BAHAN DAN ALAT OPTIMASI PROSES PEMANGGANGAN BANANA BARS

15 III.METODE PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan produk adalah pisang nangka yang dibeli di Wisma Rosa daerah Babakan Tengah Bogor dengan tingkat kematangan ¾ matang yang dilihat dari sudut-sudut buah yang masih ada sedikit, tempe dengan fermentasi satu hari yang dibeli dari pengrajin tempe di daerah Perumahan IPB Sindang Barang II, tepung beras ketan Rose Brand, margarin Simas, gula halus cap Pohon Kenari, air, dan inulin komersial. Bahan-bahan yang digunakan dalam analisis kimia antara lain K 2 SO 4, HgO, H 2 SO 4 , H 3 BO 3 , NaOH-Na 2 S 2 O 3 , NaOh, HCl, NaCl, heksan, petroleum eter, zat anti buih, asbes, alkohol 95, indikator metilen red- metilen blue. Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan produk adalah loyang, pin disc mill Goudsche, oven pengering H-Orth Gmbh, oven baking Mermet, oven baking Mah-Yih MD, pisau, panci, ember, sendok, codet, pisau, cetakan, gilingan, plastik, kemasan, gelas ukur, pipet, timbangan, oven baking, plastik, dan kemasan metalized plastic. Alat-alat yang digunakan dalam analisis adalah Texture Analyzer XT2i, Chromameter Minolta CR 300 minolta Camera, Co. Japan 82281029, inkubator 30 o C dan 37 o C, oven, tanur, cawan porselin, cawan alumunium, desikator, neraca analitik, kapas, alat ekstraksi soxhlet, labu Kjeldahl, alat destilasi, alat titrasi, kertas saring, corong pemisah, erlenmeyer, tabung reaksi dan penyangga, cawan petri, pipet tetes, pipet mohr, bunsen dan spiritus, dan alat-alat gelas lainnya.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan dalam tiga tahap yaitu 1 pengolahan bahan baku 2 optimasi proses pengolahan banana bars dan 3 reformulasi banana bars. Diagram alir penelitian selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 2. REFORMULASI BANANA BARS  Empat formula  Analisis proksimat, fisik, dan mikrobiologi  Uji organoleptik  Formula terbaik  Uji kadar inulin PENGOLAHAN BAHAN BAKU  Pembuatan tepung pisang  analisis proksimat  Pembuatan tepung tempe analisis proksimat OPTIMASI PROSES PENGOLAHAN BANANA BARS  9 formula awal uji organoleptik  Modifikasi formula awal  Optimasi suhu dan waktu pemanggangan terbaik  Uji organoleptik  Analisis proksimat Gambar 2. Diagram alir penelitian 16 Formula banana bars yang digunakan pada tahap pengembangan formulasi awal didasarkan pada penelitian Ferawati 2009 tentang banana bars. Formula ini diuji secara organoleptik untuk menentukan satu formula terbaik yang digunakan pada tahap optimasi proses pemanggangan. Agar dapat memenuhi persyaratan pangan darurat, maka formula terbaik ini akan dimodifikasi komposisinya dan dilakukan penghitungan kandungan energi dan makronutriennya menggunakan bantuan program Microsoft Excel seperti yang dilakukan oleh Sitanggang 2008 dan Ferawati 2009. Formula hasil modifikasi ini dipanggang pada suhu dan waktu pemanggangan yang akan dibahas pada sub bab berikutnya. Formula dengan perlakuan suhu dan waktu pemanggangan tersebut diuji secara organoleptik dan satu formula terbaik akan dilakukan analisis proksimat untuk mengetahui kandungan energinya. Formula terbaik hasil analisis proksimat tersebut ternyata belum memenuhi persyaratan pangan darurat sumbangan protein 10-15 sehingga perlu dilakukan reformulasi agar dapat memenuhi persyaratan pangan darurat. Pada tahap reformulasi banana bars dibuat empat formula, dua diantaranya tidak ditambahkan inulin. Produk dari empat formula dianalisis proksimat untuk mengetahui apakah banana bars telah memenuhi keseimbangan komponen makro sesuai dengan persyaratan pangan darurat, kemudian diuji secara organoleptik, fisik, dan mikrobiologi. Formula terbaik yang dapat dikembangkan, dipilih berdasarkan hasil uji proksimat, organoleptik, fisik, dan mikrobiologi yang dapat diterima konsumen.

1. PENGOLAHAN BAHAN BAKU

1.1. PEMBUATAN TEPUNG PISANG

Pisang yang dipilih untuk dibuat tepung adalah pisang nangka yang cukup tua namun belum matang. Hal ini dapat dilihat dari tingkat ketuaan pisang dalam satu tandan yaitu adanya 1 atau dua buah pisang yang telah masak. Pisang yang telah masak ditandai dengan daging buah yang lunak dan warna kulitnya yang berwarna hijau muda Gambar 3. Gambar 3. Pisang nangka yang dibuat tepung Pembuatan tepung pisang didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Hermawan 1982 dengan modifikasi tidak dilakukannya perendaman pisang dalam larutan natrium bisulfit. Diagram alir pembuatan tepung pisang dapat dilihat pada Gambar 4. Pisang nangka dicuci terlebih dahulu untuk menghilangkan kotoran dan getah yang menempel pada kulit, kemudian pisang diblansir dengan uap panas bersuhu 100 o C selama 5- 10 menit dengan tujuan untuk menginaktivasi enzim polifenolase pada pisang yang dapat menyebabkan pencoklatan. Pisang kemudian diiris tipis untuk mempermudah proses pengeringan. Kemudian pisang dikeringkan dengan oven pengering bersuhu 60 o C selama 5-6 jam. Pisang yang telah kering kemudian digiling dengan menggunakan pin disc mill agar 17 diperoleh bentuk tepung. Proses pengayakan tepung telah dilakukan di dalam alat pin disc mill. Pada alat ini terdapat ayakan berukuran 60 mesh sehingga pisang yang digiling langsung mengalami proses pengayakan. Tepung pisang yang dihasilkan kemudian dianalisis proksimat agar diketahui kandungan makronutriennya sehingga dapat digunakan untuk perkiraan penghitungan nilai energi banana bars. Pisang nangka ↓ Cuci ↓ Blansir kering menggunakan uap panas suhu 80-90 o C selama 5-10 menit ↓ Pengupasan ↓ Pengirisan ↓ Pengeringan dengan oven pengering 5-6 jam, 60 o C ↓ Penggilingan dan pengayakan dengan pin disc mill ↓ Tepung pisang Gambar 4. Diagram alir pembuatan tepung pisang Hermawan, 1982

