Kronologi Organisasi Kodam IIBukit Barisan

BAB III LATAR-BELAKANG BERDIRINYA KODAM-IIBB DI SUMATERA UTARA

Perjalanan Tentara dan perjuangannya di masing-masing daerah mempunyai ciri dan perjuangan tersendiri. Sejarah Tentara di Sumatera hingga menjadi bentuk pembagian yang terlihat sekarang ini yaitu Kodam I Bukit Barisan dilakukan dengan berbagai proses dan pertimbangan di tubuh militer. Perlu diketahui bahwa kodam atau sistem organisasi militer setiap babakan selalu berbeda seperti yang terlihat pada babakan berikut ini

3.1 Kronologi Organisasi Kodam IIBukit Barisan

Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI, pada tanggal 22 Agustus 1945 menghasilkan beberapa poin keputusan. Salah satunya adalah pembentukan Badan Penyelamat Korban-Korban Perang BPKKP dengan sebutan Badan keamanan Rakyat BKR. Badan yang bersifat kemiliteran ini berfungsi sebagai pengayoman kepada rakyat Indonesia. Negara meresmikan badan ini menjadi badan resmi kemiliteran setelah melihat perannya yang begitu penting. Kelompok masyarakat yang ikut dalam kelompok ini adalah golongan muda yang memiliki semangat juang yang tinggi, yang dilatih dengan pendidikan kemiliteran oleh para alumni tentara bentukan Jepang. Pembentukan Badan Keamanan Rakyat juga mendapat sambutan hangat dari Soekarno. Di hadapan pemuda dan masyarakat, Soekarno mengajak kelompok pemuda yang pernah terlibat dalam Peta, Bompa, Heiho, Giyugun dan Kaigun membentuk organisasi yang serupa dengan BKR masing-masing daerah. Universitas Sumatera Utara Ajakan dari Bung Karno segera dilakukan dan diaplikasikan di masing-masing daerah, seperti di Sumatera Utara sendiri. Badan yang serupa dengan Badan Keamanan Rakyat sangat beragam. Untuk wilayah Sumatera Timur, segera terbentuk Persatuan Sumetara Timur PST, dan badan yang sama dinamakan dengan Siap-Sedia SS. Kelompok ini dominan berasal dari Barisan Pemuda Indonesia yang selalu menjadi barisan penantang penjajahan. Berbeda dari wilayah Sumatera Timur, Keresidenan Tapanuli segera membentuk badan yang sama seperti di pusat, yaitu Badan Keamanan Rakyat oleh Dr. Ferdinan Lumban Tobing Badan Keamanan Rakyat ternyata sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia, karena keamanan yang belum aman seratus persen dari pengaruh Jepang. Tidak lama memakai nama BKR, cikal bakal TNI ini segera berubah nama menjadi Tentara Keamanan Rakyat TKR pada tanggal 9 Oktober 1954. Kebijakan ini bertujuan menyeragamkan badan petahanan yang ada di berbagai daerah menjadi satu bentuk organisasi yang sama dari pusat hingga daerah. Untuk wilayah Sumatera Utara, Tentara Keamanan Rakyat dikelompok menjadi 3 kelompok berdasarkan wilayah yang dinamakan dengan Divisi. Divisi IV di Sumatera Timur, Divisi V untuk wilayah Aceh, dan Divisi VI untuk keresidenan Tapanuli. Wilayah Divisi militer dipimpin oleh seorang Gubernur Militer, yang mempunyai pengaruh lebih kuat daripada pemerintahan pusat. Tugas lain yang harus dilakukan seorang Gubernur Militer adalah membentuk organisasi militer ke tingkat wilayah yang lebih sempit lagi yang dinamakan dengan Batalyon atau Resimen. Hubungan anggota Tentara Keamanan Rakyat pun semakin solid dalam menghadapai pasukan Belanda yang mempunyai kekuatan besar. Koordinasi antara sesama Divisi ternyata mampu menghadapi pasukan Belanda. Di wilayah Sumatera Timur pasukan TKR harus berjuang Universitas Sumatera Utara lebih keras sebab Militer Belanda berusaha penuh mendapatkan wilayah ini karena latar- belakangnya sebagai pusat perkebunan dan pusat perekonomian di Sumatera Utara. Untuk menjaga rahasia tentang Tentara Keamanan Rakyat di wilayah Sumatera Timur cikal-bakal pusat Kodam IIBB dari pengetahuan Belanda, sering dilakukan perubahan pusat dan menambah jumlah batalyon. Setelah melakukan penambahan batalyon, maka di wilayah Sumatera Timur terdapat 5 batalyon dan 2 pasukan khusus yang disamakan dengan batalyon di antaranya: 1. Batalyon –I bertempat di Berastagi 2. Batalyon –II berkedudukan di Kaban Jahe 3. Batalyon -III berkedudukan di Tanjung Morawa. 4. Batalyon –IV berkedudukan di Tanjung Balai 5. Batalyon –V berkedudukan di Binjai 6. Batalyon pengawal Divisi berkedudukan di Deli Tua 7. Batalyon B berkedudukan di Two Rives. 