(2)

KABUPATEN DELI SERDANG)

Oleh

EKAMAIDA

057004004/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(3)

KABUPATEN DELI SERDANG)

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan pada Sekolah Pascasarjana Universitas

Sumatera Utara

Oleh

EKAMAIDA

057004004/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(4)

KOMPOS (STUDI KASUS DI DESA SIDODADI KABUPATEN DELI SERDANG)

Nama Mahasiswa : Ekamaida Nomor Pokok : 057004004

Program Studi : Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Menyetujui

Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc) Ketua

(Dr. Ir. Hasanuddin, MS) Anggota

(Dr. Dwi Suryanto, M.Sc) Anggota

Ketua Program Studi Direktur,

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., MS) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)


(5)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : 1. Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc

Aggota : 2. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc


(6)

Tanaman padi (SRI) Melalui Pemanfatan Mikroorganisme Lokal (MOL) Dalam Pembuatan Kompos (Study Kasus Di Desa Sidodadi Kabupaten Deli Serdang) diyakini mampu memelihara kesuburan tanah, meningkatkan populasi mikroba tanah dan kelestarian lingkungan sekaligus dapat mempertahankan atau meningkatkan produktivitas tanah. Sistem pertanian pola SRI mengutamakan penggunaan bahan organik dan pendaurulangan limbah buah-buahan yang difermentasikan oleh MOL sebagai dekomposer pada pembuatan kompos. Penelitian ini mempelajari seberapa perubahan yang terjadi pada sifat fisik dan kimia tanah serta populasi mikroba tanah yang telah melakukan sistem pertanian organik dengan pola SRI dibandingkan dengan pengunaan pupuk kimia serta seberapa besar dampak penerapan pola SRI terhadap pengelolaan lingkungan di desa Sidodadi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian kompos MOL berpengaruh sangat nyata pada taraf 1% meningkatkan ketersediaan unsur hara tanah yaitu kadar karbon, N total tanah, P-tersedia tanah, kalium, natrium, kalsium, magnesium tukar dan total kation tukar dan kapasitas tukar kation tanah. Pemberian pupuk kompos MOL berpengaruh nyata pada taraf 5% terhadap peningkatan pH tanah, C/N tanah dan kejenuhan basa ada pola SRI.

Pemberian kompos MOL pada pola SRI dapat meningkatkan populasi mikroba tanah. Hasil analisis tanah baik secara kimia dan biologi menunjukkan bahwa pengunaan kompos MOL memberikan hasil lebih baik ditinjau dari unsur kesuburan tanah dan usaha dalam memperbaiki lingkungan hidup dibandingkan dengan penggunaan pupuk anorganik.

Pola SRI yang dilaksanakan di Desa Sidodadi merupakan pola pertanian ramah lingkungan yang memanfaatkan pupuk organik sebagai sumber unsur hara dalam memperbaiki sifat fisika, kimia dan biologi tanah serta dapat meningkatkan hasil produksi.

Kata Kunci : Sistem Intensifikasi Tanaman padi (SRI), Mikroorganisme Lokal (MOL), Lahan Pertanian Ramah Lingkungan.


(7)

of Rice Intensification (SRI) by a Local Microorganisme Usage (MOL) in

Producing the Compost Fertilizer (Case Study at Desa Sidodadi Kabupaten Deli Serdang) is expected to maintain the fertile of land, improve land microbia population and to preserve the environment at once capable to maintain or improve land productivity. The agriculture system with SRI is applied by using organic material such as fruif waste whis is fermented to produced MOL used as decomposer in composing proges. This reseach studied microbia population where an organik agricaltural system (SRI) has been applied. The reseach was compared with fisics and chemical of soil also whith how effect SRI aplication between chemical fertilizer for the managemental in Sidodadi village

The result of study showed that using compost with MOL very significant in 1% degree improved supply of manure element soil such as carbon , N, P-supply of soil, calium, natrium, calcium, changed amount of magnesium and total changed kation and kation changed capacity saturated. Used of MOL compost Significantly in 5% degree improved pH soil and C/N soil at SRI system.

Using compost MOL at SRI improved microbia population soil by the result of soil analysis either chemically and biologically the uses of MOL compost is far better compared for environmental the uses of an-organic fertilizer.

The SRI pattern practiced at Desa Sidodadi was an agricultural work environmentally friendly using organic fertilizer as source of nutrients improve physical, chemical and biological properties of soil as well in increasing production yield.

Keywords : System of Rice Intensification (SRI), Local Microorganisme (MOL), Environmental land agricultural friendly.


(8)

melimpahkan rahmat dan hidayah Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Dengan selesainya tesis ini, perkenankanlah kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

Ayahanda Drs.Maimun Mahyiddin dan ibunda Darmawati. Kepada adinda tercinta: Rahmat hidayat, Furqan dan Reza syahrival yang telah memberikan dukungan dan do'a kepada penulis.

Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof Chairuddin P.Lubis, DTM & H, Sp. A(K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister.

Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang dijabat oleh Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis ucakan kepada Kepada Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS. para pembimbing Prof. Dr. Erman Munir, MSc, Dr. Ir. Hasanuddin, MS dan Dr. Dwi Suryanto, M.Sc yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, bimbingan dan saran kepada penulis sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Kepada semua rekan serta masyarakat Desa Sidodadi yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis dalam pelaksanaan penelitian ini, semoga amal kebaikannya dibalas Allah SWT.

Medan, 4 Februari 2008


(9)

bersaudara, putri dari pasangan Drs. Maimun Mahyiddin dan Daramawati.

Pada tahun 1983-1989 penulis mengikuti pendidikan Sekolah Dasar di MIN Negeri 1 Peudada Aceh Utara, kemudian melanjutkan ke MTSN Negeri 1 Peudada Aceh Utara lulus tahun 1992. Pada tahun 1995, penulis menyelasaikan sekoiah Menengah Atas di SMA Negeri I Jeunib Aceh Utara jurusan Biologi. Penulis melanjutkan Studi ke Universitas Syiah Kuala Banda Aceh pada Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam Jurusan Biologi dan selesai tahun 2000.

Tahun 2002 penulis diterima sebagai tenaga pengajar Universitas Malikussaleh Aceh Utara pada Fakultas Pertanian dan mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan strata 2 di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan pada tahun 2005 dengan biaya dari BPPS.


(10)

Halaman

ABSTRAK ………... i

ABSTRACT ……… ii

KATA PENGANTAR ……… iii

RIWAYAT HIDUP ……….... iv

DAFTAR ISI ……….. v

DAFTAR TABEL ……….. ix

DAFTAR GAMBAR ………... x

DAFTAR LAMPIRAN... Xi I. PENDAHULUAN ……….. 1

1.1 Latar Belakang ………... 1.2 Perumusan Masalah ………... 1.3 Tujuan Penelitian ………... 1.4 Hipotesis ……….. Manfaat Penelitian ……….. 1 6 7 7 7 II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8


(11)

2.2.1 Pengertian dan Perkembangan SRI Sebagai Salah Satu Pertanian Organik ... 2.2.2 Proses Pengolahan Padi Cara SRI ...

2.3 Pengomposan ... 2.3.1 Pengelolaan Limbah Buah-buahan Menjadi MOL

Sebagai Inokulasi Dalam Proses Pengomposan ... 2.3.2 Peranan Mikroorganisme Dalam Proses

Pongomposan Dekomposisi Pengomposan... 2.3.3 Peranan Kompos ... a. Meningkatkan Unsur Hara Tanah ... b. Meningkatkan Populasi Mikroba Tanah ... 2.4 Pemberdayaan Masyarakat Petani...

13 16 19 22 23 24 25 28 33

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN ... 36

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 3.2 Teknik Pengumpulan Data ... 3.3 Bahan dan Alat ... 3.3.1 Bahan dan Alat di Lapangan ... 3.3.2 Bahan dan Alat Laboratorium ... a. Analisis Unsur Hara Tanah ... b. Populasi Mikroba Tanah ...

36 36 36 36 37 37 37 38


(12)

3.5.1 Pelaksanaan di lapangan ... a. Tanggapan Masyarakat Terhadap Pola SRI... b. Pengambilan Contoh Tanah Untuk Analisis

Unsur Hara ... c. Pengambilan Contoh Tanah Untuk Analisis

Mikroorganisme ... 3.5.2 Pelaksanaan di Laboratorium ... a. Analisis Unsur Hara Tanah ... b. Populasi Mikroba Tanah ...

38 39 39 40 40 44

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 46

4.1. Hasil... 4.1.1 Kandungan Hara Tanah Pola SRI dan Tanah Anorganik a. Sifat Fisika Tanah ... b. Sifat Kimia Tanah ... 4.1.2 Populasi Mikrobia Tanah ... 4.1.3 Karakteristik dan Tanggapan Responden Terhadap Pola

SRI ... 4.2 Pembahasan ...

4.2.1 Pengaruh Kompos MOL pada Pola SRI Terhadap Unsur Hara Tanah ... 4.2.2 Populasi Mikroba Tanah Akibat Pemberian Pupuk

MOL pada Pola SRI ... 4.2.3 Sistem Pertanian Metode SRI dalam Hubunganya

dengan Pengelolaan Lingkungan ...

46 46 46 47 52 53 54 54 63 65


(13)

5.2 Saran ... 72


(14)

Nomor Judul Halaman

1. Standar Kualitas Pupuk Organik Menurut Internasional, PT. Pusri dan Pasar Khusus (Persyaratan Opsional Menurut

Permintaan Pasar) ………... 21

2. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah ... 28 3. Populasi Mikroorganisme Berdasarkan Kedalaman Tanah ... 31 4. Rata-rata Fraksi Pasir, Debu dan Liat (%) akibat Penggunaan

Kompos MOL dan Pupuk Anorganik ... 46 5. Rata-rata pH Tanah, C, N, C/N, P-Tersedia Akibat Penggunaan

Kompos MOL dan Pupuk Anorganik ... 47 6. Rata-rata Kalium, Natrium, Kalsium, Magnesium Dapat

Ditukar, TEB, KTK dan KB Tanah akibat Penggunaan Kompos


(15)

Nomor Judul Halaman


(16)

Nomor Judul Halaman

1.

Hasil Analisis Statistik dari Semua Parameter yang Diamati Akibat Perlakuan Kompos MOL dan Pupuk Anorganik ...

78

2. Perhitungan Jumlah Bakteri ... 79

3. Jumlah Populasi Mikroba Tanah Akibat Perlakuan Kompos MOL dan Tanah Organik ... 79 4. Identitas Responden 80 5. Daftar Pertanyaan Kuisioner ... 81

6. Jawaban Kuisioner ... 83

7. Peta Wilayah Penelitian ……… 84


(17)

1.1 Latar Belakang

Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya. Dalam undang-undang ini pengelolaan lingkungan hidup diartikan sebagai “upaya terpadu untuk pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup”.

Lingkungan hidup terbagi menjadi dua bagian, yaitu lingkungan biotis dan lingkungan abiotis. Lingkungan biotis meliputi tumbuhan (flora), hewan (fauna), menusia dan mikroorganisme yang terdapat dalam tanah, air dan udara, lingkungan abiotis terdiri dari tanah, air, udara, batuan, gas bumi, minyak bumi, cahaya matahari, angin, suhu udara, kelembaban dan pasang surut.

Berdasarkan UU No. 23 Tahun 1997 dapat disimpulkan bahwa komponen lingkungan baik abiotis maupun biotis mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia. Menurut bentuknya sumber daya alam terdiri atas dua bagian yaitu sumber daya hayati meliputi flora dan fauna dan sumber daya non hayati meliputi tanah, air, udara, iklim dan sebagainya.


(18)

Menurut kemungkinan pemulihan sumber daya alam dibagi 3 bagian, yaitu: 1) sumber daya alam yang dapat dipulihkan (re-newable resources) seperti tanah, air, hutan, padang rumput, tanaman pertanian, perkebunan, margasatwa, populasi ikan, dan sebagainya. 2) Sumber daya alam yang tidak dapat dipulihkan (nonrenewable

resources) yaitu minyak bumi, gas bumi, batu bara, biji logam. 3) Sumber daya alam

yang tidak akan habis (continuous resources) yaitu energi matahari, energi pasang surut, udara dan air dalam siklus hidrologi.

