Analisis Potensi Ekspor Produk Makanan dan Minuman Olahan Indonesia di Pasar Non- Tradisional Asia
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Selama pasca krisis ekonomi global tahun 2008 yang melanda dunia, perekonomian dunia mengalami berbagai penurunan ekspor non migas. Beberapa negara di dunia membatasi permintaan produk-produk yang diekspor ke negaranya. Beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa terkena dampak yang paling besar dari krisis ekonomi global. Dalam hubungan perdagangan internasional, negara-negara maju tersebut merupakan tujuan utama ekspor Indonesia (sebagai pasar tradisional) sehingga melemahnya kondisi perekonomian di negara-negara tersebut berdampak pada penurunan ekspor nasional.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan sejumlah ekspor non migas selama pasca krisis, yakni tahun 2009 mengalami penurunan sebesar 9,66 persen atau mencapai nilai sebesar US$ 97,47 miliar dibandingkan dengan tahun 2008 yang mencapai nilai US$ 107,80 miliar. Namun, pada tahun 2010 ekspor non migas Indonesia mengalami peningkatan sebesar 33,02 persen dengan nilai ekspor sebesar US$ 129,68 miliar. Peningkatan ekspor non migas salah satunya disebabkan oleh meningkatnya ekspor sektor industri dimana sektor industri merupakan sektor yang berkontribusi paling besar bagi peningkatan ekspor non migas. Kontribusinya terhadap ekspor non migas pada tahun 2010 mencapai 62,14 persen. Angka tersebut merupakan angka kontribusi yang rendah jika dibandingkan dengan tahun 2009 yang memiliki kontribusi sebesar 63,03 persen. Hal tersebut dikarenakan sektor lain seperti sektor pertambangan dan lainnya mengalami peningkatan ekspor di tahun 2010 sebesar 35,34 persen yang menyumbang kontribusi terhadap ekspor non migas sebesar 16,91 persen dan sektor pertanian yang meningkat sebesar 14,90 persen dengan menyumbang kontribusi terhadap ekspor non migas sebesar 3,17 persen. Walaupun sektor industri menyumbang dengan angka kontribusi yang lebih rendah dibandingkan tahun 2009, tetapi pada tahun 2010 tersebut ekspor sektor industri tumbuh sebesar 33,47 persen dibandingkan tahun 2009 yang turun sebesar 16,93 persen.
(2)
Salah satu industri yang mengalami penurunan ekspor pasca krisis global tahun 2008 adalah industri makanan dan minuman. Penurunan ekspor ini terutama terjadi pada ekspor ke negara-negara tujuan utama, seperti Amerika Serikat, Singapura, Jepang dan Eropa. Terjadinya penurunan ekspor di negara tujuan utama tersebut disebabkan oleh imbas krisis ekonomi global yang belum secara keseluruhan pulih dari keempat negara tersebut. Selain itu, penurunan ekspor makanan dan minuman olahan Indonesia juga terjadi hampir di semua negara tujuan ekspor hingga akhir tahun 2009.
Berdasarkan perolehan data Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), ekspor makanan dan minuman olahan Indonesia menurun di tahun 2009 yang mencapai nilai US$ 2,5 miliar dibandingkan dengan tahun 2008 yang mencapai nilai US$ 2,99 miliar. Namun, pada tahun 2010 ekspor makanan dan minuman olahan Indonesia mengalami peningkatan dengan nilai sebesar US$ 3,5 miliar.
Data dari Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa nilai ekspor makanan olahan yang meningkat di tahun 2010 sudah terlihat dari periode Januari hingga April yang mencapai US$ 111,15 juta dibandingkan periode yang sama pada tahun 2009 yang mencapai US$ 70,31 juta. Sedangkan ekspor minuman olahan selama Januari hingga April 2010 mencapai US$ 18,55 juta dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2009 yang mencapai US$ 17,85 juta. Peningkatan ekspor minuman olahan tidak sebesar peningkatan ekspor pada makanan olahan, dikarenakan produk minuman memiliki daya tahan yang lebih rendah dan kemasan minuman Indonesia yang terbuat dari botol dan cup plastik sangat rentan mengalami kerusakan saat pendistribusian.
Peningkatan yang terjadi pada tahun 2010, yakni selama pasca krisis ekonomi global terhadap industri makanan dan minuman dari sektor industri yang berkontribusi besar terhadap ekspor non migas disebabkan oleh kondisi perekonomian yang baik dari negara-negara yang sedang tumbuh dan berkembang (pasar non-tradisional). Selama pasca krisis ekonomi global, perekonomian dunia secara bertahap kembali pulih dengan tingkat pertumbuhan yang berbeda diantara negara maju dan negara berkembang dimana kinerja ekonomi dari negara-negara
(3)
3
yang sedang tumbuh dan berkembang (emerging market economies) mengalami pertumbuhan yang cepat dibandingkan dengan negara-negara maju yang mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan perolehan data dari penyelenggaraan Trade Expo Indonesia pada tahun 2011, terdapat 8.311 pembeli dari 92 negara mitra dagang dimana jumlah pembeli (buyers) terbanyak berasal dari negara-negara non-tradisional, yakni sebesar 86,55 persen dan negara-negara tradisional sebesar 13,45 persen. Pendapatan yang diperoleh dari penyelenggaraan Trade Expo Indonesia tersebut sebesar US$ 464,5 juta yang diperoleh dari transaksi hasil penjualan produk ekspor sebesar US$ 226 juta dan sektor jasa sebesar US$ 238,5 juta. Dalam komposisi hasil transaksi produk ekspor, produk makanan dan minuman memperoleh pangsa sebesar 2,52 persen dibandingkan sektor furnitur yang memperoleh pangsa sebesar 40,8 persen.
Walaupun produk makanan dan minuman olahan Indonesia mengalami peningkatan pada tahun 2010, akan tetapi berdasarkan hasil penjualan dari Trade Expo Indonesia tahun 2011 diperoleh pangsa ekspor produk makanan dan minuman masih belum mendominasi hanya mencapai 2,52 persen. Negara-negara non-tradisional merupakan negara pembeli yang memiliki apresiasi cukup besar terhadap produk-produk yang dihasilkan Indonesia. Oleh karena itu, industri makanan dan minuman memiliki peluang untuk meningkatkan ekspornya ke pasar non-tradisional sehingga pasar tersebut dapat dijadikan tujuan ekspor alternatif bagi produk makanan dan minuman olahan dalam negeri agar dapat terus meningkat dan berkontribusi terhadap ekspor non migas.
Namun, pasar non-tradisional merupakan negara-negara yang sedang tumbuh dan berkembang yang mencakup kawasan Afrika, Asia, Amerika Latin, dan lain sebagainya sehingga untuk mengetahui negara-negara non-tradisional yang potensial untuk dapat dijadikan tujuan ekspor alternatif bagi produk makanan dan minuman olahan Indonesia, maka kawasan Asia dapat dijadikan salah satu pasar potensial bagi pengembangan produk makanan dan minuman olahan Indonesia. Asia merupakan negara yang mayoritas masyarakatnya memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda dengan masyarakat Indonesia
(4)
sehingga hal tersebut dapat mempermudah pengusaha makanan dan minuman dalam negeri memproduksi makanan dan minuman yang sesuai dengan permintaan pasar non-tradisional Asia serta jarak antar Indonesia dengan negara-negara non-tradisional Asia tergolong jarak yang dekat, hal ini dapat mempermudah dan mempermurah biaya transportasi. Selain itu, dengan jarak yang dekat dapat mengatasi masalah pendistribusian produk minuman olahan Indonesia yang terkait dengan kemasan yang mudah mengalami kerusakan dan memiliki daya tahan yang lebih rendah dibandingkan makanan olahan.
Produk makanan olahan yang dapat dilakukan pengembangan ekspor ke pasar non-tradisional Asia diantaranya adalah produk yang berbahan baku tepung terigu seperti roti, kue, biskuit, dan produk lainnya yang sejenis. Produk-produk tersebut merupakan produk turunan dari tepung terigu. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada periode Januari-Oktober 2010, total ekspor produk turunan tepung terigu mencapai nilai US$ 269,6 juta atau naik sekitar 41,1 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2009 yang mencapai nilai US$ 191,1 juta. Selama tahun 2010, ekspor produk turunan tepung terigu mencapai US$ 400 juta dibandingkan tahun 2009 yang mencapai US$ 236,3 juta. Selain itu, produk makanan olahan lainnya yang dapat dilakukan pengembangan ekspor ke pasar non-tradisional Asia adalah kembang gula dimana nilai ekspor yang dicapai pada tahun 2010 sebesar US$ 92,91 juta atau meningkat sebesar 17,1 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai US$ 79,33 juta.
Sementara itu, jenis produk minuman olahan Indonesia yang banyak diekspor adalah produk minuman jus dan teh sehingga keduanya pun dapat dilakukan pengembangan ekspor ke pasar non-tradisional Asia. Nilai ekspor produk jus di tahun 2010 mencapai US$ 33,40 juta atau meningkat sebesar 58,9 persen dibandingkan tahun 2009 yang mencapai nilai US$ 21,03 juta. Ekspor teh pada tahun 2009 mencapai 120 ribu ton atau memenuhi sekitar 5,8 persen kebutuhan dunia. Pada tahun 2010 nilai ekspornya mencapai US$ 110 juta. Dengan demikian, keempat produk tersebut memiliki potensi untuk dikembangkan ke pasar non-tradisional Asia sebagai tujuan ekspor alternatif untuk menjaga agar produk-produk tersebut tetap meningkat dan berkontribusi terhadap ekspor non migas Indonesia.
(5)
5
1.2. Perumusan Masalah
Untuk mengetahui potensi produk makanan dan minuman olahan Indonesia di pasar non-tradisional Asia, maka perlu dilakukan suatu analisis terhadap potensi pasar non-tradisional Asia serta daya saing produk makanan dan minuman olahan di pasar tersebut. Dengan demikian, perumusan masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Negara-negara non-tradisional Asia mana sajakah yang berpotensi sebagai negara tujuan ekspor produk makanan dan minuman olahan Indonesia? 2. Bagaimana daya saing yang dihadapi dalam mengembangkan pasar ekspor
produk makanan dan minuman olahan Indonesia di negara-negara tersebut?
3. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor produk makanan dan minuman olahan Indonesia di pasar non-tradisional Asia? 1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan tersebut, maka tujuan penelitian yang dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis negara-negara non-tradisional Asia yang berpotensi sebagai negara tujuan ekspor produk makanan dan minuman olahan Indonesia. 2. Menganalisis daya saing yang dihadapi dalam mengembangkan pasar
ekspor produk makanan dan minuman olahan Indonesia di negara-negara tersebut.
3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor produk makanan dan minuman olahan Indonesia di pasar non-tradisional Asia. 1.4. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada pihak-pihak terkait, diantaranya:
1. Bagi penulis mampu menerapkan ilmu dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang diperoleh selama di Perguruan Tinggi.
(6)
2. Sebagai bahan acuan kepustakaan bagi mahasiswa untuk memperkaya wawasan maupun sebagai referensi untuk membuat karya ilmiah di masa yang akan datang.
3. Sebagai masukan dan bahan pertimbangan bagi industri makanan dan minuman olahan.
1.5. Ruang Lingkup
Untuk memfokuskan pembahasan dalam penelitian ini, maka ruang lingkup yang dikaji meliputi:
1. Penelitian terbatas pada empat produk makanan dan minuman olahan, yaitu produk roti, kue, biskuit, dan produk lainnya yang sejenis; kembang gula; jus buah dan jus sayuran; serta teh.