1 Berkembangnya organisasi ketentaraan di Indonesia khususnya di Sumatera Utara merupakan hasil dari perjuangan tentara yang telah ditunjukkan beberapa tahun sebelum Indonesia memperoleh kedaulatan penuh dari Belanda. Untuk mewujudkan fungsinya yang lebih maksimal sebagai pertahanan negara, pemantapan struktur organisasi dilakukan oleh pasukan wilayah militer Sumatera Utara. Pada tahun 1947, seiring dengan perubahan nama TKR menjadi Tentara Nasional Indonesia, dilakukan restruktur dalam organisasi meliter di Indonesia. Di Sumatera Utara Perubahan ini hanya terjadi pada nama terhadap Divisi yang sudah ada sebelumnya. Divisi IV yang terletak di Aceh berubah menjadi Divisi Gajah II, Divisi V Sumatera 1 H.R. Sjahnan, Dari Medan Area Ke Pedalaman Dan Kembali Ke Pedalaman. Medan: Dinas Sejarah Kodam, 1982, hal, 15-16. Universitas Sumatera Utara Timur berganti nama menjadi Divisi Gajah II, dan Divisi VI Kresidenan Tapanuli, berubah menjadi Divisi Banteng –II Agresi tentara Belanda I, yang menguasai berbagai bidang baik di Laut, Udara, mapun di Darat, dapat dihadang pasukan TNI dan Laskar Rakyat hanya dengan kerja sama yang kuat dan semboyan yang berbunyi “merdeka atau mati”. Sama seperi Agresi militer -I Agresi militer Belanda II yang dilancarkan pada tanggal 19 Deseber 1948, pasukan Belanda meningkatkan serangan dalam bidang Udara, Laut dan Darat, yang dihadapi pasukan TNI dengan koordinasi yang semakin baik. Untuk wilayah Sumatera Utara, perlawanan yang dilakukan pasukan TNI adalah kerja sama sesama anggota Divisi. Divisi Gajah –I, dan Divisi gajah –II bergabung menjadi Divisi X yang dipimpin oleh Kolonel Husin Yusuf. Divisi Banteng-II yang berubah menjadi Brigade-IX bergabung dari pasukan dengan pasukan Gajah –I membentuk Brigade XII. Pasukan Tentara yang berada di Sumatera Timur dan pasukan tentara yang terletak di daerah Kresidenan Tapanuli, pada tahun 1948 telah bersatu membentuk komando Teritorium. Pembentukan sistem adalah hal yang baru di tubuh militer. Sejak saat ini penugasan seorang tentara dari satu wilayah ke wilayah lainnya sudah bisa dilakukan. Tentara yang berada di wilayah Sumatera Utara sudah terkoordinir dengan rapi, berkat pembentukan Komando Tentara dan Teritorium Suamtera Utara KO TT-SU. Susunan militer setelah pembentukan KO TT-SU, disesuaikan dengan susunan pemerintahan di Sumatera Utara. Pola pembentukan sistem Teritorium ditujukan sebagai tentara sekaligus memperkuat sistem pemerintahan negara Indonesia. Kemampuan tentara Indonesia yang sangat terampil dalam perang Gerilya menjadi keuntungan yang sangat besar di tubuh KOTT-SU sebab taktis baru ini bisa melumpuhkan serangan yang dilakukan oleh tentara Belanda. Pemasangan ranjau, dan pola menyerang lalu Universitas Sumatera Utara bersembunyi, membuat pasukan Belanda kewalahan dalam membaca kekuatan TNI. Untuk keluar dari markas dengan menggunakan kendaraan, Belanda harus hati-hati setelah agresi Militer Belanda II, sebab pasukan TNI telah menimbun sejumlah ranjau di daerah lintas kendaraan pasukan Belanda. Belanda terpaksa melakukan perjanjian dengan pasukan TNI, supaya kedua-duanya tidak melakukan tembak-menembak lagi. Perjanjian ini berlangsung hingga tahun 1949 yaitu menjelang pengakuan kedaulatan. Meskipun perjanjian tersebut dilakukan, tidak membuat pasukan TNI yakin penuh dengan kesepakatan kepada Belanda, sebab sudah beberapa kali mereka melakukan hal yang sama tetapi kesepakan selalu dilanggar oleh pasukan Belanda sendiri. Ternyata kesepakan ini bertahan sampai kepengakuan kedaulatan. Penanda tanganan pengakuan kedaulatan di Sumatera Utara didominasi oleh kelompok militer sebagai utusan dari Indonesia. Utusan dari Indonesia ditanda tangani oleh A. E Kawilarang. Pihak Belanda diwakili oleh pimpinan militer yang ditanda tangani oleh Mayor Jenderal P. Scholten . Realisasi pengakuan kedaulatan sendiri kepada pihak tentara adalah penyerahan sistem keamanan penuh kepada TNI dari pihak Belanda. Momen ini segera disambut oleh TNI di Sumatera Utara dengan pembentukan Komando Tentera Teritorium Sumatera Utara KO.TT-SU 2 Sistem pembentukan Komando Teritorium Sumatera Utara sangat spontanitas, yang ditujukan sebagai alasan kepada Belanda, bahwa pasukan TNI masih ada. Berawal dari hal inilah pada tahun 1950 sistem ketentaraan yang memakai sistem KO.TT-SU segera diganti menjadi sistem Komando Daerah Militer. Wilayah Sumatera Utara Aceh, Sumatera Timur, dan , sebagai pengganti dari tentara Belanda yang pada awalnya berkuasa penuh terhadap sistem keamanan di Sumatera Utara. 