Kodam II- Bukit Barisan terus melakukan pembenahan baik dari segi strategi dan juga sistem pengamanan. Tahun 1969, Kodam –II melakukan dua pembenahan yaitu dalam bidang
simbol Bukit Barisan dan Motto yang menjadi slogan dalam kodam II Bukit Barisan adalah “Patah Tumbuh Hilang Berganti”
4
. Yang artinya peran dan tugas Prajurit Kodam-II tidak pernah berhenti sebagai keamanan negara. Sedangkan lambang Kodam II Bukit Barisan mengambil
gambar gunung yang mengandung arti bahwa semangat juang prajurit harus sama bahkan melampau gunung-gunung yang ada di Sumatera Utara. Gunung ini juga melambangkan wilayah
Sumatera Utara sebagai wilayah perbukitan. Lambang, nama dan strruktur organisasi kodam II Bukit Barisan ini hanya berlangsung hingga tahun 1985, setelah Jenderal Rudini sebagai
Panglima Angkatan Darat melikuidasi beberapa Kodam di Indonesia. Hal ini juga berpengaruh untuk Kodam II dan yang digabungkan dengan kodam I Iskandar Muda, Kodam –II Bukit
Barisan dan Kodam –III 17 Agustus. Nama baru hasil perpaduan dari Kodam ini adalah Kodam –I Bukit Barisan dengan lambang dan nama yang berbeda
5
TNI yang sudah mengalami beberapa kali perubahan, hingga menjadi organisasi permanen pada dasarnya diuji dengan berbagai pengorbanan yang sangat berat, dan menuntut
perjuangan. Demikian halnya dengan pasukan laskar rakyat, melakukan perlawanan secara terbuka dengan militer Belanda. Laskar memilih perlawanan di perkotaan. Gerakan ini
.
3.2 Laskar Menjadi Anggota TNI, Melalui Proses Rekonstruksi dan Rasionalisasi
Perjuangan menuju pengakuan kedaulatan merupakan hasil perjuangan dari rakyat, laskar dan anggota tentara. Ketiga komponen ini adalah komponen perjuangan yang tidak dapat
dipisahkan, dan masing-masing menunjukkan partisipasinya dalam perjuangan.
4
Dinas Sejarah Kodam, Op.Cit, hal, 35.
5
Ibid, hal,
Universitas Sumatera Utara
dimobilisasi oleh partai tertentu. Rakyat juga melakukan perlawanan kepada Belanda yang dilakukan dengan kelompok tertentu. Perlawanan oleh rakyat banyak dilakukan di daerah
perkampungan. Ketiga komponen pergerakan ini masih bertahan sampai masa pengakuan kedaulatan
1949. BKR diubah menjadi TKR dan berujung kepada TNI. Demikian halnya dengan organisasi perlawanan rakyat dominan berkelanjutan menjadi partai, sedangkan organisasi laskar
rakyat berujung menjadi anggota TNI setelah proses rekonstruksi dan rasionalitas tahun 1948. Rasionalisasi dan rekonstruksi yang diberlakukan kepada laskar rakyat bersamaan
waktunya dengan rasionalisasi terhadap lembaga pemerintahan lainnya. Tetapi hasil rekonstruksi dan rasionalisasi terhadap laskar rakyat lebih lama proses keberhasilannya karena berbagai
kemelut antara tentara dengan pemimpin laskar. Rasionalisasi ini pada dasarnya ditujukan pemerintah untuk suatu perbaikan terhadap birokrasi negara dan alat-alat negara yang
disesuaikan dengan pendapatan dan belanja negara. Banyak alat-alat negara-negara termasuk laskar yang mendapat subsidi dari negara tanpa produktifitas maupun sumbangannya terhadap
administarasi negara. Administrasi ini diutamakan terhadap Angkatan Perang AP Indonesia, yang akan diharapkan menjadi organisasi produktif.
Sebelum proses rekonsiliasi dan rekonstruksi terhadap angkatan perang Indonesia laskar dan tentara rakyat adalah organisasi yang berbeda tetapi mempunyai tugas yang sama. Pada
awalnya tentara yang ada di Sumatera Utara merupakan tentara rakyat ataupun tentara yang belum permanen TNI, sedangkan laskar rakyat merupakan anggota partai yang berfungsi
sebagai rasa simpatisan partai terhadap keamanan negara. Pemerintah menilai fungsi dari komponen ini adalah sama, untuk itu lebih efektif apabila laskar rakyat diangkat menjadi anggota
TNI yang akan diorientasikan menjadi tentara milisi yaitu berkewajiban untuk mempertahankan
Universitas Sumatera Utara
tanah air. Sehingga proses rasionalisasi dan rekonstruksi berkesimpulan untuk mengefektifkan angkatan perang Indonesia.