Sumber daya manusia yang berkualitas sangat diperlukan untuk mengelola sumber daya alam, agar tercipta pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan. Ekosistem pertanian merupakan sumber daya alam yang dapat dipulihkan (renewable – resources). Membutuhkan pengelolaan secara khusus dari pihak pemerintah agar terjadi peningkatan pembangunan di sektor pertanian (Whritten, 1984).

Upaya peningkatan produksi padi dengan pengelolaan yang intensif melalui pemberian pupuk kimia adakalanya tidak meningkatkan produksi seperti yang diharapkan, dan bahkan dapat mengalami penurunan produksi. Gejala ini disebabkan oleh degradasi kesuburan lahan akibat praktek pemupukan yang hanya bertumpu pada pemberian pupuk anorganik (kimia) dengan jenis dan dosis yang tidak rasional. Degradasi kesuburan lahan dicirikan oleh rendahnya kandungan bahan organik dan unsur hara dalam tanah, pada kondisi semacam ini sifat fisik, kimia dan biologi tanah menjadi kurang baik (Syekhfani, 2000).


(19)

Dampak dari pemakaian pupuk kimia dan pestisida secara terus menerus tidak kelihatan dalam waktu yang singkat, namun akan terlihat dalam kurun waktu yang relatif lama. Kejadian ini dapat dilihat pada akhir tahun 80-an dimana produktivitas lahan mulai menurun akibat gencarnya pemakaian pupuk anorganik pada program Insus yang tanpa disertai pupuk organik. Pupuk anorganik dapat memberikan dampak negatif bila diaplikasi secara terus menerus. Pupuk anorganik dapat mempengaruhi perkembangan mikroorganisme dalam tanah. Sering kali mikroorganisme tersebut tidak lagi dapat menguraikan bahan organik di dalam tanah. Akibatnya sisa-sisa pupuk yang tidak terserap oleh akar tanaman terakumulasi dalam tanah dan mempengaruhi kondisi tanah, tanah menjadi keras, menggumpal, dan pH menurun. Produktivitas tanah sebagai daya dukung terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman di atasnya dapat menurun. Apabila kondisi seperti ini tidak diatasi maka terjadi levelling off, yaitu kondisi dimana pertambahan input tidak lagi mampu meningkatkan produksi tanaman (Djamhari, 1993).

Peningkatan pemakaian pupuk buatan dan pestisida terkadang menimbulkan masalah bagi lingkungan. Seiring dengan berkembangnya kesadaran tentang pertanian berkelanjutan, makin disadari pentingnya pemanfaatan bahan organik dalam pengelolaan hara di dalam tanah. Penggunaan bahan organik di dalam tanah diyakini dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah (Engersta, 1991

dalam Hadanyani 2003).

Lebih lanjut Sutanto (2002) dalam Ruskandi, (2006) menjelaskan bahwa pertanian organik dapat didefinisikan sebagai suatu sistem produksi pertanaman yang


(20)

berazaskan daur ulang hara secara hayati. Berdasarkan definisi tersebut pertanian organik merupakan pertanian ramah lingkungan yang bersifat hukum pengembalian

(low of return) yang berarti suatu sistem yang berusaha untuk mengembalikan semua

jenis bahan organik ke dalam tanah, baik dalam bentuk residu dan limbah pertanian maupun ternak yang selanjutnya bertujuan untuk memenuhi makanan pada tanah yang mampu memperbaiki status kesuburan dan struktur tanah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pertanian organik banyak memberikan keuntungan ditinjau dari aspek peningkatan kesuburan tanah serta aspek lingkungan dalam mempertahankan keseimbangan ekosistem. Sistem pertanian organik dapat diterapkan dengan salah satu cara yaitu melalui sistem intensifikasi tanaman padi atau yang lebih dikenal dengan System of Rice Intensification (SRI)

SRI telah terbukti sukses diterapkan di sejumlah negara terutama di Madagaskar. Sistem ini merupakan salah satu sistem pertanian organik yaitu budidaya tanaman padi yang intensif dan efisien dengan proses manajemen berbasis pada pengelolaam tanah, air dan tanaman. Pada SRI ini petani diarahkan untuk memberikan masukan pada usaha taninya dengan menggunakan potensi alam. Mikroorganisme yang tersedia di alam dapat digunakan sebagai dekomposer dalam proses pengomposan limbah organik dan kotoran binatang. Mikroorganisme ini diharap dapat berfungsi secara optimal dalam tanah sehingga kesuburan tanah dapat meningkat (Berkelaar, 2002).

Limbah organik seperti sisa-sisa tanaman dan kotoran ternak tidak bisa langsung diberikan ke tanaman. Limbah organik harus dihancurkan/dikomposkan


(21)

terlebih dahulu oleh mikroba tanah menjadi unsur hara yang dapat diserap oleh tanaman. Proses pengomposan alami ini memakan waktu yang sangat lama, antara enam bulan hingga setahun, sampai bahan organik tersebut benar-benar dapat digunakan tanaman. Proses pengomposan dapat dipercepat dengan menggunakan mikroba dekomposer yang berkemampuan tinggi. Penggunaan mikroba dapat mempersingkat proses dekomposisi dari beberapa bulan menjadi beberapa minggu saja (Isroi, 2004).

Petani Desa Sidodadi Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara yang dijadikan sebagai objek penelitian pada awalnya melakukan kegiatan pertanian sama seperti petani lain yaitu menggantungkan pertaniannya pada penggunaan pupuk kimia yang dapat mempercepat masa panen dan hasil yang berlipat. Namun lambat laun hasil panen tidak lagi surplus bahkan untuk memenuhi kebutuhan warga Sidodadi mereka kerap mengambil dari daerah lain. Para petani di Desa Sidodadi mulai berpikir bagaimana kembali meningkatkan hasil produksi dan kalau mungkin mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia dan air secara berlebihan. Muncul inisiatif untuk menggantikan pupuk kimia dengan pupuk organik melalui pola tanam SRI.

Pupuk yang digunakan dalam SRI di Desa Sidodadi adalah pupuk kompos yang berasal dari bahan organik seperti kotoran hewan, limbah organik, jerami yang proses dekomposisinya dipercepat dengan menggunakan Mikroorganisme Lokal (MOL). Pemupukan dengan pupuk organik MOL dimanfaatkan agar mikroorganisme dalam tanah dapat berperan dengan lebih baik sehingga mampu menguraikan dan


(22)

menyediakan nutrisi bagi tanaman, menghasilkan humus sebagai media unsur-unsur hara sebelum dimanfaatkan oleh akar tanaman (Darmawan, 2006).

Mikroorganisme lokal yang digunakan untuk mempercepat proses pengomposan limbah organik di Desa Sidodadi dibiakkan melalui proses fermentasi antara air beras dengan limbah buah-buahan seperti pisang, nenas, jeruk dan pepaya busuk. Hasil biakan MOL digunakan dalam proses pembuatan kompos untuk mempercepat proses dekomposisi limbah organik yang akan diaplikasikan ke lahan pertanian yang menggunakaan pola tanam SRI. Jadi sasaran dari program SRI ini adalah untuk meningkatkan hasil pertanian dengan lahan yang terbatas, menghasilkan produk yang sehat bagi produsen dan konsumen, serta menjaga kelestarian lingkungan.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalah ini dirumuskan yaitu:

a. Bagaimana perananan kompos MOL pada pola SRI berperan dalam peningkatan unsur hara tanah pada pola tanam SRI.

b. Bagaimana peranan kompos MOL dalam peningkatan populasi mikroba tanah pada pola tanam SRI.

c. Sejauh mana program SRI mampu berperan dalam pengelolaan lahan pertanian ramah lingkungan.


(23)

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan:

a. Untuk mengetahui peranan kompos MOL pada pola SRI dalam hubungannya dengan sifat fisika, kimia dan biologi tanah sawah khususnya di Desa Sidodadi Kabupaten Deli Serdang.

b. Untuk mengetahui bahwa penerapan program SRI di Desa Sidodadi Kabupaten Deli Sedang merupakan pengelolaan lahan pertanian ramah lingkungan.

1.4 Hipotesis

a. Pemberian kompos dapat memperbaiki sifat - sifat fisika, kimia dan mikrobiologi tanah sawah khususnya di Desa Sidodadi Kabupaten Deli Serdang.

b. Penerapan program SRI dengan penggunaan kompos di Desa Sidodadi Kabupaten Deli Serdang dapat menjadikan pertanian yang berwawasan lingkungan.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut:

a. Sebagai masukan untuk manajemen budidaya tanaman padi yang ramah lingkungan.

b. Sebagai alternatif sehingga petani tidak tergantung pada pupuk kimia yang dapat meninggalkan residu yang memberikan dampak negatif terhadap lingkungan. c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam mencegah pencemaran

lingkungan yang ditimbulkan akibat pemanfaatan pupuk kimia yang tidak bijaksana.


(24)

2.1. Ekosistem Pertanian dan Lingkungan

Ekosistem pertanian atau agro-ekosistem merupakan salah satu bentuk ekosistem binaan manusia yang perkembangannya ditujukan untuk memperoleh produk pertanian yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Salah satu bentuk ketidakstabilan ekosistem adalah letusan populasi organisme penyakit di lingkungan pertanian. Ada beberapa ciri dan sifat khas yang dimiliki oleh ekosistem pertanian.

a. Ekosistem pertanian sering tidak memiliki kontinuitas temporal. Keberadaannya dalam waktu yang terbatas dan sering mengalami perubahan iklim mikro yang mendadak sebagai akibat berbagai tindakan manusia seperti pengolahan lahan, pengairan, penyiangan gulma, pembakaran, pemangkasan, aplikasi fungisida kimia dan tindakan budidaya lainnya.

b. Struktur ekosistem pertanian didominasi jenis tanaman tertentu yang dipilih manusia dan sering merupakan jenis tanaman baru yang dimasukkan ke dalam ekosistem tersebut.

c. Sebagian besar ekosistem pertanian tidak memiliki diversitas generik dan genetik yang tinggi.


(25)

d. Tanaman umumnya mempunyai bentuk dan unsur sama sehingga secara fenologis seragam terutama ditujukan untuk memudahkan pengelolaan.

e. Unsur-unsur hara untuk tanaman biasanya dimasukkan dari luar melalui pemupukan. Akibatnya jaringan tanaman menjadi kaya unsur dan banyak berair. f. Pada ekosistem pertanian lebih sering terjadi penyakit dan hama, serta gulma,

sifat ini ada hubungannya dengan 5 sifat agro-ekosistem yang diuraikan sebelumnya (Untung, 1993).

2.2. Sistem Pertanian Organik

Perhatian masyarakat dunia terhadap persoalan pertanian, kesehatan dan lingkungan global dalam dasawarsa terakhir ini semakin meningkat. Kepedulian tersebut dilanjutkan dengan usaha-usaha yang konkrit untuk menghasilkan pangan tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya tanah, air, dan udara serta aman bagi kesehatan manusia. Salah satu usaha yang dirintis adalah dengan pengembangan pertanian organik yang akrab lingkungan dan menghasilkan pangan yang sehat, bebas dari residu obat-obatan dan zat-zat kimia yang mematikan. Sebenarnya pertanian organik ini sudah menjadi kearifan tradisional yang membudaya di kalangan petani di Indonesia. Namun, teknologi pertanian organik ini mulai ditinggalkan oleh petani ketika teknologi intensifikasi yang mengandalkan bahan agrokimia diterapkan di bidang pertanian. Sejak saat itu, petani menjadi target asupan agrokimia dan tergantung dari pihak luar (Sutanto, 2002 dalam Ruskandi, 2006).


(26)

Lebih lanjut Sutanto (2002) dalam Ruskandi (2006) menjelaskan bahwa pertanian organik atau budidaya organik dapat diartikan sebagai suatu sistem produksi pertanaman yang berasaskan daur ulang secara hayati. Daur ulang hara dapat melalui sarana limbah pertanaman dan ternak, serta limbah lainnya yang mampu memperbaiki status kesuburan dan struktur tanah. Daur ulang hara merupakan teknologi tradisional yang sudah cukup lama. Pakar pertanian di barat menyebutnya sebagai suatu sistem yang berusaha untuk mengembalikan semua jenis bahan organik ke dalam tanah, baik dalam bentuk limbah pertanaman maupun ternak yang selanjutnya bertujuan memberi makanan pada tanaman. Sistem pertanian atau budidaya organik merupakan salah satu alternatif solusi untuk membatasi kemungkinan dampak negatif yang ditimbulkan akibat budidaya kimia.