2. Penelitian terbatas pada sepuluh negara non-tradisional Asia yang menjadi tujuan ekspor produk makanan dan minuman olahan Indonesia, yaitu Bahrain, India, Camboja, Lebanon, Sri Lanka, Macao, Malaysia, Pakistan, Thailand, dan Turki.
(7)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Ekspor
Kegiatan menjual barang atau jasa ke negara lain disebut ekspor, sedangkan kegiatan membeli barang atau jasa dari negara lain disebut impor. Kegiatan ekspor-impor memiliki banyak manfaat, diantaranya: dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, pendapatan negara akan bertambah karena adanya devisa, meningkatkan perekonomian rakyat, dan mendorong berkembangnya kegiatan industri. Khusus kegiatan ekspor, memiliki peranan yang penting sebagai motor penggerak perekonomian nasional.
Adanya aliran perdagangan berupa ekspor ke negara-negara tujuan ekspor dapat dikarenakan penawaran ekspor dari negara eksportir maupun permintaan ekspor dari negara importir. Penawaran ekspor adalah jumlah komoditas yang dapat dijual oleh suatu negara. Semakin banyak jumlah yang diproduksi, maka penawaran ekspor suatu negara akan meningkat. Permintaan ekspor adalah jumlah suatu komoditas ekspor yang diminta oleh suatu negara tertentu. Dalam permintaan ekspor terdapat beberapa faktor yang menentukan, seperti rata-rata pendapatan rumah tangga dan jumlah penduduk. Jika ada kenaikan pendapatan rata-rata rumah tangga akan menyebabkan jumlah komoditas yang diminta lebih banyak pada setiap harga tertentu dan jika ada kenaikan jumlah penduduk, maka permintaan akan suatu komoditas meningkat pada tingkat harga tertentu (Andelisa, 2011).
2.2. Definisi Produk Makanan dan Minuman Olahan
Menurut Saparinto dan Hidayati (2006), makanan olahan adalah makanan hasil proses pengolahan dengan cara atau metode tertentu, dengan atau tanpa bahan tambahan. Makanan olahan bisa dibedakan menjadi makanan olahan siap saji dan tidak siap saji. Makanan olahan siap saji adalah makanan yang sudah diolah dan siap disajikan di tempat usaha atau di luar tempat usaha atas dasar pesanan, contoh: pisang goreng. Sedangkan makanan olahan tidak siap saji adalah makanan yang sudah mengalami proses pengolahan, akan tetapi masih
(8)
memerlukan tahapan pengolahan lanjutan untuk dapat dimakan atau diminum, contoh: makanan kaleng.
Minuman ringan adalah minuman yang tidak mengandung alkohol, merupakan minuman olahan dalam bentuk bubuk atau cair yang mengandung bahan makanan atau bahan tambahan lainnya baik alami maupun sintetik yang dikemas dalam kemasan siap untuk dikonsumsi (Cahyadi, 2005). Sedangkan minuman olahan yang mengandung alkohol merupakan minuman yang jika dikonsumsi dapat menyebabkan penurunan kesadaran. Dengan demikian, dalam penelitian ini produk makanan dan minuman olahan yang dimaksud merupakan makanan siap saji dan tidak siap saji serta minuman yang tidak mengandung alkohol dalam bentuk bubuk maupun cair.
2.3. Definisi Pasar Non-Tradisional
Pasar non-tradisional adalah pasar yang menjadi tujuan ekspor yang belum tergolong besar tetapi potensial untuk meningkatkan ekspor Indonesia. Pasar ekspor yang dikategorikan dalam pengertian non-tradisional ini adalah di luar tujuan utama ekspor Jepang, Amerika Serikat, Eropa Barat, Singapura, Taiwan, dan Korea Selatan. Pasar non-tradisional terdiri dari banyak negara yang tumbuh (emerging market) maupun yang sedang berkembang yang terdiri dari kawasan Afrika, Asia, Amerika Latin, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini pasar non-tradisonal yang dianalisis hanya pada sepuluh negara yang berada pada kawasan Asia, seperti Bahrain, Camboja, India, Lebanon, Macao, Malaysia, Pakistan, Sri Lanka, Thailand, dan Turki.
2.4. Konsep Daya Saing
Daya saing merupakan kemampuan suatu komoditi untuk memasuki pasar luar negeri dan kemampuan untuk dapat bertahan di dalam pasar tersebut, dalam artian jika suatu produk mempunyai daya saing maka produk tersebutlah yang banyak diminati konsumen (Tambunan, 2001).
Pendekatan yang sering digunakan sebagai indikator untuk mengukur daya saing suatu komoditi, yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Keunggulan kompetitif merupakan suatu keunggulan yang dapat dikembangkan
(9)
9
sehingga untuk dapat memperolehnya maka keunggulan ini harus dapat diciptakan. Sementrara itu menurut Simatupang (1991) dalam Oktaviani dan Novianti (2009), konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran daya saing (keunggulan), potensial. Artinya, daya saing akan dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi. Terkait dengan konsep keunggulan komparatif adalah kelayakan ekonomi, dan terkait dengan keunggulan kompetitif adalah kelayakan finansial dari suatu aktivitas. Kelayakan finansial melihat manfaat proyek atau aktivitas ekonomi dari sudut lembaga atau individu yang terlibat dalam aktivitas tersebut, sedangkan analisa ekonomi menilai suatu aktivitas atas manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan tanpa melihat siapa yang menyumbangkan dan siapa yang menerima manfaat “Revealed Competitive Advantage” yang merupakan pengukur daya saing suatu kegiatan pada kondisi perekonomian aktual.
2.5. Teori Perdagangan Internasional
Perdagangan merupakan suatu proses pertukaran barang dan jasa yang dilakukan atas dasar suka sama suka, untuk memperoleh barang yang dibutuhkan. Dalam masa globalisasi, perdagangan tidak hanya dilakukan dalam satu negara saja. Bahkan dunia sudah memasuki perdagangan bebas. Hampir tidak ada satu negarapun yang tidak melakukan hubungan dengan negara lain (Dumairy,1997).
Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antar perorangan (individu dengan individu), antara individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. Perdagangan internasional yang tercermin dari kegiatan ekspor dan impor suatu negara menjadi salah satu komponen dalam pembentukan PDB (Produk Domestik Bruto) dari sisi pengeluaran suatu negara. Peningkatan ekspor bersih suatu negara menjadi faktor utama untuk meningkatkan PDB suatu negara (Oktaviani dan Novianti, 2009).
Dalam perdagangan domestik para pelaku ekonomi bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari aktivitas ekonomi yang dilakukan. Demikian halnya dengan perdagangan internasional. Setiap negara yang melakukan perdagangan
(10)
bertujuan mencari keuntungan dari perdagangan tersebut. Selain motif mencari keuntungan, Krugman (2003) dalam Oktaviani dan Novianti (2009) mengungkapkan bahwa alasan utama terjadinya perdagangan internasional:
1. Negara-negara berdagang karena mereka berbeda satu sama lain.
2. Negara-negara melakukan perdagangan dengan tujuan untuk mencapai skala ekonomi (economic of scale).
Dalam teori perdagangan internasional, suatu negara (misal negara A) akan mengekspor suatu komoditi (misal pakaian jadi) ke negara lain (misal negara B) apabila harga domestik negara A (sebelum terjadinya perdagangan internasional) relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan harga domestik negara B (Gambar 2.1). Struktur harga yang terjadi di negara A lebih rendah karena produksi domestiknya lebih besar daripada konsumsi domestiknya sehingga di negara A telah terjadi excess supply (memiliki kelebihan produksi). Dengan demikian, negara A mempunyai kesempatan menjual kelebihan produksinya ke negara lain. Di lain pihak, di negara B terjadi kekurangan supply
karena konsumsi domestiknya lebih besar daripada produksi domestiknya (excess demand) sehingga harga yang terjadi di negara B lebih tinggi. Dalam hal ini negara B berkeinginan untuk membeli pakaian jadi dari negara lain yang relatif lebih murah. Jika kemudian terjadi komunikasi antara negara A dengan negara B, maka akan terjadi perdagangan antar keduanya dengan harga yang diterima oleh kedua negara adalah sama.
Kurva pada Gambar 2.1 memperlihatkan sebelum terjadinya perdagangan internasional harga di negara A sebesar PA, sedangkan di negara B sebesar PB.
Penawaran pasar internasional akan terjadi jika harga internasional lebih tinggi dari PA sedangkan permintaan di pasar internasional akan terjadi jika harga
internasional lebih rendah dari PB. Pada saat harga internasional (P*) sama dengan
PA maka negara B akan terjadi excess demand (ED) sebesar B. Jika harga
internasional sama dengan PB maka di negara A akan terjadi excess supply (ES)
sebesar A. Dari A dan B akan terbentuk kurva ES dan ED akan menentukan harga yang terjadi di pasar internasional sebesar P*. Dengan adanya perdagangan tersebut, maka negara A akan mengekspor komoditi (pakaian jadi) sebesar X
(11)
11
O QA O Q* O QB
SB
sedangkan negara B akan mengimpor komoditi (pakaian jadi) sebesar M, dimana di pasar internasional sebesar X sama dengan M, yaitu Q*.
Ilustrasi terjadinya perdagangan internasional dapat dilihat dari Gambar 2.1 berikut ini:
Negara A Perdagangan Negara B
Sumber: Salvatore, 1997
Gambar 2.1. Kurva Perdagangan Internasional Keterangan:
PA : Harga domestik di negara A (pengekspor) tanpa perdagangan internasional OQA : Jumlah produk domestik yang diperdagangkan di negara A (pengekspor)
tanpa perdagangan internasional
A : Kelebihan penawaran (excess supply) di negara A (pengekspor) tanpa perdagangan internasional
X : Jumlah komoditi yang diekspor oleh negara A
PB : Harga domestik di negara B (pengimpor) tanpa perdangangan internasional OQB : Jumlah produk domestrik yang diperdagangkan di negara B (pengimpor)
tanpa perdagangan internasional
B : Kelebihan permintaan (excess demand) di negara B (pengimpor) tanpa perdagangan internasional
M : Jumlah komoditi yang diimpor oleh negara B
P* : Harga keseimbangan antara kedua negara setelah perdangangan internasional OQ* : Keseimbangan penawaran dan permintaan antar kedua negara dimana jumlah
yang diekspor (X) sama dengan jumlah yang diimpor (M) PA
X
DA A SA
ES
P*
ED B
M PB
(12)
Terbentuknya perdagangan internasional memberikan beberapa manfaat, diantaranya:
1. Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di negeri sendiri.
2. Banyak faktor yang mempengaruhi perbedaan hasil produksi di setiap negara, seperti: kondisi geografi, iklim, tingkat penguasaan IPTEK dan lain-lain. Dengan adanya perdagangan internasional, setiap negara mampu memenuhi kebutuhan yang tidak diproduksi sendiri.
3. Memperoleh keuntungan dari spesialisasi. Walaupun suatu negara dapat memproduksi suatu barang yang sama jenisnya dengan yang diproduksi oleh negara lain, tapi ada kalanya lebih baik apabila negara tersebut mengimpor barang tersebut dari luar negeri.
4. Memperluas pasar dan menambah keuntungan.
5. Transfer teknologi modern. Perdagangan luar negeri memungkinkan suatu negara untuk mempelajari teknik produksi yang lebih efisien dan cara-cara manajemen yang lebih modern.