1.2. PEMBUATAN TEPUNG TEMPE

Tempe yang digunakan pada penelitian ini adalah tempe yang telah mengalami fermentasi penuh pada hari pertama Gambar 5. Pembuatan tepung tempe dilakukan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Inayati 1991. Proses pembuatan tepung tempe secara umum dapat dilihat pada Gambar 6. Tempe yang telah dipotong-potong kemudian diblansir dengan uap panas bersuhu 100 o C selama 5-10 menit. Tujuan blansir pada proses ini adalah untuk menginaktifkan kapang yang memfermentasi tempe sehingga dapat mengurangi rasa pahit pada tepung tempe yang dihasilkan. Selain itu, blansir dapat mempercepat proses pengeringan tempe. Gambar 5. Tempe yang mengalami fermentasi satu hari Pengeringan tempe dilakukan dengan oven pengering yang menghasilkan udara panas yang digerakkan oleh blower sehingga mengefektifkan pindah panas yang terjadi dari udara panas kepada bahan yang dikeringkan. Tempe yang telah kering kemudian digiling menggunakan pin disc mill yang di dalamnya telah terdapat ayakan berukuran 60 mesh. 18 Tepung tempe yang telah jadi kemudian dilakukan analisis proksimat agar diketahui kandungan makronutriennya dan dapat digunakan untuk perkiraan penghitungan produk banana bars. Tempe segar ↓ Pemotongan 4 x 2 cm ↓ Blansir kering menggunakan uap panas selama 5-10 menit ↓ Pengeringan dengan oven pengering 4 jam, 60 o C ↓ Penggilingan dengan pin disc mill ↓ Tepung tempe Gambar 6. Diagram alir pembuatan tepung tempe Inayati, 1991

2. OPTIMASI PROSES PEMANGGANGAN BANANA BARS

Formula banana bars Lampiran 1 yang dibuat pada tahap ini modifikasi dari metode Ferawati 2009 berfungsi sebagai formulasi dasar untuk menentukan formula mana yang akan dikembangkan untuk tahap pencarian suhu dan lama waktu pemanggangan. Penentuan formula terbaik ini didasarkan pada uji organoleptik rating hedonik terhadap atribut rasa. Sembilan formula ini belum ditambahkan inulin ke dalamnya. Proses pembuatan banana bars secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 7. Pembuatan krim dilakukan secara terpisah dari bahan tepung-tepungan. Mentega dan gula halus dicampurkan bersama hingga terbentuk krim, kemudian bahan tepung-tepungan yang telah dicampur sebelumnya dimasukkan ke dalam krim untuk membentuk adonan banana bars. Adonan kemudian dicetak dengan menggunakan cetakan berdimensi 10 cm x 3.3 cm x 0.5 cm. Banana bars yang telah dicetak kemudian dipanggang dengan oven baking Mah-Yih MD yang menggunakan sistem gas-listrik electric gas yang bersifat natural convection. Tepung pisang, tepung ketan, tepung tempe, garam Margarin, gula halus ↓ Penambahan air ↓ Pencampuran ↓ Pencetakan ↓ Pemanggangan dalam oven suhu 100 o C selama 40 menit kemudian 120 o C selama 20 menit ↓ Banana bars Gambar 7. Diagram alir pembuatan banana bars formula awal Ferawati, 2009 19 Formula terpilih didasarkan pada uji organoleptik kemudian dimodifikasi menjadi dua formula Tabel 6 dengan komposisi yang memenuhi persyaratan pangan darurat. Penghitungan perkiraan kandungan energi yang memenuhi persyaratan pangan darurat dilakukan berdasarkan hasil analisis proksimat, informasi nilai gizi pada label kemasan, dan Daftar Komposisi Bahan Makanan DKBM. Kalori dihitung berdasarkan jumlah makronutrien protein, lemak, dan karbohidrat yang terdapat di dalam bahan pangan dikalikan dengan nilai kalori masing-masing makronutrien. Untuk protein memiliki kalori sebesar 4 kkalgram, lemak 9 kkalgram dan karbohidrat sebesar 4 kkalgram Prawiranegara, 1991. Kandungan energi pangan darurat adalah 2100 kkal per hari atau setara dengan 700 kkal per takaran saji dengan sumbangan makronutrien lemak sebesar 35-45, karbohidrat sebesar 40-50, dan sumbangan protein sebesar 10-15 dari total 700 kkal. Metode penghitungan ini dapat dilihat pada Lampiran 2a, 2b, 2c, dan 2d yang digunakan juga pada tahap reformulasi. Kandungan kalori energi dari seluruh bahan penyusun yang digunakan dalam formulasi EFP dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Perkiraan kandungan gizi dan energi dari bahan penyusun EFP Komposisi Kalori100 gr kkal Makronutrien Air Protein g Lemak g Karbohidrat g Tepung pisang c 377.25 4.51 0.85 87.89 4.41 Tepung tempe c 523.46 50.08 29.86 13.60 4.46 Tepung ketan a 362 6.7 0.7 79.4 12 Margarin b 733 0.6 81.00 0.4 15.5 Gula halus a 376 94.0 5.4 Sumber: a DKBM Prawiranegara, 1991; b Jumlah sesuai pada label di kemasan; c Hasil analisis proksimat Dua formula pada Tabel 6 juga digunakan pada optimasi proses pemanganggangan. Kombinasi suhu dan waktu pemanggangan yang diamatai ditunjukkan pada Tabel 7 dan 8. Banana bars yang diterima adalah banana bars dengan tekstur yang renyah dan kering, rasa yang dapat diterima, dan warna coklat keemasan. Tabel 6. Formula Banana bars Bahan Formula I gram Formula II gram Tepung pisang 15 10 Tepung tempe 10 10 Tepung ketan 15 15 Margarin 15 15 Gula halus 20 20 Inulin 2 2 Air ml 15 8 Total 92 80 Tabel 7. Suhu dan waktu pemanggangan dengan oven baking Getra Perlakuan Suhu atas Suhu bawah Waktu pemanggangan 1 160 o C 140 o C 25 menit 2 140 o C 160 o C 25 menit 20 Tabel 8. Suhu dan waktu pemanggangan dengan oven baking Mermet Perlakuan Suhu dan waktu pemanggangan Awal Akhir 1 100 o C selama 20 menit 120 o C selama 40 menit 2 100 o C selama 20 menit 140 o C selama 40 menit Inulin pada kedua formula ini dicampurkan ke dalam bahan tepung-tepungan. Inulin berfungsi untuk memperkaya kandungan serat dan berperan sebagai prebiotik. Menurut Tungland 2002, penyerapan mineral oleh tubuh dapat ditingkatkan dengan mengonsumsi inulin sebanyak 15 gram per hari. Oleh karena itu, untuk satu takaran saji diperlukan sekitar 5 gram inulin. Kedua formula tersebut telah ditambahkan inulin ke dalamnya dengan jumlah tetap yaitu 2 gram per adonan ± 80 gram atau sekitar 2.5 dari total adonan. Tahapan proses pembuatan banana bars ditunjukkan pada Gambar 8. Formulasi banana bars yang dibuat pada tahap ini kemudian akan diuji secara organoleptik terhadap atribut overall dan satu formula terbaik dilakukan analisis proksimat. Tepung pisang, tepung ketan, tepung tempe, inulin Margarin, gula halus ↓ Penambahan air ↓ Pencampuran ↓ Pencetakan ↓ Pemanggangan dalam oven baking dengan suhu awal 100 o C selama 20 menit dan suhu akhir 130 o C selama 40 menit ↓ Banana bars Gambar 8. Diagram alir pembuatan banana bars dengan inulin Ferawati, 2009