Sistem pertanian organik mengutamakan penggunaan bahan organik dan pendaurulangan limbah sistem pertanian berbasis bahan high input energy (bahan fosil) seperti pupuk kimia dan pestisida yang dapat merusak sifat-sifat tanah dan pada akhirnya menurunkan produktivitas tanah untuk waktu yang akan datang. Sistem pertanian alternatif yang menggunakan teknologi masukan rendah (low input

energy) diyakini mampu memelihara kesuburan tanah dan kelestarian lingkungan

sekaligus dapat mempertahankan atau meningkatkan produktivitas tanah (Nuryani dan Handayani, 2003).

Pemakaian bahan organik pada lahan pertanian akhir-akhir ini mendapat perhatian, disebabkan oleh peningkatan energi dan biaya untuk memproduksi pupuk sintesis dan juga masalah-masalah lingkungan yang berkaitan dengan metoda


(27)

pembuangan limbahnya (Chae dan Tabatabai, 1986). Penggunaan bahan organik mendapat perhatian kembali untuk pembangunan pertanian berkelanjutan karena dapat mengurangi fiksasi fosfor oleh tanah sehingga fosfor lebih tersedia dan dapat digunakan oleh tanaman. Pemberian bahan organik pada tanah dapat meningkatkan ruang pori. Semakin tinggi tekanan bahan organik, semakin banyak total ruang pori. Menurut hasil penelitian Darmijati (1987) diketahui bahwa pemberian bahan organik tidak banyak meningkatkan kandungan N tanah, tetapi menaikkan P dua sampai tiga kali dan kenaikkan K dua kali lebih besar daripada tanpa bahan organik, disamping itu terjadi penurunan Al dengan pemberian bahan organik yang semakin meningkat.

Perkembangan pertanian organik di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari perkembangan pertanian organik dunia, bahkan dapat dikatakan pemicu utama pertanian organik domestik adalah karena tingginya permintaan hasil pertanian organik di negara-negara maju. Hal ini dipicu oleh (1) menguatnya kesadaran lingkungan dan gaya hidup alami dari masyarakat, (2) dukungan kebijakan pemerintah nasional, (3) dukungan industri pengolahan pangan, (4) dukungan pasar konvensional (supermarket menyerap 50% produk pertanian organik), (5) adanya harga premium di tingkat konsumen, (6) adanya label generik dan (7) adanya kampanye nasional pertanian organik secara gencar (Hamm, 2000 dalam Surono, 2007).

Upaya di atas masih belum mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Sebagai ilustrasi, pertumbuhan permintaan pertanian organik dunia mencapai


(28)

15-20% pertahun, namun kemampuan pasar yang mampu dipenuhi hanya berkisar antara 0,5-2% dari keseluruhan produk pertanian. Meski di Eropa luas areal pertanian organik terus meningkat tetapi masih rata-rata di bawah 1% dari total lahan pertanian tahun 1987, meningkat menjadi 2-7% tahun 1997, dengan angka tertinggi di Austria mencapai 10,12%. Meski demikian peningkatan ini tetap saja belum mampu memenuhi pesatnya permintaan (Jolly, 2004 dalam Surono, 2007).

Penggunaan bahan organik di tanah diyakini dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Bahan organik tidak mutlak dibutuhkan di dalam nutrisi tanaman, tetapi digunakan untuk meningkatkan efisiensi penyerapan nutrisi tanaman. Sumbangan bahan organik terhadap pertumbuhan tanaman berupa pengaruhnya terhadap sifat-sifat fisik, kimia, dan bioiogis dari tanah. Bahan organik memiliki peranan kimia di dalam menyediakan N, P, dan S untuk tanaman, peranan biologis di dalam mempengaruhi aktivitas organisme mikroflora dan mikrofauna, serta peranan fisik dalam mempengaruhi struktur tanah dan lainnya (Engelstad, 1991 dalam Handayani, 2003).

Nuryani dan Handayani (2003) menyatakan berdasarkan takrif sistem pertanian masukan teknologi rendah, maka tujuan yang akan dicapai, yaitu:

a. Berusaha mengoptimalkan pengelolaan dan penggunaan input produksi dari dalam usaha tani (on farm resources), sehingga diperoleh hasil pertanian dan peternakan yang memadai dan secara ekonomi menguntungkan. Pendekatan ini menitikberatkan pada pengelolaan tanaman, seperti pergiliran tanaman,


(29)

pendauran ulang limbah pertanian, memanfaatkan pupuk kandang atau kotoran ternak.

b. Membatasi ketergantungan pertanian pada masukan yang berasal dan luar usaha tani (off-farm resources), seperti pupuk pabrik dan pestisida, sedapat mungkin dilaksanakan penurunan biaya produksi, menghindarkan polusi terhadap air permukaan dan air tanah, membatasi residu pestisida dalam makanan, membatasi semua resiko yang dihadapi petani, dan meningkatkan keuntungan usahatani untuk jangka pendek dan jangka panjang.

c. Sistem pertanian ini tetap memanfaatkan teknologi modern, seperti benih hibrida beriabel, melaksanakan konservasi tanah dan air, pengelolaan tanah yang berasaskan konservasi. Membatasi penggunaan dan keperluan yang berasal dari luar usahatani seperti pupuk pabrik dan pestisida, dengan mengembangkan pergiliran tanaman, mengembangkan pengelolaan tanaman dan ternak secara terpadu, mendaur ulang limbah pertanian dan pupuk kandang untuk mempertahankan produktivitas tanah.

2.2.1. Pengertian dan Perkembangan SRI Sebagai Salah Satu Pertanian Organik

Saat ini telah dikembangkan suatu metode penanaman padi yang mampu memberikan hasil panen yang jauh lebih tinggi dengan pemakaian bibit dan input yang lebih sedikit dari pada metode tradisional (misalnya air) atau metode yang lebih modern (pemakaian pupuk dan asupan kimiawi lain) metode ini dikenal dengan sebutan System of Rich Intensification (SRI). Metode ini mengembangkan


(30)

teknik manajemen yang berbeda atas tanaman, tanah, air dan nutrisi. Sistem intensifikasi padi ini telah terbukti sukses diterapkan di sejumlah negara terutama di Madagaskar (Berkelaar, 2002).

SRI dikembangkan di Madagaskar awal tahun 1980 oleh Henri de Lauline, seorang pastor Jesuit yang hidup bersama petani-petani di sana. Tahun 1990 dibentuk Association Tefy Saina (ATS), sebuah LSM di Madagaskar untuk memperkenalkan SRI. Empat tahun kemudian, Cornell International Institution

for Food, Agriculture and Development (CIIFAD), mulai bekerja sama dengan

Tefy Saina untuk memperkenalkan SRI di sekitar Ranomafana National Park di Madagaskar Timur, didukung oleh US Agency for International Development (Berkelaar, 2002). Pada tahun 1999 sistem ini dicobakan di Indonesia dan Cina.

Penerapan sistem tersebut menunjukkan peningkatan produksi. Secara konvensional diperoleh produksi padi hanya 2 ton/ha, sedangkan dengan SRI diperoleh hasil 7 - 10 ton/ha. Sistem ini telah dicobakan di 18 negara dan menunjukkan hasil yang memuaskan (Rabenandrasana, 2002 dalam Handayani et al, 2006).

Model optimasi lahan sawah melalui metoda SRI adalah usaha tani padi sawah secara intensif dan efisien melalui pengelolaan tanah, tanaman dan air yang berbasis pada kaidah ramah lingkungan. SRI diterapkan melalui proses pemberdayaan petani dalam pengelolaan lahan dan air (sumber daya manusia, dan sumber daya lahan dan air) dengan pertimbangan jauh ke depan yaitu nilai-nilai keberlanjutan (DEPTAN, 2006).


(31)

Metode SRI minimal menghasilkan panen dua kali lipat dibandingkan dengan sistem bercocok tanam padi lain yang pernah ditanam. Petani tidak harus menggunakan input luar untuk memperoleh manfaat SRI. Metode ini juga bisa diterapkan untuk berbagai varietas yang biasa dipakai petani. Hanya saja, diperlukan pikiran yang terbuka untuk menerima metode baru dan kemauan untuk bereksperimen. Dalam SRI tanaman diperlakukan sebagai organisme hidup sebagaimana mestinya, bukan diperlakukan seperti mesin yang dapat dimanipulasi. Semua unsur potensi dalam tanaman padi dikembangkan dengan cara memberikan kondisi yang sesuai dengan pertumbuhan padi. SRI mengembangkan praktek pengelolaan padi yang memperhatikan kondisi pertumbuhan tanaman yang lebih baik, terutama di zona perakaran, dibandingkan dengan teknik budidaya cara tradisional (Berkelaar, 2002).

Sistem budidaya SRI ini menerapkan konsep hemat air. Keuntungannya adalah umur bibit muda tumbuh lebih baik dalam kondisi aerob. Penelitian di bidang SRI telah dilakukan di Jepang oleh T. Katajana. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan tanaman di tanah tidak tergenang memiliki perkembangan mikroorganisme tanah lebih baik, serta memiliki jumlah sel aereuleima akar yang lebih banyak, selain itu jumlah sel produktif meningkat dan Keuntungan lain yang diperoleh yaitu hama lebih terkendali (Handayani et al, 2006).


(32)

2.2.2. Proses Pengolahan Padi dengan PolaTanam SRI

Untuk mendapatkan media tumbuh yang baik maka lahan diolah, seperti tanam biasa dibajak, digaru kemudian diratakan, dilakukan penaburan pupuk organik pada saat digaru yang dilakukan pada pengolahan tanah kedua. Pupuk organik sebelumnya dikomposkan terlebih dahulu. sehingga diperoleh kompos yang lapuk dan jadi. Hal ini bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi mikroorganisme dalam tanah berkembang dengan baik. Komposisi bahan kompos yang cukup baik adalah: Kotoran sapi (yang bercampur dengan kencingnya akan lebih baik, minimal 40%, kotoran ayam maksimum 25%, serbuk gergaji bukan dari kayu jati dan pohon kelapa sebanyak 5%, abu dapur sebanyak 10%, kapur (Calsit) 2%, bio Lahan (Kuswara, 2006)

Lebih lanjut Kuswara (2005) menyatakan bahwa kebutuhan pupuk organik per hektar antara 7 – 10 ton, saat penaburan pupuk organik dan meratakan tanah air dijaga agar tidak mengalir supaya nutrisi tidak hanyut. Selanjutnya di pinggir dan di tengah petakan dibuat parit agar mudah mengatur air. Setelah diratakan tanah dijaga tetap lembab air dijaga tetap lembab jangan sampai kering, baik jika dilakukan selama 3 – 4 hari sebelum ditanam, hal ini juga mempermudah pembuatan garitan. Kebutuhan benih untuk tanaman padi SRI adalah untuk 100 bata (0.14 Ha), adalah 0.7 – 1 kg, sedangkan kebutuhan per ha adalah 4.9 – 7 kg. Bila dibandingkan dengan cara tanam biasa rata-rata kebutuhan benih per Ha adalah 35 – 45 kg. bahkan ada yang mencapai 50 – 60 kg, dengan demikian SRI sangat efisien. Benih ditanam pada umur 7 – 10 hari setelah semai. Persemaian untuk SRI dapat


(33)

dilakukan dalam petakan khusus berbentuk kotak. Kebutuhan kotak per 0.14 Ha (420 – 490 buah/ha). Tanah dalam kotak sebagai media tumbuh benih di campur dengan pupuk organik dengan perbandingan 1 : 1.

