Aktifitas Senyawa Atibakteri Bintang Laut (Asterias forbesii) Terhadap Beberapa Jenis Bakteri Patogen

(1)

AKTIVITAS SENYAWA ANT IBAKTERI BINTANG LAUT

(Asterias forbesii)

TERHADAP BEBERAPA JENIS BAKTERI

PATOGEN

TESIS

Oleh

SITI JUARIAH

117030051/BIO

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

AKTIVITAS SENYAWA ANTIBAKTERI BINTANG LAUT

(Asterias forbesii)

TERHADAP BEBERAPA JENIS BAKTERI

PATOGEN

TESIS

Oleh

SITI JUARIAH

117030051/BIO

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

AKTIVITAS SENYAWA ANTIBAKTERI BINTANG LAUT

(Asterias forbesii)

TERHADAP BEBERAPA JENIS BAKTERI

PATOGEN

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains dalam Program Studi Magister Ilmu Biologi pada

Program Pascasarjana Fakultas MIPA Universitas Sumatera

Utara

Oleh

SITI JUARIAH

117030051/BIO

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(4)

PENGESAHAN

Judul Tesis : AKTIVITAS SENYAWA ANTIBAKTERI BINTANG LAUT (Asterias forbesii)

Nama Mahasiswa : Siti Juariah

TERHADAP BEBERAPA JENIS BAKTERI PATOGEN

Nomor Induk Mahasiswa : 117030051

Program Studi : Magister Biologi /Mikrobiologi

Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Menyetujui Komisi Pembimbing

Pembimbing 1 Pembimbing 2

Prof. Dwi Suryanto, M.Sc Dr. It Jamilah, M.Sc

NIP. 19640409 199403 1 003 NIP. 19631012 199103 1 001

Ketua Program Studi, Dekan,

Prof. Syafruddin Ilyas, M.Biomed Dr. Sutarman, M.Sc


(5)

PERNYATAAN ORISINILITAS

AKTIVITAS SENYAWA ANTIBAKTERI BINTANG LAUT

(Asterias forbesii)

TERHADAP BEBERAPA JENIS BAKTERI

PATOGEN

TESIS

Dengan ini saya nyatakan bahwa saya mengakui semua karya

tesis ini adalah hasil kerja saya sendiri kecuali kutipan dan

ringkasan yang tiap satunya telah dijelaskan sumbernya dengan

benar.

Medan, 22 April 2014

Siti Juariah

NIM. 117030051


(6)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH

UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Siti Juariah

NIM : 117030051

Program Studi : Magister Biologi /Mikrobiologi Jenis Karya Ilmiah : Tesis

Demi pengembangan ilu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-Ekslusif (Non-Exclusive Free Right) atas tesis saya yang berjudul

AKTIVITAS SENYAWA ANTIBAKTERI BINTANG LAUT (

:

Asterias forbesii)

Beserta perangkat yang ada. Dengan Hak Bebas Royalti Non-Ekslusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media, memformat,mengelola dalam bentuk data-base, merawat dan mempublikasikan Tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemegang dan atau pemilik hak cipta.

TERHADAP BEBERAPA JENIS BAKTERI PATOGEN.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.

Medan, 22 April 2014


(7)

Telah diuji pada:

Tanggal 29 Januari 2014

PANITIA PENGUJI TESIS:

Ketua

: Prof. Dwi Suryanto, M.Sc

Anggota

: 1. Dr. It Jamilah, M.Sc

2. Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc

3. Dr. Herla Rusmarillin, MS


(8)

RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama : Siti Juariah, S.Pi

Tempat dan Tanggal Lahir : Karyamukti, 10 Mei 1985

Alamat Rumah : Jl. H. Annas Ma’amun, Kepenghuluan Karyamukti, Kecamatan Rimbo Melintang, Kabupaten Rokan Hilir - Riau

HP : 082383261185

Email :

Instansi Tempat Bekerja : Politeknik Tanjungbalai

Alamat kantor : Jl. Sei Raja, Kelurahan Sei Raja, Kecamatan Sei Tualang Raso Kota Tanjungbalai

DATA PENDIDIKAN :

SD : 061 Tamat : 1997

SMP : SMP Negeri 1 Rimbo Meintang Tamat : 2000

SMA : MAN 2 Model Pekanbaru Tamat : 2003


(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat ALLAH SWT, karena berkat limpahan rahmat dan karunianNYA tesis ini dapat terselesaikan. Tesis ini berjudul Aktifitas Senyawa Atibakteri Bintang Laut (Asterias forbesii) Terhadap Beberapa Jenis Bakteri Patogen.

Dalam penulisan tesis ini tidak terlepas dari dosen pembimbing yakni Bapak Prof. Dwi Suryanto, M.Sc selaku penbimbing 1 dan Ibu Dr. It Jamilah M.Sc selaku pembimbing 2, oleh karena itu ucapan terimakasih kepada beliau atas bimbingannya sehingga tesis ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Ucapan terimakasih juga teruntuk ayahanda dan ibunda tercinta yang selalu memotivasi dan memberikan semangat serta dukungan setiap saat. Pada kesempatan ini juga perkenankanlah kami mengucapakan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Rektor Universitas Sumatera Utara, Ketua Program Studi Pasacasarjana Biologi, serta semua dosen Pascasarjana Biologi dan seluruh teman-teman yang ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan tesis ini. Tidak lupa saya ucapkan terimakasih kepada keluarga besar Politeknik Tanjungbalai yang telah memberikan dukungan moril maupun materil sehingga tesis ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.

Kami sudah berusaha semaksimal mungkin dalam menyusun serta menyempurnakan tesis ini, namun kiranya ada saran dan kritikan dari pembaca maka akan kami terima demi kesempurnaan tesis ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.


(10)

AKTIVITAS SENYAWA ANTIBAKTERI BINTANG LAUT (Asterias forbesii) TERHADAP BEBERAPA JENIS BAKTERI PATOGEN.

Abstrak

Salah satu bahan alternatif sebagai antibakteri yang berasal dari hasil perairan yakni bintang laut. Dalam penelitian ekstraksi bintang laut mampu menghasilkan senyawa anti bakteri. Untuk menentukan komponen bioaktif ekstrak bintang laut dilakukan uji senyawa kimia. Pengujian Sifat toksisitas senyawa metabolit skunder dilakukan dengan menggunakan metode Brine Shrimb Lethality Test (BSLT). Pengujian aktifitas antibakteri ekstrak bintang laut dilakukan terhadap beberapa jenis bakteri patogen dua spesies Gram positif

Staphylococcus aureus, Bacillus subtilis, dan dua spesies Gram negatif

Pseudomonas auroginosa dan Escherchia coli. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak metanol mengandung komponen senyawa alkaloida, terpenoida, saponin dan flavonoida, sedangkan ekstrak n-heksana dan etil asetat hanya mengandung senyawa saponin dan flavonoid. Hasil uji BSLT diperoleh nilai LC50

ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol masing-masing 1412,54 ppm, 13182,57 ppm dan 63,10 ppm. Hasil pengujian aktifitas anti bakteri dinyatakan bahwa ekstrak metanol bintang laut memiliki daya hambat tertinggi terhadap beberapa jenis bakteri patogen dibandingkan dengan ekstrak etil asetat dan n-heksana dengan diameter zona hambat 9,5 mm, 8,5 mm, 10,0 mm 11 mm pada masing-masing bakteri S. aureus, B. subtilis, P. auroginosa dan E. coli. Setelah dilakukan pengujian senyawa triterpenoida menggunakan KLT preparative dapat dinyatakan bahwa bakteri Gram negative (E. coli, P. auroginosa) lebih aktif dibandingkan dengan bakteri Gram positif (S. aureus, B. subtilis)


(11)

ACTIVITY OF ANTIBACTERIAL COMPOUND OF (Asterias forbesii) TO SEVERAL PATHOGENIC BACTERIA

Abstract

One such alternative sources of antibacterial compound is derived from sea star. In this study extraction of sea star (Asterias forbesii) has been caried out to obtain antibacterial compounds. To determine bioactive compounds in the extract of sea star chemical test has been conducted. Toxicity of secondary metabolites was determind using method of Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). Assay of antibacterial activity of starfish extract was conducted against four pathogenic bacterial strains, two Gram-positive bacteria Staphylococcus aureus

and Bacillus subtilis, and two Gram-negative bacteria Pseudomonas aeroginosa

and Escherichia coli. The result showed that the metanol extract contained alkaloid, terpenoids, saponins, and flavonoids, while the extract of n-hexane and ethyl acetate only contain saponins and flavonoids. BSLT test showed that LC50

of extract of n-hexane, ethyl acetate and metanol were 1412,54 ppm, 13182,57 ppm and 63,10 ppm respectively. Antibacterial activity showed that activity of the metanol extract of starfish have the highest inhibition against several bacterial pathogens compared to that of ethyl acetate and n-hexane extract with inhibition zone of 9.5 mm, 8.5 mm, 10.0 mm, 11.0 mm in S. aureus, B. subtilis, P. aeroginosa and E. coli respectively. It was showed that of TLC preparatif triterpenoid is capable to inhibit more in Gram negative bacteria (E. coli and P. aeruginosa) bacteria compared to the of Gram positive (S. aureus and B. subtilis) .


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Bintang Laut Asterias forbesi ... 4

2.2 Senyawa Aktif Bintang Laut ... 5

2.3 Mikroorganisme Uji ... 6

2.4 Antimikroba ... 10

2.5 Isolasi komponen aktif antibakteri ... 12

2.6 Komponen Bioaktf ... 14

2.7 Bioassay ... 18

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 20

3.1 Waktu dan Tempat ... 20

3.2 Bahan dan Alat ... 20

3.3 Koleksi dan Persiapan Sampel ... 21

3.4 Ekstraksi kering bintang laut ... 21

3.5 Uji komponen senyawa kimia ... 22

3.6 Uji Toksisitas bintang laut ... 24

3.7 Uji Aktivitas Antimikroba... 25

3.8 Pemisahan dan Identifikasi Golongan Senyawa Metabolit Sekunder dari Ekstrak Methanol Bintang Laut dengan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Preparatif ... 26

3.9 Analisis Data ... 27

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

4.1 Karakteristik Bintang Laut ... 29

4.2 Komponen Senyawa Kimia Ekstrak Bintang Laut A. forbesii ... 30

4.3 Uji Toksisitas Ekstrak Bintang Laut A. forbesii ... 31 4.4 Uji Ekstrak Kasar Bintang Laut A. forbesii Terhadap Beberapa


(13)

Jenis Bakteri Patogen... 33

4.5 Uji Senyawa Aktif Pada Ekstrak Metanol Bintang Laut A. forbesii Terhadap Beberapa Jenis Bakteri Patogen ... 37

4.6 Uji Fitokimia Senyawa Aktif Ekstrak Metanol Bintang Laut A. forbesii ... 40

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 41

5.1 Kesimpulan ... 41

5.2 Saran ... 41

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Gambar Judul Halaman

4.1.1 Bintang Laut Segar (A), Bintang Laut Setelah

Dikeringkan (B) 29

4.5.2 Grafik Diameter Zona Hambat Senyawa Hasil KLT Ekstrak Metanol Bintang Laut A.forbesii Terhadap Beberapa Jenis Bakteri Patogen

38 4.5.3 Zona Hambat Senyawa pada Ekstrak Metanol Bintang

Laut A. forbesii Terhadap Beberapa Jenis Bakteri Patogen


(15)

DAFTAR TABEL

Nomor

Tabel Judul Halaman

4.2.1 Hasil Uji Fitokimia Ekstrak Kasar Bintang Laut A.

forbesii 30

4.3.2 Nilai LC50

32 Ekstrak Bintang lLut A. forbesii Terhadap

Larva A. salina

4.4.3

Diameter Zona Hambat Ekstrak Kasar Bintang

Laut A. forbesii Terhadap Beberapa Jenis

Bakteri Patogen

34 4.6.4 Hasil Uji Fitokimia Senyawa 1, 2 dan 3 Ekstrak


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor

Lampiran Judul Halaman

1 Bagan Alir Penelitian 48

2 Bagan Alir Ekstraksi bintang laut A. forbesi 49 3 Bagan alir Uji Toksisitas dengan Metode Brine

Shrimp Lethality Test 50

4 Bagan alir Uji senyawa metabolit skunder ekstrak

bintang laut A. forbesii 51

5 Bagan Alir Uji Aktifitas Antimikroba 54

6 Bagan Alir Proses Pemisahan dan Identifikasi Senyawa Aktif Ekstrak Metanol Bintang Laut A. forbesi

55 7 Data hasil pengujian Brine Shrimp Lethality Test

(BSLT) 56

8 Data hasil pengujian senyawa ekstrak metanol bintang laut A. forbesii terhadap beberapa jenis bakteri pathogen

59


(17)

AKTIVITAS SENYAWA ANTIBAKTERI BINTANG LAUT (Asterias forbesii) TERHADAP BEBERAPA JENIS BAKTERI PATOGEN.

