pangsa pasar potensial. Ketika ditanyakan pendapat mereka jika terjadi penertiban PKL, kebanyakan dari pedagang Pasar Induk Kemang menganggap jelas
hilangnya PKL akan signifikan berpengaruh terhadap omset dan keuntungan harian mereka, karena beberapa pedagang mengaku bahwa pelanggan utama
mereka adalah PKL di pasar tertentu.
5.2.4. Analisa Permasalahan Struktural Pasar Tradisional
Terdapat problematika Pasar Tradisional saat ini, terutama permasalahan tekanan persaingan dengan Toko Modern dan PKL. Toko Modern yang
berkembang seiring dengan gelombang masuk modal asing ke Indonesia dipandang banyak pihak akan menyebabkan tekanan persaingan yang luar biasa
terhadap Ritel dan Pasar Tradisional. Pengawasan Pemerintah terhadap praktik persaingan tidak sehat diatur
dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat. Secara umum, materi dari Undang-
Undang ini mengandung 6 enam bagian pengaturan yang terdiri dari : 1. perjanjian yang dilarang;
2. kegiatan yang dilarang; 3. posisi dominan;
4. Komisi Pengawas Persaingan Usaha; 5. penegakan hukum;
6. ketentuan lain-lain.
Undang-undang ini disusun berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta berasaskan kepada demokrasi ekonomi dengan memperhatikan
keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum dengantujuan untuk: menjaga kepentingan umum dan melindungi konsumen,
menumbuhkan iklim usaha yang kondusif melalui terciptanya persaingan usaha yang sehat, dan menjamin kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi setiap
orang; mencegah praktek-praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan pelaku usaha; serta menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam
kegiatan usaha dalam rangka meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Sayangnya Undang-undang ini memiliki kendala-kendala seperti market share yang nilainya berubah-ubah dan tidak bisa diandalkan, sehingga pihak-
pihak yang diduga melakukan kegiatan yang dilarang dengan mudah dapat menyerang balik dan mengklaim bahwa pihaknya tidak melakukan praktik
tersebut. Hal inilah yang terjadi pada sektor perdagangan, baik persaingan ritel modern dengan tradisional maupun ritel modern dengan ritel modern lainnya
seperti kasus monopoli Carrefour yang akhirnya mengambang begitu saja. Untuk praktik persaingan antara ritel tradisional dan modern, Pemerintah
merespon anggapan tekanan tersebut dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan
Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern. Pokok-Pokok Pengaturan Perpres No. 112 Tahun 2007 :
1. Lokasi : Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern harus sesuai
dengan Rencana Tata Ruang Wilayah KabupatenKota dan Rencana Detail Tata Ruang KabupatenKota, termasuk peraturan zonasinya.
2. Kemitraan : Pemasok Usaha Kecil dan Menengah dengan Toko Modern
dilakukan atas perjanjian tertulis dan berbahasa Indonesia, dan apabila di dalam kerjasama kemitraan diatur syarat-syarat perdagangan, maka harus jelas,
wajar, berkeadilan, saling menguntungkan dan biaya-biaya yang dikenakan kepada pemasok yang berhubungan langsung dengan produk pemasok yaitu 1
potongan harga reguler, 2 potongan harga tetap, 3 potongan harga khusus, 4 potongan harga promosi, 5 biaya promosi, 6 biaya distribusi dan 7
biaya administrasi. 3.
Pemberdayaan Usaha Kecil : 1 Tidak memungut biaya administrasi pendaftaran barang dari pemasok usaha kecil, 2 pembayaran dilakukan secara
tunai, atau dengan alasan teknis tertentu dapat dilakukan dalam jangka waktu 15 lima belas hari setelah seluruh dokumen penagihan diterima, dan 3
pembayaran tidak secara tunai dapat dilakukan sepanjang cara tersebut tidak merugikan pemasok usaha kecil, dengan memperhitungkan biaya resiko dan
bunga untuk pemasok usaha kecil. 4.
Pemberdayaan Pasar Tradisional dan Pedagang Pasar Tradisional: 1 Mengupayakan sumber-sumber alternatif pendanaan, 2 Meningkatkan
kompetensi pedagang dan pengelola Pasar Tradisional, 3 Memprioritaskan kesempatan memperoleh tempat usaha bagi pedagang Pasar Tradisional yang
telah ada sebelum dilakukan renovasi atau relokasi Pasar Tradisional, dan 4
Memberdayakan Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern dalam membina Pasar Tradisional.