Bibit ditanam terdiri satu tanaman untuk satu lubang hal ini dilakukan agar tanaman memiliki ruang untuk menyebar dan menperdalam perakaran. Sehingga tanaman tidak bersaing untuk memeeroleh ruang tumbuh, cahaya, atau nutrisi dalam tanah. Benih ditanam dangkal kira – kira 1 – 1,5 cm dan saat menanam bibit di lapangan, benamkan benih dalam posisi horizontal agar ujung – ujung akar tidak menghadap ke atas. Hal ini dilakukan jika akar tertekuk ke atas maka benih memerlukan energi besar dalam memulai pertumbuhan kembali, dan akar baru akan tumbuh dari ujung tersebut. Jarak tanam pada pola SRI antara lain 25x25 cm, 27x27 cm atau 30x30 cm. Pada prinsipnya tanaman harus mempunyai ruang cukup untuk tumbuh. Jarak tanam yang optimum semakin meningkatkan jumlah anakan produktif, karena persaingan oksigen, energi matahari dan nutrisi semakin berkurang (Berkelaar, 2002).

Pupuk tambahan untuk SRI dari kajian yang dilakukan di jaringan PPHTI tanam padi metodi SRI adalah pupuk organik yang diberikan pada pengolahan tanah kedua. Selanjutnya pupuk tambahan hanya diberikan dengan menyemprotkan pupuk organik cair. Pupuk tersebut terbuat dari fermentasi sisa makanan seperti jus nenas, jus buah-buahan dan fermentasi kotoran hewan. Seluruh pupuk cair tersebut dapat dibuat dengan mudah oleh petani dari bahan-bahan yang tersedia di sekitar tempat tinggal petani. Penyemprotan dilakukan pada tanaman berumur 2, 4, 6, 8 minggu


(34)

dan setelah pembungaan masak susu. Pola SRI yang dikembangkan tidak menggunakan pupuk organik seperti Urea, TSP dan KCL. Maupun pupuk an-organik lainnya. Dengan demikian seluruh proses pengolahannya adalah dengan cara pertanian ramah lingkungan menurut konsep pengendalian hama terpadu. Dalam prakteknya cara tersebut adalah melalui pendekatan pengelolaan unsur ekosistem. Untuk mengelola proses tersebut maka kemampuan, petani dalam pengamatan sangat diperlukan, agar petani mampu mengambil keputusan pengelolaan yang tepat (Kuswara, 2006).

Tanaman padi sawah berdasarkan praktek SRI ternyata bukan tanaman air tetapi dalam pertumbuhannya membutuhkan air. Dengan demikian maka padi ditanam pada kondisi tanah yang tidak tergenang, dengan tujuan menyediakan oksigen lebih banyak di dalam tanah, kemudian dimanfaatkan oleh akar. Sehingga air dapat diminimalkan dibandingnkan sistem pertanian anorganik. Dengan sistem SRI petani hanya memakai kurang dari ½ kebutuhan air pada sistem pertanian tradisional yang biasanya mengenai tanaman padi. Tanah cukup dijaga lembab selama tahap vegetatif, untuk memungkinkan lebih banyak oksigen bagi pertumbuhan akar. Seminggu sekali tanah harus dikeringkan samai retak. Hal ini dimaksudkan agar oksigen dari udara mampu masuk ke dalam tanah dan mendorong akar untuk mencari air. Sebaliknya jika sawah terus digenangi, akar akan sulit tumbuh dan menyebar, serta kekurangan oksigen untuk dapat tumbuh dengan subur. Kondisi tidak tergenang, yang dikombinasikan dengan pendagirian mekanis, akan menghasilkan lebih banyak udara masuk kedalam tanah dan akar


(35)

berkembang lebih besar sehingga dapat menyerap nutrisi lebih banyak (Berkelaar, 2002).

Pengendalian hama dilakukan dengan PHT, yaitu dengan mengelola unsur ekosistem sebagai alat pengendalian hama dan penyakit tanaman. Pada prinsipnya pengelolaan potensi usaha tani. Dalam kaitannya dengan pengelolaan potensi usaha tani proses belajar diarahkan pada bagaimana petani mampu mengelola unsur ekosistem sebagai sebuah potensi yang dapat dikembangkan. Contoh kemampuan potensi dalam pengelolaan unsur ekosistem sebagai praktek pertanian yang ramah lingkungan (Kuswara, 2006).

Lebih lanjut Kuswara (2006) menyatakan produksi padi dengan cara SRI berdasarkan hasil kajian di KSP mencapai 7.36 – 12.6 ton/Ha. Hal ini didukung oleh jumlah tunas produktif perumpunan paling rendah 33, pertengahan 45 dan jumlah tunas tertinggi per rumpun 72 tunas bahkan ada yang mencapai 92 tunas produktif. Hasil produksi ini dihasilkan dari proses pengelolan tanah, tanaman dan air yang sesuai dengan kebutuhan tanaman padi. Perpaduan konsep pemahaman PET dan SRI telah menghasilkan konsep dasar pertanian organik yang benar.

2.3. Pengomposan

Pengomposan merupakan salah satu proses pengolahan buangan (limbah) secara aerobik dan anaerobik. Kedua proses tersebut berjalan saling menunjang dan menghasilkan pupuk organik atau kompos. Sisa-sisa bahan organik yang ditumpuk mengalami perubahan melalui proses degradasi, baik secara aerobik maupun


(36)

anaerobik. Pengomposan merupakan proses biokimia yang mengubah material organik menjadi humus. Proses tersebut bisa dipercepat oleh perlakuan manusia, sehingga menghasilkan kompos yang berkualitas baik dalam waktu tidak telalu lama (Toharisman dan Hutasoit, 1993).

Kompos adalah bahan-bahan organik (sampah organik) yang telah mengalami proses pelapukan karena adanya interaksi dengan mikroorganisme dekomposer yang bekerja di dalamnya. Bahan-bahan organik tersebut seperti dedaunan, rumput, jerami, sisa-sisa ranting dan dahan, rerontokan kembang, air seni, dan lain-lain. Adapun kelangsungan hidup mikroorganisme tersebut didukung oleh keadaan lingkungan yang basah dan lembab (Murbandono, 2006).

Mengigat bahwa pupuk organik (kompos) sangat berperan mendukung keberhasilan budidaya tanaman untuk melindungi konsumen/pengguna dipandang perlu adanya suatu ketentuan mengenai pupuk organik yang diedarkan di wilayah Indonesia harus memenuhi standar mutu. Standar mutu pupuk organik (kompos) diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 02/Pert/HK.060/2/2006 Tentang Pupuk Organik. Pengambilan contoh pupuk organik (kompos) bentuk padat mengacu pada SNI Nomor 19 - 0428 - 1989 dan bentuk cair mengacu pada SNl 19 - 0429 - 1989.

Kriteria produk akhir dari kompos adalah kriteria yang berkaitan dengan sifat-sifat fisik dan kandungan bahan kimia daiam kompos yang dihasilkan, yang akan digunakan sebagai acuan untuk memastikan bahwa kompos yang dihasilkan memenuhi standar kualitas yang diminta oleh pasar. Standar kualitas kompos


(37)

menurut ketentuan Program Subsidi Kompos setara dengan pupuk organik seperti yang dibakukan oleh Standar Internasional dan preferensi beberapa pengguna /pembeli kompos yang disajikan dalam Tabel 1.

Kriteria produk akhir dari kompos adalah kriteria yang berkaitan dengan sifat-sifat fisik dan kandungan bahan kimia dalam kompos yang dihasilkan, yang akan digunakan sebagai acuan untuk memastikan bahwa kompos yang dihasilkan memenuhi standar kualitas yang diminta oleh pasar. Standar kualitas kompos menurut ketentuan Program Subsidi Kompos serta dengan pupuk organic seperti yang dibakukan oleh Standar Internasional dan prefensi beberapa pengguna/pembeli kompos yang disajikan dalam tabel berikut:

Tabel 1. Standar Kualitas Pupuk Organik Menurut Internasional, PT. Pusri dan Pasar Khusus (Persyaratan Opsional Menurut Permintaan Pasar)


(38)

2.3.1. Pengelolaan Limbah Buah-buahan menjadi MOL Sebagai Inokulan dalam Proses Pengomposan

Indonesia sangat kaya sumber daya tanaman holtikultura, termasuk di dalamnya jenis buah-buahan. Buah-buahan umumnya memiliki rasa yang manis dan aroma yang khas sehingga sangat popular. Buah-buahan memiliki manfaat yang beragam. Umumnya buah memiliki nilai gizi yang sangat penting sebagai sumber provitamin A dan vitamin C. Dari hasil produksi buah-buahan di Indonesia yang melimpah dan permintaan pasar yang terus meningkat maka persediaan buah-buahan juga akan meningkat (Vincent, 1999 dalam Galileo 2007).

Buah-buahan tersebut apabila tidak segera dimanfaatkan akan layu dan membusuk, sehingga dapat terjadi pembuangan secara besar-besaran di tempat sampah. Limbah buah-buahan ini berasal dari sisa-sisa hasil penjualan yang telah rusak atau membusuk, karena tidak semua buah-buahan tersebut dapat habis terjual. Hasil survei di daerah Karangpandan dan Matesih menunjukkan bahwa limbah buah-buhan digunakan oleh sebagian petani sebagai pengganti pupuk buatan untuk membantu memulihkan kesuburan tanah. Selain itu limbah buah-buahan tersebut juga digunakan sebagai bahan campuran dengan pupuk kandang. Hasil survei tersebut memperlihatkan bahwa limbah buah-buahan merupakan salah satu sampah organik yang dapat digunakan sebagai media biakan (inokulan) mikroba yang mampu mendegradasi bahan-bahan organik (Galileo, 2007).


(39)

Penelitian yang dilakukan oleh Winaryu (2005) dalam Galileo (2007) menunjukkan bahwa limbah pepaya dan EM-4 (Emulsifier Mikroorganisme) berpengaruh terhadap lamanya pengomposan sampah organik, yaitu pada konsentrasi 100 ml limbah pepaya membutuhkan waktu pengomposan 36 hari. Konsentrasi 200 ml limbah pepaya membutuhkan waktu pengomposan 24 hari dan untuk kontrol tanpa perlakuan membutuhkan waktu pengomposan 45 hari, sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi konsentrasi limbah pepaya (inokulan) yang ditambahkan semakin cepat waktu pengomposan.

Maria (2006) dalam Galileo (2007) juga meneliti tentang penggunaan inokulan EM-4, kotoran kuda dan limbah buah-buhan dalam proses pengomposan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa EM-4 merupakan inokulan yang paling cepat dalam proses pengomposan sampah kedelai yaitu 25 hari, inokulan limbah buah-buhan membutuhkan waktu 30 hari dan kotoran kuda membutuhkan waktu 35 hari.

2.3.2 Peranan Mikroorgasnisme Dalam Proses Dekomposisi / Pengomposan

Isroi (1994) menyatakan bahwa proses pengomposan alami memakan waktu yang sangat lama, antara 6-12 bulan sampai bahan organik tersebut benar-benar tersedia bagi tanaman. Proses pengomposan dapat dipercepat dengan menggunakan mikroba penghancur (dekomposer) yang berkemampuan tinggi. Penggunaan mikroba dapat mempersingkat proses dekomposisi dari beberapa bulan menjadi beberapa minggu saja.


(40)

Pengomposan merupakan proses penguraian aerobik-termofilik dari konstituen organik (misalnya dari sampah 1 buangan organik alami termasuk juga limbah dari buah-buahan) menjadi produk akhir yang relatif stabil, menyerupai humus. Ada 3 group mikroorganisme yang berperan, yaitu: bakteri, aktinomisetes dan fungi. Bakteri mengurai senyawa golongan protein, lipid dan lemak pada kondisi termofilik serta menghasilkan energi panas. Aktinomisetes dan fungi yang selama proses pengomposan berada pada kondisi mesofilik dan termofilik berfungsi untuk mengurai senyawa-senyawa organik yang kompleks dan selulosa dari bahan organik atau dari bulking agent. Faktor kondisi lingkungan selama operasional sangat berpengaruh terhadap aktivitas mikroorganisme dalam proses oksidasi-dekomposisi tersebut dan pada akhirnya berpengaruh terhadap kecepatan dan siklus proses pengomposan serta kualitas kompos yang dihasilkan (Supriyanto, 2000).