Rasionalisasi dan Rekonstruksi Menimbulkan Kemelut
Laskar-laskar rakyat pada dasarnya merupakan komponen partai-partai ataupun organisasi massa yang ada setelah masa kemerdekaan. Laskar sebagai bagian dari partai yang
akhirnya dijadikan sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia menimbulkan pertentangan dengan pimpinan Tentara Nasional Indonesia di daerah karena penjelasan tentang proses
rekonstruksi dan rasionalisasi kepada laskar kurang jelas. Pihak pimpinan tentara yang ditugaskan menerapkan program ini di daerah juga kurang memahami tujuan rasionalisasi dan
rekonstruksi tersebut. Suhardjo Hardjowardoyo Panglima Tentara Nasional Indonesia di wilayah Sumatera
Utara yang diberi tanggung jawab dalam penerapan program menjelaskan rekonstrusi dan rasionalisi untuk menjadikan tentara rakyat menjadi Tentara Nasional Indonesia, tanpa
menyangkut pautkan dengan keberadaan laskar rakyat. Rasionalitas dan rekonstruksi baru mendapat pengertian yang jelas, setelah kedatangan wakil presiden Mohammad Hatta bersama
panglima Perang Mobil ke wilayah Sumatera Utara. Rekonstruksi dan rasionalisasi di Sumatera Utara ditunjukan untuk:
- Pembagian teritorium menjadi 4 komando yaitu Aceh, Tapanuli dan Sumatera
Tumur Selatan, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. -
Unit- unit militer akan dikurangi ukurannya -
Bekas unit laskar akan dibubarkan dan diintegrasikan menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia
- Akan ada pemindahan atasan dari Jawa ke wilayah Sumatera Utara.
Universitas Sumatera Utara
Gindo Siregar yang menjabat sebagai Gubernur Militer Sumatera Uatara menjadi penanggung jawab program ini. Gindo melakukan rekonstruksi terhadap Brigade XI, XII, A, B,
dan Banteng Negara. Brigade akan dipecah menjadi beberapa Batalyon sesuai dengan jumlah pasokan senjata yang tersedia di masing-masing Brigade.
Brigade XI dibagi menjadi tiga Batalyon, Brigade XII dibagi menjadi 2 batalyon, Brigade A menjadi 2 Batalyon, Batalyon B terdiri dari 3 batalyon dan Brigade Banteng Negera dibagi
menjadi 3 Batalyon. Penetapan prajurit berdasarkan jumlah pasukan senjata, ternyata merugikan laskar rakyat.
Anggota tentara hanya mendapat pemindahan ataupun penggabungan ke dalam Batalyon yang lainnya, sementara anggota laskar hanya dijadikan cadangan apabila senjata dan jumlah satu
batalyon sudah cukup. Penerapan proses rekonstruksi yang berbeda terhadap laskar, menimbulkan protes dari
kalangan pemimpin laskar. Mereka tidak menerima penerapan program ini, sebab sangat merugikan mereka. Kelompok laskar menilai, bahwa kotak katik yang dilakukan oleh Gindo
Siregar tidak rasional, laskar bisa saja dibagi-bagi menjadi beberapa batalyon, tetapi jumlahnya jangan dibatasi, dan anggota laskar harus semuanya menjadi anggota TNI.
Pemimpin laskar, Mayor Bejo menjelaskan perjuangan prajurit akan menimbulkan pengangguran dan penyia-nyian terhadap anggota laskar, sebab mereka tidak mempunyai objek
mata pencaharian lagi, setelah harta mereka dirampas oleh Belanda. Inilah alas an penolakan atas kebijakkan yang dikeluarkan oleh Gindo Siregar.
Rasionalisasi dan rekonstruksi di tubuh TNI yang dibuat Gindo Siregar berakhir menjadi sebuah pertikaian antara laskar dengan pihak TNI. Muhammad Hatta yang bertanggung jawab
terhadap rekonstruksi dan rasionalisasi secara keseluruhan, segera menginvestigasi latar
Universitas Sumatera Utara
belakang konflik ini. Hasil investigasi membuahkan sejumlah informasi bahwa Dr. Gindo Siregar harus diganti kedudukannya sebagai Gubernur Militer untuk meredakan konflik.
Muhammad Hatta segera mengganti Gindo Siregar dengan Mr. Abbas yang juga akan melaksanakan rasionalisasi dan rekonstruksi di Sumatera Utara. Mr. Abbas ditugaskan untuk
memenuhi permintaan kelompok laskar. Mayor Bejo menyampaikan tuntutan dari kelompok laskar ”tidak mengurangi jumlah personil laskar yang masuk menjadi TNI”. Mayor Bejo
menerima pembagian batalyon yang dibuat oleh Gubernur Militer, tetapi tidak mengurangi anggota laskar yang masuk menjadi anggota TNI.
Setelah proses yang panjang Mr.Abbas mengabulkan permintaan para pemimpin lascar. Semua anggota laskar akan lepas dari pengaruh partai dan masuk menjadi anggota TNI.
3.3 KODAM –IIBB