Abstrak

Salah satu bahan alternatif sebagai antibakteri yang berasal dari hasil perairan yakni bintang laut. Dalam penelitian ekstraksi bintang laut mampu menghasilkan senyawa anti bakteri. Untuk menentukan komponen bioaktif ekstrak bintang laut dilakukan uji senyawa kimia. Pengujian Sifat toksisitas senyawa metabolit skunder dilakukan dengan menggunakan metode Brine Shrimb Lethality Test (BSLT). Pengujian aktifitas antibakteri ekstrak bintang laut dilakukan terhadap beberapa jenis bakteri patogen dua spesies Gram positif

Staphylococcus aureus, Bacillus subtilis, dan dua spesies Gram negatif

Pseudomonas auroginosa dan Escherchia coli. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak metanol mengandung komponen senyawa alkaloida, terpenoida, saponin dan flavonoida, sedangkan ekstrak n-heksana dan etil asetat hanya mengandung senyawa saponin dan flavonoid. Hasil uji BSLT diperoleh nilai LC50

ekstrak n-heksana, etil asetat dan metanol masing-masing 1412,54 ppm, 13182,57 ppm dan 63,10 ppm. Hasil pengujian aktifitas anti bakteri dinyatakan bahwa ekstrak metanol bintang laut memiliki daya hambat tertinggi terhadap beberapa jenis bakteri patogen dibandingkan dengan ekstrak etil asetat dan n-heksana dengan diameter zona hambat 9,5 mm, 8,5 mm, 10,0 mm 11 mm pada masing-masing bakteri S. aureus, B. subtilis, P. auroginosa dan E. coli. Setelah dilakukan pengujian senyawa triterpenoida menggunakan KLT preparative dapat dinyatakan bahwa bakteri Gram negative (E. coli, P. auroginosa) lebih aktif dibandingkan dengan bakteri Gram positif (S. aureus, B. subtilis)


(18)

ACTIVITY OF ANTIBACTERIAL COMPOUND OF (Asterias forbesii) TO SEVERAL PATHOGENIC BACTERIA

Abstract

One such alternative sources of antibacterial compound is derived from sea star. In this study extraction of sea star (Asterias forbesii) has been caried out to obtain antibacterial compounds. To determine bioactive compounds in the extract of sea star chemical test has been conducted. Toxicity of secondary metabolites was determind using method of Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). Assay of antibacterial activity of starfish extract was conducted against four pathogenic bacterial strains, two Gram-positive bacteria Staphylococcus aureus

and Bacillus subtilis, and two Gram-negative bacteria Pseudomonas aeroginosa

and Escherichia coli. The result showed that the metanol extract contained alkaloid, terpenoids, saponins, and flavonoids, while the extract of n-hexane and ethyl acetate only contain saponins and flavonoids. BSLT test showed that LC50

of extract of n-hexane, ethyl acetate and metanol were 1412,54 ppm, 13182,57 ppm and 63,10 ppm respectively. Antibacterial activity showed that activity of the metanol extract of starfish have the highest inhibition against several bacterial pathogens compared to that of ethyl acetate and n-hexane extract with inhibition zone of 9.5 mm, 8.5 mm, 10.0 mm, 11.0 mm in S. aureus, B. subtilis, P. aeroginosa and E. coli respectively. It was showed that of TLC preparatif triterpenoid is capable to inhibit more in Gram negative bacteria (E. coli and P. aeruginosa) bacteria compared to the of Gram positive (S. aureus and B. subtilis) .


(19)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan manusia merupakan hal terpenting dalam melangsungkan kehidupannya. Masalah kesehatan tersebut erat kaitannya dengan lingkungan ataupun sumber makanan yang tercemar mikroorganisme yang nantinya akan menimbulkan berbagai macam penyakit. Salah satu mikroorganisme yang dapat menimbulkan masalah dalam bidang kesehatan ialah jenis bakteri patogen. Beberapa jenis bakteri patogen tersebut diantaranya adalah Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Bacillus subtilis dan beberapa mikroorganisme lainnya. Mikroorganisme tersebut melakukan perkembangbikan sehingga mampu menghasilkan toksin atau dosis infeksi yang dapat menimbulkan penyakit. Banyak usaha yang telah dilakukan untuk melawan bakteri patogen tersebut yaitu dengan menemukan senyawa kimia yang dapat menghambat pertumbuhan dan membunuh bakteri. Senyawa-senyawa tersebut dikenal dengan nama antibiotik (Pelczar dan Chan 2008). Penggunaan antibiotik sintetik maupun semi sintetik umumnya memiliki efek samping tertentu yang tidak diharapkan, terutama apabila antibiotik tersebut digunakan secara terus-menerus. Oleh karena itu, penelitian mengenai zat antimikroba alami terus dilakukan. Beberapa bahan alami yang dapat dimanfaatkan sebagai antibakteri ada bermacam-macam salah satu diantaranya adalah berasal dari perairan.

Salah satu hasil perairan yang merupakan kekayaan alam laut Indonesia adalah bintang laut. Beberapa penelitian tentang senyawa bioaktif dari bintang laut masih terbatas pada penemuan senyawa yang belum diketahui aktivitasnya. Bintang laut merupakan salah satu spesies dari kelas Asteroidaea dan merupakan kelompok dari Echinodermata. Beberapa bioaktif antiviral, antitumor, antimikroba, atau senyawa sitotoksik telah berhasil diekstrak dari berbagai jenis bintang laut. Senyawa bioaktif bintang laut sangat menarik untuk diteliti terutama berkaitan dengan sifat karakteristik kimia maupun biokimianya serta pemanfaatannya untuk bidang pangan dan kesehatan.


(20)

Beberapa penelitian tentang senyawa yang terdapat pada bintang laut telah dilakukan. De Marino et al., (1998) mengemukakan bahwa senyawa pada bintang laut famili Asteriidae mampu menghasilkan anti mikroba, ekstrak bintang laut Asterinapectifera aktif tehadap Aspergillussp. dan Cryptococcus neoformans (Choi et al., 1999), bintang laut Anasterias minuta berfungsi sebagai antifungal (Chludil et al., 2000). Senyawa bintang laut Aphelasterias japonica bersifat hemolitik (Ivanchina et al., 2000), kandungan Saponin yang terdiri atas polihidroksisterol dan monosakarida atau disakarida banyak ditemukan pada bintang laut dari kelas Asteroidaea

(Iorizzi et al., 2001). Senyawa bintang laut

Certonardoa semiregularis mengandung antiviral (Wang et al., 2002) selanjutnya dilaporkan bahwa beberapa senyawa yang terdapat pada bintang laut Certonardoa semiregularis berfungsi sebagai sitotoksik (Wang et al., 2004).

Bintang laut Asterias forbesii merupakan spesies yang memiliki kelimpahan tertinggi di perairan Pantai Pulau Poncan Gadang Sumatera Utara (Alexander, 2012). Penelitian tentang aktifitas A. forbesii terhadap bakteri belum pernah dilakukan, hal inilah yang mendasari perlunya dilakukan penelitian tentang aktifitas anti bakteri spesies A. forbesii terhadap beberapa jenis bakteri patogen.

1.2 Rumusan Masalah

Mikroba patogen merupakan salah satu penyebab penyakit pada manusia dan makhluk hidup lainnya. Banyak usaha yang telah dilakukan untuk melawan mikroba patogen tersebut yaitu dengan menemukan senyawa kimia yang dapat menghambat pertumbuhan dan membunuh bakteri. Penggunaan senyawa kimia yang bersifat sintetik dapat menimbulkan efek negatif. Oleh karena itu, penelitian mengenai zat antimikroba alami terus dilakukan yakni dengan penggunaan zat antibakteri yang sifatnya alami serta aman bagi kesehatan manusia. Salah satu bahan alternatif sebagai antibakteri tersebut berasal dari perairan yakni bintang laut A. forbesii yang merupakan spesies yang memiliki kelimpahan tertinggi di Pantai Poncan Pulau Gadang Sumatera Utara.


(21)

Tujuan dari penelitian ini antara lain adalah:

1. Menentukan jenis komponen bioaktif yang terkandung dalam bintang laut melalui uji senyawa kimia.

2. Mengetahui sifat toksisitas senyawa metabolit sekunder hasil ekstraksi dengan metode Brine Shrimp Lethality Test.

3. Mengetahui aktivitas senyawa antibakteri bintang laut terhadap beberapa bakteri patogen diantaranya Staphylococcus aureus, Bacillus subtilis, Pseudomonas auroginosa, Escherichia coli.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini diantaranya adalah:

1. Memberikan informasi dan pemanfaatan bintang laut dalam bidang pangan, farmasi dan industri.

2. Menjadikan bintang laut sebagai alternatif antibakteri secara alami. 3. Menjadi bahan rujukan/refrensi untuk penelitian selanjutnya.


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Deskripsi dan Klasifikasi Bintang Laut Asterias forbesii

Bintang laut merupakan salah satu spesies dari kelas Asteroidaea, merupakan kelompok Echinodermata. Umumnya Echinodermata berukuran besar, yang terkecil berdiameter 1 cm. Bintang laut mempunyai bentuk seperti bintang pentamerous, kebanyakan spesies mempunyai 5 buah tangan. Beberapa spesies mempunyai tangan kelipatan 5. Diameter rata-rata antara 10-20 cm, terkecil 1 cm, dan terbesar 100 cm. Mulut terletak di pusat pisin (central disk). Seluruh permukaan pisin pusat dan tangan bagian bawah disebut oral, sedangkan bagian bawah disebut aboral. Dari mulut sampai ujung tangan terdapat lekukan memanjang. Pada tiap lekukan terdapat 2-4 deret kaki tabung. Tepi lekukan terdapat duri-duri yang dapat digerakkan untuk melindungi kaki tabung. Pada tiap ujung tangan terdapat tentakel dengan bintik pigmen merah. Anus terdapat di tengah pisin aboral, dimana juga terdapat madreporit (Suwignyo et al., 2005).

Salah satu dari jenis bintang laut yang terdapat didaerah Pulau Poncan Pantai Gadang Sumatera Utara ialah A. forbesii. Spesies ini memiliki kelimpahan tertinggi dibandingkan dengan spesies lainnya didaerah tersebut (Alexander, 2012). Adapun klasifikasi bintang laut menurut Gosner (1971) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Phylum : Echinodermata Class : Stelleroidea Subclass : Asteroidaea Ordo : Forcipulatida Family : Asteriidae Genus : Asterias


(23)

Karakteristik A. forbesii tubuhnya terdiri atas keping utama (central disk) dengan lima buah lengan yang pipih, mulut A. forbesii terdapat pada bagin tengah.

