Pertambahan Bobot dan Ukuran Badan Anakan Buaya Muara (Crocodylus porosus Schneider, 1801) dengan Perlakuan Beberapa Formulasi Pakan Daging Ayam dan Ikan Kembung di Taman Margasatwa Ragunan

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Taman Margasatwa Ragunan (TMR) merupakan salah satu bentuk lembaga konservasi ex-situ sesuai keputusan Dirjen Kehutanan No.20/Kpts/DJ/I/1978. Tujuan lembaga konservasi ex-situ TMR antara lain, mempertahankan populasi jenis satwa yang cukup sehingga stabil secara demografi dan sehat secara genetik, mendukung upaya reintroduksi satwa ke alam, menampilkan berbagai jenis satwa yang menarik untuk tujuan konservasi, pendidikan dan penelitian. Taman Margasatwa Ragunan memiliki lebih dari 260 jenis satwa, diantara jenis satwa yang terdapat di TMR adalah buaya muara (Crocodylus porosus).

Buaya muara termasuk kategori Least Concern dalam International Union for Conservation of Nature (IUCN) Red List of Threatened Species dan Appendix I CITES (Convention on International Trade of Endangered Spesies of Wild Flora and Fauna) kecuali di Australia, Indonesia dan Papua Nugini yang masuk ke dalam Appendix II CITES. Appendix II ini berarti bahwa segala spesimen satwa dalam keadaan hidup atau mati dilarang diperdagangkan, kecuali satwa berasal dari penangkaran (Crocodile Specialist Group 1996).

Buaya merupakan salah satu jenis reptilia yang saat ini keberadaannya di Indonesia terancam punah. Pemanfaatan buaya oleh masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Papua sudah sejak lama dilakukan yaitu sebagai sumber protein hewani. Sedangkan pemanfaatan secara komersil dengan memperdagangkan kulit buaya berkisar $500 sampai $1000 per ekor tergantung ukuran pada kurs dollar Rp 9000 (Suara Media 2010). Kulit buaya digunakan sebagai bahan baku bagi industri kulit dan tekstil dalam pembuatan berbagai macam aksesoris seperti tas, sepatu, dompet, jaket, sabuk, dan lain sebagainya. Usaha perdagangan ini berkembang tanpa pengendalian yang memadai, sehingga untuk mengatasi kepunahan Pemerintah Indonesia melindungi jenis satwa ini sebagaimana dituangkan dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 716/kpts/Um/10/1980 dan Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwaliar. Sedangkan upaya pengelolaan dan


(2)

pemanfaatan mendapat dukungan dari pemerintah melalui Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.

Penurunan populasi buaya selain karena perburuan, juga disebabkan oleh rusaknya habitat satwa buaya itu sendiri. Buaya hidup di perairan air tawar seperti danau, sungai, dan rawa-rawa. Beberapa spesies dapat ditemukan di air asin (Webb 1977). Penurunan kualitas habitat buaya di atas disebabkan oleh pembukaan kawasan hutan akibat penebangan kayu yang tidak memperhatikan kelestarian hutan, baik disebabkan oleh perladangan berpindah, pemegang hak pengusahaan hutan, maupun pembukaan lahan transmigrasi yang ceroboh turut mempercepat penurunan kualitas habitat buaya. Penurunan kualitas habitat buaya mengakibatkan terdesaknya populasi sehingga jumlah buaya di alam menurun drastis. Selain itu pemangsaan oleh predator paling tinggi terjadi pada tingkat anakan dan biasanya hanya 5% yang dapat hidup mencapai dewasa (Lever 1975).

Berdasarkan status dan kondisi populasi buaya muara yang terancam kepunahan baik dari gangguan alami maupun manusia seperti kerusakan habitat dan perburuan satwa, maka upaya-upaya pelestarian dan penyelamatan perlu dilakukan. Usaha pelestarian dapat dilakukan melalui usaha penangkaran yang mencakup kegiatan pemeliharaan, pembesaran, pengadaan buaya hasil perkembangbiakan, bahan penelitian dan pendidikan, dan restocking (pelepasan buaya ke habitat alaminya). Upaya yang dilakukan oleh TMR adalah dengan melakukan kegiatan penangkaran di luar habitat aslinya dan telah berhasil menetaskan anakan buaya muara. Upaya tersebut memerlukan data dan informasi mengenai pertumbuhan anakan buaya dan pakan yang diberikan di penangkaran.

Penelitian tentang pertumbuhan dan pakan buaya muara belum banyak dilakukan dalam penangkaran. Pemilihan daging ayam (Gallus sp.) dan ikan kembung (Rastrelliger sp.) sebagai pakan pada penelitian ini disebabkan kedua jenis pakan tersebut memiliki protein yang cukup tinggi, mudah diperoleh, dan memiliki harga yang relatif murah. Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan informasi jenis pakan yang cocok dan sesuai yang memberikan pengaruh paling cepat terhadap pertumbuhan anakan buaya muara. Dengan diketahuinya pertumbuhan anakan buaya muara diharapkan dapat membantu usaha konservasi jenis satwa ini sehingga populasi buaya muara dapat terjaga kelestariannya.


(3)

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk :

1. Menentukan perbandingan formulasi jumlah bahan pakan daging ayam dan ikan kembung yang paling cocok untuk pertumbuhan anakan buaya muara di Taman Margasatwa Ragunan (TMR).

2. Melakukan analisis kandungan gizi yang terkandung di dalam bahan pakan. 3. Mendeskripsikan teknik pemeliharaan anakan buaya muara di TMR.

1.3 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini yaitu agar dapat menjadi referensi dan bahan masukan perencanaan dan pengelolaan buaya muara bagi instansi terkait dalam upaya pengelolaannya. Penelitian ini juga diharapkan bisa memberi masukan terhadap usaha pembesaran anakan buaya muara dalam penangkaran yang lebih baik lagi, sehingga populasi di alam tidak terancam oleh adanya kegiatan penangkaran buaya (farming) dan kelestarian buaya muara dapat terjaga.


(4)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bio-Ekologi Buaya Muara 2.1.1 Klasifikasi dan morfologi

Menurut Goin et al. (1978) buaya muara secara sistematik diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Reptilia Sub kelas : Archosauria Ordo : Crocodylia Famili : Crocodylidae Sub famili : Crocodylinae Genus : Crocodylus

Spesies : Crocodylus porosus (Schneider, 1801)

Buaya muara (Crocodylus porosus) memiliki nama umum antara lain

saltwater crocodile, salty crocodile, estuarine crocodile, indo-pacific crocodile, baya, buaja, buaya muara (Indonesia), kone huala (Papua New Guinea), gatta kimbula, gorekeya, pita gatteya, pukpuk (Aborigin) dan jara kaenumkem (Thailand). Secara etimologi crocodylus berasal dari bahasa Yunani krokodeilos

yang berarti “kerikil cacing” (kroko=kerikil; deilos=cacing, atau laki-laki) merujuk pada penampilan buaya. Porosusberasal dari bahasa Yunani “porosis”

dan “osus” yang berarti “permukaan kulit tebal, besar dan bergelombang”, mengacu pada kulit yang berkerut dan bergelombang di bagian moncong dan permukaan atas buaya dewasa. Buaya muara memiliki sub spesies yaitu C. p. minikanna yang merupakan hasil kawin silang dengan Crocodylus siamensis di penangkaran buaya, namun jenis ini tidak diakui secara resmi (Britton 2011).

Buaya muara memiliki ekor yang panjang dan kuat yang digunakan untuk berenang, selain itu digunakan sebagai alat persenjataan diri dalam menyerang dan bertahan (Goin et al. 1978). Perbedaan jenis kelamin buaya jantan dan betina


(5)

menurut Dirjen PHPA (1985) dapat dilihat dari perbedaan bentuk ekor. Umumnya buaya jantan berekor tegak, sementara buaya betina berekor rebah.

Buaya muara memiliki warna kulit coklat kotor sampai hitam dengan bentuk kepala yang lonjong dan bentuk moncong yang bervariasi menurut umur dan ukuran tubuh (Masyud et al. 1993). Nuitja (1979) menjelaskan bahwa bagian atas tubuh buaya muara dewasa berwarna gelap kuning kehijauan dan bagian bawah tubuh berwarna kekuningan.

Nuitja (1979) menyatakan bahwa ukuran buaya muara terpanjang yang pernah ditemui adalah 20 feet (6,1 meter) dengan rata-rata panjang berkisar antara 12-14 feet (3,65-4,27 meter). Sementara itu, Masyud et al. (1993) mengemukakan bahwa panjang badan jantan dewasa bisa mencapai 6-10 meter dan panjang betina dewasa dapat mencapai 4 meter. Bobot buaya muara dewasa bervariasi, tetapi umumnya diketahui bahwa untuk bobot yang melebihi 1000 kg menunjukkan pendugaan ukuran panjang mencapai 6 meter. Gambar buaya muara dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini.

Sumber: a) Britton A, 2011; b) Dokumentasi pribadi.

Gambar 1 Buaya muara (Crocodylus porosus). Ket: a) Kepala; b) Seluruh tubuh. 2.1.2 Populasi dan Penyebaran

Menurut Dirjen PHPA (1985), penyebaran buaya muara (Crocodylus porosus) sangat luas yaitu meliputi daerah delta Sungai Gangga, Pantai Bengal di India bagian Tenggara hingga Ceylon, Birma, Malaysia, Thailand, Indocina, Filipina, Australia, Papua New Guinea, Pulau Solomon, Vanuatu, Fiji dan daerah barat daya daratan China. Di Indonesia, daerah penyebarannya meliputi hampir


(6)

seluruh wilayah daerah-daerah sungai di Indonesia, diantaranya adalah di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya (Gambar 2).

(Sumber: Britton A, www.crocodilian.com/cnhc/cst_cpor_dh_map.htm)

Gambar 2 Daerah penyebaran buaya muara.

Estimasi populasi buaya muara mencapai 200.000 sampai 300.000 individu yang terdapat di Australia, Indonesia dan Papua New Guinea tetapi langka dan habis di tempat lain pada habitatnya di seluruh dunia. Australia merupakan pusat dari sebagian besar penelitian yang ekstensif dilakukan pada spesies ini, dan beberapa model penangkaran juga program konservasi telah ada disana. Diperkirakan bahwa setidaknya terdapat 100.000 sampai 150.000 individu buaya muara di tiga negara bagian Australia yaitu Australia Barat, Queensland, dan Australia Utara dimana populasi dari buaya muara terbesar berada (Britton 2011). 2.1.3 Habitat dan Pakan

Habitat adalah kawasan yang terdiri dari beberapa kawasan, baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembangbiaknya satwaliar (Alikodra 2002). Sandjojo (1982) mengatakan bahwa buaya adalah jenis satwa yang sangat tergantung pada adanya air, dimana air berperan sebagai media hidup bagi buaya tersebut. Buaya pada siang hari biasa berjemur di tepi sungai terbuka.

Buaya muara (Crocodylus porosus) memiliki toleransi yang tinggi terhadap salinitas, dapat ditemukan di perairan payau sekitar wilayah pesisir dan sungai. Buaya muara juga terdapat di sungai air tawar, rawa dan danau. Perpindahan


(7)

buaya diantara beberapa habitat terjadi saat musim kering dan basah, merupakan hasil dari adanya status sosial. Remaja dibesarkan di daerah perairan tawar, tetapi menjelang dewasa buaya biasanya keluar dari daerah ini ke daerah yang lebih terpisah dan bersalinitas tinggi untuk melakukan perkawinan sebagai daerah teritori dan berkembangbiak (Britton 2011).

Nuitja (1979) mengemukakan bahwa habitat peneluran buaya muara umumnya ditumbuhi oleh formasi paku-pakuan (Acrostichum aureum), bluntas (Pluchea indica), gelam (Melaleuca sp.), pulai (Alstonia angustiloba), terenteng (Cempnosperma bancanus), geranggang (Cratoxylon arborescens), meranti batu (Shorea teysmaniana), merbau (Intsia bijuga), dan raja bunga (Adenanthera temarindifilia). Selain itu diketahui pula jenis nipah (Nypa fruticans) dan pidada (Sonneratia sp.) umumnya mudah ditemui di sekitar daerah habitat buaya muara.