3. Reformulasi banana bars

Reformulasi banana bars dilakukan karena formula terbaik pada tahap optimasi proses pemanggangan belum memenuhi persyaratan pangan darurat yaitu lemak 35-45, protein 10- 15, dan karbohidrat 40-50 terhadap 700 kkal. Sumbangan protein yang dimiliki formula terbaik tersebut belum masuk dalam kisaran persyaratan pangan darurat bagi protein 10- 15. Formula terbaik tersebut kemudian dimodifikasi dan dihasilkan empat formula dengan dua diantaranya tidak menggunakan inulin. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh inulin terhadap karakteristik tekstur yang dihasilkan pada banana bars. Empat reformulasi tersebut ditunjukkan pada Tabel 9. 21 Tabel 9. Reformulasi Formula II Bahan g Formula A Formula B Formula C Formula D Tepung pisang 10 10 10 10 Tepung tempe 15 20 15 20 Tepung ketan 10 5 10 5 Margarin 15 15 15 15 Gula halus 20 20 20 20 Inulin 2 2 Air ml 8 8 8 8 Total 78 78 80 80 Keempat formula tersebut kemudian dilakukan analisis proksimat, analisis fisik, analisis mikrobiologi, uji organoleptik, dan uji kadar inulin. Analisis proksimat meliputi analisis kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat, dan kadar serat kasar. Uji organoleptik dilakukan terhadap atribut warna, aroma, rasa, tekstur, dan overall menggunakan uji rating hedonik. Analisis fisik yang dilakukan meliputi analisis a w , analisis tekstur, dan analisis warna. Uji mikrobiologi meliputi analisis total mikroba dan total kapang khamir. Pemilihan formula terbaik didasarkan pada formula terbaik hasil uji organoleptik atribut overall yang mengandung inulin dan memenuhi persyaratan pangan darurat. Formula terbaik yang mengandung inulin kemudian diuji kadar inulin.

C. METODE ANALISIS

1. Kadar Air AOAC, 1995

Sampel sebanyak 1-2 gram ditimbang pada sebuah wadah kering yang telah diketahui bobotnya. Sampel dikeringkan dalam oven dengan suhu 105 o C selama 3 jam. Sampel didinginkan dalam desikator dan ditimbang, pekerjaan tersebut diulangi hingga tercapai bobot yang konstan. Kadar air = Keterangan: A= bobot wadah + sampel sebelum dikeringkan g B= bobot wadah + sampel setelah dikeringkan g C = bobot sampel awal g

2. Kadar Abu AOAC, 1995

Sampel seberat 2-3 gram ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan porselen yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Sampel dalam cawan diarangkan pada pemanas dan diabukan dalam tanur listrik pada suhu maksimum 550 o C sampai pengabuan sempurna. Sampel didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang hingga bobot konstan. Kadar abu = Keterangan: A = bobot cawan + sampel kering g B = bobot cawan kosong kering g C = bobot sampel awal g 22

3. Kadar Protein AOAC, 1995

Sampel seberat 100-250 mg ditimbang dan dipindahkan ke dalam labu Kjehdahl 30 ml, kemudian ditambahkan 1.9 gram K 2 SO 4 , 40 mg HgO, dan 3.8 ml H 2 SO 4 . Sampel dididihkan selama 1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Sampel didinginkan dan ditambahkan sejumlah kecil air secara perlahan-lahan, kemudian didinginkan kembali. Isi labu dipindahkan ke dalam alat destilasi dan labu dibilas 5-6 kali dengan 1-2 ml air akuades. Air pembilas dipindahkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan 8-10 ml larutan 60 NaOH-5 Na 2 S 2 O 3 . Erlenmeyer 250 ml yang berisi 5 ml larutan H 3 BO 3 dan 2-4 tetes indikator merah metilenn-biru metilen diletakkan di bawah kondensor. Ujung tabung kondensor harus terendam di bawah larutan H 3 BO 3 . Destilasi dilakukan sampai tertampung kira-kira 15 ml destilat dalam erlenmeyer. Destilat dititrasi dengan HCl 0.02 N sampai terjadi perubahan warna menjadi abu- abu. Penetapan blanko juga dilakukan untuk mengurangi bias dalam pengukuran. Cara perhitungan kadar protein: Kadar N = Kadar protein = N x faktor konversi 6.25

4. Kadar Lemak AOAC, 1995

Labu lemak yang digunakan dikeringkan di dalam oven, kemudian didinginkan di dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 5 gram sampel dibungkus dengan kertas saring dan ditutup dengan kapas bebas lemak kertas saring yang berisi sampel dimasukkan ke dalam tabung ekstraksi Soxhlet, kemudian kondensor dipasang di bagian atas, dan labu lemak di bagian bawah. Pelarut heksana dituang secukupnya ke dalam labu lemak. Sampel direfluks selama 5 jam. Pelarut yang digunakan didestilasi dan ditampung. Kemudian labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dikeringkan dalam oven dengan suhu 105 o C hingga bobot konstan. Labu lemak selanjutnya didinginkan dalam desikator dan kemudian ditimbang beserta dengan lemak di dalamnya. Kadar lemak =

5. Kadar Karbohidrat AOAC, 1995

Kadar karbohidrat sampel dihitung dengan cara 100 kandungan gizi sampel dikurangi dengan kadar air, kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak. Nilainya ditentukan dengan menggunakan rumus berikut: Kadar karbohidrat = 100 - kadar air + kadar abu + kadar lemak + kadar protein

