Studi Pembuatan Beras Analog Dari Berbagai Sumber Karbohidrat Menggunakan Teknologi Hot Extrusion

(1)

STUDY OF RICE ANALOGUE PRODUCTION FROM VARIOUS

CARBOHYDRATE SOURCES USING HOT EXTRUSION

TECHNOLOGY

Suba Santika Widara and Slamet Budijanto

Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural

Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220,

Bogor, West Java, Indonesia

Phone: +62 857 15872196, E-mail: susan.widara@gmail.com

Analog rice is artificial rice product made from non rice and non wheat raw

material by twin screw extruder. The objectives of this research were to formulate

and to characterize rice analog made from a mixture of sorghum, corn, mocaf,

maizena and aren sago. The method of rice analog production is hot extrusion by

twin screw extruder. The research steps were formulation of analog rice, hedonic

rating sensory evaluation to choose best sample, and characterization

physico-chemical of best sample. The best two samples were choosen. They were analog

rice made from sorghum flour 30% maizena 15% and aren sago 15% and analog

rice made from mocaf 30% and maizena 30%. Both of best samples had higher

carbohydrate and dietary fiber content than polished rice.


(2)

SUBA SANTIKA WIDARA. F24080046. Studi Pembuatan Beras Analog Dari Berbagai Sumber Karbohidrat Menggunakan Teknologi Hot Extrusion. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Slamet Budijanto, M. Agr. 2012.

RINGKASAN

Salah satu masalah diversifikasi pangan di Indonesia terutama diversifikasi makanan pokok adalah ketergantungan masyarakat terhadap beras. Hal tersebut disebabkan oleh pergeseran pola makanan pokok di Indonesia yang membuat beras sebagai makanan pokok tunggal (Ariani, 2010). Di lain pihak, Indonesia kaya akan produk sumber karbohidrat lain seperti jagung, singkong, sorgum, sagu, dan umbi-umbian lainnya. Bahan-bahan tersebut sudah digunakan sebagai bahan pangan, namun masih belum bisa menggantikan beras sebagai makanan pokok.

Kendala dalam mengonsumsi bahan tersebut sebagai bahan makanan pokok disebabkan tidak tersedinya dalam bentuk bahan yang mudah diolah, kurangnya pengetahuan gizi masyarakat, kurangnya kesiapan masyarakat secara psikologis untuk mengganti makanan pokok dan kurangya ketersediaan produk pangan yang memenuhi selera masyarakat. Masyarakat merasa bosan dengan cara konsumsi umbi-umbian yang belum bervariasi sehingga lebih memilih produk berbasis gandum sebagai pengganti beras (Hidayah, 2011). Untuk meningkatkan konsumsi bahan-bahan tersebut sebagai makanan pokok, salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah mengolah bahan-bahan tersebut menjadi produk yang dapat dikonsumsi seperti beras.

Salah satu produk olahan sumber karbohidrat non padi mirip beras yang dikembangkan akhir-akhir ini adalah beras tiruan atau beras analog. Beras tiruan adalah produk pangan berbentuk seperti beras dengan kandungan karbohidrat mendekati atau melebihi beras yang dapat terbuat dari tepung-tepungan lokal maupun beras (Samad, 2003; Deptan, 2011). Beras analog merupakan beras tiruan yang hanya terbuat dari tepung-tepungan selain beras (Budijanto dkk., 2011). Beras analog dapat meningkatkan diversifikasi makanan pokok tanpa mengubah kebiasaan makan masyarakat. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk memformulasi dan mengkarakterisasi kandungan gizi beras analog terbuat dari campuran tepung sorgum, mocaf, jagung, maizena dan sagu aren.

Penelitian ini terbagi menjadi tiga tahap yaitu (1) penelitian pendahuluan, (2) penelitian utama pembuatan beras analog, dan (3) karakterisasi beras analog. Penelitian pendahuluan yang dilakukan meliputi penentuan perbandingan jumlah tepung dan pati, penentuan jumlah air yang ditambahkan, dan penentuan jumlah GMS yang ditambahkan. Penelitian utama meliputi pembuatan beras analog, uji rating hedonik beras dan nasi beras analog untuk menentukan formula terbaik, dan tahap terakhir adalah karakterisasi (uji kimia dan fisik) beras analog formula terbaik.

Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa perbandingan jumlah pati dan tepung pada pembuatan beras tiruan adalah 30% pati dan 70% tepung. Pada penelitian pendahuluan juga diketahui bahwa tidak dapat digunakan satu jenis tepung, sehingga digunakan dua jenis tepung pada tiap formulasi yaitu tepung jagung dan tepung substitusi (sorgum dan mocaf) dengan perbandingan 4:3. Hasil penelitian pendahuluan juga menunjukkan jumlah air optimum adalah 50% dan jumlah GMS optimum adalah 2% dari jumlah total bahan (tepung + pati).

Penelitian utama dilakukan meliputi pembuatan dan uji sensori beras analog. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dengan membandingkan dua faktor yaitu jenis tepung substitusi dan jenis pati. Jenis tepung subtitusi yang digunakan adalah tepung sorgum dan tepung mocaf. Jenis pati yang digunakan adalah pati (sagu) aren, pati jagung (maizena) dan campuran keduanya. Kombinasi dari dua faktor tersebut menghasilkan enam formula. Keenam formula yang telah dibuat kemudian diuji sensori dalam


(3)

bentuk beras dan dalam bentuk nasi. Uji yang dilakukan adala uji rating hedonik menggunakan skala garis oleh 70 panelis tidak terlatih.

Berdasarkan uji rating hedonik, sampel yang memiliki tingkat kesukaan paling tinggi adalah beras formula B dan formula F. Formula B terdiri dari tepung jagung 40%, tepung sorgum 30%, maizena 15%, pati sagu aren 15% dan GMS 2%. Formula F terdiri dari tepung jagung 40%, mocaf 30%, maizena 30% dan GMS 2%. Formula terbaik dianalisis lebih lanjut sifat kimia dan sifat fisiknya. Sifat kimia meliputi kandungan gizi (analisis proksimat dan serat pangan), kadar pati dan amilosa. Sifat fisik meliputi warna, bobot 1000 butir dan densitas kamba.

Hasil uji proksimat menunjukkan bahwa beras formula B mengandung 10.58% kadar air (bk), 0.52% kadar abu (bk), 6.95% kadar protein (bk), 1.12% kadar lemak(bk), 91.60% kadar karbohidrat by difference dan kandungan serat pangan beras B adalah 4.00%. Kadar pati beras formula B adalah 64.48% dan kadar amilosanya adalah 21.72%. Hasil uji proksimat menunjukkan bahwa beras formula F mengandung 11.37% kadar air (bk), 0.52% kadar abu (bk), 3.96% kadar protein (bk), 0.86% kadar lemak(bk), 94.70% kadar karbohidrat by difference dan kandungan serat pangan beras F adalah 4.21%. Kadar pati beras formula F adalah 65.10% dan kadar amilosanya adalah 14.49%.

Hasil analisis warna beras analog mengugunakan alat Chromameter menunjukkan bahwa beras formula B memiliki warna dengan nilai L 60.08, a + 3.88 dan b +23.67 sehingga warna beras B berada pada kisaran warna kuning-merah. Beras formula F memiliki warna dengan nilai L 60.82, a + 5.05 dan b +25.93 sehingga warna beras F juga berada pada kisaran warna kuning-merah. Hasil analisis bobot 1000 butir beras formula adalah 18.84 g sedangkan beras F adalah 15.94 g. Hasil analisis densitas kamba beras B adalah 0.63 g/ml sedangkan beras F 0.58g/ml.


(4)

I. PENDAHULUAN

1.1

LATAR BELAKANG

Diversifikasi pangan adalah upaya penganekaragaman pola konsumsi pangan

mas

yarakat dalam rangka meningkatkan mutu gizi makanan yang dikonsumsi yang pada akhirnya akan meningkatkan status gizi penduduk (Almatsier 2001). Program diversifikasi pangan meliputi kegiatan pemanfaatan sumber daya alam hayati yang ada di Indonesia serta upaya promosi kepada masyarakat untuk mengonsumsi makanan yang beragam. Masalah utama diversifikasi pangan di Indonesia terutama diversifikasi makanan pokok adalah ketergantungan masyarakat terhadap beras.

Ketergantungan terhadap beras menjadi masalah disebabkan oleh tingkat konsumsi beras yang sangat tinggi namun tidak diimbangi dengan peningkatan produksi padi. Meskipun masyarakat di beberapa daerah di Indonesia masih ada yang mengonsumsi jagung atau sagu, konsumsi rata-rata beras masyarakat Indonesia masih mencapai angka 120.02 kg per kapita per tahun pada tahun 2007 (Muttaqin dan Martianto 2009). Tingginya tingkat konsumsi di Indonesia selain disebabkan oleh jumlah penduduk yang terus meningkat juga disebabkan oleh pola konsumsi masyarakat yang sulit berubah dari beras ke bahan pangan lain. Hal tersebut disebabkan oleh faktor sosial antara lain masyarakat menganggap mengonsumsi sumber beras termasuk dari status sosial dan hanya akan mengonsumsi sumber karbohidrat lain (gaplek atau tiwul) jika jumlahnya terbatas atau tidak mampu membeli beras (Tarigan 2003).

Di lain pihak Indonesia kaya akan produk sumber karbohidrat lain seperti jagung, singkong, sorgum, sagu, dan umbi-umbian lainnya. Bahan-bahan tersebut sudah digunakan sebagai bahan pangan, namun masih belum bisa menggantikan beras sebagai makanan pokok. Biasanya bahan tersebut lebih sering diolah menjadi penganan, kue atau jajanan pasar. Kendala dalam mengonsumsi bahan tersebut sebagai bahan makanan pokok disebabkan kurangnya pengetahuan gizi masyarakat, kurangnya kesiapan masyarakat secara psikologis untuk mengganti makanan pokok dan kurangya ketersediaan produk pangan yang memenuhi selera masyarakat. Masyarakat merasa bosan dengan cara konsumsi umbi-umbian yang belum bervariasi sehingga lebih memilih produk berbasis gandum sebagai pengganti beras (Hidayah 2011). Oleh karena itu, diperlukan teknologi untuk mengolah bahan-bahan tersebut menjadi bentuk yang menyerupai beras yang dapat diolah dan dikonsumsi seperti nasi.

Salah satu produk olahan sumber karbohidrat non padi yang dikembangkan akhir-akhir ini adalah beras tiruan dan beras analog. Beras tiruan adalah beras yang dibuat dari non padi dengan kandungan karbohidrat mendekati atau melebihi beras yang terbuat dari tepung lokal atau tepung beras (Samad 2003; Deptan 2011). Beras analog adalah beras tiruan yang hanya terbuat dari tepung lokal non-beras (Budijanto et al. 2011). Hingga saat ini teknologi pembuatan beras analog antara lain metode pembutiran atau granulasi (Yoshida et al. 1971; Kurachi 1995; Samad 2003) dan metode ekstrusi (Scella et al. 1987; Bett-Gaber et al. 2004; Moretti et al. 2005; Mishra et al. 2012). Perbedaan metode tersebut menyebabkan perbedaan bentuk akhir produk. Pada pembuatan beras analog menggunakan metode pembutiran beras akan memiliki bentuk bulat seperti sagu mutiara, namun pada metode ekstrusi bentuk produk adalah lonjong dan hampir menyerupai butir beras. Kelebihan lain penggunaan teknologi ekstrusi adalah kapasitas produksi alat ekstruder yang tinggi sehingga dapat memperoduksi produk secara masal.

Pemanfaatan sumber karbohidrat non padi seperti jagung, sorgum, mocaf, dan sagu sebagai alternatif makanan pokok memerlukan teknologi yang sesuai dan memiliki kapasitas produksi yang tinggi. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan pembuatan beras analog


(5)

2 berbahan dasar jagung, sorgum, mocaf, sagu dan maizena menggunakan teknologi ekstrusi. Produk beras analog ini juga diharapkan dapat menjadi produk yang diterima oleh konsumen dan dapat membantu upaya diversifikasi makanan pokok di Indonesia.

