Harga Diri Remaja Yatim Piatu

(1)

HARGA DIRI REMAJA YATIM PIATU

SKRIPSI

Guna Memenuhi Persyaratan Sarjana Psikologi

Oleh: Oktario B M S

(031301056)

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2008


(2)

ABSTRAK

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Juni 2008

Oktario B M S : 031301056 Harga Diri Remaja Yatim Piatu V + 115 halaman, jumlah tabel 7 Bibliografi 23 (1989-2007)

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui gambaran harga diri remaja yang telah menjadi yatim piatu. Dari beberapa definisi harga diri di atas, dapat disimpulkan bahwa harga diri adalah penilaian tinggi atau rendah yang dibuat individu tentang hal-hal yang berkaitan dengan dirinya yang menunjukkan sejauh mana individu menyukai dirinya sebagai individu yang mampu, penting dan berharga.

Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 3 orang remaja yang telah menjadi yatim piatu. Pada penelitian ini prosedur pengambilan subjek penelitian dilakukan berdasarkan teori atau berdasarkan konstrak operasional

(theory-based/operational construct sampling). Data diperoleh dengan metode wawancara

dengan menggunakan pedoman umum. Setelah data diperoleh kemudian dilakukan coding atau dikategorisasikan, kemudian dilakukan interpretasi atau analisis terhadap data dari masing-masing subjek berdasarkan tema atau penelitian. Alat bantu yang digunakan dalam penelitian ini adalah recorder (perekam) dan pedoman wawancara.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa gambaran harga diri pada partisipan dilihat dari aspek-aspek harga diri yang disampaikan oleh Coopersmith adalah berbeda-beda. Faktor yang menyebabkan perbedaan pada aspek harga diri masing-masing partisipan juga berbeda. Penerimaan dan penghargaan dari orang yang dianggap signifikan menjadi faktor yang paling besar dalam mempengaruhi harga diri pada remaja ytaim piartu.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada partisipan I, harga diri partisipan satu rendah dari 2 aspek harga diri yang diajukan oleh Coopersmith sedangkan pada partisipan II dan III keseluruhan aspek harga diri mereka tinggi. Kata kunci : harga diri, remaja yatim piatu.


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesunguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul Harga Diri Remaja Yatim Piatu adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernha diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi saya yang saya kutip dari hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam karya ini, saya bersedia menerima sanksi apapun dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Juni 2008

Yang membuat pernyataan

Oktario B M S NIM: 031301056


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur peneliti ucapkan pada Tuhan Yang Maha Esa yang telah senantiasa memberikan kesehatan, kesabaran, dan kemampuan sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Harga Diri Remaja Yatim Piatu tepat pada waktunya.

Peneliti pun tidak lupa mengucapkan banyak terima kasih pada pihak-pihak yang telah membantu, antara lain:

1. Bapak dr.Chairul Yoel, sp.A (K), sebagai dekan Fakultas Psikologi USU. 2. Dosen pembimbing seminar yaitu Ibu Elvi Adriani yang telah sabar dalam

membimbing dan memberikan banyak masukan kepada peneliti sehingga skripsi ini dapat menjadi lebih baik.

3. Ibu Sri Mulyani, M.Si selaku dosen pembimbing akademik, terima kasih atas nasehat, dukungan, dan bimbingannya selama peneliti menjalankan studi di Fakultas Psikologi USU.

4. Ibunda yang tercinta, abang Toni, adik Ruri, dan saudara-saudara terima kasih atas doa, dukungan, dan bantuannya sehingga skripsi ini bisa terselesaikan. Khusus buat Ibu, terima kasih buat kasih sayang, dukungan dan motivasi kepada peneliti. Ibu selalu menjadi inspirasi bagi peneliti dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Psikologi.

5. Seluruh staf pengajar dan pegawai di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara terima kasih untuk semua bimbingan, dukungan, dan bantuannya dalam penyelesaian skripsi ini.


(5)

6. Teman-teman angkatan 2003 Gunawan, A-Long, Bobbye, Sasa, Daree, Ayu, Astri, Morenda, dan teman-teman lain yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, terima kasih atas semua bantuan dan dukungannya, khususnya Harmy di akhir-akhir penyusunan skripsi.

7. Teman-teman angkatan 2003, khususnya teman seperjuangan dalam menyusun skripsi, Finanda, Sondang, Devi, Nina, Rospita, Suryati, Sam dan teman lainnya yang tidak dapat saya sebut satu persatu terima kasih atas semangat, kerjasama, dan pengalamannya untuk berbagi. Terimakasih juga buat Ema yang menjadi mentor peneliti dalam penyelesaian bab IV dan V penelitian ini.

8. Abang dan Kakak senior, serta junior-junior yang telah membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata peneliti menyadari bahwa penelitian skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Segala kritik dan saran akan menjadi bahan masukan yang berarti bagi peneliti. Semoga penelitian ini pada akhirnya akan memberikan manfaat berarti bagi semua pihak. Terima kasih.

Medan, Juni 2008


(6)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi ... iii

DaftarTabel... v

BAB I. PENDAHULUAN I. A. Latar Belakang Masalah. . ... 1

I. B. Perumusan Masalah. ... 8

I.C. Tujuan Penelitian. ... 8

I.D. Manfaat Penelitian. ... 8

I.E. Sistematika Penulisan. ... 9

BAB II. LANDASAN TEORI II. A. Harga Diri. ... 11

II. A. 1. Definisi harga diri. ... 11

II. A. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri ... 12

II. A. 3. Ciri-ciri harga diri. ... 13

II. A. 4. Aspek-aspek harga diri. ... 15

II. A. 5. Perkembangan harga diri remaja. ... 16

II. B. Remaja. ... 17

II. B. 1. Definisi remaja. ... 17

II. B. 2. Perubahan pada masa remaja. ... 19

II. B. 3. Peran orangtua dalam perkembangan harga diri remaja. ... 20


(7)

BAB III. METODE PENELITIAN

III. A. Pendekatan Kualitatif. ... 26

III. B. Metode Pengumpulan Data ... 27

III. C. Alat Bantu Pengumpulan Data Penelitian. ... 28

III. D. Subjek Penelitian. ... 29

III. D. 1. Kriteria subjek penelitian. ... 29

III. D. 2. Jumlah subjek penelitian. ... 29

III. D. 3. Prosedur pengambilan subjek penelitian ... 30

III. E. Prosedur Penelitian. ... 31

III. E. 1. Tahapan persiapan peneltian... 31

III. E. 2. Tahap pelaksanaan penelitian ... 32

III. F. Prosedur Analisis Data. ... 32

III. G. Kredibilitas Penelitian Kualitatif. ... 33

BAB IV. ANALISA DAN INTERPRETASI DATA IV. A. Deskripsi Data ... 36

IV. A. 1. Observasi, wawancara, dan interpretasi partisipan I ... 36

IV. A. 2. Observasi, wawancara, dan interpretasi partisipan II ... 60

IV. A. 3. Observasi, wawancara, dan interpretasi partisipan III ... 84

IV. B. Analisa Antar Partisipan ... 103

BAB V. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN ... 108

V. A. Kesimpulan ... 108

V. B. Diskusi ... 111

V. C. Saran ... 113 DAFTAR PUSTAKA


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Data Diri Partisipan I ... 36

Tabel 2. Gambaran Harga Diri Partisipan I... 58

Tabel 3. Data Diri Partisipan II ... 60

Tabel 4. Gambaran Harga Diri Partisipan II ... 81

Tabel 5. Data Diri Partisipan III ... 84

Tabel 6. Gambaran Harga Diri Partisipan III ... 101


(9)

ABSTRAK

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Juni 2008

Oktario B M S : 031301056 Harga Diri Remaja Yatim Piatu V + 115 halaman, jumlah tabel 7 Bibliografi 23 (1989-2007)

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui gambaran harga diri remaja yang telah menjadi yatim piatu. Dari beberapa definisi harga diri di atas, dapat disimpulkan bahwa harga diri adalah penilaian tinggi atau rendah yang dibuat individu tentang hal-hal yang berkaitan dengan dirinya yang menunjukkan sejauh mana individu menyukai dirinya sebagai individu yang mampu, penting dan berharga.

Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 3 orang remaja yang telah menjadi yatim piatu. Pada penelitian ini prosedur pengambilan subjek penelitian dilakukan berdasarkan teori atau berdasarkan konstrak operasional

(theory-based/operational construct sampling). Data diperoleh dengan metode wawancara

dengan menggunakan pedoman umum. Setelah data diperoleh kemudian dilakukan coding atau dikategorisasikan, kemudian dilakukan interpretasi atau analisis terhadap data dari masing-masing subjek berdasarkan tema atau penelitian. Alat bantu yang digunakan dalam penelitian ini adalah recorder (perekam) dan pedoman wawancara.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa gambaran harga diri pada partisipan dilihat dari aspek-aspek harga diri yang disampaikan oleh Coopersmith adalah berbeda-beda. Faktor yang menyebabkan perbedaan pada aspek harga diri masing-masing partisipan juga berbeda. Penerimaan dan penghargaan dari orang yang dianggap signifikan menjadi faktor yang paling besar dalam mempengaruhi harga diri pada remaja ytaim piartu.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada partisipan I, harga diri partisipan satu rendah dari 2 aspek harga diri yang diajukan oleh Coopersmith sedangkan pada partisipan II dan III keseluruhan aspek harga diri mereka tinggi. Kata kunci : harga diri, remaja yatim piatu.


(10)

BAB I PENDAHULUAN

I.A. Latar Belakang Masalah

Secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia di mana remaja tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama (Hurlock, 1999).

Masa remaja dimulai pada saat remaja secara seksual menjadi matang dan berakhir pada saat individu mencapai usia matang secara hukum. Hurlock (1999) menyatakan bahwa masa remaja berawal di usia 13 tahun dan berakhir pada usia 17-18 tahun.

Berbicara mengenai remaja, selalu terkait dengan tugas-tugas perkembangan pada masa remaja yang salah satunya adalah memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku-mengembangkan ideologi, dimana orangtua berperan banyak dalam perkembangan ini (Hurlock, 1999). Masih terdapat lagi tugas-tugas perkembangan lain yang harus dipenuhi oleh para remaja dimana orangtua juga turut berperan dalam membantu remaja untuk memenuhi tugas-tugas perkembangannya.

Selain tugas-tugas perkembangan, self esteem (harga diri) merupakan salah satu konsep sentral dalam kehidupan remaja (Tambunan, 2001). Harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya yang diekspresikan melalui suatu bentuk sikap setuju dan


(11)

menunjukkan tingkat dimana individu meyakini drinya sebagai individu yang mampu, penting dan berharga. Harga diri sering kali dikaitkan dengan berbagai tingkah laku khas remaja seperti tawuran, penyalahgunaan obat-obatan, pacaran, sampai prestasi olah raga. Perkembangan harga diri pada seorang remaja akan menentukan keberhasilan maupun kegagalannya di masa mendatang (Coopersmith, 1967).

Menurut para ahli ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi harga diri remaja, salah satunya adalah interaksi sosial (Frey & Carlock, 1987). Harga diri dipengaruhi oleh interaksi individu dengan sesama atau dengan orang yang ada di sekitarnya. Sebagian besar harga diri adalah reaksi individu terhadap pendapat orang lain mengenai dirinya, bagaimana cara orang lain di sekitar kita melihat dan menilai perilaku serta semua hal yang ada dalam diri kita pada saat berinteraksi akan membentuk harga diri. Dalam hal ini apakah harga diri itu tinggi atau rendah tergantung penilaian yang diberikan orang tersebut dan juga penilaian yang kita berikan terhadap diri sendiri.

Faktor lain yang mempengaruhi harga diri adalah penerimaan dan penghargaan dari orang-orang yang signifikan (Coopersmith, 1967). Salah satu contoh orang yang signifikan adalah orangtua. Remaja yang merasa bahwa orangtua dan temannya mendukung dan menerimanya akan menyebabkan remaja tersebut menyukai dirinya. Sedangkan remaja yang merasa tidak disukai atau ditolak oleh orang yang penting bagi dirinya akan menyebabkan remaja tersebut tidak menyukai dirinya dan akan menyebabkan remaja tersebut memiliki harga diri yang rendah. Hal ini sejalan dengan pendapat Henricson dan Roker (dalam


(12)

Parker 2004) yang berpendapat bahwa pengawasan dan dukungan dari orangtua berhubungan dengan harga diri yang lebih tinggi bagi remaja.

