Pemanasan Buras dalam Kemasan Retort Pouch sebagai Alternatif Produk Pangan Darurat

(1)

ii

THERMAL PROCESSING OF “BURAS” IN RETORT POUCH PACKAGING AS AN

ALTERNATIVE OF EMERGENCY FOOD PRODUCT

Ahmadun, Sugiyono, and Feri Kusnandar Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Engineering and Technology, Bogor Agricultural University, Darmaga Campus, PO. Box 220

Bogor 16002, West Java, INDONESIA

ABSTRACT

Many natural disasters in Indonesia cause many victims who have to stay in temporary camps. One of the problems related to this situation is providing nutritious foods for the victims to maintain their health status in emergency condition. Emergency food product (EFP) is produced to fulfill the victim’s required daily energy level (2100 kcal). One of potential foods which can be used as an EFP is “buras”, an Indonesian traditional food which is made from rice as the main ingredient. The objective of this research was to make sterilized “buras” as EFP with characteristics according to Institute of Medicine (IOM) recommendation. This research was conducted in two main steps. The first step was formulation and “buras” making. The second step was “buras” packaging using retort pouch, thermal process optimization, and quality characterization. In the formulation process, rice substitution treatments were done by substitution level of (0% (F0), 10% (F1), 20% (F2), 30% (F3), 40% (F4), and 50% (F5)) glutinuous rice. The results showed that the best “buras” formula based on hedonic rating test (n=70, Duncan;α = 0.05) was F3 and the important characteristics of buras as EFP were taste (35%) and texture (31%). Based on hedonic rating test (n=30, t-test;α = 0.05), the choosen sterilized “buras” was at 116.70C for 48.71 minute (Fo=5.0). This EFP”buras” had 62.85% moisture, 0.77% ash, 6.65% fat, 6.73% protein, 22.99% carbohydrate, and 240.47 kcal energy/50 gram. EFP “buras” had pH of 6.38, water activity (aw) of 0.908 in 30.00C, and total plate count (TPC) of 2.96 log cfu/gram. In general, storage test of EFP “buras” resulted in the decreasing of pH and water activity, and increasing of total plate count (TPC) as storage time increased. EFP “buras” in retort pouch packaging is highly potential to be developed in Indonesia and is predicted to become a national emergency food.


(2)

iii

Ahmadun. F24080054. Pemanasan Buras dalam Kemasan Retort Pouch Sebagai Alternatif Produk Pangan Darurat. Di bawah bimbingan Sugiyono dan Feri Kusnandar. 2013.

RINGKASAN

Pangan darurat (EFP) adalah pangan yang dikonsumsi dalam kondisi darurat seperti bencana alam, perang atau latihan perang, dan kondisi darurat lainnya. EFP harus memenuhi kebutuhan energi harian manusia (2100 kkal) dengan sumbangan kalori utama yang ideal berasal dari karbohidrat (40-50%), lemak (35-45%), dan protein (10-15%). Selain itu, EFP juga harus dapat langsung dikonsumsi, tahan lama (awet), dan mudah didistribusikan baik melalui jalur darat, air, maupun udara serta dalam pengembangannya harus mempertimbangkan aspek teknologi pengolahan dan faktor ekonomis. EFP dapat dikembangkan dari pangan yang sudah ada seperti pangan tradisional dengan memodifikasi komposisi gizi dan pengolahannya. Salah satu pangan yang sangat potensial dikembangkan yaitu buras (pangan tradisional berbasis beras dan lauk-pauk). Penelitian ini bertujuan memformulasikan produk buras yang sesuai untuk digunakan sebagai pangan darurat, menentukan waktu sterilitas (Fo) yang optimum, mengkarakterisasi produk yang dihasilkan, dan uji penyimpanannya.

Penelitian ini diawali dengan penelitian pendahuluan yaitu rancangan formulasi, pembuatan produk berdasarkan formulasi, penentuan formula terbaik, uji distribusi dan penetrasi panas, dan desain proses. Selanjutnya, dilakukan pengolahan formula buras terbaik dengan nilai Fo berbeda, penentuan EFP terpilih berdasarkan sifat sensori, karakterisasi EFP terpilih serta uji penyimpanannya. Kombinasi perlakuan yang digunakan meliputi substitusi beras ketan (BK) ke dalam formula EFP buras dengan beras IR-64 dengan rasio beras IR-64:beras ketan (100:0 (F0); 90:10 (F1); 80:20 (F2); 70:30 (F3); 60:40 (F4); 50:50 (F5)) dalam persen (%) dan perlakuan nilai sterilitas yaitu Fo=5.0 dan Fo=7.5. Kemasan yang digunakan adalah kemasan fleksibel yang tahan suhu sterilisasi yaitu retort pouch (RP). Formulasi EFP buras terdiri dari dua komponen utama yang dirancang dan diolah secara terpisah. Kedua formula komponen penyusun tersebut adalah nasi dan ayam bumbu. Bahan utama formula nasi terdiri dari 20.67% beras IR-64, 8.86% beras ketan putih, 8.36% santan kelapa, 2.95% isolat protein kedelai (IPK), 0.12% garam dapur, 59.05% air. Formulasi ayam bumbu terdiri dari 32.68% daging ayam matang, 21.46% santan kelapa, 10.89% minyak goreng, 12.31% bawang merah, 5.44% gula pasir, 5.44% madu murni, 4.25% kencur, 3.16% bawang putih, 2.17% kemiri, 1.09% salam, 0.11% ketumbar, 0.11% lada, dan 0.87% garam. Kemudian, kedua bahan tersebut dikombinasikan sesuai dengan target formulasi. Berdasarkan rancangan formulasi, berat bersih buras dalam satu pouch 150 gram yang terdiri dari dua buah buras. Masing-masing buras memiliki berat bersih 75 gram dengan komposisi 60 gram (80%) nasi dan 15 gram (20%) ayam bumbu. Komposisi ini berlaku untuk semua rancangan formulasi. Buras dikemas dalam kemasan RP dengan dimensi (21 x 15) cm2

Hasil pengujian pemilihan formula terbaik dengan uji rating hedonik (n=70, Duncan test:

α=0.05) diperoleh bahwa formula terbaik dari segi sensori dan aspek ekonomis adalah buras formula 3 (F3) yaitu buras dengan rasio beras IR-64: beras ketan (70:30 (%)) walaupun dari semua atribut sensori, nilainya tidak berbeda nyata pada α=0.05 dengan beras formula 2 (F2) dan formula 4 (F4). Berdasarkan pengujian menggunakan kuesioner diketahui bahwa dalam pengembangan buras sebagai EFP terdapat dua atribut sensori yang harus diperhatikan dan dipertahankan mutunya selama penyimpanan sesuai dengan tingkat kepentingannya yaitu rasa (35%) dan tekstur (31%). Sedangkan aroma memiliki nilai kepentingan 20% dan warna dinilai tidak terlalu diperhatikan (14%).


(3)

iv

Proses sterilisasi dirancang untuk memperoleh nilai Fo=5.0 dan Fo=7.5 pada suhu 116.70C (2420C). Perancangan ini ditentukan berdasarkan hasil uji penetrasi panas produk. Data penetrasi panas dievaluasi menggunakan metode umum dan diolah menggunakan metode formula. Untuk mencapai kedua nilai Fo tersebut diperlukan waktu proses 48.71 menit dan 56.88 menit. Perlakuan perbedaan Fo tidak mempengaruhi perubahan tingkat kesukaan panelis terhadap aroma, warna, rasa, tekstur, dan secara keseluruhan (overall) buras berdasarkan hasil pengujian rating hedonik (n=30, t-test; α=0.05) pemilihan produk terpilih. Sebelum dilakukan pengujian organoleptik, buras telah disimpan pada suhu ruang selama 25 hari untuk menjamin keawetannya. EFP buras yang terpilih sebagai EFP adalah buras dengan perlakuan Fo=5.0. Hal ini didasarkan pada aspek kesukaan secara sensori, teknologi pengolahan, dan aspek ekonomis produk.

Hasil analisis proksimat EFP buras terpilih menunjukkan nilai kadar airnya sebesar 62.85% (bb), kadar abu sebesar 0.77% (bb), kadar lemak sebesar 6.65% dengan sumbangan kalori 34.53% (bk), kadar protein sebesar 6.73% (bb) dengan sumbangan kalori 15.54% (bk), dan kadar karbohidrat sebesar 22.99 (bb) dengan sumbangan kalori 61.88% (bk). Dari hasil analisis proksimat diperoleh nilai kalori aktual EFP yaitu sebesar 240.47 kkal/50 gram. Analisis fisikokimia produk memberikan nilai pH sebesar 6.38 pada suhu 250C dan aktivitas air (aw) sebesar 0.908 pada suhu rata-rata 300C. Hasil

analisis tekstur secara objektif diperoleh nilai kekerasan (1922.0250 gf), elastisitas (0.7175), daya kohesif (0.4624), kekenyalan (886.7618 gf), daya kunyah (643.2481 gf), dan kelengketan (-943.9880 gs). Hasil analisis mikrobiologi memberikan nilai total plate count (TPC) sebesar 2.96 log cfu/gram.

Uji penyimpanan dilakukan pada EFP buras terpilih. Sampel disimpan pada tiga suhu inkubasi (350C, 450C, dan 550C) selama 20 hari dengan pengambilan data pengamatan per 4 hari. Parameter yang diamati meliputi nilai pH, aktivitas air (aw), dan total mikroba (TPC). Selama penyimpanan

diketahui secara umum nilai pH dan aktivitas air (aw) mengalami penurunan sedangkan total mikroba

(TPC) mengalami peningkatan. EFP buras terpilih yang disimpan pada suhu ruang (280C) selama 5 bulan masih dalam kondisi baik secara fisik (tekstur dan kenampakan bentuk). Hasil uji penyimpanan pada suhu ruang mengindikasikan bahwa EFP buras dalam kemasan retort pouch sangat potensial dikembangkan di Indonesia dan diprediksi mampu menjadi pangan darurat andalan nasional.


(4)

1

I.

PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan suatu negara besar dengan tingkat kerawanan bencana yang tinggi. Bencana alam seperti banjir, tanah longsor, gempa bumi, dan gunung meletus, serta bencana yang disebabkan oleh eksternalitas negatif aktivitas manusia seperti kebakaran dan konflik/kerusuhan seringkali melanda Indonesia setiap tahunnya. Jumlah bencana alam di Indonesia yang terdata mencapai 1663 peristiwa pada tahun 2011, yang telah menyebabkan rusaknya infrastruktur sosial dan rata-rata jumlah pengungsi mencapai 1.024.952 jiwa pertahun (BNPB 2011). Hal ini dikarenakan letak Indonesia yang secara geologis berada di antara patahan-patahan utama dunia serta lingkar gunung api yang rentan bencana. Bencana ini harus disikapi dengan kesiapan pemerintah di berbagai sektor, mengingat potensi bencana di Indonesia masih sangat besar, terlebih lagi dengan fenomena pengaruh perubahan iklim global yang diyakini juga semakin berkontribusi terhadap terjadinya bencana (Witoelar 2010). Peristiwa bencana tersebut telah menyebabkan banyak korban yang meninggal dan juga yang selamat, hidup di tempat-tempat pengungsian. Melihat hal tersebut, pengungsi merupakan kelompok yang harus diperhatikan keselamatannya karena merupakan komunitas yang masih hidup. Penanganan pengungsi yang baik dapat mencegah bencana kemanusiaan lebih lanjut.