1.2

TUJUAN

Tujuan umum dari penelitian ini adalah mendapatkan formulasi beras analog terbaik dengan menggunakan ekstruder ulir ganda yang dapat diterima konsumen secara sensori. Secara spesifik penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat fisik dan kandungan gizi beras analog formula terbaik.

1.3

MANFAAT

Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai pembuatan beras analog yang berbasis bahan pangan lokal yang dapat menjadi alternatif makanan pokok dan meningkatkan nilai tambah bahan pangan lokal.


(6)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1

DIVERSIFIKASI PANGAN

Diversifikasi konsumsi pangan menurut Peraturan Pemerintah RI No 68 Tahun 2002 Tentang Ketahanan Pangan Pasal 1 ayat 9 dijabarkan sebagai upaya peningkatan konsumsi aneka ragam pangan dengan prinsip gizi seimbang (BBKP 2002). Hasil penelitian Martianto et al. (2009) mengenai percepatan diversifikasi pangan berbasis pangan lokal menunjukkan bahwa perspektif diversifikasi pangan terdiri dari diversifikasi semua jenis pangan dan diversifikasi pangan pokok. Salah satu kendala pada diversifikasi pangan adalah tingginya konsumsi beras.

Berdasarkan data BPS (2009), konsumsi pangan di Indonesia belum memenuhi pola pangan harapan karena konsumsi beras masih sebesar 64.1% dibandingkan dengan anjuran konsumsi beras yaitu 50% dari total asupan konsumsi. Tingginya tingkat konsumsi beras di Indonesia selain pola konsumsi masyarakat yang sulit berubah dari beras ke bahan pangan lain. Hal tersebut disebabkan oleh faktor sosial antara lain masyarakat menganggap mengonsumsi sumber beras termasuk dari status sosial dan hanya akan mengonsumsi sumber karbohidrat lain (gaplek atau tiwul) jika jumlahnya terbatas atau tidak mampu membeli beras (Tarigan 2003).

Upaya penerapan diversifikasi pangan pokok di Indonesia berfokus pada pengurangan konsumsi beras dan meningkatkan konsumsi sumber karbohidrat lokal seperti jagung, sagu, sorgum dan umbi-umbian. Salah satu contoh nyata program pemerintah yang saat ini dilaksanakan

adalah program “One Day No Rice” (Satu Hari Tanpa Nasi) di kota Depok. Namun, masih terdapat kendala dalam program tersebut. Kendala yang ditemui adalah masyarakat masih belum terbiasa mengonsumsi makanan tersebut bersama lauk karena makanan tersebut biasa dimakan sebagai kudapan saja. Oleh karena itu, upaya lebih lanjut diperlukan untuk menarik minat masyarakat terhadap makanan tersebut dengan mengolahnya menjadi makanan yang dapat diterima masyarakat. Salah satu upaya yang dapat menjadi solusi masalah tersebut adalah pengoptimalan pengembangan teknologi pangan.

Adanya perkembangan teknologi pangan dapat membantu upaya diversifikasi dengan cara mengolah bahan-bahan sumber karbohidrat menjadi produk yang diterima masyarakat. Salah satu bentuk olahan dari bahan tersebut adalah beras analog. Karakteristik beras analog ini diharapkan dapat lebih diterima masyarakat karena memiliki bentuk dan rasa yang menyerupai beras sehingga masyarakat tidak perlu mengubah pola makannya karena cara konsumsi beras analog sama seperti beras yang berasal dari padi.

2.2

BERAS ANALOG

Beras analog merupakan sebutan lain dari beras tiruan (artificial rice). Beras analog adalah beras yang dibuat dari non padi dengan kandungan karbohidrat mendekati atau melebihi beras dengan bentuk menyerupai beras dan dapat berasal dari kombinasi tepung lokal atau padi (Samad 2003; Deptan 2011). Metode pembuatan beras analog terdiri atas dua cara yaitu metode granulasi dan ekstrusi. Perbedaan pada kedua metode ini adalah tahapan gelatinisasi adonan dan tahap pencetakkan. Hasil cetakan metode granulasi adalah butiran sedangkan hasil cetakan metode ekstrusi adalah bulat lonjong dan sudah lebih menyerupai beras.

Pembuatan beras analog yang telah dipatenkan oleh Kurachi (1995) dengan metode granulasi diawali dengan tahap pencampuran tepung, air, dan hidrokoloid sebagai bahan pengikat. Proses pencampuran dilakukan pada suhu 30-80oC sehingga sebagian adonan telah mengalami gelatinisasi (semigelatinisasi). Setelah itu adonan dicetak menggunakan granulator, kemudian dikukus (gelatinisasi) dan dikeringkan.


(7)

5 Metode pembuatan beras analog oleh Budijanto et al. (2011) dengan cara ekstrusi memiliki sedikit perbedaan dengan metode granulasi yaitu adanya tahap penyangraian dan ekstrusi. Tahap penyangraian bertujuan untuk menggelatinisasi sebagian adonan (semigelatinisasi) atau pengondisian (conditioning) adonan sebelum diekstrusi. Tahap ekstrusi meliputi proses pencampuran, pemanasan (gelatinisasi) dan pencetakan melalui die. Tahap berikutnya adalah ekstrudat dikeringkan menggunakan oven dryer pada suhu 60oC selama 4 jam.

Teknologi pembuatan beras analog menggunakan metode ekstrusi juga dilakukan oleh Mishra et al. (2012). Proses pembuatan beras analog meliputi persiapan bahan, pembentukkan adonan, pengondisian adonan (pre-conditioning), ekstrusi dan pengeringan. Bahan yang digunakan antara lain tepung beras, air, bahan pengikat (sodium alginate), setting agent (kalsium laktat dan kalsium klorida), fotificants (multivitamin), antioksidan dan pewarna (titanium). Tujuan dari tahap pre-conditioning adalah untuk mencampur dan mengadon air atau uap dengan bahan-bahan yang telah mengalami pemanasan sebelumnya.

2.3

SORGUM

Sorgum (Sorgum bicolor L) merupakan salah satu tanaman serealia yang termasuk dalam famili Graminae. Tanaman sorgum memiliki daya adaptasi yang tinggi karena dapat tahan terhadap kekeringan, genangan air, masih dapat berproduksi pada lahan marginal dan relatif tahan terhadap gangguan hama atau penyakit. Daerah penghasil sorgum di Indonesia adalah Jawa Tengah (Purwodadi, Pati, Demak, Wonogiri), Daerah Istimewa Yogyakarta (Gunung Kidul, Kulon Progo), Jawa Timur (Lamongan, Bojonegoro, Tuban, Probolonggo) dan sebagian Nusa Tenggara Timur (Sirappa 2003).

Tanaman sorgum dapat dimanfaatkan menjadi pangan, pakan dan bahan baku industri. Bagian tanaman sorgum yang digunakan sebagai pangan adalah biji sorgum. Bagian daunnya dapat digunakan sebagai pakan ternak dan batangnya dapat menghasilkan nira yang dapat diolah menjadi bioetanol. Banyaknya manfaat yang dihasilkan tanaman sorgum dan kemampuan adaptasi yang tinggi membuat tanaman sorgum memiliki nilai potensi yang tinggi untuk dikembangan.

Biji sorgum mengandung karbohidrat sebesar 80.42%, protein 10.11%, lemak 3.65%, serat 2.74% dan abu 2.24% (Suarni 2001). Dengan kandungan karbohidrat yang tinggi, sorgum juga digunakan sebagai bahan makanan pokok alternatif maupun sebagai tepung substitusi beberapa produk makanan. Sorgum juga mengandung protein glutenin dan gliadin tetapi protein sorgum kurang dapat membentuk gluten jika dibandingkan protein tepung terigu (Suarnib 2004).

Salah satu kendala dalam pengolahan biji sorgum menjadi bahan makanan adalah kandungan taninnya yang tinggi yaitu sekitar 3.67-10.66% (Suarni dan Singgih 2002). Tanin dapat membuat rasa biji sorgum menjadi pahit. Kandungan tanin pada sorgum juga memberikan efek warna gelap pada produk sehingga dibutuhkan upaya pengurangan kadar tanin dengan penyosohan. Penyosohan sorgum dapat mengurangi kadar tanin hingga 75% (Suarnia 2004).

Produk berbasis sorgum yang asam warna gelap tanin memudar menjadi abu atau putih. Di Namibia sorgum diolah menjadi bubur yang asam sehingga warna bubur menjadi lebih putih agar lebih disukai.

Meskipun menimbulkan rasa pahit, tanin memberikan manfaat bagi tubuh karena dapat bersifat sebagai antioksidan dan antikanker terutama kanker kolon. Sorgum dengan kadar tanin yang tinggi lebih disukai di Afrika karena memberikan efek kenyang yang lama sehingga baik bagi penderita diabetes (Dykes dan Rooney 2006). Namun, pada produk beras analog ini sorgum yang digunakan adalah sorgum yang disosoh karena tidak dilakukan pengurangan tanin dan produk juga tidak bersifat asam sehingga diharapkan tidak ada rasa pahit pada produk.


(8)

6 Sorgum dapat diolah menjadi berbagai macam produk. Produk dari biji utuh adalah beras sorgum dan beras sorgum instan. Biji utuh juga dapat digunakan sebagai pengganti barley dalam pembuatan bir (Dykes dan Rooney 2006). Biji sorgum juga dapat digunakan sebagai bahan baku industri gula, monosodium glutamate (MSG), asam amino dan industri minuman (Sirappa 2003).

Produk antara biji sorgum yang dapat diolah lebih lanjut adalah tepung sorgum. cara pembuatan antara lain penyosohan (alternatif), perendaman dalam air, penirisan, penggilingan, dan pengeringan tepung sorgum. Sorgum yang diolah menjadi tepung sorgum dapat diolah menjadi berbagai produk. Tepung sorgum dapat diolah menjadi bahan baku snack ekstrusi, mi, maupun sebagai tepung substirtusi pada berbagai produk seperti roti, cookies, pop sorgum, bubur, mie dan snack ekstrusi (Sirappa 2003). Pembuatan cookies menggunakan tepung sorgum masih diperlukan penambahan maizena untuk mengurangi rasa sepat dan sebagai bahan perekat (Suarnib 2004).

Sorgum juga memiliki sifat fungsional seperti antioksidan dan berpotensi sebagai anti-kanker. Hasil penelitian Awika et al. (2009) menunjukkan bahwa sorgum mengandung kadar antioksidan yang bervariasi tergantung varietasnya. Varietas yang memiliki kadar tanin paling tinggi memiliki aktivitas antioksidan paling tinggi. Varietas yang memiliki kadar tanin rendah (white shorgum) memiliki aktivitas induksi enzim fase II yang menunjukkan aktivitas anti-kanker (chemoprevention) yang tinggi terutama pada kanker kolon.

2.4

MOCAF (MODIFIED CASSAVA FLOUR)

Mocaf atau mocal adalah singkatan dari Modified Cassava Flour yang berarti tepung singkong yang telah mengalami modifikasi. Singkong (Manihot utilisma) termasuk ke dalam umbi-umbian yang berpotensi menjadi sumber karbohidrat alternatif. Mocaf dapat digolongkan sebagai produk edible cassava flour berdasarkan Codex Standard, Codex Stan 176-1989 (Rev 1-1995). Cara pembuatan mocaf yaitu singkong dikupas, dikerik lendirnya kemudian dicuci sampai bersih. Singkong yang bersih dipotong-potong dan difermentasi selam 12-72 jam. Singkong yang telah difermentasi kemudian dikeringkan dan ditepungkan sehingga dihasilkan tepung singkong termodifikasi (Subagyo et al. 2008)

Proses modifikasi yang dimaksud adalah proses modifikasi sel-sel pada singkong melalui fermentasi. Mikroorganisme yang berperan dalam proses modifikasi adalah bakteri asam laktat (BAL) yang menghasilkan enzim pektinolitik dan selulolitik yang dapat menghancurkan dinding sel singkong sehingga terjadi liberasi granula pati. Proses fermentasi pada pembuatan mocaf juga mempengaruhi kandungan gizi mocaf. Perbedaan kandungan gizi mocaf dan tepung singkong dapat dilihat pada Tabel 1. Kandungan gizi mocaf tidak terlalu berbeda dengan tepung singkong. Namun, kandungan protein mocaf yang lebih sedikit mempengaruhi sifat fisiknya yaitu warna yang lebih putih karena tidak mengalami reaksi browning.