Hal lainnya yang mempengaruhi harga diri adalah pengalaman hidup. Pengalaman masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan atau mengalami kejadian-kejadian rendah seperti kematian orangtua, orangtua yang dirawat karena penyakit mental, perceraian, orangtua yang menikah lagi, kekuatiran tentang nilai sekolah, takut akan hukuman orangtua dan konsep diri tentang fisik yang tidak menarik akan menurunkan harga diri individu tersebut ketika ia sudah dewasa (Kaplan & Pokorry, dalam Baron & Byrne, 2000).

Mengamati kehidupan sehari-hari, akan terlihat fenomena yang biasa-biasa saja mengenai harga diri remaja. Umumnya orang hanya berpendapat bahwa remaja mengalami ketidakstabilan harga diri di awal masa remaja dan akan kembali stabil di akhir masa remaja. Tetapi jika dikaji secara lebih mendalam, ternyata banyak fenomena yang menyiratkan persoalan yang sangat kompleks, terutama dalam kehidupan yang mengalami perubahan yang cepat seperti sekarang ini.

Perubahan yang cepat mengharuskan adanya berbagai upaya terhadap remaja agar mereka memiliki kemampuan, mengakomodasi dan mewarnainya ke arah yang bermakna. Dalam kedudukan ini orangtua mempunyai tanggung jawab kodrati yang sangat strategis posisinya dalam menghadirkan situasi dan kondisi yang beriklim pendidikan. Pengawasan, dukungan dan penerimaan dari orangtua diperlukan dalam memberikan perkembangan yang baik bagi remaja. Melalui perbuatan-perbuatan orangtua yang mengarah kepada tujuan pendidikan akan


(13)

dihayati dan diapresiasi oleh remaja menjadi dasar pembentukan kepribadiannya. Sebagai pendidikan yang pertama dan utama, pendidikan dalam keluarga bertujuan menghasilkan remaja agar mempunyai kepribadian dan nilai-nilai yang kemudian dapat dikembangkan di masyarakatnya dimanapun berada (Muhaimin dalam Gunarsa, 1996).

Coopersmith (1967) mengungkapkan bahwa selain penghargaan yang diterima dari orang-orang yang signifikan, faktor yang mempengaruhi harga diri seseorang adalah nilai dan inspirasi individu dalam menginterpretasi pengalaman. Nilai-nilai yang dianut seseorang dipengaruhi oleh orang tua dan orang lain yang ada di lingkungan sekitarnya. Dengan kata lain, orang tua berperan besar dalam mempengaruhi harga diri remaja.

Remaja yang telah kehilangan kedua orang tuanya pada umumnya memiliki harga diri yang rendah. Remaja yatim piatu merasa bahwa keberadaan mereka ditolak oleh orang banyak. Mereka juga merasa bahwa mereka terisolasi dan selalu sendirian dan memiliki masalah dalam berhubungan dengan orang lain (Grigsby, 2006). Hal ini semakin diperkuat dengan kondisi dimana remaja yatim piatu telah kehilangan orang-orang yang dapat menanamkan nilai-nilai positif dalam menghadapi kondisi sulit seperti ini.

Badan Statistik Nasional Amerika Serikat menemukan bahwa satu dari 20 remaja yang kehilangan kedua orang tuanya sebelum berumur 18 tahun memiliki resiko yang lebih besar untuk mengalami simtom withdrawal, kecemasan gangguan perilaku dan harga diri yang lebih rendah (U.S. Bureau of the Census, 1990).


(14)

Berikut ini adalah salah satu contoh kasus seorang remaja yatim piatu yang tinggal di panti asuhan Tresna Putra yang harga dirinya menjadi negatif setelah peristiwa kehilangan orang tuanya. Zaelani, Azan panggilan akrabnya, sudah tinggal di panti sejak usia sekolah dasar. Ayah dan Ibunya sebagai penopang hidup keluarga telah tiada. Demi sekolahnya, keluarganya menitipkan pengasuhan Azan di panti. Azan senang hidup di panti karena banyak teman. Hampir semuanya dilakukan dengan sistem kebersamaan. Namun Azan canggung dan malu bergaul dengan teman-teman di luar panti (Dharmais, 2004). Azan takut gagal melakukan hubungan sosial yang merupakan salah satu ciri dari harga diri yang negatif (Coopersmith, 1967).

Tetapi kehilangan orang tua tidak selalu menyebabkan harga diri yang negatif bagi seorang remaja. Prof. Dr. Laurence Adolf Manullang, seorang anak yatim-piatu dari Desa Narumonda, Porsea, Sumatera Utara. Dia menapaki kehidupan langkah demi langkah, melintasi berbagai tantangan dan meraih berbagai keberhasilan sehingga menjadi seorang ekonom ternama dan top eksekutif keuangan berskala dunia. Dia menjadi seorang yatim piatu ketika berusia 8 tahun. Dunia menjadi terasa gelap baginya. Dia yang masih di bawah usia delapan tahun dan adiknya yang baru berusia tiga tahun telah menjadi yatim-piatu.

Untunglah dia masih punya nenek, Martalena boru Marpaung yang telah menjanda 31 tahun. Dia dan adiknya dirawat, diasuh, dibimbing dan dibesarkan oleh nenek tercinta sejak tahun 1949. Sejak itu, Timbul (nama kecil Prof. Dr. Laurence) menjadi pemurung dan pemimpi. Syukur, musibah yang berat itu tidak


(15)

sampai menghalanginya menimba ilmu. Ternyata selama SR, Timbul tidak pernah tinggal kelas dan dapat menyelesaikan SR tersebut pada tahun 1954. Semangat hidupnya bangkit terutama berkat pengasuhan neneknya yang penuh kasih sayang. Selain ompung, tulang (paman) atau keluarga laki-laki dari ibu dan nenek yaitu Marpaung turut pula membesarkan Laurence dan adiknya dengan telaten.

Ketiadaan ayah dan ibu kandung tidak menghalangi keinginan Laurence mengisi hari-harinya tumbuh dan berkembang menjadi remaja Batak yang terhormat dan dibanggakan. Sikap pemurung tak dapat menyembunyikan kecerdasan Laurence. Mimpi-mimpinya dibiarkan saja terus berkembang bahkan memacunya ingin keliling dunia bergaul sama rata tanpa dibebani rasa rendah diri atau inferiority complex dengan warga bangsa lain (Cepiar, 2007).

Prof. Dr. Laurence Adolf Manullang merupakan salah satu contoh yang disampaikan oleh Tambunan (2001), bahwa perkembangan harga diri pada masa remaja akan menentukan keberhasilan di masa yang akan datang. Prof.Dr. Laurence Adolf Manullang, seorang yatim piatu yang sukses di masa dewasanya, dapat dikatakan memiliki harga diri yang baik dalam masa remajanya. Prof.Dr. Laurence Adolf Manullang dapat mengekspresikan dirinya dengan baik dan berprestasi di bidang akademik dan tidak pernah merasa inferior dengan kondisinya yang telah menjadi yatim piatu yang merupakan salah satu ciri dari orang yang memiliki harga diri positif (Coopersmith, 1967)

Contoh lain yang menunjukkan bahwa kondisi ketiadaan orang tua tidak selalu membuat seseorang memiliki harga diri yang rendah adalah Lia, siswa kelas dua SMP ini sudah tinggal di panti Tresna Putra sejak kelas satu SMP.


(16)

Ketidakmampuan orang tuanya untuk menyekolahkan menyebabkan ia harus tinggal di panti. Walaupun tinggal dengan teman-teman yang latar belakangnya berbeda, Lia tetap betah dan bersyukur karena sekarang dapat hidup lebih layak. Bahkan, ia pun tidak mengalami masalah bergaul dengan teman-teman sekolahnya yang kebanyakan bukan anak panti (Dharmais, 2004).

Hasil wawancara peneliti dengan seorang remaja yatim piatu di salah satu panti asuhan di kota Medan menunjukkan bahwa remaja yatim piatu tidak selalu menunjukkan harga diri yang negatif. Berikut petikan dari hasil wawancara peneliti dengan remaja yatim piatu tersebut.

“Aku sebenarnya ingin masuk PASKIBRA. Tapi karena gak ada duit, yah jadi aku ikut ekskul yang komputer ajalah bang yang juga bermanfaat. Yah…. Udah biasa. Aku gak perlu minder. Malah makin banyak kawan. Kasihan kali lah kalau ada orang yang gak punya teman. Mereka gak pernah mengejekku, justru mereka malah membantu. Mereka baik-baik. Lagipula belajarku lumayan juga kok bang. Jadi aku terima kondisiku seperti ini.”

(P3. V.2/L. 183-188/p.4-5)

Kasus-kasus di atas menunjukkan bahwa peristiwa kehilangan orangtua tidak selalu menyebabkan seorang remaja memiliki harga diri yang rendah. Menerima dan menyadari kelebihan dan kekurangan dirinya, menaruh rasa hormat terhadap dirinya, menganggap dirinya berharga, lebih bahagia dan efektif dalam menghadapi lingkungannya dan merasa sama dengan orang lain merupakan salah satu indikasi perilaku dari seseorang yang memiliki harga diri yang tinggi (Coopersmith, 1967).

Dapat disimpulkan dari pemaparan di atas bahwa orang tua memiliki peran dalam membentuk kepribadian remaja, harga diri remaja dan kemampuan remaja


(17)

untuk mengatasi masalah dalam kehidupan mereka. Maka penelitian ini ditujukan untuk melihat bagaimana harga diri pada remaja yang telah kehilangan kedua orangtuanya. Apakah individu menghadapi situasi ini dengan membentuk harga diri yang tinggi atau sebaliknya individu menghadapi situasi ini dengan membentuk harga diri yang rendah.

I. B. Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “bagaimana gambaran harga diri remaja yatim piatu.”

Untuk lebih rinci, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran harga diri remaja yatim piatu yang meliputi:

1. Bagaimana gambaran aspek perasaan diterima pada remaja yatim piatu. 2. Bagaimana gambaran aspek perasaan berharga pada remaja yatim piatu. 3. Bagaimana gambaran aspek perasaan diterima pada remaja yatim piatu.

I. C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran harga diri pada remaja yatim piatu.

I. D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis.


(18)

I. D. 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu Psikologi khususnya Psikologi Perkembangan, yaitu memberikan gambaran tentang harga diri remaja yatim piatu.

I. D. 2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai harga diri remaja yatim piatu sehingga para remaja yatim piatu dapat mengenal diri mereka dengan lebih baik. Selain itu melalui hasil penelitian ini diharapkan bagi masyarakat yang banyak berhubungan dengan remaja yatim piatu dapat memperlakukan para remaja yatim piatu dengan lebih tepat dan bersosialisasi dengan lebih baik. Juga kiranya hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai informasi tambahan bagi penelitian-penelitian sejenis, terutama dalam bidang Psikologi Perkembangan.

I. E. Sistematika Penulisan

Penelitian ini disajikan dalam beberapa bab, dengan sitematika sebagai berikut :

BAB I : Pendahuluan

Berisi latar belakang masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.


(19)

BAB II : Landasan Teori

Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian. Yang meliputi pengertian tentang harga diri.

BAB III : Metodologi Penelitian

Bab ini menjelaskan tentang pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu pendekatan kualitatif, metode pengumpulan data, subjek penelitian, prosedur penelitian serta prosedur analisis data. BAB IV : Analisa Data

Bab ini menguraikan analisa data dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap subjek penelitian.

BAB V : Kesimpulan dan Saran

Bab ini adalah bab terakhir yang membahas tentang kesimpulan, diskusi dan saran dari hasilpenelitian.