6. Kadar Serat Kasar Apriyantono et al, 1989

Contoh ditimbang sebanyak 2 gram lalu dihaluskan. Contoh yang telah halus diekstrak lemaknya menggunakan pelarut Petroleum Eter PE. Sampel bebas lemak dipindahkan secara kuantitatif ke dalam Erlenmeyer 600 ml. Tambahkan 0.5 gram asbes yang telah dipijarkan dan 2 tetes anti buih. Setelah itu, tambahkan ke dalam erlenmeyer 200 ml larutan H 2 SO 4 mendidih. Letakkan erlenmeyer pada pendingin balik. Didihkan contoh di dalam erlenmeyer selama 30 menit dengan sesekali digoyang setelah selesai saring suspensi dengan menggunakan kertas 23 saring. Cuci residu yang tertinggal dengan air mendidih, pencucian dilakukan sampai air cucian tidak bersifat asam lagi. Pindahkan residu secara kuantitatif dengan menggunakan spatula. Cuci kembali sisa residu yang tertinggal pada kertas saring dengan menggunakan NaOH mendidih sampai semua residu masuk semua ke dalam erlenmeyer. Didihkan kembali contoh dengan pendingin balik selama 30 menit dengan sesekali digoyangkan. Saring kembali contoh dengan kertas saring yang diketahui beratnya sambil dicuci dengan K 2 SO 4 10. Cuci residu di kertas saring dengan menggunakan air mendidih kemudian dengan alkohol 95. Keringkan kertas saring di dalam oven dengan suhu 110 o C sampai berat konstan 1-2 jam. Setelah itu, sampel didinginkan dan dimasukkan ke dalam desikator, lalu sampel ditimbang. Cara perhitungannya adalah sebagai berikut : Kadar serat kasar gr100gr contoh = Keterangan: W1= berat residu dan kertas saring yang dikeringkan g W2= berat kertas saring g W = berat sampel yang dianalisis g

7. Uji Kadar Inulin metode HPLC AOAC, 1995

Kadar inulin diukur dengan menggunakan metode HPLC. Metode ini meliputi pembuatan larutan standar, ekstraksi sampel dan hidrolisis sampel. Sampel yang telah diekstraksi dan dihidrolisis dihitung konsentrasi inulin dengan membandingkannya dengan kurva larutan standar. Larutan standar dibuat dengan menimbang fruktosa sebagai standar sebanyak 2 mg. Fruktosa dimasukkan dalam labu takar 100 ml dan ditepatkan dengan menggunakan akuades lalu dikocok hingga homogen. Larutan tersebut dijadikan larutan induk 1000 ppm, kemudian buat deret konsentrasi 5 ppm, 25 ppm, 50 ppm dengan masing-masing ditambah internal standar konsentrasi 50 ppm. Saring dengan filter dan masukkan ke dalam vial untuk disuntikkan pada HPLC. Proses ekstraksi sampel dilakukan dengan cara menghomogenkan sampel yang kemudian dimasukkan ke dalam gelas piala. Tambahkan air panas sebanyak 40 ml dan tambahkan KOH 0.05 N atau HCL 0.05 N hingga pH sekitar 6.5-8. Larutan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml, dipanaskan 85°C, dan diaduk. Larutan tersebut didinginkan dan kemudian dipindahkan ke dalam gelas piala untuk diaduk kuat. Setelah itu encerkan hingga mengandung 1 fruktan. Langkah berikutnya adalah hidrolisis sampel hasil ekstraksi dengan menggunakan enzim inulinase. Mula-mula diambil 15 g sampel A, kemudian ditambah 15 g buffer asetat hingga memiliki pH 4.5. Ditambahkan amiloglukosidase sebanyak 35 mg dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu 60°C, lalu ditimbang B. Sebanyak 10 g sampel ditimbang dan ditambah enzim inulinase. Sampel tersebut diinkubasi kembali pada suhu 60°C selama 30 menit. Biarkan dingin, lalu ditimbang C. Hasil ekstraksi A, B, dan C masing-masing diencerkan, ditambahkan internal standar glukoheptosa 20 ppm, disaring, lalu diinjeksikan pada HPLC.

8. Pengukuran Aktivitas Air

Aktivitas air akan menentukan tekanan di dalam kemasan. Aktivitas air dari sampel diukur dengan menggunakan a w meter yang telah dikalibrasi dengan garam NaCl dengan nilai kelembabannya RH adalah 75. Sampel dimasukkan ke dalam chamber pada a w meter dan 24 ditutup rapat. Pembacaan nilai a w dilakukan pada saat angka tidak berubah. Hal ini ditunjukkan oleh tulisan atau indikator pada a w meter yaitu complete test.

9. Analisis Tekstur

Analisis tekstur dilakukan terhadap kekerasan bars yang dihasilkan dengan menggunakan Texture Analyzer XT2i yang dinyatakan dalam satuan gf gram force. Alat ini dilengkapi dengan sistem komputerisasi sehingga harus diatur sesuai dengan kebutuhan dan jenis produk yang diuji. Sebelum dilakukan pengukuran contoh, terlebih dahulu dilakukan kalibrasi probe. Bars yang diukur kekerasannya diletakkan di bawah probe dan “Quick Run Test” ditekan. Probe yang digunakan adalah P2 probe silinder, jarak probe yang dikalibrasi sesuai dengan tinggi bars yaitu 4 mm dari bars. Setelah pengukuran selesai, nilai kekerasan bars dapat dilihat pada layar komputer. Pengaturan texture analyzer pada pengukuran bars dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Pengaturan Texture Analyzer pada pengukuran bars Test mode option Measure force in compression Return to start Parameters Pre test speed 2.0 mms Test speed 0.5 mms Post test speed 10.0 mms Distance 4 mms Trigger Type Auto Force 5 g Force Grams Distance Milimeters

10. Analisis warna Metode Hunter

Pengukuran warna dilakukan dengan menggunakan alat Chromameter Minolta CR 300 minolta Camera, Co. Japan 82281029 untuk formula terbaik. Sebelum digunakan alat ini dikalibrasi dengan standar warna putih. Sampel diletakkan pada tempat yang tersedia, setelah menekan tombol start diperoleh nilai L, a, dan b. Ketiga parameter tersebut merupakan ciri notasi warna Hunter. Notasi L berkisar antara 0 hitam hingga ± 100 putih. Notasi a menyatakan warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai +a positif dari 0 sampai +100 untuk warna merah dan nilai –a negatif dari 0 sampai -80 untuk warna hijau. Notasi b menyatakan warna kromatik campuran biru-kuning dengan nilai +b positif dari 0 sampai +70 untuk warna kuning dan nilai –b negatif dari 0 sampai -80 untuk warna biru. Selanjutnya dari nilai a dan b dapat dihitung o Hue dengan rumus o Hue = tan -1 ba jika hasil yang diperoleh: 18 o -54 o = Red R 54 o -90 o = Yellow red YR 90 o -126 o = Yellow 126 o -162 o = Yellow green YG 162 o -198 o = Green G 198 o -234 o = Blue green BG 234 o -270 o = Blue B 270 o -306 o = Blue purple BP 306 o -342 o = Purple P 342 o -18 o = Red purple RP 25