Granula pati yang bebas dapat terhidrolisis menjadi monosakarida yang kemudian dapat menjadi senyawa asam organik. Senyawa asam ini akan bercampur dengan tepung sehingga ketika tepung tersebut diolah dapat menghasilkan cita rasa yang khas yang dapat menutupi cita rasa singkong yang umumnya tidak disukai konsumen. Ketika proses fermentasi juga terjadi kehilangan komponen pembentuk warna, terutama pigmen pada singkong kuning. Akibatnya warna mocaf lebih putih dibandingkan tepung singkong (Subagio et al. 2008).

Mocaf dapat diolah menjadi berbagai macam produk antara lain mie, roti, biskuit, cookies dan snack. Mocaf dapat digunakan sebagai bahan baku maupun sebagai tepung substitusi. Mocaf juga dapat digunakan dalam tepung campuran siap pakai dalam pembuatan keripik bayam. Dalam pengolahan mocaf terkadang dibutuhkan modifikasi proses agar memiliki hasil yang mirip dengan


(9)

7 terigu. Dalam pengolahan muffin diperlukan proses pemanasan margarin dan garam agar muffin yang dihasilkan mengembang dengan baik.

Tabel 1. Perbandingan Kandungan Gizi Mocaf dan Tepung Singkong

Kandungan gizi

Mocaf

Tepung Singkong

Kadar air (%)

Max 13

Max 13

Pati (%)

85-87

82-85

Protein (%)

Max 1.0

Max 1.2

Lemak (%)

0.4-0.8

0.4-0.8

Abu (%)

Max 0.2

Max 0.2

Serat (%)

1.0-3.4

1.0-4.2

HCN (mg/kg)

Tidak terdeteksi

Tidak terdeteksi

Sumber : Subagyo et al. (2008)

Mocaf juga dapat digunakan sebagai bahan baku beberapa kue seperti sponge cake, brownish, kue kukus, dan kue basah. Namun, produknya tidak sama persis karakteristiknya dengan tepung terigu beras, atau yang lainnya. Sehingga diperlukan sedikit perubahan dalam formula atau prosesnya sehingga akan dihasilkan produk dengan mutu optimal. Untuk produk berbasis adonan mocaf akan menghasilkan mutu prima jika menggunakan proses sponge dough method, yaitu penggunaan biang adonan. Disamping itu, adonan dari mocaf akan lebih baik jika dilakukan dengan air hangat (40-60oC).

2.5

JAGUNG

Jagung (Zea mays L.) adalah tanaman jenis serealia yang termasuk dalam famili yang sama seperti beras dan sorgum yaitu Graminae atau Poaceae. Tanaman ini merupakan bahan pangan terpenting kedua setelah beras. Tanaman jagung banyak tumbuh di Indonesia. Berdasarkan data BPS (2011), jumlah produksi jagung di Indonesia pada tahun 2011 adalah sebesar 17.23 juta ton dan daerah penghasil jagung tertinggi yaitu Jawa Timur (5 juta ton) dan Jawa Tengah (2 juta ton). Jumlah tersebut dapat meningkat seiring meningkatnya kapasitas produksi jagung yang mencapai 10 ton per hektar (Supit 2010). Hal tersebut menjadikan jagung berpotensi sebagai sumber karbohidrat alternatif pengganti beras.

Peningkatan produksi jagung sebaiknya seiring dengan pemanfaatan produk jagung. Bagian tanaman jagung yang dapat dimanfaatkan adalah daun, batang dan biji. Daun dan batang dapat diolah menjadi pakan ternak maupun pupuk kompos. Biji jagung yang muda dapat diolah menjadi sayur, sedangkan biji jagung yang tua dapat diolah menjadi emping, beras jagung, nasi jagung, grits maupun tepung jagung. Biji jagung tua juga merupakan pakan sumber karbohidrat bagi hewan ternak dan juga digunakan sebagai bahan baku etanol bagi industri (Supit 2010).

Tepung jagung menurut SNI adalah tepung yang diperoleh dengan cara menggiling biji jagung yang baik dan bersih (SNI 01-3727-1995). Syarat mutu tepung jagung dapat dilihat pada Tabel 2. Proses pembuatan tepung jagung terdiri dari dua cara yaitu penggilingan basah dan penggilingan kering. Pada penggilingan basah dilakukan perendaman dalam air bersih terlebih dahulu. Tepung yang dihasikan melalui penggilingan basah biasanya memiliki rendemen yang lebih tinggi namun kandungan gizinya lebih rendah dibandingkan tepung yang dihasilkan dengan penggilingan kering (Suarni 2009). Tepung jagung juga dapat dimodifikasi dengan perlakuan


(10)

8 fermentasi oleh bakteri asam laktat dan dapat menghasilkan tepung dengan kualitas lebih baik (Richana 2010).

Kandungan gizi jagung dapat dilihat pada Tabel 3. Perbedaan kandungan gizi dipengaruhi oleh varietas, faktor genetik dan kondisi penanaman. Selain mengandung karbohidrat dan protein yang cukup, jagung yang berwarna kuning juga memiliki kelebihan yaitu mengandung betakaroten (provitaminA). Jagung juga mengandung serat yang cukup tinggi terutama pada bagian bekatulnya sehingga dapat berpotensi menjadi bahan baku untuk pembuatan makanan tinggi serat (Suarni 2009).

Tepung jagung dapat diolah lebih lanjut menjadi bahan baju pembuatan mi, cookies, muffin, brownies maupun cake. Dengan kandungan gluten yang rendah (<1%) biasanya jagung hanya digunakan untuk membuat produk yang tidak memerlukan pengembangan yang tinggi (Suarni 2009). Tingkat substitusi tepung jagung pada produk roti dan mi adalah sebesar 20%, sedangkan tepung jagung termodifikasi dapat mensubstitusi hingga 40%. Pada produk cake, kue basah dan kue kering tepung jagung dapat mensubstitusi hingga 100% (Richana 2010).

Tabel 2. Syarat Mutu Tepung Jagung (SNI 01-3727-1995)

No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1. Keadaan:

1.1 Bau - Normal

1.2 Rasa - Normal

1.3 Warna - Normal

2. Benda-benda asing - Tidak boleh ada

3. Serangga dalam bentuk stadia - Tidak boleh ada 4. Jenis pati lain selain pati jagung - Tidak boleh ada 5. Kehalusan

5.1 80mesh % Min 70%

5.2 60mesh % Min 99

6. Air % bb Maks 10

7. Abu % bb Maks 1,5

8. Silikat % bb Maks 0,1

9. Serat kasar % bb Maks 1.5

10. Derajat asam ml. N. NOH/100gr Maks 4,0

11. Cemaran logam mg/kg Maks 1,0

11.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks 10

11.2 Tembaga (Cu) mg/kg Maks 40

11.3 Seng (Zn) mg/kg Maks 0,03

12. Cemaran Arsen (As) mg/kg Maks 0,3

13. Cemaran mikroba

13.1 Angka lempeng total Koloni/gr Maks 106

13.2 E. coli APM/gr Maks 10


(11)

9 Tabel 3. Kandungan Gizi Jagung

Kandungan

gizi

Jagung

Karbohidrat

73

Protein

9.2

Lemak

4.6

Serat

2.8

Ca (mg)

26

Fe (mg)

2.7

Sumber : FAO (1995)

2.6

MAIZENA (PATI JAGUNG)

Maizena adalah nama lain bagi pati jagung. Kandungan pati pada jagung mencapai 54,1-71.7%. Pati jagung diperoleh melalui ekstraksi pati melalui penggilingan jagung, penambahan air, pengendapan dan pengeringan pati. Pati jagung memiliki ukuran yang beragam yaitu 1-7 µm untuk granua kecil dan 15-20 µm untuk granula besar. Granula pati yang kecil akan memperlihatkan ketahanan yang lebih kecil terhadap perlakuan panas dan air dibanding granula yang besar.

Kandungan gizi pati jagung sebagian besar adalah karbohidrat, akan tetapi masih mengandung zat gizi lainnya seperti protein, abu dan lemak. Data kandungan gizi pati jagung dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kandungan Gizi Maizena dan Sagu Aren

Jenis Pati

Kadar Air

Kadar Abu

Kadar Protein

Kadar Lemak Kadar Serat

Maizena

9.16

7.31

0.88

4.4

0.57

Sagu Aren

7.75

0.21

0.45

0.74

0.23

Sumber : Aini dan Haryadi (2007); Alam dan Saleh (2009)

Kadar amilosa dan amilopektin pada jagung juga sangat beragam. Berdasarkan kadar amiosa dan amilopektinnya pati jagung dibagi menjadi empat yaitu jenis normal, waxy, amilomaize, dan jagung manis. Pati jagung normal mengandung 24-46% amilosa dan 74-76% amilopektin. Jagung waxy mengandung 99% amilopektin dan hampir tidak mengandung amilosa. Jagung amilomaize mengandung 40-70% amilosa dan 20% amilopektin. Jagung manis mengandung 42.6-67.8% amilosa dan mengandung sejumlah sukrosa disamping pati (Singh et al. 2006).

Amilosa merupakan polimer dari 490 unit glukosa dengan ikatan lurus 1-4 α glukosida sedangkan amilopektin merupakan polimer dari 22 unit glukosa dengan ikatan rantai lurus1-4 α glukosida dan ikatan cabang 1-6 α glukosida. Pati jagung waxy banyak dimanfaatkan karena sifat-sifatnya yang khas (viskositas, stabilitas panas, dan pH), sedangkan pati amilomaize digunakan dalam industri tekstil, permen, gum dan perekat papan. Kadar amilosa yang tinggi pada pati akan menurunkan daya absorpsi dan kelarutan. Kadar amilopketin yang terlalu tinggi akan menyebabkan suhu gelatinisai pati lebih tinggi (Richana dan Suarni 2006).

Pati jagung juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku gula. Gula dari pati diperoleh dari hidrolisis pati. Gula pati dapat berbentuk sirup glukosa, fruktosa, maltosa, manitol dan sorbitol. Gula dari pati memiliki rasa dan tingkat kemanisan yang hampir sama dengan gula tebu. Sirup glukosa dapat diproduksi melalui hidrolisis enzimatis maupun hidrolisis asam. Rendemen


(12)

10 glukosa dipengaruhi oleh banyaknya amilosa. Semakin tinggi jumlah amilosa maka rendemen sirup glukosa semakin tinggi (Richana dan Suarni 2006).

2.7

SAGU AREN (PATI AREN)

Sagu aren atau tepung aren merupakan pati yang diperoleh dari ekstraksi batang pohon aren dengan spesies Arenga pinnata. Spesies ini tidak menghasilkan nira yang cukup banyak sehingga petani menebang pohon ini dan mengirimkannya ke unit pengolahan agar dapat diolah menjadi sagu aren. Cara pembuatan sagu aren dapat dilihat padaGambar1. Kandungan gizi sagu aren dapat dilihat pada Tabel 4.

Sagu aren juga dapat digunakan sebagai bahan baku bihun (starch noodle). Pengolahan sagu aren menjadi bihun meliputi pengadonan, pemanasan, pencetakan dan pengeringan. Hasil penelitian Rahim dan Hariyadi (2008) menunjukkan bahwa bihun sagu aren dapat dihasilkan dengan formulasi sagu aren : air yang tepat. Sedangkan Alam (2008) memproduksi bihun sagu aren dengan melakukan penambahan tepung tapioka untuk memperbaiki karakteristik produk.