Kondisi di tempat pengungsian pascabencana seringkali serba terbatas terutama ketersediaan pangan. Hal ini mengakibatkan timbulnya masalah kesehatan dan gizi bagi para pengungsi. Sejauh ini penyediaan pangan bagi para pengungsi baik dari pemerintah maupun swasta belum dilakukan secara maksimal. Makanan yang diberikan biasanya dalam bentuk mi instan kurang efisien karena memerlukan waktu penyiapan; bentuk dodol seringkali dianggap bukan makanan pokok dan hanya sebagai camilan yang tidak mengenyangkan; roti atau cookies bar, seringkali tidak dimanfaatkan dengan baik oleh pengungsi karena memiliki nilai aw dan kadar air yang rendah sehingga menyebabkan rasa haus setelah

mengkonsumsinya. Padahal pada saat itu pasokan air bersih sangat terbatas (Syamsir 2008). Masyarakat lokal berargumen tidak biasa mengkonsumsi pangan-pangan darurat tersebut dan hanya menginginkan nasi dari beras yang sudah membudi-daya (way of life) dan merupakan makanan pokok mereka sejak dulu. Kata “makan” bagi sebagian besar masyarakat Indonesia juga seringkali diartikan sebagai makan nasi. Pengertian tersebut menjadikan masyarakat memiliki perasaan belum makan kalau belum memakan nasi walaupun sudah mengkonsumsi makanan lainnya (Hariyadi et al. 2006). Valentina (2009) telah berhasil mengembangkan nasi kaleng sebagai alternatif makanan untuk para pengungsi ketika terjadi bencana, namun produk ini memiliki kelemahan yaitu dalam hal akseptabilitasnya dan kemasan kaleng yang digunakan menyebabkannya menjadi kurang praktis terutama saat pendistribusian melalui udara atau pesawat.

Pangan darurat atau emergency food product (EFP) adalah produk pangan olahan yang dirancang khusus untuk dikonsumsi pada saat terjadi bencana atau kondisi yang menyebabkan manusia tidak dapat hidup secara normal. Produk pangan darurat ini diformulasikan sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan energi harian manusia dalam keadaan darurat yaitu 2100 kkal untuk orang dewasa (IOM 2002), dapat langsung dikonsumsi, kaya akan gizi dan disukai. Pangan darurat ini dapat menyediakan zat gizi yang


(5)

2

sesuai dengan asupan harian selama 15 hari, terhitung mulai terjadinya pengungsian (Zoumas

et al. 2002).

Pemerintah melalui Bulog telah memprogramkan penyediaan pangan darurat sebanyak 10 ribu ton. Bentuk pangan darurat yang diharapkan yaitu seperti nasi rames yaitu pangan dengan bahan dasar beras dan dikombinasikan dengan sayuran dan lauk pauk dan terbungkus daun pisang. Pangan ini bercita rasa khas dan sudah dikenal oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Dengan demikian, akseptabilitas produk diharapkan jauh lebih baik daripada EFP sejenis yang telah banyak dikembangkan di Indonesia maupun di luar negeri (Raswa 2006). Salah satu pangan yang memenuhi kriteria tersebut adalah buras. Buras adalah pangan tradisional Indonesia yang tersusun dari nasi dan lauk-pauk seperti daging, oncom, dan lainnya, biasanya berbentuk bar silinder, dan terbungkus daun pisang. Buras tergolong pangan sangat basah sehingga sangat potensial untuk dimodifikasi dan dikembangkan menjadi pangan darurat. Namun, buras memiliki kelemahan karena tergolong pangan tidak awet dengan umur simpan hanya 1 (satu) hari. Berdasarkan alasan di atas, perlu dikembangkan suatu pangan tradisional yaitu buras sebagai pangan darurat dan ditingkatkan umur simpannya. Teknologi yang saat ini dikembangkan untuk meningkatkan keawetan suatu bahan makanan terutama pangan berbasis beras dan daging seperti Meals Ready to Eat

(MREs), nasi dalam sup, rendang dalam kaleng dan lainnya, yaitu teknologi pengalengan, baik dengan maupun tanpa hurdle concept technology (Sampurno 2009).

Teknologi pengalengan (canning) merupakan salah satu metode pengawetan pangan dengan cara pemanasan pada suhu tinggi. Proses pengawetan disebabkan oleh pembunuhan mikroorganisme pembusuk dan patogen oleh panas dan pengemasan yang hermetis. Salah satu teknologi pengalengan yaitu pengemasan dalam retort pouch (RP). Teknologi retort yaitu teknologi pemasakan dengan menggunakan uap atau air superheated untuk pemasakan pangan yang telah terlebih dulu dikemas dalam retort pouch. Teknologi ini dapat digunakan untuk mengolah dan mengawetkan aneka produk pangan, bahkan campuran aneka pangan dalam suatu menu jika diperlukan (Hariyadi et al. 2006). Retort Pouch merupakan kemasan yang bersifat fleksibel dan tahan suhu sterilisasi. Keunggulan dari kemasan RP ini antara lain lebih praktis dibandingkan kaleng atau gelas jar, mudah dibuka, menghemat ruang penyimpanan serta mudah didistribusikan dari berbagai jalur terutama pada kondisi darurat. Selain itu produk yang dikemas relatif tidak mengalami overcooked dan nilai gizi produk tidak berkurang karena proses sterilisasi yang relatif singkat pada suhu tinggi (Winarno 2006).

Dengan berbagai alasan di atas, perlu dilakukan suatu penelitian untuk pembuatan produk pangan darurat berupa buras yang dimodifikasi agar zat gizinya memenuhi standar

Institute of Medicine (IOM) dimana produk ini dikemas dalam kemasan retort pouch yang fleksibel sehingga mudah didistribusikan baik melalui jalur darat, air, maupun udara. Dengan kombinasi bahan dan gizi yang lengkap, pengolahan yang baik, pengemasan, dan distribusi yang maksimal, nantinya akan tercipta suatu pangan darurat yang dapat memenuhi kebutuhan gizi para korban bencana selama mengungsi dengan karakteristik praktis, ready to eat, bergizi tinggi, tahan lama, dan yang utama yaitu memiliki akseptabilitas tinggi bagi masyarakat Indonesia.


(6)

3

B.

TUJUAN PENELITIAN

1. Melakukan formulasi produk pangan olahan berbasis beras (buras) yang sesuai untuk digunakan sebagai pangan darurat yang memenuhi kebutuhan gizi pengungsi dengan nilai kalori yang cukup (2100 kkal) per hari, memiliki karakteristik organoleptik yang dapat diterima, tahan lama, dan mudah didistribusikan.

2. Menentukan karakteristik proses termal optimum untuk menjamin keamanan produk pangan darurat yang dihasilkan.

3. Melakukan karakterisasi fisik, kimia, dan mikrobiologi produk pangan darurat yang dihasilkan serta uji penyimpanannya.

C.

MANFAAT PENELITIAN

Manfaat dari penelitian ini adalah menyediakan informasi mengenai pengolahan produk pangan darurat (emergency food product) yang siap santap (ready to eat) yaitu buras isi daging ayam bumbu dengan karakteristik fisik, kimia, mikrobiologis, dan mutu sensori yang baik dan diterima oleh masyarakat serta memenuhi syarat keamanan pangan.


(7)

4

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A.

PANGAN DARURAT (

EMERGENCY FOOD PRODUCT

)

Pangan darurat (Emergency Food Product/EFP) merupakan bentuk pangan yang dikonsumsi saat terjadi bencana, seperti kebakaran, banjir, kekeringan, wabah penyakit, maupun bencana akibat kesalahan manusia, seperti dalam kecelakaan industri. Pangan darurat (EFP) diproduksi untuk memenuhi kebutuhan energi harian yang direkomendasikan sebesar 2100 kkal. Pangan darurat harus dapat memenuhi kebutuhan gizi dari segala usia di atas 6 bulan, dapat digunakan sebagai sumber penghidupan hingga 15 hari, dapat diterima dari berbagai etnis dan budaya, serta dari berbagai latar belakang agama, mudah dikonsumsi tanpa persiapan khusus, minimal stabil hingga 3 tahun, dan penyalurannya dapat dilakukan baik dari pengiriman darat atau udara (IOM 2002).

Pangan darurat dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu produk pangan yang dirancang untuk kondisi, dimana air bersih dan bahan bakar untuk memasak masih tersedia, serta produk pangan yang dirancang untuk menghadapi situasi dimana air bersih tidak tersedia serta tidak bisa memasak. Pangan darurat untuk korban bencana, terutama yang bersifat siap santap, sampai saat ini belum dikembangkan di Indonesia tetapi sudah banyak berkembang untuk kepentingan tentara di lapangan (Syamsir 2008).

Terdapat lima karakteristik kritis keberhasilan dalam mengembangkan pangan darurat, yaitu; 1) Aman, 2) Memiliki kualitas yang dapat diterima oleh konsumen (penampakan, warna, rasa, aroma), 3) Mudah didistribusikan, 4) Mudah digunakan, dan 5) Gizi lengkap, Zoumas et al. (2002) menyampaikan bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan pangan darurat selama pengungsian, yaitu:

1. Konsumsi pangan darurat bagi wanita hamil sedang menyusui, diasumsikan lebih dari 2100 kkal untuk mendukung kebutuhan energi selama mengandung dan menyusui. 2. Pangan darurat tidak didesain untuk memenuhi kebutuhan energi atau gizi bagi orang

yang sedang hamil tetapi diharapkan dapat memenuhi kebutuhan energi wanita normal. 3. Pangan darurat tidak didesain untuk individu yang mengalami penyakit gizi buruk yang

membutuhkan perlakuan medis khusus.

4. Pangan darurat bukan Therapeutic Nutritional Supplement.

5. Pangan darurat bukan merupakan makanan substitusi untuk anak menyusui yang berusia dari 0-6 bulan.

6. Pangan darurat bukan dirancang untuk memenuhi seluruh kebutuhan dari young infants

(0-6 bulan), tetapi pangan darurat dapat dikombinasikan dengan air untuk menghasilkan nasi sebagai makanan pelengkap bagi older infants (7-12 bulan).