(20)

BAB II

LANDASAN TEORI

II. A. Harga Diri

II. A. 1. Definisi harga diri

Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri secara rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap keberadaan dan keberartian dirinya. Individu yang memiliki harga diri yang tinggi akan menerima dan menghargai dirinya sendiri apa adanya. Dalam harga diri tercakup evaluasi dan penghargaan terhadap diri sendiri dan menghasilkan penilaian tinggi atau rendah terhadap dirinya sendiri. Penilaian tinggi terhadap diri sendiri adalah penilaian terhadap kondisi diri, menghargai kelebihan dan potensi diri, serta menerima kekurangan yang ada, sedangkan yang dimaksud dengan penilaian rendah terhadap diri sendiri adalah penilaian tidak suka atau tidak puas dengan kondisi diri sendiri, tidak menghargai kelebihan diri dengan melihat diri sebagai sesuatu yang selalu kurang (Santrock, 1998).

Definisi lain dari harga diri adalah penilaian tinggi atau rendah terhadap diri sendiri yang menunjukkan sejauh mana individu itu meyakini dirinya sebagai individu yang mampu, penting dan berharga yang berpengaruh dalam perilaku seseorang (Frey&Carlock, 1987).

Coopersmith (1967) menyatakan bahwa harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya yang diekspresikan melalui suatu bentuk penilaian setuju dan menunjukkan tingkat


(21)

dimana individu meyakini drinya sebagai individu yang mampu, penting dan berharga. Harga diri seseorang dapat menentukan bagaimana cara seseorang berperilaku di dalam lingkungannya. Peran harga diri dalam menentukan perilaku ini dapat dilihat melalui proses berpikirnya, emosi, nilai, cita-cita, serta tujuan yang hendak dicapai seseorang. Bila seseorang mempunyai harga diri yang tinggi, maka perilakunya juga akan tinggi, sedangkan bila harga dirinya rendah, akan tercermin pada perilakunya yang negatif pula.

Dari beberapa definisi harga diri di atas, dapat disimpulkan bahwa harga diri adalah penilaian tinggi atau rendah yang dibuat individu tentang hal-hal yang berkaitan dengan dirinya yang menunjukkan sejauh mana individu menyukai dirinya sebagai individu yang mampu, penting dan berharga.

II. A. 2 Faktor-faktor yang mempengaruhi harga Diri

Menurut Coopersmith (1967) ada beberapa faktor yang mempengaruhi harga diri, yaitu:

1. Penghargaan dan Penerimaan dari Orang-orang yang Signifikan

Harga diri seseorang dipengaruhi oleh orang yang dianggap penting dalam kehidupan individu yang bersangkutan. orangtua dan keluarga merupakan contoh dari orang-orang yang signifikan. Keluarga merupakan lingkungan tempat interaksi yang pertama kali terjadi dalam kehidupan seseorang. 2. Kelas Sosial dan Kesuksesan

Menurut Coopersmith (1967), kedudukan kelas sosial dapat dilihat dari pekerjaan, pendapatan dan tempat tinggal. Individu yang memiliki


(22)

pekarjaan yang lebih bergengsi, pendapatan yang lebih tinggi dan tinggal dalam lokasi rumah yang lebih besar dan mewah akan dipandang lebih sukses dimata masyarakat dan menerima keuntungan material dan budaya. Hal ini akan menyebabkan individu dengan kelas sosial yang tinggi meyakini bahwa diri mereka lebih berharga dari orang lain.

3. Nilai dan Inspirasi Individu dalam Menginterpretasi Pengalaman

Kesuksesan yang diterima oleh individu tidak mempengaruhi harga diri secara langsung melainkan disaring terlebih dahulu melalui tujuan dan nilai yang dipegang oleh individu.

4. Cara Individu dalam Menghadapi Devaluasi

Individu dapat meminimalisasi ancaman berupa evaluasi negatif yang datang dari luar dirinya. Mereka dapat menolak hak dari orang lain yang memberikan penilaian negatif terhadap diri mereka.

II. A. 3. Ciri-ciri harga diri

Coopersmith (1967) mengemukakan ciri-ciri individu sesuai dengan tingkat harga dirinya:

1) Harga Diri Tinggi

a. Menganggap diri sendiri sebagai orang yang berharga dan sama baiknya dengan orang lain yang sebaya dengan dirinya dan menghargai orang lain.

b. Dapat mengontrol tindakannya terhadap dunia luar dirinya dan dapat menerima kritik dengan baik.


(23)

c. Menyukai tugas baru dan menantang serta tidak cepat bingung bila sesuatu berjalan di luar rencana.

d. Berhasil atau berprestasi di bidang akademik, aktif dan dapat mengekpreskan dirinyan dengan baik.

e. Tidak menganggap dirinya sempurna, tetapi tahu keterbatasan diri dan mengharapkan adanya pertumbuhan dalam dirinya.

f. Memiliki nilai-nilai dan sikap yang demokratis serta orientasi yang realistis.

g. Lebih bahagia dan efektif menghadapi tuntutan dari lingkungan 2) Harga Diri Rendah

a. Menganggap dirinya sebagai orang yang tidak berharga dan tidak sesuai, sehingga takut gagal untuk melakukan hubungan sosial. Hal ini sering kali menyebabkan individu yang memiliki harga diri yang rendah, menolak dirinya sendiri dan tidak puas akan dirinya.

b. Sulit mengontrol tindakan dan perilakunya tehadap dunia luar dirinya dan kurang dapat menerima saran dan kritikan dari orang lain.

c. Tidak menyukai segala hal atau tugas yang baru, sehingga akan sulit baginya untuk menyesuaikan diri dengan segala sesuatu yang belum jelas baginya.

d. Tidak yakin akan pendapat dan kemampuan diri sendiri sehingga kurang berhasil dalam prestasi akademis dan kurang dapat mengekspresikan dirinya dengan baik.


(24)

e. Menganggap diri kurang sempurna dan segala sesuatu yang dikerjakannya akan selalu mendapat haslil yang buruk, walaupun dia telah berusaha keras, serta kurang dapat menerima segala perubahan dalam dirinya.

f. Kurang memiliki nilai dan sikap yang demokratis serta orientasi yang kurang realisitis.

g. Selalu merasa khawatir dan ragu-ragu dalam menghadapi tuntutan dari lingkungan.

II. A. 4. Aspek-aspek harga diri

Menurut Coopersmith (1967) aspek-aspek yang terkandung dalam harga diri ada tiga yaitu:

 Perasaan Berharga

Perasaan berharga merupakan perasaan yang dimiliki individu ketika individu tersebut merasa dirinya berharga dan dapat menghargai orang lain. Individu yang merasa dirinya berharga cenderung dapat mengontrol tindakan-tindakannya terhadap dunia di luar dirinya. Selain itu individu tersebut juga dapat mengekspresikan dirinya dengan baik dan dapat menerima kritik dengan baik.

 Perasaan Mampu

Perasaan mampu merupakan perasaan yang dimiliki oleh individu pada saat dia merasa mampu mencapai suatu hasil yang diharapkan. Individu yang memiliki perasaan mampu umumnya memiliki nilai-nilai dan sikap


(25)

yang demokratis serta orientasi yang realistis. Individu ini menyukai tugas baru yang menantang, aktif dan tidak cepat bingung bila segala sesuatu berjalan di luar rencana. Mereka tidak menganggap dirinya sempurna tetapi sadar akan keterbatasan diri dan berusaha agar ada perubahan dalam dirinya. Bila individu merasa telah mencapai tujuannya secara efisien maka individu akan menilai dirinya secara tinggi.

 Perasaan Diterima

Perasaan diterima merupakan perasaan yang dimiliki individu ketika ia dapat diterima sebagai dirinya sendiri oleh suatu kelompok. Ketika seseorang berada pada suatu kelompok dan diperlakukan sebagai bagian dari kelompok tersebut, maka ia akan merasa dirinya diterima serta dihargai oleh anggota kelompok itu.

II. A. 5. Perkembangan harga diri remaja

Bayi yang baru lahir tidak dapat membedakan diri dengan lingkungan. Klein (dalam Frey & Carlock, 1987) menyatakan bahwa identitas bayi menyatu dengan orang-orang disekitarnya. Ketika seseorang memasuki masa anak-anak, seseorang akan memperoleh harga diri mereka dari orang tua dan guru. Mereka belum dapat mengevaluasi diri mereka karena perkembangan kemampuan kognitif anak belum cukup untuk mengevaluasi diri mereka, apakah mereka orang yang baik atau jahat (Davis-Kean dalam Papalia, 2005)

Kualitas harga diri berubah selama masa remaja. Perubahan tersebut umumnya dimulai pada usia sebelas tahun dan mencapai titik yang rendah pada


(26)

saat usia 12-13 tahun (Rosenberg, 1986). Kebanyakan orang pada masa remaja awal mengalami simultaneous challenges yang dapat memberikan pengaruh yang rendah terhadap harga diri remaja. Tantangan-tantangan tersebut meliputi perubahan sekolah, perubahan hubungan antara orangtua dan remaja serta perubahan biologis yang berkaitan dengan pubertas.

Permasalahan harga diri pada remaja merupakan masalah mendapatkan persetujuan dari orang lain. Harga diri menjadi tidak stabil karena remaja sangat memperhatikan dan mempedulikan kesan yang mereka buat terhadap orang lain. Usaha untuk menyenangkan banyak orang akan menghasilkan frustasi. Umpan balik yang diterima dari orang lain akan berkontradiksi sehingga akan memperbesar keraguan dan kebingungan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Erikson (dalam Calhuoun dan Acocella, 1995), bahwa pandangan yang tidak stabil dan tidak teratur tentang diri normal terjadi pada remaja oleh karena transisi peran yang dialaminya

II. B. Remaja

II. B. 1. Definisi remaja

Remaja (adolescence) berasal dari bahasa latin yang artinya “tumbuh untuk mencapai kematangan”. Perkembangan lebih lanjut, istilah adolescence

sesungguhnya memiliki arti luas yang mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik (Hurlock, 1999). Remaja sebetulnya tidak memiliki tempat yang jelas. Ia tidak termasuk golongan anak, namun tidak pula termasuk golongan orang dewasa. Remaja adalah individu yang berada pada peralihan antara masa


(27)

kanak-kanak menuju masa dewasa. Meskipun demikian mereka dituntut untuk dapat menemukan tempat dalam masyarakat (Monks, 1998).

Secara umum masa remaja dibagi menjadi tiga bagian, yaitu sebagai berikut (Konopka dalam Pikunas, 1983):

1. Masa remaja awal (12-15 tahun)

Pada masa ini individu mulai meninggalkan peran sebagai anak-anak dan berusaha menembangkan diri sebagai individu yang unik dan tidak bergantung pada orangtua. Fokus dari tahap ini adalah penerimaan terhadap bentuk dan kondisi fisikserta adanya konformitas yang kuat dengan teman sebaya.

2. Masa remaja pertengahan (15-18 tahun)

Masa ini ditandai dengan berkembangnya kemampuan berpikir yang baru. Teman sebaya masih memiliki peran yang penting, namun individu sudah lebih mampu mengarahkan diri sendirI (self direct). Pada masa ini remaja mulai mengembangkan kematangan tingkah laku, belajar mengendalikan impulsivitas, dan membuat keputusan-keputusan awal yang berkaitan dengan tujuan vokasional yang ingin dicapai. Selain itu penerimaan dari lawan jenis menjadi penting bagi individu.

3. Masa remaja akhir (19-22 tahun)

Masa ini ditandai oleh persiapan akhir untuk memasuki peran-peran orang dewasa. Selama periode ini remaja berusaha memantapkan tujuan vokasional dan mengembangkan sense of personal identity. Keinginan yang kuat untuk menjadi matang dan diterima dalam kelompok teman sebaya dan orang dewasa, juga menjadi ciri dari tahap ini.


(28)

II. B. 2. Perubahan pada masa remaja

Masa remaja dikenal sebagai salah satu periode dalam rentang kehidupan manusia yang memiliki beberapa keunikan tersendiri. Keunikan tersebut bersumber dari kedudukan masa remaja sebagai periode transisional antara masa kanak-kanak dan masa dewasa. Secara ringkas perubahan-perubahan tersebut diuraikan sebagai berikut (Lerner dalam Pikunas, 1983):

1. Perubahan Fisik

Rangkaian perubahan yang paling jelas yang tampak pada masa remaja adalah perubahan fisik. Hormon-hormon baru diproduksi oleh kelenjar endokrin, dan ini membawa perubahan dalam ciri-ciri seks primer dan memunculkan ciri-ciri seks sekunder. Seorang individu lalu mulai terlihat berbeda dan sebagai konsekuensi dari hormon yang baru, dia sendiri mulai merasa adanya perbedaan.