Buaya bermoncong panjang dan langsing seperti Gavialis gangeticus,

Tomistoma sp., dan beberapa dari jenis Crocodylus adalah pemangsa ikan sejati, meskipun buaya tersebut juga memakan berbagai jenis hewan air lainnya serta mamalia dalam ukuran kecil. Sementara itu buaya bermoncong lebih berat, lebar, dan kuat seperti jenis C. porosus dan C. palustris memakan mangsa yang berukuran lebih besar. Jenis buaya tersebut juga ditemukan menyerang dan memakan manusia (Ross 1989). Sandjojo (1982) mengemukakan bahwa buaya juga memakan bangkai dan terkadang mengubur mangsanya terlebih dahulu untuk dimasakkan. Fungsi dimasakkan ini diduga adalah sebagai cara untuk membuat makanan tersebut mengalami pembusukan.

Ross (1989) menyebutkan bahwa pada dasarnya jenis Crocodilian di berbagai habitat akan memakan jenis mangsa apapun yang tersedia. Idealnya, dengan bertambahnya ukuran tubuh maka buaya tersebut akan memakan jenis mangsa berukuran besar. Namun buaya tersebut tidak kehilangan kemampuannya dalam menangkap mangsa berukuran kecil.

Dirjen PHPA (1985) mengemukakan bahwa variasi jenis pakan buaya tergantung pada usianya. Setelah ukuran buaya mencapai panjang 2 meter lebih, maka buaya tersebut dapat mulai memangsa jenis mamalia dan bahkan bangkai dari makhluk hidup lainnya. Dari hasil analisa makanan terhadap isi perut 4 ekor buaya muara berukuran 1,5-1,67 meter di Sungai Paloh (Kalimantan Barat),


(8)

diketahui bahwa porsi terbesar makanan buaya tersebut adalah ikan belanak (Mugil sp.) disusul oleh berbagai jenis crustacean dan ikan bulan-bulan (Megalop sp.). Sedangkan buaya muara di daerah Australia, menunjukkan bahwa buaya dewasa memakan jenis ikan, kepiting, reptil, burung, dan mamalia. Sedangkan buaya muda memakan jenis ikan-ikan kecil, burung, insekta, dan crustacean,

Buaya termasuk karnivora sehingga memakan berbagai jenis daging diantaranya berupa serangga, udang, ikan, tikus, burung air dan ular. Jenis yang dapat diberikan kepada anak-anak buaya yaitu serangga, udang kecil, dan ikan kecil (Taylor 1979). Anak buaya yang masih kecil biasanya masih perlu dibantu untuk makanannya dengan cara disuapi. Jenis pakan yang dapat diberikan adalah ikan dan daging binatang yang masih segar dan bila sudah busuk harus dibuang agar tidak terjangkit penyakit. (Kantor Wilayah Departemen Kehutanan 1986).

Selanjutnya Taylor (1979) menyatakan pada 289 ekor buaya muara di alam Australia Utara yang berukuran tidak lebih dari 180 cm menunjukkan bahwa porsi terbesar makanan buaya tersebut adalah kepiting mangrove dari sub famili Sesarminae dan udang dari genus Macrobrachium. Selain itu diketahui pula jenis ikan yang paling banyak dimakan adalah jenis Pseudogobius sp. yang merupakan jenis ikan perenang lambat di permukaan air. Garmett dan Murray (1986) pada buaya muara di penangkaran telah berhasil menyimpulkan bahwa buaya muara akan mendapatkan hasil pertumbuhan yang lebih baik dengan pemberian makanan jenis daging babi dan daging sapi dibandingkan dengan jenis ikan.

Kebutuhan pakan buaya berbeda-beda tergantung dari berbagai faktor seperti, spesies, jenis kelamin, umur, keaktifan, dan keadaan lingkungan (Masyud

et al. 1993). Buaya liar di alam umumnya mencari makanan pada malam hari saat suhu lingkungan menurun (Lang 1987 diacu dalam Harto 2001). Selain temperatur, salinitas perairan dan tipe habitat yang berbeda juga turut mempunyai peran dalam frekuensi pakan yang dimakan oleh buaya muara liar (Taylor 1979). Garret dan Murray (1986) menjelaskan bahwa kepadatan populasi buaya muara di kandang pada sistem penangkaran yang terlalu tinggi akan menimbulkan interaksi signifikan pada tingkat stres buaya. Hal ini dapat mempengaruhi tingkat konsumsi buaya tersebut pada makanannya. Permatasari (2002) menjelaskan bahwa tingkat kelaparan buaya dipengaruhi oleh temperatur lingkungan, penyakit, maupun stres.


(9)

Ross (1989) menyatakan buaya dapat bertahan hidup tanpa makanan selama beberapa bulan karena buaya dapat menyimpan dan mengkonversi energi hasil yang dimakan dalam bentuk lemak. Jika terlalu lama berpuasa, dapat mengakibatkan pertumbuhan buaya terhambat dan kondisis buaya menjadi lemah.

Pakan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kehidupan organisme pada buaya. Pemberian pakan ditujukan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok, tetapi juga untuk mencapai tingkat produksi yang setinggi-tingginya. Bahkan karena biaya pakan dalam usaha penangkaran merupakan biaya tidak tetap terbesar, tingkat produksi tersebut harus diusahakan dapat dicapai dengan biaya yang semurah-murahnya (Butardi diacu dalam Izzudin 1989). 2.1.4 Reproduksi

Menurut Thohari (1987), dalam usaha penangkaran dikatakan berhasil apabila teknologi reproduksi jenis satwa tersebut telah dikuasai. Pengembangbiakkan dapat melalui perkawinan antara satwa jantan dengan betina secara alami, inseminasi buatan, pemindahan embrio (embrio trasfer) ataupun dengan pembuahan secara invitro.

Buaya muara (Crocodylus porosus) diketahui mencapai kedewasaan pada ukuran panjang 3-3,6 meter. Panjang minimum buaya muara pada saat memijah adalah 2,2 meter untuk buaya betina dan 3 meter untuk buaya jantan atau umur minimum 10 tahun untuk buaya betina dan umur 15 tahun untuk buaya jantan (Dirjen PHPA 1985). Sex rasio buaya jantan dan betina di penangkaran adalah 1 : 3 (Dirjen PHPA 1987).

Grzimek (1975) mengemukakan bahwa buaya muara jantan dewasa mencapai dewasa kelamin pada ukuran panjang tubuh 2,9-3,3 m dengan berat badan 80-160 kg, sedangkan betina mencapai dewasa pada ukuran panjang minimum 2,4-2,8 m, mencapai dewasa diperkirakan 8-12 tahun.

Masyud et al. (1993) menjelaskan bahwa di alam, buaya muara mulai berkembangbiak apabila telah mencapai umur 10 tahun pada betina dan mencapai umur 15 tahun pada buaya jantan. Masa hidup buaya muara dapat mencapai 60-80 tahun dengan masa potensial reproduksi dari umur 25-30 tahun. Buaya muara bereproduksi pada musim hujan, yang berlangsung antara bulan November hingga bulan Maret. Umumnya buaya muara ditemukan memijah di perairan air tawar,


(10)

dimana jantan akan menetapkan serta mempertahankan wilayahnya apabila ada jantan lain yang berusaha masuk ke daerah tersebut.

Buaya muara berkembangbiak dengan cara bertelur dan jumlah telur yang dihasilkan setiap musim sebanyak 10-75 butir dengan rata-rata telur yang dihasilkan sebanyak 44 butir. Lama pengeraman telur berkisar antara 78-114 hari dengan rata-rata pengeraman selama 98 hari. Berat telur buaya muara yang dihasilkan berkisar antara 69-118 gram dengan rata-rata berat telur sebesar 93 gram. Sedangkan panjang anakan buaya muara setelah menetas berkisar antara 20-30 cm (Masyud et al. 1993). Menurut Iskandar (2000) buaya muara betina bertelur pada awal musim hujan. Sekali bertelur dihasilkan rata-rata 22 butir telur dengan berat rata-rata 104 gram, anakan yang menetas berukuran 310-370 mm, memiliki warna abu-abu kecoklatan.

Buaya memperbanyak keturunannya dengan cara bertelur. Kopulasi dilakukan di dalam air yang didahului perkelahian antara buaya jantan dengan buaya betina dan hanya berlangsung beberapa menit pada siang hari (Dinas Kehutanan 1986 diacu dalam Ratnani 2007). Tanda-tanda masa birahi dan terjadinya perkawinan buaya jantan selalu membenturkan kepala ke tubuh buaya betina. Buaya betina tidak melakukan reaksi melawan terhadap benturan buaya jantan. Perkawinan terjadi di dalam kolam dan sulit dideteksi, pada umumnya terjadi antara bulan Februari – Oktober (Tim PT Yasanda 1992 diacu dalam Ratnani 2007).

Buaya muara di penangkaran sering kali membuat sarang untuk menempatkan sejumlah telur. Sarang-sarang dibuat pada tanah yang agak tinggi dan kering. Di sekeliling sarang tersebut terdapat pelepah pisang, glagah dan ranting-ranting, semak-semak dan dedaunan kering. Semua material yang sudah kering dibuat sarang yang berbentuk gundukan menyerupai kurungan ayam. Di sekeliling sarang biasanya terdapat tanah kering yang agak bersih dengan sebuah lingkaran berjari-jari berkisar 2-3 m (Ratnani 2007).

Dirjen PHPA (1985) menjelaskan bahwa tipe sarang telur buaya muara adalah tipe mound, dengan diameter, tinggi, dan suhu sarang berukuran masing-masing 1,2-2,3 m, 0,4-0,76 m, dan 300C-37,20C. Buaya muara memiliki musim bertelur yang berbeda tergantung dari daerah penyebarannya. Di Australia Utara


(11)

musim bertelur buaya muara berlangsung antara Bulan Oktober – Juni, di Srilanka pada Bulan Juni – September, dan di daerah Papua musim bertelur berlangsung pada Bulan Oktober – April.

Buaya memiliki suatu hierarki dominansi baik itu populasi yang terdapat di alam liar maupun populasi yang terdapat di dalam penangkaran. Suatu individu yang dominan ditentukan dari ukuran dari buaya tersebut. Apabila buaya tersebut memiliki ukuran yang paling besar, individu buaya tersebut merupakan individu buaya yang paling dominan (Morpurgo et al. 1993). Individu jantan yang dominan memiliki kekuasaan dalam mengontrol kesempatan kawin, perolehan makanan dan ruang gerak, sedangkan individu betina cenderung memperlihatkan dominansinya saat melakukan pemilihan letak sarang (Ross 1989).

2.2 Pemeliharaan Buaya

Setyonugroho (1995) menyebutkan bahwa kriteria pemilihan bibit di penangkaran Perhutani Purwakarta dan Taman Buaya Indonesia (TBI) Bekasi yaitu sehat, penampilan baik, pertumbuhan yang tinggi, dan tidak memiliki cacat bawaan. Penjodohan yang dilakukan di kedua penangkaran tersebut yaitu dengan menempatkan beberapa induk buaya jantan dan betina dalam satu kandang pembiakan. Pengeraman telur di Perhutani dilakukan secara alami dengan daya tetas sebesar 29,70 %, sedangkan di TBI telur dierami secara buatan (inkubator) dengan daya tetas sebesar 38,36%. Perawatan dan penyapihan anakan buaya di penangkaran Perhutani dilakukan sampai buaya berumur satu bulan, sedangkan di TBI sampai buaya berumur satu tahun.

Susanti (2011) menyebutkan di penangkaran buaya CV Surya Raya Balikpapan terdapat lima jenis kandang yaitu kandang show room untuk memamerkan jenis buaya yang dipelihara dan agar memudahkan pengunjung mengetahui jenis buaya yang terdapat di penangkaran, kandang anakan (hatchling pen) untuk anakan buaya yang baru menetas sampai berumur 6 bulan, kandang buaya muda (juvenile pen) untuk pemeliharaan buaya setelah dipindahkan dari kandang anakan berumur > 6 bulan – 1 tahun, kandang remaja atau pembesaran (rearing pen) untuk membesarkan buaya muda berumur di atas 1 tahun hingga buaya mencapai ukuran siap potong kira-kira berumur 2-4 tahun, dan kandang induk atau pembiakan (breeding pen) untuk buaya induk berumur > 8 tahun.