Pangan darurat memiliki karakteristik energi yaitu mengandung lemak 35-45% per 2100 kkal, dengan kadar air yang rendah. Minimal energi dari pangan darurat per 50 gram harus 233 kkal (McMahon et al. 2009). Komposisi lemak untuk pangan darurat harus didefinisikan secara rinci yaitu: total lemak harus menyumbang kalori pada interval 35-45% dari total energi, energi dari lemak jenuh paling sedikit harus 10% dari total energi, energi dari total PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acid) harus 7-10% dari total energi, dan perbandingan antara asam linoleat dengan linolenat harus 5:1 (McMahon et al. 2009). Standar gizi pangan darurat


(8)

5

yang dipakai merujuk pada Institute of Medicine (IOM) yaitu sebesar 2100 kkal dengan komponen makronutrien dan mikronutrien seperti terdapat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan gizi produk pangan darurat

Zat gizi Rentang Usia Jumlah Minimum Densitas Gizi per

1000 kkal a

Lemak - -

Protein b - -

Karbohidrat - -

Natrium c 2-5 tahun, anak-anak 1.3 gram

Kalium c 2-5 tahun, anak-anak 1.7 gram

Klor c 2-5 tahun, anak-anak 2.0 gram

Kalsium 9-13 tahun, anak-anak 768 mg

Fosfor 9-13 tahun, anak-anak 740 mg

Magnesium 14-18 tahun, laki-laki 190 mg

Kromium - 13 µg d

Tembaga 51 tahun ke atas, perempuan 560 µg d

Iodine 1-3 tahun, anak-anak 105 µg d

Mangan 1-3 tahun, anak-anak 1.4 mg

Besi e 19-50 tahun, perempuan 16 mg d

Selenium 14-18 tahun, perempuan 28 µg d

Seng 14-18 tahun, laki-laki 10.5 mg d

Vitamin A 14-18 tahun, laki-laki 500 µg d

Vitamin D 51-70 tahun, perempuan 5.2 µg d

Vitamin E 14-18 tahun, perempuan 16 mg d

Vitamin K 19-50 tahun, laki-laki 60 µg

Vitamin C 51 tahun ke atas, laki-laki 100 mg d

Thiamin 1-3 tahun, anak-anak 12 mg d

Riboflavin 14-18 tahun, laki-laki 1.2 mg d

Niasin 14-18 tahun, laki-laki 11.2 mg d

Vitamin B6 51 tahun ke atas, perempuan 1.2 mg d

Folat 14-18 tahun, perempuan 310 µg d

Vitamin B12 14-18 tahun, perempuan 12 µg d

As Pantotenat 14-18 tahun, perempuan 3.9 mg d

Biotin 51 tahun ke atas, perempuan 24 µg d

Kolin 51 tahun ke atas, laki-laki 366 mg d

a rasio yang dibuat pada jumlah energi 2100 kkal/hari (IOM 1995) b,c berdasarkan berat IOM (1995), nilai berdasarkan desirable intake d,e diadopsi dari nilai densitas gizi, berdasarkan nilai bioavailabilitas dari besi


(9)

6

Kebutuhan energi lainnnya akan dipenuhi dari protein dan karbohidrat. Saat proses pembuatan pangan darurat tidak boleh dilakukan suplementasi asam amino, karena dapat mengakibatkan perubahan rasa, meningkatkan biaya produksi, dan dapat mengakibatkan ketidakseimbangan jumlah akibat salah perhitungan premixing, karena kadar protein di dalam pangan darurat 10%-15% dari total keseluruhan sumber energi (Briend & Golden 1993). Karbohidrat merupakan salah satu sumber energi utama pada produk pangan darurat selain lemak dan protein. Karbohidrat memiliki beberapa fungsi dalam penyusunan pangan darurat, yaitu sebagai sumber energi, memberi rasa manis, menghasilkan sifat-sifat fisik yang diinginkan pada produk, dan juga berperan dalam penyerapan natrium (Na) untuk mempertahankan keseimbangan elektrolit tubuh.

Konsumsi pangan darurat yang diatur oleh Institut Medis didasarkan pada perhitungan kebutuhan energi rata-rata per kepala untuk pangan darurat (IOM 1995). IOM mendeskripsikan kebutuhan energi sesuai dengan usia, jenis kelamin, berat badan, dan rasio metabolisme basal (BMR). Perhitungan kebutuhan gizi ini dibuat berdasarkan penelitian pada warga Amerika Serikat (IOM 1995).

B.

RETORT POUCH

(RP)

Teknologi retort yaitu teknologi pemasakan dengan menggunakan uap atau air superheated untuk pemasakan pangan yang telah terlebih dulu dikemas, banyak digunakan untuk menyiapkan Meal Raeady to Eat (MRE). Teknologi ini dapat digunakan untuk mengolah dan mengawetkan aneka produk pangan, bahkan campuran aneka pangan dalam suatu menu jika diperlukan. Dengan sedikit imajinasi, teknologi retort bisa digunakan untuk menghasilkan MRE dengan mudah. Retort pouch (RP) merupakan kemasan yang bersifat fleksibel dan tahan suhu sterilisasi. RP ini umumnya terdiri dari tiga lapisan, lapisan bagian luar yaitu Poliester trephtalat yang dapat dicetak untuk menghasilkan tampilan yang lebih menarik dan mempunyai daya simpan mirip kemasan lain (gelas jar dan kaleng). Alumunium pada bagian tengah RP, yang mempunyai daya penahan terhadap cahaya, gas dan air, oksigen serta mikroorganisme sehingga dapat menentukan kestabilan bahan pangan. Bagian terdalam yang terdiri dari modified propilen mempunyai kemampuan kelim yang baik, bersifat adhesif terhadap lapisan diatasnya dan bersifat inert (Blakiestone 2003). Keunggulan dari kemasan RP ini antara lain lebih praktis dibandingkan kaleng dan gelas jar, mudah dibuka, menghemat ruang penyimpanan, serta mudah didistribusikan terutama pada kondisi darurat. Selain itu, produk yang dikemas relatif tidak mengalami overcooked dan nilai gizi produk relatif sedikit pengurangannya (Brody 2003). Kemasan ini relatif tipis sehingga proses sterilisasinya hanya sekitar 30-50% dari kebutuhan total untuk produk dalam kaleng (Sampurno 2009).

Pada pengisisan produk, harus diperhatikan proses pengemasan produk dalam RP. Pengisian jumlah bahan kedalam kemasan harus seragam untuk mempertahankan keseragaman rongga udara (headspace) dan memperoleh produk yang konsisten (USDA 2011). Penghampaan udara dilakukan untuk mengurangi tekanan dalam kemasan selama pemanasan. Kondisi vakum diperoleh secara manual dengan pengisisan produk kedalam kemasan dengan suhu awal yang tinggi dan segera dikelim pada headspace tertentu (USDA 2011). Headspace kemasan RP harus diperhitungkan dengan baik karena RP merupakan kemasan yang fleksibel. Headspace yang kecil akan menyebabkan pecahnya kemasan karena selama proses sterilisasi tekanan kemasan akan mengembang (Blakiestone 2003).


(10)

7

Winarno (2006) selanjutnya menyebutkan keunggulan lain dari retort pouch, yaitu sangat efektif dalam melindungi bahan pangan dari penetrasi gas maupun masuknya sinar ultraviolet. Kemasan ini dapat digunakan untuk mengemas bahan pangan yang mengandung lemak dan minyak. Untuk sayuran umumnya digunakan retort pouch yang tidak dilaminasi alumunium foil, baik dua lapis maupun tiga lapis plastik dengan umur simpan sampai 6 bulan (suhu diatas 400C), 3 tahun pada suhu ruang, dan sampai 5 tahun pada lemari pendingin (Sampurno 2009). Kemasan retort pouch dapat dibuat dalam bentuk tembus pandang yang biasanya terdiri dari dua lapis, yaitu lapisan nilon dan polipropilen (Winarno 2006). Kemasan

retort pouch dan salah satu model retort pouch chamber ditampilkan pada Gambar 1.

Sumber: www.packworld.com

(a) (b)

Gambar 1. (a) Kemasan retort pouch dan (b) Alat retort pouch chamber

C.

PENGALENGAN PANGAN DAN STERILISASI KOMERSIAL PADA

RETORT POUCH

Teknologi pengalengan (canning) merupakan salah satu metode pengawetan pangan dengan cara pemanasan pada suhu tinggi. Proses pengawetan terjadi disebabkan adanya pembunuhan mikroorganisme pembusuk dan patogen oleh panas. Pemanasan basah (uap) lebih efektif dibandingkan pemansan kering (Kim & Foegeding 1999). Pengertian pengalengan bukan hanya terbatas pada proses pengalengan konvensional menggunakan kemasan kaleng, tetapi dapat juga menggunakan kemasan non-kaleng, seperti retort pouch,

tetrapack®, kaleng alumunium, glass jar, kemasan plastik, dan sebagainya. Syarat utama wadah yang dapat digunakan untuk pengalengan pangan adalah tertutup rapat, tidak dapat dimasuki udara, uap air, ataupun mikroba (Hariyadi et al. 2006).

Istilah sterilisasi komersial digunakan pada proses sterilisasi produk pangan karena kondisi steril absolut (kondisi bebas mikroba) sulit dicapai (Hariyadi 2000). Sterilisasi komersial merupakan suatu kondisi yang diperoleh dari pengolahan pangan dengan menggunakan suhu tinggi dalam periode waktu yang cukup lama sehingga tidak lagi terdapat mikroorganisme yang hidup. Pemanasan dalam proses sterilisasi ini dilakukan pada suhu di atas 100oC dalam waktu yang cukup untuk membunuh spora bakteri (Hariyadi et al. 2006).


(11)

8

Sterilisasi komersial biasa dilakukan terhadap sebagian besar makanan dalam kaleng, plastik, atau botol. Makanan yang steril secara komersial berarti semua mikroba penyebab penyakit dan pembentuk racun (toksik) dalam makanan tersebut telah dimatikan, demikian juga semua mikroba pembusuk. Spora bakteri nonpatogen yang tahan panas mungkin saja masih ada di dalam makanan setelah proses pemanasan, tetapi bersifat dorman (tidak dalam kondisi aktif bereproduksi), sehingga keberadaannya tidak membahayakan jika produk tersebut disimpan dalam kondisi normal (Hariyadi et al. 2006).