5. Perizinan : Untuk melakukan usaha Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan
Toko Modern wajib memiliki Izin Usaha yang diterbitkan oleh BupatiWalikota dan Gubernur untuk Pemerintah Propinsi DKI Jakarta.
Perpres ini menunjukan keberpihakan Pemerintah RI terhadap Pasar Tradisional dan usaha kecil berupa pemasok tradisional kepada Pasar Modern.
Namun pada kenyataannya, efektifitas dari Perpres ini patut dipertanyakan. Argumentasi awal adalah tahun dikeluarkannya Perpres ini, yaitu akhir tahun
2007, yang dipandang banyak pengamat cukup terlambat dalam merespon ekspansi Pasar Modern di Indonesia. Ekspansi Pasar Modern dimulai sejak awal
2000 di DKI Jakarta, kemudian menjalar ke kota-kota sekitar Ibu Kota, seperti Bogor, Tangerang, Depok, dan lainnya. Sehingga ketika efektif berlaku pada
tahun 2008, sangat banyak Pasar Modern yang telah dibuka, tanpa mengikuti aturan dari Perpres tersebut.
Permasalahan lainnya adalah respon pemerintah daerah pasca Perpres 112 Tahun 2007. Implikasi regulasi ini sangat menuntut kesiapan dari Pemerintah
Daerah sehingga diperlukan regulasi lanjutan. Regulasi lanjutan adalah ketentuan zonasi berdasar RUTRW, penilaian kelayakan ekonomi pendirian toko modern,
pengaturan skim waralaba minimarket, penyusunan financial and business model dalam rangka penataanrenovasi pasar tradisional, kemitraan Pemda-Swasta dalam
pengembanganpengoperasian pasar tradisional, sistem pengawasan yang menjamin ditegakkannya akuntabilitas dan transparansi datapengelolaan, serta
ketegasan sanksi atas pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang- undangan
16
. Respon regulasi dari Pemerintah Daerah terhadap tekanan Pasar Modern
dan Pasar Tradisional dibuat atas pertimbangan pemerintah daerah masing- masing. Sejumlah bupati, wali kota, bahkan DPRD mendorong dibatasinya
pendirian RitelPasar Modern minimarket hingga hipermarket. Pemprov DKI Jakarta misalnya, yang menolak sekitar 800 pengajuan izin pembukaan usaha baru
minimarket. Selain sudah terlalu banyak, keberadaan minimarket temyata juga mengganggu kehidupan sebagian besar masyarakat lainnya, khususnya pedagang
kecil
17
. Penolakan izin pendirian minimarket hingga hipermarket atau minimal
pembatasan juga dilakukan Pemerintah Kota Solo Jawa Tengah, Pemerintah Kota Cimahi Jawa Barat, dan Kabupaten Kudus Jawa Tengah. Wali Kota Cimahi Itoc
Tochija menyatakan setuju dengan usul membatasi pemberian izin minimarket di Cimahi karena mengancam pasar dan warung tradisional. Bahkan di Pandeglang
dan Bekasi, dorongan untuk melarang pemberian izin pembukaan minimarket hingga hipermarket justru dilakukan DPR dan lembaga swadaya masyarakat
LSM. di Bekasi, LSM Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia GMBI Kota Bekasi mengatakan, menjamurnya pendirian minimarket, supermarket, dan
hipermarket hingga ke pelosok-pelosok daerah sudah mematikan usaha warung
16
INDEF. 2008. Kajian Dampak Ekonomi Keberadaan Hypermarket terhadap RitelPasar Tradisional. Jakarta: INDEF.
17
[ Anonim]. 2010.