Sagu aren dapat diolah menjadi berbagai macam produk seperti mihun, cendol, bakmi, sohun dan hunkwe. Berdasarkan penelitian Kusumaningrum dan Rahayu (2007) sagu aren juga dapat diolah menjadi makanan pendamping ASI (MP-ASI). Sagu aren digunakan untuk mengurangi penggunaan beras.

2.8

GLYSEROL MONOSTEARAT

Gliserol Monostearat (GMS) adalah surfaktan non-ionik yang banyak digunakan oleh industri stabilizer dan emulsifier. Nama IUPAC bagi senyawa ini adalah 2,4-dihidroksipropil oktadekanoat dan dikenal dengan nama lain gliserin monostearat atau monostearin. Senyawa ini secara alami terdapat dalam tubuh manusia dan produk berlemak. Salah satu bahan baku pembuatan GMS adalah asam lemak yang berasal dari minyak sawit. Surfaktan non-ionik adalah suatu zat amfifil yang molekulnya terdiri dari 2 bagian, hidrofil dan lipofil. Zat ini bila dilarutkan dalam air tidak memberikan ion. Kelarutannya dalam air disebabkan adanya bagian dari molekul yang mempunyai afinitas terhadap pelarut. GMS adalah ester gliserol dengan asam lemak stearat yang banyak digunakan dalam shampoo, pearlizing agent, emulsifier, lotion, dan sebagai opacifier dalam cream, ice cream dan butter. Penambahan GMS pada pembuatan cookies juga dapat memperbaiki kualitas karena meningkatkan kerenyahan dan meningkatkan kelembutan cookies (Sindhuja et al. 2005)

Penggunaan GMS dalam proses pembuatan mi berbahan dasar jagung dan pati kentang menunjukkan bahwa mi memiliki cooking time yang lebih tinggi namun memperbaiki produk karena mengurangi cooking weight dan cooking loss selama pemasakan (Kaur et al. 2004). Jumlah amilosa pada bahan pembuat mi sangat berpengaruh terhadap proses emulsifikasi GMS karena GMS berikatan dengan amilosa. GMS yang ditambahkan membentuk kompleks dengan amilosa untuk membentuk kompleks inklusi heliks, yang mencegah granula pati untuk mengembang yang dapat menyebabkan berkurangnya kekuatan pengembangan dan kelarutan. Lapisan yang tidak larut dapat terbentuk pada permukaan granula pati, yang dapat menunda transpor air menuju granula sehingga menurunkan pengembangan dan mencegah pelepasan amilosa.

Berdasarkan penelitian Singh et al. (2000), GMS juga berfungsi sebagai pelumas pada barel ekstrusi sehingga dapat mengurangi panas proses ekstrusi. Pengaruh penambahan GMS terhadap ekstrusi grits jagung yaitu mengurangi WSI (Water Solubility Index) atau indeks kelarutan dalam air, SEC (Specific Energy Consumption), dan expansion (pengembangan produk) tetapi meningkatkan WAI (Water Absorption Index). Fungsi-fungsi tersebut sangat dibutuhkan


(13)

11 untuk membuat beras analog yang diproses pada suhu ekstrusi yang tinggi dan menghasilkan produk yang tidak mengembang serta tidak mudah larut dalam air.

Gambar 1. Struktur Gliserol Monostearat

2.9

EKSTRUSI

Ekstrusi adalah proses pengolahan pangan yang mengombinasikan beberapa proses secara berkesinambungan antara lain pencampuran, pemasakan, pengadonan, shearing, dan pembentukan. Bahan pangan dipaksa mengalir di bawah pengaruh kondisi operasi melalui suatu cetakan yang dirancang untuk membentuk hasil ekstrusi dalam waktu singkat (Fellows 2000). Alat dalam proses ekstrusi disebut ekstruder. Fungsi ekstruder meliputi gelatinisasi, pemotongan molekuler, pencampuran, sterilisasi, pembentukan, dan pengeringan. Kombinasi satu atau lebih fungsi-fungsi tersebut merupakan hal yang tidak terpisahkan dalam proses ekstrusi.

Munculnya teknologi ekstrusi telah membuka kesempatan bagi pengusaha makanan untuk membuat produk pangan yang mempunyai bentuk dan tekstur yang beraneka ragam. Pemasakan ekstrusi dipakai untuk menggantikan metode pemasakan konvensional karena berbagai sebab: (1) dapat diubah-ubah sehingga mesin yang sama dapat memasakdan mengolah produk yang mempunyai formula berbeda-beda, (2) member bentuk dan tekstur pada hasil produk, (3) kemampuan produksi yang kontinyu, (4) pengoperasian yang efisien dari segi tenaga, energo dan luas pabrik, (5) pasteurisasi produk akhir dan (6) proses dalam keadaan kering dengan sedikit atau tanpa tumpahan (Muchtadi 2008).

Berdasarkan suhu prosesnya, teknologi ekstrusi dibagi menjadi dua yaitu Hot Extrusion (Ekstrusi Panas) dan Cold Extrusion (Ekstrusi Dingin). Teknologi Hot Extrusion menggunakan suhu di atas 70oC sedangkan Cold Extrusion menggunakan suhu di bawah 70oC. Kedua teknologi tersebut telah digunakan untuk memproduksi beras ekstrusi berbahan dasar tepung beras. Pada Hot Extrusion bahan diproses pada suhu tinggi. Suhu bahan yang tinggi dapat diperoleh melalui proses pre-conditioning dan atau transfer panas bahan selama proses ekstrusi.

2.9.1 Ekstruder

Ekstruder adalah alat yang digunakan untuk memproses suatu bahan menggunakan teknologi ekstrusi. Ekstruder juga dapat diartikan sebagai mesin yang memiliki karakteristik ulir Archimedean atau ulir yang bergerak di dalam sebuah silinder yang menggerakan fluida yang memproses produk secara kontinyu (Riaz 2000). Ekstruder dapat didesain sedemikian rupa sehingga dapat melakukan berbagai macam proses seperti grinding, mixing, homogenizing, cooking, cooling, shaping, cutting, dan filling.

Proses ektrusi yang terjadi pada ektruder terdiri dari tiga tahap yaitu pra ekstrusi, ekstrusi dan tahap setelah ekstrusi. Tahap pre-ekstrusi meliputi proses pencampuran, dan penambahan air. Tahap ekstrusi meliputi perlakuan shear and stress pada adonan. Tahap terakhir adalah proses pemberian tekanan ke arah die dan proses pencetakkan melalui die. Setelah produk keluar dari


(14)

12 die, alat pemotong otomatis akan berputar dan memotong produk sehingga produk akhir akan memiliki bentuk seperti beras.

Ekstruder dapat digolongkan berdasarkan jumlah ulirnya menjadi dua kelompok yaitu ekstruder berulir tunggal (Single Screw Extruder) dan ekstruder berulir ganda (Twin Screw Extruder)

Single Screw Extruder

Single Screw Extruder atau ekstruder berulir tunggal memiliki satu buah ulir yang berputar pada barel. Ekstruder berulir tunggal banyak digunakan dalam menghasilkan produk pasta, permen, cookies dan pengembangan produk baru seperti snack, makanan bayi dan produk modifikasi pati. Ekstruder jenis ini paling awal digunakan. Produk yang dihasilkan sangat beragam meliputi snack, pasta, sereal hingga makanan hewan.

Gambar 2. Single Screw Extruder

Twin Screw Extruder

Ekstruder berulir ganda memiliki dua ulir silinder yang dapat bergerak searah, berlawanan arah, baik berkaitan atau tidak. Ekstruder ini terbilang baru dibandingkan Single Screw Extruder. Beberapa kelebihan Twin Screw Exstruder antara lain memiliki kontrol dan keseragaman produk lebih baik, pemotongan (shear) lebih merata sehingga setiap partikel bahan dapat diproses dengan lebih konsisten, dan fleksibilitas yang lebih baik dibandingkan Single Screw Extruder.

Terdapat empat pembagian zona proses di dalam ekstruder. Pembagian zona proses dapat dilihat pada Gambar 4. Zona pertama adalah zona feeding. Zona ini merupakan tempat bahan memasuki awal proses ekstrusi. Zona kedua adalah zona kneading. Zona ini merupakan tempat bahan mengalami proses pressing, shearing dan cooking. Bahan kemudian masuk ke zona ke-tiga yaitu zona final cooking dan akan mengalami proses yang sama dengan zona kedua. Zona terakhir adalah zona shaping dimana bahan akan melalui proses pressing sehingga dapat melalui die yang akan mencetak bahan menjadi produk (Riaz 2000)


(15)

13 Ekstruder yang digunakan pada penelitian ini adalah ekstruder berulir ganda. Ekstruder berulir ganda dipiih karena proses ekstrusi untuk beras analog mirip dengan ektsrusi pasta. Proses ekstrusinya adalah hot extrution atau dengan pemanasan karena produk yang diharapkan telah mengalami gelatinisasi namun tidak mengembang seperti produk sereal.

Gambar 3. Twin Screw Extruder


(16)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1

BAHAN DAN ALAT

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas bahan untuk pembuatan beras artificial dan bahan untuk analisis. Bahan untuk pembuatan beras terdiri dari tepung sorgum, tepung mocaf, tepung jagung, tepung maizena, tepung sagu, air dan GMS (Gliserol Monostearat). Bahan untuk analisis terdiri dari beras artificial dan bahan untuk analisis kimia.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas alat-alat untuk pembuatan beras artificial dan alat-alat untuk analisis. Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan beras artificial adalah ekstruder ulir ganda (Berto BEX-DS-2256), dough mixer, oven dryer, waskom, baki, sendok, timbangan, neraca analitik, blender, saringan, disc mill, plastik, dan rice cooker. Alat-alat yang digunakan untuk analisis yaitu neraca analitik, hot plate, oven, tanur, erlenmeyer, gelas piala, sudip, cawan porselen, cawan alumunium, labu takar, gelas ukur, tabung reaksi bertutup, pipet volumetrik 1 ml, pipet volumetrik 10 ml, kuvet, Spectrophotometer UV-Vis, pipet tetes, labu Kjeldahl dan alat Sokhlet.

3.2

TAHAPAN PENELITIAN

Tahapan penelitian ini meliputi persiapan bahan, trial and error, pembuatan beras analog, uji pemasakan, uji organoleptik, dan uji kimia dan fisik formula terpilih. Persiapan bahan meliputi persiapan bahan tepung sorgum dan tepung jagung. Uji trial and error untuk mengetahui jumlah air yang ditambahkan, jenis emulsifier, jumlah emulsifier, optimasi proses, dan optimasi cara pemasakan.

Tahap berikutnya adalah pembuatan beras analog dengan membandingkan dua faktor yaitu penambahan 30% tepung (sorgum dan mocaf) dan penambahan pati (sagu aren 30%; maizena 30%; dan campuran sagu 15% dan maizena 15%). Dari rancangan percobaan tersebut didapatkan enam buah sampel beras yang diuji organoleptiknya dalam bentuk beras mentah dan nasi matang. Formula terbaik adalah sampel yang memiliki nilai kesukaan paling tinggi. Formula terpilih akan diuji lebih lanjut sifat kimianya yaitu melalui analisis proksimat, kadar pati dan amilosa dan sifat fisik melalui analisis warna dan tekstur.

3.3

PEMBUATAN TEPUNG JAGUNG DAN TEPUNG SORGUM

Tahapan pembuatan tepung sorgum yaitu perontokkan, penyosohan, penambahan air, penyimpanan selama satu malam dalam wadah plastik, penggilingan, pengeringan dan pengayakan 60 mesh. Pembuatan tepung jagung meliputi pemipilan, penghancuran biji menjadi grits, pemisahan dengan lembaga, penambahan air, penyimpanan selama satu malam dalam plastik, penggilingan, pengeringan, pengayakan 100 mesh.