Tabel 2. Ketahanan panas beberapa bakteri (Hariyadi et al. 2006)

Golongan Bakteri Katahanan Panas

D (menit) Z (0F)

Bahan Pangan Asam Rendah (pH>4.5) D121.1 0

C

Termofilik (spora)

Golongan flat sour (B. sterarothermophilus) 4.00 – 5.00 14 - 22

Golongan pembusuk/produksi gas

(C. Thermosaccharolitycum) 3.00 – 4.00 16 – 22

Golongan pembentuk H2S (C. nigrificans) 2.00 – 3.00 16 – 22

Mesofilik

Putrefaktif anaerob (C. sporongenes) 0.10 – 1.50 14 – 18

C. botulinum 0.10 – 0.21 14 – 18

C. sporogenes 1.50 11

B. subtilis 0.40 7

Bahan Pangan Asam (pH = 4.0 – 4.5) D1000C Termofilik (spora)

B. coagulans 0.01 – 0.07 14 – 18

Mesofilik

B. polymixa dan B. macerans 0.10 – 0.50 12 – 16

C. pasteurianum 0.10 – 0.50 12 – 16

Bahan Pangan Asam Tinggi (pH < 4.0) D650C

Lactobacillus sp. Leuconostoc sp Mycobacterium tuberculosis Brucella spp. Coxiella burnetti Salmonella spp. Salmonella seftenberg Stapylococcus aureus Streptococcus pyrogenes

Mikroorganisme pembusuk (sel vegetatif. kapang. khamir)

0.50 – 1.00 0.20 – 0.30 0.10 – 0.20 0.50 – 0.60 0.03 – 0.25 0.80 – 1.00 0.20 – 2.00 0.30 – 2.00 0.50 – 3.00

8 - 10 4.4 – 5.5 4.4 – 4.5 4.4 – 5.5 4.4 – 5.5 4.4 – 6.7 4.4 – 6.7 4.4 – 6.7 4.4 – 6.7

Makanan-makanan yang steril komersial biasanya mempunyai daya awet dan daya simpan yang tinggi, tahan beberapa bulan sampai beberapa tahun. Kondisi proses sterilisasi komersial sangat bergantung pada berbagai faktor, atara lain kondisi produk pangan yang disterilisasi (nilai pH, jumlah mikroba awal, dan lain-lain), jenis dan ketahanan panas mikroba yang ada dalam bahan pangan, karakteristik pindah panas pada bahan pangan dan


(12)

9

wadah yang digunakan, medium pemanas, serta kondisi penyimpanan setelah disterilisasi (Fellows 2000).

Ketahanan bakteri terhadap proses pemanasan umumnya dinyatakan dengan istilah nilai D dan nilai Z. Nilai D adalah waktu (menit) yang dibutuhkan untuk memusnahkan 90% dari populasi bakteri dalam suatu medium termasuk bahan pangan pada suhu tetap yang tertentu. Nilai Z adalah selang suhu (0F) terjadinya penambahan atau pengurangan organisme atau spora sepuluh kali lipat dalam waktu yang dibutuhkan untuk menurunkan 90% organisme atau spora atau pembinasaan seluruhnya (Singh & Heldman 2009). Sel vegetatif bakteri termasuk bakteri pembentuk spora, kapang, dan khamir pada umumnya memiliki nilai D berkisar 0.5-3 menit pada suhu 65oC. Nilai Z untuk sel vegetatif bakteri, kapang, dan khamir berkisar 5-8oC, dan nilai Z untuk bakteri pembentuk spora adalah berkisar 6-16oC (Garbutt 1997). Pada suhu 121oC, nilai D bakteri pembentuk spora, kapang, dan khamir berkisar antara 0-5 menit (Kusnandar et al. 2006). Nilai D dan nilai Z beberapa jenis mikroba yang umum tumbuh pada produk pangan secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 2 .

D.

KECUKUPAN PROSES TERMAL

1.

Penetrasi Panas

Penetrasi panas kedalam bahan pangan yang dikemas dapat berlangsung secara konduksi, konveksi, dan gabungan antara konduksi dan konveksi. Ketika bahan pangan tersebut ditempatkan dalam retort maka pindah panas akan terjadi secara konduksi ke dalam kemasan, kemudian dari kemasan ke bahan yang dikalengkan pindah panas terjadi secara konduksi atau konveksi tergantung jenis bahan pangannya. Untuk makanan yang berbentuk jus, penetrasi panas terjadi secara konveksi cepat; produk yang berbentuk irisan-irisan kecil dalam larutan perendam, penetrasi panas terjadi secara konveksi lambat; sedangkan produk yang berbentuk padat penetrasi terjadi secara konduksi (Hariyadi et al. 2006). Pemanasan konduksi makanan dalam kemasan retort pouch

memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk mencapai kondisi proses yang diinginkan dibandingkan jika dikemas dalam kaleng atau gelas jar (Christianini & Massaguer 2002). Pengukuran penetrasi makanan dalam makanan kaleng dapat dilakukan dengan menggunakan termokopel. Termokopel terbentuk bila dua kawat logam yang berbeda disambung menjadi satu pada ujung-ujungnya. Bila ujung-ujung kawat ditempatkan pada suhu yang berbeda, maka akan timbul suatu tegangan terukur yang besarnya sebanding dengan perbedaan suhu antara kedua ujung atau simpul termokopel. Dengan merangkainya pada suatu alat pengukur yang sesuai (potensiometer) pada termokopel, dan perubahan suhu di dalam kemasan yang dipanaskan di dalam retort dicatat pada rekorder (Winarno 2006).

Semua titik di dalam suatu kemasan yang dipanaskan tidak berada pada suhu yang sama. Daerah pemanasan yang terdingin disebut titik dingin suatu kemasan, dan merupakan posisi yang sukar untuk disterilisasi sebab kurang mendapat pemanasan. Pada produk-produk yang penetrasi panasnya secara konveksi, titik terdingin terletak pada sumbu vertikal di dekat dasar kemasan. Produk yang penetrasi panasnya secara konduksi mempunyai titik terdingin terletak dibagian pusat kemasan pada sumbu vertikal (Hariyadi


(13)

10

2.

Perhitungan Kecukupan Panas Proses

Kecukupan proses termal sangat bergantung pada kondisi alami produk, pH, mikroorganisme atau enzim yang resisten, sensitivitas produk, dan tipe aplikasi panas yang digunakan (Fellows 2000). Laju penurunan jumlah mikroba oleh panas hingga level yang aman mengikuti orde satu atau menurun secara logaritmik. Secara matematis. penurunan jumlah mikroba atau siklus logaritma penurunan mikroba (S) dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut:

S = Log [No/Nt]

dimana Nt adalah jumlah populasi mikroba setalah proses termal t menit dan No adalah jumlah mikroba awal sebelum proses termal dilakukan.

Menurut Toledo (2007), pemusnahan semua flora dan sel vegetatif dari C. botulinum merupakan persyaratan keamanan minimum untuk pangan berasam rendah yang dikalengkan. Proses sterilisasi minimun yang harus dilakukan untuk menjamin pemusnahan C. botulinum menggunakan konsep 12D. Arti dari konsep 12D adalah proses termal yang dilakukan dapat mengurangi mikroba sebesar 12 siklus logaritma atau F = 12D (Hariyadi et al. 2006).

Kecukupan proses termal untuk membunuh mikroba target hingga pada level yang diinginkan dinyatakan dengan nilai Fo. Secara umum nilai Fo didefinisikan sebagai waktu (biasanya dalam menit) yang dibutuhkan untuk membunuh mikroba target hingga mencapai level tertentu pada suhu tertentu. Nilai Fo biasanya menyatakan waktu proses pada suhu standar. Secara matematis, nilai Fo merupakan hasil perkalian antara Do pada suhu standar dengan jumlah logaritmik (S) yang diinginkan dalam proses. Nilai Do harus dinyatakan juga pada suhu standar yang sama.

Data hasil pengukuran penetrasi panas perlu diolah dengan tujuan menentukan nilai sterilitas (Fo) dari proses yang dilakukan. Menurut Winarno (2006), ada dua metode untuk menganalisis data penetrasi panas, yaitu metode umum (improved general method) dan metode formula (Ball). Dengan membandingkan nilai Fo pada desain proses termal yang dilakukan dengan nilai Fo pada suhu standar, maka dapat ditentukan apakah proses termal yang diterapkan sudah memenuhi kecukupan proses panas atau belum. Apabila nilai Fo proses yang diperoleh dari hasil pengukuran penetrasi panas lebih besar dari nilai Fo standar maka proses termal yang dilakukan telah mencukupi. Sedangkan apabila nilai Fo proses kurang dari Fo standar, proses termal belum mencukupi (underprocess) (Hariyadi et al. 2006).

Metode umum biasanya digunakan untuk evaluasi proses panas yang telah dilakukan. Menurut Toledo (2007), letalitas proses ditentukan dengan integral nilai letalitas (L) menggunakan data suhu terhadap waktu proses, yang dirumuskan sebagai berikut:

Fo = ∫

Efek letalitas dari proses pemanasan bahan selama proses termal akan berbeda pada suhu yang berbeda. Pada kenyataanya, dalam proses termal suhu akan berubah selama waktu pemanasan maupun pendinginan dan masing-masing suhu tersebut


(14)

11

berkontribusi dalam pembunuhan mikroorganisme. Efek letalitas pada suhu tertentu dibandingkan suhu standar disebut nilai LR (Lethal Rate) atau LV (Lethal Value). Nilai LR suatu proses sterilisasi dapat dihitung dengan mengonversi waktu proses pada suhu-suhu tertentu ke waktu ekivalen pada suhu-suhu standar. Secara matematis, nilai LR dihitung dengan persamaan berikut:

LR = 10 [(T – 250)/Z] atau LR = 10 [(T – 121.1)/Z]

LR tidak memiliki satuan. Nilai LR pada suhu standar (2500F) adalah 1. Pada suhu yang lebih tinggi dari suhu standar, maka nilai LR lebih besar dari satu, sedangkan pada suhu dibawah suhu standar, nilai LR lebih kecil dari satu. Nilai letalitas umumnya memberikan nilai yang nyata pada suhu diatas 900C. Menurut Hariyadi et al. (2006), untuk menghitung nilai F pada suhu lain (bukan suhu standar) dapat digunakan rumus sebagai berikut:

FT = Fo/LRT

Sedangkan untuk metode formula (Ball) didasarkan pada tabulasi nilai untuk letalitas yang diekspresikan dalam parameter fh/U (Toledo 2007). Nilai ini sudah dikalkulasikan sebelumnya untuk berbagai macam kondisi pemanasan dan pendinginan saat perbedaan suhu proses aktual dengan suhu yang ingin dicapai diekspresikan sebagai nilai g. Persamaan kurva penetrasi panas untuk metode formula adalah sebagai berikut:

tB = fh (log jh.ih – log g)

tP = tB– 0.42 CUT

Keterangan:

E.

BURAS SEBAGAI PANGAN TRADISIONAL

Pangan tradisional adalah makanan atau minuman, termasuk jajanan serta bahan campuran yang dikonsumsi dan digunakan secara tradisional serta telah berkembang secara spesifik di daerah atau masyarakat Indonesia (Widowati 2004). Biasanya pangan tradisional tB = waktu proses yang belum dikoreksi dengan waktu untuk memanaskan retort

sampai mencapai suhu proses (menit)

fh = waktu yang diperlukan bagian garis lurus kurva semilogaritma pemanasan untuk bergerak sebanyak satu siklus log (menit)

Jh = faktor kelambatan (lag factor)

Ih = perbedaan suhu retort dengan suhu awal bahan (0F)

g = perbedaan antara suhu retort dengan suhu maksimum yang dicapai bahan pangan dalam kemasan pada titik tertentu (0F)

tP = waktu operator yang telah dikoreksi dengan waktu untuk memanaskan retort

sampai mencapai suhu proses (menit)

CUT = Come up time yaitu waktu yang diperlukan sejak medium pemanas dialirkan sampai retort mencapai suhu retort yang diinginkan (menit)


(15)

12

diolah dari resep yang sudah dikenal masyarakat setempat dengan bahan yang diperoleh dari sumber lokal dan memiliki citarasa yang sesuai dengan masyarakat setempat (Widowati 2004). Salah satu makanan tradisional yang dikenal masyarakat dan masih dipertahankan keberadaanya hingga saat ini adalah buras.