Pemda Batasi Izin, Tekanan Mengancam. http:bataviase.co.idnode105339
1 Agustus 2010
milik warga dan pedagang di pasar tradisional. Toko serba ada yang menjual berbagai kebutuhan pokok masyarakat ini dinilai sudah berekspansi hingga ke
sudut-sudut kampung
18
. Keberadaan ritel modern ini sudah berdampak pada penurunan penjualan
banyak warung dan kedai-kedai yang menjadi penopang ekonomi keluarga. GMBI menilai, minimarket hingga hipermarket yang dimiliki pemodal kuat hanya
bertujuan untuk menumpuk kekayaan dengan menggerus pangsa pasar warung rumahan, kedai penggir jalan, serta pedagang kecil di pasar tradisional. Meski
demikian, upaya dan keberpihakan sejumlah pemda tersebut bukanlah tanpa perlawanan. Diduga pemilik minimarket hingga hipermarket yang merupakan
investor asing dan konglomerat nasionalis sudah melakukan lobi ke pemerintah pusat, khususnya Kementerian Perdagangan serta gubernur terkait Bahkan tidak
tanggung-tanggung, pemilik hipermarket yang saat ini menguasai pangsa pasar ritel modern menurut kabar juga dekat dengan para penguasa negara. Kondisi ini
membuat bupati dan wali kota yang melarang atau membatasi izin minimarket hingga hipermarket mendapat tekanan, baik secara langsung maupun tidak
langsung. atau mungkin juga pengaruh dari para kapitalis penguasa perdagangan tersebut sehingga melunak dan melonggarkan izin
19
. Hal ini berbeda dengan Pemerintah Kota Bogor, hingga saat ini belum
ada Perda Kota Bogor yang mengatur tentang zonasi dan pembatasan ekspansi ritel modern untuk Kota Bogor. Di komplek perumahan ekspansi minimarket
18
Ibid
19
Ibid
modern yang terletak berdekatan seringkali ditemukan di Kota Bogor. Pendirian Hipermarket yang berdekatan dengan Pasar Tradisional juga terus terjadi.
Pembangunan Giant Taman Yasmin pada tahun 2008 berada kurang dari 1 kilometer dengan Pasar Grosir Cimanggu, dan berada di tengah komplek
perumahan Kota Bogor sehingga langsung memotong pangsa pasar dari pedagang pasar tradisional dan ritel tradisional yang sudah berada di sekitar komplek
perumahan bertahun-tahun. Pihak Giant sendiri mengklaim bahwa Giant Taman Yasmin dibangun di atas lahan milik PT Inti Inovaco selaku pengelola komplek
perumahan Taman Yasmin dengan perjanjian yang sudah ada sejak 10 tahun lalu. Kelesuan yang terjadi di Pasar Grosir Cimanggu juga tidak disebabkan oleh
keberadaan Giant Taman Yasmin, diketahui memang Pasar Grosir Cimanggu sudah ditinggalkan konsumen jauh sebelum didirikannya Giant Taman Yasmin
sehingga dampak buruk keberadaan Giant Taman Yasmin terhadap Pasar Tradisional menjadi bias.
Di sisi lain, tekanan pedagang informal berupa PKL justru menjadi fokus permasalahan Pasar Tradisional di Kota Bogor. Perda Kota Bogor Nomor 13
Tahun 2005 tentang Penataan Pedagang Kaki Lima menjadi basis keputusan Pemerintah Kota Bogor untuk menertibkan PKL. Perda Kota Bogor tersebut
secara jelas menentukan komoditi dan lokasi yang legal untuk PKL dan perizinan usahanya. Lokasi yang tidak dapat ditetapkan sebagai tempat usaha PKL adalah di
dalam lingkungan instansi pemerintah, di dalam lingkungan Sekolah, di dalam lingkungan tempat peribadatan, di sekitar lokasi pasar, menempati parit dan
tanggul, menempati taman kota dan jalur hijau, di sekitar monumen dan taman pahlawan, di sekeliling Kebun Raya dan Istana Bogor, dan di seluruh badan jalan.
Sedangkan komoditi yang dilarang diperjualbelikan oleh PKL adalah 1 daging, ikan, dan telur, 2 palawija dan bumbu, 3 sayuran, tahu, dan tempe, 4
sembako, 5 pakan ternak, serta 6 unggas dan atau ternak kecil. Perizinan PKL dilakukan dengan permohonan kepada Walikota atau Pejabat yang ditunjuk, izin
berlaku 1 tahun dan dapat diperpanjang. Sayangnya, peraturan tersebut sulit dipenuhi, mengingat permasalahan
PKL terutama di sekitar Pasar Tradisional di pusat Kota Bogor berasal dari pedagang relokasi Pasar Induk Ramayana maupun pedagang dari Pasar
Tradisional yang dianggap sepi. PKL kerap ditemui di sekitar pasar dan menjual berbagai macam barang seperti pedagang di dalam Pasar Tradisional. Tentunya
hal ini melanggar Perda, namun perlu diingat jumlah ribuan PKL menggambarkan banyak sektor dan kalangan masyarakat terlibat di dalamnya.