2.6. Teori Keunggulan Komparatif
Teori keunggulan komparatif (theory of comparative advantage) merupakan teori yang dikemukakan oleh David Ricardo. Dalam teori ini, Ricardo menyatakan bahwa perdagangan internasional terjadi bila ada perbedaan keunggulan komparatif antarnegara. Keunggulan komparatif akan tercapai jika suatu negara mampu memproduksi barang dan jasa lebih banyak dengan biaya yang lebih murah daripada negara lainnya. Sebagai contoh, Indonesia dan Malaysia sama-sama memproduksi kopi dan timah. Indonesia mampu memproduksi kopi secara efisien dan dengan biaya yang murah, tetapi tidak mampu memproduksi timah secara efisien dan murah. Sebaliknya, Malaysia mampu dalam memproduksi timah secara efisien dan dengan biaya yang murah, tetapi tidak mampu memproduksi kopi secara efisien dan murah. Dengan demikian, Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam memproduksi kopi dan Malaysia memiliki keunggulan komparatif dalam memproduksi timah. Untuk dapat saling menguntungkan dalam melakukan perdagangan, maka kedua negara tersebut harus bersedia bertukar kopi dan timah.
(13)
13
Hukum keunggulan komparatif (law of comparative advantage) menyatakan bahwa perdagangan dapat dilakukan oleh negara yang tidak memiliki keunggulan absolut pada kedua komoditi yang diperdagangkan dengan melakukan spesialisasi produk yang kerugian absolutnya lebih kecil atau memiliki keunggulan komparatif. Keunggulan komparatif tersebut dibedakan atas cost comparative advantage (labor efficiency) dan production comparative advantage (labor productivity).
Menurut teori cost comparative advantage (labor efficiency), suatu negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang dimana negara tersebut dapat berproduksi lebih efisien serta mengimpor barang dimana negara tersebut berproduksi relatif kurang atau tidak efisien. Sementara itu, pada production comparative advantage (labor productivity) dapat dikatakan bahwa suatu negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang dimana negara tersebut berproduksi
lebih produktif serta mengimpor barang dimana negara tersebut berproduksi relatif kurang atau tidak produktif. Dengan kata lain, cost comparative
menekankan bahwa keunggulan komparatif akan tercapai jika suatu negara memproduksi suatu barang yang membutuhkan sedikit jumlah jam tenaga kerja dibandingkan negara lain sehingga terjadi efisiensi produksi. Sedangkan
production comparative menekankan bahwa keunggulan komparatif akan tercapai jika seorang tenaga kerja di suatu negara dapat memproduksi lebih banyak suatu barang/jasa dibandingkan negara lain sehingga tidak memerlukan tenaga kerja yang lebih banyak. Dengan demikian keuntungan perdagangan diperoleh jika negara melakukan spesialisasi pada barang yang memiliki cost comparative advantage dan production advantage atau dengan mengekspor barang yang keunggulan komparatifnya tinggi dan mengimpor barang yang keunggulan komparatifnya rendah (Firdaus, 2011).
Dengan kata lain, dalam teori keunggulan komparatif, suatu bangsa dapat meningkatkan standar kehidupan dan pendapatannya jika negara tersebut melakukan spesialisasi produksi barang dan jasa yang memiliki produktivitas dan efisiensi tinggi.
(14)
2.7. Teori Revealed Comparative Advantage (RCA)
Revealed Comparative Advantage (RCA) merupakan salah satu metode yang digunakan untuk menunjukkan perbandingan antara pangsa ekspor komoditas suatu negara terhadap pangsa ekspor komoditas tersebut di dunia. Menurut Tambunan (2001), RCA merupakan indikator yang dapat menunjukkan nilai keunggulan komparatif berdasarkan rasio antar perbandingan ekspor suatu industri (atau komoditas) di suatu negara terhadap total ekspor negara tersebut dengan perbandingan nilai ekspor dunia industri tersebut terhadap total ekspor dunia.
Konsep RCA ini pertama kali diperkenalkan oleh Ballasa pada tahun 1965, yang menganggap bahwa keunggulan komparatif suatu negara direfleksikan atau terungkap dalam ekspornya. Pada saat itu, konsep RCA banyak digunakan dalam laporan penelitian dan studi empiris yang dijadikan sebagai indikator keunggulan komparatif suatu produk dan dipergunakan sebagai acuan spesialisasi perdagangan internasional.
2.8. Konsep Gravity Model
Gravity Model adalah model yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor ekonomi yang mempengaruhi perdagangan antara dua negara. Model yang dibentuk berdasarkan hukum gravitasi Newton ini diaplikasikan untuk menganalisis terjadinya aliran perdagangan antar negara. Selain aplikasi dalam aliran perdagangan, model ini juga diaplikasikan dalam ilmu sosial lainnya seperti transportasi dan perpindahan penduduk antar kota bahkan benua. Model ini telah sukses secara empiris dalam menjelaskan terjadinya arus perdagangan antar negara, tetapi alasan yang diterima secara teoritis masih diperdebatkan. Menurut model ini, barang ekspor dari negara i ke negara j diterangkan oleh ukuran ekonomi masing-masing negara (GDP), populasi masing-masing negara, dan jarak antar negara (Bergstrand, 1985 dalam Setyo, 2009).
Gravity Model pertama kali digunakan oleh Tinberger pada tahun 1962 dan Ponyohen pada tahun 1963 untuk menganalisis aliran perdagangan antara negara-negara Eropa. Kemudian model ini dikembangkan oleh Bergstrand pada tahun 1985 yang menerapkan bahwa model gravitasi ini tidak hanya digunakan
(15)
15
untuk menganalisis perdagangan secara agregat, tetapi dapat diterapkan terhadap aliran perdagangan suatu komoditas.
Perumusan gravity model ini diadopsi dari persamaan umum Gravitasi Newton dalam bidang ilmu fisika yang menyatakan bahwa “Interaksi antara dua objek adalah sebanding dengan massanya dan berbanding terbalik dengan jarak masing-masing”. Pernyataan tersebut teraplikasi dalam rumus sebagai berikut:
Fij =
G x Mi x Mj
Dij
Dimana:
F = volume interaksi antardua negara (aliran perdagangan bilateral) M = Ukuran ekonomi untuk kedua negara
D = Jarak ekonomi kedua negara G = Konstanta
Kemudian dengan menggunakan persamaan logaritma, persamaan tersebut diubah kedalam bentuk linear untuk analisis ekonometrik yang selanjutnya menjadi bentuk umum dari gravity model. Dalam hal ini, konstanta G diubah menjadi bagian dari β0 dan digunakan GDP sebagai ukuran ekonomi untuk kedua
negara.
Log (Aliran perdagangan bilateral) = β0 + β1 log (GDP negara 1) + β2 log (GDP
negara 2) + β3 log (Jarak) + ε
Dengan demikian, rumus umum dari gravity model menurut Bergstrand (1985), Koo, et al (1994) dalam Oktaviani (2000) sebagai berikut:
Tij = f (Yi, Yj, Fij)
Keterangan:
Tij = Nilai aliran perdagangan dari negara i ke negara j
Yi = Gross Domestic Product negara i
Yj = Gross Domestic Product negara j
Fij = Faktor-faktor lain yang mempengarhi perdagangan antara negara i dengan negara j
(16)
Pada dasarnya, model gravitasi ini menjelaskan perdagangan berdasarkan jarak antar negara dan interaksi antara besarnya ukuran perekonomian (GDP dan populasi) antar negara. Aliran perdagangan antar negara ditentukan oleh:
1. Variabel-variabel yang mewakili total permintaan potensi negara pengimpor.
2. Variabel-variabel indikator total penawaran potensial negara pengekspor. 3. Variabel-variabel pendukung atau penghambat aliran perdagangan antara
negara pengimpor dan negara pengekspor.
Pada penerapan konsep gravity model ini, variabel yang mewakili total permintaan potensial negara pengimpor dapat digambarkan dengan GDP negara importir sedangkan variabel indikator total penawaran potensial negara pengekspor dapat digambarkan dengan GDP negara pengekspor. Akan tetapi, dapat pula digunakan GDP per kapita sebagai pengganti variabel GDP. Sementara itu, variabel pendukung atau penghambat aliran perdagangan antara negara pengimpor dan negara pengekspor adalah adanya variabel jarak, harga ekspor komoditi dan nilai tukar (exchange rate) antar dua negara.
1. GDP Per Kapita
GDP per kapita merupakan ukuran berapa banyak perolehan pendapatan setiap individu dalam perekonomian. Untuk mengetahui kemampuan daya beli negara tujuan ekspor terhadap produk yang diekspor digunakan variabel GDP per kapita riil sebab pada GDP per kapita riil memperhatikan adanya pengaruh dari harga, sedangkan GDP per kapita nominal merupakan nilai GDP yang tidak memperhatikan adanya pengaruh dari harga. Dengan demikian, tingkat konsumsi atau kemampuan daya beli suatu negara atas suatu komoditi dapat diukur dari pendapatan per kapita riil suatu negara. Jika pendapatan per kapita suatu negara dinilai cukup tinggi, maka dapat dikatakan suatu negara tersebut merupakan pasar potensial bagi pemasaran suatu komoditi ataupun produk tertentu.
2. Populasi
Pertambahan populasi atau penduduk dapat mempengaruhi ekspor melalui dua sisi, yaitu sisi penawaran dan sisi permintaan. Pada sisi penawaran, pertambahan penduduk dapat menyebabkan terjadinya penambahan tenaga kerja
(17)
17
untuk melakukan proses produksi suatu komoditi/produk yang akan diekspor. Sedangkan pada sisi permintaan, pertambahan penduduk akan menyebabkan bertambah besarnya permintaan akan komoditi/produk yang diekspor.
3. Jarak Ekonomi
Jarak adalah faktor geografi yang menjadi variabel utama dalam gravity model untuk analisis aliran perdagangan bilateral. Variabel jarak ini merupakan indikasi dari biaya transportasi yang dihadapi oleh suatu negara dalam melakukan ekspor. Semakin jauh jarak, semakin besar biaya transportasi dan semakin rendah nilai ekspornya. Jika biaya transportasi terlalu mahal maka nilai perdagangan akan menurun bersamaan dengan penurunan keuntungan. Adapun jarak yang digunakan adalah jarak ekonomi dengan perhitungan sebagai berikut:
Jarak Ekonomi = Jarak geografis antar negara X ∑ GDP negara j
n
1
GDP negara j
4. Nilai Tukar
Nilai tukar (exchange rate) atau kurs diantara dua negara adalah harga dimana penduduk kedua negara saling melakukan perdagangan. Nilai tukar yang digunakan pada pemodelan gravity model ini adalah nilai tukar riil yang merupakan nilai tukar nominal yang sudah dikoreksi dengan harga relatif, yaitu harga-harga di dalam negeri dibandingkan dengan harga-harga di luar negeri.
Nilai Tukar Riil = Nilai Tukar Nominal x IHK AS
IHK negara tujuan ekspor
Kondisi nilai tukar seperti terapresiasinya mata uang domestik negara tujuan ekspor terhadap Dollar Amerika membuat harga suatu produk relatif lebih murah. Hal ini mendorong terjadinya peningkatan nilai impor dari negara tujuan karena negara tujuan membutuhkan sedikit uang untuk membeli barang impor.
5. Harga Ekspor Relatif Komoditi
Harga ekspor relatif komoditi yang rendah atau lebih murah merupakan harga yang diinginkan oleh setiap negara. Dengan harga yang murah, mampu meningkatkan permintaan komoditi/produk yang diekspor ke negara tujuan.