A. forbesii mampu bergerak dengan menggunakan kaki amburakral tetapi gerakannya sangat lambat. Sudah memiliki alat pencernaan yang sempurna yaitu terdiri dari mulut, faring, esophagus yang pendek, lambung, intestine dan anus. Respirasi dengan menggunakan dermal branchia dan kaki tabung. Sistem syaraf terdiri atas cincin syaraf dan tali-tali syaraf pada bagian lengan-lengannya. Sistem peredaran darahnya meliputi pembuluh darah yang mengelilingi bagian mulut dan dihubungkan dengan lima buah pembuluh radial ke setiap lengan (Gosner, 1971).

2.2 Senyawa Aktif Bintang Laut

Penelitian tentang senyawa bioaktif dari bintang laut telah banyak dilakukan namun hanya terbatas pada penemuan kandungan senyawanya namun belum diketahui aktivitasnya. Menurut Maier et al., (2007) dan Guo et al., (2009),

streroidal glikosid atau sulfated steroidaal oliglikosid (asterosaponin) merupakan metabolisme utama dari bintang laut dan umumnya mengandung racun. Bintang laut memiliki komponen aktif yang dibagi menjadi tiga kelompok utama berdasarkan strukturnya yaitu asterosaponin, siklis steroidaal glikosid dan glikosid dari steroida polyhidroxylated. Menurut Maier et al.,(2007), asterosaponin yang diisolasi dari bintang laut Heliaster helianthus memiliki potensi aktivitas biologis yang berguna sebagai sitotoksik, hemolisis dan sitostatis hal ini ditandai adanya kandungan saponin dapat membunuh A. salina. Ekstrak Heliaster helianthus

yang diekstraksi dengan n-BuOH dipurifikasi menggunakan kromatografi lapis tipis, hasil KLT tersebut menghasilkan dua fraksi yaitu steroidaal oligoglicosides

dan steroidaal monoglycosides.

Ekstrak bintang laut sangat menarik untuk diteliti karena kaya kandungan senyawa aktif. Menurut Chludil et al., (2000), bintang laut memiliki komponen bioaktif berupa saponin. Saponin diperoleh dari bintang laut Anasterias minuta

memiliki kemampuan sebagai sitotoksik, hemolisis, antifungi, dan antiviral. Isolasi dan purifikasi dari bintang laut ini menghasilkan steroidaal glikosid yang memiliki kemampuan sebagai antifungi. Hasil penelitian Maier et al., (2007), aktivitas antifungi diperoleh dari komponen dua sulfated hexaglycosides dan dua


(24)

sulfated polyhidroxylated steroidaal xilosides yang diisolasi dari bintang laut

Heliaster helianthus.

Menurut Wang et al., (2003) menemukan komponen aktif saponin

certonardosides yang diisolasi dari bintang laut Certonardoa semiregularis. Bintang laut ini diambil dari pantai di Pulau Komun Korea. Senyawa aktif dari bintang laut Certonardoa semiregularis memiliki aktivitas sebagai sitotoksik dan antimikrobial. Menurut Samuel (2011), senyawa imbricatine,

benzyltetrahydroisoquinolon, lysastrosides, dan certonardosides memiliki fungsi sebagai antiviral dan anti-HIV.

Kumaran et al., (2011) menyatakan senyawa yang terdapat pada bintang laut Protoreaster lincki dan Pentaceraster regulus memiliki aktivitas antibakteri dan antifungal. Hal ini ditandai adanya zona hambat yang dihasilkan oleh ekstrak bintang laut Protoreaster lincki dan Pentaceraster regulus terhadap bakteri

Staphylococcus aureus, Bacillus subtilis, Pseudomonas auroginosa, dan

Eschericia coli. Bintang laut Protoreaster lincki dan Pentaceraster regulus juga memiliki zona hambat terhadap khamir Candida albicans dan C. tropicalis.

2.3

Mikroorganisme Uji

Mikroorganisme uji adalah sel prokariot yang khas, bersifat uniseluler dan tidak mengandung struktur yang terbatasi membran di dalam sitoplasma. Umumnya bakteri memiliki diameter 0,5-2,5 µm (Pelczar dan Chan, 2008). Bakteri dapat dibedakan menjadi bakteri Gram positif dan Gram negatif, hal ini dapat dibedakan berdasarkan perbedaan komposisi dan dinding selnya. Bakteri Gram positif mempunyai struktur dinding sel tebal (15-80 nm) dan berlapis tunggal, dengan komposisi dinding sel terdiri dari lipid, peptidoglikan dan asam teikoat. Bakteri Gram positif rentan terhadap penicillin, namun lebih resisten terhadap gangguan fisik (Pelczar dan Chan, 2008).

Bakteri Gram positif cenderung lebih sensitif terhadap komponen antibakteri. Hal ini disebabkan oleh struktur dinding sel bakteri Gram positif berlapis tunggal yang relatif lebih sederhana sehingga memudahkan senyawa antibakteri untuk masuk ke dalam sel dan menemukan sasaran untuk bekerja. Sedangkan bakteri Gram negatif lebih resisten terhadap senyawa antibakteri


(25)

karena struktur dinding sel Gram negatif terdiri dari tiga lapis dan lebih kompleks, yaitu terdiri dari lapisan luar yang berupa lipoprotein, lapisan tengah yang berupa lipopolisakarida dan lapisan dalam berupa peptidoglikan (Pelczar dan Chan, 2008).

Pada bakteri Gram negatif, struktur dinding selnya berlapis tiga dengan ketebalan yang tipis (10-15 nm). Komposisi dinding sel terdiri dari lipid dan peptidoglikan yang berada di dalam lapisan kaku sebelah dalam dengan jumlah sekitar 10% dari berat kering. Kandungan lipid dari bakteri Gram negatif cukup tinggi yaitu 11-22 %. Bakteri Gram negatif ini umumnya rentan terhadap penisilin dan kurang rentan terhadap gangguan fisik (Pelczar dan Chan, 2008).

2.3.1 Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus tergolong bakteri Gram positif bersifat anaerob fakultatif. Bakteri ini berbentuk bulat tunggal, berpasangan atau bergerombol dengan diameter 0,5-1,5 μm, tidak berkapsul dan tidak berspora, dan non motil. Bakteri ini bersifat kemoorganotropik dengan tipe metabolisme fermentatif dan respiratif. Bakteri ini dapat tumbuh pada konsentrasi NaCl 10 % dan suhu optimum antara 35-37°C dan pH 6-7, akan tetapi pada suhu 6,7-45,5 °C serta pH 4,0-9,8 bakteri ini masih dapat tumbuh dan berkembang biak. Staphylococcus aureus umumnya sensitif terhadap antibiotik β-laktam, tetrasiklin, dan kloramfenikol, tetapi resistan terhadap polimiksin (Pelczar dan Chan, 2008).

Rahayu (1999) menyatakan bahwa S. aureus merupakan mikroflora normal pada permukaan tubuh, rambut, mulut, dan tenggorokan. Bakteri S. aureus yang mencemari makanan terjadi akibat kurangnya tingkat higienis dalam penanganan pangan. Bakteri Staphylococcus aureus merupakan penyebab infeksi (membentuk nanah) dan bersifat toksik bagi manusia. Hal ini menyebabkan berbagai masalah pada kulit seperti bisul, hordeolum, bahkan masalah serius seperti pneumonia, mastitis, meningitis, dan infeksi saluran kemih. S. aureus merupakan penyebab utama infeksi di rumah sakit (nosokomial) yang berasal dari infeksi luka bedah dan infeksi yang terkait dengan perangkat medis yang digunakan. S. aureus

penyebab keracunan makanan dengan melepaskan enterotoksin pada makanan dan menimbulkan efek yang disebut toxic shock syndrome (Todar, 2011).


(26)

Enterotoksin yang bersifat tahan panas ini dikeluarkan pada bahan pangan yang terkontaminasi S. aureus. Makanan yang mengandung toksin apabila masuk pencernaan manusia akan menimbulkan efek muntah-muntah, mual, dan diare setelah 1-6 jam Pertumbuhan bakteri ini dalam makanan dapat terjadi jika makanan disimpan pada suhu ruang dalam waktu yang lama (Madigan et al., 2009).

2.3.2 Bacillus subtillis

Bacillus subtilis merupakan bakteri Gram positif, uniseluler yang berbentuk batang dan hidup secara aerob. Bakteri ini membentuk tipe khusus saat dorman yang disebut endospora. Endospora terbentuk dari sel vegetatif sebagai respon terhadap lingkungan yang ekstrim. B. subtilis tumbuh pada makanan dengan pH lebih dari 4 dengan kondisi aerob. Hal yang sering terjadi yaitu terbentuknya lendir pada makanan (Todar, 2011).

2.3.3 Pseudomonas auroginosa

Pseudomonas auroginosa merupakan bakteri Gram-negatif, kemoorganotrof, katalase positif, motil, metabolisme dengan respirasi, tidak pernah fermentatif. Bakteri ini memiliki sel tunggal, batang lurus atau

melengkung namun tidak berbentuk heliks. Pada umumnya berukuran 0,5-1,0 μm x 1,5-4,0 μm. Beberapa merupakan kemolitotrof fakultatif, dapat

menggunakan H2 atau CO sebagai sumber energi. Oksigen molekular merupakan

penerima elektron universal, beberapa dapat melakukan denitrifikasi dengan menggunakan nitrat sebagai penerima pilihan. P. auroginosa merupakan aerobik sejati, kecuali spesies-spesies yang dapat menggunakan denitrifikasi sebagai cara respirasi aerobik (Pelczar dan Chan, 2008).

Pseudomonas auroginosa dapat berada dalam orang sehat, bersifat saprofit. Bakteri ini menyebabkan penyakit pada manusia dengan ketahanan tubuh yang tidak normal. P. auroginosa dari bentuk koloni berbeda mungkin juga mempunyai aktivitas biokimia dan enzimatik yang berbeda, dan memberi kepekaan yang berbeda terhadap zat antimikroba. P. auroginosa tumbuh baik pada 37–42oC. P. auroginosa menjadi patogenik hanya jika berada pada tempat dengan daya tahan


(27)

tidak normal, misalnya diselaput lendir dan kulit yang rusak akibat kerusakan jaringan (Brooks et al., 2005). Bakteri ini menyebabkan infeksi sekunder pada luka, luka bakar, juga merupakan penyebab diare pada bayi dan infeksi saluran kemih (Gupte, 1990).

2.3.4 Escherichia coli

Escherichia coli termasuk ke dalam famili Enterobacteriaceae. Bakteri ini merupakan bakteri Gram-negatif, motil, tidak berspora, berbentuk batang, dan anaerob fakultatif. E. coli tumbuh pada temperatur 30-42 °C dan dapat tumbuh pada temperatur antara 44 - 45 °C, namun tidak dapat tumbuh pada suhu dibawah 10 °C (Ray dan Bhunia, 2008).

E.coli merupakan penghuni normal saluran pencernaan (coliform fecal) manusia dan hewan, maka digunakan secara luas sebagai indikator pencemaran. Bakteri ini juga mengakibatkan banyak infeksi pada saluran pencernaan (enterik) manusia dan hewan (Pelczar dan Chan, 2010). Beberapa penyakit pada manusia akibat E. coli terjadi karena adanya kontaminasi dari air yang digunakan, selain itu juga infeksi E. coli dapat terjadi karena memakan makanan yang belum matang, kontaminasi pada daging, maupun pada susu yang belum dipasturisasi (Belk dan Maier, 2010).