Oleh karena itu pemerintah kemudian merespon dengan mengadakan zona untuk PKL. Tujuannya adalah melegalkan PKL untuk berjualan di tempat
yang sudah ditentukan dan komoditi yang terpilih dengan tetap diawasi oleh pemerintah Kota Bogor. Kepastian hukum kegiatan usaha para pedagang adalah
menentukan zona-zona atau tempat yang diperbolehkan untuk berdagang. Selebihnya adalah zona yang dilarang untuk PKL.
Hingga tahun 2009 telah ditetapkan 18 daftar lokasi atau Zoning Pembinaan dan Penataan PKL. 18 Zona adalah di Jalan Bangbarung, Batu Tulis.
Siliwangi, Papandayan, Otista, Gang Selot di Jalan Djuanda, Seputar Air Mancur Kelurahan Sempur, Jalan Pengadilan, Pajajaran baik Sekitar Villa Duta maupun
Damkar Sukasari, Jalan Cidangiang, Jalan Sukasari,. Pejagalan. Dadali. Ahmad
Yani dan KH. Abdullah bin Nuh di Curug. Dari ke-18 zona ini dilakukan evaluasi, zona mana saja yang bisa dipertahankan pada tahun 2010. Rencananya zona akan
kita kurangi atau dihapus yaitu Di Jalan Pajajaran di sekitar Puslitnak IPB-SDN Gunung Gede Kelurahan Babakan, Jalan Pajajaran di sekitar Villa Duta, Binarum
Kelurahan Baranangsiang. Jalan Pajajaran samping Damkar, Jalan Sukasari serta zona sekitar Air Mancur Sempur.
Keberadaan zona PKL seperti ini memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positifnya tentu banyak PKL yang notabene masyarakat kecil tertolong
karena dilegalkan usahanya, namun dampak negatifnya adalah zonasi seperti ini terhitung sebagai Gray Zone atau Zona Abu-abu. Lebih lanjut gray zone seperti
ini adalah legalisasi PKL tanpa dasar hukum yang kuat. Hal ini dapat menyebabkan meluasnya zona-zona PKL sejenis di daerah yang seharusnya tidak
dihuni PKL dengan klaim kepentingan rakyat kecil. Pihak ketiga masuk untuk „mengelola‟ zona tersebut demi kepentingan pribadi juga menyebabkan posisi
zona menjadi riskan terhadap praktek pemungutan ilegal. Hal ini terbukti dengan semakin meluasnya zona PKL yang berjualan di sekitar Pasar Baru Bogor dan
Pasar Kebon Kembang yang jelas merugikan pedagang Pasar Tradisional. Bukan tidak mungkin praktek perizinan ilegal yang membuat PKL yakin mereka dapat
berjualan semakin dekat dengan Pasar Tradisional. Saat ini secara struktural, Pemerintah sebenarnya sudah memperhatikan
dan berpihak kepada Pasar Tradisional. Tapi kelemahan dan kekosongan dari perundang-undangan dimanfaatkan dengan baik oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab, misalnya tidak adanya zonasi pembatas kedekatan pasar modern dan pasar tradisional, maupun perizinan usaha dengan memperhatikan
RUTRW dari kota tertentu. Di Kota Bogor, tidak adanya respon soal pemerhatian zonasi menyebabkan ekspansi Pasar Modern kian kuat, dan karena indikasi
penurunan kinerja pedagang Pasar Tradisional lebih terfokus kepada permasalahan internal, pemerintah Kota Bogor seakan tidak menganggap ekspansi
Pasar Modern sebagai ancaman terhadap keberadaan Pasar Tradisional. Pasar Tradisional dalam posisi yang sangat riskan terhadap berbagai
tekanan, mulai dari permasalahan internal, fluktuasi harga, persaingan tidak sehat, dan undang-undang. Lemahnya aspek pengelolaan, pembinaan, pengawasan, dan
pelaporan pasar tradisional belum mendorong pelaksanaan tatakelola yang baik di bidang perpasaran. Hal ini kemudian diperparah dengan tidak ketatnya eksekusi
sanksi kepada pihak-pihak yang jelas merugikan Pasar Tradisional. Saat ini pemerintah Kota Bogor mulai menggiatkan Pasar Tradisional.