(12)

Susanti (2011) juga menyebutkan bahwa ditinjau dari konstruksi kandangnya, semua jenis kandang di penangkaran buaya CV Surya Raya termasuk dalam katagori kandang permanen dan box plastik. Konstruksi kandang permanen terdiri dari pagar berupa tembok dan sebagian ditambah kawat ram, kayu sebagai kerangka kandang, seng, asbes atau fiber sebagai atap. Bolton (1989) mengatakan bahwa pagar kandang buaya sebaiknya terbuat dari kayu atau jaring kawat besi serta tembok dari batu bata, beton, bahan metal atau kombinasi dari bahan tersebut. Dallas (2006) menyebutkan bahwa plastik merupakan bahan yang dianjurkan dalam pemeliharaan reptil karena memiliki permukaan tidak kasar, mengikuti perubahan suhu lingkungan, mudah dibersihkan dan diperoleh.

Susanti (2011) menyebutkan bahwa kegiatan perawatan kandang di penangkaran buaya CV Surya Raya terdiri dari pembersihan di dalam dan di luar kandang. meliputi kegiatan membersihan kandang dari sisa-sisa makanan, menguras dan mengganti air kolam dengan air yang bersih, membersihkan sampah di sekitar kandang, merapikan tanaman yang tumbuh di sekitar penangkaran, dan memperbaiki sarana penangkaran yang rusak. Perawatan kandang bertujuan untuk menjaga kebersihan kandang sehingga buaya dapat hidup sehat dan mencegah timbulnya bibit penyakit. Kebersihan kandang dan perlengkapannya perlu diperhatikan karena akan mempengaruhi kesehatan buaya. Pemeliharaan buaya jenis yang sama dan ukuran besarnya mendekati satu kelompok (biasanya deviasi panjang 5 cm) ditempatkan dalam satu kandang yang memiliki kolam, daratan dan tempat berjemur. Kandang dipantau setiap hari mencakup kegiatan kebersihan kandang, perkembangan buaya, jadwal pakan per kandang dan nafsu makan buaya terhadap pakan yang diberikan. Untuk perkembangan buaya yang perlu diperhatikan adalah pengelompokkan buaya ke kandang yang sesuai, buaya yang kurus atau luka dimutasikan ke kandang karantina (Dirjen PHPA diacu dalam Setyonugroho 1995).

Penyakit yang umumnya menyerang buaya, diantaranya adalah gastroenteritis, pneumonia, hepatitis, luka pada kulit, katarak pada mata, cacingan, dan kelumpuhan (Djaidi diacu dalam Setyonugroho 1995). Gejala umum yang mudah dikenali dari buaya yang kurang sehat adalah kurang nafsu makan, luka pada kulit dan gerakan yang lamban. Untuk jenis buaya yang terdapat gejala


(13)

tersebut pada umumnya oleh penangkar di isolasikan pada kandang karantina (Dirjen PHPA diacu dalam Setyonugroho 1995).

2.3 Perilaku Makan dan Sistem Pencernaan

Ross (1989) menjelaskan bahwa buaya bukan tipe pemangsa aktif, tetapi lebih sering menunggu mangsa yang datang ke tempat sekitar habitatnya. Hal ini dilakukan dalam rangka menghemat energinya. Goin et al. (1978) menjelaskan bahwa pada saat melumpuhkan mangsanya, buaya muara menggunakan gigi, ekor, dan kaki-kakinya yang kuat. Gigi digunakan untuk memotong tapi tidak digunakan untuk mengunyah. Susunan gigi buaya muara terdiri dari pre-maxilla

sebanyak 4-5 buah, maxilla sebanyak 13-14 buah, dan mandibular sebanyak 15 buah, sehingga jumlah total gigi buaya muara berkisar antara 64-68 buah gigi. (Goin et al. 1978) juga menyebutkan bahwa ekor dan kaki buaya muara digunakan untuk menengggelamkan mangsanya agar tidak dapat melarikan diri, sedangkan apabila mangsanya terlalu besar maka buaya akan melakukan teknik merotasi mangsa tersebut secara berulang-ulang di dalam air. Pope (1956) mengatakan bahwa setelah buaya melumpuhkan mangsanya dengan cara menyeretnya ke dalam air, setelah itu buaya tersebut akan cepat menelannya. Sedangkan bagi mangsa yang lebih besar akan dibunuh dahulu dan kemudian dibagi menjadi beberapa bagian sehingga akan lebih mudah ditelan.

Dalam menangkap mangsanya, buaya menggunakan berbagai indera yang dimilikinya. Pada buaya muara diketahui bahwa baik indera penciuman maupun indera pendengarannya berkembang dengan baik. Alat penciuman buaya disebut dengan organ Jacobson yang digunakan untuk mengenal musuh, mangsa, dan pasangannya (Harto 2001). Sedangkan indera penglihatan pada jenis alligator dan

caiman diketahui berperan lebih penting dibandingkan indera penglihatan pada jenis crocodilian. Jenis crocodilian umumnya akan menggunakan indera penglihatannya untuk menangkap mangsa di atas permukaan air, tetapi akan bergantung pada indera lainnya bila menangkap mangsa di dalam air (Ross 1989).

Sandjojo (1982) menjelaskan bahwa sistem pencernaan buaya bermula dari rongga mulut dengan gigi penggunting yang kuat untuk menangkap dan mengoyak mangsa. Lidah terdapat didasar mulut dan tidak dapat dijulurkan. Antara rongga mulut dan kerongkongan dipisahkan oleh dua katup besar (Velum


(14)

platinum). Kerongkongan (oesophagus) bermula dari pharynx sampai perut dan berselaput lendir. Antara ujung oesophagus dengan perut dijaga oleh sphincter.

Oesophagus dapat dipakai untuk menyimpan makanan sementara (Harto 2001). Perut buaya bagian kiri dipisahkan dengan perut sebelah kanan oleh “kerah” tebal dari otot dan selaput spons. “Kerah” ini diduga memilki fungsi sebagai penggiling makanan hingga menjadi partikel yang kecil. Perut dipisahkan dengan usus kecil oleh pyroric sphincter tebal. Usus dua belas jari terletak pada permukaan anterior dan dorsal dari perut yang bergabung dengan usus halus. buaya muara memiliki pankreas, hati, dan limpa. Usus besar (rectum) berdiameter dua kali lebih besar dari usus kecil dan dipisahkan dengan usus kecil oleh

ileoconic kloaka. Kloaka merupakan akhir dari pencernaan yang berakhir pada

vent. Otot perut buaya memilki fungsi yang sama seperti gizzard pada burung, dan seperti halnya pada burung, buaya juga diketahui menelan objek yang keras untuk membantu menghancurkan makanan (Goin et al. 1978).

2.4 Pertumbuhan

Pertumbuhan adalah pertambahan ukuran dimensi panjang, berat dalam suatu waktu tertentu (Effendi 1997). Masyud et al. (1993) menjelaskan bahwa dengan sistem pemeliharaan yang baik, kecepatan pertumbuhan buaya di penangkaran akan lebih baik dibandingkan buaya liar yang hidup di alam, juga buaya muara di penangkaran mempunyai kecepatan pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan buaya air tawar (Tabel 1 dan 2).

Tabel 1 Perbandingan ukuran panjang total buaya muara di penangkaran dan buaya muara liar di alam pada beberapa kelas umur

Umur Ukuran panjang total (cm)

Penangkaran Liar

1 – 2 tahun 58 – 68 37 – 100

2 – 3 tahun 76 – 140 100 – 130

3 – 4 tahun 147 – 198 130 – 145

Sumber : Whittaker et al. (1985) dan Webb (1987) diacu dalam Masyud et al. (1993)

Tabel 2 Perbandingan ukuran lebar perut buaya muara dan buaya air tawar di penangkaran

Waktu Ukuran lebar perut (inci)

Buaya Muara Buaya Air Tawar

Ditangkap 4,5 – 6 4,5 – 6

Setelah 1 tahun 7 – 9 6 – 8

Setelah 2 tahun 11 – 13 9 – 11

Setelah 3 tahun 16 – 18 14 – 17


(15)

Balton (1979) diacu dalam Masyud et al. (1993) mengemukakan bahwa rata-rata pertumbuhan panjang total buaya muara yang dipelihara dalam kandang dan diberi makan rata-rata 80 gram ikan per ekor per hari adalah sebesar 40 cm per tahun pada tiga tahun pertama, atau diperoleh pertambahan panjang total selama tiga tahun sebanyak 120 cm. Selain itu dikatakan pula bahwa dengan sistem pemeliharaan yang baik dan pemberian makan yang lengkap dan sempurna baik jumlah maupun mutunya serta penanganan perkandangan secara baik dengan sistem pengaliran air dalam kandang yang teratur dan bersih maka pertumbuhan buaya akan mencapai ukuran potong ekonomis yang relatif lebih cepat. Ukuran potong ekonomis berdasarkan keputusan dirjen PHPA adalah lebar perut (lebar dada) 30-46 cm atau sekitar 15 inchi (Masyud et al. 1993). Grzimek (1975) menyebutkan bahwa pertumbuhan buaya akan terlihat sangat cepat pada 7 tahun pertama, dimana rata-rata pertumbuhannya sekitar 26,5 cm per tahun. Semakin bertambah umurnya, maka pertumbuhannya akan semakin lambat. Pada umur 22 tahun pertumbuhan buaya hanya sekitar 3,6 cm per tahun.

Pertumbuhan biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik dari dalam maupun dari luar. Faktor dari dalam berupa umur, jenis kelamin, dan penyakit. Sedangkan faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan ialah pakan dan suhu (Effendi 1997). Widiyanti (2003) menyebutkan bahwa untuk merangsang pertumbuhan yang optimal diperlukan jumlah dan mutu pakan yang tersedia dalam keadaan cukup. Buaya memerlukan protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral dalam pakannya. Gizi utama yang ada dalam suatu pakan adalah protein, lemak dan karbohidrat (Mudjiman 1985).

Menurut Sutardi (1980) suatu pakan pada umumnya terdiri dari karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Adapun fungsi masing-masing dalam tubuh berbeda-beda :

1. Karbohidrat mempunyai peranan sebagai sumber energi, pembakar lemak, memperkecil oksidasi protein menjadi energi dan memelihara fungis normal alat pencernaan makanan.

2. Protein mempunyai peranan sebagai bahan pembangun tubuh dan pengganti jaringan tubuh yang aus atau rusak, bahan baku bagi pembetukan enzim,


(16)

hormon dan zat kekebalan (antibodi) dan mengatur peredaran cairan tubuh dan zat yang larut di dalamnya ke dalam dan ke luar sel.

3. Lemak mempunyai peranan sebagai sumber energi, sumber air metabolik, insulator yang berfungsi mengatur suhu tubuh, sebagai bantalan yang melindungi organ tubuh, pembawa vitamin A, D, E, dan K, pembawa asam lemak esensial, bahan baku bagi pembentukan hormon steroid.

4. Vitamin mempunyai peranan membantu pembentukan dan pemeliharaan sel-sel jaringan epitel, memperlancar metabolisme, membentuk jaringan pengikat, membantu pembentukan tulang, antioksidan, dan membantu proses pembentukan darah.

5. Mineral mempunyai peranan untuk memelihara kondisi ionik tubuh, memelihara keseimbangan asam basa, memelihara tekanan osmotik cairan tubuh, menjaga kepekaan syaraf dan otot, mengatur pengangkutan zat makanan ke dalam sel, kofaktor enzim dan mengatur metabolisme.