Bakteri E. coli merupakan bakteri patogen yang dapat menyebabkan penyakit diare, infeksi saluran kemih, dan juga infeksi saluran pencernaan. Penyakit saluran pencernaan (usus) disebabkan oleh bakteri E.coli yang terdiri dari beragam tipe yaitu enterotoxigenic E. coli (ETEC), enteropathogenic E. coli

(EPEC), enteroinvasive E. coli (EIEC), enterohemorrhagic E. coli (EHEC), dan

enteroaggregative E. coli (EAEC) (Todar, 2011).

2.4 Antimikroba

Senyawa antimikroba merupakan senyawa alami maupun kimia sintetik yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Senyawa yang dapat membunuh organisme (bakteri) disebut bakterisidal. Bahan kimia yang


(28)

tidak membunuh namun dapat menghambat pertumbuhan organisme (bakteri) disebut bakteriostatik (Madigan et al., 2009).

Antimikroba dapat diklasifikasikan menjadi bakteriostatik, bakteriosidal, dan bakteriolisis. Bakteriostatik secara berkala sebagai penghambat sintesis protein dan berfungsi sebagai pengikat ribosom. Bakteriosidal mengikat kuat pada sel target dan tidak hilang melalui pengenceran yang tetap akan membunuh sel. Sel yang mati tidak hancur dan tetap memiliki jumlah sel yang konstan. Beberapa bakteriosidal merupakan bakteriolisis, yakni membunuh sel dengan terjadi lisis pada sel dan mengeluarkan komponen sitoplasmanya. Lisis dapat menurunkan jumlah sel dan juga kepadatan kultur. Senyawa bakteriolitik termasuk dalam senyawa antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel, seperti penicillin, dan senyawa kimia seperti detergen yang dapat menghancurkan membran sitoplasma (Madigan et al., 2009). Menurut Pelczar dan Chan (2008), secara umum cara kerja zat antimikroba yaitu:

1) Menyebabkan kerusakan dinding sel

Struktur di dinding sel dapat rusak dengan cara menghambat pembentukannya atau mengubahnya setelah selesai terbentuk.

2) Terjadinya perubahan permeabilitas sel

Membran sitoplasma mempertahankan bahan-bahan tertentu di dalam sel serta mengatur aliran keluar masuknya bahan-bahan lain. Membran memelihara integritas komponen komponen selular. Kerusakan pada membran ini akan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan sel atau matinya sel.

3) Mengakibatkan perubahan molekul protein dan asam nukleat

Hidupnya suatu sel bergantung pada terpeliharanya molekul-molekul protein dan asam nukleat dalam keadaan alamiahnya. Suatu kondisi atau substansi yang mengubah keadaan ini, yaitu mendenaturasikan protein dan asam-asam nukleat dapat merusak sel tanpa dapat diperbaiki kembali. Suhu tinggi dan konsentrasi pekat beberapa zat kimia mengakibatkan kaogulasi (denaturasi) ireversibel (tidak dapat balik) komponen-komponen selular yang vital ini. 4) Melakukan penghambatan terhadap kerja enzim

Setiap enzim dari beratus-ratus enzim berbeda-beda yang ada di dalam sel merupakan sasaran potensial bagi bekerjanya suatu penghambat. Banyak zat


(29)

kimia telah diketahui dapat mengganggu reaksi biokimiawi. Penghambatan ini dapat mengakibatkan terganggunya metabolisme atau matinya sel.

5) Melakukan penghambatan sintesis asam nukleat protein

DNA, RNA dan protein memegang peranan amat penting di dalam proses kehidupan normal sel. Hal itu berarti bahwa gangguan apapun yang terjadi pada pembentukan atau pada fungsi zat-zat tersebut dapat mengakibatkan kerusakan total pada sel.

Respon tiap mikroorganisme terhadap antimikroba berbeda-beda. Bakteri memiliki tingkat sensitivitas yang berbeda dimana umumnya bakteri Gram positif lebih rentan dibandingkan dengan bakteri Gram negatif yang secara alami lebih resisten. Target penting antibiotik terhadap bakteri yaitu ribosom, dinding sel, membran sitoplasma, enzim biosintesis lemak, serta replikasi, dan transkripsi DNA (Madigan et al., 2009). Suatu zat aktif dikatakan memiliki potensi yang tinggi sebagai antibakteri jika pada konsentrasi rendah mempunyai daya hambat yang besar. Kriteria kekuatan antibakteri menurut Nazri et al., (2011) adalah sebagai berikut.

1. Diameter zona hambat 15-20 mm : Daya hambat kuat 2. Diameter zona hambat 10-14 mm : Daya hambat sedang 3. Diameter zona hambat 0-9 mm : Daya hambat lemah

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Nimah (2012) dihasilkan bahwa diameter daya hambat ekstrak Holothuria scabra setelah diinkubasi selama 24 dan 48 jam terhadap bakteri Pseudomonas auroginosa dan

Bacilus subtilis mengalami penurunan pada setiap perlakuan setelah diinkubasi selama 24 jam dan 48 jam. Hal ini dikarenakan pada saat inkubasi 48 jam bakteri mengalami fase logaritmik dimana pertumbuhan bakteri dua kali lipat dibanding fase lag (Pelczar dan Chan, 2008). Resistensi oleh bakteri dengan cara menurunkan permeabilitas sehingga antibakteri sulit masuk dalam sel, membentuk jalan pintas untuk menghindari tahap yang dihambat oleh antibakteri, dan meningkatkan produksi enzim yang dihambat oleh antibakteri (Khunaifi, 2010). Ekstrak Holothuria scabra lebih efektif pada bakteri gram negatif daripada bakteri gram positif. Hal ini sesuai dengan penelitian Farouk et al., (2007), ekstrak antibakteri dari H. scabra lebih efektif menyerang bakteri Gram negatif daripada


(30)

bakteri Gram positif. Hal ini disebabkan bakteri Gram negatif memiliki struktur dinding sel yang lebih tipis daripada bakteri Gram positif. Menurut pendapat Pelczar dan Chan (2008), bakteri Gram negatif memiliki struktur dinding sel yang lebih tipis yang terdiri dari 10% peptidoglikan, lipopolisakarida dan kandungan lipid tinggi (11-22%), sedangkan bakteri Gram positif memiliki dinding sel yang lebih tebal yang terdiri dari 60-100% peptidoglikan dan lipid rendah (1-4%).

2.5 Isolasi Komponen Aktif Antibakteri

Komponen aktif antibakteri dapat diisolasi melalui proses ekstraksi. Berk (2009) menyatakan bahwa ekstraksi adalah suatu proses pemisahan komponen yang diinginkan dari suatu bahan. Isolasi komponen aktif dari suatu bahan dapat dibedakan menjadi dua kelas berdasarkan proses pemisahan komponen aktifnya, yaitu :

1. Ekstraksi padatan-cairan (Solid-liquid extraction) yaitu proses ekstraksi yang memisahkan komponen dari suatu bahan pada fase padat menggunakan bantuan pelarut. Contoh : ekstraksi garam dari bebatuan menggunakan air sebagai pelarut, ekstraksi larutan kopi dari gilingan biji kopi dalam produksi ekstrak biji kopi, ekstraksi minyak dari biji-bijian yang mengandung minyak, ekstraksi protein dari dari kedelai dalam produksi protein kedelai (isolated soybean protein), dan sebagainya.

2. Ekstraksi cairan-cairan (Liquid-liquid extraction) yaitu proses ekstraksi yang memisahkan komponen dari suatu campuran larutan tertentu menggunakan pelarut yang berbeda. Contoh : pemisahan penicillin dari larutan fermentasi pada butanol, ekstraksi terpenoida teroksigenasi dari minyak esensial jeruk menggunakan etanol sebagai pelarut, dan lain sebagainya.

Isolasi komponen antibakteri dari bintang laut A. forbesii pada penelitian ini dilakukan menggunakan metode ektraksi padatan-cairan (Solid-liquid extraction). Berk (2009) menyatakan bahwa ekstraksi padatan-cairan ini dapat dilakukan dengan cara bertingkat yakni menggunakan berbagai pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda, baik secara berkelanjutan (kontinu) maupun semi-kontinu. Ekstraksi bertingkat atau ekstraksi bertahap merupakan ekstraksi yang dilakukan beberapa kali dengan jenis pelarut berbeda. Ekstraksi ini


(31)

menggunakan pelarut yang lebih sedikit dan hasilnya akan lebih efektif dibandingkan ekstraksi satu kali dengan semua pelarut sekaligus (Nur & Adijuwana, 1987).

Menurut Andersen & Markham (2006), Proses ekstraksi bertingkat bertujuan untuk menentukan aktivitas antimikroba dan komponen bioaktif yang terdapat pada bintang laut berdasarkan kepolarannya. Ekstraksi bertingkat ini diharapkan dapat memisahkan komponen bioaktif dalam sampel yang sama berdasarkan tingkat kepolarannya. Proses ekstraksi bertingkat yang diawali dengan pelarut non polar (n-heksana) terlebih dahulu untuk menghilangkan lemak yang terdapat pada sampel, dilanjutkan dengan pelarut semipolar (etil asetat) untuk mendapatkan fenolat dan terakhir polar (metanol).

2.6

Komponen Bioaktif

Komponen bioaktif merupakan kelompok senyawa fungsional yang terkandung dalam bahan pangan dan dapat memberikan pengaruh biologis. Sebagian besar komponen bioaktif adalah kelompok alkohol aromatik seperti polifenol dan komponen asam (phenolic acid). Komponen bioaktif tidak terbatas pada hasil metabolisme sekunder saja, tetapi juga termasuk metabolit primer yang

memberikan aktivitas biologis fungsional, seperti protein dan peptida (Kannan et al., 2009). Pengujian kualitatif terhadap komponen bioaktif ini dapat

dilakukan dengan metode uji senyawa kimia.

Menurut Farouk et al., (2007) metabolit sekunder Holothuria scabra yang berpotensi sebagai senyawa antibakteri adalah golongan atau turunan dari senyawa terpenoida, diantaranya saponin, steroida, dan triterpenoida. Golongan senyawa tersebut memiliki polisakarida sehingga dapat menembus membran sel bakteri, sehingga sel tersebut rusak. Senyawa alkaloida yang dihasilkan ekstrak

Holothuria scabra dapat berpotensi sebagai antibakteri karena dapat merusak dinding sel. Lamothe (2009), mekanisme kerja alkaloida sebagai antibakteri diprediksi melalui penghambatan sintesis dinding sel yang akan menyebabkan lisis pada sel sehingga sel akan mati.


(32)

2.6.1 Alkaloida

Alkaloida adalah senyawa biologis heterosiklik aktif yang mengandung nitrogen (Kurnar dan Rawat, 2011) . Alkaloida pada umumnya mencakup senyawa yang bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloida sering kali beracun bagi manusia dan banyak yang mempunyai aktivitas fisiologis yang menonjol, jadi digunakan secara luas di bidang pengobatan (Harborne,1987). Menurut Kurnar dan Rawat (2011), alkaloida pada hewan laut dapat dikelompokkan menjadi pyridioacridine, indole, pyrole, pyridine, isoquinoline guanidine dan alkaloidaa streroidal. Sebagian besar dari alkaloida yang diisolasi dari hewan laut dapat berfungsi sebagai antiviral, antibakteri, anti-inflamatori, antimalaria, antioksidan dan antikanker. Biota laut yang memiliki kandungan alkaloida, yaitu spons, moluska, dan coelenterata.