3.4

PEMBUATAN BERAS ANALOG

Pembuatan beras analog menggunakan teknologi ekstrusi dengan suhu tinggi (hot extrusion). Tahap awal adalah penimbangan bahan sesuai formulasi. Setelah itu bahan-bahan kering meliputi tepung, pati dan GMS dicampurkan dengan mixer selama 10 menit. Kemudian air ditambahkan sedikit-demi sedikit hingga adonan rata. Adonan tersebut disangrai selama 10 menit dan tahap berikutnya adalah proses ekstrusi menggunakan Twin Screw Extruder.


(17)

15 Tepung -

tepungan GMS

Air Penimbangan sesuai

formulasi

Pencampuran bahan

kering 10‟

Penimbangan sesuai formulasi

Penambahan air 10‟ Penyangraian 10‟

Ekstrusi

Pengeringan dengan oven 60oC , 4 jam

Beras Analog

Suhu

Feed (T1) : 85oC Compressing (T2) : 85oC Metering (T3) : 85oC KecepatanAuger : 18 Hz Screw : 15Hz

Cutter : 50Hz

Produk hasil ekstrusi kemusian dikeringkan dalam over dryer pada suhu 60oC selama 4 jam. Secara singkat alur pembuatan beras analog pada Gambar 5.

Gambar 5. Pembuatan Beras Analog

3.5

RANCANGAN FORMULASI

Rancangan formulasi pada penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan dua faktor, yaitu faktor A = tepung substitusi dan faktor B = jenis dan jumlah pati.

Tepung substitusi yang digunakan adalah : t1 = Sorgum 30%

t2 = Mocaf 30%

Jenis pati yang digunakan adalah adalah : p1 = Sagu Aren 30%

p2 = Sagu Aren 15% dan Maizena 15% p3 = Maizena 30%

Sehingga formula yang didapatkan adalah sebagai berikut:

Faktor p1 p2 p3

t1 A (t1p1) B (t1p2) C(t1p3)

t2 D (t2p1) E (t2p2) F(t2p3)

Keterangan :


(18)

16

3.6

PROSEDUR ANALISIS

3.6.1

Uji sensori Pemilihan Formula Terbaik

Uji sensori yang dilakukan pada penelitian ini adalah uji rating hedonik pada atribut warna, rasa dan tekstur. Sampel beras analog yang telah dimasak disajikan di atas pisin, kemudian panelis diminta untuk memberikan penilaian. Skala yang digunakan adalah skala garis sepanjang 15 cm. Panelis yang diambil responnya adalah panelis tidak terlatih sebanyak 70 orang. Data yang diperoleh akan diolah dengan uji Analysis of Variance (ANOVA). Jika hasil uji ANOVA menyatakan bahwa sampel yang diujikan berbeda nyata pada taraf kepercayaan 0.05, maka akan dilakukan uji lanjut Duncan.

3.6.2

Analisis Kimia

Kadar Air (AOAC 2006)

Cawan alumunium dikeringkan dalam oven selama 15 menit, didinginkan dalam desikator selama 10 menit, kemudian ditimbang (A). Sejumlah sampel dengan bobot tertentu (B) dimasukkan dalam cawan. Cawan beserta isinya dikeringkan dalam oven bersuhu 105oC selama 6 jam, didinginkan dalam desikator selama 15 menit, kemudian ditimbang. Cawan beserta isinya dikeringkan kembali sampai diperoleh berat konstan (C). Kadar air contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut :

Kadar air (%bb) =

Kadar air (%bk)

Dimana: bb = basis basah bk = basis kering

Kadar Abu (AOAC 2006)

Cawan porselen yang dipersiapkan untuk pengabuan dikeringkan dalam oven selama 15 menit, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang (A). Sampel dengan bobot tertentu (B) dimasukkan ke dalm cawan, kemudian dibakar dalam ruang asap sampai tidak mengeluarkan asap lagi. Selanjutnya, dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 400-600oC selama 4-6 jam hingga terbentuk abu berwarna putih dan memiliki bobot konstan. Abu berserta cawan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang (C). kadar abu contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut:

Kadar abu (%bb) =

Kadar abu (%bk) = Kadar Lemak(AOAC 2006)

Sebanyak 1-2 gram contoh dimasukkan ke dalam kertas saring. Kertas saring berisi contoh tersebut dikeringkan dalam oven bersuhu 105°C hingga kering.Kertas saring yang telah dikeringkan dimasukkan ke dalam selongsong dengan sumbat kapas. Selongsong tersebut kemudian dimasukan ke dalam alat ekstraksi soxhlet dan dihubungkan dengan kondensor dan labu lemak. Alat kondensor diletakkan di atasnya dan labu lemak diletakkan di bawahnya. Pelarut hexana dimasukan ke dalam labu lemak secukupnya. Selanjutnya dilakukan ekstraksi selama 6


(19)

17 jam. Pelarut yang ada dalam labu lemak didestilasi dan ditampung kembali. Kemudian labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC, didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Pengeringan diulangi hingga mencapai berat tetap. Kadar lemak dapat diperoleh dengan persamaan berikut :

% 100 W W2 -W1 (%bb) Lemak

Kadar  x

Keterangan:

W : Bobot sampel (gram) W1: Bobot labu+ lemak (gram) W2: Bobot labu (gram) Kadar Protein (AOAC 2006)

Sebanyak 0,1-0.25 gram contoh ditimbang di dalam labu Kjeldahl, lalu ditambahkan 1.0 + 0.1 gram K2SO4, 40 + 10 ml HgO, dan 2.0 + 0.1 ml H2SO4, selanjutnya contoh didihkan sampai

cairan jernih kemudian didinginkan. Larutan jernih ini dipindahkan ke dalam alat destilasi secara kuantitatif. Labu Kjeldahl dibilas dengan 1-2 ml air destilata, kemudian air cuciannya dimasukan ke dalam alat destilasi, pembilasan dilakukan sebanyak 5-6 kali. Tambahkan 8-10 ml larutan 60% NaOH – 5% Na2S2O3.5H2O ke dalam alat destilasi.

Di bawah kondensor diletakkan erlenmeyer yang berisi 5 ml larutan H3BO3 jenuh dan 2-4

tetes indikator (campuran 2 bagian 0.2% metilen red dan 1 bagian 0.2% metilen blue dalam etanol 95%). Ujung tabung kondensor harus terendam dalam larutan H3BO3, kemudian dilakukan

destilasi sehingga diperoleh sekitar 15 ml destilat. Destilat yang diperoleh kemudian dititrasi dengan HCl 0.02 N sampai terjadi perubahan warna dari hijau menjadi abu-abu. Kadar protein kasar dapat dihitung dengan persamaan :

% 100 contoh mg 14.007 x HCl N x blanko) HCl V -contoh HCl (V (%bb) N

Kadar  x

Fk x N % bb) % ( protein

Kadar 

Keterangan :

Fk : Faktor konversi (6.25 untuk tepung dan mi) Kadar Karbohidrat (by difference)

Perhitungan kadar karbohidrat dilakukan dengan cara by difference dengan persamaan : Kadar karbohidrat = 100% - (% air + %abu + %protein + % lemak)

Serat Pangan Metode Multienzim (Asp et al. 1983)

Sampel sebanyak 1 gram dimasukkan ke dalam Erlenmeyer, kemudian ditambahkan 25 ml larutan buffer Na-phospat pH 6 dan diaduk hingga terbentuk suspensi. Selanjutnya ditambahkan 0.1 ml enzim termamyl ke dalam erlenmeyer yang berisi sampel. Erlenmeyer kemudian ditutup dengan alumunium foil dan diinkubasi dalam penangas air suhu 100oC selama 15 menit sambil diaduk sesekali.

Sampel diangkat dan didinginkan, lalu ditambahkan 20 ml air destilata dan pH diturunkan sampai 1.5 menggunakan HCl 4 N. Selanjutnya ditambahkan enzim pepsin sebanyak 100 mg ke dalam sampel, lalu ditutup dan diinkubasi dalam penangas air bergoyang suhu 40oC selama 1 jam. Erlenmeyer kemudian diangkat, ditambahkan air destilata, dan pH diatur menjadi 6.8 menggunakan NaOH. Setelah pH 6.8 tercapai, ditambahkan enzim pankreatin sebanyak 100mg ke dalam erlenmeyer. Erlenmeyer ditutup, diinkubasikan pada suhu 40oC selama 1 jam. Selanjutnya


(20)

18 pH diatur sampai 4,5 menggunakan HCl. Larutan sampel tersebut kemudian disaring menggunakan crucible kering yang telah ditimbang beratnya (porositas 2) dan ditambahkan 0.5 gram celite kering (berat tepat diketahui). Pada penyaringan dilakukan dua kali pencucian dengan masing-masing 10 ml air destilata.

Residu (Serat pangan tidak larut)

Hasil yang diperoleh selanjutnya dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 95 % dan 2 x 10 ml aseton lalu dikeringkan pada suhu 105oC sampai berat tetap (sekitar 12 jam). Selanjutnya didinginkan dalam desikator, lalu timabang. Setelah itu diabukan dalam tanur 500oC selama minimal 5 jam, lalu didinginkan dalam desikator dan timbang beratnya.

Filtrat (serat pangan larut)

Volume filtrate diatur dengan air sampai 100 ml, kemudian ditambahkan 400 ml etanol 95 % hangat (60oC) dan diendapkan selam 1 jam. Selanjutnya disaring dengan crucible kering (porositas 2) yang mengandung 0.5 g celite kering, dicuci lagi dengan 2x 10 ml etanol 78 %, 2 x 10 ml etanol 95 %, dan 2 x 10 ml aseton, kemudian dikeringkan pada suhu 105oC sampai berat konstan. Setelah itu didinginkan dalam desikator dan timbang beratnya. Selanjutnya diabukan dalam tanur suhu 550oC selama 5 jam dan ditimbang setelah didinginkan dalam desikator.

Blanko

Penetapan blanko dapat dilakukan dengan cara seperti pada prosedur untuk sampel, tetapi tanpa penambahan sampel.

Setelah mendapatkan berat sampel sebelum dan sesudah diabukan serta berat blanko, persamaan untuk menghitung sebagai berikut :

% Serat tak Larut (IDF) =

% Serat Larut (SDF) =

% Total Serat (TDF) = (SDF + IDF) (%) Keterangan :

D = berat setelah pengeringan (g) I = berat setelah pengabuan (g) B = berat blanko bebas abu (g)

Analisis Kadar Pati Metode Luff Schoorl (Sudarmadji et al. 1997) Pembuatan Larutan Luff Schoorl

Sebanyak 12.5 g CuSO4.5H2O dilarutkan dalam 50 ml air destilata (larutan A). sebanyak 25 g

asam sitrat dilarutkan dalam 25 ml air destilata (larutan B). Larutan C dibuat dengan melarutkan 194 g Na2CO3.10H2O dalam 150-200ml air mendidih. Larutan B kemudian dituang ke dalam larutan C dan diaduk. Selanjutnya larutan A ditambahkan ke dalam campuran larutan B dan C. Setelah dingin, ditambahkan air destilata hingga volume 500 ml.