Buras merupakan pangan tradisional yang terbuat dari beras non ketan dengan atau tanpa isi. Isi yang digunakan biasanya berupa oncom, orek tempe, sayur, maupun daging. Di provinsi Sulawesi Selatan, buras dikenal sebagai makanan yang terbuat dari beras dan santan yang kemudian dibungkus daun pisang atau kelapa (janur) serta biasanya tanpa isi. Cara pengolahannya yaitu dengan pengukusan dan disajikan dengan sambal poyah. Sedangkan di Jawa Tengah (Jawa), makanan sejenis buras lebih dikenal dengan nama „Arem-arem‟. Berbeda dengan buras, arem-arem memiliki memiliki isi. Di Jawa Barat (Sunda), makanan tradisional serupa lebih dikenal dengan nama buras meskipun memiliki isi (Anonim 2010).

Selain itu, juga dikenal „Doclang‟ yakni makanan khas tradisional Bogor yang masih bertahan sejak zaman dulu hingga saat ini. Isi dari doclang yakni terdiri atas irisan lontong ukuran besar yang dibungkus daun patat, kentang, tahu, kerupuk, dan telur rebus. Berbagai bahan ini kemudian disiram bumbu kacang yang dicampur aneka macam rempah dan sedikit pedas. Kemudian, bahan-bahan tersebut ditambah kecap secukupnya, dan sambal bagi yang suka pedas (Anonim 2010).

Pangan tradisional lain sejenis buras namun terbuat dari beras ketan dan isi yaitu lemper. Pangan ini masih sangat digemari dan masih banyak dijual di pasaran. Bahkan lemper masih sering dijumpai sebagai hidangan pada acara-acara besar seperti hari-hari besar keagamaan, acara hajatan, syukuran, dan di pasar-pasar tradisional. Lemper terbuat dari beras ketan dan biasanya berisi abon atau suwiran daging ayam dan dibungkus dengan daun pisang. Pembuatan lemper mencangkup persiapan daging ayam dan pengukusan tepung ketan (biasanya dengan santan kelapa). Selanjutnya, daging ayam yang sudah disuwir-suwir atau abon dibungkus dengan ketan yang sudah diaron. Lalu ketan yang sudah dibentuk dibungkus lagi dengan daun pisang. Baru selanjutnya dikukus (Valentina 2009). Terdapat variasi dari Lemper, yang menggunakan pembungkus bukan daun pisang tetapi krep (crepe) yang dikenal sebagai „Semar Mendem‟ (Anonim 2010). Foto berbagai pangan tradisional yang dijadikan acuan, dapat dilihat pada Gambar 2.

(a) (b) (c) (d)

Sumber: Wikipedia.com (2010)

Gambar 2. Produk-produk penganan tradisional Indonesia yang digunakan sebagai acuan formulasi EFP, diantaranya: a) Lemper; b) Arem-arem (khas Jawa); c) Buras khas Sulawesi Selatan; d) Doclang khas Bogor


(16)

13

F.

BERAS

Tanaman padi (Oryza sativa L.) diduga berasal dari Asia. Terdapat sekitar 20.000 varietas padi di dunia (Haryadi 2008). Beras merupakan hasil proses pasca panen dari tanaman padi, yaitu setelah tangkai dan kulit malainya dilepaskan dan digiling. Beberapa negara di dunia, beras merupakan komponen yang penting dalam makanan sehari-hari. Beras, yang termasuk dalam golongan Porceae gramnae ini, sudah dikonsumsi manusia selama paling sedikit 5000 tahun. Sampai saat ini, sebanyak 75% masukan kalori harian masyarakat negara-negara di Asia berasal dari beras (Bao & Bergman 2004).

Di Indonesia sendiri, produksi beras tahun 2005-2010 terus mengalami peningkatan (Tabel 3). Produksi beras mendapat prioritas dibandingkan produk pangan non beras karena potensi produksinya yang besar dalam jangka pendek dan sangat pentingnya peranan beras dalam perekonomian Indonesia (BPS 2011).

Tabel 3. Produksi beras di Indonesia tahun 2005-2010 (BPS 2011)

Tahun Area (Ha) Produktivitas

(Kw/Ha)

Produksi (Ton)

2005 11.839.060 45.36 54.151.097

2006 11.786.430 46.20 54.454.937

2007 12.147.637 47.05 57.157.435

2008 12.327.425 48.94 60.325.925

2009 12.883.576 49.99 64.398.890

2010 13.253.450 50.15 66.469.344

1.

Struktur Beras

Biji padi atau gabah terdiri atas dua penyusun utama, yaitu 72-82% bagian yang dapat dimakan atau kariopsis (disebut beras pecah kulit atau brown rice) dan 18-28% kulit gabah atau sekam. Kariopsis tersusun dari 1-2% perikarp, 4-6% aleuron dan testa, 2-3% lemma (sekam kelopak), dan 89-94% endosperm (Haryadi 2008). Gambar 3 menunjukkan potongan longitudinal gabah.

Sumber: www.teksengmill.com


(17)

14

Menurut Haryadi (2008), pada proses penggilingan gabah, kulit atau sekam dipisahkan. Dari penggilingan gabah, dihasilkan biji beras atau disebut beras pecah kulit. Beras ini jarang langsung digunakan untuk konsumsi tetapi perlu penyosohan terlebih dahulu. Pada penyosohan beras pecah kulit akan diperoleh beras giling dan dedak yang berasal dari lapisan perikarp, aleuron, dan sebagian endosperm bagian luar. Lapisan aleuron adalah lapisan dalam dari lapisan nucellus yang membungkus endosperm dan lembaga. Pada saat beras pecah kulit disosoh, kulit ari dan lembaga terpisahkan yang berarti juga kehilangan protein, lemak, vitamin, dan mineral yang lebih banyak terdapat pada bagian luar tersebut.

Beras ketan (Oryza sativa glutinosa) merupakan salah satu varietas dari padi. Beras ketan memiliki butir pati berwarna gelap dan lunak, sedangkan beras biasanya butir patinya seperti pecahan kaca dan keras. Beras ketan biasanya dibedakan dengan beras berdasarkan perbedaan kandungan amilosa dan amilopektinnya (Legowo 1984).

2.

Sifat Kimia Beras

Beras sebagai bahan pangan disusun oleh pati, protein, dan unsur lain seperti lemak, serat kasar, mineral, vitamin, dan air. Menurut Juliano (1980), bagian gabah yang dapat dimakan adalah kariopsis yang terdiri dari 75% karbohidrat dan 8% protein pada kadar air 14%. Bagian endosperm atau bagian gabah yang diperoleh setelah penggilingan yang kemudian disebut beras giling yang mengandung 78% karbohidrat dan 7% protein. Penyusun-penyusun tersebut tidak tersebar merata pada seluruh bagian beras. Lapisan terluar beras (aleuron dan lembaga) kaya akan komponen nonpati seperti protein, lemak, serat, abu, pentosa, dan lignin, sedangkan bagian endosperm kaya akan pati. Dengan kata lain, komponen terbesar beras adalah pati sehingga ciri-ciri inderawi utama khususnya tekstur ditentukan oleh sifat dan perilaku pati. Komposisi kimia lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Komposisi kimia beras pecah kulit, beras sosoh, dan beras ketan (USDA 2010)

Komposisi Beras Pecah Kulit Beras Sosoh Beras Ketanb

Kadar Air (%) 14.00 14.00 12.00

Kalori (kkal/100 g) 352.00 354.00 362.00

Protein (g/100 g) 7.50 6.61 6.70

Lemak (g/100 g) 2.68 0.58 0.70

Karbohidrat (g/100 g) 76.17 79.34 79.40

Serat Kasar (g/100 g) 0.70a 0.40a 2.80

Abu (g/100 g) 1.27 0.58 0.49

Kalsium (mg/100 g) 33.00 9.00 12.00

Fosfor (mg/100 g) 264.00 108.00 148.00

Riboflavin (mg/100 g) 0.07 0.05 0.06

Besi (mg/100 g) 1.80 0.80 0.80

Thiamin (mg/100 g) 0.41 0.07 0.16

Niacin (mg/100 g) 4.30 1.60 2.15

Keterangan: aJuliano 1980, bDirektorat Gizi DepKes RI (1993)

Menurut Winarno (1993), pati merupakan nonpolimer glukosa dengan ikatan α -glukosidik. Pati terdiri atas dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi


(18)

15

terlarut adalah amilosa sedangkan fraksi tidak larut adalah amilopektin. Kadar amilosa beras beragam tergantung varietas beras, dapat berkisar antara 7-37% dari berat kering atau 8-37% dari berat pati yang terkandung. Beras dengan varietas yang sama dapat mengandung amilosa yang beragam hingga 6%, misalnya beras PB 8 mempunyai kadar amilosa 27-33.5%.

Berdasar kadar amilosanya, beras dapat dikelompokkan menjadi beras beramilosa rendah, yaitu kadar amilosanya 10-20%; beras beramilosa sedang, yaitu mengandung 20-25% amilosa; dan beras beramilosa tinggi, yang lazim disebut “beras keras” mengandung amilosa 25-33% (Haryadi 2008). Perbandingan berat amilopektin dan amilosa dalam beras merupakan faktor repenting dalam penentuan mutu rasa dan tekstur nasi. Makin tinggi kadar amilosa, volume nasi yang diperoleh makin besar tanpa kecenderungan mengempis karena amilosa mempunyai kemampuan retrogradasi yang lebih besar. Beras ketan adalah beras yang mengandung sedikit amilosa yaitu kira-kira 1-2%, sedangkan beras biasa mengandung 12-37% amilosa. Kandungan amilopektin pada beras ketan sangat tinggi yaitu 76-77% (Legowo 1984).

Beras mengandung lipid yang terutama terdapat dalam lembaga dan lapisan aleuron yang terkumpul dalam bentuk bulatan-bulatan kecil lipida atau sferosom. Kadar lemak beras pecah kulit adalah 2.4-3.9% dan 0.3-0.6% pada beras giling. Lipida terdapat dalam bentuk asam lemak bebas atau lipida polar. Varietas beras yang berbeda menunjukkan kandungan lipida berbeda pula. Perbandingan berat antara lipida netral (trigliserida) dan lipida polar (asam lemak bebas) pada endosperm adalah 49:51 dan pada pati 37:63. Asam lemak utama dalam lipida beras meliputi asam palmitat, oleat, dan linoleat. Pada endosperm, lipida terutama berikatan dengan bulatan-bulatan kecil protein sedangkan lipida dalam bentuk hasil hidrolisis berikatan kuat dengan fraksi amilosa pada pati (Juliano 1980). Gabah mengandung dua protein utama. yaitu glutelin (mudah dicerna) dan prolamine (sulit dicerna). Karena kesulitan dalam mencerna prolamine, maka beras tidak dianjurkan bagi orang yang memiliki gangguan ginjal.

