Pengertian Murabahah Bai’ al Murabahah

Gambaran singkat mekanisme produk bank syariah dengan prinsip mudharabah digambarkan sebagai berikut :

1. Titip Dana Nasabah

Penitip Bank Penyimpan 4. Beri Bonus

2. Pemanfaatan Dana

3. Bagi Hasil

Dunia Usaha Gambar 2.14 Skema Mudharabah Sumber: Muhammad 2009:17

C. Bai’ al Murabahah

1. Pengertian Murabahah

Murabahah adalah akad jual beli barang dengan harga jual sebesar biaya perolehan ditambah dengan keuntungan yang disepakati dan penjual harus mengungkapkan biaya perolehan barang tersebut kepada pembeli PSAK No.102. Menurut Slamet Wiyono 2001: 15, Ba’i al-Murabahah adalah jual beli dimana harga jualnya terdiri dari harga pokok barang yang dijual ditambah dengan sejumlah keuntungan ribhun yang disepakati oleh kedua belah pihak, pembeli dan penjual. Pada transaksi murabahah, 38 penyerahan barang dilakukan pada saat transaksi sementara pembayarannya dapat dilakukan tunai, tangguh ataupun dicicil. Oleh karena itu, karakteristik utama dalam murabahah adalah pemberitahuan penjual kepada pembeli tentang harga jual barang yang terdiri atas harga pokok barang dan jumlah keuntungan serta biaya yang ditambahkan di dalamnya. Misalnya, si Fulan membeli mobil seharga Rp. 200.000.000,00 dan biaya-biaya yang dikeluarkan sebesar Rp. 15.000.000,00, maka ia menawarkan mobilnya dengan mengatakan: “Saya beli mobil ini seharga Rp. 200.000.000,00 dengan biaya sebesar Rp. 15.000.000,00 maka Saya jual mobil ini seharga Rp. 240.000.000,00, dengan keuntungan Rp. 25.000.000,00.” Dari buku Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer karangan Adiwarman A.Karim 2007:86, para ulama mahzab berbeda pendapat tentang biaya apa saja yang dapat dibebankan kepada harga jual barang tersebut. Misalnya, ulama mahzab Maliki membolehkan biaya-biaya yang langsung terkait dengan transaksi jual beli itu dan biaya-biaya yang tidak langsung terkait dengan transaksi tersebut, namun memberikan nilai tambah pada barang itu. Ulama mahzab Syafi’ie membolehkan membebankan biaya-biaya yang secara umum timbul dalam suatu transaksi jual beli kecuali biaya tenaga kerjanya sendiri karena komponen ini termasuk dalam keuntungannya. Begitu pula biaya-biaya yang tidak menambah nilai barang tidak boleh dimasukan sebagai komponen biaya. 39 Ulama mahzab Hanafi membolehkan membebankan biaya-biaya yang secara umum timbul dalam suatu transaksi jual-beli, namun mereka tidak membolehkan biaya-biaya yang memang semestinya dikerjakan oleh si penjual. Ulama mahzab Hambali berpendapat bahwa semua biaya langsung maupun tidak langsung dapat dibebankan pada harga jual selama biaya- biaya itu harus dibayarkan kepada pihak ketiga dan akan menambah nilai barang yang dijual. Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa keempat mahzab membolehkan pembebanan biaya langsung yang harus dibayar kepada pihak ketiga. Keempat mahzab sepakat tidak membolehkan pembebanan biaya langsung yang berkaitan dengan pekerjaan yang memang semestinya dilakukan penjual maupun biaya langsung yang berkaitan dengan hal-hal yang berguna. Keempat mahzab juga membolehkan pembebanan biaya tidak langsung yang dibayarkan kepada pihak ketiga dan pekerjaan itu harus dilakukan oleh pihak ketiga. Bila pekerjaan itu harus dilakukan oleh si penjual, mahzab Maliki tidak membolehkannya. Mahzab yang empat sepakat tidak membolehkan pembebanan biaya tidak langsung bila tidak menambah nilai barang atau berkaitan dengan hal-hal yang berguna. Jika ditelaah dari pengertiannya, penjual harus memberitahukan secara jujur harga pokok barang, keuntungannya serta tambahan atas besarnya biaya yang dikeluarkan dalam pengadaan barang tersebut. 40 Agar suatu jual beli dapat terlaksana dengan baik sesuai dengan aturan Islam, perlu diperhatikan rukun jual beli , yaitu adanya Hertanto Widodo dkk, 1999: 48 : a. Penjual Ba’i b. Pembeli Musytari’ c. Barang yang diperjual-belikan Mabi’ d. Harga Tsaman, dan e. Serah-Terima Ijab Qabul

2. Landasan Syariah