Pemerintah Kota Bogor memiliki respon atas kelesuan Pasar Tradisional dengan penguatan dari dalam pasar itu sendiri dan mengharapkan pembenahan ini untuk
meningkatkan lebih lanjut daya saing dari Pasar Tradisional agar dapat bersaing dengan Pasar Modern.
5.3. Analisis Respon Pemerintah Kota Bogor terhadap Permasalahan Pasar Tradisional Kota Bogor
Pemerintah Kota Bogor mengetahui bahwa pasar tradisional berada dalam kondisi lesu, dan lebih lanjut memandang bahwa pentingnya peningkatan
kekuatan pasar tradisional. Peningkatan daya saing yang dimulai dengan otonomi secara finansial dengan berdiri sebagai perusahaan yang mengejar keuntungan
profit oriented menjadi keputusan Pemerintah Kota Bogor untuk menggiatkan kembali pasar tradisional. Berbagai langkah disiapkan dalam 2 tahun ke depan
untuk peningkatan kesejahteraan pedagang pasar tradisional dan upayanya menghadapi persaingan dengan pasar yang lebih profesional, yaitu Pasar Modern
seperti Supermarket dan Hipermarket yang juga menjamur di kota-kota besar. Respon Pemerintah Kota Bogor dalam rangka menggiatkan kembali
perekonomian pasar tradisional adalah dengan pembentukan perusahaan daerah. Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 4 Tahun 2009 Tentang
Pendirian Perusahaan Daerah Pasar Pakuan Jaya, mulai tanggal 1 Januari 2010, UPTD pengelola pasar dibawah Disperindagkop resmi menjadi satu badan berupa
perusahaan daerah yang mengelola 7 unit pasar. Berdasarkan wawancara mendalam dengan staf PD Pasar Pakuan Jaya,
perbedaan mendasar antara UPTD Pengelola Pasar dan PD Pasar Pakuan Jaya adalah motif. UPTD Pengelola Pasar dibawah Disperindagkop lebih bersifat
melayani dengan mandat penarikan retribusi untuk mengejar target PAD, sedangkan PD Pasar Pakuan Jaya adalah perusahaan yang mengejar keuntungan
dengan melakukan strategi-strategi khusus untuk meningkatkan efisiensi pedagang.
Tujuan yang ingin dicapai melalui pembentukan Perusahaan Daerah Pasar Pakuan Jaya adalah Perda Kota Bogor Nomor 4 Tahun 2009:
1. Meningkatkan pelayanan kebutuhan sarana dan prasarana pasar yang nyaman, bersih dan teratur
2. Mendorong perekonomian daerah 3. Menunjang pembangunan daerah
4. Meningkatkan profesionalitas dan efisiensi pengelolaan pasar 5. Meningkatkan pendapatan asli daerah
Sasaran dari pembentukan Perusahaan Daerah Pasar Pakuan Jaya: 1. Terjaminnya fleksibilitas pelaku usaha, salah satunya dengan adanya
pemisahan yang jelas antara badan regulator dengan badan yang melakukan operasional.
2. Konsistensi pengembangan usaha jangka panjang. 3. Konsistensi pelayanan jasa perdagangan.
4. Beroperasi sebagai perusahaan yang berorientasi profit dengan tidak mengesampingkan pada pelayanan masyarakat secara aman, nyaman,
produktif. 5. Menjadi perusahaan layanan publik yang mandiri secara finansial.
6. Pembinaan pelaku usaha di PD Pasar Pakuan Jaya. 7. Penciptaan kelancaran distribusi barang dan jasa.
Dari tujuan dan sasaran yang dipaparkan, terlihat bahwa utamanya PD Pasar Pakuan Jaya berusaha meningkatkan efisiensi perekonomian pasar dengan
peningkatan pelayanan dan fasilitas publik untuk pedagang-pedagang pasar tradisional. Diharapkan dengan perbaikan ini, konsumen kembali ke pasar
tradisional.