2.6.2Steroida/Triterpenoida

Menurut Heras dan Hortelano (2009), terpenoida merupakan metabolit sekunder paling banyak dihasilkan oleh tumbuhan namun pada invertebrata dihasilkan dalam jumlah yang sedikit. Senyawa terpenoida ini dapat ditemukan

pada tumbuhan tinggi, lumut, alga, liken, insekta, mikroba dan biota laut. Tholl (2006) menyatakan, terpenoida merupakan turunan dari senyawa biosintetik

induk mevalonate. Nama lain dari terpenoida ada dua yaitu terpenoida sebenarnya dan terpen atau isoprenoid yang merupakan golongan dari steroida. Terpen biasanya digunakan untuk menandai senyawa turunan dari C5 dan secara kimiawi semua terpenoida dapat diperoleh dari turunan C5 isoprene (2-methyl-1,3-butadiene). Terpen berguna sekali untuk menggolongkan terpenoida sesuai dengan angka yang terdapat pada molekul C5. Penggolongan terpenoida dibagi menjadi 7 yaitu, hemi-, mono-, sesqui-, di-, sester-, tri dan tetraterpenoida (karotenoid). Diterpenoida merupakan turunan dari terpenoida. Berdasarkan struktur kimianya, diterpenoida digolongkan menjadi labdane, pimarane,

abietane, kauranes, marine dan lain-lain. Diterpenoida memiliki aktivitas sebagai antibakteri, antifungi, anti-inflamasi, antileishmanial, sitotoksik, dan antitumor. Diterpenoida yang terdapat pada biota laut yaitu tipe labdane dan tipe marine. Tipe labdane merupakan metabolit sekunder dari fungi, biota laut, insekta, dan


(33)

tumbuhan tinggi yang memiliki aktivitas sebagai antibakteri, cytotoxic, antiviral, anti-inflamasi, dan antiprotozoa. Selain tipe labdane, tipe marine diterpenoida merupakan salah satu diterpenoida alami dari biota laut yang pontensial untuk obat anti-inflamasi. Biota laut yang menghasilkan marine diterpenoida adalah spons Axinella sp.

Hasil penelitian Jia et al, (2006) menunjukkan bahwa hasil ekstrak karang lunak jenis Sinularia sp. yang mempunyai kandungan senyawa terpenoida diantaranya diterpen dan steroida yang juga mempunyai aktivitas sebagai antikanker, antiinflamatori, dan antialergi. Aktivitas antibakteri, antifungi, antitumor, dan neurotoksik ditunjukkan oleh hasil penelitian Sawant et al., (2006) bahwa hasil ekstrak karang lunak jenis Sarcophyton sp. banyak mengandung senyawa bioaktif steroida dan terpenoida. Menurut Heras dan Hortelano (2009), tipe labdane dari golongan tepenoid yang diisolasi dari spons merupakan metabolit sekunder dari biota laut yang memiliki aktivitas sebagai antibakteri, sitotoksik, antiviral, anti-inflamasi, dan antiprotozoa. Maier et al., (2007) dan Guo

et al., (2009) juga menjelaskan bahwa, streroidal glikosid atau sulfated steroidaal oliglikosid (asterosaponin) merupakan metabolit utama dari bintang laut yang memiliki potensi aktivitas biologis yang berguna sebagai sitotoksik, hemolisis, sitostatis, antikanker, antibakterial, antiviral dan antifungi.

Sterol adalah triterpena yang kerangka dasarnya sistem cincin siklopentana perhidrofenantrena. Tiga senyawa yang biasa disebut fitosterol mungkin terdapat pada setiap tumbuhan tingkat tinggi yaitu sitosterol, stigmasterol, dan kampesterol (Sirait, 2007). Menurut Santalova et al., (2004), sterol yang diisolasi dari spons

Rhizochalina incrustata memiliki aktivitas sebagai sitotoksik dan hemolisis. 2.6.3Flavonoida

Flavonoida adalah senyawa yang terdiri atas C6-C3-C6 (Sirait, 2007). Flavonoida terdapat dalam tumbuhan sebagai campuran, jarang sekali dijumpai hanya flavonoida tunggal dalam jaringan tumbuhan. Flavonoida umumnya terdapat pada tumbuhan sebagai glikosida. Flavonoida diklasifikasikan menjadi flavon, flavonol, flavanon, flavanonol, isoflavon, calkon, dihidrokalkon, auron, antosianidin, katekin, flavan-3,4-diol (Harborne, 1987). Flavonoida dapat berguna bagi kehidupan manusia. Flavon dalam dosis kecil bekerja sebagai stimulant pada


(34)

jantung, hesperidin mempengaruhi pembuluh darah kapiler. Flavon yang terhidroksilasi bekerja sebagai diurematik dan sebagai antioksidan pada lemak (Sirait, 2007). Flavonoida yang terkandung dalam biota laut memiliki banyak manfaat. Menurut Gavin dan Durako (2012), biota laut seperti lamun Halophila johnsonii yang telah diisolasi memiliki senyawa aktif sitosolik flavonoida yang dapat berfungsi sebagai antioksidan. Menurut Cushnie dan Lamb (2005) flavonoida merupakan golongan yang penting karena memiliki spektrum aktivitas antimikroba yang berasal dari produk alami untuk dijadikan obat. Flavonoida juga memiliki aktivitas sebagai antifungi dan antiviral.

2.6.4Saponin

Saponin adalah glikosida dan sterol yang telah terdeteksi pada lebih dari 90 suku tumbuhan. Saponin juga merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun. Saponin dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisis sel darah. Pencarian saponin dalam tumbuhan telah dirangsang oleh kebutuhan terhadap sumber sapogenin yang mudah diperoleh dan dapat diubah dalam laboratorium menjadi sterol hewan yang berkhasiat penting (Harborne, 1987). Saponin sebagian besar bereaksi netral (larut dalam air), beberapa ada yang bereaksi dengan asam (sukar larut dalam air), sebagian besar ada yang bereaksi dengan basa. Saponin dapat membentuk senyawa kompleks dengan kolesterol. Saponin dapat bersifat toksik terhadap ikan dan binatang berdarah dingin lainnya. Saponin yang beracun disebut sapotoksin. Saponin dapat menyebabkan stimulasi pada jaringan tertentu misalnya pada epitel hidung, bronkus, ginjal, dan sebagainya. Stimulasi pada ginjal diperkirakan menimbulkan efek diuretika (Sirait, 2007).

Menurut Chludil et al., (2000), bintang laut memiliki komponen bioaktif berupa saponin. Saponin yang diisolasi dari bintang laut Anasterias minuta

memiliki kemampuan sebagai sitotoksik, hemolisis, antifungi, dan antiviral. Isolasi dan purifikasi dari ekstrak bintang laut ini menghasilkan steroidaal glikosid yang memiliki kemampuan sebagai antifungi. Wang et al., (2003) menyatakan, isolasi bintang laut Certonardoa semiregularis memiliki senyawa aktif saponin certonardosides yang memiliki aktivitas sebagai sitotoksik dan antimikrobial.


(35)

2.6.5Fenol Hidrokarbon

Komponen fenolat merupakan struktur aromatik yang berkaitan dengan satu gugus atau lebih gugus hidroksil, beberapa mungkin digantikan oleh gugus metal atau glikosil. Kuinon adalah senyawa berwarna dan mempunyai kromofor dasar seperti kromofor pada benzokuinon. Kuinon terdiri atas dua gugus karbonil yang berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon. Kuinon dapat dibagi menjadi empat kelompok untuk tujuan identifikasi yaitu, benzokuinon, naftokuinon, antrakuinon, dan kuinon isoprenoid (Harborne, 1987).

2.7 Bioassay

Bioassay merupakan salah satu uji yang menggunakan organisme hidup untuk mengetahui efektifitas suatu bahan hidup ataupun bahan organik dan bahan anorganik terhadap suatu organisme hidup. Senyawa bioaktif hampir semua bersifat toksik pada dosis tinggi, oleh karena itu daya bunuh in vivo terhadap organisme hewan uji dapat digunakan untuk menapis ekstrak biota yang mempunyai bioaktifitas dan juga memonitor fraksi bioaktif selama fraksinasi dan pemurnian (Munifah et al., 2008)

Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) merupakan salah satu metode bioassay yang menggunakan larva udang A. salina Leach sebagai hewan uji. Metode tersebut merupakan metode yang banyak digunakan sebagai langkah awal pencarian senyawa anti kanker baru. Hasil uji toksisitas dengan metode tersebut telah terbukti memiliki korelasi dengan daya sitoksis senyawa anti kanker. Keuntungan dari metode tersebut diantaranya mudah dilakukan, cepat, mudah diperbanyak, dan dapat menunjukkan adanya korelasi terhadap suatu spesifik anti kanker (Nurhayati et al., 2006)

Artemia salina adalah udang-udangan tingkat rendah yang hidup sebagai zooplankton. Udang ini digunakan dalam metode BSLT. Secara taksonomi A. salina diklasifikasikan sebagai berikut :

Filum : Arthropoda Kelas : Crustacea Ordo : Anostracea


(36)

Famili : Artemiidae Genus : Artemia Species : Artemia salina

Dalam membiakkan udang A. salina ada beberapa variabel penting yang harus diperhatikan seperti pH, cahaya dan oksigen. pH optimum yang dibutuhkan untuk pembiakan udang A. salina adalah 8-9, sedangkan pH di bawah 5 atau lebih tinggi dari 10 dapat membunuh A.salina. Cahaya diperlukan dalam proses penetasan dan sangat menguntungkan bagi pertumbuhannya hanya cahaya minimal sehingga lampu standar grow-lite sudah cukup untuk keperluan hidup udang A.salina (Fox, 2004; Harefa, 1997).

Penggunaan udang A.salina dalam uji toksisitas pada metode BSLT mempunyai beberapa keuntungan, antara lain mudah didapat, murah dan mudah disimpan beberapa tahun ditempat yang kering dan tidak memerlukan kondisi aseptis yang khusus, serta udang ini memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap senyawa toksik bila dibandingkan dengan organisme lainnya (Fox, 2004; Harefa, 1997). Pertumbuhan udang A.salina yang cepat ini dapat dikorelasikan dengan pertumbuhan sel kanker yang cepat, sehingga metode ini dapat digunakan sebagai penapisan awal senyawa yang bersifat toksik.

LC50 adalah konsentrasi yang dapat menyebabkan kematian 50% hewan

percobaan, selama waktu tertentu. Pada metode BSLT, sampel uji dikatakan aktif jika LC50 kecil dari 1000 ppm. Sejauh ini metode penentuan LC50 ada 3 macam,

yaitu metode Kurva, metode Farmakope Indonesia dan metode Finney. Ketiga metode ini berdasarkan pengukuran persentase individu yang responsitif pada kisaran dosis atau konsentrasi tertentu (Meyer et al., 1982).


(37)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Oktober 2013 di Laboratorium Mikrobiologi Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan Laboratorium Penelitian Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara dan Laboratorium Kimia Organik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Riau.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada penelitian ini berupa bintang laut A. forbesii

segar yang telah dikeringkan menggunakan freeze dryer. Bahan yang digunakan pada tahap ekstraksi menggunakan tiga jenis pelarut yaitu n-heksana (pelarut non-polar), etil asetat (pelarut semi-non-polar), dan metanol (pelarut polar). Bahan-bahan yang digunakan untuk uji senyawa kimia meliputi pereaksi Meyer, pereaksi Dragendorff (uji alkaloida), kloroform, anhidra asetat, asam sulfat pekat (uji steroida), serbuk magnesium, amil alkohol (uji flavonoida). larutan HCl 2 N (uji saponin), etanol 70 %, dan larutan FeCl3 5% (uji fenol hidrokuinon). Bahan-bahan

yang digunakan untuk uji antibakteri meliputi Nutrient agar (NA), Nutrient Broth

(NB), Mueller Hinton Agar

Alat-alat yang digunakan antara lain freeze dryer , blender dan timbangan analitik. Alat-alat yang digunakan dalam uji fitokimia yaitu cawan porselen,

aluminium foil, gelas ukur, gelas piala, vortex, elenmeyer, kapas, shaker, botol ekstrak, tabung reaksi, pipet tetes, dan pipet volumetrik. Alat-alat yang digunakan (MHA), bakteri S. aureus,B. subtilis, E. coli , dan P. auroginosa, alumunium foil, kertas saring Whatman 42 dan telur A. salina, air laut, untuk uji Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) sedangkan untuk uji KLT preparatif menggunakan bahan silica (ukuran 300-400 mesh), metanol dan etil asetat.


