2. Kebutuhan dasar untuk kelangsungan hidup yang manusiawi, antara lain agama, pendidikan, perlindungan hukum, pakaian, rumah dan pekerjaan. Kebutuhan ini
bersifat nisbi, dipengaruhi oleh minat sosial budaya dan berubah dari waktu ke waktu.
3. Kebutuhan dasar untuk memilih baik sebagai naluri untuk memelihara kelangsungan hidup hayatinya maupun kelangsungan hidup manusiawinya yang
terungkap dalam kelakuan sosial budaya Suyanto, 1995 : 6.
2.2 Kemiskinan Petani di Pedesaan
Negara Indonesia adalah negara agraris sehingga mata pencaharian sebagian besar penduduknya adalah di sektor pertanian. Hubungan antara kemiskinan dan
sektor pertanian di Indonesia sangatlah erat. Taraf hidup petani pada umumnya masih rendah. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2006 sebanyak 39,05
juta orang dan sebagian besar 63 persen di antaranya berada di daerah perdesaan. Dari total jumlah penduduk miskin yang ada, sekitar 58 persennya bekerja di sektor
pertanian. Di daerah perdesaan, persentasenya bahkan jauh lebih tinggi, mencapai 70 persen. Data ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat desa bekerja sebagai
petani BPS 2006. Petani digolongkan ke dalam usaha pertanian yang berskala kecil, lazimnya
disebut dengan usaha pertanian rakyat, baik itu yang mengusahakan tanaman pangan padi, palawija, sayuran, buah-buahan dan tanaman perkebunan kelapa sawit,
cokelat, kopi dan lain-lain.
Universitas Sumatera Utara
Pada masa lalu, orang miskin dianggap sebagai orang yang malas bekerja. Kemiskinan yang dialami seseorang adalah akibat kemalasannya. Secara harfiah, kata
miskin berarti tidak berharta benda. Jadi, kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf
kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut Soekanto, 2007 : 320.
Menurut Soekartawi, penduduk miskin biasanya ditandai oleh kondisi sosial ekonomi yang serba terbatas yang disebabkan oleh Soekartawi, 2000 : 40:
1. Nilai tukar produksi orang miskin yang rendah. 2. Kualitas sumber daya yang juga rendah.
3. Produktivitas kerja yang rendah. 4. Modal yang terbatas.
5. Tingkat pendapatan yang rendah, dan 6. Tingkat partisipasi terhadap pembangunan yang juga umumnya rendah.
Dari beberapa penelitian yang dilakukan oleh para ahli, maka sekurang- kurangnya ada empat faktor yang disinyalir menjadi penyebab mengapa kemiskinan
di pedesaan masih tetap mencolok Suyanto, 1995:106, yaitu: 1.
Karena adanya pemusatan pemilikan tanah yang dibarengi dengan adanya proses fragmentasi pada arus bawah masyarakat pedesaan. Jumlah penduduk
pedesaan yang terus bertambah tapi tidak diimbangi dengan bertambahnya tanah telah menyebabkan semakin berkurangnya tanah yang dapat dimiliki
petani kecil sehingga terjadi yang disebut Geertz sebagai shared poverty pembagian kemiskinan. Disamping itu, tekanan kebutuhan hidup sehari-hari
Universitas Sumatera Utara
yang terus meningkat dan harga produksi pertanian yang tidak menentu menyebabkan banyak warga desa sedikit demi sedikit terpaksa harus menjual
lahan miliknya agar tetap dapat hidup. Disisi lain, lemahnya perangkat hukum agraria adalah faktor tambahan yang menyebabkan kekuatan swasta dari luar
dapat masuk dengan mudah dan membuat desa-desa banyak bermunculan tanah absente atau petani berdasi.
2. Karena nilai tukar hasil produksi warga pedesaan khususnya sector pertanian
yang semakin jauh tertinggal dengan hasil produksi lain, termasuk kebutuhan hidup sehari-hari pedesaan. Seperti diberitakan diberbagai media massa, bahwa
akhir-akhir ini harga produk-produk pertanian bukan saja turun drastis tapi juga semakin tidak seimbang dengan biaya produksi yang telah dikeluarkan.