(18)
2.9. Teori Model Data Panel
Metode data panel merupakan model ekonometrika yang menggabungkan informasi yang diperoleh dari data time series dan data cross section. Penggunaan data panel ini memiliki dua keuntungan (Firdaus, 2011), diantaranya:
1. Jumlah observasi menjadi lebih besar. Marginal effect dari peubah penjelas dilihat dari dua dimensi (individu dan waktu) sehingga parameter yang diestimasi akan lebih akurat dibandingkan dengan model lain. Secara teknis menurut Hsiao (2004), data panel dapat memberikan data yang informatif, mengurangi kolinearitas antarpeubah serta meningkatkan derajat kebebasan yang artinya meningkatkan efisiensi.
2. Keuntungan yang lebih penting dari penggunaan data panel adalah mengurangi masalah identifikasi. Data panel lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diatasi dalam data cross section saja atau time series saja. Data panel mampu mengontrol heterogenitas individu. Dengan metode ini estimasi yang dilakukan dapat secara eksplisit memasukkan unsur heterogenitas individu. Data panel juga lebih baik untuk studi dynamics of adjustment. Hal ini berkaitan dengan observasi pada cross section yang sama secara berulang, sehingga data panel lebih baik dalam mempelajari perubahan dinamis.
Dalam analisis data panel, terdapat tiga pendekatan yang terdiri dari pendekatan kuadrat terkecil (pooled least squre), model efek tetap (fixed effects model), dan model efek acak (random effects model). Pada pendekatan Fixed Effects Model (FEM) dan Random Effects Model (REM) dibedakan berdasarkan ada atau tidaknya korelasi antara komponen error dengan peubah bebas (regresor).
Misalkan: yit = αi + Xitβ + εit
Pada one way error components model, komponen error dispesifikasikan dalam bentuk: εit = λi + uit
Untuk two way error components model, komponen error dispesifikasikan dalam bentuk: εit = λi +µt + uit
(19)
19
Pada pendekatan one way, error term hanya memasukkan komponen error
yang merupakan efek dari individu ( i). Pada two way, dimasukkan efek dari
waktu (µt) ke dalam komponen error. Jadi perbedaan antara FEM dan REM
terletak pada ada atau tidaknya korelasi antara i dan µt dengan Xit.
1. Pooled Least Square (PLS)
Pada prinsipnya, pendekatan ini menggunakan gabungan dari seluruh data (pooled), sehingga terdapat N x T observasi, dimana N menunjukkan jumlah unit
cross section dan T menunjukkan jumlah time series yang digunakan. Model yang digunakan yaitu :
yit = αi + Xitβ + uit
Dengan mengumpulkan semua data cross section dan time series, dapat meningkatkan derajat kebebasan sehingga dapat memberikan hasil estimasi yang lebih efisien. Akan tetapi, pendekatan ini memiliki kelemahan yaitu dugaan parameter β akan bias. Hal ini ditunjukkan dari arah kemiringan PLS yang tidak sejajar dengan garis regresi dari masing-masing individu. Parameter yang bias ini disebabkan karena PLS tidak dapat membedakan observasi yang berbeda pada periode yang sama, atau tidak dapat membedakan observasi yang sama pada periode yang berbeda.
2. Fixed Effects Model (FEM)
FEM muncul ketika antara efek individu dan peubah penjelas memiliki korelasi dengan Xit atau memiliki pola yang sifatnya tidak acak. Asumsi ini
membuat komponen error dari efek individu dan waktu dapat menjadi bagian dari intersep, yaitu:
Untuk one way komponen error : yit = αi + i + Xitβ + uit Untuk two way komponen error : yit = αi + i + µt + Xitβ + uit
Penduga pada FEM dapat dihitung dengan teknik : Pooled Least Square (PLS), Within Group (WG), Least Square Dummy Variable (LSDV), Two Way Error Components Fixed Effect Model.
(20)
3. Random Effects Model (REM)
REM muncul ketika antara efek individu dan regresor tidak ada korelasi. Asumsi ini membuat komponen error dari efek individu dan waktu dimasukkan ke dalam error.
Untuk one way error component : yit = αi + Xitβ + uit+ i
Untuk two way error component : yit = αi + Xitβ + uit+ i + t
Terdapat dua jenis pendekatan yang digunakan untuk menghitung estimator REM, yaitu between estimator dan Generalized Least Square (GLS).
2.10.Tinjauan Penelitian Terdahulu 2.10.1.Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai Analisis Daya Saing dan Aliran Ekspor Produk Crude Coconut Oil (CCO) Indonesia oleh Andelisa (2011) menggunakan metode analisis Revealed Comparative Advantage (RCA), Export Product Dynamic
(EPD), dan Intra-Industry Trade (IIT) untuk meneliti daya saing selama periode 2005-2009. Selain itu, metode data panel dengan gravity model digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi aliran ekspor produk tersebut di negara-negara tujuan ekspor selama periode 2001-2009.
Penelitian yang dilakukan oleh Hafni (2011) mengenai Analisis Daya Saing dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Aliran Ekspor Pisang Indonesia
menggunakan metode Revealed Comparatif Advantage (RCA), Export Product Dynamic (EPD), dan Intra-Industry Trade (IIT) untuk menganalisis daya saing komoditi selama periode 2005-2009 dan pendekatan gravity model untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi aliran ekspor pisang Indonesia ke negara tujuan dengan data panel berupa time series tahun 2001-2009 dan cross section enam negara tujuan ekspor: Jepang, Hongkong, Singapura, Malaysia, Arab Saudi, dan Amerika Serikat serta menggunakan analisis fixed effect.
Penelitian yang dilakukan oleh Saptanto dan Soetjitpto (2009) mengenai
Analisis Model Ekspor Komoditas Perikanan Indonesia dengan Pendekatan Gravity Model menggunakan data panel dengan analisis fixed effect dengan data
(21)
21
cross section 28 negara mitra dagang dan data time series selama 12 tahun yaitu (1996-2007). Variabel-variabel yang digunakan adalah nilai ekspor riil, GDP nominal, jumlah penduduk, jarak relatif, nilai tukar riil efektif dan interaksi antara tarif dengan dummy integrasi ekonomi.
Penelitian yang dilakukan oleh Saptanto (2011) mengenai Daya Saing Ekspor Produk Perikanan Indonesia di Lingkup ASEAN dan ASEAN-China
menggunakan metode analisis Revealed Comparatif Advantage (RCA). Data yang digunakan adalaha data dari tahun 2000 hingga 2008. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat ASEAN maupun ASEAN-China, produk Indonesia yang memiliki daya saing adalah produk dengan kode HS 03 (ikan, udang-udangan, hewan lunak, invertebrata perairan), HS 710110 (mutiara dari alam yang belum diolah), HS 710121 (mutiara budidaya yang belum diolah), dan HS 121220 (rumput laut dan alga lainnya). Dari hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa Indonesia masih lemah dalam hal ekspor produk yang memiliki nilai tambah.
Penelitian mengenai Daya Saing Produk Perikanan Indonesia di Beberapa Negara Importir Utama dan Dunia oleh Ramadhan (2011) menggunakan metode
Revealed Comparative Advantage (RCA) untuk menganalisis keunggulan komparatif dan metode Export Product Dynamic (EPD) untuk menganalisis posisi daya saing pada setiap produk perikanan Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Gumilar (2010) mengenai Daya Saing Komoditi Sayuran Utama Indonesia di Pasar Internasional menggunakan metode Revealed Comparative Advantage
(RCA), Export Product Dynamic (EPD), dan Constant Market Share Analysis
(CMSA).
2.10.2.Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan mengenai Analisis Potensi Ekspor Produk Makanan dan Minuman Olahan Indonesia Di Pasar Non-Tradisional Asia ini mempunyai beberapa perbedaan dengan penelitian-penelitian terdahulu. Pertama,
produk yang dianalisis adalah produk makanan dan minuman olahan yang mencakup lima produk, yaitu produk roti, kue, biskuit, dan produk lainnya yang sejenis; kembang gula; saus, bumbu campuran, dan penyedap campuran; jus buah
(22)
dan jus sayuran; dan teh. Kedua, negara yang diteliti adalah negara-negara non-tradisional Asia yang mencakup sepuluh negara Asia, yaitu Bahrain, India, Kamboja, Lebanon, Sri Lanka, Macao, Malaysia, Pakistan, Thailand, dan Turki.
Ketiga, periode waktu analisis adalah tahun 2003-2010.
2.11.Kerangka Pemikiran
Kondisi ekspor produk makanan dan minuman olahan yang mengalami penurunan di sejumlah negara tradisional (sebagai tujuan utama ekspor) menyebabkan industri makanan dan minuman dalam negeri perlu melakukan pengembangan di sejumlah negara non-tradisional (sebagai negara tujuan ekspor alternatif) untuk dapat terus meningkatkan ekspornya dan tetap memberikan kontribusi terhadap ekspor non migas.
Pasar non-tradisional Asia merupakan salah satu pasar potensial dimana jarak yang dekat dan kebutuhan masyarakat non-tradisional Asia yang tidak jauh berbeda dengan masyarakat Indonesia dapat mempermudah para pengusaha makanan dan minuman olahan Indonesia dalam memproduksi dan mengekspor produk makanan dan minuman olahan ke pasar non-tradisional Asia tersebut. Namun, untuk melakukan pengembangan ekspor ke pasar non-tradisional Asia perlu dilakukan suatu analisis terhadap potensi pasar non-tradisional Asia dan terhadap produk makanan dan minuman olahan yang diekspor.
Untuk mengetahui potensi ekspor produk makanan dan minuman olahan Indonesia di pasar non-tradisional Asia digunakan tiga metode analisis, yaitu: metode Export Product Dynamic (EPD) untuk menganalisis negara-negara non-tradisional Asia yang berpotensi sebagai tujuan ekspor produk makanan dan minuman olahan Indonesia, metode Revealed Comparative Advantage (RCA) untuk mengukur daya saing yang dihadapi dalam mengembangkan produk makanan dan minuman olahan di negara-negara tersebut, dan Gravity Model
untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor produk makanan dan minuman olahan di pasar non-tradisional Asia.
Dari hasil analisis ini diharapkan diperoleh implikasi kebijakan yang cocok dan bermanfaat bagi pengembangan ekspor produk makanan dan minuman olahan Indonesia di pasar non-tradisional Asia. Untuk memperjelas rangkaian
(23)
23
analisis yang dilakukan, maka disajikan dalam bentuk kerangka pemikiran penelitian seperti pada Gambar 2.2.
Keterangan: mamin = makanan dan minuman
Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran Penelitian
Ekspor Produk Makanan dan Minuman Olahan
Potensi negara-negara non-tradisional Asia
Gravity model:
- GDP per kapita riil negara tujuan ekspor
- Populasi negara tujuan ekspor - Jarak ekonomi
- Nilai tukar riil
- Harga ekspor relatif produk i
- Nilai ekspor tahun ke-(t-1) Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor produk mamin olahan Daya saing produk
makanan dan minuman olahan
Metode RCA Metode
EPD
Implikasi Kebijakan Pasar
Tradisional
Pasar Non-Tradisional Asia
(24)
2.12.Hipotesis Penelitian
Hipotesis dalam penelitian ini didasarkan pada teori-teori yang ada dan beberapa penelitian terdahulu. Hipotesis tersebut diantaranya:
1. GDP per kapita riil negara tujuan ekspor berpengaruh positif terhadap permintaan ekspor produk makanan dan minuman olahan Indonesia.
2. Populasi penduduk negara tujuan ekspor berpengaruh positif terhadap permintaan ekspor produk makanan dan minuman olahan Indonesia.
3. Jarak ekonomi berpengaruh negatif terhadap permintaan ekspor produk makanan dan minuman olahan Indonesia.
4. Nilai tukar mata uang negara tujuan ekspor terhadap dolar Amerika Serikat berpengaruh positif.
5. Harga ekspor relatif produk makanan dan minuman olahan berpengaruh negatif terhadap permintaan ekspor produk makanan dan minuman olahan Indonesia.