2.3.3. Peranan Kompos

Hasil akhir dari pengomposan merupakan bahan yang sangat dibutuhkan untuk kepentingan tanah pertanian di Indonesia, sebagai upaya untuk memperbaiki sifat kimia, fisika dan biologi tanah, sehingga produksi tanaman menjadi lebih tinggi. Kompos yang dihasilkan dari pengomposan sampah/limbah dapat digunakan untuk menguatkan struktur lahan kritis, menggemburkan kembali tanah pertanian, menggemburkan kembali tanah pertamanan, sebagai bahan penutup sampah di TPA, reklamasi pantai pasca penambangan, dan sebagai media tanaman, serta mengurangi penggunaan pupuk kimia (Bapedalda Jatim, 2007).


(41)

a. Meningkatkan Unsur Hara Tanah

Pengelolaan kesuburan tanah secara biologi umumnya difokuskan pada pengelolaan bahan organik dengan memanfaatkan mikroorganisme tanah untuk menyediakan hara bagi tanaman dan untuk meningkatkan kandungan bahan organik tanah. Dalam pengelolaan bahan organik, berbagai proses dan faktor yang berkaitan dengan kecepatan penyediaan hara untuk tanaman dan kontribusi pada bahan organik tanah perlu dipertimbangkan. Pemanfaatan biofertilizer yaitu dengan pemanfaatan mikroorganisme di alam yang menguntungkan dapat membantu proses metabolisme dalam tanah sehingga tanah mampu menyediakan unsur hara yang diperlukan tanaman. SRI mengembangkan praktek pengelolaan padi yang memperhatikan kondisi pertumbuhan tanaman yang lebih baik, terutama di zona perakaran dibandingkan dengan teknik budidaya cara tradisional (Handayanto, 1998).

Untuk meningkatkan kesuburan tanah, pemberian pupuk anorganik (buatan) saja tidak cukup, perlu diberikan pupuk organik dan salah satu di antaranya adalah kompos. Kompos selain mudah didapat dan murah harganya juga merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme bermanfaat di dalam tanah. Pupuk organik juga akan memberikan sumbangan unsur hara ke dalam tanah. Semakin tinggi kandungan unsur hara dalam pupuk organik, semakin tinggi ketersediaan unsur hara tanah apabila diberikan ke dalam tanah sehingga hasil tanaman dapat meningkat (Stevenson, 1982 dalam Syukur, (2007).


(42)

Salah satu masalah yang sering ditemui ketika menerapkan pertanian organik adalah kandungan bahan organik dan status hara tanah yang rendah. Petani organik mengatasi masalah tersebut dengan memberikan pupuk hijau atau pupuk kandang. Kedua jenis pupuk itu adalah limbah organik yang telah mengalami penghancuran sehingga menjadi tersedia bagi tanaman (Isroi, 2004).

Menurut Bekti dan Surdianto (2001), peranan bahan organik terhadap unsur hara tanah meliputi:

i. Peranan Bahan Organik Tanah terhadap Fisik Tanah

Sifat humus dari bahan organik adalah gembur, bobot isi rendah dengan kelembaban tanah tinggi serta temperatur tanah yang stabil mampu meningkatkan kegiatan jasad mikro tanah, sehingga pencampurannya dengan bagian mineral memberikan struktur tanah yang gembur dan remah serta mudah diolah. Struktur tanah yang demikian merupakan keadaan fisik tanah yang baik untuk media pertumbuhan tanaman. Tanah yang bertekstur liat, pasir atau tanah yang berstruktur gumpal, bila dicampur dengan bahan organik, memberikan sifat fisik yang lebih baik. Tanah yang kandungan bahan organiknya tinggi, lebih mudah diolah daripada yang kandungan bahan organiknya rendah. Tanah seperti ini tidak membentuk kerak (crust) dan tidak merekah besar (crack) jika kering dan mempunyai tingkat kekerasaan yang rendah.


(43)

ii. Peranan Bahan Organik Tanah terhadap Kimia Tanah

Bahan organik berfungsi sebagai gudang penyimpan hara, juga mudah melepaskan hara tersebut untuk dipakai oleh tanaman. Fosfat yang semula terfiksasi Ca, Fe dan Al dan tidak dapat diserap tanaman menjadi tersedia bila unsur-unsur Ca, Fe dan Al tersebut diikat oleh bahan organik menjadi organokompleks. Proses ini adalah proses kimia, sehingga kelarutan Al dan Fe dalam tanah yang semula tinggi dan bersifat racun dapat dikurangi. Tidak semua Al dan Fe tersebut dapat terikat tetapi hanya beberapa bentuk dalam senyawa tertentu. Dengan berkurangnya kadar Al dan Fe pada penggunaan bahan organik, maka pengapuran tanah yang bertujuan untuk mengurangi keracunan Fe dan Al dapat juga dikurangi atau bahkan dapat ditiadakan tetapi pengapuran yang bertujuan untuk mensuplai hara Ca, masih diperlukan. Pada sawah, kehilangan N melalui volatilisasi amonia, dapat dikurangi karena ion amonium diikat humus dalam tanah sehingga menjadi tersedia untuk tanaman.

iii. Peranan Bahan Organik Tanah terhadap Biologi Tanah

Bahan organik tanah adalah sumber utama energi atau menjadi bahan makanan bagi aktivitas jasad mikro tanah. Penambahan bahan organik dengan C/N rasio tinggi mendorong pembiakan jasad renik dan mengikat beberapa unsur hara tanaman. Setelah C/N rasio turun, sebagian jasad mikro mati dan melepaskan kembali unsur hara ke tanah. Makin banyak bahan organik, makin banyak populasi jasad mikro dalam tanah.


(44)

Penyerapan zat hara yang disediakan pupuk kompos relatif lebih lama dibanding dengan pemberian pupuk buatan, namun jangka waktu manfaatnya bagi tanaman padi lebih lama. Relatif lamanya penyerapan zat hara dari pupuk kompos karena pupuk kompos tersebut harus dirombak lebih dahulu oleh jasad renik menjadi bentuk yang sederhana agar mudah diserap oleh akar tanaman. Pemberian pupuk kompos dalam jangka waktu lama, justru akan memperbaiki struktur tanah dan meningkatkan aerasi (Adiningsih, 2000).

Menurut Harjowigeno (1996) untuk mengetahui kekurangan unsur hara dalam tanah dilakukan beberapa cara, salah satunya dengan analisis tanah. Kriteria penilaian hasil analisis tanah disajikan pada tabel berikut ini :


(45)

b. Meningkatkan Populasi Mikroba Tanah

Kesuburan tanah merupakan kunci utama dalam sistem pertanian berkelanjutan. Salah satu alternatif pengolahan kesuburan tanah dalam sistem pertanian yang berkelanjutan adalah pengolahan kesuburan tanah secara biologis. Fokus utama dalam pengelolaan tanah secara biologi adalah pengelolaan bahan organik dan pemanfaatan mikroorganisme tanah untuk menyediakan hara bagi tanaman dan untuk meningkatkan hara tanah (Handayanto, 1998).

Mikroba-mikroba tanah banyak berperan dalam penyediaan maupun penyerapan unsur hara bagi tanaman. Tiga unsur hara yaitu Nitrogen (N), fosfat (P), dan kalium (K) daur ulangnya melibatkan aktivitas mikroba. Unsur N udara tidak dapat langsung dimanfaatkan tanaman tetapi N harus ditambat oleh mikroba dan diubah bentuknya sehingga dapat dipergunakan oleh tanaman. Mikroba penambat N ada yang bersimbiosis dan ada pula yang hidup bebas. Mikroba penambat N simbiotik antara lain Rhizobium sp, yang hidup di dalam bintil akar tanaman kacang-kacangan (leguminose). Mikroba penambat N non-simbiotik misalnya

Azospirillum sp. dan Azotobacter sp. Mikroba penambat N simbiotik hanya bisa

digunakan untuk tanaman leguminose saja, sedangkan mikroba penambat N non-simbiotik dapat digunakan untuk semua jenis tanaman. Kelompok mikroba penyedia unsur N mencakup: Azotobacter chococum, Azomonas argilis,

Azatobacter beijirienck, Azospirillum lipoperum, Azospirillum brazilensi,

Sianobakterium, Rhizobium japonicum, Rizobium lupini dan Rhizobium


(46)

Mikroba tanah lain yang berperan dalam penyediaan unsur hara adalah mikroba pelarut fosfat (P) dan kalium (K). Tanah pertanian umumnya memiliki kandungan P cukup tinggi (jenuh), hara P ini sedikit/tidak tersedia bagi tanaman karena terikat pada mineral liat tanah. Mikroba pelarut P dapat melepaskan ikatan P dari mineral liat dan menyediakannya bagi tanaman. Banyak sekali mikroba yang mampu melarutkan P, antara lain Aspergillus niger, Penicillium sp, Pseudomonas sp, dan Bacillus megatherium, Lolium multiflorum, Bacillus cereus, dan

Pseudomonas diminuta. Mikroba yang berkemampuan tinggi melarutkan P,

umumnya juga berkemampuan tinggi dalam melarutkan K. Kelompok mikroba lain yang juga berperan dalam penyerapan unsur P adalah mikoriza yang bersimbiosis pada akar tanaman.

Setidaknya ada dua jenis mikoriza yang sering dipakai untuk biofertilizer, yaitu ektomikoriza dan endomikoriza. Mikoriza berperan dalam melarutkan P dan membantu penyerapan hara P oleh tanaman. Selain itu, tanaman yang bermikoriza umumnya juga lebih tahan terhadap kekeringan. Contoh mikoriza yang sering dimanfaatkan adalah Glomus sp. dan Gigaspora sp. Tanah sangat kaya keragaman mikroorganisme, seperti bakteri, aktinomicetes, fungi, protozoa, alga, dan virus. Tanah pertanian yang subur mengandung lebih dari 100 juta mikroba per gram tanah (Isroi 2004). Tingginya mikroorganisme di tanah lapisan atas dapat dijadikan indikasi betapa pentingnya keberadaan mikroorganisme dalam berbagai proses biologi di lingkungan tersebut. Populasi mikroba ditentukan berdasarkan kedalamannya. Pada umumnya mikroba banyak terdapat pada permukaan tanah.


(47)

Semakin ke dalam jumlahnya semakin menurun. Pertumbuhan bakteri berdasarkan kedalaman tanah dapat dilihat dari tabel berikut ini:

Tabel 3. Populasi mikroorganisme berdasarkan kedalaman tanah

Mikroorganisme/g tanah x 103 Kedalaman

cm Bakteri aerob Bakteri

anaerob

Aktinomecetes Fungi Algae

3 - 8 7800 1950 2080 119 25

20 – 25 1800 379 245 50 5

35 – 40 472 98 49 14 0,5

65 – 75 10 1 5 6 0,1

135 – 145 1 0,4 - 3

-Sumber : Introduction to Soil Microbiology (Alexander, 1977).

Mikroba pada umumnya hidup di atas permukaan tanah disebabkan kondisi lingkungan yang mendukung seperti ketersedian oksigen, karbon, kelembaban, pH dan nutrisi yang cukup. Produktivitas dan daya dukung tanah tergantung pada akitifitas mikroba tersebut. Sebagian besar mikroba tanah memiliki peranan yang menguntungkan bagi pertanian, yaitu berperan dalam menghancurkan limbah organik, daur hara tanaman, fiksasi nitrogen hayati, pelarutan fosfat, merangsang pertumbuhan, biokontrol patogen, dan membantu penyerapan unsur hara. Bioteknologi berbasis mikroba dikembangkan dengan memanfaatkan peran-peran penting mikroba tersebut (Alexander, 1977).