(38)

dalam uji aktivitas antibakteri yaitu kertas cakram, cawan, tabung reaksi, botol vial, vortex, bunsen, oven, gelas kimia dan inkubator. Alat yang digunakan untuk uji BSLT adalah botol vial, aquarium. Untuk uji KLT preparative menggunakan alat pencetak plat kaca, plat kaca (ukuran 20x20 cm), chamber, dan lampu UV.

3.3 Koleksi dan persiapan sampel

Bahan baku bintang laut (A. forbesii) diambil dari perairan Pantai Pulau Poncan Gadang Sumatera Utara. Bintang laut kemudian dikeringkan dengan suhu rendah menggunakan freeze dryer dengan suhu -50 °C selama 48 jam, selanjutnya bintang laut yang telah kering kemudian dihaluskan dengan blender, sehingga diperoleh tekstur yang halus. Ukuran sampel yang lebih kecil (bubuk atau tepung) diharapkan dapat memperluas permukaan bahan yang dapat berkontak langsung dengan pelarut, sehingga proses ekstraksi komponen bioaktif dapat berjalan dengan maksimal. Bubuk atau tepung bintang laut digunakan dalam proses ekstraksi (Nurullita, 2012)

3.4 Ekstraksi Bintang Laut Kering

Tahap ekstraksi dilakukan dengan menggunakan ekstraksi bertingkat menggunakan tiga jenis pelarut yaitu pelarut n-heksana (pelarut non-polar), etil asetat (pelarut semi-polar), dan metanol (pelarut polar). Pelarut ini ditujukan untuk memisahkan senyawa-senyawa yang mempunyai kepolaran yang berbeda, yaitu memisahkan senyawa non-polar, semi-polar dan polar.

Sampel tepung bintang laut sebanyak 100 gram dimasukkan dalam Erlenmeyer, kemudian diberi pelarut n-heksana sebanyak 200 ml lalu Erlenmeyer ditutup dengan kapas dan permukaan Erlenmeyer ditutup dengan alumunium foil. Selanjutnya, sampel dimaserasi selama 24 jam menggunakan orbital shaker

150 rpm, sedangkan filtrat ekstrak n-heksana yang diperoleh dievaporasi hingga pelarut memisah dengan ekstrak menggunakan rotary vacuum evaporator pada suhu 45 °C.

Hasil proses maserasi ke-2 selanjutnya disaring dengan kertas Whatman 42. Residu yang dihasilkan dilarutkan kembali dengan etil asetat p.a. sebanyak 200 ml ml dan dimaserasi selama 24 jam menggunakan orbital shaker


(39)

150 rpm, sedangkan filtrat ekstrak etil asetat yang diperoleh dievaporasi hingga pelarut memisah dengan ekstrak menggunakan rotary vacuum evaporator pada suhu 45 °C.

Hasil proses maserasi ke-3 selanjutnya disaring dengan kertas Whatman 42. Residu yang dihasilkan dilarutkan kembali dengan metanol p.a. sebanyak 200 ml dan dimaserasi selama 24 jam menggunakan orbital shaker

150 rpm, sedangkan filtrat ekstrak metanol yang diperoleh dievaporasi hingga pelarut memisah dengan ekstrak menggunakan rotary vacuum evaporator pada suhu 45 °C. Proses ini akan menghasilkan ekstrak n-heksana, ekstrak etil asetat, dan ekstrak metanol. Proses ekstraksi bertingkat ini ditunjukkan pada Lampiran 2.

3.5 Uji Komponen Senyawa Kimia

Uji komponen senyawa kimia dilakukan menurut (Harborne, 1987) yakni untuk menentukan komponen bioaktif yang terdapat pada ekstrak kasar bintang laut masing-masing pelarut. Uji senyawa kimia yang dilakukan terdiri dari uji alkaloida, steroida/triterpenoida, flavonoida, saponin, dan fenol hidrokuinon.

Uji komponen senyawa kimia dilakukan terhadap ekstrak bintang laut A. forbesii Sebanyak 5 gram sampel ekstrak bintang laut ditambahkan masing-masing 5 ml air suling dan kloroform lalu dikocok kuat dan dibiarkan selama 8 menit sampai terbentuk dua lapisan. Lapisan air ekstrak bintang laut digunakan untuk uji senyawa flavonoida, fenolik, dan saponin. Lapisan kloroform ekstrak bintang laut digunakan untuk uji senyawa terpenoida, dan steroida, sedangkan untuk uji alkaloida memiliki prosedur tersendiri. Skema pengujian senyawa kimia pada ekstrak bintang laut A. forbesii dapat dilihat pada Lampiran 4.

3.5.1. Uji Flavonoida

Beberapa tetes lapisan air ekstrak bintang laut dimasukkan pada plat tetes lalu tambahkan 1-2 butir logam magnesium dan beberapa tetes asam klorida


(40)

pekat. Terbentuknya warna jingga, merah muda sampai merah menandakan adanya senyawa flavonoida.

3.5.2. Uji Fenolik

Beberapa tetes lapisan air ekstrak bintang laut dimasukkan pada plat tetes ditambah 1–2 tetes larutan besi (III) klorida 1%. Bila terbentuk warna biru/ungu, menandakan adanya senyawa fenolik.

3.5.3. Uji Saponin

Lapisan air ekstrak bintang laut dimasukkan kedalam tabung reaksi lalu dikoocok. Apabila terbentuk busa yang bertahan selama 5 menit, menandakan positif adanya saponin.

3.5.4. Uji Triterpenoida dan Steroida

Lapisan kloroform ekstrak bintang laut disaring melalui pipet yang diujungnya diberi kapas. Hasil saringan di pipet 2–3 tetes dan dibiarkan mengering pada plat tetes. Setelah kering ditambahkan pereaksi Liebermann-Burchard (2 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat). Terbentuknya warna merah jingga menandakan bahwa positif adanya triterpenoida dan warna hijau-biru positif adanya steroida.

3.5.5. Uji Alkaloida

Pengujian adanya senyawa alkaloida, digunakan metode Culvenor-Fizgerald. 2 mg ekstrak ditambahkan 10 ml larutan kloroform beramoniak 0,05 M, diaduk kemudian disaring dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Ke dalam tabung reaksi tersebut ditambahkan 1 ml asam sulfat 2 N, dikocok selama 2 menit dan dibiarkan hingga terbentuk dua lapisan dan terjadi pemisahan. Lapisan asam (bagian atas) diambil dan ditambahkan 1-2 tetes pereaksi Mayer atau pereaksi

Dragendorff, terbentuknya endapan putih dengan pereaksi Mayer atau warna merah dengan pereaksi Dragendorff menunjukkan hasil yang positif untuk alkaloida.

3.6 Uji Toksisitas Bintang Laut

Uji toksisitas bintang laut dilakukan dengan menggunakan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) menurut Albuntana (2011), Ekstrak bintang laut yang telah disiapkan diujikan terhadap organisme larva udang naupli A. salina


(41)

pada berbagai konsentrasi yang telah ditentukan, lalu diamati aktifitasnya selama 24 jam, selanjutnya jumlah larva yang mati dihitung dengan menggunakan rumus.

% kematian =( ) x 100%

Data persentase kematian larva udang diplotkan terhadap konsentrasi ekstrak bintang laut yang digunakan yang menghasilkan kurva regresi linier. Nilai LC50 ditentukan menggunakan persamaan kurva yang dihasilkan. Adapun prosedur pengujian toksisitas tersebut akan dilakukan secara bertahap diantaranya adalah melalui Pembiakan benur A. salina dilakukan dengan mengisi air laut ke dalam suatu wadah persegi dangkal yang telah dibagi menjadi dua sisi yang salah satu sisi akan ditutup, sedangkan sisi yang lain dibiarkan terbuka dan diberi cahaya. Benur-benur A. salina dimasukkan ke dalam wadah tersebut dan dibiarkan selama 48 jam agar menetas menjadi larva. Larva-larva A. salina yang telah menetas akan pindah ke sisi yang terbuka dan terkena cahaya, larva A. salina ini selanjutnya digunakan untuk uji toksisitas.

Pengujian dilakukan tehadap ekstrak total, fraksi dan senyawa murni dengan konsentrasi 1000, 100 dan 10 ppm. Sebanyak 20 mg masing-masing sampel uji dilarutkan dalam 2 ml metanol maka akan diperoleh larutan dengan konsentrasi 10000 ppm. Kemudian dari masing-masing larutan tersebut dipipet sebanyak 0,5 ml dan ditambahkan 5 ml metanol hingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 1000 ppm setelah penambahan air laut. Kemudian dari larutan tersebut dipipet sebanyak 0,5 ml dan ditambahkan 5 ml metanol hingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 100 ppm setelah penambahan air laut dan untuk konsentrasi 10 ppm dibuat dari konsentrasi sampel uji 100 ppm dengan cara yang sama. Masing-masing larutan dipipet sebanyak 0,5 ml dimasukkan ke dalam vial uji dengan pengulangan masing-masing 3 kali, gambar pengujian ini dapat dilihat pada Lampiran 9c.

Masing-masing vial uji dibiarkan pelarutnya menguap, lalu dilarutkan kembali senyawa uji tersebut kedalam 50 µl DMSO, selanjutnya ditambahkan air laut hampir mencapai batas kalibrasi. Larva udang dimasukkan pada masing-masing vial sebanyak 10 ekor lalu ditambahkan lagi air laut beberapa tetes hingga


(42)

batas kalibrasi, kematian larva udang diamati setelah 24 jam. Dari data yang dihasilkan dihitung nilai LC50 dengan metode kurva menggunakan tabel probit

(Meyer et al., 1982; Harefa, 1997).

Untuk kontrol, 50 µl DMSO dipipet dengan pipet mikro ke dalam vial uji, lalu ditambahkan air laut hampir mencapai batas kalibrasi kemudian dimasukkan larva A. salina sebanyak 10 ekor selanjutnya ditambahkan lagi air laut beberapa tetes hingga batas kalibrasi (Meyer dkk, 1982). Prosedur pengujian BSLT dapat dilihat pada Lampiran 3.

3.7 Uji Aktivitas Antimikroba

Pengujian aktivitas antibakteri dari bintang laut dilakukan dengan cara melakukan pengujian ekstrak dari berbagai pelarut yang digunakan yakni n-heksana, etil asetat dan metanol terhadap bakteri patogen (S. aureus, B. subtilis, P. auroginosa, dan E. coli) dengan menggunakan kertas cakram (oxoid) yang berdiameter 6 mm. Cakram dimasukkan kedalam cawan petri kosong steril. Larutan ekstrak yang telah diencerkan dengan konsentrasi 50 ppm, 100 ppm, 250 ppm dan 500 ppm masing-masing dipipet sebanyak 10 μl, selanjutnya diteteskan pada permukaan cakram dan biarkan selama 10 menit sehingga larutan ekstrak berdifusi kedalam cakram. Selanjutnya sebanyak 10 ml media MHA untuk menumbuhkan bakteri dituang kedalam cawan petri steril dan dibiarkan hingga memadat. Dengan menggunakan cotton bud steril pada suspensi biakan bakteri diusapkan perlahan-lahan secara merata pada permukaan media, selanjutnya dibiarkan mengering pada suhu kamar selama beberapa menit. Dengan menggunakan pinset steril, cakram yang telah ditetesi ekstrak dengan konsentrasi yang berbeda diletakkan secara teratur pada permukaan media uji. Setelah media benar-benar padat lalu bungkus biakan tersebut dengan mengunakan plastik wrap dan kertas, selanjutnya diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Alur proses pengujian aktifitas antimikroba terhadap ekstrak bintang laut dapat dilihat pada Lampiran 5.