2 Dinas Sejarah Kodam, Gema Bukit Barisan, Medan: Komando Daerah Militer IBB, 1985, hal 35 Universitas Sumatera Utara Kresidenan Tapanuli, daerah Sumatera Barat, wilayah Sumatera Selatan, dan kepulauan Riau bergabung membentuk satu Kodam berpusat di Medan, Setelah mendapat persetujuan dari Panglima, maka untuk wilayah yang sudah disebutkan di atas dinamakan dengan Komando Daerah Militer –I Bukit Barisan Kodam-IBB. Pembagian sistem kodam ini disusun berdasarkan wilayah. Sejak tahun 1950 Kodam di seluruh Indonesia berjumlah tujuh yaitu: Kodam-I untuk wilayah Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan daerah Riau. Kodam –II bertugas Untuk wilayah Lampung, Jambi, Bengkulu, wilayah Kodam-III bertugas untuk daerah Jawa Barat, Kodam IV bertugas untuk wilayah Jawa Tengah, Kodam –V bertugas untuk wilayah Jawa Timur, Kodam –VI bertugas untuk wilayah Kalimantan, Kodam – VII bertugas untuk wilayah Sulawesi dan wilayah Indonesia bagian Timur 3 Pembagian wilayah Kodam sangat erat kaitannya dengan kondisi keamanan nasional, sebab tugas Kodam ditujukan sebagai barisan pertahanan nasional. Tahun 1956 jumlah Kodam untuk seluruh Indonesia semakin diperbanyak. Pada babakan ini bekas wilayah Kodam –I Bukit Barisan dibagi menjadi tiga Kodam yaitu Kodam-I Iskandar Muda untuk wilayah Aceh dengan lambang Gajah Putih, Kodam-II Bukit Barisan untuk wilayah Sumatera Utara berpusat di Medan dengan lambang barisan bukit-bukit dan wilayah Kodam –III bertugas untuk wilayah Sumatera Barat, Sumatera Selatan dan kepulauan Riau dengan nama Kodam –III 17 Agustus dengan lambang rumah adat Minang. Kodam lainnya di pulau Sumatera adalah Kodam –IV untuk wilayah Bengkulu, Jambi, dan daerah Lampung. . Sistem pembagian Kodam ini berlangsung hingga tahun 1957. Pada tahun berikutnya , tahun 1958 terjadi lagi perubahan pembagian Kodam di Indonesia karena semakin ragamnya gejolak dan pemberontakan dalam negri. Seperti di Sumatera Utara sendiri gejolak yang muncul pada tahun 1956 adalah pemberontakan PRRI dipimpin oleh Maluddin Simbolon di Sumatera Utara. 3 Keterangan lebih lanjut lihat Lampiran I Universitas Sumatera Utara Kodam II- Bukit Barisan terus melakukan pembenahan baik dari segi strategi dan juga sistem pengamanan. Tahun 1969, Kodam –II melakukan dua pembenahan yaitu dalam bidang simbol Bukit Barisan dan Motto yang menjadi slogan dalam kodam II Bukit Barisan adalah “Patah Tumbuh Hilang Berganti” 4 . Yang artinya peran dan tugas Prajurit Kodam-II tidak pernah berhenti sebagai keamanan negara. Sedangkan lambang Kodam II Bukit Barisan mengambil gambar gunung yang mengandung arti bahwa semangat juang prajurit harus sama bahkan melampau gunung-gunung yang ada di Sumatera Utara. Gunung ini juga melambangkan wilayah Sumatera Utara sebagai wilayah perbukitan. Lambang, nama dan strruktur organisasi kodam II Bukit Barisan ini hanya berlangsung hingga tahun 1985, setelah Jenderal Rudini sebagai Panglima Angkatan Darat melikuidasi beberapa Kodam di Indonesia. Hal ini juga berpengaruh untuk Kodam II dan yang digabungkan dengan kodam I Iskandar Muda, Kodam –II Bukit Barisan dan Kodam –III 17 Agustus. Nama baru hasil perpaduan dari Kodam ini adalah Kodam –I Bukit Barisan dengan lambang dan nama yang berbeda 5 TNI yang sudah mengalami beberapa kali perubahan, hingga menjadi organisasi permanen pada dasarnya diuji dengan berbagai pengorbanan yang sangat berat, dan menuntut perjuangan. Demikian halnya dengan pasukan laskar rakyat, melakukan perlawanan secara terbuka dengan militer Belanda. Laskar memilih perlawanan di perkotaan. Gerakan ini .

3.2 Laskar Menjadi Anggota TNI, Melalui Proses Rekonstruksi dan Rasionalisasi