(21)

19 Standarisasi larutan Na2S2O3 0.01 N

Larutan Na2S2O3 0.1 N dibuat dengan mencampurkan 12.5 g Na2S2O3.5H2O dan 0.15 g Na2CO3,

kemudian ditambahkan air destilata hingga volume 500 ml. standardisasi larutan Na2S2O3 0.1 N

dilakukan dengan menimbang 140-150 mg KIO3 ke dalam Erlenmeyer 300 ml. kemudian larut kan dengan air destilata secukupnya dan tambahkan ± 2 mg KI. Tambahkan 10 ml HCl 2 N ke dalam larutan (titrasi harus segera dilakukan setelah penambahan HCl). Titrasi dilakukan dengan Na2S2O3 0.1 N yang akan distandardisasi hingga warna larutan berubah dari merah bata menjadi

kuning pucat. Selanjutnya tambahkan 1-2 ml larutan pati dan titrasi dilanjutkan hingga warna biru menghilang. Normalitas larutan Na2S2O3 0.1 N dapat dihitung dengan persamaan :

Normalitas Na2S2O3=

Pengukuran Sampel

Sebanyak ± 0.1 g sampel dan 5 ml HCl 25 % dimasukkan ke dalam gelas piala pendingan balik, kemudian direfluks selama 3 jam. Setelah selesai, netralkan pH larutan dengan NaOH 45 %. Tambahkan air destilata hingga volume larutan 100 ml. larutan tersebut kemudian disaring dengan kertas saring. Sebanyak 25 ml filtrat dimasukkan ke dalam Erlenmeyer, kemudian ditambahkan 25 ml larutan Luff Schoorl. Tutup erlenmeyer dengan alumunium foil dan panaskan hingga larutan mendidih. Lakukan pemanasan selama 10 menit sejak larutan mendidih. Selanjutnya tambakan 15 ml KI 20 % dan 25 ml H2SO4 26.5 %. Lakukan titrasi dengan Na2S2O3 0.1 N yang telah

distandardisasi hingga warna larutan berubah dari merah bata menjadi kuning pucat. Tambahkan 1-2 ml larutan pati dan titrasi dilanjutkan hingga warna biru menghilang. Pengukuran blanko juga dilakukan dengan mengganti 25 ml filtrat sampel dengan 25 ml air destilata.

Kadar pati contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut : Volume Na2S2O3 yang digunakan =

Kadar Gula (%) =

Kadar Pati (%) = Kadar gula x 0.9 Keterangan :

Vb = Volume Na2S2O3 yang digunakan untuk titrasi blanko

Vs = Volume Na2S2O3 yang digunakan untuk titrasi sampel

FP = Faktor pengenceran

Analisis Kadar Amilosa ( Apriyanto et al. 1989) Pembuatan kurva standar

Sebanyak 40 mg amilosa murni dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml., ditambahkan 1 ml etanol 95 % dan 9 ml larutan NaOH 1 N. Kemudian labu takar dipanaskan dalam penangas air pada suhu 95oC selama 10 menit. Setelah didinginkan, ditambahkan air destilata hingga tanda tera. Larutan tersebut digunakan sebagai larutan stok. Pipet larutan stok sebanyak 1, 2, 3, 4, dan 5 ml ke dalam labu takar 100 ml. Larutan asam asetan 1 N ditambahkan sebanyak 0.2, 0.4, 0.6, 0.8 dan 1.0 ml ke dalam masing-masing labu takar. Kemudian tambahkan 2 ml larutan iod (0.2 g I2 dan 2 g KI


(22)

20 Larutan dibiarkan 20 menit, lalu diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm.

Pengukuran Sampel

Sebanyak 100 mg sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan 1 ml etanol 95 % dan 9 ml larutan NaOH 1 N ke dalam tabung reaksi. Tabung reaksi kemudian dipanaskan dalam penangas air pada suhu 95oC selama 10 menit. Larutan gel pati dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml, kemudian ditambahkan air destilata hingga tanda tera dan dihomogenkan. Larutan dipipet sebanyak 5 ml ke dalam labu takar 100 ml. tambahkan 1 ml asam asetat dan 2 ml larutan iod ke dalam labu takar tersebut, lalu ditera dengan air destilata. Larutan dibiarkan selama 20 menit, lalu diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Kadar amilosa contoh dapat dihitung dengan persamaan berikut :

Kadar Amilosa (%) Kadar Amilopektin (%) = Kadar pati – Kadar amilosa

3.6.3

Analisis Fisik

Analisis warna dengan Chromamater CR 300 Minolta (Firmansyah 2003)

Chromameter CR 300 Minolta adalah suatu alat untuk analisis warna secara tristimulus untuk mengukur warna yang dipantulkan oleh suatu permukaan. Data pengukuran dapat berupa nilai absolut maupun nilai selisih dengan standar. Cara kerjanya sebagai berikut, pertama lakukan

kalibrasi terlebih dahulu dengan menekan tombol „CALIBRATE‟; masukkan data kalibrasi Y, x dan y yang terdapat pada penutup bagian plat kalibrasi. Kemudian letakkan measuring head pada

plat kalibrasi yang berwarna putih, tekan tombol „MEASURE‟. Biarkan alat bekerja secara otomatis sebanyak tiga kali hingga pengukuran selesai. Setelah kalibrasi selesai, pengukuran contoh atau sampel baru bisa dilakukan. Pertama letakkan measuring head pada contoh yang akan

diukur, dan tekan tombol „MEASURE‟, biarkan alat bekerja sendiri, tunggu beberapa saat hingga pengukuran selesai. Pengujian warna dilakukan sebanyak dua kali ulangan.

Tabel 5. Nilai HUE dan Daerah Kisaran Warna Kromatisitas Nilai oHUE Daerah Kisaran Warna Kromatisitas

342-18 Red Purple (RP) 18-54 Yellow Red (YR)

54-90 Yellow (Y)

90-126 Yellow Green (YG) 162-198 Green (G) 198-234 Blue Green (BG) 234-270 Blue (B) 270-306 Blue Purple (BP) 306-342 Purple (P) Sumber : Hutchings (1999)

Hasil analisis uji warna kemudian dikonversi ke dalam nilai oHue. Nilai oHue yang didapat kemudian disesuaikan dengan tabel daerah kisaran warna kromatisasi. Rumus konversi nilai L*ab ke nilai oHue sebagai berikut:

o


(23)

21 Bobot Seribu Butir

Sampel yang dipilih memiliki butir yang utuh, baik, dan memiliki panjang hampir sama. Sampel tersebut diambil sebanyak seribu butir kemudian ditimbang menggunakan timbangan analitik untuk diketahui bobotnya. Bobot seribu butir tersebut dibagi 1000 sehingga diketahui bobot rata-rata beras per butir.

Densitas Kamba

Sampel dengan ukuran yang sama dimasukkan ke dalam gelas ukur hingga volume 10 ml dan diketuk-ketuk sebanyak 25 kali. Sampel tersebut kemudian ditimbang. Cara perhitungannya adalah sebagai berikut:

Densitas Kamba (g/ml) =


(24)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1

PEMBUATAN BERAS ANALOG

Proses pembuatan beras analog meliputi persiapan bahan, pencampuran, pregelatinisasi, ekstrusi, dan pengeringan. Proses persiapan bahan meliputi persiapan tepung dan penimbangan bahan. Bahan-bahan kering disiapkan secara terpisah dengan air. Tahap berikutnya adalah proses pencampuran. Bahan-bahan kering dicampur terlebih dahulu hingga merata kemudian air ditambahkan dan dicampur kembali hingga merata.

Tahap berikutnya adalah pre-gelatinisai dimana bahan mengalami pemanasan pada suhu 85oC selama 1-5 menit. Tahap ini berfungsi dalam menyeragamkan kadar air bahan dan membuat bahan lebih higroskopis sehingga dapat membuat tahap ekstrusi lebih cepat (Scella et al., 1987). Tahap berikutnya adalah tahap ekstrusi yang meliputi pencampuran, shearing dan pencetakkan melalui die. Suhu yang digunakan adalah 85oC agar adonan mengalami gelatinisasi pati.

Proses ekstrusi menggunakan suhu tinggi (hot extrusion). Proses ekstrusi panas biasanya digunakan untuk memproduksi produk serealia, confectionary dan produk berbasis protein. Alat yang digunakan adalah Twin Screw Extruder (Berto BEX-DS-2256). Suhu yang digunakan pada proses ekstrusi adalah 85oC di semua bagian (feed, compressing dan metering) dengan kecepatan yang digunakan antara lain kecepatan auger 18Hz, screw 15Hz dan cutter 50Hz.

Proses yang digunakan adalah teknologi ekstrusi panas, tetapi produk yang dihasilkan tidak mengembang seperti puffed sereal karena jumlah air yang ditambahkan cukup banyak. Ekstrusi dengan penambahan air yang cukup banyak disebut ekstrusi kadar air tinggi (high moisture extrusion). Kadar air bahan yang tinggi akan mencegah terjadinya viscous dissipation yang menyebabkan terjadi kenaikan tekanan sehingga produk yang dihasilkan tidak mengembang (Akdogan, 1999). Hasil cetakkan melalui die kemudian dikeringkan dalam oven dryer pada suhu 60oC selama 4 jam hingga kering. Proses pengeringan dilakukan agar beras analog dapat disimpan lebih lama.

4.2

FORMULASI BERAS ANALOG

4.2.1

Sifat Fisik Bahan Baku

Bahan baku tepung yang digunakan pada penelitian ini antara lain tepung sorgum, mocaf dan tepung jagung, sedangkan pati yang digunakan yaitu maizena dan sagu aren. Sifat fisik berupa profil gelatinisasi dan amilosa dapat mempengaruhi pembuatan beras analog. Profil gelatinisasi tepung dan pati tersebut dapat dilihat pada Tabel 6. Kadar amilosa tepung dan pati dapat dilihat pada Tabel 7. Sifat fisik lain yang dapat mempengaruhi produk akhir adalah warna. Hasil analisis warna bahan dapat dilihat pada Tabel 8.

Parameter yang diketahui pada profil gelatinisasi meliputi Suhu Gelatinisasi (oC), Viskositas Puncak (cP), Viskositas Pasta Panas(cP), Viskositas Breakdown(cP), Viskositas Pasta Dingin(cP), Viskositas Setback(cP) dan Lama Gelatinisasi (m). Suhu gelatinisasi merupakan suhu ketika mulai terdeteksi terjadinya peningkatan viskositas yang disebabkan oleh pengembangan granula pati. Suhu gelatinisasi bahan dapat menentukan suhu yang paling baik digunakan selama proses ekstrusi karena pada proses ekstrusi diharapkan terjadi gelatinisasi pati. Jika suhu proses jauh lebih rendah dibandingkan suhu gelatinisasi, maka dapat menghasilkan beras analog yang rapuh dan tidak dapat diolah menjadi nasi. Hasil penelitian pembuatan mi oleh Tam et al .(2004), menunjukkan bahwa penggunaan suhu proses yang lebih rendah dibandingkan dengan suhu gelatinisasi membuat adonan mi menjadi tidak elastis dan mi yang dihasilkan memiliki tekstur


(25)

23

yang kasar dan mudah patah. Tabel 6 menunjukkan bahwa tepung sorgum Pahat dan mocaf memiliki suhu gelatinisasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan maizena, tepung jagung dan sagu aren.

Viskositas puncak menggambarkan kemampuan pati untuk mengembang dengan bebas sebelum mengalami breakdown. Nilai viskositas puncak dipengaruhi oleh kadar amilosa dan amilopektin yang terkandung. Semakin tinggi kadar amilosa suatu bahan, maka viskositas puncaknya semakin rendah. Hal ini disebabkan oleh pengikatan amilosa dengan lemak yang membentuk kompleks pengembangan granula terhambat. Sebaliknya, peningkatan kadar amilopektin akan meningkatkan nilai Viskositas Puncak (Sang et al. 2008). Pengaruh kadar amilosa dan viskositas maksimum dapat diketahui pada formulasi beras analog.