Protein sangat dibutuhkan dalam tubuh, baik untuk menghasilkan tenaga maupun untuk pertumbuhan. Protein dipengaruhi oleh sumber asalnya serta oleh kandungan asam aminonya. Protein nabati (tumbuh-tumbuhan) lebih sukar dicerna daripada protein hewani (hewan). Hal ini disebabkan karena protein nabati terbungkus di dalam dinding selulosa yang sulit dicerna. Selain itu kandungan asam amino dari protein nabati pada umumnya kurang lengkap. Cowey dan Sargent (1972) mengatakan bahwa protein dalam bahan makanan digunakan untuk pemeliharaan tubuh, pembentukan jaringan yang rusak dan pertumbuhan.

Faktor – faktor yang menunjang kegunaan dari protein adalah jumlah dan jenis asam amino esensial, kadar protein, kandungan energi makanan dan fisiologi hewan. Asam amino adalah bagian terkecil dari protein dan di dalam protein terdapat kurang lebih 50 macam asam amino. 10 macam diantaranya merupakan asam amino esensial yaitu asam amino yang mutlak dibutuhkan oleh tubuh dan harus tersedia di dalam bahan makanan. Sebab asam amino esensial itu tidak dapat dibuat di dalam tubuh hewan. Kesepuluh asam amino tersebut adalah metionin, arginin, triptopan, treonin, histidin, isoleusin, leusin, lisin, fenilalanin dan valin. Dari kesepuluh asam amino essensial itu yang paling esensial adalah lisin. Pakan buatan mengandung proteinnya berkisar 20-60% (Mudjiman 1985).


(17)

Lemak dalam bahan makanan mempunyai peranan yang penting sebagai sumber tenaga, karena dapat menghasilkan tenaga yang lebih besar dari pada karbohidrat dan protein. Nilai gizi lemak dipengaruhi oleh kandungan asam lemaknya, khususnya asam lemak esensial. Asam lemak esensial terdiri dari asam-asam lemak tak jenuh yang terdiri dari asam oleat, asam linoleat, dan asam linoleat. Pada pakan buatan, kadar lemak berlebihan dapat berpengaruh buruk terhadap mutu makanan, sebab lemak mudah sekali teroksidasi dan menghasilkan bau tengik. Kandungan lemak untuk pakan buatan berkisar antara 4-18% (Mudjiman 1985).

Mineral adalah bahan anorganik yang dibutuhkan oleh tubuh hewan untuk pembentukkan jaringan tubuh, proses metabolisme dan mempertahankan keseimbangan osmotis. Pakan alami biasanya telah cukup mengandung mineral, sehingga tidak mengakibatkan gangguan keseimbangan tubuh dan penyakit. Vitamin adalah senyawa organik yang sangat penting peranannya dalam kehidupan hewan, yaitu sebagai katalisator (pemacu) proses metabolisme di dalam tubuh. Vitamin dibutuhkan oleh tubuh dalam jumlah sedikit, tetapi jika kekurangan dapat mengakibatkan gangguan dan penyakit. Secara umum vitamin digolongkan menjadi dua golongan, yaitu vitamin yang larut dalam lemak (vitamin A, D, E dan K) dan vitamin yang larut dalam air (vitamin B kompleks dan C). Kebutuhan akan vitamin dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti ukuran tubuh hewan, umur, kondisi lingkungan, suhu air dan zat makanan yang tersedia (Mudjiman 1985)

Karbohidrat (hidrat arang, zat tepung, atau pati) berasal dari bahan makanan nabati. Kemampuan hewan untuk memanfaatkan karbohidrat tergantung dari kemampuannya untuk menghasilkan enzim amilase (pemecah karbohidrat). Moen (1973) mengemukakan bahwa karbohidrat dapat larut BETN (Bahan Ekstrak tanpa Nitrogen) yang terdiri dari pati dan gula, merupakan sumber energi yang dapat dicerna, yang dapat merubah pati dan gula menjadi glukosa.

Dasmann (1964) diacu dalam Ratnani (2007) menyatakan bahwa kebutuhan pakan bagi suatu hewan adalah kebutuhan akan kalori setiap harinya. Energi ini diperlukan untuk hidup dan berkembangbiak, yaitu dalam hal pertumbuhannya menggantikan bagian-bagian tubuh yang mati (maintenance) dan reproduksi.


(18)

Pertumbuhan pada hatchling (anakan umur 0-3 bulan) dipengaruhi oleh pakan, suhu, penyakit dan umur. Jenis kelamin pada hatchling belum mempengaruhi sebab pada usia 0 - 3 bulan buaya belum mengalami dewasa kelamin, sehingga energi akan terpusat seluruhnya pada pertumbuhan.

2.5 Konservasi Eksitu

Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.53/MENHUT-II/2006 tentang Lembaga Konservasi dijelaskan bahwa konservasi eksitu adalah konservasi tumbuhan dan atau satwa yang dilakukan di luar habitat alaminya. kebun binatang adalah suatu tempat atau wadah yang mempunyai fungsi utama sebagai lembaga konservasi yang melakukan upaya perawatan dan pengembangbiakan berbagai jenis satwa berdasarkan etika dan kaidah kesejahteraan satwa dalam rangka membentuk dan mengembangkan habitat baru, sebagai sarana perlindungan dan pelestarian jenis melalui kegiatan penyelamatan, rehabilitasi dan reintroduksi alam dan dimanfaatkan sebagai sarana pendidikan, penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta sarana rekreasi yang sehat.

Kriteria taman satwa dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.53/MENHUT-II/2006 tentang Lembaga Konservasi meliputi :

a. Koleksi satwa yang dipelihara sekurang-kurangnya 2 kelas, baik yang dilindungi maupun yang tidak dilindungi undang-undang dan atau ketentuan

Convention of International Trade on Endangered Spesies of Flora Fauna

(CITES)

b. Memiliki lahan seluas sekurang-kurangnya 1 (satu) hektar c. Memiliki ketersediaan sumber air dan pakan yang cukup

d. Memiliki sarana pemeliharaan satwa, antara lain: kandang pemeliharaan, kandang perawatan, kandang karantina, kandang pengembangbiakan/ pembesaran dan prasarana pendukung pengelolaan satwa yang lain

e. Memiliki Kantor Pengelola dan sarana pengelolaan pengunjung

f. Tersedia tenaga kerja sesuai bidang keahliannya antara lain tenaga medis, ahli biologi konservasi, kurator, perawat, dan tenaga keamanan

Berdasarkan SK Dirjen Kehutanan No.20/Kpts/DJ/1978 tentang pedoman umum kebun binatang, bahwa kebun binatang atau taman margasatwa adalah


(19)

suatu tempat berbagai macam satwa dikumpulkan, diperagakan, dipelihara untuk umum dalam rangka pengadaan sarana rekreasi alam yang sehat untuk mendidik dan mengembangkan budaya masyarakat dalam memelihara kelestarian lingkungan hidup.

Fungsi kebun binatang dalam SK Dirjen Kehutanan No. 20/Kpts/DJ/1978 adalah untuk perlindungan dan pelestarian satwa liar, sarana pendidikan dan penelitian ilmiah, sarana rekreasi dan hiburan alamiah. Tugas pokok kebun binatang antara lain melakukan penangkaran satwa liar untuk menghindari kepunahan, memperagakan binatang untuk kepentingan pendidikan budaya ilmiah, penelitian, dan rekreasi, serta memberi pelayanan kepada pengunjung dan menjaga keamanan serta keselamatannya.

2.6 Penangkaran

Penangkaran adalah salah satu proses menuju domestikasi yang prinsipnya adalah pemeliharaan dan perkembangan sejumlah satwa liar yang sampai batas-batas tertentu dapat diambil dari alam, tetapi untuk selanjutnya pengembangannya hanya diperkenankan mengambil dari keturunan yang berhasil ditangkarkan (Alikodra 2002).

Menurut Thohari (1987), penangkaran adalah suatu kegiatan untuk mengembangbiakkan jenis-jenis satwa liar dan tumbuhan alam yang tujuannya untuk memperbanyak populasi dengan mempertahankan kemurnian jenisnya sehingga kelestarian dan keberadaanya di alam dapat dipertahankan yang meliputi kegiatan mengumpulkan bibit atau induk, perkawinan atau penetasan telur, pembesaran anak, serta “restocking” atau pemulihan populasinya di alam. Dijelaskan pula bahwa prinsip kebijakan penangkaran jenis satwaliar adalah :

a) Mengupayakan jenis-jenis langka menjadi tidak langka dan pemanfaatannya berasaskan kelestarian.

b) Upaya pelestarian jenis perlu dilakukan di dalam kawasan konservasi maupun di luar habitat alaminya, di luar habitat alami berbentuk penangkaran baik di kebun binatang ataupun di lokasi usaha.

Berdasarkan atas tujuannya, penangkaran dapat dibedakan dua macam, yakni penangkaran yang ditujukan untuk melestarikan jenis-jenis satwa yang berada dalam keadaan langka yang akan segera punah apabila


(20)

perkembangbiakannya tidak dibantu oleh campur tangan manusia dan penangkaran yang ditujukan untuk mengembangbiakan jenis-jenis satwa liar yang memiliki nilai ekonomis tinggi (Thohari 1987).

Penangkaran buaya adalah usaha pengembangbiakkan jenis buaya tertentu serta mengatur kehidupan buaya dengan teknik tertentu sehingga diperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi manusia tanpa mengganggu keseimbangan populasi buaya tersebut di alam. Manfaat dari usaha penangkaran buaya ini antara lain adalah 1) Diperoleh hasil berupa kulit buaya untuk bahan baku industri kerajinan kulit 2) Diperoleh hasil berupa daging buaya sebagai bahan makanan substitusi protein hewani untuk peningkatan pendapatan dan gizi masyarakat 3) Upaya peningkatan produktivitas lahan 4) Menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat 5) Sebagai usaha pelestarian buaya (Dirjen PHPA 1985).

2.7 Status Konservasi

Buaya muara (Crocodylus porosus) termasuk ke dalam Appendix I CITES (Convention on International Trade of Endangered Spesies of Wild Flora and Fauna) kecuali di Australia, Indonesia dan Papua Nugini yang masuk ke dalam Appendix II CITES dengan status konservasi lower Risk/least concern diacu dalam IUCN Red List of Threatened Species (Crocodile Specialist Group 1996). Pemerintah Indonesia melindungi jenis satwa ini melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian No.76/Kpts/Um/10/1980 yang melarang perburuan buaya muara. Kemudian pemerintah memasukkan buaya muara sebagai jenis satwa yang dilindungi dalam Peraturan Pemerintah no.7 tahun 1999 tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwaliar.


(21)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Terrarium II Taman Margasatwa Ragunan (TMR), DKI Jakarta selama 2 bulan dari bulan September – November 2011.

3.2 Materi Penelitian

Materi penelitian yang digunakan meliputi (1) anakan buaya muara, (2) formulasi pakan dengan bahan penyusun daging ayam (Gallus sp.) dan ikan kembung (Rastrelliger sp.) dan (3) peralatan pendukung.

3.2.1 Anakan buaya muara

Jenis buaya yang digunakan dalam penelitian ini adalah anakan buaya muara (Crocodylus porosus Schneider, 1801) yang diperoleh dari penetasan telur di TMR. Anakan buaya muara berjumlah 20 ekor dengan perkiraan umur relatif sama 3 bulan dengan panjang tubuh 30-40 cm dan jenis kelamin anakan buaya muara dianggap sama (berukuran seragam).

3.2.2 Pakan

Pakan yang diberikan kepada anakan buaya muara di TMR terdiri dari 5 macam formulasi pakan dengan bahan daging ayam dan ikan kembung (Tabel 3). Pemberian pakan dilakukan setiap dua hari sekali.

Tabel 3 Formulasi pakan percobaan

Formulasi Pakan

Susunan Pakan Komposisi

Daging ayam (%) Ikan kembung (%)

A 100 - 80 g daging ayam

B 75 25 60 g daging ayam + 20 g ikan

C 50 50 40 g daging ayam + 40 g ikan

D 25 75 20 g daging ayam + 60 g ikan

E - 100 80 g ikan kembung

3.2.3 Peralatan

Alat-alat yang digunakan selama penelitian adalah pita meter/meteran jahit, timbangan digital, fiberglass, pengukur waktu, termometer dry wet, kamera foto, dan peralatan menulis.