11. Uji Organoleptik Meillgard, 1999

Uji organoleptik yang digunakan adalah uji rating hedonik untuk menentukan apakah masing-masing produk berbeda nyata pada taraf signifikansi 5. Panelis yang digunakan adalah panelis semi terlatih sebanyak 70 orang untuk kedua uji di atas. Analisis data dilakukan menggunakan ANOVA Analysis of Variance dengan uji lanjut Duncan. Skala yang digunakan dalam uji ini adalah skala kategori 7 poin dengan deskripsi sebagai berikut: 1 = sangat tidak suka 2 = tidak suka 3 = agak tidak suka 4 = netral 5 = agak suka 6 = suka 7 = sangat suka

12. Uji Mikrobiologi Total Plate Count dan Total Kapang-khamir Fardiaz, 1989

Total mikroba dihitung dengan metode hitungan cawan pada media Plate Count Agar, sedangkan untuk total kapang-khamir digunakan media APDA Acidified Potato Dextrose Agar. Sepuluh gram contoh dilarutkan dalam larutan garam fisiologis 0.85 sebanyak 90 ml. dari larutan ini diencerkan kembali sampai tingkat pengenceran yang dikehendaki. Dari setiap pengenceran diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam cawan petri, dan diberi 15 ml PCAAPDA cair duplo. Selanjutnya cawan diputar membentuk angka delapan dan dibiarkan membeku. Inkubasi dilakukan pada suhu 37 o C selama 2 hari untuk TPC dan inkubasi pada 30 o C selama 3- 5 hari untuk total kapang-khamir. 26 IV.HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PENGOLAHAN BAHAN BAKU

1. PEMBUATAN TEPUNG PISANG

Tujuan dari penepungan pisang ini adalah untuk meningkatkan umur simpan pisang dan memberikan karakteristik banana bars yang sama bila menggunakan bahan baku dengan karakteristik yang sama. Komposisi kimia tepung pisang ini mirip dengan yang dilaporkan oleh Hermanto 1991 yang ditunjukkan pada Tabel 11. Tabel 11. Hasil analisis proksimat tepung pisang Komposisi Kandungan basis kering Kandungan basis kering Kadar air 4.41 3.00 Kadar abu 2.45 3.30 Kadar protein 4.72 4.54 Kadar lemak 0.89 0.82 Kadar karbohidrat by difference 91.94 91.34 Hermanto 1991 dinyatakan dalam basis basah Warna tepung pisang yang dihasilkan pada penelitian ini adalah putih kekuningan dengan nilai derajat putih sebesar 44.1. Nilai derajat putih ini dipengaruhi oleh suhu pengeringan. Pengeringan menggunakan oven pengering dengan suhu 60 o C menghasilkan karamelisasi dan reaksi Maillard yang tidak terlalu tinggi. Karamelisasi dan reaksi Maillard menyebabkan terjadinya warna coklat pada tepung pisang. Semakin banyak terjadi karamelisasi dan reaksi Maillard pada proses pengeringan maka semakin coklat warna tepung pisang. Selain pengaruh suhu, bentuk bahan yang dikeringkan juga mempengaruhi derajat putih tepung pisang. Potongan pisang yang berbentuk chips memiliki luas permukaan bahan yang kontak dengan permukaan pengering lebih kecil dibandingkan potongan berbentuk lonjong Budi, 1995 sehingga karamelisasi dan reaksi Maillard lebih kecil terjadi dan warna tepung pisang yang dihasilkan mempunyai derajat putih yang besar. Menurut Hermawan 1982 ada dua proses pembuatan tepung pisang, yaitu proses basah dan proses kering. Pembuatan secara basah dilakukan dengan cara: pisang yang telah berbentuk bubur atau pasta dikeringkan dengan alat pengering drum drier atau spray drier. Pembuatan secara kering yaitu setelah dikupas, pisang diiris tipis. Hasil irisan tersebut dikeringkan dengan menggunakan alat pengering ataupun sinar matahari. Proses pengeringan tergantung pada suhu yang digunakan pada mesin pengering. Pengeringan dengan mesin pengering lebih terkontrol karena irisan pisang diletakkan di ruang tertutup sehingga kontaminasi mikroba dan debu dapat dikurangi. Selain itu, suhu pengeringan juga dapat diatur sesuai keinginan. Masalah utama yang sering timbul saat pembuatan tepung pisang menurut Hermawan 1982 adalah timbulnya warna coklat pada tepung yang dihasilkan. Maka dari itu, diperlukan perlakuan yang dapat mengurangi atau mencegah terjadinya pencoklatan tersebut. Cara yang dapat dilakukan untuk mencegah pencoklatan adalah blansir. Penggilingan pisang dilakukan dengan menggunakan alat penggiling pin disc mill yang di dalamnya terdapat ayakan berukuran 60 mesh. Tepung pisang yang dihasilkan siap digunakan sebagai bahan pembuat banana bars. Analisis proksimat dilakukan untuk menentukan jumlah makronutrien dan kandungan kalori tepung pisang. Kandungan karbohidrat yang dimiliki 27 tepung pisang 91.94 bk lebih tinggi dibandingkan kandungan protein 4.72 bk dan lemaknya 0.89 bk. Hal ini disebabkan oleh tingginya pati yang ada dalam tepung pisang Crowther, 1979. Menurut Wills et al., 1981 karbohidrat pisang terdiri dari pati, gula-gula sederhana glukosa, fruktosa, dan sukrosa, pektin, lignin, selulosa, dan hemiselulosa.