2. Perubahan Emosionalitas

Akibat langsung dari perubahan fisik dan hormonal tadi adalah perubahan dalam aspek emosionalitas pada remaja sebagai akibat dari perubahan fisik dan hormonal tadi, dan juga pengaruh lingkungan yang terkait dengan perubahan badaniah tersebut. Keterbatasan remaja untuk secara kognitif mengolah perubahan-perubahan baru tersebut bisa membawa perubahan besar dalam fluktuasi emosinya.

3. Perubahan Kognitif

Semua perubahan di atas semakin dirumitkan lagi oleh fakta bahwa remaja juga mengalami perubahan kognitif. Menurut Piaget (1972) remaja memasuki


(29)

tahap formal operation dalam perkembangan kognitifnya. Dalam tahapan yang bermula pada umur 11 atau 12 tahun ini, remaja tidak lagi terikat pada realitas fisik yang konkrit dari apa yang ada, remaja mulai mampu berhadapan dengan aspek-aspek yang hipotetis dan abstrak sebagai realitas.

4. Implikasi Psikososial

Semua perubahan yang terjadi dalam waktu singkat itu membawa akibat bahwa fokus utama dari perhatian remaja adalah dirinya sendiri. Individu akan bertanya: “Apa dasar dari perubahan ini?”, “Apa akibatnya pada saya?”, “Adakah saya sama dengan orang yang saya pikirkan?” Ketidakpstian-ketidakpastian seperti ini membawa seperangkat persoalan yang baru, persoalan ini adakaitannya dengan peran remaj secara sosial.

Menurut Erikson (1968), seorang remaja bukan sekedar mempertanyakan siapa dirinya, tapi bagaimana dan dalam konteks apa atau dalam kelompok apa dia bisa menjadi bermakna dan dimaknakan. Dengan kata lain, identitas seseorang tergantung pula pada bagaimana orang lain mempertimbangkan kehadirannya. Karenanya bisa lebih dipahami mengapa keinginan untuk diakui, keinginan untuk memperkuat kepercayaan diri, dan keinginan untuk menegaskan kemandirian menjadi hal yang sangat penting bagi remaja, terutama mereka yang akan mengakhiri masa itu.

II. B. 3. Peran orangtua dalam perkembangan harga diri remaja

Anak yang baru dilahirkan diibaratkan sebagai sehelai kertas putih, yang masih polos dan bagaimana jadinya kertas putih tersebut di kemudian hari,


(30)

tergantung dari orang yang menulisinya (John Locke, 1690). Jadi, bagaimana kepribadian anak di kemudian hari, tergantung dari bagaimana ia berkembang dan diperkembangkan oleh lingkungan hidupnya. Mengenai lingkungan hidup yang menjadi tokoh pusatnya adalah orangtua. Walaupun aspek individual tidak bisa dihilangkan dalam membentuk kepribadian seseorang, orangtua lah yang berperan besar, langsung atau kadang-kadang tidak langsung, berhubungan terus menerus dengan anak, memberikan perangsangan melalui berbagai corak komunikasi antara orangtua (terutama ibu) dengan anak. Tatapan mata, ucapan-ucapan mesra, sentuhan-sentuhan halus kesemuanya adalah sumber-sumber rangsangan untuk membentuk sesuatu kepada kepribadiannya, dan kalau anak sudah lebih besar, lebih banyak lagi sumber-sumber perangsangan untuk mengembangkan kepribadian anak. Lingkungan keluarga acap kali disebut sebagai lingkungan pendidikan informal yang mempengaruhi berbagai aspek perkembangan anak.

Mendasarkan pada hal tersebut di atas, orangtua menjadi faktor penting dalam menanamkan dasar kepribadian yang ikut menentukan corak dan gambaran kepribadian seseorang setelah dewasa (Erikson dalam Gunarsa, 1994). Jadi gambaran kepribadian yang terlihat dan diperlihatkan seseorang setelah dewasa, banyak ditentukan oleh keadaan dan proses-proses yang ada dan terjadi sebelumnya.

Henricson dan Roker (dalam Parker 2004) berpendapat bahwa pengawasan dan dukungan dari orangtua berhubungan dengan harga diri yang lebih tinggi bagi remaja. Dari empat faktor yang disebutkan oleh Coopermith, keempat faktor tersebut berkaitan dengan orang tua. Orang tua adalah salah satu


(31)

orang yang signifikan bagi kehidupan banyak orang. Penanaman nilai bagi seseorang juga banyak dipengaruhi oleh orang tua.

Ketika seorang anak mulai memasuki fase kehidupan praremaja, ia mulai meninggalkan keluarga dan memasuki ruang lingkup kehidupan yang lebih luas, yakni dunia luar, lingkungan sosial, lingkungan pergaulan. Dalam memasuki ruang lingkup kehidupan yang lebih luas inilah, anak tidak bisa dilepaskan begitu saja untuk menjelajahi dunianya tanpa bantuan, bimbingan dan pengarahan orang lain. Anak perlu dipersiapkan dan diperhatikan dalam pergaulan terutama pengaruh rendah dalam pergaulan dengan kelompok usia sebaya. Suatu keinginan memberikan kesempatan pada anak untuk belajar dengan membiarkan anak mengalami sulitnya kehidupan, menghadapi dan mengatasi berbagai masalah sendiri memang tidak salah. Namun dalam batas-batas tertentu, anak masih memerlukan campur tangan untuk mengubah dan mengarahkan proses-proses perkembangan pada seluruh aspek kepribadiannya. Dengan kata lain, orangtua perlu berusaha mempersiapkan anak dalam mengahdapi masa remaja.

II.C. Remaja Yatim Piatu

Seorang yatim piatu adalah adalah seseorang yang kehilangan kedua orang tuanya, biasanya karena kematian. Definisi yang sah yang digunakan di USA adalah seseorang yang telah kehilangan edua orang tuanya karena kematian, ditinggalkan atau terpisah dari kedua orang tuanya. Remaja yatim piatu adalah seseorang yang berusia antara 12 – 22 tahun (Konopka dalam Pikunas,1983) yang telah kehilangan kedua orang tuanya.


(32)

Seorang remaja sangat membutuhkan bimbingan dan perhatian dari orangtuanya dalam perkembangan kepribadiannya. Orang tua dapat memberikan kebutuhan sandang pangan yang bervariasi kualitas dan kuantitasnya. Orang tua juga memberikan pengalaman pendidikan, kebutuhan untuk sekolah, rasa tanggung jawab, perhatian akan kesehatan remaja, waktu bebas untuk berkreasi dan pandangan tentang masa depan kepada remaja (Brigitte Zimmerman, 2005).

Kehilangan orang tua dapat berakibat bahwa remaja akan kehilangan orang yang menjadi sumber untuk semua hal yang telah disebut di atas yang diperlukan untuk perkembangan kepribadian remaja. Dalam suatu studi di Botswana menunjukkan bahwa kehilangan orang tua pada umumnya berkaitan dengan semakin rendahnya pendapatan, kekurangan sandang pangan, perhatian dan kasih sayang yang dapat mengakibatkan dampak yang lebih buruk lagi bagi para remaja yatim paitu (American Public Health Association, 2006). Para remaja yatim piatu membutuhkan peran pengganti dari orang tua mereka yang telah meninggal dunia untuk memperoleh kebutuhan-kebutuhan mereka yang berkaitan dengan perkembangan kepribadian mereka.

II. D. Harga Diri pada Remaja Yatim Piatu

Harga diri adalah suatu konsep yang penting pada masa remaja. Harga diri seseorang dapat menentukan bagaimana cara seseorang berperilaku di dalam lingkungannya. Peran harga diri dalam menentukan perilaku ini dapat dilihat melalui proses berpikirnya, emosi, nilai, cita-cita, serta tujuan yang hendak dicapai seseorang. Bila seseorang mempunyai harga diri yang tinggi, maka


(33)

perilakunya juga akan tinggi, sedangkan bila harga dirinya rendah, akan tercermin pada perilakunya yang negatif pula (Coopersmith, 1967).

Coopersmith berpendapat bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi harga diri adalah penghargaan dan penerimaan dari orang-orang yang signifikan. Orang tua dan keluarga merupakan contoh dari orang-orang yang signifikan. Keluarga merupakan lingkungan tempat interaksi yang pertama kali terjadi dalam kehidupan seseorang.

Pendapat Coopersmith didukung oleh Frey&Carlock (1987) yang menyatakan bahwa orangtua memiliki pengaruh yang besar dalam membentuk harga diri remaja. Orangtua menjadi faktor penting dalam menanamkan dasar kepribadian yang ikut menentukan corak dan gambaran kepribadian seseorang setelah dewasa (Erikson dalam Gunarsa 1994). Jadi gambaran kepribadian yang terlihat dan diperlihatkan seseorang setelah dewasa, banyak ditentukan oleh keadaan dan proses-proses yang ada dan terjadi sebelumnya.

Orangtua memiliki pengaruh terhadap perkembangan harga diri pada masa remaja. Resoner (dalam Parker, 2004) menyatakan bahwa ketika orangtua menanamkan harga diri yang tinggi, maka anak akan merasa lebih nyaman terhadap diri sendiri. Orangtua yang menunjukkan perhatian terhadap tingkah laku yang diperbuat oleh anak akan menghasilkan harga diri yang lebih tinggi bagi anak tersebut. Remaja harus tetap diajarkan bahwa mereka bertanggung jawab terhadap hal-hal yang mereka lakukan. Orangtua perlu mengajarkan hal-hal yang penting yang harus dilakukan remaja dan remaja perlu merasakan bahwa mereka telah memberikan warna dalam kehidupan khususnya bagi para orangtua.


(34)

Kehilangan orang tua dapat menyebabkan seorang remaja memiliki harga diri yang rendah karena remaja akan kehilangan sumber yang dapat membentuk harga diri yang positif bagi mereka. Tetapi faktor lain tidak dapat kita abaikan begitu saja dalam mempengaruhi harga diri remaja. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi harga diri adalah, kelas sosial dan kesuksesan, nilai dan inspirasi individu dalam menginterpretasi pengalaman, dan cara individu dalam menghadapi devaluasi (Coopersmith,1967).

Perhatian, penerimaan dan penghargaan dari orang-orang disekitar dapat meningkatkan harga diri remaja yatim piatu. Nilai-nilai positif yang telah dianut remaja sebelum kematian kedua orang tuanya serta juga dapat meningkatkan harga diri remaja yatim piatu. Contoh kasus juga telah menunjukkan bahwa Juve (seorang remaja yatim piatu yang memiliki prestasi akademis yang baik) dapat meningkatkan harga dirinya setelah kehilangan kedua orang tuanya.

Berdasarkan teori-teori yang telah dipaparkan di atas kita dapat melihat bahwa orangtua sangat berperan dalam pembentukan harga diri remaja. Maka kita dapat menyimpulkan bahwa ketiadaan orangtua dapat memberi dampak negatif bagi remaja. Tetapi tidak selamanya harga diri seorang remaja yatim piatu menjadi negatif. Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan harga diri seorang remaja yatim piatu tidak menjadi negatif.


(35)

BAB III

METODE PENELITIAN

III. A. Pendekatan Kualitatif

Harga diri merupakan penilaian individu terhadap dirinya sendiri, sehingga bersifat subjektif. Peneliti menggunakan metode kualitatif untuk mendapatkan gambaran harga diri pada remaja yatim piatu karena metode kualitatif berusaha memahami suatu gejala sebagaimana pemahaman responden yang diteliti, dengan penekanan pada aspek subjektif dari perilaku seseorang (Poerwandari,2001).

Kekuatan pendekatan kualitatif adalah dapat memahami gejala bagaimana subjek mengalaminya, sehingga dapat diperoleh gambaran yang sesuai dengan diri subjek, bukan semata-mata penarikan kesimpulan sebab-akibat yang dipaksakan. Penelitian kualitatif juga memungkinkan peneliti untuk memahami cara subjek menggambarkan dunia sekitarnya berdasarkan cara berpikir mereka. Dengan cara ini, peneliti berusaha untuk masuk ke dalam dunia konseptual subjek yang ditelitinya untuk menangkap apa dan bagaimana suatu pengertian dikembangkan oleh mereka. Oleh karena itu, yang dianggap penting adalah pengalaman, pendapat, perasaan dan pengetahuan subjek (Bogdan dan Taylor, 1975).