Fleksibilitas pelaku usaha yang dimaksud dalam sasaran nomor 1 tentang pemisahan badan regulator dan operasional adalah konsep baru dalam PD Pasar
Pakuan Jaya. Organigram PD Pasar Pakuan Jaya terdiri atas Badan Regulator yaitu Dewan Direksi dan Badan Pengawas. Badan Pengawas diutus untuk
mengawasi operasional pasar, sementara Dewan Direksi mengendalikan kegiatan pasar dengan menyusun Rencana Strategi Binis yang disahkan oleh Walikota atas
usul Badan Pengawas. Badan operasional PD Pasar Pakuan Jaya berkoordinasi langsung dengan
Dewan Direksi, yaitu Tim Menejemen, terdiri dari seorang pegawai Pemerintah Kota perbantuan dan 2 orang perwakilan Perusahaan Daerah Bogor lainnya
PDAM Tirta Pakuan dan PD Jasa Transportasi dan 7 Kepala Unit Pasar. 7 kepala unit pasar inilah yang memimpin 7 pasar utama Kota Bogor, dan
melakukan kegiatan operasional hasil rancangan regulator. keseluruhan pegawai PD Pasar Pakuan Jaya diharapkan adalah tenaga
ahli non PNS. Pada masa rasionalisasi 2010-2012, diadakan sosialisasi kepada seluruh pihak yang berkepentingan, terutama pegawai PNS mengenai posisi
pegawai PD Pasar Pakuan Jaya. Pada tahun 2012, ketika PD Pasar Pakuan Jaya berjalan 100, diharapkan PNS memutuskan untuk kembali ke dinas sebagai
PNS atau menjadi pegawai PD Pasar Pakuan Jaya dengen melepas status PNS pensiun atau mengundurkan diri.
Sebagai perusahaan daerah, PD Pasar Pakuan Jaya tidak begitu saja lepas dari pemerintah. PD Pasar Pakuan Jaya tetap memberikan kontribusi kepada Kota
Bogor sebagai salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah PAD. Pengunaan laba
bersih PD Pasar Pakuan Jaya setelah dipotong pajak pengasilan, pembagiannya adalah sebagai berikut:
a. Bagian laba untuk Pemerintah Daerah sebesar 55 b. Cadangan Umum sebesar 10
c. Cadangan Tujuan sebesar 15 d. Dana sosial, pendidikan dan tunjangan hari tua sebesar 10
e. Jasa Produksi sebesar 10 Pihak PD Pasar Pakuan Jaya juga bisa menarik pihak ketiga dalam
rangka menunjang kegiatan operasional pengelolaan pasar. Keseluruhan konsepsi ini, sesuai yang tertera dalam Perda Kota Bogor Nomor 4 tahun 2009 Pendirian
Perusahaan Daerah Pasar Pakuan Jaya diharapkan dapat meningkatkan daya saing pasar tradisional. PD Pasar Pakuan Jaya efektif berjalan pada 2012. Pada
2010-2011, menurut staf PD Pasar Pakuan Jaya, pengelola akan melakukan pembenahan menyeluruh masalah internal pasar-pasar tradisional di Kota Bogor.
Pembentukan perusahaan daerah sangat erat kaitannya dengan privatisasi, artinya dalam benak pedagang, swastanisasi pengelolaan berarti
peningkatan iuran. Beberapa pedagang yang sudah mengetahui pembentukan PD Pasar Pakuan Jaya mengharapkan jangan sampai pasar dikelola oleh swasta.
Dalam diskusi dengan pihak pasar, aspirasi tersebut memang sudah menjadi masukan bagi pihak PD Pasar Pakuan Jaya.
Otonomi finansial
dan motif
mengejar keuntungan
memang mengharuskan PD Pasar Pakuan Jaya mengatur rencana bisnis lebih lanjut
ketimbang pada masa UPTD Pengelola Pasar yang bersifat melayani. Diakui oleh pihak pasar, kemungkinan besar penarikan retribusi harian akan mengalami
perubahan. Komposisi retribusi harian mencakup iuran harian, iuran kebersihan dan iuran keamanan. Kemungkinan besar retribusi harian ini akan mengalami
peningkatan jika dibandingkan dengan retribusi saat ini. Pihak pengelola juga mengetahui hal ini akan membebani pedagang-pedagang pasar tradisional. Namun
kenaikan tarif ini akan diikuti dengan pelayanan yang lebih optimal terhadap pedagang pasar tradisional. Direncanakan pada tahun 2011 akan dilakukan
revitalisasi 7 pasar utama PD Pasar Pakuan Jaya sehingga pemberlakuan tarif baru diikuti dengan pembuktiaan peningkatan pelayanan pengelola terhadap pedagang.