2. PEMBUATAN TEPUNG TEMPE

Beberapa keuntungan yang diperoleh dari pengeringan tempe, antara lain adalah berkurangnya volume dan berat bahan sehingga memudahkan dalam pengangkutan dan penyimpanannya Winarno, 1985. Tempe yang digunakan dalam pembuatan tepung tempe adalah tempe yang telah difermentasi selama satu hari dengan tujuan untuk mengurangi rasa pahit yang ditimbulkan oleh kapang. Hasil analisis proksimat tepung tempe ditunjukkan pada Tabel 12. Tabel 12. Hasil analisis proksimat tepung tempe Komposisi Kandungan basis kering Kandungan basis kering Kadar air 4.46 8.70 Kadar abu 2.09 2.52 Kadar protein 52.42 52.57 Kadar lemak 31.23 27.14 Kadar karbohidrat by difference 14,23 14.79 Mardiah 1994 dinyatakan dalam basis basah Kadar air hasil analisis proksimat maupun penelitian Mardiah 1994 berada di bawah ketentuan kadar air maksimal yang ditetapkan SNI untuk tepung-tepungan yaitu 15 bb. Selain itu, menurut Winarno 1997 batas kadar air minimum dimana mikroba masih dapat tumbuh adalah 14-15 bb. Hal ini menunjukkan bahwa tepung tempe memiliki kualitas yang baik karena kadar airnya berada di bawah ketentuan kadar air maksimal SNI dan mencapai kadar air yang aman dari mikroba yaitu kurang dari 15 bb. Adanya perbedaan pada kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat antara tepung tempe dari penelitian ini dengan penelitian Mardiah 1994 dapat disebabkan oleh perbedaan jenis tempe yang digunakan, varietas kedelai untuk membuat tempe, jenis kapang dan ragi yang digunakan, serta metode analisis yang digunakan. Dwidjoseputro dan Wolf 1970 mengamati adanya perbedaan jenis-jenis kapang yang tumbuh pada tempe yang berasal dari daerah-daerah yang berbeda. Jenis kapang yang digunakan pada penelitian ini adalah kapang jenis R. Oligosporus sedangkan kapang yang digunakan pada penelitian Mardiah 1994 adalah kapang R. oligosporus, R. Oryzae, dan R. Arrhizus. Demikian halnya dengan karakteristik ragi yang digunakan. Ragi murni yang digunakan akan menghasilkan karakteristik tepung tempe yang berbeda dengan ragi campuran. Tempe yang akan diolah menjadi tepung tempe terlebih dahulu dilakukan beberapa perlakuan pendahuluan sebelum dikeringkan, seperti pemotongan dan blansir. Pemotongan tempe dimaksudkan untuk menambah luas permukaan sehingga mempercepat penguapan air. Selain itu, menurut Soegiharto 1995, reduksi ukuran tempe sebelum proses blansir dilakukan untuk memperluas permukaan sehingga kapang yang masih hidup di dekat atau pada permukaan tempe lebih mudah dimatikan. Blansir pada proses pembekuan dan pengeringan, dilakukan untuk menghentikan aktivitas enzim-enzim yang merusak mutu produk olahan yang dihasilkan. Menurut Sumarsono 1983, 28 blansir merupakan cara terbaik untuk mematikan kapang Rhizopus. Selain itu, blansir mampu mengurangi rasa pahit yang ditimbulkan akibat fermentasi kapang. Menurut Rohani 1999 perlakuan blansir pada tempe bertujuan untuk mematikan pertumbuhan kapang sehingga fermentasinya akan terhenti. Menurut Fardiaz et al., 1980 blansir adalah pemanasan pendahuluan yang bertujuan untuk menginaktifkan enzim-enzim di dalam bahan pangan. Menurut Syamsir 2011, proses blansir yang umum dilakukan adalah dengan menggunakan air panas 70 – 100 o C atau dengan steam uap panas. Blansir pada penelitian ini dilakukan menggunakan uap panas pada suhu 100 o C selama 10 menit. Blansir dengan uap lebih baik dibandingkan dengan air panas, karena dengan uap kehilangan garam dan vitamin dapat dicegah. Menurut Muchtadi et al., 1989 blansir dalam air panas dapat melarutkan dan merusak nilai-nilai gizi bahan, menyebabkan tekstur menjadi lunak, serta mengurangi flavor dan warna bahan . Selain itu proses blansir dapat mempercepat laju pengeringan dan produk lebih bersih Shurtleff W et al, 1980. Tempe kemudian dikeringkan menggunakan oven pengering bersuhu 60 o C selama sekitar empat jam. Oven pengering berfungsi sebagai pengering, menghasilkan udara panas yang digerakkan oleh blower sehingga mengefektifkan pindah panas yang terjadi dari udara panas kepada bahan yang dikeringkan Sitanggang, 2008.Setelah tempe kering dan berbunyi “kres” saat diremas, kemudian tempe didinginkan beberapa menit di suhu ruang untuk kemudian digiling menggunakan alat pin disc mill. Penggilingan dimaksudkan untuk memperkecil ukuran tempe dalam pembuatan tepung. Di dalam pin disc mill terdapat ayakan berukuran 60 mesh sehingga tepung yang keluar akan memiliki tingkat kehalusan yang seragam dan bersih dari kotoran pengganggu.