6. Nilai ekspor tahun sebelumnya berpengaruh positif terhadap permintaan ekspor produk makanan dan minuman olahan Indonesia.
(25)
BAB III
METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang terdiri dari data time series tahunan selama periode tahun 2003-2010 dan data cross section sepuluh negara non-tradisional Asia. Sumber data yang diperoleh berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS), UN Commodity and Trade Database, WDI (World Development Indicator) dari World Bank, Kementerian Perdagangan, Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) dan CEPII database. Selain itu, data pendukung lainnya diperoleh melalui berbagai literatur serta sumber-sumber lain yang relevan.
Data mengenai ekspor produk makanan dan minuman olahan yang diteliti dalam penelitian ini diperoleh dari UN Comtrade dengan kode Harmonized System (HS 2002) seperti pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Kode Produk Makanan dan Minuman Olahan dalam Harmonized System (HS)
No Komoditi Kode HS
1 Roti, kue, biskuit, dan produk lainnya 1905 yang sejenis
2 Kembang gula 1704
3 Jus buah dan jus sayuran 2009
4 Teh 0902
Sumber : UN Comtrade, 2012
3.2. Metode Analisis
Penelitian ini menggunakan metode analisis kuantitatif. Metode analisis kuantitatif yang digunakan adalah metode Export Product Dynamic (EPD), Revealed Comparative Advantage (RCA), dan gravity model. Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan program komputer Microsoft Excel dan Eviews 6.
3.2.1. Export Product Dynamics (EPD)
Salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran yang baik tentang tingkat daya saing adalah Export Product Dynamics (EPD). Indikator ini
(26)
mengukur posisi pasar dari produk suatu negara untuk tujuan pasar tertentu. Ukuran ini mempunyai kemampuan untuk membandingkan kinerja ekspor diantara negara-negara di seluruh dunia. Sebuah matriks EPD terdiri dari daya tarik pasar dan informasi kekuatan bisnis. Daya tarik pasar dihitung berdasarkan pertumbuhan dari permintaan sebuah produk untuk tujuan pasar tertentu, dimana informasi kekuatan bisnis diukur berdasarkan pertumbuhan dari perolehan pasar (market share) sebuah negara pada tujuan pasar tertentu. Kombinasi dari daya tarik pasar dan kekuatan bisnis ini menghasilkan karakter posisi dari produk yang ingin dianalisis ke dalam empat kategori. Keempat kategori itu adalah “Rising Star”, “Falling Star”, “Lost Opportunity”, dan “Retreat” (Bappenas, 2009).
Posisi pasar yang ideal adalah yang mempunyai pangsa pasar tertinggi pada ekspornya sebagai “Rising Star” atau “bintang terang”, yang menunjukkan bahwa negara tersebut memperoleh tambahan pangsa pasar pada produk mereka yang bertumbuh cepat (fast-growing products). “Lost Opportunity” atau “kesempatan yang hilang”, terkait dengan penurunan pangsa pasar pada produk-produk yang dinamis, adalah posisi yang paling tidak diinginkan. “Falling Star” atau “bintang jatuh” juga tidak disukai, meskipun masih lebih baik jika dibandingkan dengan “Lost Opportunity” atau “kesempatan yang hilang”, karena pangsa pasarnya tetap meningkat. Sementara itu, “Retreat” atau “kemunduran” biasanya tidak diinginkan, tetapi pada kasus tertentu 'mungkin' diinginkan jika pergerakannya menjauhi produk-produk yang stagnan dan menuju produk-produk yang dinamik (Bappenas, 2009).
Tabel 3.2. Matriks Posisi Daya Saing Share of Country’s Export in World
Trade (x)
Share of Product in World Trade (y)
Rising (Dynamic) Falling (Stagnant) Rising (Competitive) Rising Star Falling Star
Falling (Non-Competitive) Lost Opportunity Retreat Sumber : Esterhuizen, 2006 dalam Bappenas, 2009
Untuk lebih memahami matriks posisi daya saing dapat dilihat melalui tampilan Gambar 3.1 yang menggambarkan posisi pasar pada masing-masing
(27)
kuadran d pangsa pa Gam Catatan: Ad • Sumb Pertum • Sumb Pertum Keteranga Xij : N
Wij : N
Xt : N
Wt : N
T : Ju
Me tradisional
dengan sum sar produk.
mbar 3.1. Ke
Sumbu x m perdagangan Sumbu y m perdagangan dapun rumu bu x: mbuhan kek bu y: mbuhan day an : Nilai ekspor Nilai ekspor Nilai total ek Nilai total ek umlah tahun etode EPD l Asia yan
mbu x seba
ekuatan Bisn
enggambark n dunia. menggambar n dunia.
us yang digu
kuatan bisni
ya tarik pasa
produk i In produk i D kspor Indon kspor Dunia n analisis D ini digun
ng terdiri d Op
R
W X
t
t 1⎜⎜⎝ ⎛
∑
= W X t t 1 ⎜ ⎝ ⎛∑
= agai pangsanis dan Day
kan peningka
rkan pening
unakan dalam
is atau diseb
ar atau dise
ndonesia ke Dunia ke pas nesia ke pasa
a ke pasar n
nakan untuk dari Bahrain Lost portunity Retreat + 0 ‐ ‐ y W X t ij ij % 100 × ⎟⎟ ⎠ ⎞ Wt X t
t ⎟ ×100%
⎠ ⎞
a pasar eks
a Tarik Pas
atan pangsa p
gkatan pang
m perhitung
but pangsa p
ebut pangsa pasar non-t sar non-trad ar non-tradi non-tradision k mengana n, India, C
Rising Star
Falling Star
+ T W X t t ij ij
1 ⎟⎟⎠
⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ −
∑
= T Wt X t t t 1 ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ −∑
=spor dan su
sar dalam M
pasar ekspor
sa pasar pr
gan EPD ini
pasar ekspo pasar produ tradisional A disional Asia isional Asia nal Asia alisis sepulu Camboja, L
x t % 100 1 × − t % 100 1 × −
umbu y se
Metode EPD negara terte roduk terten i, diantaran or i: uk: Asia a a uh negara Lebanon, M
27 ebagai entu di ntu di ya: non-Macao,
(28)
Malaysia, Pakistan, Sri Lanka, Thailand, dan Turki yang berpotensi dijadikan negara tujuan ekspor produk makanan dan minuman olahan Indonesia dengan melihat daya saing serta performa dari produk makanan dan minuman olahan yang diekspor ke negara-negara tersebut.
3.2.2. Revealed Comparative Advantage (RCA)
Metode RCA merupakan metode analisis untuk menentukan keuntungan komparatif atau daya saing. Melalui analisis perhitungan RCA, posisi daya saing dari produk makanan dan minuman olahan Indonesia di pasar non-tradisional Asia dapat diketahui. Kinerja ekspor produk makanan dan minuman olahan Indonesia ke pasar non-tradisional Asia merupakan variabel yang diukur dengan menghitung pangsa nilai ekspor produk makanan dan minuman olahan Indonesia terhadap total ekspor ke pasar non-tradisional Asia yang selanjutnya dibandingkan dengan pangsa nilai ekspor dunia ke pasar non-tradisional Asia. Sehingga dapat diketahui secara kuantitatif kemampuan ataupun ketidakmampuan produk makanan dan minuman olahan Indonesia bersaing di pasar non-tradisional Asia. Adapun metode perhitungan RCA adalah sebagai berikut:
Xijt / Xjt RCA =
Wijt / Wjt
Dimana :
Xijt : Nilai ekspor produk i Indonesia ke pasar non-tradisional Asia
Xjt : Nilai total ekspor Indonesia ke pasar non-tradisional Asia
Wijt : Nilai ekspor produk i dunia ke pasar non-tradisional Asia
Wjt : Nilai total ekspor dunia ke pasar non-tradisional Asia
• Jika nilai RCA>1, menyatakan bahwa produk-produk tersebut memiliki keunggulan komparatif atau berdaya saing kuat.
• Jika nilai RCA<1, menyatakan bahwa produk-produk tersebut tidak memiliki keunggulan komparatif atau berdaya saing lemah.
(29)
29
3.2.3. Estimasi Gravity Model 3.2.3.1. Perumusan Model
Dalam penelitian ini, faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor produk makanan dan minuman olahan Indonesia di pasar non-tradisional Asia dianalisis dengan menggunakan gravity model melalui metode regresi data panel dengan model logaritma.
Variabel-variabel yang diduga mempengaruhi permintaan ekspor produk makanan dan minuman olahan Indonesia di pasar non-tradisional Asia, yaitu GDP per kapita riil negara tujuan ekspor, populasi penduduk negara tujuan ekspor, jarak ekonomi, nilai tukar riil mata uang negara tujuan ekspor terhadap dolar Amerika Serikat, harga ekspor relatif komoditi dan nilai ekspor tahun sebelumnya. Dengan demikian, model ekonometrika untuk faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor produk makanan dan minuman olahan Indonesia di pasar non-tadisional Asia adalah sebagai berikut:
Ln Xijt = β0 + β1 Ln GDPCjt + β2 Ln POPjt + β3 Ln JEijt + β4 Ln ERijt + β5
Ln HRit+ β6 Ln Xij(t-1) + εit
Dimana:
β0 : Intersep
β1,β2, …, β5 : Koefisien variabel-variabel independen yang diuji secara statistik
dan ekonometrika
Xijt : Nilai ekspor produk i Indonesia ke negara tujuan tahun ke-t (US$)
GDPCjt : GDP per kapita riil negara tujuan pada tahun ke-t (US$)
POPjt : Populasi negara tujuan pada tahun ke-t (orang)
JEijt : Jarak ekonomi pada tahun ke-t (km)
ERijt : Nilai tukar riil pada tahun ke-t (mata uang negara tujuan/US$)
HRijt : Harga ekspor relatif komoditi i ke negara tujuan pada tahun ke-t
(US$/kg)
Xij(t-1) : Nilai ekspor pada tahun sebelumnya, ke t-1 (US$)
(30)
3.2.3.2. Pemilihan Model dalam Pengolahan Data Panel
Dalam melakukan pemilihan model untuk sebuah penelitian diperlukan dasar pertimbangan statistik. Hal ini ditujukan untuk memperoleh dugaan yang efisien. Pengujian statistik pemilihan model dalam pengolahan data panel meliputi:
1. Chow Test
Chow test adalah pengujian untuk memilih apakah model Pooled Least Square atau Fixed Effect Model yang digunakan. Dalam pengujian ini dilakukan hipotesa sebagai berikut:
H0 : Model Pooled Least Square (PLS)
H1 : Model Fixed Effect (FEM)
Dasar penolakan terhadap H0 adalah dengan menggunakan F-statistik seperti yang
dirumuskan oleh Chow:
Chow = E E – E / N / NN K Dimana:
ESS1 = Residual Sum Square hasil pendugaan model PLS
ESS2 = Residual Sum Square hasil pendugaan FEM
N = Jumlah data cross section T = Jumlah data time series K = Jumlah variabel penjelas
Statistik Chow Test mengikuti distribusi F-statistik dengan derajat bebas (N-1, NT-N-K) jika nilai Chow statistic (stat) hasil pengujian lebih besar dari F-tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0 sehingga model
yang digunakan adalah fixed effect model dan begitu juga sebalinya.