3.

Sifat Fisikokimia Beras

Sifat-sifat fisikokimia sangat menentukan mutu tanak dan mutu rasa nasi yang dihasilkan. Lebih khusus lagi, mutu ditentukan oleh kandungan amilosa, kandungan protein, dan kandungan lemak. Pengaruh lemak terutama muncul setelah gabah atau beras disimpan. Kerusakan lemak mengakibatkan penurunan mutu beras (Haryadi 2008). Selain kandungan amilosa dan kandungan protein, sifat fisikokimia beras yang berkaitan dengan mutu beras adalah sifat yang berkaitan dengan perubahan karena pemanasan dengan air, yaitu suhu gelatinisasi pati, pengembangan volume, penyerapan air, viskositas pasta, dan konsistensi gel pati. Sifat-sifat tersebut tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan bekerja sama dan saling berpengaruh menentukan mutu beras, mutu tanak, dan mutu rasa nasi (Haryadi 2008).

Kandungan amilosa berkorelasi positif dengan aroma nasi dan berkorelasi negatif dengan tingkat kelunakan, kelekatan, warna, dan kilap. Sifat-sifat tersebut berkorelasi kebalikan dengan kandungan amilopektin. Rasio antara kandungan amilosa dengan kandungan amilopektin merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan mutu tekstur nasi, baik dalam keadaan masih hangat maupun sudah dingin sampai dengan suhu kamar (Haryadi 2008). Kandungan amilopektin yang tinggi pada beras ketan


(19)

16

menyebabkan apabila dimasak karakteristiknya mempunyai sifat sangat mengkilap, sangat lekat dan kerapatan antar butir nasinya tinggi sehingga volume nasinya sangat kecil (Legowo 1984).

Protein berpengaruh terhadap lama waktu penanakan, warna, rasa, dan aroma nasi. serta mempengaruhi kemampuan penyerapan air. Selanjutnya dikemukakan bahwa beras yang mengandung protein lebih tinggi memerlukan lebih banyak air dan lebih waktu penanakan. Hal ini berkaitan dengan struktur biji, yaitu granula pati diselubungi oleh lapisan protein sehingga protein menghalangi penyerapan air oleh granula pati dan mengakibatkan lebih lamanya waktu yang diperlukan untuk penanakan agar gelatinisasi dapat berlangsung sempurna. Selain itu, beras yang mengandung protein tinggi menghasilkan nasi yang berwarna krem dan aromanya kurang enak (Haryadi 2008). Pada beras ketan terdapat protein yang disebut oryzenin (Juliano 1980). Kandungan senyawa lain seperti vitamin dan mineral-mineral pada beras sangat sedikit termasuk beras ketan.

4.

Pengaruh Proses Pemanasan terhadap Karakteristik Sensori Nasi

Nasi merupakan makanan pokok sebagian warga dunia yang diolah dari beras. Masyarakat Indonesia pada umumnya memiliki budaya konsumsi nasi yang sangat kuat terlihat dari tingginya angka konsumsi beras perkapita pertahun yang mencapai 135 kg/kapita/tahun (Hariyadi et al. 2006). Pemanfaatan nasi sebagai bahan utama pembuatan makanan darurat dinilai tepat karena nasi memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi, sehingga berkontribusi baik terhadap pemenuhan kalori. Selain itu, nasi juga disukai oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia dan sehingga tidak diperlukan tahap introduksi untuk mengajak masyarakat mengonsumsi nasi.

Kualitas nasi sangat dipengaruhi oleh pemasakan dan kandungan gizi (Dong et al. 2007). Pengolahan beras menjadi nasi biasanya dilakukan dengan cara dikukus maupun direbus. Ketika dipanaskan dengan air beras akan terjadi pengembangan akibat penyerapan air oleh granula pati. Ketika mencapai suatu suhu kritis, beras akan mulai mengalami proses gelatinisasi yang ditandai dengan pelarutan pati dan hilangnya sifat

birefringence. Suhu pada saat pati mulai mengembang karena dipanaskan dengan air dinamakan suhu gelatinisasi. Suhu gelatinisasi untuk beras berkisar antara 58-79o C (Hariyadi et al. 2006).

Pengembangan granula selama gelatinisasi juga dipengaruhi oleh komponen amilosa dan amilopektin pati. Amilopektin memiliki kemampuan mengembang dan mempertahankan air yang lebih besar daripada amilosa. Adanya amilosa dalam granula pati dalam jumlah besar akan menghambat proses pengembangan granula (Bao & Bergman 2004). Perilaku pati akibat pemanasan dan rasio amilosa dan amilopektin yang terkandung pada pati beras akan sangat memengaruhi kualitas sensori nasi khususnya tekstur. Berdasarkan kandungan amilosanya, beras dikelompokkan menjadi beras ketan yang kandungan amilosanya 0-2% dari berat kering, beras berkadar amilosa rendah (9-20%), beras berkadar amilosa sedang (20-25%), dan beras berkadar amilosa tinggi (lebih dari 25%) (Hariyadi et al. 2006). Semakin tinggi kadar amilosa, maka tekstur nasi yang dihasilkan akan semakin pera (keras).

Penelitian Pardon et al. (2000) menunjukkan bahwa suhu dan lama penyimpanan memengaruhi kekerasan, kelengketan, dan tingkat retrogradasi pada nasi. Suhu yang semakin rendah dan penyimpanan yang semakin lama mengakibatkan kekerasan nasi


(20)

17

meningkat dan kelengketannya menurun. Selain itu, kultivar beras yang berbeda menunjukkan kinetika retrogradasi yang berbeda pula karena perbedaan sifat-sifat patinya. Karakteristik sensori buras yang terbuat dari beras dengan kandungan amilosa rendah akan diperoleh tekstur nasi yang pulen. Waktu pemasakan buras juga harus singkat supaya tidak menghasilkan tekstur bubur ketika akan dikemas. Namun, karakter pulen juga sangat mudah mengalami sineresis selama penyimpanan, sehingga untuk mencegahnya, pada pembuatan buras, beras yang digunakan dikombinasikan dengan beras ketan putih yang memiliki kandungan amilopektin yang tinggi.

G.

DAGING AYAM

Daging hewan adalah bagian dari tubuh hewan yang dapat dimakan. Karkas ayam merupakan bentuk komoditi ayam potong yang paling banyak dan umum diperdagangkan. Produksi daging ayam di Indonesia tahun 2002 – 2006, dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Produksi daging ayam di Indonesia tahun 2002 – 2006 (Deptan 2008)

Tahun Daging Ayam Buras

(ton)

Daging Ayam Ras Pedaging (ton)

Daging Ayam Ras Petelur (ton)

2002 288.34 751.90 42.77

2003 298.51 771.10 48.10

2004 296.42 846.09 48.40

2005 301.42 779.10 45.19

2006 322.78 955.75 54.31

Menurut SNI 01-3924-1995, definisi karkas ayam pedaging adalah bagian dari ayam pedaging hidup setelah dipotong, dibului, dan dikeluarkan jeroan dan lemak abdominalnya, dipotong kepala dan leher serta kedua kakinya (ceker). Produksi daging ayam di Indonesia dari tahun 2002 – 2006 selalu mengalami peningkatan.

Daging ayam merupakan sumber protein hewani yang harganya relatif lebih murah dibandingkan daging jenis lainnya. Daging ayam memiliki nilai gizi yang tinggi serta disukai oleh sebagian besar masyarakat. Kandungan gizi daging ayam dibandingkan dengan jenis daging lainnya dapat dilihat pada Tabel 6. Perbedaan daging ayam dengan daging ternak lainnya terletak pada komposisi kandungan protein dan lemak.

Tabel 6. Kandungan gizi berbagai jenis daging (Prawiranegara 1981)

Jenis Daging Kalori (kkal) Protein (g/100 g)

Lemak (g/ 100 g)

Karbohidrat (g/ 100 g)

Air (g /100 g)

Ayam 302 18.2 25.0 0.0 55.9

Sapi 207 18.8 14.0 0.0 66.0

Kambing 154 16.6 9.2 0.0 70.3

Angsa 352 16.4 31.5 0.0 51.1

Komposisi kimia daging pada hewan seperti ayam tergantung dari spesies, kondisi hewan, jenis daging, proses pengawetan, penyimpanan, dan pengemasan (Calkins & Hodgen 2007). Di Indonesia terdapat tiga jenis ayam yang digunakan sebagai penghasil daging, yaitu ayam pedaging (broiler), ayam kampung, dan ayam “cull atau afkir” (Susanti 1991). Ayam


(21)

18

kampung adalah ayam yang belum mengalami pemuliaan dan merupakan ayam paling mahal diantara ketiganya.

Sumber kalori daging ayam diperoleh dari protein dan lemak. Protein pada daging ayam memiliki kualitas tinggi yang kaya akan asam amino esensial dibandingkan dengan hewan selain unggas dan mudah dicerna serta diserap oleh tubuh (Muchtadi 1992). Daging ayam memiliki serat yang empuk dan halus sehingga teksturnyapun halus. Tekstur adalah salah satu atribut kualitas paling penting pada daging (Palka & Daun 1999). Rasa dan aromanya juga dapat bercampur dengan berbagai macam bumbu, garam, dan curing agent yang digunakan (Thippareddi & Sanchez 2006). Pigmen warna pada daging dibentuk oleh mioglobin (Mancini & Hunt 2005).

Daging ayam mengandung sembilan jenis asam amino esensial yang dibutuhkan oleh tubuh, termasuk asam amino tirosin. Asam amino ini dimanfaatkan oleh otak untuk menghasilkan dopamine dan nonadrenalin. yang dapat membuat seseorang lebih mudah berkonsentrasi. Selain itu, daging ayam juga mengandung haeme iron (kandungan zat besi haeme) yang juga mudah dicerna dibandingkan dengan zat besi yang berasal dari nabati (Tornberg 2005).

H.

ISOLAT PROTEIN KEDELAI (IPK)

Kedelai merupakan salah satu sumber protein nabati yang sering diekstrak atau diisolasi proteinnya. Isolat protein kedelai merupakan salah satu hasil isolasi protein dari kedelai, selain tepung dan konsentrat protein kedelai. Isolat protein merupakan hasil ekstraksi protein kedelai yang paling murni, karena kadar protein minimumnya sebesar 90% protein (N x 6.25) berdasarkan persentase bobot kering. Isolat protein kedelai hampir bebas dari karbohidrat, serat dan lemak sehingga sifat fungsionalnya jauh lebih baik dibandingkan dengan konsentrat protein maupun tepung bubuk kedelai (Muchtadi 2010). Bahan mentah yang biasa digunakan dalam produksi isolat protein kedelai adalah serpihan atau tepung kedelai yang telah diekstraksi minyaknya, dan mempunyai kandungan protein terdispersi yang tinggi.