B. OPTIMASI PROSES PEMANGGANGAN BANANA BARS

Formulasi pangan darurat yang dibuat harus mengandung kalori sebesar 233 kkal per bar-nya 1 bars = 50 gram Zoumas et al., 2002. Dengan pertimbangan berat per bar-nya, kemudahan untuk dikonsumsi, dibuat dan dikreasikan serta suhu dan waktu pemanggangan yang lebih efisien maka banana bars yang dibuat memiliki berat sekitar 22-24 gram per bar. Kandungan energi per bar-nya sekitar 110 kkal sehingga untuk satu takaran saji disarankan 6-7 bars untuk memenuhi energi sebesar 700 kkal. Formulasi EFP dihitung menggunakan prinsip kesetimbangan massa dengan bantuan program Microsoft Excel. Hasil penghitungan perkiraan kalori dengan bantuan Microsoft Excel ini tidak jauh berbeda dengan hasil analisis proksimat. Pendekatan penghitungan ini telah digunakan dalam pembuatan pangan darurat cookies Sitanggang, 2008 dan pembuatan pangan darurat banana bars penelitian Ferawati 2009 tentang banana bars. Penentuan formulasi awal EFP yang ditunjukkan pada Lampiran 1 didasarkan pada penelitian Ferawati 2009 tentang banana bars. Dalam rangka mengembangkan potensi bahan lokal yang ada di daerah Subang, maka banana bars yang dibuat menggunakan bahan baku utama tepung pisang. Selain itu, sebagai sumber protein digunakan tepung tempe dan sebagai sumber karbohidrat digunakan tepung ketan. Inulin yang ditambahkan ke dalam banana bars berfungsi sebagai sumber serat dan prebiotik. Pada proses pembuatan banana bars, margarin dan gula halus dicampurkan secara terpisah dari bahan tepung-tepungan. Prinsip ini mengikuti metode pembuatan krim two stage method. Pada metode ini pembuatan krim dilakukan dengan mencampur lemak, gula, emulsifying agent dan komponen minor lainnya selain pengembang menjadi satu Matz and Matz, 1978. Proses pembuatan krim dengan metode ini akan memberikan hasil yang kompak pada krim. Sumber pemanis yang digunakan adalah gula halus dengan tujuan agar proses pencampuran lebih merata 29 dibandingkan menggunakan gula pasir. Gula juga berfungsi sebagai bahan pengawet makanan Gautara dan Wijandi, 1981. Gula merupakan senyawa kimia yang tergolong kelompok karbohidrat, mempunyai rasa manis dan larut dalam air. Selain itu, gula bersifat humektan yaitu senyawa kimia yang bersifat higroskopis dan mampu menurunkan a w dalam bahan pangan juga bersifat antimikroba, memperbaiki tekstur, cita rasa dan dapat meningkatkan nilai kalori Haliza, 1992. Pada tahap ini dibuat sembilan formula yang dapat dilihat pada Lampiran 1. Sembilan formula ini dibuat untuk mencari komposisi yang dapat menghasilkan banana bars yang disukai oleh panelis. Kesembilan formula ini dibedakan pada jumlah tepung pisang, tepung tempe, dan tepung ketan yang digunakan yaitu berkisar antara 29.41-41.18 basis tepung-tepungan. Kesembilan formula ini dipanggang dengan suhu yang digunakan pada penelitian Ferawati 2009 tentang banana bars yaitu 100 o C selama 40 menit kemudian dinaikkan menjadi 120 o C selama 20 menit. Suhu rendah 100 o C yang digunakan pada awal pemanggangan bertujuan untuk mengeluarkan air yang ada pada bars dan dilanjutkan dengan suhu tinggi 120 o C yang berfungsi untuk mengeluarkan air lanjutan dan mematangkan produk. Kesembilan formula banana bars tersebut mengalami case hardening Gambar 9 yaitu bagian permukaan produk sudah matang kecoklatan namun bagian dalam produk masih belum matang sempurna. Hal ini disebabkan oleh adanya amilopektin pada tepung ketan yang mengikat air lebih kuat dibandingkan amilosa pada tepung perigu yang digunakan sebagai bahan baku banana bars dalam penelitian Ferawati 2009. Menurut Muchtadi 2008, perubahan akibat pemanggangan dipengaruhi oleh kondisi proses suhu dan lama serta jenis bahan yang dipanggang komposisi kimia. Suhu oven baking yang berfluktuasi dapat mempengaruhi tingkat kematangan banana bars. Warna yang dihasilkan adalah kuning muda pada bagian tengah dan coklat tua pada bagian luar. Tekstur yang dihasilkan adalah rapuh pada bagian tengah dan keras pada bagian luar. Tekstur rapuh pada bagian tengah disebabkan oleh belum matangnya banana bars akibat terikatnya air pada amilopektin. Selain itu, terdapat butiran tepung pisang pada kesembilan formula banana bars. Hal ini disebabkan oleh besarnya ukuran ayakan yang digunakan untuk menyaring tepung pisang yaitu 60 mesh. Semakin besar ukuran mesh yang digunakan untuk menyaring maka semakin kecil ukuran granula tepung yang dihasilkan. Case hardening yang terjadi pada banana bars dapat diatasi dengan mencari suhu dan lama waktu pemanggangan yang tepat sehingga dapat menghasilkan karakteristik banana bars yang dapat diterima. Gambar 9. Banana bars yang mengalami case hardening Penentuan formula yang akan digunakan pada tahap optimasi proses pemanggangan dipilih dengan menggunakan uji organoleptik rating hedonik terhadap atribut rasa. Hasil uji rating hedonik tersebut ditunjukkan pada Gambar 10. Kuisioner uji rating hedonik atribut rasa dapat dilihat pada Lampiran 4. Pada Gambar 10 dapat dilihat bahwa formula F7 memiliki skor tertinggi diantara kedelapan formula lainnya yaitu 5.51 agak disukai. Formula F7 dengan komposisi tepung pisang, tepung tempe, dan tepung ketan sekitar 29.41-41.18 dari total adonan yang sama akan digunakan pada optimasi proses pemanggangan. Namun, diperlukan beberapa modifikasi, 30 diantaranya tidak lagi digunakan garam pada banana bars, ditambahkan inulin, dan dilakukan perkiraan penghitungan nilai energi yang terkandung dalam setiap bars. Gambar 10. Histogram uji rating hedonik terhadap atribut rasa Garam tidak lagi digunakan pada tahap optimasi proses pemanggangan karena garam memberikan rasa asin yang berlebihan pada banana bars. Rasa asin yang ditimbulkan pada banana bars selain disumbangkan oleh garam, juga disumbangkan oleh margarin. Margarin merupakan emulsi air di dalam lemak yang terdiri 85 persen lemak dan air sekitar 15 persen serta kedalaman emulsi ini ditambahkan zat-zat tambahan makanan seperti pengemulsi lesitin, pemberi cita rasa, aroma, garam, zat warna, vitamin, dan lain-lain Dini, 2007. Rasa asin yang ditimbulkan dari margarin telah cukup memberikan rasa asin pada produk. Selain itu, margarin dapat menggantikan fungsi garam dalam memberikan kelembaban pada produk. Inulin yang ditambahkan pada banana bars merupakan inulin komersial. Inulin membantu mengikat air, meningkatkan mouthfeel dalam berbagai produk makanan, juga berperan dalam meningkatkan tekstur makanan International Partnering Event on Health and Food, 2003. Modifikasi formula F7 menghasilkan dua formula yang ditunjukkan pada Tabel 13. Tabel 13. Formula Banana bars Bahan Formula I Formula II Gram Gram Tepung pisang 15 37.5 10 28.57 