2. Hausman Test
Hausman test adalah pengujian untuk memilih apakah Random Effect Model atau Fixed Effect Model yang digunakan. Model fixed effect mengandung unsur trade off, yaitu hilangnya unsur derajat bebas dengan memasukkan variabel
(31)
31
dummy. Namun, penggunaan model random effect juga harus memperhatikan ketiadaan pelanggaran asumsi dari setiap komponen galat. Berikut ini hipotesa Hausman test:
H0 : Model Random Effect
H1 : Model Fixed Effect
Sebagai dasar penolakan H0, maka digunakan statistik Hausman dan
membandingkannya dengan Chi-Square. Statistik Hausman dirumuskan sebagai berikut:
m = (β – b) (M0 – M1)-1 (β – b) ~χ2 (K)
dimana β adalah vektor statistik variabel fixed effect, b adalah vektor statistik variabel random effect, M0 adalah matriks kovarians untuk dugaan fixed effect
model, dan M1 adalah matriks kovarians untuk dugaan random effect model.
Jika nilai m hasil pengujian lebih besar dari χ2-tabel, maka cukup bukti melakukan penolakan terhadap H0 sehingga model yang digunakan adalah model
fixed effect dan begitu pula sebaliknya.
3. LM Test
LM test (The Breusch-Pagan LM Test) adalah pengujian untuk memilih apakah Random Effect Model atau Pooled Least Square yang digunakan. Pengujian hipotesisnya sebagai berikut:
H0 : Model Pooled Least Square
H1 : Model Random Effect
Dasar penolakan H0 dengan cara membandingkan antara nilai statistik LM
dengan nilai Chi-square. Apabila nilai LM hasil perhitungan lebih besar dari χ2 -tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0 sehingga model
yang akan digunakan adalah random effect model, dan sebaliknya.
3.2.3.3. Pengujian Asumsi Model dan Pengujian Hipotesis
Untuk dapat menghasilkan model yang efisien, tidak bias, dan konsisten, maka perlu dilakukan pendeteksian terhadap pelanggaran asumsi dasar model
(32)
ekonometrika dengan melakukan pengujian asumsi pada model menyangkut uji multikolinearitas, uji autokorelasi, dan uji heteroskedastisitas.
A. Pengujian Asumsi Model 1. Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas merupakan suatu penyimpangan asumsi akibat adanya keterkaitan atau hubungan linear antar variabel bebas penyusun model. Suatu model regresi dikatakan memiliki gejala multikolinearitas jika terdapat beberapa indikasi berikut ini (Gujarati, 1978):
a. Nilai R2 tinggi (misalnya antara 0,7 dan 1), tetapi variabel bebas banyak yang tidak signifikan.
b. Tanda tidak sesuai yang diharapkan.
c. Korelasi sederhana antar variabel individu tinggi (Rij tinggi).
d. R2 < rij menunjukkan adanya multikolinearitas.
Terdapat beberapa cara mengatasi masalah multikolinearitas, diantaranya: a. Menggunakan informasi sebelumnya
b. Mengkombinasikan data cross section dan data time series c. Menghilangkan variabel yang sangat berkorelasi
d. Mentransformasikan variabel e. Penambahan data baru
2. Uji Autokorelasi
Akibat adanya autokorelasi dalam model yang diestimasi, yaitu pendugaan parameter masih tetap tidak bias dan konsisten. Namun, penduga ini memiliki standar error yang bias ke bawah, atau lebih kecil dari nilai yang sebenarnya sehingga nilai statistik uji-t tinggi (overestimate). Salah satu cara untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menggunakan metode Generalized Least Square dalam estimasi model. Untuk mengetahui ada tidaknya masalah autokorelasi pada model dapat dilihat dari hasil uji Durbin-Watson (DW). Kisaran nilai Durbin-Watson (DW) yang mengindikasikan ada tidaknya masalah autokorelasi dapat dilihat pada Tabel 3.3.
(33)
33
Tabel 3.3. Selang Nilai Statistik Durbin-Watson serta Keputusannya Nilai Durbin-Watson Kesimpulan
DW < 1,10 Ada autokorelasi
1,10 < DW < 1,54 Tanpa kesimpulan 1,55 < DW < 2,46 Tidak ada autokorelasi 2,46 < DW < 2,90 Tanpa kesimpulan
DW > 2,91 Ada autokorelasi
Sumber: Firdaus, 2004
3. Uji Heteroskedastisitas
Jika seluruh faktor pengganggu pada model tidak memiliki varian yang konstan maka diduga model mengalami masalah heteroskedastisitas atau dengan kata lain, heteroskedastisitas terjadi jika ragam sisaan tidak konstan. Mendeteksi adanya heteroskedastisitas adalah dengan membandingkan Sum Square Resid pada Weighted Statistics dengan Sum Squared Resid pada Unweighted Statistics. Jika Sum Square Resid pada Weighted Statistics < Sum Squared Resid pada Unweighted Statistics, maka terjadi heteroskedastisitas. Untuk mengatasi masalah ini digunakan metode White Heteroscedasticity yang diestimasi dengan Generalized Least Square (GLS).
B. Pengujian Hipotesis
Adapun kriteria yang ditentukan untuk dapat menguji model yang dianalisis sudah baik atau tidak baik, yaitu (Juanda, 2009):
1. Uji-F
Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah variabel independen di dalam model secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel dependen yang digunakan. Perumusan hipotesis yang digunakan adalah:
H0 : β1 = β2 = β3 = βk = 0
H1 : Minimal ada satu nilai β yang tidak sama dengan nol
Kriteria ujinya adalah jika Fhitung > Ftabel,α,(k-1)(n-k) maka tolak H0, dimana k
adalah jumlah variabel (dengan intercept) dan jumlah observasi yang dilambangkan dengan huruf n. selain itu, jika probabilitas (p-value) < taraf nyata,
(34)
maka sudah cukup bukti untuk menolak H0. Jika tolak H0 berarti secara
bersama-sama variabel bebas dalam model berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas pada taraf nyata α persen, demikian pula sebaliknya.
2. Uji-t
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah variabel independen secara individu (masing-masing) berpengaruh signifikan atau tidak terhadap variabel independen. Hipotesis yang digunakan sebagai berikut:
H0 : βk = 0
H1 : βk≠ 0
Kriteria uji yang digunakan adalah jika │thitung│> tα/2,(n-k) maka tolak
H0, dimana jumlah observasi dilambangkan dengan huruf n, dan huruf k
melambangkan jumlah variabel (termasuk intercept). Selain itu, jika probabilitas (p-value) lebih kecil dari taraf nyata maka dapat digunakan juga untuk menolak H0. Jika tolak H0 berarti variabel bebas dalam model berpengaruh nyata terhadap
variabel tidak bebas pada taraf nyata α persen, demikian pula sebaliknya.
3. Koefisien Determinasi
Koefisien determinasi (R2) digunakan untuk mengetahui besarnya daya menerangkan dari variabel independen terhadap variabel dependen pada model. Nilai R2 berkisar antara nol sampai 1 (0<R2<0), dengan nilai yang semakin mendekati satu menunjukkan bahwa model yang terbentuk mampu menjelaskan keragaman dari variabel dependen, demikian pula dengan sebaliknya. Adapun persamaan dari koefisien determinasi ini adalah sebagai berikut:
R-square = Dimana :
RSS = jumlah kuadrat regresi TSS = jumlah kuadrat total
(35)
BAB IV
GAMBARAN UMUM
4.1. Perkembangan Ekspor Produk Makanan dan Minuman Olahan Indonesia di Pasar Non-Tradisional Asia periode 2002-2010
Ekspor produk makanan dan minuman olahan Indonesia di pasar non-tradisional Asia selama periode tahun 2002-2010 mengalami fluktuasi. Adapun berbagai perkembangan nilai ekspor produk makanan dan minuman olahan Indonesia di pasar non-tradisional Asia ditunjukkan oleh tampilan gambar grafik dengan kode HS1905 sebagai produk roti, kue, biskuit, dan produk lainnya yang sejenis; HS1704 sebagai kembang gula; HS2009 sebagai jus buah dan jus sayuran; dan HS0902 sebagai teh.
4.1.1. Perkembangan Ekspor Produk Makanan dan Minuman Olahan Indonesia di Bahrain
Ekspor produk makanan dan minuman olahan Indonesia di Bahrain berfluktuasi setiap tahunnya. Selama tahun 2006 hingga tahun 2009 ekspor produk roti, kue, biskuit, dan produk lainnya yang sejenis selalu mengalami peningkatan dari US$ 93,32 ribu pada tahun 2006 menjadi US$ 654,63 ribu pada tahun 2009. Akan tetapi, nilai ekspor produk roti, kue, biskuit, dan produk lainnya yang sejenis mengalami penurunan ekspor pada tahun 2010 sebesar 44,56 persen atau mencapai nilai US$ 362,92 ribu dibandingkan tahun 2009 yang mencapai US$ 654,63 ribu.
Sementara itu, nilai ekspor produk kembang gula dari tahun 2008 hingga tahun 2009 mengalami peningkatan ekspor. Nilai ekspor yang diperoleh pada tahun 2008 mencapai US$ 285,48 ribu, US$ 378,21 ribu pada tahun 2009 dan US$ 780,24 ribu pada tahun 2010. Sedangkan, peningkatan nilai ekspor yang besar terhadap produk jus buah dan jus sayuran terjadi pada tahun 2007 dengan nilai sebesar US$ 107,76 ribu dan pada tahun 2010 sebesar US$ 211,49 ribu. Namun, perkembangan nilai ekspor produk teh di Bahrain sangat tidak baik dimana Bahrain hanya melakukan impor teh Indonesia pada tahun 2005 sebesar US$ 2,03 ribu, tahun 2007 sebesar US$ 22,03 ribu, dan tahun 2010 sebesar US$ 0,44 ribu.
(36)
Sumber: UN Comtrade, 2012
Gambar 4.1. Perkembangan Nilai Ekspor Produk Makanan dan Minuman Olahan Indonesia di Bahrain, 2002-2010
4.1.2. Perkembangan Ekspor Produk Makanan dan Minuman Olahan Indonesia di India
Perkembangan nilai ekspor produk makanan dan minuman olahan Indonesia di India selama periode tahun 2002-2010 menunjukkan bahwa produk teh merupakan produk yang paling besar diekspor ke India. Namun, selama perkembangannya produk ini mengalami penurunan di tahun 2010 dari US$ 5.080 ribu atau sekitar US$ 5,1 juta pada tahun 2009 menjadi US$ 4.212,25 ribu atau sekitar US$ 4,2 juta. Sementara itu, produk roti, kue, biskuit, dan produk lainnya yang sejenis selama tahun 2006 hingga tahun 2010 selalu mengalami peningkatan dari US$ 248,37 ribu pada tahun 2006 menjadi US$ 1.990,02 ribu atau sekitar US$ 1,99 juta pada tahun 2010. Peningkatan nilai ekspor pada tahun 2010 di India pun terjadi pada produk kembang gula dan produk jus buah dan jus sayuran. Akan tetapi, selama tahun 2004 sampai tahun 2010 ekspor produk kembang gula ke India selalu mengalami peningkatan dari US$ 122,69 ribu pada tahun 2004 hingga mencapai nilai US$ 1.904,75 ribu atau sekitar US$ 1,9 juta pada tahun 2010. Peningkatan pasca krisis ekonomi global tahun 2008, yakni pada tahun 2010 ekspor kembang gula meningkat sebesar 89,22 persen dibandingkan tahun 2009 yang nilai ekspornya mencapai US$ 1 juta. Sedangkan, produk jus buah dan jus sayuran berfluktuasi namun diakhiri dengan peningkatan nilai ekspor pada tahun 2010 sebesar US$ 230,65 ribu dibandingkan tahun sebelumnya yakni tahun 2009 yang mencapai nilai sebesar US$ 72,74 ribu.