(22)

Pertumbuhan dan Pengaruh Perbedaan PemberianPakan Anakan Buaya Muara

Pemberian Perlakuan : 1. 100% daging ayam

2. 75% daging ayam + 25% ikan 3. 50% daging ayam + 50% ikan 4. 25% daging ayam + 75% ikan 5. 100% ikan

Pengukuran terhadap : 1. Konsumsi Pakan 2. Pertumbuhan :

a. Panjang b. Berat c. Lingkar dada 3. Parameter Pendukung (Suhu dan Kelembaban)

Analisis Data

3.3 Metode

3.3.1 Rancangan percobaan

Percobaan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pola percobaan dengan rancangan acak lengkap (completely randomized design) dengan 5 macam perlakuan formulasi pakan (Tabel 3). Setiap perlakuan digunakan 4 ekor anakan buaya muara, dan masing – masing perlakuan ditempatkan dalam satu kandang berukuran p x l x t (3 x 1,5 x 4) myang memilki kolam air berukuran 30 cm x 50 cm dengan kedalaman kurang dari 10 cm. Alur prosedur pada penelitian ini digambarkan seperti pada Gambar 3 berikut.

Gambar 3 Alur prosedur penelitian.

Sebelum dilakukan penelitian, setiap sampel buaya diberikan pakan yang biasa diberikan di kandang TMR pada waktu bersamaan. Setelah itu, buaya dipuasakan selama 2 hari, agar pada saat percobaan dimulai tingkat kelaparan setiap sampel diasumsikan berada pada kondisi yang sama. Untuk menghindari kesalahan pencatatan pengukuran, setiap anakan buaya muara diberikan

tagging/penanda. Bahan tag/penanda berupa cat minyak. Penanda diberikan pada bagian punggung, setelah pencantuman nomor urut pada buaya.


(23)

Pada awal penelitian, masing-masing buaya tersebut diukur panjang total (cm), bobot badan (g), dan lingkar dada (cm). Setelah diberikan pakan tersebut selama waktu tertentu, lalu diukur panjang total, lingkar dada, dan bobot badan akhir dari masing-masing buaya tersebut. Pengukuran dilakukan setiap seminggu sekali, dengan waktu penelitian berlangsung selama 2 bulan. Pencatatan rata-rata pertambahan pertumbuhan per ekor per bulan seperti pada Tabel 4 berikut ini. Tabel 4 Pertambahan pertumbuhan rata – rata per ekor per minggu

Ulangan Perlakuan

A B C D E

1 A1 B1 C1 D1 E1

2 A2 B2 C2 D2 E2

3 A3 B3 C3 D3 E3

4 A4 B4 C4 D4 E4

Jumlah Rata - Rata

3.3.2 Penyiapan formulasi pakan percobaan

Bahan penyusun pakan (daging ayam dan ikan kembung) sebelum diberikan kepada anak buaya muara terlebih dahulu diolah agar tercampur menjadi satu. Untuk keperluan penelitian ini, sumber bahan pakan daging ayam yang digunakan dalam penelitian merupakan ayam tiren yang mati dalam perjalanan dari petenakan menuju tempat pemotongan dan ikan kembung segar dibeli dari pasar Ciomas. Bahan pakan yang akan diberikan terlebih dahulu dicuci sampai bersih. Setelah itu, bahan pakan dipotong kecil-kecil menggunakan pisau dengan maksud mempermudah dalam penyajian dan penakaran bobot tiap komposisi formulasi pakan. Kemudian bahan pakan tersebut dicampur sesuai dengan komposisinya masing-masing hingga mencapai bobot 80 gram. Selanjutnya pakan siap diberikan kepada anak buaya muara.

3.3.3 Cara penyajian pakan percobaan

Pakan diberikan satu kali untuk dua hari secara ad libitum (jumlah ransum yang diberikan tidak dibatasi). Waktu pemberian dilakukan pada pagi hari (08.00-09.00 WIB). Pakan diletakkan dalam wadah plastik yang berada di dalam kandang. Pakan diberikan dalam keadaan segar dalam keadaan dipotong kecil-kecil. Setiap perlakuan atau pemberian formulasi pakan yang berbeda dilakukan sebanyak empat ulangan (setiap perlakuan diberikan untuk empat ekor anakan buaya muara).


(24)

3.3.4 Pemeliharaan kandang

Kandang berukuran p x l x t (3 x 1,5 x 4) meter yang dibagi menjadi 5 bagian masing-masing berukuran 1,5 meter x 0,5 meter (Gambar 4). Kandang terbuat dari dinding semen, kawat besi, dan fiberglass. Kandang berisi kolam air dengan kedalaman kurang dari 10 cm berukuran 0,6 x 0,3 meter, terdapat tempat pakan, batu, dan papan. Kandang dan air kolam dibersihkan setiap dua hari sekali.


(25)

3.3.5 Pengukuran parameter

Parameter yang diukur dan diamati meliputi konsumsi pakan, pertumbuhan panjang total, lingkar dada, bobot badan dan konversi pakan. Pengukuran untuk masing-masing parameter dilakukan dengan cara sebagai berikut :

1. Data pertambahan panjang tubuh, bobot badan dan lingkar dada, diperoleh dari hasil pengukuran parameter pertumbuhan setiap seminggu sekali selama 2 bulan percobaan yang meliputi: bobot badan, panjang total dan lingkar dada anakan buaya muara percobaan.

Pengukuran panjang total dan lingkar dada menggunakan meteran jahit atau meteran bangunan dengan ketelitian 1 mm. Buaya muara dibaringkan pada tempat datar dan dilakukan pengukuran panjang mulai dari moncong hingga pangkal ekor yang sudah diluruskan (Gambar 5). Lingkar dada diukur dari baris ketiga sisik punggung pada sisi terluar (Gambar 6). Untuk pengukuran bobot badan menggunakan timbangan digital merk DP-M3 dengan kapasitas maksimum mencapai bobot 3 kg dan ketilitian 1 gr.

Gambar 5 Pengukuran panjang total buaya muara, dari moncong mulut sampai ujung ekor.

(Sumber: Dirjen PHPA, 1987)

Gambar 6 Pengukuran lingkar dada buaya muara, diukur dari sisik terluar pada baris ketiga sisik punggung.


(26)

2. Data konsumsi pakan, diperoleh dengan menghitung selisih bobot pakan yang diberikan dan sisa yang tidak termakan. Perhitungan dilakukan setiap dua hari sekali sesuai jadwal pemberian pakan. Sebelum diberikan pakan baru, dihitung dulu berat pakan sisa dengan menggunakan timbangan digital kemudian diberikan pakan yang baru. Pengukuran nilai gizi masing-masing pakan dengan melakukan analisis proksimat bahan pakan. 3. Konversi pakan, dihitung dengan membagi rata-rata pertambahan bobot

badan dengan jumlah pakan yang dikonsumsi selama percobaan.

4. Kondisi dan aktivitas anakan buaya serta teknik perawatannya. Studi pustaka dan penelusuran dokumen yang terdapat di TMR. Observasi lapang meliputi jenis perlengkapan perawatan dan pengelolaan buaya muara. Wawancara, dilakukan terhadap animal keeper dan pengelola. Selain itu, wawancara juga dilakukan kepada pengunjung TMR mengenai dampak positif (sisi ekonomi dan kenyamanan) dan dampak negatif (limbah/sampah dan bau) dari kegiatan penangkaran. Wawancara dilakukan kepada beberapa orang untuk mengetahui penilaian mereka terhadap keberadaan kandang buaya di TMR. Wawancara dilakukan secara terbuka, santai dan tidak baku.

5. Pengukuran suhu dan kelembaban kandang dilakukan dengan menggunakan termometer dry-wet yang dilakukan setiap hari pada pagi hari (pukul 09.00 wib), siang hari (pukul 12.00 wib), dan sore hari (pukul 15.00 wib) dengan menggantungkan termometer di dalam kandang.

3.4 Analisis Data

3.4.1 Rancangan percobaan

Pola pengujian dalam penelitian ini adalah pola rancangan acak lengkap (completely randomized design) dimana kesalahan yang terjadi merupakan kesalahan percobaan. Model umum dari percobaan acak lengkap adalah:

Y i j = U + T i + E i j

Keterangan : Y i j : adalah nilai pengukuran / penimbangan akhir

U : adalah nilai rata-rata pengukuran / penimbangan T i :adalah pengaruh perlakuan formulasi pakan


(27)

Uji F atau analisa sidik ragam (Anova) pada tingkat kepercayaan 95% disajikan dalam Tabel 5 berikut (Walpole 1982).

Tabel 5 Sidik ragam (Uji F – Tingkat Kepercayaan 95%)

Sumber keragaman Derajat bebas ∑2 Keragaman F - Uji

Ransum k – 1 SSt St2 St2 / Se2

Kesalahan Percobaan k (n – 1) SSe Se2

nk – 1 SST ST2

Hipotesis yang dapat diuji pada pengamatan pertumbuhan buaya berdasarkan perlakuan berbagai formulasi pakan ini adalah :

H0 : T1 = T2 = T3 = T4 = T5 = 0

Perlakuan formulasi pakan tidak berpengaruh terhadap pertambahan panjang total, pertambahan bobot badan, dan pertambahan lingkar dada buaya muara yang diamati.

H1 : paling sedikit ada satu perlakuan (i) dimana Ti ≠ 0

Kaidah keputusan yang diambil adalah : F-Hitung > F-Tabel = Tolak H0 ; F-Hitung < F-Tabel = Terima H0.

3.4.2 Analisis proksimat kandungan gizi

Analisis proksimat digunakan untuk mengetahui komposisi kimia bahan pakan percobaan. Analisis proksimat dilakukan di Laboratorium Mutu dan Keamanan Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Hasil analisis proksimat digunakan untuk mengetahui secara garis besar mengenai kualitas gizi tiap bahan pakan percobaan yang terdiri dari kadar air, lemak kasar, protein kasar, serat kasar, karbohidrat dan nilai energi (kalori).

3.4.3 Konsumsi pakan

Pengamatan terhadap pola pemberian pakan meliputi jenis pakan, bobot per jenis pakan, dan konsumsi pakan buaya muara per ekor per hari. Penimbangan terhadap bobot pakan dilakukan dua kali, yaitu awal pemberian untuk mengukur bobot pakan baru dan dua hari kemudian untuk mengukur bobot pakan sisa. Konsumsi pakan didapat dengan cara mengurangi bobot pakan yang diberikan dengan bobot pakan sisa.

a. Konsumsi pakan

Keterangan: JK: Jumlah konsumsi B : Bobot pakan baru

b : Bobot pakan sisa JK= B – b


(28)

b. Tingkat palatabilitas

Keterangan: %P : Tingkat palatabilitas G0 : Bobot pakan baru

. G1 : Bobot pakan sisa

3.4.4 Konversi Pakan

Keterangan :

E = Efisiensi pakan (%)

W0 = Bobot total buaya pada awal penelitian (gram)

Wt = Bobot total buaya pada akhir penelitian (gram)

D = Bobot total buaya yang mati selama penelitian (gram) F = Bobot total pakan yang dikonsumsi (gram)

3.4.5 Analisis efisiensi biaya pakan dan waktu pertumbuhan buaya muara Data pertambahan dimensi pertumbuhan (panjang total dan lingkar dada) dan harga satuan bahan pakan buaya yang digunakan, akan dillihat keefektifan biaya pembelian bahan pakan dan waktu pertumbuhan buaya berdasarkan penentuan bobot optimal bahan pakan yang digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan buaya (panjang dan lebar dada) sebanyak x satuan (Tabel 6). Diharapkan hasil analisis ini akan membantu pihak TMR dalam menentukan bobot optimal pakan yang paling murah dan efisien secara waktu dari bahan pakan yang dianggap paling disukai oleh buaya muara dari hasil penelitian ini. Tabel 6 Perbandingan satuan harga bahan pakan tiap perlakuan dan perbedaan

bobot pakan dengan pertumbuhan

Perlakuan Bobot

pakan (g)

Harga/kg (Rp)

Rataan pertambahan / minggu Panjang (cm) Lebar (cm) A. 100% daging ayam

B. 75% daging ayam + 25% ikan C. 50% daging ayam + 50% ikan D. 25% daging ayam + 75% ikan E. 100% ikan

%P =

G0-G1 x 100%

G0

E = (Wt + D) – Wo x 100% F


(29)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Sejarah Taman Margasatwa Ragunan

Berdasarkan sejarah pada tahun 1864 suatu perkumpulan penyayang flora dan fauna yang bernama Vereneging Plantenen Et Dierentuin, mendirikan kebun binatang yang diberi nama “Plantenen Et Dierentuin” di atas tanah seluas 10 ha.