Melihat permasalahan yang hendak dijawab dalam penelitian ini, penelitian kualitatif bersifat deskriptif dipandang sesuai untuk mengetahui gambaran harga diri remaja yatim piatu dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.


(36)

III. B. Metode Pengumpulan Data

Poerwandari (2001) menyatakan ada beberapa metode pengumpulan data yang biasa digunakan dalam pentelitian kualitatif dan metode-metode ini dapat dikombinasikan satu sama lain, bahkan juga dengan metode-metode kuantitatif. Metode-metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif antara lain: observasi, penelitian pada catatan harian (diary), wawancara, Focus Group Discussion, penelitian partisipatoris, metode yang berkaitan dengan gambar, metode dengan pemetaan dan ranking, metode dengan drama dan bercerita, oral history dan metode kisah kehidupan. Metode yang dipilih untuk digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara.

Menurut Stewart dan Cash (2000), wawancara adalah suatu proses komunikasi interaksional antara dua orang, setidaknya satu diantaranya memiliki tujuan tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya, dan biasanya melibatkan pemberian dan menjawab pertanyaan. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut (Banister dkk. Dalam Poerwandari, 2001).

Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara dengan pedoman umum. Dalam wawancara ini, peneliti dilengkapi dengan pedoman wawancara yang sangat umum, yang mecantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan. Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus


(37)

menjadi daftar pengecek apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Dengan pedoman demikian, peneliti harus memikirkan bagaimana pertanyaan tersebut akan dijabarkan secara konkrit dalam kalimat tanya, sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks aktual saat wawancara berlangsung. (Poerwandari, 2001).

III. C. Alat Bantu Pengumpulan Data Penelitian

Alat bantu pengumpul data dalam penelitian ini digunakan pada saat melakukan wawancara dengan subjek penelitian yaitu menggunakan peralatan bantu sebagai berikut:

1. Alat perekam (tape recorder)

Poerwandari (2001) menyatakan, sedapat mungkin wawancara perlu direkam dan dibuat transkripnya secara verbatim (kata demi kata), sehingga perlu digunakan alat perekam agar peneliti mudah mengulang kembali rekaman wawancara dan dapat menghubungi subjek kembali apabila masih ada hal yang belum lengkap atau belum jelas. Dengan adanya alat perekam ini, hasil wawancara juga merupkan data yang utuh karena sesuai dengan apa yang disampaikan subjek dalam wawancara. Moleong (2000) mengatakan, perekaman data melalui tape recorder hendaknya dilakukan dengan memperoleh persetujuan dari subjek yang diwawancarai terlebih dahulu.

2. Pedoman umum wawancara

Pedoman wawancara memuat isu-isu yang berkaitan dengan tema penelitian tanpa menentukan urutan pertanyaan karena akan disesuaikan dengan situasi


(38)

dan kondisi saat wawancara berlangsung. Pedoman ini digunakan untuk mengingatkan sekaligus sebagai daftar pengecek bahwa semua aspek yang relevan telah dibahas atau dinyatakan. Hal ini dimaksudkan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Selain itu, pedoman wawancara berfungsi sebagai alat bantu untuk mengkategorikan jawaban sehingga memudahkan peneliti pada tahap analisis data (Poerwandari, 2001).

III. D. Subjek Penelitian

III. D. 1. Kriteria subjek penelitian

Kriteria yang digunakan untuk memilih subjek penelitian adalah sebagai berikut:

1. Remaja yatim piatu berusia 15-22 tahun. 2. Tinggal di kota Medan.

3. Belum menikah.

III. D. 2. Jumlah subjek penelitian

Prosedur penentuan subjek penelitian dalam penelitian kualitatif menurut Sarankatos (dalam Poerwandari, 2001) memiliki karakteristik berikut ini: (1) tidak ditentukan secara kaku sejak awal tetapi dapat berubah, baik dalam hal jumlah maupun karakteristik subjek, sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian; (2) tidak diarahkan pada keterwakilan (dalam arti jumlah maupun peristiwa random) melainkan pada kecocokan konteks; (3) subjek tidak diarahkan pada jumlah yang besar, melainkan pada kasus-kasus tipikal


(39)

sesuai kekhususan masalah penelitian. Selain itu, Banister dkk. (dalam Poerwandari, 2001) menyatakan bahwa dengan fokusnya pada kedalaman proses, penelitian kualitatif cenderung dilakukan dengan jumlah kasus sedikit. Suatu kasus tunggal pun dapat dipakai, bila secara potensial memang sangat sulit bagi peneliti untuk memperoleh kasus lebih banyak, dan bila dari kasus tunggal tersebut memang diperlukan informasi yang sangat mendalam.

Strauss (dalam Irmawati,2002) mengatakan bahwa tidak ada ketentuan baku mengenai jumlah minimal subjek yang harus dipenuhi. Apabila data yang dikumpulkan telah cukup mendalam, maka dapat diambil subjek penelitian dalam jumlah kecil. Sesuai dengan pernyataan tersebut, jumlah subjek dalam penelitian ini adalah 3 orang.

III. D. 3. Prosedur pengambilan subjek penelitian

Dalam penelitian kualitatif, umumnya menggunakan metode pengambilan sampel yang purposif. Sampel tidak diambil secara acak tetapi justru dipilih mengikuti kriteria tertentu (Poerwandari, 2001).

Pada penelitian ini prosedur pengambilan subjek penelitian dilakukan berdasarkan teori atau berdasarkan konstrak operasional ( theory-based/operational construct sampling). Patton (dalam Poerwandari, 2001) menjelaskan, penggunaan prosedur ini berdasarkan teori atau konstrak operasional sesuai dengan studi-studi sebelumnya, atau sesuai dengan tujuan penelitian. Hal ini dilakukan agar subjek benar-benar bersifat representatif artinya dapat mewakili


(40)

fenomena yang dipelajari. Dalam penelitian ini, sampel diperoleh berdasarkan kriteria seorang remaja yang telah kehilangan kedua orang tuanya.

III. E. Prosedur Penelitian

III. E.1 Tahapan persiapan peneltian

Tahapan persiapan penelitian (pleminary research) dilakukan untuk mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan dalam penelitian.

a. Mengumpulkan konsep teori mengenai remaja yatim piatu dan harga diri Pada tahap ini, peneliti berusaha mengumpulkan dan mempelajari informasi serta konsep teori yang berkenaan dengan remaja yatim piatu dan harga diri remaja.

b. Menyiapkan pedoman wawancara

Sebelum wawancara dilakukan, peneliti terlebih dahulu menyiapkan pedoman wawancara yagn disusun berdasarkan teori yang ada.

c. Menghubungi calon subjek yang sesuai dengan karakteristik subjek penelitian Peneliti menemui calon subjek peneltian, baik yang sudah peneliti kenal maupun yang dikenalkan oleh orang lain, untuk menjelaskan tentang penelitian yang akan dilakukan. Peneliti kemudian menanyakan kesediaan calon subjek untuk diwawancarai.

d. Melaksanakan rapport

Sebelum waancara dilakukan, peneliti melakukan rapport dengan tiap-tiap subjek penelitian yang telah menyatakan kesediaanya untuk diwawancarai. Menurut Moleong (1993), rapport adalah hubungan antara peneliti yang telah


(41)

melebur sehingga seolah-olah tidak ada lagi dinding pemisah diantara keduanya. Dengan demikian subjek dengan sukarela akan menjawab pertanyaan atau memberikan informasi yang diminta peneliti.

III. E.2. Tahap pelaksanaan penelitian

Setelah tahapan persiapan dilakukan, peneliti memasuki tahap pelaksanaan penelitian.

a. Mengkonfirmasi ulang waktu wawancara.

b. Melakukan wawancara berdasarkan pedoman wawancara.

c. Memindahkan rekaman hasil wawancara ke dalam bentuk verbatim tertulis. d. Melakukan analisis dan interpretasi data.

e. Menarik kesimpulan serta membuat diskusi dan saran.

III. F. Prosedur Analisis Data

Poerwandari (2001) menyatakan bahwa dalam penelitian kualitatif, data yang diperoleh adalah berupa kata-kata dan bukan angka-angka. Prosedur analisis data penelitian kualitatif adalah sebagai berikut.:

1. Mencatat data menjadi bentuk teks.

2. Mengelompokkan data dalam kategori-kategori tertentu sesuai dengan pokok-pokok permasalahan yang ingin dijawab. Pertama-tama dilakukan sorting

(penyeleksian) data-data yang relevan dengan tema utama pembahasan, kemudian dilakukan coding (pengkodean).


(42)

4. Mengidentifikasi tema atau kategori umum data yang terkumpul. 5. Menulis hasil akhir.

Dengan mengacu pada tahap-tahap diatas, maka peneliti melakukan prosedur penelitian sebagai berikut:

1. Menuang hasil wawancara ke dalam bentuk verbatim (kata demi kata) sebagai transkrip hasil wawancara, dan mengikutsertakan hasil observasi terhadap masing-masing subjek penelitian tiap kali waancara dilaksanakan.

2. Men-sorting data, yaitu dengan memlihi kata-kata yang relevan dengan pokok permasalahan .

3. Data yang telah relevan dengan pokok permasalahan selanjutnya dikelompok-kelompokkan, sesuai dengan tema utama penelitian.

4. setelah data di-coding atau dikategorisasikan, kemudian dilakukan interpretasi atau analisis terhadap data dari masing-masing subjek berdasarkan tema atau penelitian.

5. Menulis hasil akhir.

III. G. Kredibilitas Penelitian Kualitatif

Menurut Guba dan Lincoln (dalam Meutia, 2004) mengemukakan 4 kriteria utk menilai kekuatan dari penelitian kualitatif.

1. Kredibilitas

Krediblitas menjadi istilah yang paling banyak dipilih untuk mengganti konsep validitas, dimaksudkan utk merangkum bahasan menyangkut kualitas penelitian kualitatif. Kredibilitas penelitian kualitatif terletak pada


(43)

keberhasilannya mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks (Poerwandari, 2001). Kriteria kredibilitas membuktikan bahwa hasil dari penelitian kualitatif dapat dipercaya dari sudut pandang partisipan dalam penelitian (Guba dan Lincoln dalam Meutia, 2004). Dalam hal ini, yang berhak menentukan penelitian ini kredibel adalah objektivitas profesional. 2. Transferabilitas

Transerabilitas menjadi istilah yang menggantikan konsep generalisasi yang banyak digunakan dalam penelitian kuantitatif. Transferabilitas adalah tingkat dimana hasil dari penelitian kualitatif dapat digeneralisasikan atau ditransfer pada konteks atau setting yang lain (Guba dan Lincoln dalam Meutia, 2004). Yang perlu diperhatikan adalah Setting atau konteks dalam hasil studi akan diterapkan atau ditransferkan haruslah relevan, atau memiliki banyak kesamaan dengan Setting dimana penelitian dilakukan (Poerwandari, 2001). Penelitian ini memiliki nilai transferabilitas yang tinggi jika dilakukan pada anak remaja yang berusia pada rentang 12 – 22 tahun, berdomisili di Medan dan memiliki latar belakang yang sama dengan ketiga responden dan dilakukan pada konteks dan setting yang sama.

3. Dependability

Pandangan kuantitaif tradisional mengenai reliabilitas didasarkan pada asumsi dapat direplikasi atau diulang. Pada dasarnya hal ini tentang apakah kita dapat memperoleh hasil yang sama jika kita dapat mengulang observasi pada suatu hal dua kali. Tetapi kita tidak dapat benar-benar mengukur hal yang sama dua


(44)

kali, dengan defenisi jika kita mengukur dua kali, kita mengukur dua hal yang berbeda. Ide dari dependability, disisi lain, menekankan pada kebutuhan untuk para peneliti untuk menghitung perubahan konteks dimana penelitian terjadi (Guba dan Lincoln dalam Meutia, 2004). Oleh karena itu, tingkat dependability dalam penelitian ini terletak pada sejauh mana peneliti bertanggung jawab untuk menggambarkan perubahan yang terjadi dalam setting dan bagaimana perubahan ini mempengaruhi cara dari pendekatan penelitian.