Ion-ion tertentu di dalam tanah tidak dapat langsung diserap oleh akar tanaman dan bahkan ada yang bersifat racun bagi tanaman tersebut. Siderophore adalah suatu zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme tanah yang berfungsi sebagai agen pengikat (chelating agent) sehingga mampu mengubah ion komplek menjadi ion sederhana yang bisa diserap tanaman. Fe3+ tidak dapat larut pada pH netral


(48)

sehingga tidak langsung bisa diserap tanaman, dengan adanya siderophore maka ion Fe3+ dapat diikat dan diubah menjadi ion yang lebih sederhana yaitu Fe2+ sehingga mampu diserap tanaman. Contoh dari siderophore yang dihasilkan dari bebarapa jamur dan bakteri adalah: ferrichrome (Ustilago sphaerogea),

enterobactin (Escherichia coli), enterobactin dan bacillibactin (Bacillus subtilis), ferriocchamine B (Streptomyces pulosus), fusarinine C (Fusarium roseum) yersiniabactin (Yersinia pestis), vibriobactin (Vibrio cholerae), azatobactin (Azotobacter vinelandii), pseudobactin (Pseudomonas B10) atau erythrobactin (Saccharopolyspora erythraea) (Vandenbergh et al, 1983).

Plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) adalah penambahan bakteri

pada perakaran tanaman (rizosfer) yang memiliki peranan penting dalam pertumbuhan tanaman. Sehingga dapat menekan pertumbuhan patogen tanaman, dengan dua mekanisme : (1) memacu pertumbuhan tanaman sehingga tanaman lebih sehat sehingga tidak mudah diserang oleh patogen, dan (2) menghasilkan metabolit tertentu seperti : antibiotik, siderosfore dan HCN yang dapat membunuh patogen. PGPR memiliki beberapa fungsi khususnya bagi tanaman antara lain dapat meningkatkan kesuburan tanah dan sebagai agen pengendali biologi yang berkorelasi dengan pemacu pertumbuhan tanaman dapat menghambat pertumbuhan Sclerotium

rolfsii dan Pythium ultimum (Nelson, 2004).

PGPR dapat mengurangi pencemaran lingkungan dan penggunaan bahan kimia yang dapat bersifat racun terhadap manusia. Pemanfaatan bakteri


(49)

menyerang unsur-unsur pathogen bagi tanaman sehingga ketergantungan terhadap bahan kimia dapat ditekan (Burelle et al, 2005).

2.4. Pemberdayaan Masyarakat Petani

Pemerintah Indonesia perlu menerapkan pendekatan pembangunan bagi masyarakat tani disebabkan karena semakin banyaknya gejolak-gejolak sosial yang timbul sebagai dampak dari aktivitas pembangunan. Pendekatan yang diterapkan yakni pendekatan yang dilakukan masyarakat tani lokal bukan sebagai objek tetapi sebagai subjek dengan mengajak masyarakat untuk turut berperan dalam proses pembangunan (Hadi, 2002).

Wujud peran serta masyarakat dalam Pembangunan Nasional dengan pemberdayaan masyarakat pedesaan yakni adanya gerakan penguatan kemandirian dan posisi sosial ekonomi-politik, untuk mewujudkan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan Sosial (Anonim, 2002). Upaya pemberdayaan masyarakat pedesaan dilakukan dengan cara :

a. Melakukan pelatihan pada petani melalui Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu ( SLPHT) pengelolaan makcro kredit pertanian.

b. Pembentukan dan pengelolaan kelompok tani, pengembangan pertanian organik terpadu dan pemasaran produk pertanian.

c. Memfasilitasi masyarakat dalam perluasan kelompok simpan pinjam. Perintisan kelompok warung sembako, pengembangan tanaman obat dan pekarangan, pendidkan, pengaksaraan, dsb.


(50)

d. Pengembangan mutu kehidupan desa.

e. Pengembangan Produk dan Pemasaran alternatif Komoditi pertanian.

Mengingat kualitas sumber daya petani sangat rendah, maka untuk mengubah perilaku petani dilakukan melalui pendidikan luar sekolah (non formal). Bila kita cermati perilaku pelaku usaha tani secara umum saat ini setidaknya ditemukan tidak pandangan dan sekaligus perilaku usaha taninya di lapangan, dapat dianalisis menjadi tiga bagan sebagai berikut :

Pandangan I. Perilaku pemberantasan

Pandangan ini hanya berpikir bahwa di lahan sawah hanya ada tanaman dan hama, sehingga hama harus dibasmi. Pestisida memegang peranan penting dalam pemberantasan hama. Permasalahan yang timbul apabila pestisida tidak dapat membasmi hama secara tuntas akan memberikan dampak hama menjadi kebal, peledakan hama yang tiba-tiba (resurgensi), pencemaran lingkungan, terbunuhnya jasad bukan sasaran sehingga mengurangi keragaman unsur hayati, gangguan terhadap kesehatan manusia dan pencemaran lingkungan.

Pandangan II

Pandangan ini mulai ada kemajuan bahwa dalam lahan usaha tani, ternyata ada serangga atau makhluk hidup yang berguna dimanfaatkan, namun demikian jika hama dengan perhitungan ambang ekonomi tidak menguntungkan maka pestisida yang dapat menekan serangan hama. Jika dicermati lebih dalam ternyata yang berubah adalah soal waktu dan legalitas penggunaan pestisida, karena ketika ambang ekonomi digunakan sebagai dasar penyemprotan, maka dalam prakteknya


(51)

belum memperhitungkan berapa musuh alami yang ada? Bagaimana stadia hama tersebut?

Pandangan dan perilaku ini sebenarnya memulai mempraktekkan pengelolaan unsur ekosistem, tetapi belum sempurna dan pada akhirnya tetap menggunakan pestisida selanjutnya dampaknya tetap masih ada. Pandangan ini cenderung sama dengan pandangan dan perilaku konvensional. Dua cara pandang dan perilaku pelaku usaha tani di atas bukan konsep pertanian yang berkelanjutan oleh karena itu sudah saatnya kita berubah pada cara pandang dan perilaku yang holistik, seperti ditunjukkan pada cara pandang ketiga dibawah ini.

Pandangan III

Pandangan ini menunjukkan bahwa ekosistem pertanian merupakan satu sistem yang dinamis dan dapat dikelola. Berangkat dari pemahaman tersebut maka cara pengolahan usaha tani, dilakukan dengan memanfaatkan potensi yang ada, dengan demikian tidak perlu banyak masukan dari luar. Konsep inilah yang menjadi jiwanya PHT lalu bagaimanakah unsur agro-ekosistem menjadi bermanfaat dan menjadi sumber kekuatan? Proses inilah yang dipelajari oleh petani, melalui kegiatan sekolah lapangan. Berkaitan dengan pengelolaan potensi yang ada, proses belajar diarahkan pada bagaimana petani mampu mengelola unsur ekosistem sebagai sebuah potensi yang dapat dikembangkan, contoh kemampuan petani dalam pengelolaan unsur ekosistem sebagai praktek pertanian yang ramah lingkungan (Kuswara, 2006).


(52)

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Dusun Yogya Sidodadi, Kecamatan Beringin, Kabupaten Deli Serdang pada bulan Februari 2007 sampai dengan Juni 2007.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data tanggapan masyarakat desa Sidodadi terhadap pola SRI menggunakan kuisioner data primer (lihat Lampiran 4 dan 5).

3.3 Bahan dan Alat

3.3.1 Bahan dan Alat di Lapangan Pengambilan sampel tanah

a. Bahan

- tanah sawah yang menggunakan pupuk kompos MOL pada pola SRI; dan - tanah sawah yang menggunakan pupuk kimia.

b. Alat

Alat yang digunakan adalah cangkul, timbangan, parang, bambu pancang. Mulsa plastik, ember, pisau dan timba.


(53)

3.3.2 Bahan dan Alat di Laboratorium a. Analisis Unsur Hara Tanah

Bahan

Bahan yang digunakan dalam analisis unsur hara adalah tanah sawah yang diberi pupuk kompos MOL (Tanah Organik = PO) pada pola SRI dan tanah sawah diberi pupuk kimia (Tanah Anorganik = PK), H2SO4 pekat larutan fhenolftalein 1%,

NaOH 50%, H3BO3 3%, HCl 0,01 N, larutan (NH4)MO7O24 2,5% SnCl2 2,5%, larutan

FeSO4. Alat

Tabung reaksi, Erlenmeyer, Spektrofotometer, timbangan, pH meter.

b. Populasi Mikroba Tanah Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah plate count agar (PCA),

potato dextrose agar (PDA) sebagai media pertumbuhan mikroba, kapas, aquades,

biakan MOL, sampel tanah sawah yang menggunakan pupuk kompos MOL pada pola SRI dan tanah sawah yang menggunakan pupuk kimia.

Alat

Alat-alat laboratorium yang meliputi gelas ukur, erlenmeyer, beakerglass,

magnetic stirrer, spatula, pembakar bunsen, timbangan, hot plate, pipet, tabung


(54)

3.4 Metode Penelitian

Analisis data dilakukan dengan Uji-T yaitu dengan membandingkan rata-rata parameter pengamatan terhadap masing-masing contoh tanah.

Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis secara statistik dengan menggunakan model sebagai berikut :

3.5 Pelaksanaan Penelitian

3.5.1. Pelaksanaan di Lapangan

a. Tanggapan Masyarakat Terhadap Pola SRI

Pembagian data kuisioner terhadap 20 responden anggota kelompok tani SRI di Desa Sidodadi Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang.


(55)

b. Pengambilan Contoh Tanah Untuk Analisis Unsur Hara

Sampel tanah diambil dari areal persawahan di Dusun Jogya desa Sidodadi Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang. Dua contoh tanah diambil untuk mewakili tanah pertanian yang mengunakan pola SRI dengan memanfaatkan MOL sebagai dekomposer pupuk organik (kompos) dan tanah pertanian anorganik yang menggunakan pupuk kimia.

Contoh tanah diambil setelah panen atau menjelang pengolahan tanah. Contoh tanah diambil menggunakan metode acak secara diagonal di areal persawahan yang menggunakan pupuk kompos MOL (PO) dan yang menggunakan pupuk kimia (PK). Pengambilan tanah dilakukan dengan menggunakan bor dengan kedalaman 20 cm. Jumlah tanah diambil sama banyak dari ketiga Iokasi titik pengambilan sampel yaitu masing - masing ½ kg. Contoh tanah dimasukan ke dalam ember plastik kemudian dibersihkan dari rumput-rumput, batu-batuan atau kerikil, sisa-sisa tanaman atau bahan organik segar/serasah yang terdapat di permukaan tanah. Contoh tanah uji dianalisis dengan dua kali ulangan di Laboratorium Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

c. Pengambilan Contoh Tanah Untuk Analisis Mikroorganisme

Contoh tanah diambil pada areal tanah pertanian yang mengunakan pola SRI dengan memanfaatkan pupuk kompos MOL (PO) sebagai dekomposer pupuk organik dan tanah pertanian mengunakan pupuk kimia (PK). Tanah diupayakan dalam keadaan lembab untuk keperluan analisis mikrooganisme di laboratorium. Contoh


(56)

tanah diambil pada kedalaman 0 – 20 cm dengan jarak 500 – 1000 m dari beberapa tempat pada lahan yang sama untuk mengetahui populasi mikroorganisme di dalam tanah. Tanah dicampur secara homogen setelah diaduk rata kemudian diambil 500 gr (Syarifuddin, 2002). Contoh tanah uji dianalisis dengan dua kali ulangan di Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Matematika Ilmu Pengatahuan Alam, Universitas Sumatera Utara.

3.5. 2 Pelaksanaan di Laboratorium a. Analisis Unsur Hara Tanah

Menurut Nuryani (2003) penetapan bahan organik untuk menentukan kandungan hara tanah dapat dilakukan dengan pengukuran beberapa parameter menurut metode yang dikembangkan oleh Walkey dan Black. Dalam penelitian ini parameter yang diamati untuk menganalisis unsur hara tanah meliputi sifat fisik dan kimia tanah yang terdiri dari tekstur tanah, pH, Kapasitas Tukar Kation (KTK), C-organik, N-C-organik, P-tersedia, K-tukar dan bahan organik tanah.