3. Karena lemahnya posisi masyarakat khususnya petani dalam mata rantai
perdagangan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam proses penjualan biasanya pihak dominan yang menentukan harga adalah para pedagang atau
tengkulak. Benar, bahwa selama ini sudah banyak program yang pembangunan diperkenalkan ke wilayah pedesaan. Hanya elit-elit desa saja yang dapat
memanfaatkan terlebih dahulu maka warga elit desa yang secara ekonomi mapan dan memiliki akses terhadap kekuasaan, dengan mudah dapat
mengambil keuntungan dari paket-paket inovasi yang masuk. Sementara, warga desa kebanyakan yang kurang berpendidikan dan miskin harus puas hanya
sebagai penonton. Kekuatan faktor-faktor di atas sudah tentu tidak sama. Tetapi, yang
menyedihkan adalah apabila keempat faktor tersebut secara bersama-sama dialami
Universitas Sumatera Utara
oleh suatu desa. Dapat dipastikan warga masyarakat pedesaan yang miskin bukan saja akan semakin tertinggal oleh laju pembangunan, tetapi bukan tidak mungkin mereka
akan menjadi korban pembangunan itu sendiri. Petani Indonesia terutama yang berkecimpung dalam sektor pertanian tanaman
pangan umumnya merupakan petani yang bersifat subsistem petani tradisional. Kebanyakan kehidupan mereka berada pada tingkat memprihatinkan. Petani-petani
tersebut mempunyai ciri-ciri, antara lain: 1.
Modal kecil. Dalam hal ini tenaga kerja kadang-kadang merupakan satu-satunya faktor produksi yang digunakan.
2. Tekhnologi yang digunakan sangat sederhana.
3. Mutu produksi yang dihasilkan tergolong rendah.
4. Pasar terbatas.
5. Usaha perluasan pasar selalu terbentur pada kendala peraturan.
6. Dalam pembiayaan usaha tani, mereka tidak memiliki akses terhadap dunia
perbankan. 7.
Biasanya petani kecil memiliki posisi tawar-menawar bargaining position yang lebih rendah dibanding pedagang atau usaha-usaha di luar sektor pertanian.
8. Usaha tani kecil lebih sulit merespon teknologi, karena terbatasnya kualitas SDM
mereka. Masalah utama yang dihadapi petani adalah banyak kebijakan pemerintah yang
kurang berpihak kepada kepentingan pertanian atau dengan kata lain keberpihakan pemerintah terhadap petani sangat kurang. Memburuknya harga padi, terutama di saat
musim panen raya adalah kebijakan makro pemerintah yang ‘enggan’ melindungi
Universitas Sumatera Utara
kepentingan petani dalam negeri. Keengganan tersebut terlihat dalam berbagai kebijakan Achmad Suryana, 2001 : 53, yaitu:
1. Kebijakan impor dengan bea masuk yang sangat rendah telah mengakibatkan
mengalirnya secara bebas beras impor dalam jumlah yang lebih besar dari kebutuhan dalam negeri. Padahal Negara maju seperti Jepang sangat protektif
melindungi kepentingan petaninya. Anehnya Indonesia sebagai Negara agraris tidak melakukan hal yang seperti itu. Indonesia tunduk dan patuh kepada instruksi
IMF International Monetary Fund dengan membuka lebar-lebar pintu masuk impor beras.
2. Atas tekanan IMF pula, Indonesia melepas pupuk yang seharusnya merupakan
komoditas strategis di Negara agraris ke mekanisme pasar. Akibatnya pupuk benar benar ‘menguap’ entah kemana pada saat petani membutuhkannya.
3. Pemerintah memakai ukuran inflasi berdasarkan perkembangan harga pangan,
sehingga harga pangan yang nota bene dihasilkan petani kecil selalu ditekan. 4.
Tidak tersedianya tekhnologi yang murah dan mudah, baik teknologi pra-tanam maupun pascapanen. Ironisnya peralatan cangkul dan sabit diimpor dari China.
5. Permasalahan lain yang juga menghambat upaya petani untuk meningkatkan
pendapatannya adalah kondisi alam khususnya iklim yang seringkali tidak bersahabat dengan petani. Seperti, musim hujan yang datangnya selalu besamaan
dengan panen raya. Kondisi alam ini tentu saja tidak dapat dihindari. Pemerintah dalam hal ini belum membuat perencanaan teknologi pertanian seperti
pengeringan gabah yang sederhana, murah dan mudah diakses oleh petani.
Universitas Sumatera Utara
Akibatnya, petani selalu menjadi bulan-bulanan tengkulak yang selalu menekan harga jual gabah mereka, dengan alasan kadar air yang tinggi.