Penggunaan protein kedelai dalam industri pangan dikelompokkan menjadi tiga kelompok bentuk protein berdasarkan kandungan proteinnya, yaitu tepung kedelai yang dibuat dengan cara mengekstrak lemaknya, mengandung 50% (berat kering) protein dan memiliki karakteristik “beanny” (langu) karena kandungan karbohidratnya yang masih tinggi, konsentrat protein kedelai yang mengandung paling sedikit 65% (berat kering) protein, masih mengandung serat dan dibuat dengan cara ekstraksi menggunakan alkohol, isolat protein kedelai yang mengandung 90% kadar protein (berat kering) dibuat dengan cara ekstraksi dengan menggunakan air (Koswara 1995).

Isolat protein kedelai ini sudah banyak digunakan secara luas dalam pembuatan formulasi pangan serta menghasilkan sifat fungsional yang diinginkan dalam proses pembuatan produk pangan, seperti pembuatan daging tiruan, kecap, susu kedelai atau specialty drinks (Golbitz 1995). Isolat protein kedelai juga dapat diolah menjadi produk pengganti keju (cheese alternatives), baik keju lunak maupun keju keras (Muchtadi 2010). Selain itu, isolat protein kedelai dapat diolah menjadi non-dairy frozen dessert dan lain sebagainya. Isolat protein kedelai sangat baik digunakan ke dalam formulasi berbagai produk pangan dan memberikan kontribusi terhadap sifat seperti gelasi, viskositas, emulsifikasi, penyerapan air, viskoelastisitas, adhesi, kohesi, aerasi, kelarutan, flavor, warna, tekstur, dan bahan pengikat


(22)

19

dalam produk pangan (Muchtadi 2010). Protein kedelai dapat ditambahkan dengan tujuan untuk memperbaiki sifat karakteristik produk pangan.

Sifat-sifat fungsional protein kedelai dipengaruhi oleh beberapa variabel dalam sistem pangan seperti pH, konsentrasi ion-ion, kadar padatan, kondisi pengolahan, dan sebagainya. Variabel-variabel ini harus diperhitungkan sehingga hubungan antara sifat dasar protein dan aplikasinya dalam pangan dapat dibentuk. Akan tetapi, karena kompleksitas interaksi antara bahan-bahan lain (misalnya bumbu, gula, garam, dsb) dianjurkan untuk mengevaluasi sifat fungsional protein dalam sistem pangan (Muchtadi 2010).


(23)

20

III.

METODOLOGI PENELITIAN

A.

BAHAN DAN ALAT

Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan EFP buras ini yaitu beras (Oryza sativa) varietas IR-64, beras ketan putih (Oryza sativa glutinosa), isolat protein kedelai (IPK), santan kelapa (Bumas®), dan daging ayam. Selain itu, digunakan bumbu-bumbu sebagai pencita rasa produk seperti gula, madu, garam, bawang merah, bawang putih, kemiri, kencur, daun salam, dan ketumbar. Bahan pengemas yang digunakan antara lain daun pisang Batu, stepler, dan

retort pouch dengan laminasi alumunium foil atau nylon yang diperoleh dari PT Toppan Printing Indonesia. Bahan kimia yang digunakan untuk penelitian ini meliputi bahan-bahan kimia untuk analisis proksimat dan analisis mutu, antara lain K2SO4, HgO, larutan H2SO4

pekat, larutan H3BO3, larutan HCL 0.02 N, metilen blue 0.2%, heksana, NaOH-Na2S2O3,

etanol 96%, asam asetat, larutan buffer pH 4 dan pH 7, asbes, kertas saring, media PCA, dan aquades.

Alat-alat yang digunakan untuk penelitian meliputi alat untuk pengolahan dan alat analisis. Alat-alat pengolahan yang digunakan, yaitu kompor gas, panci kukus, wajan, cobek, pengaduk kayu, panci, vacuum packing machine merk POWERPACK® DZQ-400/2D, dan

sealer model Golden350 Hualian Machinery Co. Ltd. Alat-alat analisis meliputi retort merk STOCK ROTOZWERG, termokopel, rekorder merk Omega® FUSE T2.5A, inkubator tiga suhu (350C, 450C, 550C) merk MMM Einrichtungen GmbH, inkubator 370C model IC-102 Yamato, neraca analitik model XT22OA Precisa Swissmade, oven vakum model 48000 Furnace, labu kjeldahl, alat destilasi, pH Meter model 210A Orion, aw-meter Shibaura

Electronics Co. Ltd WA-360, buret, alat soxhlet, water bath model GFL, texture analyzer

model TA-XTi2 stable Micro System, refluks, Stomacher 400, dan alat-alat untuk analisis

kimia dan mikrobiologi.

B.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini terbagi dalam dua tahap, yaitu tahap penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Pada penelitian pendahuluan dilakukan formulasi EFP buras dan pembuatan komponen penyusun buras (nasi setengah matang dan ayam bumbu) dan buras serta pengemasan dengan daun pisang. Pada penelitian utama dilakukan pengemasan buras hasil dari penelitian pendahuluan ke dalam kemasan retort pouch dan penutupan kemasan dalam kondisi vakum, karakterisasi proses termal, dan karakterisasi produk serta uji penyimpanan. Rancangan diagram alir penelitian EFP buras steril retort pouch dapat dilihat pada Gambar 4 sedangkan rincian diagram alir proses pengolahannya pada Gambar 5.

1.

Penelitian Pendahuluan

1.1 Formulasi Produk Buras sebagai Pangan Darurat (EFP)

Target formulasi produk adalah nilai kalori yang cukup yaitu 700 kkal/saji untuk memenuhi kecukupan 2100 kkal/hari, dengan asumsi setiap orang melakukan tiga kali


(24)

21

makan dalam sehari. Target total kalori buras ini dapat diperoleh dari total energi bahan-bahan penyusunnya. Produk ini dirancang 75 gram/buras dan dikemas 2 (dua) buah buras per pouch. Selain itu, formulasi juga dirancang untuk memenuhi kontribusi kalori seimbang (40-50% karbohidrat, 10-15% protein, dan 35-45% lemak) serta karakteristik mutu yang diterima (acceptable). Bahan baku yang digunakan yaitu beras IR-64 dan beras ketan sebagai sumber karbohidrat; daging ayam, santan kelapa, dan isolat protein kedelai (IPK) sebagai sumber protein dan lemak. Bumbu-bumbu seperti garam, gula, madu, dan rempah-rempah digunakan sebagai pencita rasa khas untuk meningkatkan penerimaan produk. Formulasi komposisi bahan penyusun pangan darurat ini dihitung nilai kalorinya berdasarkan nilai kandungan gizi bahan baku yang digunakan dari Daftar Komposisi Bahan Makanan oleh Prawiranegara (1981) dan informasi nilai gizi pada label kemasan (jika ada). Perhitungan total energi dilakukan dengan prinsip kesetimbangan massa (mass balance). Kandungan gizinya diatur sedemikian rupa agar memenuhi regulasi pangan darurat sesuai rekomendasi Institute of Medicine (IOM). Pada penelitian ini digunakan perlakuan perbedaan formulasi yaitu lima formulasi nasi dengan substitusi beras ketan putih (BK) (Tabel 7).

Tabel 7. Perlakuan substitusi beras ketan putih (BK) pada nasi

Penelitian Pendahuluan

Penelitian Utama

Gambar 4. Rancangan diagram alir penelitian EFP buras

Perlakuan Rasio Beras IR-64 (%) : Beras Ketan (%)

F0 100:0

F1 90:10

F2 80:20

F3 70:30

F4 60:40

F5 50:50

Formulasi EFP

Pembuatan Komponen Penyusun dan EFP

Pengemasan EFP dalam Retort Pouch

Penentuan Karakteristik Proses Termal EFP

Pengamatan Penentuan Formula Terbaik

Penentuan EFP Terpilih


(25)

22

Gambar 5. Rincian diagram alir proses pengolahan EFP buras dalam retort pouch

Formula Buras Terbaik

Uji Distribusi Panas dan Uji Penetrasi Panas

Waktu Proses Sterilisasi dan Nilai Fo Aktual Buras

Sterilisasi Buras pada Suhu 116.7 0C dengan Dua Tingkat Perlakuan Fo (5.0 dan 7.5)

EFP Buras dalam Retort Pouch

Pengemasan Vakum Buras Formula Terbaik dalam Retort Pouch

Penentuan EFP Buras Terpilih Berdasarkan Uji Rating Hedonik Pembentukan menjadi Produk

Buras ½ Matang

EFP Buras Terpilih

Penyimpanan EFP Buras 25 Hari pada Suhu Ruang

Karakterisasi Produk dan Uji Penyimpanan EFP Buras Terpilih Formula Nasi ½

Matang Terbaik

Formula Ayam Bumbu Formula Nasi

(F0;F1;F2;F3;F4;F5)

Formula Ayam Bumbu

Pengolahan Konvensional menjadi Produk Buras Matang

Penentuan Formula Buras Terbaik dengan Uji Rating Hedonik


(26)

23

1.2

Pembuatan Komponen Penyusun dan Buras Berdasarkan Formulasi

serta Pengemasan dalam Daun Pisang

Ada dua komponen utama yang digunakan untuk membuat buras yaitu nasi setengah matang dan ayam bumbu. Kedua komponen penyusun buras tersebut dibuat secara terpisah berdasarkan perhitungan formulasi (rancangan awal). Kondisi beras saat pembuatan buras sebelum dikemas dalam retort pouch adalah setengah matang (aron) dan dikemas dalam daun pisang. Pembuatan ayam bumbu menggunakan metode yang telah dikembangkan oleh Valentina (2009) dengan modifikasi.

1.3

Penentuan Formula Buras Terbaik dengan Uji

Rating

Hedonik

Penentuan formula buras terbaik di antara enam formulasi digunakan uji rating

hedonik skala garis (15 cm). Panelis yang digunakan yaitu panelis tidak terlatih berjumlah 70 orang. Panelis diminta memberi penilaian secara hedonik sesuai dengan kesukaannya pada atribut aroma, warna, rasa, tekstur, dan keseluruhan. Data hasil pengujian diolah menggunakan ANOVA dengan uji lanjut Duncan pada taraf signifikansi 0.05. Formula buras yang memiliki nilai uji rating tertinggi dan berbeda nyata dengan yang lain, maka formula itulah yang terpilih. Selain itu, pemilihan formula juga mempertimbangkan aspek ekonomis dan teknologi pengolahan.

2.

Penelitian Utama

2.1

Pengemasan Buras dalam

Retort Pouch

dan Penutupan Kemasan

dalam Kondisi Vakum

(

Sugiyono

et al.

2010)

Proses pengemasan buras dilakukan menggunakan kemasan retort pouch yang dibuat dari retort pouch lembaran terlaminasi alumunium foil dengan menggunakan

sealer secara manual (suhu 3000C). Penutupan kemasan dilakukan secara vakum dengan menggunakan vacuum packaging machine (Gambar 6). Kondisi vakum dimaksudkan untuk menambah keawetan produk. Tekanan vakum yang digunakan yaitu kurang dari 1 atmosfer (0.9571 atm), vacuum time selama 25 detik, dan seal time selama 10 detik.