Sifat Fisik Tanah Tekstur tanah

Tanah kering udara sebanyak 50 g dimasukkan ke dalam gelas piala 400 ml, ditambah 300 ml air destilasi, 10 ml larutan natrium pirofosfat 1 N, kemudian diaduk homogen sehingga tersuspensi secara sempurna. Suspensi tanah didiamkan 1 malam, keesokan harinya kocok dengan menggunakan pengaduk Hamilton Beach selama 2 menit. Suspensi dimasukkan ke dalam tabung silinder-higrometer, ditambah air


(57)

hingga 1 liter beserta higrometer, kemudian hidrometer diangkat kembali keluar. Pengocokan dilakukan dengan menggunakan batang pengocok khusus dari tembaga yang digerakkan dengan tangan ke bawah dan ke atas sebanyak ± 30 kali. Bila berbuih ditambahkan 3 tetes larutan amil alkohol. Selanjutnya hidrometer dimasukkan dan tunggu selama 2 jam. Dibaca Hidrometer kembali serta diukur temperatur (T2). Temperetur T1 dan T2 dikoreksi menggunakan koreksi temperatur. Perhitungan :

% (debu + liat) = H1 + koreksi temperatur T1 x (100/50) % liat = H2 + koreksi temperatur T2 x (100/50)

% Pasir = 100 - % (debu + liat) - % liat Dihitung Dihitung tanpa desimal.

Sifat Kimia Tanah pH

Sampel kompos 10 g tanah sawah pola SRI 10 g dan tanah sawah yang menggunakan pupuk kimia ditimbang dan kemudian ditambahkan 25 ml air destilasi (H20) kemudian diaduk selama 2 jam dan dibiarkan satu malam. Keesokan harinya

diaduk lagi selama 30 menit dan kemudian pH diukur dengan pH meter.

Kation dapat ditukarkan dan Kapasitas Tukar Kation.

Kation dapat ditukarkan dan kapasitas tukar kation diekstraksi dengan cara perkulasi. Contoh tanah diperkulasikan dengan cara menjenuhkan dengan larutan amonium asetat normal pH 7,0. Perkolatnya dipergunakan untuk menetapkan kation


(58)

dapat dipertukarkan (K, Na, Ca dan Mg). Contoh bekas perkolasi lebih lanjut dicuci dengan alkohol 80% untuk membebaskan kelebihan ammonium asetat kemudian diperkolasikan dengan larutan kalium sulfat 0,1 N. Perkolat didestilasi untuk penetapan kapasitas tukar kation.

N total menurut cara Kjeldahl.

Sampel tanah kering sebanyak 0,5 g dimasukkan dalam tabung reaksi 20 ml disertai blanko. Sampel dan blanko ditambah dengan 1 g campuran selenium, 2,5 ml H2S04 pekat lalu dipanaskan, setelah itu didinginkan. Suspensi dibilas dengan air

destilasi secukupnya, ditambah 2 - 3 tetes larutan fenolfttalein 1%, 5 ml larutan NaOH 50% hingga warna suspensi menjadi cerah. Destilasi ditampung dengan 5 ml arutan H3BO 3% di dalam Erlemeyer dan diencerkan dengan air destilasi ± 15 menit,

destilat dititrasi dengan larutan HCL 0,01 N hingga warna larutan menjadi merah jambu . Menurut Walkey and Black (1985) dalam Nuryani (2003 ).

Perhitungan :

Fosfor (P) tersedia menurut cara Bray dan Kurtz no. 2

Sampel kering tanah 2 g ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam labu Erlemeyer 50 ml disertai blanko ditambah 20 ml larutan pengekstrak, diaduk selama 1 menit. Cairan disaring dengan kertas saring, sampel lalu ditetesi larutan standar 4yP/ml. Larutan standard, larutan blanko dan larutan sampel ditambah 7,5 ml larutan


(59)

1431303 0,8 M, 2 ml larutan (NH4) Mo7O24 2,5% dan dipenuhkan dengan air destilasi

kemudian ditambahkan 0,4 ml larutan SnCl2 2,5%, diaduk dan dibiarkan selama 3

menit dibaca absorbansi pada panjang gelombang 660 mm.

Perhitungan menurut Walkey and Black (1985) dalam Nuryani (2003) : Sampel dibaca pada grafik :

Kalium (K) tersedia

Caranya sama dengan menganalisis fosfor tersedia. Larutan standar (0 – 20 ppm K), larutan blanko dan larutan sasnpel langsung diukur dan di baca absorbansi Atomic Absorption Spektrofotometer.

Perhitungan:

Dibuat garfik kurva standard pada kertas mm dimana kepekatan standar K (0 – 20 ppm) sebagai absis dan absorbansi sebagai ordinat. Menurut Walkey and Black (1985) dalam Nuryani (2003), Kepekatan Kalium adalah:

Karbon organik (C) total menurut cara " Walkley and Black"

Sampel kering tanah sebanyak 1 g ditimbangan kemudian dimasukan ke dalam Erlemeyer 500 ml dan disediakan juga untuk penetapan blanko. Ditambahkan 10 ml larutan Kalium dikromat 1 N dan 20 ml H2SO4 pekat yang dimasukkan perlahan.


(60)

Erlemeyer digoyang selama 1 menit, kemudian didiamkan selama 30 menit, ditambahkan secara berturut-turut 200 ml air destilasi, 5 ml asam fosfat pekat (85%) dan 1 ml larutan difenilamin. Blanko dan sampel dititrasi kembali dengan larutan FeSO4 sampai warna hijau timbul kembali. Menurut Walkey and Black (1985)

dalam Nuryani (2003) :

Berat sampel dikoreksi dengan penetapan kadar air.

b. Populasi Mikroba Tanah

Populasi mikroba ditentukan dengan metoda Total Plate Count (TPC) yang menggunakan teknik pengenceran. Pengamatan dilakukan terhadap mikroba yang terdapat pada biakan MOL, tanah sawah yang menggunakan pupuk kompos MOL (PO) pada pola SRI dan tanah sawah yang mengunakan pupuk kimia

(PK) dalam penelitian ini meliputi:

1. Populasi bakteri yang dibiakkan dengan menggunakan medium PCA 2. Populasi jamur yang dibiakkan dengan menggunakan medium PDA


(61)

(62)

4.1. Hasil

4.1.1. Kandungan Hara Tanah Pola SRI dan Tanah Anorganik

a. Sifat Fisika Tanah

Tekstur Tanah

Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa tanah yang diberi pupuk kompos MOL (PO) berpengaruh sangat nyata pada taraf (g = 1%) terhadap peningkatan fraksi pasir, debu dan liat dibanding dengan tanah yang diberi pupuk anorganik (PK) (Lampiran 1). Uji beda rataan antar perlakuan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Rata-rata Fraksi Pasir, Debu dan Liat (%) Akibat Penggunaan Kompos MOL dan Pupuk Anorganik

Parameter Perlakuan Rataan

Fraksi Pasir PO 25.02

PK 19.75

Fraksi Debu PO 50.51

PK 42.20

Fraksi Liat PO 24.49

PK 37.80

Dari Tabel 4 dapat diketahui bahwa perlakuan pemberian pupuk kompos MOL (PO) menunjukkan peningkatan pasir, debu dan liat yang berbeda sangat nyata dengan pelakuan PK. Dari Tabel 4 persentase fraksi pasir, debu dan liat dihubungkan


(63)

dengan diagram segitiga tekstur menurut USDA bahwa tekstur tanah dengan perlakuan PO bertekstur lempung berdebu sedangkan tekstur tanah yang menggunakan pupuk anorganik bertekstur lempung liat berdebu.

b. Sifat Kimia Tanah Kemasaman Tanah (pH )

Hasil analisis terhadap data pH tanah menunjukkan bahwa pemberian kompos

MOL (PO) berpengaruh nyata pada taraf (g = 5%) dalam meningkatkan pH tanah

dibanding dengan pemberian pupuk anorganik (PK) (Lampiran 1). Beda rataan antar perlakuan dapat dilihat pada Tabel 5 yang menunjukkan bahwa pH tanah tertinggi dijumpai pada tanah dengan perlakuan PO dan berbeda nyata dengan pH tanah pada perlakuan PK.

Tabel 5. Rata-rata pH Tanah, C, N, C/N, P-Tersedia Akibat Penggunaan Kompos MOL dan Pupuk Anorganik

Parameter Perlakuan Rataan

pH PO 6.49

PK 6.42

C(%) PO 1.60

PK 0.76

N(%) PO 0.18

PK 0.10

C/N PO 8.68

PK 7.65

P-tersedia PO 77.21


(64)

Kadar Karbon (%)

Hasil analisis terhadap data karbon tanah menunjukkan bahwa pemberian

kompos MOL (PO) berpengaruh sangat nyata (g = 1%) meningkatkan kadar karbon

tanah dibanding dengan pemberian pupuk anorganik (PK) (Lampiran 1). Uji beda rataan antar perlakuan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel tersebut menunjukkan bahwa kadar karbon tanah tertinggi dijumpai pada tanah dengan perlakuan PO dan berbeda sangat nyata dengan kadar karbon tanah pada perlakuan PK.

N Total Tanah (%)

Hasil analisis statistik terhadap N total tanah tanah menunjukkan bahwa

pemberian kompos MOL (PO) berpengaruh sangat nyata (g = 1%) meningkatkan N

total tanah dibanding dengan pemberian pupuk anorganik (PK) (Lampiran 1). Rataan antar perlakuan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel tersebut menunjukkan bahwa N total tanah tertinggi dijumpai pada tanah dengan perlakuan PO dan berbeda sangat nyata dengan N total tanah pada perlakuan PK.

C/N Tanah

Hasil analisis statistik terhadap C/N tanah menunjukkan bahwa pemberian

kompos MOL (PO) berpengaruh nyata (g = 5%) terhadap peningkatan unsur C/N

tanah dibanding dengan pemberian pupuk anorganik (PK) (Lampiran 1). Rataan antar perlakuan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel tersebut menunjukkan bahwa C/N tanah tertinggi dijumpai pada tanah dengan perlakuan PO, berbeda nyata dengan C/N tanah pada perlakuan PK.


(65)

P-tersedia (ppm)

Hasil analisis statistik terhadap P-tersedia tanah menunjukkan bahwa

pemberian kompos MOL (PO) berpengaruh sangat nyata (g = 1%) meningkatkan

P-tersedia tanah dibanding dengan pemberian pupuk anorganik (PK) (Lampiran 1). Uji beda rataan antar perlakuan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel tersebut menunjukkan bahwa P-tersedia tanah tertinggi dijumpai pada tanah dengan perlakuan PO dan berbeda sangat nyata dengan P-tersedia tanah pada perlakuan PK.

Kalium Dapat Ditukar (me/100)

Hasil analisis statistik terhadap kalium dapat ditukar menunjukkan bahwa

pemberian kompos MOL (PO) berpengaruh sangat nyata (g = 1%) meningkatkan

kalium dapat ditukar dibanding dengan pemberian pupuk anorganik (PK) (Lampiran 1). Uji beda rataan antar perlakuan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel tersebut tersebut menunjukkan bahwa kalium dapat di tukar tertinggi dijumpai pada tanah dengan perlakuan PO dan berbeda sangat nyata dengan kalium dapat ditukar pada perlakuan PK.

Natrium Dapat Ditukar (me/100)

Hasil analisis statistik terhadap natrium dapat ditukar menunjukkan bahwa

pemberian kompos MOL (PO) berpengaruh sangat nyata pada taraf (g = 1%)

meningkatkan natrium dapat di tukar dibanding dengan pemberian pupuk anorganik (PK) (Lampiran 1). Uji beda rataan antar perlakuan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel tersebut menunjukkan bahwa natrium dapat di tukar tertinggi dijumpai pada tanah


(66)

dengan perlakuan PO dan berbeda sangat nyata dengan natrium dapat ditukar pada perlakuan PK.

Tabel 6. Rata-rata Kalium, Natrium, Kalsium, Magnesium Dapat Ditukar, TEB, KTK dan KB Tanah akibat Penggunaan Kompos MOL dan Pupuk Anorganik

Parameter Perlakuan Rataan

K-dd PO 1,20

PK 0,53

Na-dd PO 0,70

PK 0,41

Ca-dd PO 9,16

PK 7,72

Mg-dd PO 2,62

PK 2,25

TEB PO 13,68

PK 10,92

KTK PO 18,00

PK 15,31

KB PO 76,01

PK 71,29

Kalsium Dapat Ditukar (me/100)

Hasil analisis statistik terhadap kalsium dapat diukur menunjukkan bahwa

pemberian kompos MOL (PO) berpengaruh sangat nyata pada taraf (g = 1%)

meningkatkan kalsium dapat ditukar dibanding dengan pemberian pupuk anorganik (PK) (Lampiran 1). Uji beda rataan antar perlakuan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel tersebut menunjukkan bahwa kalsium dapat ditukar tertinggi dijumpai pada tanah dengan perlakuan PO dan berbeda sangat nyata dengan kalsium dapat ditukar pada perlakuan PK.