Revitalisasi mencakup perbaikan infrastuktur sarana dan prasarana, drainase dan jalan masuk pasar. Infrastruktur sarana dan prasarana pasar memang
sudah usang. Revitalisasi ini dilakukan sambil jalan, artinya kegiatan perpasaran tetap berjalan dengan infrastruktur yang diperbaiki. Penanganan PKL di sekitar
pasar juga akan dilakukan. Sebisa mungkin pihak pasar akan merelokasi PKL ke 7 unit pasar. Revitalisasi ini bertujuan untuk memperbaiki citra pasar tradisional
Kota Bogor. Diharapkan setelah selesai revitalisasi ini, pasar tradisional bisa lepas dari citra lama yang membuat masyarakat enggan berbelanja di pasar.
Mengenai kebersihan, iuran kebersihan dimasukan ke dalam retribusi harian. Hal ini diakui oleh PD Pasar Pakuan Jaya untuk mengklaim sanksi bagi
pihak yang melanggar dengan alasan merugikan pedagang lain yang sama-sama membayar iuran.
Kedepannya PD Pasar Pakuan Jaya akan menyediakan kantong
plastik yang dibedakan untuk sampah organik maupun non organik. PD Pasar Pakuan Jaya juga ingin memperbaiki citra mengenai timbangan yang sering
dimainkan pedagang. Pendekatan rohani diyakini sebagai salah satu cara untuk memperbaiki hal tersebut, dengan mengadakan kultum berkala setelah solat
berjamaan di mushola-mushola pasar tradisional. Secara menyeluruh perencanaan yang akan dilakukan pada tahun 2011
diharapkan akan mengangkat citra dari pasar tradisional. Dampak baik bagi pedagang tradisional akan sangat terasa apabila seluruh lapisan terkait dapat
berkoordinasi dengan baik, terutama PKL yang akan dijadikan pedagang dalam pasar. PD Pasar Pakuan Jaya menjamin peningkatan tarif yang dikenakan kepada
pedagang akan sebanding dengan peningkatan pelayanan, kondisi infrastruktur dan penyelesaian masalah-masalah pasar untuk menjadi pasar yang lebih baik.
Pada akhirnya pasar tradisional yang dikelola sebagai Perusahaan Daerah diharapkan memiliki citra baru yang lebih baik dan dapat meningkatkan daya
saingnya dengan Pasar Modern. Respon Pemerintah Kota Bogor memiliki kecenderungan untuk
perbaikan dari sisi internal, artinya permasalahan yang dialami oleh Pasar Tradisional dianggap disebabkan oleh kekurangan yang terjadi di dalam Pasar
Tradisional itu sendiri. Tekanan eksternal terutama perkembangan Pusat Perbelanjaan Modern yang memiliki Toko Modern belum dianggap sebagai
permasalahan utama yang menyebabkan kelesuan. Keabsenan fokus terhadap pengaruh faktor eksternal terhadap permasalahan Pasar Tradisional sangat rentan.
Di satu sisi tekanan FDI di sektor ritel semakin gencar, mengingat semakin banyak merk ritel besar asing yang masuk ke Indonesia seperti LotteMart
tidak terbendung oleh gencarnya respon balik terhadap Perpres Nomor 112 Tahun 2007 yang menghimbau Pemerintah Daerah untuk menindaklanjuti pembinaan
terhadap Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern. Oleh karena itu diperlukan perbandingan respon yang dilakukan oleh Pemerintah di berbagai
negara di dunia terkait ekspansi Toko Modern yang disebabkan oleh FDI. Negara- negara Asia dianggap memiliki kesamaan kultur budaya dengan Indonesia, terkait
dengan kebiasaan berbelanja barang kebutuhan harian di Pasar Tradisional.
5.4. Pengendalian Persaingan Ritel Modern dan Ritel Tradisional di Luar Negeri