Lahan ini merupakan pemberian dari Raden Saleh. Oleh karena itu, pada masa pendudukan Jepang tempat ini dikenal dengan nama Raden Saleh.

Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949 ”Planten en Dierentuin

diubah namanya menjadi ”Kebun Binatang en Dierentuin”. Pada saat itu

pembangunan dan perkembangan Kota Jakarta terus dilakukan sehingga menyebabkan wilayah Cikini yang terletak di pusat Kota Jakarta tidak cocok lagi sebagai lokasi untuk Kebun Binatang. Untuk itu pada tahun 1964 oleh Dr. Soemarmo, Gubernur DKI (Daerah Khusus Ibukota) Jakarta pada saat itu, dibentuk Badan Persiapan Pelaksanaan Pembangunan Kebun Binatang dengan diketuai drh. T.H.E.W Umboh dengan tugas utama memindahkan Kebun Binatang Cikini ke Ragunan, Pasar Minggu Jakarta Selatan pada lahan seluas 30 ha yang merupakan hibah dari Pemda DKI Jakarta.

Pada tanggal 22 Juni 1966, kebun binatang Cikini diberi nama Taman Margasatwa. Kemudian pada tanggal 22 Juni 1976 Taman Margasatwa dirubah dan diresmikan kembali namanya oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin menjadi Kebun Binatang Ragunan DKI Jakarta. Pada tahun 1993 Taman Margasatwa Ragunan (TMR) menjalani perubahan manajemen sehingga berubah menjadi Badan Pengelola (BP) Kebun Binatang Ragunan. Pada tahun 1998, sesuai dengan Perda No 13 tahun 1998 yang dikeluarkan oleh Pemda DKI Jakarta, maka Kebun Binatang Ragunan dirubah kembali namanya menjadi Taman Margasatwa Ragunan sampai saat ini.

Pada tahun 2001, BP berubah menjadi Kantor Taman Margasatwa Ragunan sampai tahun 2008 dan awal tahun 2009 berubah lagi menjadi Unit Pelayanan Teknis (UPT) Taman Margasatwa Ragunan. Pada awal tahun 2010 namanya menjadi Unit Pelayanan Teknis Badan Layanan Umum Daerah (UPT BLUD)


(30)

Taman Margasatwa Ragunan. Secara umum Taman Margasatwa Ragunan berfungsi sebagai sarana perlindungan dan pelestarian alam (konservasi), sarana pendidikan, sarana penelitian, sarana rekreasi dan sarana apresiasi terhadap alam.

4.2 Letak dan Luas

Taman Margasatwa Ragunan terletak pada 48˚ BT - 106˚ BT dan 6˚LS - 15˚ LS dan berjarak 20 km dari pusat Kota Jakarta (Tata lingkungan TMR 2006). Luas keseluruhan TMR seluas 147 ha. Tata guna lahan TMR meliputi kantor dan kandang 32 ha, taman 15 ha, danau 7 ha, lapangan parkir 5 ha,dan saluran air 10 ha. Secara administratif TMR termasuk dalam wilayah Kelurahan Ragunan, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan dengan batas wilayah sebagai berikut :

1. Sebelah barat berbatasan dengan Jl. Kav POLRI dan Jl. Jati Cilandak 2. Sebelah timur berbatasan dengan Jl. Jati Padang

3. Sebelah utara berbatasan dengan Jl Harsono 4. Sebelah selatan berbatasan dengan Jl. Sagu

4.3 Kondisi Fisik Lingkungan

Taman Margasatwa Ragunan (TMR) merupakan dataran rendah yang memilki ketinggian 50 mdpl dengan kemiringan 2˚-6˚. Suhu rata-rata sepanjang tahun 28,2˚C, kelembaban udara antara 60%-80% per tahun serta curah hujan 2291-2300 mm per tahun. TMR memiliki jenis tanah latosol merah yang bersifat netral dan berwarna merah. Tanah tersebut mengalami pelapukan yang akan menghasilkan top soil tebal sehingga tanaman dapat tumbuh subur. TMR dibangun menurut rancangan konsep kebun binatang terbuka (Tata Lingkungan TMR 2006).

4.4 Kondisi Satwa Buaya

Populasi buaya yang terdapat di kandang buaya Taman Margasatwa Ragunan (TMR) sebanyak 30 ekor yang terdiri dari 17 ekor buaya muara (Crocodylus porosus), 3 ekor buaya irian (Crocodylus novaeguineae), dan 10 ekor buaya sinyulong (Tomistoma schlegelii). Buaya yang berada di TMR merupakan jenis yang dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 dan CITES (Tabel 7).


(31)

Tabel 7 Status buaya di Taman Margasatwa Ragunan berdasarkan PP No. 7 Tahun 1999 dan CITES

No. Nama lokal Nama ilmiah PP No.7 Tahun 1999 CITES

1. Buaya muara Crocodylus porosus Dilindungi Appendix II 2. Buaya irian Crocodylus novaeguineae Dilindungi Appendix I 3. Buaya sinyulong Tomistoma schlegelii Dilindungi Appendix I

Buaya yang terdapat di TMR diperoleh dengan cara : a. Hasil pengembangbiakkan atau pemeliharaan TMR

b. Program tukar-menukar satwa dengan kebun binatang lain

c. Hasil sitaan Ditjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) d. Sumbangan dari masyarakat

Kandang buaya berbentuk lingkaran dengan luas 1 ha yang dibagi menjadi 9 bagian kandang. Konstruksi kandang terdiri dari pagar besi, sekat besi antar kandang, kolam air, tanah, bebatuan dan bangunan rumah perawat. Tiap kandang berisi beberapa jenis tumbuhan dan kolam air dengan kedalaman kurang lebih 1 meter. Kandang buaya berfungsi sebagai kandang pemeliharaan sekaligus sebagai kandang peragaan.

4.5 Organisasi Pengelolaan

Sesuai dengan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No.135 Tahun 2009 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pengelola Taman Margasatwa Ragunan (TMR) Provinsi DKI Jakarta, kedudukan tugas dan fungsi TMR adalah sebagai berikut :

1. Unit Pengelola TMR merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas Kelautan dan Pertanian dalam pelaksanaan pengelolaan TMR.

2. Unit pengelola dipimpin oleh seorang Kepala Unit yang dalam melaksanakan tugas dan fungsinya berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Kepala Dinas.

Sesuai dengan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No.135 Tahun 2009 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pengelola TMR Provinsi DKI Jakarta, struktur organisasi UPT Taman Margasatwa Ragunan Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta, terdiri dari: 1) Kepala Unit, 2) Sub Bagian Tata Usaha, 3) Seksi Pelayanan Pengunjung, 4) Seksi Kesejahteraan Satwa, 5) Sub Kelompok jabatan Fungsional.


(32)

Tugas TMR sesuai dengan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No.135 Tahun 2009 adalah melaksanakan pengelolaan TMR. Sedangkan fungsi Unit Pengelola TMR adalah sebagai berikut:

1. Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) dan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) Unit Pengelola

2. Pelaksanaan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) Unit Pengelola

3. Pelaksanaan pengelolaan, pengembangan dan pelestarian lingkungan khusus dalam kawasan TMR

4. Penyelenggaraan pengadaan dan pemeliharaan/perawatan keanekaragaman satwa dan flora

5. Pengelolaan kegiatan rekreasi di TMR

6. Penyelenggaraan promosi dan pameran fauna dan habitatnya

7. Pemungutan, pencatatan, pembukuan, penyetoran, pelaporan, dan pertanggungjawaban penerimaan retribusi TMR

8. Pelaksanaan kerjasama dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (UKPD) dan/atau instansi pemerintah/swasta dalam rangka pengembangan TMR 9. Penghimpunan, pengolahan, pemeliharaan, penyajian, pengembangan, dan

pemanfaatan data dan informasi mengenal satwa/fauna, flora dan habitat 10. Pelaksanaan publikasi kegiatan Unit Pengelola TMR

11. Penelitian dan pendidikan lingkungan yang berkenaan dengan satwa/fauna, flora, habitat, dan konservasi

12. Pengelolaan kepegawaian, keuangan, dan barang

13. Pelaksanaan kegiatan kerumahtanggaan dan ketatausahaan 14. Pelaksaan upacara dan pengaturan acara Unit Pengelola TMR

15. Penyiapan bahan laporan Dinas Kelautan dan Petanian yang terkait dengan pelaksanaan tugas dan fungsi unit pengelola

16. Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dan fungsi Unit Pengelola.


(33)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kondisi Lingkungan Kandang Buaya di Taman Margasatwa Ragunan 5.1.1 Kandang buaya

Kandang buaya di Taman Margasatwa Ragunan (TMR) merupakan sistem perkandangan terbuka berbentuk lingkaran menyerupai habitat alami dengan luas 1 ha yang dibagi menjadi 9 bagian kandang. Konstruksi kandang buaya terdiri dari pagar besi, sekat, kolam air, tanah, bebatuan, papan interpretasi buaya dan bangunan rumah perawat. Tiap kandang berisi beberapa jenis tumbuhan dan kolam air dengan kedalaman kurang lebih 1 meter (Gambar 7). Bolton (1989) menyebutkan bahwa pagar kandang buaya sebaiknya terbuat dari kayu atau jaring kawat besi serta tembok dari bata, beton, bahan metal atau kombinasi dari bahan-bahan tersebut.

Kandang buaya di TMR berfungsi sebagai kandang pemeliharaan sekaligus sebagai kandang peragaan. Jenis kandangnya terbagi menjadi kandang buaya utama dan kandang anakan. Setyonugroho (1995) menyebutkan bahwa macam kandang buaya yang digunakan di Penangkaran Perhutani KPH Purwakarta dan Taman Buaya Indonesia adalah sama, yaitu: 1) kandang anakan, 2) kandang buaya muda, 3) kandang pembesaran, dan 4) kandang perkembangbiakan.

Gambar 7 Kandang buaya di Taman Margasatwa Ragunan.

Terdapat beberapa jenis satwa lain yang terlihat berada di areal kandang buaya di TMR seperti bajing, ikan nila, ikan mujair, perkutut, kareopadi dan raja udang. Sedangkan jenis tumbuhan yang terdapat dalam kandang antara lain


(34)

sengon (Paraserienthes falcataria), makaranga (Makaranga triloba), beringin (Ficus benjamina), mahoni (Swietenia sp), bambu (Bambusa sp), pandan (Pandanus sp), kelapa sawit, palem, talas, pisang, paku-pakuan dan berbagai jenis rumput. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nuitja (1979) yang mengemukakan bahwa habitat peneluran buaya muara umumnya ditumbuhi oleh formasi paku-pakuan, bluntas, gelam, pulai, terenteng, meranti batu, dan merbau. Sehan (1983) juga menyebutkan bahwa buaya pada umumnya membutuhkan cover antara lain pohon rasau, beringin, nipah, pidada, serdang, paku-pakuan dan lain-lain.

Sumber air di dalam kandang berasal dari aliran sungai Ciliwung yang berhubungan dengan pintu air ke dalam kandang (Gambar 8a). Sebelum tahun 2006 kandang buaya berada pada parit aliran sungai (Gambar 8b), setelah tahun 2006 buaya dipindahkan pada kandang yang ada saat ini (Gambar 8c). Kolam air ini digunakan untuk berenang, berendam dan aktifitas lain seperti kawin, sedangkan bagian daratan kandang digunakan untuk berjemur, tempat menaruh pakan dan membuat sarang (Gambar 8d).