(67)

Magnesium Dapat Ditukar (me/100)

Hasil analisis statistik terhadap magnesium dapat ditukar menunjukkan bahwa

pemberian kompos MOL (PO) berpengaruh sangat nyata pada taraf (g = 1%)

meningkatkan magnesium dapat ditukar dibanding dengan pemberian pupuk anorganik (PK) (Lampiran 1). Uji beda rataan antar perlakuan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel tersebut menunjukkan bahwa magnesium dapat ditukar tertinggi dijumpai pada tanah dengan perlakuan PO dan berbeda sangat nyata dengan magnesium dapat ditukar pada perlakuan PK.

Total Kation Basa Dapat Ditukar (me/100)

Hasil analisis statistik terhadap total kation basa dapat di tukar menunjukkan

bahwa pemberian kompos MOL (PO) berpengaruh sangat nyata pada taraf (g = 1%)

meningkatkan total kation basa dapat ditukar dibanding dengan pemberian pupuk anorganik (PK) (Lampiran 1). Uji beda rataan antar perlakuan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel tersebut menunjukkan bahwa total kation basa dapat ditukar tertinggi dijumpai pada tanah dengan perlakuan PO dan berbeda sangat nyata dengan total kation basa dapat ditukar pada perlakuan PK.

Kapasitas Tukar Kation (me/100)

Hasil analisis statistik terhadap kapasitas tukar kation menunjukkan bahwa

pemberian kompos MOL (PO) berpengaruh sangat nyata pada taraf (g = 1%)

meningkatkan kapasitas tukar kation dibanding dengan pemberian pupuk anorganik (PK) (Lampiran 1). Uji beda rataan antar perlakuan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel tersebut menunjukkan bahwa kapasitas tukar kation tertinggi dijumpai pada tanah


(68)

dengan perlakuan PO dan berbeda sangat nyata dengan kapasitas tukar kation pada perlakuan PK.

Kejenuhan Basa (%)

Hasil analisis statistik terhadap kejenuhan basa menunjukkan bahwa

pemberian kompos MOL (PO) berpengaruh nyata pada taraf (g = 5%) meningkatkan

kejenuhan basa dibanding dengan pemberian pupuk anorganik (PK) (Lampiran 1). Uji beda rataan antar perlakuan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel tersebut menunjukkan bahwa kejenuhan basa lebih tinggi dijumpai pada tanah dengan perlakuan PO dan berbeda nyata dengan kejenuhan basa lebih pada perlakuan PK.

4.1.2. Populasi Mikrobia Tanah

Jumlah koloni mikroorganisme tanah pada media PCA dan PDA dapat dilihat pada Lampiran 2, rata-rata populasi mikroba tanah dapat dilihat pada Lampiran 3. Pada pemberian kompos MOL (PO) jumlah populasi mikroba tanah jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian pupuk anorganik (PK) baik populasi bakteri maupun jamur. Jumlah populasi mikrobia tanah dapat dilihat pada Gambar I sebagai berikut:

PCA Perlakuan PDA


(69)

Dari Gambar 1 dapat dilihat bahwa jumlah populasi bakteri dan jamur jauh lebih tinggi pada perlakuan SO dibandingkan dengan perlakuan PK pada setiap jenis media yang digunakan.

4.1.3. Karakteristik dan Tanggap Responden terhadap Pola SRI

Data penelitian diambil dengan cara kuisioner kepada petani dengan 20 responden di Desa Siodadi Kabupaten Deli Serdang. Karakteristik responden dapat dilihat pada Lampiran 4.

Dari Lampiran 4 dapat diketahui bahwa responden petani yang menyatakan bahwa penerapan SRI memberikan manfaat adalah 100%, responden yang menggunakan pupuk kompos MOL pada pola tanam SRI adalah 100%, responden yang masih mengunakan pupuk kimia pada pola tanam SRI yang mereka lakukan adalah 15%, sedangkan yang tidak lagi mengunakan pupuk kimia adalah 85%. Responden menggunakan pupuk kimia sebelum penerapan pola tanam SRI rata-rata 347 kg/ha, sedangkan setelah penerapan SRI jumlah pupuk kimia yang digunakan rata-rata 133,33 kg/ha. Responden memberantas hama 100% menggunakan pestisida sebelum pola tanam SRI diterapkan, setelah penerapan SRI responden yang mengunakan pestisida berjumlah 15% sedangkan yang menggunakan biopestisida 100%. Responden memanfaatkan air sebelum pola tanam SRI dilakukan dengan cara mengenangi lahan setinggi ± 2 cm tapi setelah penerapan SRI air yang digunakan mencak-mencak. Produksi padi yang diperoleh responden dari hasil panen sebelum


(70)

pola tanam SRI adalah rata-rata 5041 kg/ha per masa panen, setelah penerapan SRI hasil panen yang diperoleh responden rata-rata 6188kg/ha per masa panen.

Hasil wawancara peneliti dengan responden dapat diketahui bahwa seluruh responden mengetahui pola SRI dan manfaatnya. Dari dua puluh orang responden yang telah melaksanakan pola SRI dan ternyata ditinjau dari hasil jajak pendapat yang dilaksanakan menunjukkan bahwa sebelum menggunakan pola SRI para petani menggunakan pupuk kimia yang terus menerus, begitu juga pengendalian hama dan penyakit serta penggunaan air jauh lebih banyak (selalu dalam keadaan tergenang) dan hasil panen juga tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.

Setelah melaksanakan pertanian dengan pola SRI tenyata dapat mengefisiensikan pemakaian pupuk buatan karena sumber pupuk yang diberikan berasal dari pupuk organik yaitu kompos MOL yang berasal dari hasil sisa panen. Pengendalian hama dan penyakit tanaman menggunakan biopestisida yang ramah lingkungan. Penghematan terhadap penggunaan air juga dapat ditingkatkan serta apa yang dihararapkan petani tentang hasil produksi diperoleh lebih tinggi setelah melaksanakan pola SRI (data didukung dari jawaban responden pada Lampiran 6).

4.2. Pembahasan

4.2.1 Pengaruh Pupuk Kompos MOL pada Pola SRI Terhadap Unsur Hara Tanah

Berdasarkan hasil analisis tanah yang mengunakan pola tanam SRI dan tanah pertanian anorganik (Lampiran 1), secara keseluruhan dapat dilihat bahwa unsur hara


(71)

tanah pada pola tanam SRI memiliki tingkat kesuburan yang lebih tinggi dari pertanian anorganik.

Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa tanah sawah yang diberi kompos MOL berpengaruh sangat nyata terhadap peningkatan parameter fraksi pasir, debu dan liat. Dari hasil persentase yang dihubungkan dengan diagram segitiga tekstur menurut USDA bahwa tekstur tanah dengan perlakuan PO bertekstur lempung berdebu sedangkan tekstur tanah yang meggunakan pupuk anorganik bertekstur lempung liat berdebu.

Berdasarkan Tabel 4 menunjukkan pupuk kompos dapat memperbaiki daya ikat tanah berpasir dan memperbaiki struktur tanah berlempung, sehingga tidak terlalu berderai atau terlalu lekat. Kompos sebagai sumber bahan organik juga dapat meningkatkan daya ikat tanah terhadap air sehingga meningkatkan ketersediaan air untuk tanaman. Selain itu kompos dapat memperbaiki tata udara tanah dan mempertinggi daya ikat tanah terhadap zat hara dari pupuk mineral sehingga tidak mudah larut oleh air hujan, penggunaan pupuk menjadi lebih efisien. Kompos meningkatkan struktur tanah sehingga mempermudah pengolahan tanah, tanah pasiran menjadi lebih kompak dan tanah lempung dapat menjadi gembur. Selain itu kompos juga mengandung humus yang sangat dibutuhkan untuk peningkatan

pengikatan hara makro dan mikro yang sangat dibutuhkan oleh tanaman (Dalzell et

al., 1991).

Tanah sawah yang diberi pupuk kompos MOL pada pola SRI berpengaruh sangat nyata terhadap peningkatan variabel karbon, N total tanah, P-tersedia tanah,


(1)

Lampiran 4. Identitas Responden

Daftar Nama Responden Anggota kelompok tani di Desa Sidodadi.

No. Nama Jenis

kelamin

Umur Pendidikan Luas lahan

(Ha)

Pengalaman bertani (Th)

1. Tugiran L 50 SMA 0,6 ha 30 Th

2. Selamat Riadi L 31 DIPLOMA 0.11 ha 8 Th

3. Supriono L 34 SMP

0,02 ha 16 Th

4. Sumarno L 33 SMA 0,1 ha 10 Th

5. Jumiati P 25 SD 0,3 ha 6 Th

6. Sarinem P 35 SD 0,02 ha 16 Th

7. Kusniati P 30 SMP 0,6 ha 16 Th

8. Sungari P 30 SD 0,08 ha 16 Th

9. Sopian L 30 SMP 0,8 ha 16 Th

10. Saudi L 37 SMA 0,06 ha 17 Th

11. Subiantoro L 40 SD 0,4 ha 20 Th

12. m. sianturi L. 38 SMA 0,12 ha 19 Th

13. Wagimen L 40 SD 0,16 ha 22 Th

14. Rahadi L 30 SMA 0.12 ha 7 Th

15. Muslim L 39 SMP 0,12 ha 20 Th

16. Yareli L 30 SMA 0,08 ha 10 Th

17. Syaiful L 28 SMP 0,5 ha 8 Th

18. Resnowati P 30 SD 0,04 ha 16 Th

19. Rusmaliani P 28 SMP 0,5 ha 10 Th


(2)

Lampiran 5. Daftar Pertanyaan Kuisioner

A. Pertanyaan Umum

Identitas Responden :

Nama : ………..

Umur : < 20 th 21 sd 30 31 sd 40 41 sd 50 >50

Pendidikan : SD SLTP SLTA Diploma

Sarjana

Luas Lahan : <0,5 ha 0,6 sd 2 ha 2,1 sd 3 ha 3,1 sd 5 ha >5 ha

Pengalaman : < 5t 5 sd 15 th 16 sd 30 th 31 sd 40 th > 40 th Bertani

B. Pertanyaan Kuisioner

Daftar Pertanyaan kuisioner

1. Apakah menurut Bapak/Ibu penerapan SRI memberikan manfaat Ya Tidak

2. Apakah bapak/Ibu mengunakan kompos MOL pada pola tanam SRI tanaman padi Bapak/Ibu ? Ya Tidak

3. Apakah Bapak/Ibu masih menggunakan pupuk kimia pada tanaman padi setelah program SRI dilakukan? Ya Tidak

4. Berapakah jumlah pupuk kimia yang digunakan sebelum pola tanam SRI dilakukan ? ………/ha


(3)

82

6. Berapakah jumlah pupuk MOL yang Bapak/ibu gunakan pada pola tanam SRI?.../ha

7. Bagaimanakah cara Bapak/Ibu memberantas hama sebelum pola tanam SRI diterapkan? Menggunakan Pestisida Menggunakan Biopestisida 8. Bagaimanakah cara Bapak/Ibu memberantas hama setelah pola tanam SRI

diterapkan? Mengunakan Pestisida Menggunakan Biopestisida

9. Bagaimana pendapat sodara tentang penggunaan air sebelum pola tanam SRI dilakukan? Air tergenang Air mencak-mencak

10.Bagaimana pendapat sodara tentang penggunaan air setelah pola tanam SRI dilakukan? Air tergenang Air mencak-mencak.

11.Berapakah jumlah produksi padi yang Bapak?Ibu peroleh sebelum pola tanam SRI diterapkan?.../ha.

12.Berapakah jumlah produksi padi yang Bapak?Ibu peroleh setelah pola tanam SRI diterapkan?.../ha.


(4)

(5)

(6)