Tepung tempe 10 25 10 28.57 Tepung ketan 15 37.5 15 42.86 Margarin 15 37.5 15 42.86 Gula halus 20 50 20 57.14 Inulin 2 5 2 5.71 Air ml 15 37.5 8 22.86 Total 92 80 dihitung berdasarkan bahan berbentuk tepung-tepungan Setiap formula pada Tabel 19 menghasilkan banana bars sebanyak 2-3 buah dengan berat per bar-nya sekitar 22 gram. Berdasarkan penghitungan perkiraan nilai kalori, energi yang dihasilkan per bar sekitar 122-128 kkal sehingga dibutuhkan 5-6 bars per takaran saji agar dapat memenuhi kebutuhan energi sebesar 700 kkal. Kedua formula ini dibedakan oleh jumlah tepung pisang yang ditambahkan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh tepung pisang terhadap karakteristik rasa dan aroma tepung pisang yang dihasilkan. Jumlah tepung pisang yang ditambahkan pada formula II lebih banyak daripada formula I sehingga air yang ditambahkan pada formula II lebih banyak dibandingkan formula I. Menurut Chandra 2010, semakin tinggi kandungan pati maka pati akan cenderung menyerap air 3.24 3.48 3.67 3.05 2.85 4.28 5.51 5.28 3.67 2.5 3.5 4.5 5.5 F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8 F9 R a ta -r a ta s k o r h e d o n ik te r h a d a p a tr ib u t r a sa Formula 31 lebih banyak. Air yang ditambahkan ke dalam adonan berfungsi sebagai katalis di dalam adonan, karena hampir keseluruhan air yang terdapat dalam adonan akan dikeluarkan selama proses pemanggangan Manley,2001. Kedua formula ini dipanggang dengan dua perlakuan suhu. Perlakuan pertama dipanggang menggunakan suhu atas 160 o C dan suhu bawah 140 o C selama 25 menit dan perlakuan kedua dipanggang dengan suhu bawah 160 o C dan suhu atas 140 o C selama 25 menit dengan menggunakan oven baking Getra yang memiliki sumber panas berupa gas. Oven ini memiliki suhu pemanggangan atas dan bawah yang dapat diatur sesuai keinginan. Namun, suhu oven ini kurang stabil sehingga sulit untuk dikontrol. Banana bars yang dihasilkan dari kedua perlakuan tersebut memiliki warna yang tidak seragam antara sisi yang satu dengan sisis yang lain Gambar 11. Sisi yang lebih gosong merupakan sisi yang dipanggang dengan suhu pemanggangan yang lebih tinggi yaitu 160 o C sedangkan sisi yang dipanggang dengan suhu yang lebih rendah memiliki warna kuning pucat. Menurut Sitanggang 2008, k etika adonan dimasukkan, suhu oven tidak boleh terlalu panas, sebab bagian luar akan terlalu cepat matang sehingga menghambat pemanggangan. Tekstur yang dihasilkan pada kedua perlakuan pemanggangan tersebut pun tidak seragam yaitu adanya sisi yang lebih keras pada sisi yang gosong sedangkan sisi yang dipanggang dengan suhu yang lebih rendah teksturnya lebih rapuh dan mudah hancur. Makin banyak panas yang masuk, makin banyak rongga udara yang terbentuk dan lebih banyak pati yang tergelatinisasi. Hal ini akan mempengaruhi struktur remah pada cookies. Banana bars dengan kedua perlakuan pemanggangan tersebut memiliki rasa yang tidak seragam akibat tingkat kematangan yang tidak sama. Selain itu, terdapat rasa berpasir pada kedua perlakuan banana bars tersebut. Hal ini disebabkan oleh tepung pisang yang digunakan memiliki butiran tepung yang cukup besar. Gambar 11. Ketidaseragaman warna banana bars Oleh karena itu, pada optimasi proses pemanggangan berikutnya kembali digunakan oven baking dengan satu suhu pemanggangan agar diperoleh suhu pemanggangan yang lebih stabil. Oven panggang yang digunakan adalah oven baking Mermet dengan sumber panas yang berasal dari listrik yang dibantu blower untuk menyebarkan panasnya ke semua sisi oven. Suhu yang dihasilkan pun lebih stabil dibandingkan oven baking Mah-Yih MD dan oven baking Getra yang digunakan sebelumnya. Pemanggangan dengan oven baking Mermet ini lebih baik karena lebih mudah mengontrol suhu dan diperoleh tingkat kematangan banana bars yang diinginkan. Dengan menggunakan formula yang telah ditunjukkan pada Tabel 19, banana bars dipanggang dengan suhu akhir pemanggangan 120 o C dan 140 o C sehinga dihasilkan empat perlakuan yaitu:  1 = Formula I - 100 o C selama 20 menit kemudian 120 o C selama 40 menit  2 = Formula I - 100 o C selama 20 menit kemudian 140 o C selama 40 menit  3 = Formula II - 100 o C selama 20 menit kemudian 120 o C selama 40 menit  4 = Formula II - 100 o C selama 20 menit kemudian 140 o C selama 40 menit 32 Keempat formula banana bars tersebut diuji secara organoleptik dengan menggunakan uji rating hedonik terhadap atribut overall. Pada Gambar 12 dapat dilihat bahwa secara overall perlakuan yang disukai adalah perlakuan 4 Formula II dengan suhu pemanggangan 100 o C selama 20 menit kemudian dinaikkan menjadi 140 o C selama 40 menit dengan nilai skor 5.01 agak disukai. Gambar 12. Histogram Uji Rating Hedonik 1 Formula banana bars perlakuan 1 dan 3 memiliki warna yang sama, namun memiliki warna yang berbeda dengan perlakuan 2-4. Hal ini diperjelas dengan gambar banana bars pada Gambar 13. 1 2 3 4 Gambar 13. Banana bars perlakuan 1, 2, 3, dan 4 Dapat dilihat bahwa formula banana bars yang dipanggang pada perlakuan 1 dan 3 suhu 100 o C selama 40 menit kemudian dinaikkan menjadi 120 o C selama 20 menit memiliki warna kuning pucat, tekstur yang rapuh mudah hancur bila disentuh dan berpasir, serta ada rasa tempe. Perbedaan jumlah tepung pisang yang ditambahkan pada kedua formula tersebut tidak mempengaruhi penerimaan kesukaan panelis terhadap karakteristik rasa, tekstur ataupun warna banana bars. Banana bars dengan perlakuan 2 dan 4 suhu 100 o C selama 20 menit kemudian dinaikkan menjadi 140 o C selama 40 menit memiliki warna coklat keemasan seperti cookies yang dipanggang, tekstur yang dihasilkan memiliki tingkat kekerasan yang mudah digigit dan tidak mudah hancur. Rasa yang dihasilkan pun cukup enak, tidak berpasir dan tidak pahit. Perlakuan terbaik hasil uji organoleptik perlakuan 4 dilakukan analisis proksimat agar dapat dihitung kandungan energinya. Hasil analisis proksimat formula II memiliki nilai kadar air 1.73 bb, kadar abu 1.30 bb, kadar lemak 22.05 bb, kadar protein 8.1 bb, dan kadar karbohidrat 66.82 bb. Berdasarkan hasil analisis proksimat tersebut dapat diketahui sumbangan makronutrien banana bars adalah sebesar 39.84 lemak, 6.51 protein, dan 53.65 karbohidrat, sedangkan sumbangan lemak, protein, dan karbohidrat untuk pangan darurat berturut-turut adalah 35-45, 10-15, dan 40-50 Zoumas, et al., 2002. Dapat dilihat bahwa sumbangan protein 0.00 2.00 4.00 6.00 1 2 3 4 4.29 4.73 4.80 5.01 R a ta -r a ta sk o r h e d o n ik Perlakuan 33 banana bars 6.51 belum memenuhi persyaratan pangan darurat 10-15 sehingga perlu dilakukan reformulasi agar diperoleh kandungan makronutrien yang sesuai bagi pangan darurat.

C. REFORMULASI BANANA BARS