4. Konfirmabilitas

Konfrimabilitas menjadi istilah yangn menggantikan konsep tradisional tentang objektivitas. Pen kualitatif cenderung untuk mengasumsikan bahwa setiap peneliti mengajukan pandangan unik pada penelitian (Guba dan Lincoln dalam Meutia, 2004). Konfirmabilitas dalam penelitian ini adalah tingkat dimana hasil dapat dikonfirmasikan atau dibenarkan oleh orang lain.


(45)

BAB IV

ANALISA DATA DAN INTERPRETASI

Bab ini akan menguraikan hasil penelitian berupa analisis data dan interpretasi yang terdiri atas:

IV. A. Deskripsi data: Berisi gambaran umum tentang data penelitian Partisipan I, II, dan III serta memasukkan data hasil observasi umum dan wawancara. 1. Data Observasi Umum

2. Data Wawancara 3. Interpretasi

IV. B. Analisa antar partisipan : Berisi analisa berdasarkan perbandingan antara partisipan I, II dan III.

IV. A. Deskripsi Data

IV. A. 1. Observasi, wawancara, dan interpretasi partisipan I (Rudi)

Wawancara dilakukan sebanyak tiga kali di Panti Asuhan X dan dilakukan pada: Rabu, 12 September 2007 pukul 16.30 – 17.30; Selasa, 11 Maret 2008 pukul 16.15 – 17.30; Senin, 7 April 2008 16.30 – 17.45.

Tabel 1. Data Diri Partisipan I

No Dimensi Partisipan

1 Inisial Rudi

2 Usia 14 tahun

3 Pendidikan Kelas I – V SD di Samosir Kelas VI SD di Medan

Kelas VII-sekarang di SMP Medan Putri 4 Alamat Panti asuhan X

5 Etnis Batak


(46)

7 Urutan dalam keluarga Anak tunggal 8 Pekerjaan Ayah sebelum

meninggal

Nelayan 9 Pekerjaan Ibu sebelum

meninggal

Pedagang

Rudi adalah seorang anak tunggal. Rudi lahir dan besar di Samosir, sebuah kabupaten di tengah-tengah Danau Toba. Ketika Ayah Rudi masih hidup, Ayah Rudi bekerja di Sibolga sebagai seorang nelayan sedangkan Rudi dan Ibunya tinggal di Samosir bersama kedua Opungnya.

Rudi ditinggal oleh Ayahnya yang menutup usia ketika Rudi masih bayi. Sejak ditinggalkan oleh Ayah Rudi, Ibu Rudi membesarkan Rudi bersama kedua opungnya dan Ibu Rudi meninggal dunia ketika Rudi duduk di bangku kelas III SD. Setelah kepergian kedua orang tuanya, Rudi tinggal dan diasuh di rumah kedua Opung dari Ibu Rudi.

Ketika Rudi memasuki bangku kelas VI SD, atas permintaan dari kedua Opungnya Rudi dikirimkan ke Panti Asuhan X. Rudi dipindahkan ke panti asuhan ini dengan alasan agar Rudi bisa menjadi orang yang lebih disiplin dan mendapat kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik. Menurut kedua opungnya Rudi adalah anak yang sulit diurus.

Kegiatan Rudi dipanti mengikuti aturan yang telah ditetapkan oleh pengurus panti. Rudi bersekolah di pagi hari dan harus pulang ke panti dengan jadwal yang telah ditetapkan kecuali ada alasan tertentu seperti kerja kelompok, tugas sekolah, menjenguk teman dan alasan lain. Rudi memiliki tanggung jawab seperti anak panti lain yaitu membersihkan ruangan-ruangan tertentu dari panti asuhan. Ketika hari menjelang malam Rudi harus menyelesaikan pekerjaan rumah


(47)

dari sekolah, makan malam, membersihkan diri, dan belajar bersama anak-anak panti yang lain.

Seperti anak panti lain yang berusia lebih tua dari Rudi, Rudi diminta untuk mengisi waktu dengan kegiatan yang positif yaitu melalui kelompk brass band yang dimiliki panti. Kelompok brass band di panti memiliki jadwal latihan yang reguler dan kelompok brass band ini juga mempunyai program kerja yang sangat banyak diantaranya mengadakan konser dan mengisi acara jika ada undangan yang mereka terima dari luar.

Keperluan sehari-hari termasuk juga biaya sekolah dan pendidikan Rudi ditanggung oleh pimpinan panti. Saat ini Rudi bersekolah di salah satu SMP swasta yang ada di kota Medan dan duduk di bangku kelas VIII. Di sekolah Rudi dikenal sebagai anak yang pendiam dan pemalu. Walaupun begitu Rudi senang membuat teman-temannya tertawa melalui lelucon-lelucon yang disampaikan Rudi.

Rudi belum memiliki kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Walaupun di sekolah ada beberapa organisasi siswa, Rudi tidak ingin mengikuti salah satu organisasi tersebut. Hari-hari Rudi lebih banyak dilalui dengan bermain.

Saat lulus SMP nanti Rudi ingin melanjutkan sekolah di salah satu Sekolah Menengah Kejuruan. Rudi berencana untuk dapat membuka bengkel setelah tamat SMK nanti.


(48)

a. Observasi Umum

Wawancara dengan Rudi dilakukan sebanyak tiga kali di ruang kantor panti asuhan X. Peneliti dikenalkan kepada Rudi melalui Kak Susi (kakak Panti). Setiap wawancara direkam dengan menggunakan alat perekam setelah mendapatkan izin dari Rudi.

Rudi memiliki kulit berwarna coklat, mempunyai rambut pendek yang hitam dan berbadan kurus. Rudi memiliki tinggi sekitar 1,4 m. Selama beberapa kali pertemuan, Rudi selalu menggunakan celana pendek jeans dan kaos. Rudi jarang melakukan kontak mata dengan peneliti ketika berbicara. Ketika bercerita tentang kesulitan-kesulitan sebagai anak yatim piatu, Rudi tidak melakukan kontak mata, nada bicaranya menurun dan Rudi sering menundukkan kepala sambil memegang rambutnya.

Selama wawancara berlangsung lokasi wawancara dilewati oleh beberapa penghuni panti yang lain. Ketika penghuni panti yang lain lewat, Rudi memelankan suara dan kembali menguatkan suara ketika penghuni panti yang lain berlalu dari tempat wawancara. Peneliti selalu membawa makanan ringan selama proses wawancara untuk membantu mencairkan suasana pada saat topik yang satu telah selesai ditanyakan. Peneliti selalu melakukan wawancara di sore hari setelah Rudi selesai melakukan tugas rumah harian yang diberikan oleh pengurus panti.

Proses wawancara dimulai dengan proses perkenalan antara peneliti dengan partisipan. Pada wawancara pertama peneliti menjelaskan maksud kedatangannya untuk meminta kesediaan Rudi menjadi partisipan dalam


(49)

penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Setelah Rudi menyatakan kesediaannya, wawancara segera dilakukan.

b. Hasil Wawancara 1) Sejarah hidup

Rudi lahir di Kabupaten Samosir. Setelah ayah Rudi meninggal, Rudi tinggal dengan Ibu dan kedua Opungnya di Samosir. Ketika Ibu Rudi meninggal dunia pada saat Rudi duduk di bangku kelas III SD, Rudi tinggal sementara bersama kedua Opung Rudi di Samosir hingga kelas VI SD.

Ketika duduk di bangku Sekolah Dasar, Rudi bersekolah di salah satu Sekolah Dasar yang ada di Samosir. Rudi bersekolah di sana hingga kelas V SD dan pindah ke salah satu Sekolah Dasar yang ada di Medan pada saat memasuki awal ajaran tahun ketika Rudi duduk di kelas VI SD. Rudi pindah bersekolah di Medan setelah kedua opungnya meminta Rudi untuk tinggal dan belajar di panti asuhan X.

Saat ini Rudi bersekolah di SMP Medan Putri dan duduk di kelas VIII. Rudi memiliki prestasi yang tidak baik dalam bidang akademis. Rudi juga pernah tinggal kelas di kelas VIII dikarenakan catatan prestasi dan perilaku yang tidak baik, seperti absen dari sekolah.

Rudi adalah seorang anak tunggal di dalam keluarga. Ibu Rudi memiliki tujuh orang saudara yang berdomisili di Medan, Samosir dan di Pulau Jawa. Rudi lebih banyak melakukan komunikasi dengan mereka daripada dengan saudara dari


(50)

Ayah. Hal ini dikarenakan Ayah Rudi lebih dahulu meninggal dunia sehingga komunikasi dengan keluarga dari Ayah berkurang.

“Orang Mama 8 bersaudara. Mama yang paling besar. Nomor 2 Tulang yang di Samosir kerjanya jualan, nomor 3 di Jakarta supir bus sekolah, nomor 4 tante di Medan jualan di pajak, nomor 5 di Binjai supir angkot, nomor 6 di Solo Tulang kerjanya nebang pohon, nomor 7 masih kuliah dan nomor 8 Tante kerja di pabrik selop.”

(P1. V.2/L. 123-131/p.3)

“… Soalnya Ayah duluan meninggal. Jadi aku lebih banyak berkomunikasi dengan saudara dari Mama”

(P1. V.2/L. 133/p.3)

Walaupun saat ini Rudi tinggal dipanti asuhan dan biaya hidupnya ditanggung oleh panti asuhan, tetapi keluarga dari Ibu Rudi juga tetap mau memberikan bantuan. Tulang Rudi yang tinggal di Binjai menjadi wali Rudi setiap kali ada pertemuan yang diadakan oleh panti asuhan.

2) Sejarah menjadi yatim piatu

Rudi menjadi anak yatim ketika Rudi masih bayi. Ayah Rudi meninggal karena penyakit yang diderita akibat dampak dari pekerjaan sebagai seorang nelayan. Menurut cerita-cerita yang sering Rudi dengar dari orang-orang, Ayah Rudi sakit karena sering menyelam.

“ Bapak meninggal ketika aku masih bayi bang. Bapak meninggal karena sakit tetapi aku gak tahu Bang penyakit apa pastinya. Kata orang karena nyelam. Bapak kan nelayan.”

(P1. V.2/L. 14-22/p.1)

Ketika Rudi duduk di bangku kelas III SD, Rudi menjadi seorang yatim piatu. Penyebab kematian Ibu Rudi adalah karena dibunuh oleh seorang pencuri. Ibu Rudi memiliki sebuah kios kecil yang dijadikan sebagai sumber mata


(51)

pencaharian bagi keluarga mereka. Kios Ibu Rudi sudah beberapa kali dibongkar oleh orang lain dan Ibu Rudi menduga ini adalah perbuatan dari pemuda yang ada di sekitar rumah mereka. Karena kesal dengan pembongkaran yang sering terjadi di kios mereka, Ibu Rudi mengancam akan memakai bantuan orang pintar untuk mencari tahu siapa orang yang menjadi pelaku pembongkaran kios itu. Pelaku merasa terancam dengan perkataan Ibu Rudi dan kemudian membunuh Ibu Rudi.

“Di Samosir kan kami ada kedai. Sering dibongkar orang. Mama bilang sama orang sana mau panggil dukun biar ketahuan siapa yang maling. Jadi malingnya bunuh Mama karena ketakutan.”

(P1. V.2/L. 346-349/p.1)

Setelah kedua orang tua Rudi meninggal, Rudi sempat diasuh oleh kedua Opung dari keluarga Ibu Rudi di Samosir. Opung Rudi berusaha untuk menyekolahkan dan membesarkan Rudi. Menurut kedua opung Rudi, Rudi adalah anak yang nakal, sering berkelahi dan susah diatur. Karena alasan inilah maka mereka memutuskan untuk mengirimkan Rudi ke panti asuhan yang ada di kota Medan dengan harapan agar Rudi bisa lebih teratur dan disiplin dalam menjalani hidup. Mereka mendapatkan informasi tentang panti asuhan ini dari salah seorang warga di Samosir yang sebelumnya sudah menjadi salah satu penghuni panti asuhan.