Pengamatan dilakukan terhadap zona hambat yang terbentuk disekitar cakram kertas yang menunjukkan adanya aktivitas antimikroba lalu dilakukan pengukuran diameter tersebut dengan menggunakan jangka sorong. Pengujian


(43)

dilakukan terhadap semua mikroba uji. Perlakuan kontrol positif yaitu menggunakan antibiotika amoksan dan perlakuan kontrol negatif menggunakan pelarut yang merupakan pelarut dari masing-masing ekstrak sebanyak 10 μl. Aktivitas antimikroba dinyatakan positif apabila terbentuk zona bening di sekeliling cakram dan aktivitas antimikroba dinyatakan negatif apabila tidak terbentuk zona bening.

3.8 Pemisahan dan Identifikasi Golongan Senyawa Metabolit Sekunder dari Ekstrak Metanol Bintang Laut dengan Kromatografi Lapis Tipis Preparatif.

Untuk mengidentifikasi senyawa yang terdapat pada ekstrak

bintang laut dilakukan dengan menggunakan kromatografi lapis tipis

preparatif yang dapat dilakukan dengan beberapa tahapan yakni

pembuatan plat KLT terlebih dahulu selanjutnya diikuti proses

pemisahan dan identifikasi senyawa tersebut.

3.8.1 Pembuatan Plat Kromatografi Lapis Tipis Preparatif

Bubur silika dibuat dengan menambahkan 150 mL silika (300-400 mesh) ke dalam 75 ml air (akuades) dingin (2:1 v/v). Plat kaca yang kering dan bersih dengan ukuran 20 x 20 cm disiapkan pada alat pencetak/pembuat plat KLT, diatas kaca tersebut dipasang alat untuk meratakan silika sesuai dengan ketebalan yang diinginkan pada salah satu bagian plat kaca. Pada penelitian ini ketebalan silika pada plat dibuat setebal 1 mm yang mampu menampung ±50 mg sampel. Sambil diaduk bubur silika tersebut dituangkan kecetakan dan secara hati-hati cetakan yang berisi bubur silika ditarik/digeser dari sisi satu ke sisi yang lain sehingga bubur silika tersebut tersebar secara merata di atas plat kaca. Setelah bubur silika rata, kemudian plat tersebut dibiarkan pada suhu ruang selama ±12 jam. Setelah itu plat yang sudah jadi diaktivasi dengan cara memanaskan pada suhu 100 oC dalam oven selama ±30 menit dan plat siap untuk digunakan

3.8.1 Pemisahan Senyawa dengan Kromatografi Lapis Tipis Preparatif. Chamber dijenuhkan dengan pelarut pengembang dengan cara melapisi

chamber dengan kertas saring, kemudian pelarut pengembang (EtOAc:MeOH, 3:2 v/v) dimasukkan ke dalam chamber sampai seluruh kertas saring basah oleh


(44)

pelarut. Larutan ekstrak metanol dari bintang laut ditotolkan pada garis batas bawah plat KLT preparatif yang berukuran 20x20cm yang telah diberi batas sebelumnya sampai plat jenuh oleh larutan ekstrak (penotolan 3 cm dari batas bawah), plat dibiarkan kering selama +15 menit lalu dimasukkan ke dalam

chamber yang sudah jenuh dan dielusi sampai pelarut mencapai bagian atas plat. Noda yang terbentuk dilihat di bawah sinar UV dan pola pemisahan noda tersebut digambar dengan menggunakan pensil. Pola noda yang telah digambar kemudian dikerok dengan spatula dan masing-masing noda dipisahkan ke dalam vial untuk selanjutnya dicuci dan dipisahakan dengan silikanya. Senyawa-senyawa yang telah terpisah dengan silika tersebut pelarutnya diuapkan dan dilakukan uji antimikroba. Senyawa yang menunjukkan sifat aktif terhadap uji antimikroba dilakukan uji fitokimia untuk mengetahui golongan senyawa tersebut.

3.9 Analisis Data

Untuk melihat aktifitas senyawa yang aktif pada ekstrak bintang laut A. forbesii terhadap beberapa jenis bakteri patogen digunakan analisis secara deskriptif yakni dengan melihat data hasil pengujian yang diperoleh. Data disajikan dalam bentuk tabel atau gambar kemudian diinterpretasikan, sedangkan untuk melihat pengaruh pemberian ekstrak bintang laut A. forbesii terhadap larva

A. salina dilakukan perhitungan statistik dengan analisis Probit. Perhitungan ini dilakukan dengan membandingkan antara larva yang mati terhadap jumlah larva keseluruhan, sehingga diperoleh persen kematian. Kemudian dilihat dalam tabel nilai probit. Dari nilai tersebut diketahui nilai probit, masukkan dalam persamaan regresi, sehingga didapat nilai LC50.

Persamaan regresi : Y = a + bx LC50 = arc log x

Keterangan : x : Log konsentrasi a : Intercept (garis potong)


(45)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Bintang Laut A. forbesii

Jenis bintang laut Asterias forbesii ini memiliki karakteristik tubuh yang terdiri atas keping utama dengan lima buah lengan pipih dan berwarna agak putih dan cemerlang. Setelah dilakukan proses pengeringan bintang laut memiliki karakteristik yang berbeda yakni berwarna putih kecoklatan dan tidak berbau. Morfologi bintang laut A. forbesii dapat dilihat pada Gambar 4.1.1 berikut.

Gambar 4.1.1 (A) Bintang laut segar dan (B) bintang laut setelah dikeringkan

Setelah dilakukan proses pengeringan, terjadi penyusutan terhadap sampel bintang laut, yakni dari sampel bintang laut segar sebanyak 2600 gram diperoleh berat kering sampel sebesar 450 gram. Kadar air yang terkandung dalam bintang laut mengalami penyusutan akibat proses pengeringan. Kadar air yang terkandung dalam bintang laut yaitu sebesar 82,69 %. Nilai biomasa kering bintang laut yaitu sebesar 17,31%. Selanjutnya sampel serbuk bintang laut ini siap digunakan untuk proses ekstraksi (Lampiran 9d).

Proses ekstraksi dengan menggunakan tiga pelarut yang berbeda akan menghasilkan ekstrak kasar bintang laut yang kental dan berbeda tingkat kepolarannya. Masing-masing ekstrak juga memiliki karakteristik yang


(46)

beda pula. Ekstrak n- heksana dan ekstrak metanol memiliki karakteristik warna coklat tua berbentuk pasta kental namun untuk ekstrak etil asetat memiliki tekstur yang agak kering, tiga ekstrak memiliki aroma khas menyerupai produk petis. Ekstrak kasar bintang laut tersebut dapat dilihat pada Lampiran 9e.

4.2 Komponen Senyawa Kimia Ekstrak Bintang Laut A. forbesii

Komponen senyawa kimia ekstrak bintang laut ini dapat diperoleh melalui uji senyawa kimia. Dari hasil pengujian senyawa kimia yang telah dilakukan terhadap masing-masing pelarut yang digunakan dalam penelitian yakni pelarut n-heksana, etil asetat dan metanol dapat dilihat pada Tabel 4.2.1

Tabel 4.2.1 Hasil Uji Senyawa Kima Ekstrak Kasar Bintang Laut A. forbesii

Uji Fitokimia

Jenis Pelarut

Hasil (warna)

n-heksana

Etil

asetat Metanol Alkaloida:

a. Dragendorff - - + Endapan merah

b. Meyer - - - -

Triterpenoida/s

teroida + + + Jingga

Flavonoida - - + Kuning

Saponin + + + Terbentuk busa selama 5

menit Fenol

hidrokuinon - - - -

Hasil pengujian senyawa kima yang terihat pada Tabel 4.2.1, menunjukkan bahwa ekstrak kasar pada bintang laut A. forbesii menggunakan pelarut metanol mengandung komponen senyawa kimia yang lebih banyak dibandingkan ekstrak n-heksana dan ekstrak etil asetat. Komponen bioaktif yang terdapat pada ekstrak bintang laut dengan pelarut metanol antara lain alkaloida, terpenoida, flavonoida, dan saponin. Komponen bioaktif yang terdeteksi pada ekstrak bintang laut dengan menggunakan pelarut n-heksana dan etil asetat antara lain, terpenoida dan saponin. Berdasarkan hasil dari uji senyawa kimia ini menunjukkan bahwa ekstrak bintang laut mengandung 4 dari 5 komponen yang


(47)

diuji dengan metode fitokimia. Hasil pengujian snyawa kimia ekstrak kasar bintang laut dapat dilihat pada Lampiran 9a.

Metabolit sekunder berupa alkaloida hanya dijumpai pada ekstrak metanol setelah ditetesi dengan pereaksi Dragendorff yang ditandai dengan terbentuknya endapan merah. Sebagian alkaloida bersifat basa sehingga sangat mudah larut dalam air. Air merupakan pelarut polar, demikian halnya dengan metanol, sehingga alkaloida dapat larut dalam metanol (Hannifa et al., 2010). Pada tanaman alkaloida merupakan metabolit sekunder yang terbesar. Alkaloida merupakan suatu senyawa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen (Harborne, 1996).

Dari hasil uji fitokimia terlihat bahwa kandungan terpenoida terdapat pada ekstrak semua ekstrak yang ditandai dengan terbentuknya warna jingga. Van Thanh (2006), telah berhasil mengisolasi triterpen glikosida Holothuria scabra

yang terbukti mampu menjadi agen antijamur, antibakteri, dan sitotoksik. Menurut Gunawan (2007), beberapa hasil penelitian menunjukkan senyawa turunan terpenoida memiliki aktivitas sebagai antimikroba yaitu monoterpenoida linalool, diterpenoida (-) hardwicklic acid, phytol, triterpenoida saponin dan triterpenoida glikosida. Triterpen glikosida dapat dimurnikan menjadi holothurin yang bersifat toksik sehingga mampu digunakan sebagai antibakteri.

4.3 Uji Toksisitas Ekstrak Bintang Laut

A. forbesii

Uji toksisitas ekstrak bintang laut pada penelitian ini

menggunakan motode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). Pengujian

dilakukan terhadap masing- masing ekstrak dengan pelarut yang

berbeda serta menggunakan tiga konsentrasi yang berbeda yakni 10

ppm, 100 ppm dan 1000 ppm. Hasil pengujian terhadap larva A.

salina tersebut selanjutnya dilakukan analisis regresi sehingga

diperoleh nilai LC

50

seperti yang terlihat pada Tabel 4.3.2.

Tabel 4.3.2 Nilai LC50 Ekstrak Bintang Laut A. forbesii Terhadap Larva A. salina

Ekstrak (pelarut) Nilai LC50 (ppm)

n- heksana 1412,54


(48)

Metanol 63,10

Dari Tabel 4.3.2 terlihat bahwa nilai LC50 yang diperoleh dari uji toksisitas

menghasilkan hasil yang berbeda-beda pada masing-masing pelarut ekstrak bintang laut A. forbesii., dari nilai tersebut dapat menunjukkan sifat toksisitas ekstrak terhadap larva A. salina. Meyer et al., (1982) mengatakan bahwa pada metode BSLT, sampel uji dikatakan aktif jika LC50 kecil dari 1000 ppm. Sehingga

dengan demikian dapat dikatakan bahwa hanya ekstrak metanol yang bersifat toksik. Bila bahan yang diuji memberikan efek toksik terhadap larva A. salina, maka hal ini merupakan indikasi awal dari efek farmakologi yang terkandung dalam bahan tersebut. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa A. salina

memiliki korelasi positif terhadap ekstrak yang bersifat bioaktif (Meyer et al., 2003).