0.000 200.000 400.000 600.000 800.000 1000.000
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Nilai
Ekspor
(ribu
US$)
(37)
37
Sumber: UN Comtrade, 2012
Gambar 4.2. Perkembangan Nilai Ekspor Produk Makanan dan Minuman Olahan Indonesia di India, 2002-2010
4.1.3. Perkembangan Ekspor Produk Makanan dan Minuman Olahan Indonesia di Camboja
Ekspor produk makanan dan minuman olahan Indonesia di Camboja diawali pada tahun 2004 dari periode tahun analisis, yakni tahun 2002-2010. Namun, untuk produk jus buah dan jus sayuran di Camboja selama tahun analisis diperoleh nilai perdagangan yang dimulai di tahun 2007. Perkembangan nilai ekspor produk roti, kue, biskuit, dan produk lainnya yang sejenis di Camboja selama tahun 2006 sampai tahun 2010 selalu mengalami peningkatan permintaan ekspor. Nilai ekspor yang diperoleh pada tahun 2010 mencapai US$ 320,83 ribu dibandingkan tahun sebelumnya, yakni tahun 2009 yang mencapai nilai ekspor sebesar US$ 89,75 ribu. Sementara itu, ekspor produk kembang gula selama tahun 2008 hingga tahun 2009 mengalami peningkatan ekspor. Nilai ekspor yang diperoleh pada tahun 2009 mencapai US$ 444,55 ribu dibandingkan tahun 2008 yang mencapai US$ 34,53 ribu. Namun, nilai ekspor pada tahun 2010 menurun sebesar 42,55 persen atau mencapai nilai sebesar US$ 255,41 ribu.
Sedangkan, perkembangan ekspor produk jus buah dan jus sayuran di Camboja sangat tidak baik karena ekspor yang dilakukan hanya terjadi pada tahun 2007 sebesar US$ 5,93 ribu, tahun 2008 sebesar US$ 1,55 ribu, dan tahun 2010 sebesar US$ 3,72 ribu. Namun, ekspor produk teh berfluktuasi dengan diakhiri peningkatan ekspor pada tahun 2010 sebesar US$ 8,59 ribu dibandingkan tahun 2009 yang mencapai nilai sebesar US$ 7,01 ribu.
0.000 2000.000 4000.000 6000.000
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Nilai
Ekspor
(ribu
US$)
(38)
Sumber: UN Comtrade, 2012
Gambar 4.3. Perkembangan Nilai Ekspor Produk Makanan dan Minuman Olahan Indonesia di Camboja, 2002-2010
4.1.4. Perkembangan Ekspor Produk Makanan dan Minuman Olahan Indonesia di Lebanon
Selama periode tahun analisis, Lebanon tidak melakukan impor produk teh dari Indonesia. Perkembangan ekspor produk roti, kue, biskuit, dan produk lainnya yang sejenis di Lebanon mengalami peningkatan ekspor yang besar pada tahun 2007 sebesar US$ 120,81 ribu dan pada tahun 2008 sebesar US$ 145,98 ribu. Akan tetapi, pada tahun 2009 ekspornya menurun menjadi US$ 75,54 ribu. Namun, pada tahun 2010 nilai ekspor produk roti, kue, biskuit, dan produk lainnya yang sejenis meningkat menjadi US$ 83,72 ribu. Meskipun peningkatan nilai ekspor tidak besar seperti yang terjadi pada tahun 2007 dan 2008, produk tersebut masih dapat dilakukan pengembangan ekspor ke Lebanon.
Perkembangan nilai ekspor produk kembang gula di Lebanon pun berfluktuasi. Namun, selama tahun 2006 hingga tahun 2010 ekspor kembang gula ke Lebanon meningkat. Pada tahun 2010 nilai ekspornya mencapai US$ 1.560,73 ribu atau sekitar US$ 1,56 juta dibandingkan tahun 2009 yang mencapai US$ 1.024,10 atau sekitar US$ 1,02 juta. Perkembangan nilai ekspor produk jus buah dan jus sayuran di Lebanon tidak terlalu bagus dimana selama tahun 2005 hingga tahun 2008 dan tahun 2010 tidak diperoleh nilai perdagangan atas produk tersebut. Nilai ekspor yang diperoleh pada tahun 2004 mencapai US$ 215 ribu dibandingkan tahun 2003 yang mencapai US$ 55,17 ribu. Sedangkan pada tahun 2009 nilai ekspornya mencapai US$ 169,10 ribu.
0.000 100.000 200.000 300.000 400.000 500.000
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Nilai
Ekspor
(ribu
US$)
(39)
39
Sumber: UN Comtrade, 2012
Gambar 4.4. Perkembangan Nilai Ekspor Produk Makanan dan Minuman Olahan Indonesia di Lebanon, 2002-2010
4.1.5. Perkembangan Ekspor Produk Makanan dan Minuman Olahan Indonesia di Sri Lanka
Perkembangan ekspor produk makanan dan minuman olahan Indonesia di Sri Lanka mengalami fluktuasi setiap tahunnya. Produk roti, kue, biskuit, dan produk lainnya yang sejenis pada tahun 2008 mencapai nilai US$ 173,99 ribu namun pada tahun 2009 menurun menjadi US$ 115,57 ribu. Tetapi, pada tahun 2010 mengalami peningkatan dengan nilai ekspor yang dicapai sebesar US$ 166,91 ribu. Perkembangan ekspor produk kembang gula di Sri Lanka pun berfluktuasi dengan nilai ekspor terbesar diperoleh pada tahun 2002 sebesar US$ 446,18 ribu. Selama perkembangannya yang berfluktuasi, nilai ekspor produk kembang gula mengalami penurunan pada tahun 2010 menjadi US$ 94,16 ribu dibandingkan tahun 2009 yang mencapai nilai ekspor sebesar US$ 101,01 ribu.
Sementara itu, nilai ekspor produk jus buah dan jus sayuran selama periode waktu 2002 hingga 2010 mengalami perkembangan yang sangat tidak bagus. Nilai ekspor yang diperoleh dari hasil penjualan produk tersebut terdapat pada tahun 2003 sebesar US$ 0,07 ribu, tahun 2004 sebesar US$ 5,05 ribu, tahun 2006 mencapai US$ 21,68 ribu, dan tahun 2008 mencapai nilai sebesar US$ 0,20 ribu. Sedangkan, perkembangan nilai ekspor produk teh terbesar diperoleh pada tahun 2007 dengan mencapai nilai sebesar US$ 1,05 juta. Nilai ekspor produk teh pada tahun 2010 mencapai US$ 371,05 ribu dibandingkan tahun 2009 yang mencapai US$ 420,33 ribu.
0.000 500.000 1000.000 1500.000 2000.000
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Nilai
Ekspor
(ribu
US$)
(40)
Sumber: UN Comtrade, 2012
Gambar 4.5. Perkembangan Nilai Ekspor Produk Makanan dan Minuman Olahan Indonesia di Sri Lanka, 2002-2010
4.1.6. Perkembangan Ekspor Produk Makanan dan Minuman Olahan Indonesia di Macao
Perkembangan ekspor produk makanan dan minuman olahan Indonesia di Macao pun berfluktuasi, namun terjadi peningkatan ekspor yang besar pada produk jus buah dan jus sayuran sebesar US$ 2.681 ribu pada tahun 2010 dibandingkan tahun sebelumnya yang tidak terjadi perdagangan. Produk roti, kue, biskuit, dan produk lainnya yang sejenis dalam perkembangan ekspornya yang berfluktuasi diakhiri dengan penurunan pada tahun 2010 yang mencapai nilai ekspor sebesar US$ 192,14 ribu dibandingkan tahun 2009 yang mencapai US$ 211,43 ribu.
Penurunan nilai ekspor di tahun 2010 pun terjadi pada produk teh yang mencapai nilai ekspor sebesar US$ 0,67 ribu dibandingkan tahun 2009 yang mencapai nilai ekspor sebesar US$ 3,54 ribu. Namun, ekspor produk teh di Macao tidak terlalu baik karena tidak setiap tahunnya dilakukan ekspor, seperti pada tahun 2002, 2003, 2006 hingga 2008 tidak diperoleh nilai perdagangan ekspor ke negara tersebut. Sementara itu, produk kembang gula selama perkembangan ekspornya yang berfluktuasi pada tahun 2010 terjadi peningkatan nilai ekspor sebesar US$ 385,56 ribu dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu tahun 2009 yang mencapai nilai ekspor sebesar US$ 312,45 ribu.
0.000 500.000 1000.000 1500.000
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Nilai
Ekspor
(ribu
US$)
(41)
41
Sumber: UN Comtrade, 2012
Gambar 4.6. Perkembangan Nilai Ekspor Produk Makanan dan Minuman Olahan Indonesia di Macao, 2002-2010
4.1.7. Perkembangan Ekspor Produk Makanan dan Minuman Olahan Indonesia di Malaysia
Perkembangan ekspor produk makanan dan minuman olahan Indonesia di Malaysia cukup baik meskipun berfluktuasi setiap tahunnya. Selama berfluktuasi produk roti, kue, biskuit, dan produk lainnya yang sejenis dan produk teh pada akhir periode tahun, yaitu tahun 2010 mengalami peningkatan nilai ekspor masing-masing sebesar US$ 10,52 juta dan US$ 16,44 juta. Sedangkan, produk kembang gula dan produk jus buah dan jus sayuran mengalami penurunan pada tahun 2010 masing-masing mencapai nilai ekspor sebesar US$ 8,44 juta dan US$ 1,07 juta dibandingkan tahun 2009 yang mencapai US$ 8,83 juta untuk kembang gula dan US$ 1,16 juta untuk jus buah dan jus sayuran.
Sumber: UN Comtrade, 2012
Gambar 4.7. Perkembangan Nilai Ekspor Produk Makanan dan Minuman Olahan Indonesia di Malaysia, 2002-2010
0.000 1000.000 2000.000 3000.000
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Nilai
Ekspor
(ribu
US$)
HS1905 HS1704 HS2009 HS0902
0.000 5.000 10.000 15.000 20.000
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Nilai
Ekspor
(juta
US$)
(42)
4.1.8. Perkembangan Ekspor Produk Makanan dan Minuman Olahan Indonesia di Pakistan
Ekspor produk makanan dan minuman olahan Indonesia ke Pakistan terjadi pada tahun 2003. Selama perkembangannya yang berfluktuasi, terjadi peningkatan ekspor pada tahun 2010 pada produk roti, kue, biskuit, dan produk lainnya yang sejenis sebesar US$ 9,97 juta dibandingkan tahun 2009 yang mencapai US$ 22,76 ribu, produk kembang gula sebesar US$ 588,79 ribu dibandingkan tahun 2009 sebesar US$ 579,79 ribu, dan produk teh sebesar US$ 8,79 juta dibandingkan tahun 2009 yang mencapai US$ 7,60 juta. Sedangkan produk jus buah dan jus sayuran mengalami penurunan nilai ekspor dari US$ 154,83 ribu pada tahun 2009 menjadi US$ 106,22 ribu pada tahun 2010.