3) Orang-orang yang penting dalam kehidupan Rudi

Rudi memiliki beberapa orang-orang yang penting dalam kehidupan Rudi. Mereka adalah Opung, pengurus panti ( Bapak Ibu Mayor, Kapten), dan kakak-kakak pengasuh yang ada di panti asuhan X. Rudi menganggap mereka sebagai


(52)

orang-orang yang paling penting dalam kehidupan Rudi karena mereka sangat perhatian terhadap Rudi dan juga memenuhi kebutuhan Rudi.

“Orang-orang yang terpenting daam hidupku adalah Opung, Mayor, Kapten, dan Kakak pengasuh. Mereka penting buat aku Karena merekalah yang memperhatikan sekolahku dan semua kebutuhan hidupku mereka yang penuhi.”

(P1. V.2/L. 155-159/p.4)

Ada hal-hal positif yang diperoleh Rudi dari orang-orang yang dianggap penting dalam kehidupan Rudi. Rudi menerima rasa kasih sayang dari mereka. Menurut Rudi Mayor adalah orang yang suka bercanda sehingga dapat menghadirkan suasana yang hangat dan menyenangkan. Kak Susi adalah orang yang sangat penyayang, dan Kapten selalu dapat memberikan rasa semangat di dalam diri Rudi.

Bapak Mayor adalah salah satu pengurus panti yang sangat dikagumi oleh Rudi. Rudi sangat mengagumi Bapak Mayor karena sifatnya yang sangat penyabar dan mudah membaur dengan anak-anak kecil yang ada di panti. Sifat yang sangat berbeda dengan sifat Rudi ini sangat ingin dimiliki oleh Rudi karena menurut Rudi saat ini dia kurang begitu disukai oleh orang-orang yang ada di sekitarnya.

“Aku sangat senang dengan sifat Bapak Mayor yang sangat penyabar dan mudah membuat orang senang. Aku juga ingin bisa memiliki sifat Bapak ini karena saat ini aku lebih sering membuat orang lain jengkel denganku.” (P1. V.3/L. 360-377/p.8-9)

Selain para pengurus panti Rudi juga memiliki sahabat karib yang ada di panti yang juga merupakan kelahiran Samosir, yaitu Tio Sigalingging. Tio Sigalingging adalah seorang anak laki-laki yang duduk di bangku SMA. Rudi sangat mempercayai Tio dan selalu membagi cerita dan beban yang dia rasakan


(53)

kepada Tio. Rudi bahkan menganggap bahwa Tio adalah teman selamanya dalam kehidupan Rudi.

“Tio Sigalingging. Dia anak Samosir juga Bang. Kami akrab, sering main-main bersama. Aku juga lebih sering curhat dengan dia daripada dengan orang lain.”

(P1. V.2/L. 165-172/p.5-6)

Rudi juga memiliki teman-teman terdekat di sekolah. Teman-teman Rudi yang terdekat disekolah adalah Dedi Kaloko, Meki Sinurat dan Sihar Simbolon. Rudi sering belajar, bermain dan pulang ke panti bersama mereka. Dedi adalah seorang remaja yang menjadi salah satu penghuni panti asuhan X juga. Rudi mulai sering berteman dengan Dedi sejak Rudi tinggal kelas di kelas VIII. Sihar teman yang satu marga dengan Rudi memiliki orang tua yang bekerja di pajak yang berada di dekat panti asuhan X. Sihar biasa pulang bersama Rudi dan Dedi ke arah panti, lalu Sihar meminta ongkos terlebih dahulu dari orang tuanya untuk pulang ke rumhanya. Rudi juga sering belajar bersama Dedi dan Sihar ketika ada pelajaran yang sulit. Rudi juga terkadang dibantu oleh Sihar ketika Rudi kesulitan dalam masalah keuangan. Sihar pernah membayarkan uang foto Rudi ketika Rudi tidak memiliki uang lagi. Rudi jugasering diajak makan oleh Sihar.

Selain memiliki orang-orang yang penting dalam kehidupan, Rudi juga memiliki seorang tokoh idola di bidang musik yang sangat digemari. Rudi sangat mengidolakan Ahmad Dani dari band Dewa. Menurutnya Ahmad Dani adalah seorang musisi yang sangat hebat karena mampu menciptakan lagu yang bagus dalam selang waktu yang singkat. Rudi ingin memiliki kemampuan seperti Ahmad Dani.


(54)

4) Harga diri partisipan I a) Perasaan diterima

Komunitas kehidupan Rudi melibatkan tiga komunitas kehidupan. Yang pertama adalah keluarga besar Simbolon dan Marbun yaitu keluarga dari Ayah dan Ibu Rudi. Komunitas yang kedua adalah komunitas lingkungan SMP Medan Putri. Dan terakhir adalah komunitas panti asuhan X tempat Rudi tinggal dan mempelajari banyak hal di luar sekolah.

Saat ini Rudi tidak tinggal bersama salah satu saudara kandung dari pihak Ayah maupun Ibu Rudi. Hal ini dikarenakan Rudi adalah seorang anak yang sulit diurus dan suka berkelahi. Beberapa keluarga Rudi ada yang tinggal di Medan yaitu Tulang yang ada di Binjai dan Inanguda yang bekerja di salah satu pasar yang ada di kota Medan tetapi Rudi tidak tinggal bersama salah atu dari mereka. Rudi hanya bertemu dengan keluarga kandung pada saat libur Natal dan Tahun Baru. Tulang Rudi yang tinggal di Binjai datang untuk menjadi wali bagi Rudi jika ada pertemuan orang tua yang dilaksanakan oleh panti asuhan. Rudi juga berkomunikasi dengan keluarga ketika Rudi membutuhkan untuk memenuhi keperluan.

“Sebelumnya aku tinggal dengan Opung. Tapi aku diminta tinggal di panti asuhan karena aku susah diurus. Katanya kalau di sini aku bisa lebih teratur dan terlatih. Aku bandel dan sering berantem jadi saudara-saudara pun malas ngurus aku.”

(P1. V.2/L. 47-55/p.2)

Sihar, Meki dan Dedi adalah orang-orang terdekat Rudi di sekolah. Rudi sering bermain dan mengerjakan tugas dari sekolah bersama mereka. Walaupun hubungan mereka berempat cukup dekat tetapi sampai saat ini Rudi masih merasa


(55)

tidak nyaman untuk berbagi cerita dan keluh kesah kepada Romi dan Dedi yang menjadi teman dekat di sekolah karena menurutnya mereka tidak bisa menjaga rahasia. Menurutnya Sihar, Meki dan Dedi tidak dapat dipercaya dalam menjaga suatu rahasia. Rudi lebih mempercayai Tio dalam menjaga rahasia yang dimilikinya. Menurut Rudi, walaupun Sihar, Meki dan Dedi adalah teman terdekat di sekolah tetapi mereka bukanlah teman selamanya, mereka mungkin saja sudah dilupakan oleh Rudi ketika tamat sekolah nanti.

Menurut Rudi, Rudi kurang disukai oleh teman-temannya di sekolah karena sifatnya yang tidak baik seperti suka mengejek, kelewatan ketika bermain, memilih-milih teman dan hal lainnya. Rasa tidak suka dari teman-temannya bahkan terkadang ditunjukkan melalui perbuatan.

“Aku kurang disukai teman-teman disekolah mungkin karena sering ngejek-ngejek. Kadang mereka tunjukkan kalau mereka gak suka. Misalnya kalau aku pinjam pulpen tidak dikasih mereka. Padahal ada.” (P1. V.3/L. 386-391/p.10)

Penghuni panti yang lain juga kurang menyukai sikap dan perilaku Rudi. Hal ini dikarenakan terhadap penghuni panti yang lebih muda Rudi suka memerintah. Teman-teman panti yang sebaya atau lebih tua dari Rudi sering mengatakan bahwa Rudi adalah orang yang suka berlebihan dalam berperilaku dan bergaya. Mereka sangat tidak menyukai gaya Rudi yang sering memakai celana terlalu turun.

Rudi adalah seorang yang sulit untuk mencari teman baru. Rudi malu untuk berkenalan dengan orang-orang baru. Pada wawancara terakhir Rudi mengatakan bahwa dia tidak mengetahui alasan mengapa dia malu untuk


(56)

berkenalan dengan orang-orang baru, tetapi pada pertemuan sebelumnya Rudi mengatakan kalau Rudi malu berteman dengan orang baru karena kondisinya sebagai anak yatim piatu.

“Aku pun gak tahu Bang. Karena mau cari kenalan baru pun malu... Gak tau Bang.”

(P1. V.3/L. 258-260/p.6)

“... Pernah juga Bang aku merasa minder. Karena anak panti. Gak ada duitnya, gak pernah jajan. Serba kurang.”

(P1. V.2/L. 213-216/p.6)

b) Perasaan Berharga

Rudi mempunyai perasaan malu sebagai anak yatim piatu karena menurutnya orang-orang memiliki pandangan bahwa anak panti selalu mempunyai masalah keuangan. Menurut Rudi, kondisi dimana dia jarang jajan membuat dia tidak sebanding dengan teman-teman yang lebih baik kondisi keuangannya. Rudi sering menjadi malu sendiri dengan keadaan yang dialami Rudi padahal teman-teman Rudi tidak pernah mengejek Rudi. Walaupun Rudi memiliki perasaan malu sebagai seorang yatim piatu, di dalam hati Rudi merasa bersyukur dengan keadaan yang dialami Rudi saat ini. Rudi membandingkan keadaannya dengan anak-anak yang sering mengamen atau mengemis di pinggir jalan. Menurutnya kondisi saat ini jauh lebih baik daripada anak-anak itu.

“Pernah juga aku merasa malu Bang. Karena aku menganggap orang berpikir bahwa anak panti itu gak ada duitnya, gak pernah jajan, serba kurang. Padahal teman-teman biasa aja Bang. Aku sendiri yang malu.” (P1. V.3/L. 213-216/p.6)

“... Tapi aku bahagia juganya Bang dengan kondisiku saat ini walalupun susah. Karena gak harus seperti pengamen atau pengemis yang tidak lagi bisa berskolah.”


(57)

(P1. V.2/L. 413-418/p.10)

Kalau berbicara tentang fisik, Rudi sangat mengagumi kedua tangannya. Dia menyukai kedua tangan karena dapat bergerak bebas sehingga bisa digunakan untuk banyak hal. Selain itu Rudi juga menyukai tangan karena kedua tangan Rudi terlihat lebih kekar dan sehat dibandingkan bagian tubuh lain seperti kaki yang sering luka kalau bermain bola. Diantara semua bagian tubuh yang Rudi miliki, Rudi paling tidak menyukai bagian perut. Terdapat sebuah luka bekas operasi yang besar di perut Rudi akibat operasi usus buntu yang dialami diakhir tahun 2007. Menurut Rudi, bekas luka itu sangat jelek dan memalukan. Teman-teman panti yang tahu bekas luka itu juga sering mengejek bekas luka itu. Selain bekas luka di perut, bagian tubuh lain yang kurang disukai oleh Rudi adalah wajah. Walaupun teman-teman Rudi sering mengejek bagian-bagian dari tubuhnya, secara umum Rudi menyukai tubuh yang dimilikinya karena menurut Rudi itu semua adalah milik Rudi yang diberikan oleh Tuhan.

Rudi adalah orang yang pemilih dalam hal mencari teman baik di panti maupun di sekolah. Kriteria teman yang baik menurut Rudi adalah orang yang mau memberikan contoh kepada Rudi dalam mengerjakan tugas, orang yang memiliki banyak uang, dan kalau teman wanita adalah teman yang cantik. Bila ada orang lain yang tidak memenuhi sifat ini tetap boleh menjadi teman Rudi tetapi hubungannya tidak bisa terlalu dekat.

“Teman yang baik menurutku adalah teman yang mau membantu mengerjakan PR, yang punya banyak duit. Kalau teman cewek yang cantik.”


(58)

“Kalau sekedar berkawan aja aku mau. Tapi gak pala dekat kali lah mungkin.”