Hasil pengujian yang telah dilakukan terlihat bahwa semakin besar nilai konsentrasi ekstrak, mortalitas larva A. salina semakin besar. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 7. Mortalitas yang terjadi disebabkan adanya pengaruh sifat toksik dari ekstrak bintang laut A. forbesii. Nurhayati (2006) menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak sifat toksiknya semakin tinggi.

Prosentase mortalitas larva A. salina pada ekstrak bintang laut A. forbesii

dengan pelarut metanol yang memperlihatkan nilai LC50 yang bersifat toksik yaitu

63,096 ppm jika dibandingkan dengan ekstrak bintang laut yang menggunakan pelaut n- heksan dan pelarut etil asetat yang dinyatakan tidak toksik karena memiliki nilai LC50 lebih besar dari 1000. Hal ini disebabkan karena

senyawa-senyawa non polar yang terlarut dalam ekstrak bintang laut A. forbesii memiliki ukuran yang lebih kecil sehingga lebih mudah untuk masuk dalam membran sel melalui proses difusi, sehingga mengakibatkan sel lebih cepat mengalami kerusakan atau mati dalam proses difusi senyawa-senyawa non polar dari ekstrak bintang laut A. forbesii, sedangkan senyawa semi polar tidak mudah berdifusi memasuki dinding sel atau membran. Hal ini mengakibatkan senyawa semi polar lebih sulit untuk masuk ke dalam dinding sel, sehingga nilai ketoksikan senyawa semi polar lebih rendah daya rusaknya terhadap sel.

Proses difusi pada sel terjadi akibat kecenderungan dari substansi yang bergerak dari daerah dengan konsentrasi tinggi ke daerah dengan konsentrasi yang


(49)

rendah. Pelarut non polar hanya dapat melarutkan senyawa-senyawa non polar sehingga pelarut semi polar tidak dapat bercampur dengan pelarut non polar didalam phospolipid bilayer. Pelarut molekul semi polar tidak dapat memasuki membran sel lipid tanpa bantuan dari protein pembawa (carrier). Tidak semua molekul dapat memasuki membran fosfolipid termasuk gradient elektrokimia dan ukurannya. Molekul yang lebih kecil pada non polar dapat dengan mudah masuk ke dalam fosfolipid bilayer lewat proses difusi karena kesamaan polaritasnya, sedangkan pelarut molekul semi polar tidak dapat masuk ke dalam membran plasma hanya dengan proses difusi, melainkan dengan proses endocytosis, difusi yang difasilitasi, dan transport aktif (Prashant et al, 2009). Selain itu mekanisme kematian larva A. salina berhubungan dengan fungsi senyawa alkaloida, steroida, dan flavonoida dalam ekstrak bintang laut A. forbesii yang dapat menghambat daya makan larva (antifedant). Cara kerja senyawa-senyawa tersebut adalah dengan bertindak sebagai stomach poisoning atau racun perut, oleh karena itu, bila senyawa-senyawa ini masuk ke dalam tubuh larva, alat pencernaannya akan terganggu. Senyawa ini menghambat reseptor perasa pada daerah mulut larva. Hal ini mengakibatkan larva gagal mendapatkan stimulus rasa sehingga tidak mampu mengenali makanannya, dan akibatnya larva mati kelaparan (Rita et al., 2008).

4.4 Uji Ekstrak Kasar Bintang Laut

A. forbesii

Terhadap Beberapa

Jenis Bakteri Patogen

Hasil pengujian ekstrak kasar bintang laut A. forbesii terhadap beberapa jenis bakteri pathogen (S. aureus, B. subtilis, P. aeroginosa dan E. coli) menunjukkan bahwa ekstrak metanol memiliki aktifitas penghambatan yang lebih besar jika dibandingkan dengan pelarut etil asetat dan n-heksana. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.4.3. Hasil pengukuran daya hambat untuk kontrol negatif masing-masing pelarut (n-heksana, etil asetat dan metanol) terhadap bakteri uji menunjukkan bahwa pelarut tidak memiliki senyawa antibakteri sehingga tidak dapat menghambat pertumbuhan dari ketiga bakteri uji yang menyebabkan tidak terbentuknya zona bening. Menurut Rifai dan Trianto (2003), uji kontrol negatif dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh pelarut dalam pembentukan diameter zona hambat. Idealnya pelarut tidak boleh mempunyai pengaruh


(50)

terhadap bakteri uji. Apabila pelarut memiliki daya hambat terhadap bakteri uji maka akan dikurangi dengan diameter daya hambat ekstrak sampel.

Tabel 4.4.3 Diameter Zona Hambat Ekstrak Kasar Bintang Laut A.

forbesii Terhadap Beberapa Jenis Bakteri Patogen

Jenis Bakteri

Konsentrasi (ppm)

Diameter Zona Hambat (mm) Metanol Etil asetat n- heksan

kontrol - 0 0 0

S. aureus

50 7,0 7,0 7,0

100 9,5 7,5 7,0

250 8,0 8,5 7,0

500 7,5 7,0 8,0

B. subtilis

50 7,0 7,5 7,0

100 8,5 8,0 8,0

250 8,0 8,0 7,0

500 8,0 7,0 7,0

P. aeroginosa

50 8,0 8,0 7,0

100 10,0 7,0 7,0

250 9,0 7,0 7,0

500 8,0 7,0 7,0

E. coli

50 9,0 7,0 7,0

100 11,0 7,0 7,5

250 9,0 8,5 7,5

500 8,5 8,0 7,0

Dari Tabel 4.4.3 terlihat bahwa ekstrak metanol menghasilkan zona hambat terbesar terhadap bakteri S.aureus yaitu sebesar 9,5 mm pada konsentrasi 100 ppm, terhadap bakteri B. subtilis menghasilkan zona hambat sebesar 8,5 mm pada konsentrasi 100 ppm, terhadap bakteri P. aeroginosa menghasilkan zona hambat sebesar 10 mm pada tingkat konsentrasi 100 ppm sedangkan terhadap bakteri E.coli menghasilkan zona hambat sebesar 11 mm pada konsentrasi 100 ppm. Dari zona hambat yang dihasilkan oleh ekstrak metanol terhadap beberapa jenis bakteri patogen yang diujikan terlihat bahwa ekstrak metanol lebih mampu menghambat bakteri Gram negatif E. coli dan P. auroginosa dibandingkan bakteri Gram positif S.aureus dan B. subtilis. Besarnya diameter zona hambat masing-masing ekstrak dipengaruhi oleh adanya senyawa kimia yang terkandung di dalam


(1)

2. Hasil Uji Toksisitas Ekstrak Etil Asetat Dengan Metode BSLT

Tabel 7.2.1 Prosentase mortalitas larva A. salina pada uji toksisitas ekstrak kasar bintang laut A. forbesii menggunakan pelarut etil asetat

Konsen trasi (ppm)

Jumlah larva Artemia

tiap uji

Jumlah larva Artemia

yang mati Persen kematian

(%)

Nilai probit

Log konsent

rasi Ulangan

Rata-rata

1 2 3

10 10 1 2 1 1,33 13,3 3,874 1

100 10 3 4 1 2,67 26,7 4,387 2

1000 10 3 4 3 3,33 33,3 4,560 3

Perhitungan LC50 :

Persamaan regresi :

y = ax+b Maka y = 0,343x + 3,5877 a = 0,343

b = 3,5877

Untuk LC50 respon adalah 50% sehingga nilai probit (y) adalah 5,00

5 = 0,343x + 3,5877 0,343 x = 5 – 3,5877

0,343 x = 1,4123 x = 4,12 LC50 = anti Log x

= antilog (4,12) = 13182,57 ppm


(2)

3. Hasil Uji Toksisitas Ekstrak Metanol Dengan Metode BSLT

Tabel 7.3.1 Prosentase mortalitas larva A. salina pada uji toksisitas ekstrak kasar bintang laut A. forbesii menggunakan pelarut metanol

Konsentra si (ppm)

Jumlah larva Artemia

tiap uji

Jumlah larva Artemia

yang mati Persen kematian

(%)

Nilai probit

Log konse ntrasi Ulangan

Rata-rata

1 2 3

10 10 0 1 0 0,33 3,3 3,119 1

100 10 1 2 2 1,67 16,7 4,046 2

1000 10 10 10 10 10 100 9,768 3

Perhitungan LC50 :

Persamaan regresi :

y = ax+b Maka y = 3,3245x – 1,0047 a = 3,3245

b = - 1,0047

Untuk LC50 respon adalah 50% sehingga nilai probit (y) adalah 5,00

5 = 3,3245x - 1,0047 3,3245 x = 5 + 1,0047

3,3245 x = 6,0047 x = 1,8 LC50 = anti Log x

= antilog (1,8) = 63,096 ppm


(3)

Tabel Nilai Probit

% 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

0 …. 2,67 4 2,94 6 3,11 9 3,24 9 3,35 5 3,44 5 3,52 4 3,59 5 3,65 9 10 3,17

8 3,77 3 3,82 5 3,87 4 3,92 0 3,96 4 4,00 6 4,04 6 4,08 5 4,12 2 20 4,15

8 4,19 4 4,22 8 4,26 1 4,29 4 4,32 6 4,35 7 4,38 7 4,41 7 4,44 7 30 4,47

6 4,50 4 4,53 2 4,56 0 4,59 7 4,61 5 4,64 2 4,66 8 4,69 5 4,72 1 40 4,74

7 4,73 3 4,79 8 4,82 4 4,84 9 4,90 0 4,92 5 4,95 0 4,95 0 4,97 5 50 5,00

0 5,03 0 5,05 0 5,07 5 5,10 0 5,12 6 5,15 1 5,18 2 5,20 2 5,27 7 60 5,25

3 5,27 9 5,30 5 5,33 2 5,35 8 5,38 5 5,41 3 5,46 8 5,46 8 5,49 6 70 5,52

4 5,55 3 5,58 3 5,61 3 5,64 3 5,67 4 5,70 6 5,77 2 5,72 2 5,80 6 80 5,84

2 5,87 8 5,51 9 5,85 4 5,99 4 6,03 6 6,08 0 6,12 5 6,17 5 6,22 7 90 6,28

2 6,34 1 6,40 5 6,47 6 6,57 6 6,64 5 6,75 1 6,88 1 7,05 4 7,32 6 10 0 9,76 8

Lampiran 8. Diameter Zona Hambat Senyawa Ekstrak Metanol

Tabel 8.1 Data hasil pengujian senyawa ekstrak metanol bintang laut A. forbesii terhadap beberapa jenis bakteri patogen

Senyawa Diameter zona hambat ekstrak metanol (mm)

S. aureus B. subtilis P. auroginosa E.coli

1 7,2 6,7 7,3 7,6

2 7,3 7,0 7,4 7,4

3 0,0 7,1 7,5 7,4


(4)

Lampiran 9. Dokumentasi Penelitian

a. Uji fitokimia ekstrak bintang laut dari kiri-kekanan (metanol, etil asetat, n-heksan)

Uji awal lapisan (air dan klorofom) Uji Fenolik

Uji Flavonoid Uji Terpenoid/steroid

Uji Alkaloid Uji Saponin

b. Uji fitokimia senyawa terpennoid/steroid senyawa 1-3 dari kiri kekanan


(5)

c. Uji Toksisitas menggunakan metode BSLT

d. Sampel bubuk bintang laut A. forbesii

2 3


(6)

e. Ekstrak Kasar Bintang Laut A. forbesii

f. Pola Noda Senyawa pada Ekstrak Metanol Hasil KLT Preparatif

Keterangan : (Rf1) 0,20. (Rf2) 0,32. (Rf3) 0,38 dan (Rf4) 0,09.

Rf2

Rf1

Rf3