Gambar 8 a) Pintu air b) Parit c) Kandang buaya d) Sarang bertelur buaya.

a b


(35)

5.1.2 Kandang anak buaya muara

Kandang anak buaya muara tempat dilakukannya penelitian terletak pada terrarium 2, merupakan sistem kandang semi tertutup berbentuk seperti rumah dengan bagian pagar terbuat dari besi dan kawat dengan ukuran kandang (3 x 1,5 x 4) meter (Gambar 9a). Bolton (1989) menyebutkan bahwa anakan buaya lebih bersifat penakut sehingga memerlukan tempat yang aman, dalam hal ini desain kandang sebaiknya mempunyai tempat bersembunyi sehingga dapat mengurangi tingkat stres oleh gangguan manusia dan kendaraan.

Untuk penelitian ini kandang dibagi menjadi lima bagian masing-masing berukuran (0,6 x 1,5) meter. Konstruksi kandang terdiri dari dinding semen, kawat besi, asbes dan fiberglass. Kandang berisi kolam air dengan kedalaman kurang dari 10 cm berukuran 0,5 x 0,3 meter, batu, papan, dan tempat pakan (Gambar 9c). Setyonugroho (1995) mengatakan bahwa kandang anakan adalah kandang bagi buaya yang baru menetas sampai dianggap cukup kuat untuk dipindahkan ke kandang buaya muda. Kandang anakan di Perhutani merupakan kotak styrofoam, dilengkapi lampu, bagian atas ditutup triplek, dan diberi kain kasa. Sedangkan di Taman Buaya Indonesia merupakan akuarium yang terbuat dari kaca, dilengkapi lampu, bagian bawah diberi kayu sehingga terbentuk daratan dan kolam kecil.

Gambar 9 a) Kandang anakan b) Kandang bagian dalam c) Tempat pakan. Bagian depan kandang anakan buaya muara terdapat jalan pemeliharaan, jarak antara tempat pengunjung dengan satwa dibatasi oleh pagar pembatas besi fungsinya agar pengunjung tidak dapat melakukan kontak langsung dengan satwa dan kandang. Pada penelitian ini kegiatan pembersihan kandang dan air kolam dilakukan setiap dua hari sekali menyesuaikan dengan waktu pemberian pakan. Setelah mengukur pakan sisa dilakukan pembersihan sisa-sisa kotoran dan pakan


(36)

kemudian setelah itu baru diberikan pakan yang baru. Sementara itu, pembersihan kandang dan kolam air anakan buaya yang dilakukan oleh perawat biasanya dilakukan seminggu sekali.

5.1.3 Populasi buaya

Populasi buaya yang terdapat di kandang buaya Taman Margasatwa Ragunan (TMR) sebanyak 30 ekor yang terdiri dari 17 ekor buaya muara (Crocodylus porosus), 3 ekor buaya irian (Crocodylus novaeguineae), dan 10 ekor buaya sinyulong (Tomistoma schlegelii). Buaya yang berada di kandang ini terdiri atas kelas umur remaja sampai dewasa. Komposisi jenis kelamin jantan dan betina atau nisbah kelamin (sex ratio) buaya muara adalah 1 : 2, nisbah kelamin jantan dan betina buaya irian adalah 1 : 2, dan nisbah kelamin buaya sinyulong di kandang buaya TMR adalah 1 : 2. Hal ini hampir mendekati pernyataan Dirjen PHPA (1987) yang menyatakan bahwa sex ratio buaya jantan dan betina di penangkaran adalah 1 : 3. Buaya yang berada di TMR merupakan jenis yang dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 dan CITES.

5.2 Pengelolaan Buaya

Secara umum kegiatan pengelolaan buaya di TMR terdiri dari pengelolaan pakan, perawatan kesehatan, pengelolaan kandang, dan pengelolaan reproduksi. Kegiatan pengelolaan dilakukan oleh dua orang perawat (animal keeper) dan dibantu oleh perawat lain apabila dibutuhkan. Perawat bertugas dalam hal pemantauan satwa, pemberian pakan dan menjaga kebersihan area kandang. Kegiatan pemantauan dan pembersihan area kandang rutin dilakukan setiap hari kerja mulai pukul 08.00 WIB sampai selesai. Sedangkan untuk waktu pemberian pakan oleh perawat disesuaikan dengan jadwal pemberian pakan TMR.

Induk dari anakan buaya muara di TMR yang menjadi objek penelitian ini mulai melakukan perkawinan pada bulan Oktober 2010, kemudian mulai membuat sarang dan bertelur pada bulan Desember 2010. Telur-telur itu menetas pada bulan Mei 2011. Hal ini sesuai dengan pernyataan Masyud et al. (1993) yang menjelaskan bahwa buaya muara bereproduksi pada musim hujan, yang berlangsung pada bulan November – Maret. Gumilar (2007) menyebutkan bahwa buaya muara di penangkaran PT. Ekanindya Karsa mulai bertelur pada bulan


(37)

Januari. Dirjen PHPA (1994) diacu dalam Gumilar (2007) menyatakan bahwa lama pengeraman telur buaya muara antara 78 – 144 hari.

Pemeliharaan anakan buaya muara di Taman Margasatwa Ragunan (TMR) berupa pemberian pakan dan pembersihan kandang. Anakan buaya muara ditemukan pada kandang induk dalam keadaan sudah menetas dengan jumlah 30 ekor. Setelah ditemukan, perawat (animal keeper) memindahkan anakan buaya muara tersebut dari kandang induk untuk dipindahkan ke kandang terrarium II TMR. Selama kurang lebih seminggu anakan buaya muara tidak diberi pakan karena masih terdapat persedian kuning telur yang tersimpan di dalam tubuh. Kurang lebih seminggu kemudian ketika persedian kuning telur sudah habis, anakan buaya muara baru diberi pakan berupa daging ayam dengan cara disuapi satu persatu ditambah ikan mas kecil yang diletakkan di dalam kolam air. Pakan diberikan tiap seminggu sekali dengan cara yang sama. Pembersihan kolam air dan kandang anakan buaya muara juga dilakukan setiap satu minggu sekali.

5.2.1 Pengelolaan pakan

Pengelolaan pakan dilakukan dengan menyediakan jumlah dan kualitas pakan yang cukup dan teratur. Pakan buaya yang diberikan di kandang buaya TMR yaitu daging ayam dalam keadaan sudah mati. Jumlah ayam yang diberikan kepada seluruh buaya adalah 60 ekor ayam dalam satu minggu. Waktu pemberian pakan disesuaikan dengan feeding time dari TMR yaitu satu kali setiap hari minggu pada pukul 10.00 WIB. Pemberian pakan ini merupakan salah satu bentuk atraksi atau peragaan yang diberikan pihak TMR kepada pengunjung. Pembagian pakan oleh perawat disesuaikan dengan umur, ukuran tubuh dan jumlah buaya yang terdapat dalam satu kandang.

Setyonugroho (1995) menyebutkan bahwa jenis pakan yang diberikan di Penangkaran Perhutani Purwakarta terdiri dari kuning telur itik, udang, ikan mujair, ikan laut, dan itik dengan frekuensi pemberian pakan sampai buaya umur 10 bulan adalah setiap hari, umur 11 bulan sampai 7 tahun setiap dua hari sekali dan umur 8 tahun sampai buaya induk setiap tiga hari sekali. Sedangkan di Taman Buaya Indonesia (TBI) Bekasi adalah ikan gapi, ikan laut dan ayam dengan frekuensi pemberian pakan untuk semua kelompok umur adalah dua hari sekali.


(38)

5.2.2 Pengelolaan kesehatan dan penyakit

Selain pengelolaan pakan terdapat pula faktor yang cukup penting dalam keberhasilan konservasi ex-situ buaya di TMR yaitu perawatan kesehatan dan penyakit yang dilakukan oleh pihak perawat TMR dibawah pengawasan bidang kesehatan hewan TMR. Kegiatan ini bertujuan untuk mencegah dan mengobati satwa yang terserang penyakit dan luka. Lingkup kegiatan yang dilakukan meliputi pembersihan lingkungan kandang dan areal sekitar kandang, pemantauan dan pengamatan kondisi kesehatan satwa setiap hari, pemberian obat dan vitamin bagi satwa yang terserang penyakit atau luka, dan karantina satwa.

Setyonugroho (1995) menyebutkan bahwa tindakan dalam menangani masalah di Penangkaran Perhutani dan Taman Buaya Indonesia adalah sama, yaitu dengan pencegahan dan pengobatan. Pencegahan dilakukan dengan menjaga kebersihan kandang dan pakan khususnya terhadap anak buaya berusia dibawah 1 tahun, sedangkan pengobatan terhadap buaya yang sakit dengan diberikan obat-obatan tertentu.

Jenis penyakit yang sering terjadi pada buaya di TMR yaitu cacingan dan luka infeksi akibat perkelahian antar sesama buaya dalam satu kandang. Perlakuan yang diberikan untuk luka akibat perkelahian biasanya akan diberikan antiseptik dan obat luka luar Gusanek. Sedangkan untuk buaya yang menderita cacingan diberikan obat cacing. Pengobatan dapat langsung dilakukan oleh perawat, paramedis ataupun dokter hewan sesuai dengan jenis penyakit yang diderita.

Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya penyakit ini pada buaya antara lain endoparasit seperti cacing gelang (Ascaris sp.) di dalam saluran pencernaan, kebersihan lingkungan kandang, jumlah buaya dalam satu kandang, pengaruh cuaca dan kualitas kondisi pakan yang diberikan. Fakultas Kehutanan IPB (1990) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan buaya yaitu kondisi perkandangan dan lingkungan, makanan, bibit penyakit, sistem pengairan dalam kandang atau kolam yang kurang baik serta kelainan-kelainan metabolisme.

5.2.3 Pengelolaan kandang

Pengelolaan kandang juga merupakan salah satu kegiatan penting yang dilakukan oleh TMR. Fasilitas dan perlengkapan kandang buaya di TMR disesuaikan dengan jenis kandangnya. Kandang buaya dewasa dilengkapi dengan


(39)

bangunan rumah, tempat istirahat bagi perawat dan peralatan kebersihan (Gambar 10). Sedangkan pada kandang anakan buaya muara hanya terdapat perlengkapan kebersihan. Konstruksi kandang buaya dibuat disesuaikan dengan kondisi habitat alami dan tidak membahayakan bagi pengunjung.

Gambar 10 a) Perlengkapan kandang b) Tempat istirahat c) Peralatan kebersihan. Terdapat beberapa fasilitas kandang buaya yang rusak seperti papan interpretasi (Gambar 11a) dan pagar kandang yang patah. Di sekitar areal kandang sering ditemukan sampah-sampah plastik dan bekas makanan yang di buang secara sembarangan oleh pengunjung TMR (Gambar 11b), oleh karena itu diperlukan upaya pihak TMR untuk selalu menghimbau dan memberitahukan kepada pengunjung untuk tidak membuang sampah sembarangan. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran pengunjung mengenai kebersihan areal kandang. Bolton (1981) diacu dalam Ratnani (2007) menyebutkan bahwa dalam memelihara buaya sebaiknya mengurangi segala gangguan dari manusia karena semakin banyak gangguan manusia, maka ketenangan buaya akan terganggu.

Gambar 11 a) Papan interpretasi rusak b) Sampah sisa makanan pengunjung.

a b c


(40)

25 26 27 28 29 30 31 32 33

pagi 09.00 WIB siang 12.00 WIB sore 15.00 WIB

Su

h

u

0C

5.2.4 Pengelolaan reproduksi

Manajemen reproduksi buaya di TMR saat ini belum banyak dilakukan kegiatan pengelolaannya. Kegiatan perkembangbiakkan buaya dilakukan secara alami dan bebas sesuai dengan kesiapan fungsi seksual. Anakan buaya muara yang diteliti lahir pada bulan Mei 2011, hal ini berarti induk melakukan perkawinan pada bulan September 2010 – Okktober 2011 dan mulai bertelur pada bulan November 2010. Setelah menetas anakan buaya muara diambil dari sarang induk dan dipindahkan dalam kandang anakan yang berada pada lokasi Terarium 2 TMR. Selanjutnya anak buaya muara yang berada dalam kandang anakan dirawat oleh perawat pada lokasi tersebut.