(P1. V.3/L. 328-329/p.8)

Rudi merasa bahwa dia memiliki sifat yang nakal dan pemalas sehingga sering membuat orang-orang yang ada di sekitar menjadi kurang menyukainya. Rudi tidak suka ketika orang lain meminta bantuan dari Rudi dan dia cenderung menolak permintaan tersebut. Rudi sering berlebihan ketika bermain dengan teman-teman. Dimulai dari saling mengejek sesama teman, Rudi sering melakukan pemukulan kepada teman walau dia menganggap hal itu hanya bercanda. Rudi sering mendapatkan kritik dari teman-teman tentang sifat yang negatif ini, tetapi Rudi lebih sering bersifat cuek terhadap kritik yang diberikan oleh teman-teman walaupun dia sebenarnya sadar harus merubah kebiasaan buruk itu secara perlahan.

“Aku rasa lebih banyak orang-orang yang tidak menyukai aku. Di panti atau pun di sekolah. Kalau sama anak kecil yang dipanti aku suka nyuruh-nyuruh. Kalau sama yang orang besarnya mereka suka main-main sama aku, apalagi main bola. Tapi ada juga yang gak suka. Menurut mereka aku banyak gaya, celananya diturun-turuni. Kalau di sekolah aku kurang disukai karena suka mengejek-ejek.”

(P1. V.3/L. 365-386/p.8-9)

Selain sifat negatif, Rudi juga merasa memiliki kelebihan. Rudi senang dengan dirinya yang bisa memiliki keterampilan di bidang musik dan olahraga. Kelebihan pada dua bidang inilah yang membuat Rudi merasa kalau teman-teman mau bermain dengannya. Selain keterampilan di bidang musik dan olah raga, Rudi juga memiliki rasa humor yang tinggi. Rasa humor ini dipercayai oleh Rudi dapat menyenangkan hati teman-teman.


(59)

Selain rasa humor yang tinggi, Rudi juga mengaku bahwa kerajinannya membantu kedua Opungnya dalam menyangkul dan membantu Opungnya bertani dan beternak sering mendapatkan pujian dari kedua Opungnya.

Walaupun Rudi juga merasa memiliki beberapa kelebihan di dalam dirinya, tetapi saat ini Rudi merasa bahwa dia memiliki lebih banyak kekurangan daripada kelebihan di dalam dirinya.

“Kurasa saat ini aku lebih banyak memiliki kelemahan dibandingkan kelebihan yang aku miliki Bang.”

(P1. V.2/L. 335-344/p.8-9)

c) Perasaan mampu

Rudi merasa memiliki bakat dan kelebihan di bidang musik dan sepakbola. Para pengasuh berpendapat bahwa Rudi menonjol di kedua bidang ini. Kapten Nico (salah seorang penghuni panti) mengatakan bahwa Rudi selalu menonjol di bidang olah raga, sedangkan Kak Susi berpendapat bahwa Rudi sangat menonjol di bidang musik khususnya kemampuan bernyanyi.

Aku paling mahir di bidang sepak bola dan musik. Menurutku kedua bidang itu sangat menyenangkan untuk dilakukan. Aku sering ditengok kapten aku Main bola dan musik, menurutnya bagus mungkin permainanku.

(P1. V.3/L. 34-41 dan 81-88/p.1-2)

Rudi sangat gemar dalam bermain bola. Keahlian yang dimiliki Rudi adalah tendangan yang terarah dan cukup keras. Rudi berencana jika ada kegiatan ekstrakurikuler dia akan mengikuti kegiatan futsal (olahraga sejenis sepakbola yang pemainnya hanya berjumlah 5 orang). Rudi ingin dapat terus bermain sepakbola untuk waktu yang lama walaupun Rudi tidak berencana untuk menjadi seorang pemain sepak bola profesional. Saat ini masih banyak penghuni panti


(1)

V. B. Diskusi

Dari gambaran harga diri remaja yatim piatu pada ketiga partisipan di atas bahwa ketiganya memiliki tingkat harga diri yang berbeda. Pada gambaran harga diri pada partisipan II dan III dapat dilihat bahwa harga diri seorang remaja yatim piatu tidak cenderung rendah. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Grigsby (2006) yang menyatakan bahwa remaja yang telah kehilangan kedua orang tuanya pada umumnya memiliki harga diri yang rendah, merasa bahwa keberadaan mereka ditolak oleh orang banyak dan mereka juga merasa bahwa mereka terisolasi dan selalu sendirian dan memiliki masalah dalam berhubungan dengan orang lain. Sedangkan pada partisipan I yang tingkat harga dirinya cenderung rendah mendukung hasil penelitian Grigsby.

Penghargaan dan keberadaan orang-orang yang dianggap signifikan menjadi faktor yang membuat harga diri yang positif pada partisipan II dan III. Keberadaan yang kuat pada sosok ayah Fery dan Ibu pada Sisi memberikan pengaruh yang kuat pada mereka berdua untuk menganggap bahwa diri mereka adalah orang yang berharga. Nilai-nilai yang diturunkan oleh Ayah Fery dan Ibu Sisi kepada Fery dan Sisi juga memberikan bekal nilai kepada mereka berdua dalam menghadapi masalah di dalam hidup mereka. Nilai dan Inspirasi individu dalam menginterpretasi pengalaman juga mejadi salah satu faktor yang mempengaruhi harga diri seseorang.

Dalam penelitian Grigsby (2006) dikatakan bahwa remaja yang telah kehilangan kedua orang tuanya merasa bahwa keberadaan mereka ditolak oleh orang banyak.dan mereka selalu merasa terisolasi dan merasa sendirian. Hal ini


(2)

bertolak belakang dengan keadaan yang dialami oleh Fery, Rudi dan Sisi yang tetap memiliki lingkungan untuk berinteraksi.

Peneliti tidak dapat memprediksi bagaimana harga diri pada Fery dan Rudi jika tidak tinggal di panti asuhan, tetapi peneliti menyimpulkan bahwa keberadaan panti asuhan memberikan pengaruh yang positif bagi perkembangan harga diri Rudi dan Fery. Rudi dan Fery mengatakan bahwa mereka memperoleh rasa kasih sayang yang lebih besar dari para penghuni panti. Mereka bahkan sudah menjadikan para penghuni panti sebagai orang-orang yang banyak mempengaruhi hidup mereka.

Usia ketika ketiga partisipan menjadi yatim piatu juga mempengaruhi harga diri ketiga partisipan. Hal ini berkaitan dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh para partisipan ketika mereka harus menerima kondisi menjadi seorang yatim piatu. Nilai yang diperoleh Sisi dari ibunya lebih banyak daripada nilai yang diperoleh Fery dan Rudi karena mereka lebih cepat menjadi seorang remaja yatim piatu.

V. C. Saran

Dengan melihat hasil penelitian yang diperoleh maka peneliti mengajukan beberapa saran sebagai berikut:

1. Agar dapat memperoleh pemahaman yang lebih baik mengenai gambaran harga diri remaja, dipandang perlu utntuk melakukan penelitian selanjutnya dengan jumlah subjek penelitian yang lebih banyak.


(3)

2. Perlunya uji keabsahan data untuk penelitian lanjutan dengan menggunakan alat bantu lain seperti heteroanamnesa, yaitu mengumpulkan informasi tambahan dari pihak-pihak lain yang terkait seperti keluarga dan teman agar data yang diperoleh lebih akurat.

3. Untuk penelitian selanjutnya, perlu dilakukan pemahaman yang lebih mengenai aspek-aspek dari harga diri. Hal ini untuk membantu melakukan pembedaan antara apsek perasaan diterima dan perasaan berharga dara harga diri.

4. Dalam pengambilan data pada partisipan yang berusia remaja awal dan tinggal di panti asuhan, sangat diperlukan rapport yang baik dan intens. Remaja awal seperti partisipan I dan II lebih bersedia terbuka menceritakan mengenai kehidupan dan pemikirannya pada orang yang sudah ia percaya. Peneliti harus melakukan pendekatan yang lebih baik dan memerlukan proses yang cukup lama untuk menjalin kedekatan dengan kedua partisipan.

5. Untuk dapat membentuk harga diri yang positif pada remaja yatim piatu, maka perlu diberikan perhatian dan kasih sayang yang lebih lebih banyak kepada mereka. Bagi orang-orang yang ada di sekitar remaja yatim piatu sebaiknya juga tidak memberikan suatu pandangan yang negatif tentang keberadaan mereka karena hal ini dapat menimbulkan perasaan malu dan minder kepada mereka.

6. Perlunya pemahaman orang-orang terdekat dan keluarga dari remaja yatim piatu agar mereka dapat mengenali permasalahan-permasalahan remaja yatim piatu untuk dapat melakukan intervensi tertentu sebelum kemudian menjadi


(4)

maslah yang mengganggu fungsi-fungsi sosial mereka seperti withdrawal dan perasaan terisolasi

7. Perlunya diberikan kegiatan-kegiatan yang menunjukkan bahwa remaja yatim piatu memiliki kesempatan yang sama dengan remaja lain dalam mengekspresikan diri.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, S. (1997). Sikap manusia: teori dan pengukurannya. Edisi ke 2. Yogyakarta. Penerbit Pustaka Pelajar.

Azwar, S. (1987). Tes prestasi fungsi dan pengembangan pengukuran prestasi belajar. Edisi 1. Yogyakarta. Penerbit Andi Yogyakarta.

Baron, R. A. & Byrne, D. 2000. Social psychology (10th ed). USA: Pearson education inc.

Cepiar (2007). Orphan in Botswana. [On-Line] http://proquest.umi.com/pqdweb?index=0&did=12747709&SrchMode=

1&sid=9&Fmt=6&VInst=PROD&VType=PQD&RQT=309&VName=P QD&TS=1202195975&clientId=63928 Diakses tanggal 12 Oktober 2007.

Coopersmith, S. (1989). The antecedents of self-esteem. San Fransisco: W. H. Freeman.

Dharmais. (2004). Jangan minder adikku. http://www.dharmais.or.id. Diakses pada tanggal 23 Februari 2007

Frey, D. & Carlock, C. J. (1984). Enhancing self esteem. Indiana: Accelerated Development Inc.

Grigsby (2006). Feel like an orphan. http://www.getnews.com/se/03crse_symptoms.html. Diakses tanggal 19 Oktober 2007.

Gunarsa, Singgih D. (1996). Psikologi perkembangan anak dan remaja. Jakarta. Penerbit PT BPK Gunung Mulia.

Hadi, S. (1994). Metodelogi researh. Yogyakarta. Fakultas Psikologi UGM.

Hurlock, Elizabeth (1999). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Edisi 5. Jakarta. Penerbit Erlangga.

Kerlinger, F.N. (2002). Asas-asas Penelitian Behavioral. (edisi ketiga). Yogyakarta: Gajah Mada Universitas Press.

Meutia, A. (2004). Kecerdasan Emosional Anak Jalanan. Skripsi. Medan: Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara:.


(6)

Monks, FJ; Knoers, A.M.P & Haditono, Siti Rahayu. (1999). Psikologi

perkembangan: Pengantar dalam berbagai bagiannya. Cetakan 12.

Yogyakarta. Gajah Mada University Press.

Parker, Jenifer&Benson, Mark. (2004). Parent-adolescent relations and adolescent functioning: self-esteem, substance abuse, and delinquency. Dalam http://infotra-college.thomsonlearning.com/itw/infomark/124/114/6756515w18/purl=r c1_WAD_0_A128167840&dyn=6!xrn_2_0_A128167840?sw_aep=olr_ wad (diakses Mei 2007)

Peter Landry (2006). Biograpies. http://trochim.human.cornell.edu/kb/qualval.htm. Diakses pada tanggal

10 Juni 2008

Poerwandari, E, kristi (2001) pendekatan kualitatif dalam penelitian psikologi. Jak:lembaga pengembangan sarana pengukuran dan pendidikan psikologi (LPSP3) UI

Santrock, J. W. 98. Adolesescense (7th ed). USA: Mc. Graw Hill

Sarwono, S. (2001). Psikologi remaja. Edisi 1. Jakarta PT Raya Grafindo.

Siegel, S. (1997). Satatistik non-parametrik untuk ilmu-ilmusosial. Jakarta: gramedia

Sumadi Suryabrata. (2000). Pengembangan alat ukur psikologi. Edisi 1. Yogyakarta.. Penerbit Andi Yogyakarta.

Tambunan. (2001). Harga diri remaja. Dalam http://www.e-psikologi.com/remaja/comment.htm (diakses Februari 2007)