Keputusan petani menanam padi akan dipengaruhi oleh expected income price dari gabah yang dihasilkan. Petani secara individu mungkin tidak peduli apakah
keputusan mereka menanam atau tidak menanam padi akan mempengaruhi ketahanan pangan jangka panjang. Pemerintah berkepentingan terhadap berlangsungnya usaha
tani padi untuk melaksanakan Paket Kebijakan Perberasan Nasional. Ada beberapa Paket Kebijakan Perberasan Nasional yaitu berupa paket
komprehensif dalam upaya pengembangan agribisnisekonomi beras nasional. Paket kebijakan itu terdiri dari tiga komponen, yaitu :
a. Program pemberdayaan dan peningkatan pendapatan petani padi. Program pemberdayaan dan peningkatan pendapatan petani padi diarahkan untuk
mengembangkan agribisnis padi yang berdaya-saing. Komponen-komponen tersebut diarahkan untuk memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan
peningkatan kapasitas produksi, peningkatan produktivitas dan efisiensi, pengembangan pengolahan hasil dan perlindungan petani atas gejolak harga
output. b. Program jaminan ketersediaan pangan bagi konsumen rawan pangan.
Program jaminan ketersediaan pangan bagi konsumen rawan pangan dirumuskan sebagai respon atas adanya ketidaksempurnaan pasar serta menyadari adanya
kelompok masyarakat yang rawan pangan, baik karena terbatasnya aksesbilitas ekonomi maupun aksesbilitas fisik.
Universitas Sumatera Utara
c. Program pengembangan perekonomian pedesaan terkait dengan ketahanan pangan.
Ini dirumuskan karena disadari bahwa peningkatan kesejahteraan petani Indonesia dengan karakteristik lahan sempit akan sulit dicapai bila hanya bertumpu pada
usaha tani padi. Karena itu, peningkatan kesejahteraan tersebut, seyogyanya dicapai melalui penganekaragaman sumber pendapatan.
Rincian dari ketiga program tersebut, dapat dilihat dalam tabel di bawah, yang memuat rincian program kedalam komponen utama, kegiatan dan instansi utama
penanggung jawab leading institution Ahcmad Suryana, 2001:l-li.
Tabel 2 Program Pemberdayaan dan Peningkatan Pendapatan Petani N
o. Komponen
Utama Kegiatan
Instansi penanggung
Jawab
1. Peningkatan
kapasitas produksi.
1. Merumuskan pengaturan guna :
pengendalian alih fungsi lahan sawah, pemnfaatan lahan tidur dengan sistem
insentif dan disintensif moneter.
2. Mendorong optimalisasi pemanfaatan
sumber daya air. 3.
Mendorong peningkatan internsitas pemanfaatan lahan.
4. Melaksanakan rehabilitasi dan
pengembangan jaringan irigasi. • Depdagri dan
Otda, Depkeu. • Deptan,
Depkimpraswil .
• Deptan • Depkimpraswil
. 2.
Peningkatan produktivitas
dan efisiensi usaha.
1. Menumbuhkembangkan usaha
penangkaran benih bermutu di tingkat lokal.
2. Meningkatkan ketersediaan dan
aksesbilitas petani atas sumber-sumber pembiayaan usaha tani.
3. Meningkatkan pengawasan
perdagangan saprodi pupuk, benih dari pemalsuan.
4. Mendorong rasionalisasi pemanfaatan
• Deptan
• Depkeu, Perbankan.
• Deperindag • Deptan
Universitas Sumatera Utara
air dan input. 5.
Meningkatkan kemampuan petani mengadopsi teknologi baru dengan
teknologi tepat dan spesifik lokasi. • Deptan
3. Pengemba-
ngan pengolahan
hasil. 1.
Mendorong pengembangan usaha pelayanan jasa pasca panen
pengolahan, penyimpanan. 2.
Mendorong pengembangan lumbung pangan masyarakat desa menjadi
lumbung modern. • Deptan
• Deptan,
Depdagri dan Otda.
4. Perlindungan
petani atas gejolak harga
output pada masa panen
raya. 1.
Menetapkan ‘harga perlindungan petani’ ditetapkan sekitar 20-30 di
atas biaya produksi. 2.
Menetapkan kebijakan pendukung bagi efektivitas kebijakan harga
perlindungan petani, yaitu : -
Pembelian gabah oleh pemerintah saat panen raya sesuai outlet yang
tersedia pada tingkat harga sama pada harga perlindungan pertain atau lebih
besar sesuai dengan harga pasar.
- Penetapan tariff impor, dengan
memperhatikan dosparitas harga domestik dan internasional dengan
memperhatikan pada ketentuan WTO.
- Pengaturan impor
• Menko Perekonomian
, Deptan, Deperindag.
• Bulog • Depkeu
• Deperindag,
Bulog.
2.3 Pertanian