Sumber: UN Comtrade, 2012
Gambar 4.8. Perkembangan Nilai Ekspor Produk Makanan dan Minuman Olahan Indonesia di Pakistan, 2002-2010
4.1.9. Perkembangan Ekspor Produk Makanan dan Minuman Olahan Indonesia di Thailand
Ekspor produk makanan dan minuman olahan yang diteliti pada penelitian ini di Thailand pada tahun 2010 mengalami peningkatan ekspor. Produk roti, kue, biskuit, dan produk lainnya yang sejenis mengalami peningkatan mencapai US$
0.000 5000.000 10000.000 15000.000
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Nilai
Ekspor
(ribu
US$)
HS1905 HS1704
0.000 10000.000 20000.000
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Nilai
Ekspor
(ribu
US$)
(1)
4.2. Produk Kembang Gula
a. Hasil Output Dependent Variable: HS1704
Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 05/15/12 Time: 12:25
Sample: 2003 2010 Periods included: 8
Cross-sections included: 10
Total panel (balanced) observations: 80
Linear estimation after one-step weighting matrix
White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
GDPC 0.186754 0.101606 1.838017 0.0707
POP 0.872768 0.486336 1.794580 0.0774
JE -0.473356 0.311311 -1.520526 0.1333
ER 0.857332 0.617227 1.389006 0.1696
HR 0.548338 0.201784 2.717446 0.0085
X(t-1) 0.125093 0.025241 4.955881 0.0000
C -2.852326 7.766046 -0.367282 0.7146
Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables)
Weighted Statistics
R-squared 0.964852 Mean dependent var 48.82484 Adjusted R-squared 0.956614 S.D. dependent var 50.07692 S.E. of regression 1.436871 Sum squared resid 132.1343 F-statistic 117.1245 Durbin-Watson stat 1.673466
Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.606548 Mean dependent var 12.74722 Sum squared resid 228.4247 Durbin-Watson stat 1.974255
(2)
98
b. Hasil Chow Test dan Hausman Test
Redundant Fixed Effects Tests Equation: EQ01
Test cross-section fixed effects
Effects Test Statistic d.f. Prob.
Cross-section F 10.033543 (9,64) 0.0000
Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: EQ01
Test cross-section random effects
Test Summary
Chi-Sq.
Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 0.000000 6 1.0000
Negara Fixed Effect (Cross)
Bahrain 6.875883
India -4.747961
Camboja -5.667345
Lebanon -0.768602
Sri Lanka -1.100597
Macao 4.130353
Malaysia 3.307893
Pakistan -1.623884
Thailand 0.545884
(3)
4.3. Produk Jus Buah dan Jus Sayuran Dependent Variable: HS2009
Method: Panel EGLS (Cross-section weights) Date: 05/15/12 Time: 20:07
Sample: 2003 2010 Periods included: 8
Cross-sections included: 10
Total panel (balanced) observations: 80
Linear estimation after one-step weighting matrix
White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
GDPC 1.244258 0.719453 1.729450 0.0880
POP 0.485821 0.182661 2.659691 0.0096
JE -1.251907 0.253890 -4.930914 0.0000
ER -0.359273 0.257916 -1.392982 0.1679
HR -0.792612 0.256713 -3.087540 0.0029
X(t-1) 0.107404 0.046132 2.328164 0.0227
C 4.796443 8.118767 0.590785 0.5565
Weighted Statistics
R-squared 0.689566 Mean dependent var 16.81291 Adjusted R-squared 0.664051 S.D. dependent var 19.00091 S.E. of regression 3.567984 Sum squared resid 929.3270 F-statistic 27.02575 Durbin-Watson stat 1.929995
Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.453278 Mean dependent var 7.653037 Sum squared resid 1112.874 Durbin-Watson stat 2.171277
(4)
100
4.4. Produk Teh Dependent Variable: HS0902 Method: Panel Least Squares Date: 05/15/12 Time: 22:26 Sample: 2003 2010
Periods included: 8
Cross-sections included: 10
Total panel (balanced) observations: 80
White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
GDPC -2.168623 0.375790 -5.770842 0.0000
POP -0.124958 0.356195 -0.350812 0.7267
JE -1.468767 0.300878 -4.881602 0.0000
ER -0.668859 0.124953 -5.352883 0.0000
HR 2.288660 0.350774 6.524595 0.0000
X(t-1) 0.307081 0.042959 7.148169 0.0000
C 45.19992 11.14391 4.056020 0.0001
R-squared 0.863548 Mean dependent var 9.962828 Adjusted R-squared 0.852333 S.D. dependent var 6.187004 S.E. of regression 2.377507 Akaike info criterion 4.653414 Sum squared resid 412.6352 Schwarz criterion 4.861842 Log likelihood -179.1366 Hannan-Quinn criter. 4.736979 F-statistic 76.99807 Durbin-Watson stat 1.798332
(5)
MARIA ULFAH. Analisis Potensi Ekspor Produk Makanan dan Minuman
Olahan Indonesia di Pasar Non-Tradisional Asia (dibimbing oleh SRI
MULATSIH).
Pasar non-tradisional Asia merupakan pasar potensial yang bisa dijadikan tujuan ekspor untuk meningkatkan ekspor Indonesia. Produk makanan dan minuman olahan merupakan salah satu produk dari industri makanan dan minuman yang memiliki kontribusi cukup besar terhadap ekspor non migas Indonesia. Agar produk makanan dan minuman olahan Indonesia tetap berkontribusi terhadap ekspor non migas maka industri makanan dan minuman perlu melakukan pengembangan ekspor ke pasar non-tradisional Asia. Untuk melakukan pengembangan ekspor produk makanan dan minuman olahan dibutuhkan suatu analisis agar dapat diketahui potensi ekspor produk tersebut di pasar non-tradisional Asia sehingga dapat diperoleh suatu kebijakan untuk meningkatkan ekspor ke pasar non-tradisional Asia tersebut.
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu Export Product
Dynamic (EPD), Revealed Comparative Advantage (RCA), dan gravity model
dengan pendekatan data panel. Jenis data yang digunakan terdiri dari data time
series selama periode 2003-2010 dan cross section sepuluh negara non-tradisional Asia, yaitu Bahrain, India, Kamboja, Lebanon, Sri Lanka, Macao, Malaysia, Pakistan, Thailand, dan Turki. Adapun produk makanan dan minuman olahan yang diteliti sebanyak empat produk yang diperoleh dari kode HS2002, yaitu produk roti, kue, biskuit, dan produk lainnya yang sejenis; produk kembang gula; produk jus buah dan jus sayuran; serta produk teh.
Hasil analisis EPD dan RCA menunjukkan bahwa produk roti, kue, biskuit, dan produk lainnya yang sejenis berpotensi ekspor ke Bahrain, India, Camboja, Macao, dan Thailand. Namun, produk ini memiliki daya saing yang lemah di Camboja. Selain itu, Malaysia juga berpotensi ekspor karena berdaya saing kuat dan terjadi peningkatan permintaan ekspor terhadap produk tersebut di Malaysia. Produk kembang gula berpotensi ekspor ke Bahrain, India, dan Camboja. Namun, produk ini juga memiliki daya saing yang lemah di Camboja. Sementara itu, Macao, Malaysia, Thailand, dan Turki juga berpotensi ekspor produk tersebut karena berdaya saing kuat dan terjadi peningkatan permintaan ekspor di keempat negara tersebut.
Produk jus buah dan jus sayuran berpotensi ekspor ke Bahrain, India, Malaysia, Thailand, dan Turki. Namun, produk ini berdaya saing kuat hanya di Turki. Camboja dan Macao juga berpotensi ekspor walaupun daya saing produk di kedua negara tersebut lemah, tetapi terjadi peningkatan permintaan ekspor atas produk tersebut di Camboja dan Macao. Sementara itu, produk teh berpotensi ekspor ke Camboja dan Thailand. Pada kedua negara potensial tersebut produk ini memiliki daya saing yang kuat. India, Malaysia, dan Turki juga berpotensi ekspor produk teh karena berdaya saing kuat dan terjadi peningkatan permintaan ekspor di negara-negara tersebut. Selain itu, Bahrain dan Macao juga masih dapat dijadikan tujuan ekspor produk teh walaupun daya saing di kedua negara tersebut lemah tetapi terjadi peningkatan permintaan ekspor produk teh.
(6)
Hasil analisis dengan gravity model diperoleh bahwa GDP per kapita riil negara non-tradisional Asia, populasi negara non-tradisional Asia, nilai tukar riil, harga ekspor relatif, dan nilai ekspor tahun sebelumnya mempengaruhi permintaan ekspor produk roti, kue, biskuit, dan produk lainnya yang sejenis. GDP per kapita riil negara non-tradisional Asia, populasi negara non-tradisional Asia, harga ekspor relatif, dan nilai ekspor tahun sebelumnya mempengaruhi permintaan ekspor produk kembang gula. GDP per kapita riil negara non-tradisional Asia, populasi negara non-non-tradisional Asia, jarak ekonomi, harga ekspor relatif, dan nilai ekspor tahun sebelumnya mempengaruhi permintaan ekspor produk jus buah dan jus sayuran. Sedangkan, GDP per kapita riil negara non-tradisional Asia, jarak ekonomi, nilai tukar riil, harga ekspor relatif, dan nilai ekspor tahun sebelumnya mempengaruhi permintaan ekspor produk teh.
Posisi pasar “Rising Star” dengan daya saing produk yang kuat pada
produk roti, kue, biskuit, dan produk lainnya yang sejenis di Bahrain, India, Macao, dan Thailand, pada produk kembang gula di Bahrain dan India, pada produk jus buah dan jus sayuran di Bahrain, India, Malaysia, dan Thailand, serta pada produk teh di Camboja dan Thailand, sebaiknya pemerintah mendorong industri makanan dan minuman dalam negeri untuk maintained pada posisi pasar yang sudah ideal dengan daya saing yang kuat tersebut.
Posisi pasar “Lost Opportunity” pada produk roti, kue, biskuit, dan produk
lainnya yang sejenis di Malaysia, pada produk kembang gula di Macao, Malaysia, Thailand, dan Turki, pada produk jus buah dan jus sayuran di Camboja dan Macao, serta produk teh di Bahrain, India, Macao, Malaysia, dan Turki, sebaiknya pemerintah mendorong industri makanan dan minuman untuk lebih produktif dalam memproduksi makanan dan minuman olahan dengan cara meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) melalui pelatihan keterampilan, kecekatan bekerja dan memberikan insentif bagi karyawan yang berproduktivitas tinggi, melakukan inovasi teknologi yang mampu menghasilkan produk dalam jumlah yang lebih banyak dengan tidak mengurangi mutu kualitas produk dan menjalin hubungan bilateral yang lebih kuat agar Indonesia memperoleh informasi yang baik mengenai kebutuhan impor negara tersebut dan mengenai strategi kebijakan ekonomi yang dilakukan negara importir lainnya sebagai bahan pembanding dan pembelajaran untuk dapat menerapkan strategi kebijakan yang lebih baik.
Produk yang memiliki daya saing yang lemah, seperti produk roti, kue, biskuit, dan produk lainnya yang sejenis serta produk kembang gula di Camboja, produk jus buah dan jus sayuran di Bahrain, India, Camboja, Macao, Malaysia, dan Thailand, serta produk teh di Bahrain dan Macao, sebaiknya dilakukan perbaikan iklim usaha dengan melakukan inovasi produk serta menambah daya tarik produk seperti memberikan identitas fisik pada produk yang dipasarkan agar produk memiliki ciri khas tersendiri sehingga mampu menarik perhatian pasar, melakukan efisiensi produk dan biaya produksi dengan tidak mengurangi kualitas produk yang baik dan bagus. Selanjutnya, melakukan kebijakan promosi ekspor dengan mensosialisasikan produk makanan dan minuman olahan Indonesia di pasar non-tradisional Asia. Sementara itu, untuk meningkatkan ekspor produk teh sebaiknya pemerintah melakukan kebijakan terhadap tarif ekspor yang menimbulkan biaya ekonomi tinggi, seperti tarif pungutan dan tarif pelabuhan yang harus dipangkas agar harga perdagangan pada produk teh yang mahal seperti teh hijau dan teh hitam menjadi tidak sangat mahal.