5.2.5 Suhu dan kelembaban kandang anak buaya muara

Suhu dan kelembaban merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup buaya muara di kandang maupun pada habitat alaminya. Hasil pengukuran suhu di kandang anakan buaya muara menunjukkan kondisi suhu kandang yang relatif stabil. Naik dan turunnya suhu disebabkan oleh pengaruh cuaca dan angin. Fluktuasi terjadi karena cuaca yang cenderung berubah-ubah selama waktu pengukuran.

Suhu kandang pada pagi hari berkisar antara 27oC-29oC, pada siang hari antara 28oC-33oC, dan pada sore hari 28oC-30oC (Gambar 12). Kelembaban kandang pada pagi hari cukup stabil berkisar 82%, sedangkan pada siang dan sore hari kelembaban berkisar antara 75%-91% (Gambar 13). Hal ini sesuai dengan pernyataan Britton (2011) bahwa kisaran suhu yang disukai atau PBT (preferred body temperatures) buaya adalah 29oC-34°C. Frye (1991) menyebutkan kondisi suhu optimal untuk reptil didaerah tropis berkisar antara 29,5oC-37,5oC, sedangkan kelembaban sekurang-kurangnya berkisar antara 80-90%.


(1)

Lampiran 6. Pengukuran pertumbuhan

Pengukuran panjang total

Pengukuran lingkar dada


(2)

72

Lampiran 7. Kandang buaya di Taman Margasatwa Ragunan

Kandang anakan buaya muara Kandang buaya utama

Papan interpretasi buaya muara Papan interpretasi buaya senyulong


(3)

Lampiran 8. Analisis proksimat formulasi pakan Kadar Air

kode spl g cawan g sampel g cawan+ spl % Air

A-1 20.75 5.1326 22.3009 69.7833 69.9753

A-2 29.5038 5.1933 31.0531 70.1673

B-1 20.7487 4.053 21.8261 73.4172 73.3421

B-2 19.8155 4.3362 20.9747 73.2669

C-1 17.7609 3.681 18.7467 73.2192 72.9791

C-2 20.9275 4.0633 22.0352 72.7389

D-1 21.277 3.0173 22.011 75.6736 76.1846

D-2 21.1924 3.0475 21.9026 76.6957

E-1 20.9273 5.065 22.4721 69.5005 69.5956

E-2 25.2975 4.9866 26.8089 69.6908

Kadar Abu

kode spl g cawan g sampel g cawan+abu % Abu

A-1 20.75 5.1326 20.8066 1.1028 1.1271

A-2 29.5038 5.1933 29.5636 1.1515

B-1 20.7487 4.053 20.7923 1.0757 1.0856

B-2 19.8155 4.3362 19.863 1.0954

C-1 17.7609 3.681 17.7969 0.9780 1.0403

C-2 20.9275 4.0633 20.9723 1.1026

D-1 21.277 3.0173 21.3157 1.2826 1.2500

D-2 21.1924 3.0475 21.2295 1.2174

E-1 20.9273 5.065 21.042 2.2646 2.2493

E-2 25.2975 4.9866 25.4089 2.2340

Kadar Lemak

kode spl g spl botol kosong botol isi % lemak

A-1 5.054 112.1392 112.4404 5.9596 5.9600

A-2 5.1071 110.3197 110.6241 5.9603

B-1 4.4146 110.3158 110.3557 0.9038 0.9077

B-2 5.8906 112.133 112.1867 0.9116

C-1 4.4241 97.9586 98.0151 1.2771 1.2106

C-2 5.4099 101.4394 101.5013 1.1442

D-1 2.9351 112.1324 112.1743 1.4275 1.4579

D-2 3.5342 110.3146 110.3672 1.4883

E-1 5.5684 97.9572 98.1285 3.0763 3.1056

E-2 5.9011 101.4377 101.6227 3.1350 Kadar Protein (HCL : 0.0911)

kode spl mg spl ml HCl % Protein

A-1 304.9 9.25 24.1969 23.3137

A-2 337.8 9.5 22.4305

B-1 383.1 11.05 23.0051 22.9951

B-2 381.7 11 22.9850

C-1 218.6 6.2 22.6212 22.7670

C-2 219.3 6.3 22.9127

D-1 242.6 5 16.4382 16.6758

D-2 240.5 5.1 16.9133

E-1 309.6 9.45 24.3448 24.2783


(4)

74

Lampiran 8. Lanjutan Kadar karbohidrat

kode spl % air % abu % lemak % protein % karbohidrat

A-1 69.9753 1.1028 5.9596 24.1969 -1.2346 -0.4721 A-2 70.1673 1.1515 5.9603 22.4305 0.2904

B-1 73.4172 1.0757 0.9038 23.0051 1.5981 1.6695 B-2 73.2669 1.0954 0.9116 22.9850 1.7410

C-1 73.2192 0.9780 1.2771 22.6212 1.9045 2.0030 C-2 72.7389 1.1026 1.1442 22.9127 2.1016

D-1 75.6736 1.2826 1.4275 16.4382 5.1781 4.4317 D-2 76.6957 1.2174 1.4883 16.9133 3.6853

E-1 69.5005 2.2646 3.0763 24.3448 0.8139 0.7711 E-2 69.6908 2.2340 3.1350 24.2119 0.7283

Energi bruto

kode spl Protein Lemak Karbohidrat Energi ( kalori)

A 93.3 53.6 -2.4 144.5

B 92.0 8.2 8.3 108.5

C 91.1 10.9 10.0 112.0

D 66.7 13.1 22.2 102.0


(5)

RINGKASAN

R. FAID ABDUL MANAN. Pertambahan Bobot dan Ukuran Badan Anakan Buaya Muara (Crocodylus porosus Schneider, 1801) dengan Perlakuan Beberapa Formulasi Pakan Daging Ayam dan Ikan Kembung di Taman Margasatwa Ragunan. Dibimbing oleh ACHMAD MACHMUD THOHARI dan LIN NURIAH GINOGA.

Buaya muara (Crocodylus porosus) merupakan salah satu jenis reptilia yang saat ini keberadaannya di Indonesia terancam punah. Jenis ini banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia untuk diambil kulitnya dan sebagai sumber protein hewani. Penurunan populasi buaya selain karena perburuan, juga disebabkan oleh rusaknya habitat buaya itu sendiri. Berdasarkan status dan kondisi populasi buaya muara yang terancam kepunahan baik dari gangguan alami maupun aktifitas manusia, maka upaya konservasi perlu dilakukan.

Taman Margasatwa Ragunan (TMR) merupakan salah satu bentuk lembaga konservasi ex-situ yang terdapat di Jakarta. Upaya yang dilakukan oleh TMR adalah dengan melakukan kegiatan penangkaran dan telah berhasil menetaskan anak buaya muara. Upaya tersebut memerlukan informasi mengenai pertumbuhan anak buaya dan pakan yang diberikan di TMR, sehingga penelitian ini perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan informasi jenis pakan yang cocok dan sesuai yang memberikan pengaruh paling cepat terhadap pertumbuhan anak buaya muara, kandungan gizi pakan dan teknik pengelolaan buaya di TMR.

Penelitian dilaksanakan pada bulan September – November 2011. Data yang dikumpulkan berupa parameter pertumbuhan anak buaya muara (panjang total, lingkar dada dan bobot badan), kandugan gizi formulasi pakan dan aspek pengelolaan buaya TMR. Alat yang digunakan yaitu meteran, timbangan digital, termometer dry wet, cat minyak, dan kamera digital. Anak buaya muara yang dicobakan mempunyai ukuran panjang total 30 – 40 cm, berumur 3 bulan dan jenis kelamin dianggap sama atau seragam. Pakan yang diberikan kepada anak buaya muara setiap hari yaitu daging ayam (Gallus sp.) dan ikan kembung (Rastrelliger sp.) sebanyak 80 gram dengan formulasi: A (100% daging ayam), B (75% daging ayam + 25% ikan kembung), C (50% daging ayam + 50% ikan kembung), D (25% daging ayam + 75% ikan kembung), dan E (100% ikan kembung). Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap. Hasil pengukuran dianalisis menggunakan analisa sidik ragam uji-f (anova).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh pemberian formulasi pakan tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% terhadap pertumbuhan anakan buaya muara yang berukuran 30 – 40 cm. Pakan yang dikonsumsi oleh anakan buaya muara berumur 3 – 5 bulan sebanyak 6,7 g/ekor/hari dengan konsumsi pakan terbesar pada formulasi pakan B (75% daging ayam + 25% ikan kembung) sebesar 8,0 g/ekor/hari. Pertambahan bobot badan, lingkar dada dan panjang total anakan buaya muara berumur 3 – 5 bulan di TMR terbesar pada formulasi pakan B yaitu sebesar 22,4 g/ekor/minggu, 0,3 cm/ekor/minggu dan 1,1 cm/ekor/minggu. Pengelolaan buaya di TMR terdiri dari 4 kegiatan utama yaitu pengelolaan perkandangan, pakan, perawatan kesehatan, serta reproduksi. Teknik pengelolaan buaya di TMR termasuk kategori pengelolaan semi intensif.


(6)

SUMMARY

R. FAID ABDUL MANAN. The Increasing of Weight and Measurement Saltwater Crocodile Hatchling (Crocodylus porosus Schneider, 1801) with Various Feed Formulation Chicken Meat and Mackerel in Ragunan Zoological Park. Under Supervision of ACHMAD MACHMUD THOHARI and LIN NURIAH GINOGA.

Saltwater Crocodile (Crocodylus porosus) is one of the endangered species in Indonesia. This species generally use by Indonesian people for skins and protein resources. Saltwater crocodile population decline are from illegal hunting and its habitat degradation. Based on the condition and status of saltwater crocodile population are threatened from natural disturbances or human activities, conservation act needs to be done.

Ragunan Zoological Park (RZP) is one of the ex-site conservation in Jakarta. The RZP act is to captive and had successfully laying an egg of saltwater crocodile. This effort needs information about the growth of saltwater crocodile hatchling and its consumption in RZP. This research aims are to give information about the growth of saltwater crocodile hatchling, feed composition, and management technique of crocodile in RZP.

Research conducted from September to November 2011. The collected data was saltwater crocodile hatchling growing factor (total length, chest circumference and weight), feed composition, management technique of crocodile in RZP. Equipments used is a stationery, tape gauge, digital scales, dry-wet thermometer, oil paint, and digital camera. The hatchlings total length was 30 – 40 cm, 3 month old and sexes are considered equal or uniform in size. The food given to saltwater crocodile hatchling is chicken meat (Gallus sp.) and mackerel (Rastrelliger sp.) for 80 grams with formulation: A (100% chicken meat), B (75% chicken meat + 25% mackerel), C (50% chicken meat + 50% mackerel), D (25% chicken meat + 75% mackerel), and E (100% mackerel). The experimental design used was a compeletely randomized design. The result were analyzed using analysis of variance f-test (anova).

The result shows that various feed formulation does not effects the growth of saltwater crocodile hatchling 3 – 5 months old and total length of 30 – 40 cm with 95% confidence interval. Feed consumption for crocodile hatchling 3 – 5 months old was 6,7 g/tail/day. Saltwater crocodile hatchling in RZP more like to consume feed formulation B (75% chicken meat + 25% mackerel) for 8,0 g/tail/day, if compared to other feed formulation. The biggest growth of saltwater crocodile hatchling in RZP is feed formulation B with average weight growth 22,4 g/tail/week, average chest circumference growth 0,3 cm/tail/week and average height growth 1,1 cm/tail/week. Crocodile management in RZP have 4 main activity that is feeding management, cage management, sanitary and health management, and reproduction management. Management technique in RZP was semi intensive.