Tabel 6. Profil Gelatinisasi Bahan Baku Beras Analog Profil gelatinisasi Satuan Sorgum

Pahat

Mocaf Maizena Jagung Sagu Aren Suhu Gelatinisasi (Pasting

Temperature, PT)

o

C 86.58 86.1 73.70 76.37 70.5 Viskositas Maksimum (Peak

Viscosity, PV)

cP 1380.00 3239 4167 1334 1050 Viskositas Pasta Panas (Hot

Paste Viscosity, HPV)

cP 1235.50 1625 2081 972 -

Viskositas Breakdown (VB) cP 144.50 1614 2086 362 - Viskositas Pasta Dingin (Cold

Paste Viscosity, CPV)

cP 2665.50 4042 1831 - -

Viskositas Setback (VS) cP 1430.00 2417 3912 863 -

Waktu Gelatinisasi menit 10.84 8.93 - 5.00 -

Sumber : Yuliyanti (2012); Pinasthi (2011); Panikulata (2008); Alam dan Saleh (2009) Sifat fisik warna bahan diketahui melalui uji warna menggunakan alat Chromameter. Dapat dilihat pada Tabel 8 bahwa semua bahan memiliki derajat oHue yang berada pada kisaran 54-90 yang menunjukkan bahwa bahan memiliki warna pada kisaran warna kuning. Namun, masing-masing bahan memiliki tingkat kecerahan yang berbeda-beda. Maizena memiliki tingkat kecerahan tertinggi, sedangkan sorgum Pahat memiliki tingkat kecerahan yang paling rendah.

Tabel 7. Kandungan Amilosa Bahan Baku Beras Analog Bahan baku Amilosa (%)

Sorgum Pahat 29.00

Mocaf 34.75

Jagung 24-46

Maizena 24-46

Sagu Aren 39.00


(26)

24

Tabel 8. Nilai L*ab Warna Bahan Baku Beras Analog

Bahan L + a + b oHue Warna

Sorgum Pahat 58.20 2.03 7.34 74.54 Kuning

Mocaf 63.32 1.62 5.48 73.51 Kuning

Jagung 62.00 0.57 2.44 76.85 Kuning

Maizena 64.46 0.81 3.36 76.45 Kuning

Sagu Aren 58.80 1.90 5.63 71.35 Kuning

4.2.2

Formulasi

Tahap awal formulasi beras analog adalah penelitian pendahuluan untuk menentukan jenis dan jumlah bahan yang digunakan dalam pembuatan beras analog. Penelitian pendahuluan meliputi penentuan jumlah air, perbandingan tepung dan pati, serta penentuan jenis dan jumlah bahan pengikat.

Air merupakan faktor penting dalam pembentukkan beras analog karena air berperan dalam proses gelatinisasi. Jumlah air yang ditambahkan adalah 50% dari jumlah tepung dan pati. Jumlah ini juga mengacu pada pembuatan beras analog metode granulasi yang dipatenkan oleh Kurachi (1995) yang menambahkan air sebanyak 50% dari jumlah tepung dan pati (bahan kering).

Penentuan perbandingan jumlah tepung dan pati berdasarkan penelitian Lisnan (2008) yang membuat beras tiruan berbasiskan tepung dan pati singkong. Beras tiruan dengan perbandingan tepung dan pati sebanyak 70:30 merupakan beras dengan formula terpilih. Oleh karena itu, jumlah pati yang digunakan adalah sebanyak 30% basis bahan kering. Pati yang digunakan pada pembuatan beras analog ini adalah maizena dan sagu aren.

Tepung yang digunakan pada pembuatan beras analog ini pada awalnya adalah satu jenis tepung yaitu tepung sorgum dan mocaf dan pati yang digunakan adalah maizena. Namun, penggunaan satu jenis tepung membuat beras analog yang dihasilkan lengket satu sama lain dan setelah dimasak menghasilkan nasi yang lengket. Berdasarkan penelitian Dewi (2012), tingginya viskositas maksimum bahan baku seperti mocaf dan maizena dapat menyebabkan produk menjadi lengket. Oleh karena itu, ditambahkan tepung jagung sebanyak 40% dan sagu aren pada formulasi untuk memperbaiki tekstur. Tepung jagung digunakan diharapkan dapat mengurangi kelengketan karena tepung jagung mengandung lemak yang cukup tinggi yaitu 4.6 % (FAO 1995).

Bahan pengikat yang digunakan dalam pembuatan beras analog ini adalah emulsifier Gliserol Monostearat (GMS). GMS berfungsi untuk mengikat bahan, menjadi pelumas pada saat ekstrusi, mencegah terjadinya pengembangan ekstrudat, membuat ekstrudat tidak lengket satu sama lain, dan mengurangi cooking loss produk pada saat proses pemasakkan menjadi nasi (Kaur et al. 2004; Singh et al. 2000). Jumlah yang ditambahkan sebanyak 2%. Jumlah ini sesuai dengan paten Kurachi (1995) yang menyatakan jumlah bahan pengikat yang dapat ditambahkan adalah 0.1-10% dari jumlah tepung dan pati.

Gliserol Monostearat diketahui dapat membentuk kompleks inklusi heliks dengan amilosa. Kompleks tersebut dapat mencegah granula pati untuk mengembang yang dapat menyebabkan berkurangnya kekuatan pengembangan dan kelarutan. Kompleks amilosa dengan asam lemak dapat dilihat pada Gambar 6. Asam lemak memiliki bagian yang hidrofobik dan hidrofilik seperti GMS. Oleh karena itu, dapat diperkirakan amilosa dan GMS dapat membentuk struktur yang sama.

Setelah didapatkan jumlah optimum pada masing-masing bahan kemudian dilakukan formulasi. Rancangan formulasi yang dilakukan menggunakan Rancangan Acak Faktorial dengan


(27)

25

dua faktor yaitu tepung dan pati. Formulasi yang didapatkan dari penelitian pendahuluan dapat dilihat pada Tabel 9.

Gambar 6. Kompleks Amilosa dengan Lemak (Putseys et al. 2010) Tabel 9. Formula Beras Analog

Formula Komposisi

1 Tepung Sorgum 30%, Tepung Jagung 40%, Maizena 30%

2 Tepung Sorgum 30%, Tepung Jagung 40%, Maizena 15 % dan Sagu Aren 15% 3 Tepung Sorgum 30%, Tepung Jagung 40%, Sagu Aren 30%

4 Mocaf 30%, Tepung Jagung 40%, Maizena 30%

5 Mocaf 30%, Tepung Jagung 40%, Maizena 15% dan Sagu Aren 15% 6 Mocaf 30%, Tepung Jagung 40%, Sagu Aren 30%

Produk beras analog hasil ekstrusi kemudian diteliti kelengketan dan kemampuannya untuk dapat dimasak. Hasil menunjukkan semua formula menghasilkan beras yang tidak lengket dan dapat dimasak menjadi nasi. Oleh karena itu, seluruh formula diuji lebih lanjut penerimaannya melalui uji rating hedonik. Produk dengan nilai kesukaan tertinggi dikarakterisasi sifak fisik dan kimiannya. Produk beras analog dapat dilihat pada Gambar 7.

`

Amilosa


(28)

26

A B C

D E F Gambar 7. Beras Analog

4.3

PEMASAKAN BERAS ANALOG

Metode pemasakan beras analog tidak jauh berbeda dengan pemasakan beras biasa. Alat yang digunakan untuk memasak beras analog pada penelitian ini adalah rice cooker. Jumlah air yang ditambahkan pada pemasakan beras ini adalah dua bagian volume beras analog. Cara pemasakannya adalah ukur beras sebanyak 200 ml, kemudian ukur air sebanyak 400 ml. Masukkan air ke dalam rice cooker dan nyalakan alat. Didihkan air, setelah air mendidih beras analog baru dapat dimasukkan. Waktu memasak beras analog adalah selama ± 15 menit. Nasi yang telah matang adalah yang sudah tidak memiliki bintik warna putih di tengah dan tekstur yang kenyal. Nasi beras analog dapat dilihat pada Gambar 8.

A B C

D E F Gambar 8. Nasi Beras Analog


(29)

27

4.4

ANALISIS SENSORI BERAS ANALOG

4.4.1

Analisis Rating Hedonik Beras Analog

Hasil analisis sensori beras analog pada parameter warna menunjukkan rataan skor seperti yang terlihat pada Gambar 9.

Gambar 9.Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Warna Beras Analog

Gambar 9 menunjukkan bahwa berdasarkan hasil uji rating hedonik pada parameter warna, beras yang memiliki nilai kesukaan tertinggi adalah beras B dan F. Nilai kesukaan tersebut menunjukkan penilaian panelis terhadap beras B dan F adalah sudah mulai menyukai. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa nilai P value pada uji hedonik parameter warna adalah <0.05 yang berarti skor penilaian sampel berbeda nyata terhadap perlakuan.

Warna produk seperti terlihat pada gambar 7 adalah kuning dan cenderung gelap. Warna kuning pada beras berasal betakaroten yang diperoleh dari jagung (Richana 2010), sedangkan tingkat kecerahan beras juga dipengaruhi oleh komponen yang lain. Substitusi tepung sorgum pada beras B dapat menimbulkan warna gelap karena sorgum masih mengandung tanin. Hal ini disebabkan proses penyosohan sorgum tidak menghilangkan sorgum seluruhnya dan masih meninggalkan minimal 25% kadar tanin awal (Suarni 2001). Selain itu, warna produk yang gelap dapat disebabkan Meskipun nilai kesukaan panelis terhadap warna belum mencapai taraf suka atau sangat menyukai beras berwarna kuning ini dapat berpeluang menjadi beras yang disukai seperti beras merah dan beras hitam melalui proses edukasi.

Gambar 10

.

Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Bentuk Beras Analog

Hasil uji hedonik pada parameter bentuk pada Gambar 10 menunjukkan bahwa beras yang memiliki nilai kesukaan tertinggi adalah beras B dan F. Nilai kesukaan tersebut menunjukkan

4.8386a 9.2586c 7.9371b 4.7557a 7.9786b 9.47c 0 2 4 6 8 10

A B C D E F

Rataan Skor H ed on ik 6.49a 9.06cd 8.11bc 6.4a 7.78b 9.28d 0 2 4 6 8 10

A B C D E F

Rataan Skor H ed on ik


(30)

28

penilaian panelis terhadap beras B dan F adalah sudah mulai menyukai. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa nilai P value pada uji hedonik parameter bentuk adalah <0.05 yang berarti skor penilaian sampel berbeda nyata terhadap perlakuan.

a. Beras Analog b. Beras IR-64

Gambar 11

. P

erbandingan Bentuk Beras Analog dengan Beras Padi

Bentuk beras analog sangat dipengaruhi oleh proses ekstrusi karena pada proses ini terdapat tahap pencetakkan. Bentuk beras analog ditentukan oleh die ekstruder. Gambar 11 menunjukkan bahwa ukuran beras analog sedikit berbeda dengan beras padi. Beras analog berbentuk oval dan pendek dibandingkan dengan beras padi yang lonjong dan panjang. Bentuk beras analog ini masih belum sempurna, namun seiring perkembangan teknologi dapat dilakukan lagi pembuatan beras analog dengan die yang lebih sesuai.

Gambar 12

.

Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Aroma Beras Analog

Skor uji kesukaan panelis terhadap parameter aroma menunjukkan bahwa beras yang memiliki nilai kesukaan tertinggi adalah beras B dan F. Nilai kesukaan tersebut menunjukkan penilaian panelis terhadap beras B dan F adalah sudah moderat menuju agak menyukai. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa nilai P value pada uji hedonik parameter aroma adalah <0.05 yang berarti skor penilaian sampel berbeda nyata terhadap perlakuan.

Aroma beras analog sangat dipengaruhi oleh bahan-bahan yang digunakan dalam formulasi. Aroma jagung paling mendominasi aroma beras analog karena proporsi tepung jagung (40%) merupakan yang paling banyak dibanding tepung yang lain. Tepung sorgum, mocaf dan pati

6.42a

8.696b

6.99a 6.929a

8.21b 8.527b

0 2 4 6 8 10

A B C D E F

Rataan

Skor

H

ed

on


(31)

29

cenderung tidak memiliki aroma yang tajam, namun setelah melalui proses pencampuran dan pemasakan dapat terjadi interaksi bahan yang menimbulkan aroma yang khas.

Gambar 13

.

Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Tekstur Beras Analog

Penilaian kesukaan beras pada parameter tekstur meliputi kehalusan permukaan dan kerapuhan beras. Hasil penilaian menunjukkan bahwa beras yang memiliki nilai kesukaan tertinggi adalah beras D dan B. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pada parameter tekstur perlakuan tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap skor kesukaan konsumen. Namun, hasil penilaian menunjukkan konsumen telah mulai menyukai tekstur produk karena nilai kesukaan konsumen terhadap tekstur adalah 7-9.

Tekstur beras analog meliputi kehalusan dan kerapuhan dipengaruhi oleh proses pencetakkan dan pengeringan. Saat melalui proses pencetakkan dilakukan pemotongan oleh cutter. Jika cutter tidak berputar dengan baik maka akan menyebabkan beras masih memiliki bagian yang terlihat seperti ekor. Ekor tersebut dapat dihilangkan melalui proses penyosohan dan pengayakan, namun proses tersebut akan menurunkan rendemen produk. Oleh karena itu, masih diperlukan optimasi proses meliputi penentuan kecepatan screw yang mendorong adonan dan kecepatan cutter yang memotong hasil cetakan pada ekstruder.

Proses pengeringan ekstrudat juga berpengaruh terhadap tekstur karena pada proses pengeringan terjadi pengeluaran air pada ekstrudat. Ekstrudat pada pembuatan beras analog ini dikeringkan pada oven dryer pada suhu 60oC selama 4 jam. Ekstrudat yang dikeringkan akan mengalami perubahan porositas karena air juga berpengaruh terhadap tekstur beras. Semakin banyak air pada ekstrudat yang teruapkan maka akan membuat beras semakin poros dan permukaannya kasar. Beras yang poros akan lebih rapuh dibandingkan beras yang tidak poros. Akan tetapi penambahan air juga berpengaruh terhadap proses gelatinisasi produk. Oleh karena itu masih diperlukan analisis pengaruh penambahan air, suhu pengeringan dan lama pengeringan produk.

7.4029a

8.5986a 8.2814a 9.0986a 7.8814a 8.2829a

0 2 4 6 8 10

A B C D E F

Rataan

Skor

H

ed

on


(32)

30

Gambar 14. Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Overall Beras Analog

Hasil uji hedonik beras menunjukkan bahwa B dan F juga memiliki nilai kesukaan tertinggi pada parameter overall. Hasil pengolahan data menggunakan SPSS menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata terhadap skor kesukaan panelis pada taraf kepercayaan 95 % dan uji lanjut Duncan juga menunjukkan bahwa beras B dan F berada pada subset yang sama. Penilaian overall produk dipengaruhi oleh keseluruhan karakteristik beras meliputi warna, bentuk, aroma, tekstur. Terlihat bahwa beras B dan F sudah memiliki skor penilaian diatas moderat dan sudah mulai disukai.

4.4.2

Analisis Rating Hedonik Nasi Beras Analog

Hasil uji hedonik pada Gambar 15 menunjukkaan bahwa pada parameter warna nasi yang memiliki nilai kesukaan tertinggi adalah nasi B, E dan F. Nilai kesukaan tersebut menunjukkan penilaian panelis terhadap nasi B, E dan F adalah moderat-agak menyukai. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa nilai P value pada uji hedonik parameter warna adalah <0.05 yang berarti skor penilaian sampel berbeda nyata terhadap perlakuan.

Gambar 15

,

Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Warna Nasi Beras Analog

Warna nasi seperti yang terlihat pada Gambar 7 adalah kuning kecoklatan dan agak berbeda dengan warna nasi yang putih. Warna kuning pada nasi lebih pudar dibandingkan warna berasnya. Perubahan warna tersebut terjadi karena proses pemasakan yang menimbulkan gelatinisasi pati. Warna nasi dengan substitusi tepung sorgum menjadi agak kecoklatan dapat disebabkan kandungan tanin pada nasi.

5.946a 9.197c 7.839b 6.359b 8.263b 9.449c 0 2 4 6 8 10

A B C D E F

S ko r R ataan H ed on ik 6.067a 7.646bc 7.016b 5.511a

7.966bc 8.251c

0 2 4 6 8 10

A B C D E F

Rataan Skor H ed on ik


(33)

31

Gambar 16.Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Bentuk Nasi Beras Analog

Gambar 16 menunjukkan bahwa pada parameter bentuk nasi yang memiliki nilai kesukaan tertinggi adalah nasi E dan F. Bentuk nasi beras analog lebih besar dibandingkan dengan berasnya. Perubahan bentuk tersebut disebabkan oleh proses pemasakan yang menggunakan air. Sebagian besar komponen beras analog adalah karbohidrat berbentuk pati maka proses swelling tersebut terjadi karena adanya gelatinisasi pati (Winarno 2008). Pati yang dipanaskan bersama air akan menyerap air untuk memecah struktur pati. Setelah struktur pati pecah air diserap pati sehingga viskositas akan meningkat. Proses pemanasan ini juga akan mengikat molekul air pada pati sehingga air terserap dan menyebabkan ukuran nasi lebih besar dibandingkan beras.

Gambar 17.Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Aroma Nasi Beras Analog

Gambar 17 menunjukan bahwa pada parameter aroma nasi yang memiliki nilai kesukaan tertinggi adalah nasi A dan B. Aroma nasi merupakan salah satu parameter yang penting pada penerimaan nasi. Umumnya di masyarakat nasi yang paling disukai adalah nasi beraroma pandan. Beras beraroma pandan biasanya berkaitan dengan kepulenan nasi. Aroma nasi beras analog dominan dipengaruhi oleh aroma jagung karena proporsi jagung yang paling besar. Oleh karena itu, penerimaan panelis terhadap aroma nasi beras analog masih dibawah netral/moderat.

5.854a 6.461ab

6.883ab

6.093ab

7.241b 7.02b

0 2 4 6 8

A B C D E F

Rataan Skor H ed on ik

6.614b 6.514b

4.389a

5.624b

6.154b 6.067b

0 1 2 3 4 5 6 7

A B C D E F

R at aan Sko r H e d o n ik


(34)

32

Gambar 18

.

Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Rasa Beras Beras Analog

Gambar 18 menunjukkan bahwa berdasarkan hasil uji rating hedonik pada parameter rasa nasi yang memiliki nilai kesukaan tertinggi adalah nasi B dan F. Nilai kesukaan nasi menggambarkan bahwa rasa nasi beras analog sudah mulai disukai. Rasa nasi beras analog sendiri adalah hambar (plain) sehingga memiliki peluang untuk dikonsumsi dengan bentuk olahan yang lain seperti nasi goreng dan nasi bakar.

Tekstur nasi juga merupakan faktor penting dalam penerimaan nasi. Penilaian tekstur nasi meliputi kepulenan dan kelengketan. Diagram pada Gambar 19 dapat menunjukkan bahwa nasi yang memiliki kesukaan tertinggi adalah nasi B, E dan F. Kepulenan dan kelengketan nasi sebagian besar dipengaruhi oleh kadar amilosa dan amilopektin. Beras yang mengandung kadar amilosa rendah (10-15%) memiliki karakterisitik nasi yang pulen dan agak lengket. Beras yang mengandung kadar amillosa sedang (16-24) memiliki karakteristik nasi yang tidak pera namun tidak pulen dan agak lengket. Beras yang mengandung kadar amilosa tinggi (25-35%) memiliki karakteristik pera dan tidak lengket (buyar).

Gambar 19. Nilai Rataan Skor Hedonik Parameter Tekstur Nasi Beras Analog 6.866a

8.063b

6.906a 7.097ab

7.756ab 7.763ab

6 6,5 7 7,5 8 8,5

A B C D E F

Rataan

Skor

H

ed

on

ik

6.921a

7.994bc

7.089ab 7.639ab

8.064bc 8.706c

0 2 4 6 8 10

A B C D E F

Rataan

Skor

H

ed

on


(1)

69 Lampiran 26. Hasil Uji Independent T-test Kadar Pati Beras Analog

Group Statistics

Sampel N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

K.pati Formula B 2 68.4750 .10607 .07500

Formula F 2 65.1050 4.23557 2.99500

Independent Samples Test Levene's Test for Equality

of Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df Sig. (2-tailed)

Mean Difference

Std. Error Difference

95% Confidence Interval of the Difference

Lower Upper

K.pati Equal variances

assumed 1.060E16 .000 1.125 2 .378 3.37000 2.99594 -9.52048 16.26048

Equal variances not


(2)

70 Lampiran 27. Kadar Amilosa Beras Analog

Sampel Ulangan W sampel (g) FP V sampel (ml) Abs Konsentrasi amilosa

%

Amilosa x ulangan x amilosa (%) SD RSD A RSD H

Beras B

Ulangan Perlakuan

1 0.1043 20 100 0.204 0.0111 21.24

21.29

21.72 0.60 2.77 2.52

2 0.1043 20 100 0.205 0.0111 21.34

Ulangan Pengukuran

1 0.1095 20 100 0.224 0.0122 22.19

22.14

2 0.1095 20 100 0.223 0.0121 22.09

Beras F

Ulangan Perlakuan

1 0.1069 20 50 0.278 0.0150 14.07

14.05

14.49 0.62 4.27 2.67

2 0.1069 20 50 0.277 0.0150 14.02

Ulangan Perlakuan

1 0.1093 20 100 0.15 0.0082 14.97

14.92

2 0.1093 20 100 0.149 0.0081 14.87

Konsentrasi standar = 40mg/100ml Konsentrasi Amilosa Absorbansi

0.004 0.049

0.008 0.117

0.012 0.198

0.016 0.245


(3)

71 Lampiran 28. Hasil Uji Independent T-test Kadar Amilosa

Group Statistics

Sampel N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

K.amilosa Formula B 2 21.7150 .60104 .42500

Formula F 2 14.4850 .61518 .43500

Independent Samples Test Levene's Test for Equality

of Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df Sig. (2-tailed)

Mean Difference

Std. Error Difference

95% Confidence Interval of the Difference

Lower Upper K.amilosa Equal variances

assumed 8.901E12 .000 11.888 2 .007 7.23000 .60815 4.61333 9.84667

Equal variances


(4)

72 Lampiran 29. Hasil Analisis Warna Beras Analog

Sampel Ulangan L a (+) b (+) Ulangan

L Ulangan a Ulangan b L a (+) b (+) o

Hue Warna

Beras B

Ulangan Perlakuan

1 56.84 4.14 24.44

56.84 4.135 24.44

60.86 3.8825 23.675 80.68 Kuning-Merah 2 56.84 4.13 24.44

Ulangan Pengukuran

1 64.88 3.63 22.91

64.88 3.63 22.91 2 64.88 3.63 22.91

Beras F

Ulangan Perlakuan

1 57.38 4.25 27.54

57.38 4.25 27.535

60.815 3.815 25.9325 81.63 Kuning-Merah 2 57.38 4.25 27.53

Ulangan Perlakuan

1 64.25 3.38 24.33

64.25 3.38 24.33 2 64.25 3.38 24.33


(5)

73 Lampiran 30. Bobot 1000 butir beras Analog

Sampel Ulangan Bobot 1000

butir x ulangan

Rata-rata bobot

1000 butir SD RSDA RSDH

Beras B

Ulangan Perlakuan 1 20.45 19

18.8425 0.222739 1.18 2.57

2 17.55

Ulangan Pengukuran 1 18.25 18.685

2 19.12

Beras F

Ulangan Perlakuan 1 15.76 16.205

15.945 0.367696 2.31 2.64

2 16.65

Ulangan Perlakuan 1 15.57 15.685


(6)

74 Lampiran 31. Densitas Kamba Beras Analog

Sampel Ulangan Densitas Kamba

(g/ml) X Ulangan

Rata-rata

Densitas Kamba SD RSDA RSDH

Beras B

Ulangan Perlakuan 1 0.643 0.6535

0.649 0.060104 0.93 3.02

2 0.664

Ulangan Pengukuran 1 0.66 0.645

2 0.63

Beras F

Ulangan Perlakuan 1 0.665 0.6915

0.699 0.113137 1.62 2.98

2 0.718

Ulangan Perlakuan 1 0.699 0.7075