(27)

24

2.2 Penentuan Karakteristik Proses Termal

2.2.1 Pengukuran Distribusi Panas (Kusnandar

et al.

2009)

Pengukuran distribusi panas bertujuan menentukan bagian terdingin dalam retort, waktu venting, dan menentukan come up time (CUT). Keranjang dalam retort diisi penuh dengan retort pouch yang berisi air. Sepuluh termokopel dipasang pada sepuluh titik tertentu dalam retort dan dihubungkan dengan rekorder yang akan mencatat data perubahan suhu terhadap waktu. Titik-titik pemasangan termokopel dilakukan menyebar dalam retort (Gambar 7).

Gambar 7. Posisi termokopel dalam retort selama uji distribusi panas

2.2.2 Pengukuran Penetrasi Panas (Kusnandar

et al.

2009)

Penetrasi panas dilakukan pada produk dengan memasang termokopel pada bagian tengah kemasan. Pengukuran penetrasi panas ke dalam produk menggunakan empat termokopel (tiga termokopel untuk mengukur suhu dalam produk dan satu termokopel untuk mengukur suhu retort). Produk disusun dalam satu tumpukan dalam keranjang retort paling atas dan retort diisi penuh dengan

retort pouch lain yang berisi air. Rekorder mencatat perubahan suhu produk di dalam kemasan terhadap produk setiap satu menit. Data hasil pengukuran penetrasi panas ini, dibuat grafik pada semilogaritma. Suhu ditempatkan pada skala logaritmis (sumbu y) sedangkan waktu pada skala linier (sumbu x).

2.2.3 Perhitungan Waktu Sterilisasi Optimum dengan Metode

Umum (

Improved General Method

) (Kusnandar

et al.

2009)

Untuk mencegah terjadinya overprocess maupun underprocess pada penelitian ini dilakukan perhitungan waktu sterilisasi. Nilai sterilitas proses dihitung dari luasan daerah di bawah kurva pada semilogaritma. Bentuk luasan

10

1 2 3

4 5

6 7

8 9


(28)

25

di bawah kurva tersebut dianggap trapesium. Untuk menghitung luas trapesium tersebut, area di bawah kurva dibagi menjadi sejumlah pararelogram pada interval waktu (∆t) tertentu. Kemudian masing-masing dihitung luasnya dengan rumus luas trapesium sehingga didapat nilai letal rate (LR) dan sterilitas parsial

(Fo parsial) pada ∆t tersebut (Gambar 8). Masing-masing Fo parsial dijumlahkan. Hasilnya menunjukkan nilai sterilitas total dari proses yang telah dilakukan.

Gambar 8. Hubungan antara letal rate (LR) dan waktu (∆t)

2.2.5 Perhitungan Waktu Sterilisasi Optimum dengan Metode

Formula (

Ball

) (Kusnandar

et al

. 2009)

Metode formula dilakukan menggunakan berbagai parameter yang diperoleh dari grafik penetrasi panas. Plot data hasil pengukuran penetrasi panas diolah dengan prosedur matematis untuk mengintregasikan efek letalitas yang terjadi sehingga diperoleh karakteristik penetrasi panas dalam pangan yang diproses. Dicari persamaan garis kurva penetrasi panas yang dapat menghasilkan nilai Fo paling mendekati nilai Fo dari metode umum sehingga diperoleh parameter karakteristik penetrasi panas, seperti fh dan jh, yang nilainya akan digunakan untuk mendapatkan formula proses yang terjadi (Gambar 9). Persamaan kurva penetrasi panas yang digunakan dalam metode Ball adalah sebagai berikut:

Log (Tr – T) = Log [jh (Tr – To)] – tB / fh

dimana; Tr = suhu medium pemanas, To = suhu awal produk, T = suhu maksimum produk pada akhir proses, dan tB = waktu proses Ball, Rumus yang

digunakan sebagai berikut:

tB = fh (log jh . ih – log g)


(29)

26

Gambar 9. Kurva pemanasan metode formula (Ball)

2.2.4 Pembuatan Produk dengan Fo Berbeda yang Tetap Memenuhi

Aspek Keamanan Pangan

Berdasarkan perhitungan, sebenarnya untuk memenuhi 12D sterilisasi dengan mikroba target C.botulinum pada pengalengan produk pangan, nilai Fo yang dibutuhkan cukup 12 x 0.21 = 2.52 pada suhu 121.10C (Hariyadi et al.

2006) atau setara dengan FT= Fo/10[(T-121.1)/Z]= 2.52/10[(116.7-121.1)/18]= 4.26 pada

suhu 116.70C. Namun, untuk meningkatkan kualitas organoleptik, umur simpan, dan keamanan pangan (food safety) pada penelitian ini dilakukan dua perlakuan nilai Fo yaitu 5.0 dan 7.5. Kedua nilai Fo ini sudah memenuhi dan berada diatas target sterilisasi dan tidak terlalu tinggi. Pada Fo yang terlalu tinggi (Fo>10.0) produk overcooked dan kemasan retort pouch yang digunakan mengalami kebocoran. Waktu kecukupan sterilisasinya ditentukan dari data hasil uji penetrasi panas produk hingga mencapai total Fo yang diinginkan tersebut pada suhu sterilisasi 116.70C (2420F). Suhu tersebut dipilih untuk mengurangi penurunan nilai gizi dan kebocoran kemasan (seal manual). Selain itu, suhu tersebut berada pada rentang suhu yang biasa digunakan industri pada sterilisasi produk pangan dalam kemasan retort pouch yaitu 1150F sampai 1250F (Sampurno 2009).


(30)

27

2.3

Penentuan Produk Terpilih Berdasarkan Uji Mutu Sensori

Penentuan produk terpilih dilakukan berdasarkan sifat sensori pada kedua formula buras yang telah disterilisasi dengan perlakuan Fo = 5.0 dan Fo =7.5 dan disimpan pada suhu ruang (280C) selama 25 hari. Uji yang digunakan adalah uji rating hedonik dengan 30 orang panelis tidak terlatih. Data hasil uji kemudian diolah menggunakan program Microsoft office Excel 2010 dengan bantuan data analisis t-test. Taraf signifikansi yang digunakan yaitu 0.05.

2.4

Karakterisasi EFP Buras Terpilih

Karakterisasi produk dilakukan pada EFP buras terpilih. Analisis sifat fisik yang dilakukan yaitu analisis tekstur objektif dan aw. Analisis sifat kimia meliputi analisis

proksimat (meliputi kadar air, kadar karbohidrat, kadar protein, kadar lemak, dan kadar abu), dan nilai pH. Analisis mutu mikrobiologi yang digunakan yaitu total plate count (TPC).

2.5

Uji Penyimpanan EFP Buras Terpilih

Uji penyimpanan EFP buras terpilih dilakukan dengan menyimpan produk pada 3 jenis suhu yaitu 350C, 450C, dan 550C selama 20 hari. Pengamatan dilakukan setiap 4 hari untuk setiap suhu penyimpanan. Parameter uji yang diamati pada setiap pengamatan meliputi nilai aw, nilai pH, dan total mikroba (total plate count). Selain itu, dilakukan uji penyimpanan EFP

buras terpilih pada suhu ruang (280C) selama 5 bulan. Penyimpanan pada suhu ruang ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat keawetan EFP buras sebagai produk pangan hasil sterilisasi komersial.

3.

Pengamatan

3.1 Analisis Kimia

3.1.1 Kadar Air Metode Oven (AOAC 1995)

Pengukuran dilakukan dengan menggunakan metode oven. Cawan kosong dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Sebanyak 5 gram sampel yang telah dikeringkan dimasukkan dalam cawan yang telah ditimbang, selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 1050C selama 6 jam. Cawan yang telah berisi contoh tersebut selanjutnya dipindahkan ke desikator, didinginkan dan ditimbang. Pengeringan dilakukan sampai diperoleh berat konstan, kemudian dihitung berdasarkan kehilangan berat yaitu selisih berat awal dikurangi berat akhir. Perhitungan kadar air dilakukan berdasarkan berat basah dengan menggunakan rumus :

Kadar air (% bb) = x 100%


(31)

28

Keterangan:

a = berat cawan dan sampel awal (g) b = berat cawan dan sampel akhir (g) c = berat sampel awal (g)

3.1.2 Kadar Abu (AOAC 1995)

Sejumlah 5 gram sampel dimasukkan ke cawan porselen, kemudian dikeringkan menggunakan tanur bersuhu 550oC selama 12-18 jam hingga bobot sampel konstan. Kadar abu dapat dihitung menggunakan rumus:

Kadar abu (%) = x 100%

Keterangan:

a = berat cawan dan sampel awal (g) b = berat cawan dan sampel akhir (g) c = berat sampel awal (g)

3.1.3 Kadar Lemak Metode

Soxhlet

(AOAC 1995)

Sebanyak 5 gram sampel dibungkus dengan kertas saring lalu dimasukkan ke dalam labu soxhlet. Heksan dituang ke dalam labu lemak dan kemudian alat dirangkai. Refluks dilakukan selama 5-6 jam. Labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dan sisa pelarut heksan diangkat dan kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 1050C sampai pelarut menguap semua. Labu yang berisi lemak didinginkan dalam desikator dan kemudian ditimbang. Perhitungan:

Kadar lemak (%) = x 100%

Keterangan:

a = berat lemak hasil ekstraksi dan labu lemak (g) b = berat labu lemak kosong (g)

c = berat sampel awal (g)

3.1.4 Kadar Protein (AOAC 1995 dengan Modifikasi)

Sejumlah sampel (100-250 mg) ditimbang ke dalam labu Kjeldahl. Kemudian ditambahkan (1.9 ± 0.1) g K2SO4, (40 ± 10) mg HgO, dan (2 ± 0.1) ml H2SO4. Sampel

dididihkan selama 1-1.5 jam dengan kenaikan suhu secara bertahap sampai cairan menjadi jernih, lalu didinginkan. Sejumlah kecil akuades diteteskan secara perlahan lewat dinding labu kemudian labu digoyang pelan agar kristal yang terbentuk larut kembali. Isi labu kemudian dipindahkan ke dalam alat destilasi dan labu dibilas 5-6 kali dengan 1-2 ml akuades. Selanjutnya ditambahkan 8-10 ml larutan 60% NaOH-5%


(32)

29

Na2S2O3 ke dalam alat destilasi. Erlenmeyer yang berisi 5 ml H3BO3 dan 2 tetes

indikator metilen red-metilen blue diletakkan di bawah kondensor dengan kondisi ujung kondensor terendam di bawah larutan H3BO3. Destilasi dilakukan hingga diperoleh

destilat sebanyak ± 15 ml. Destilat yang diperoleh selanjutnya diencerkan hingga ± 50 ml dan dititrasi dengan HCl terstandar sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Kadar protein dihitung dengan rumus:

dimana faktor konversi = 6.25.

3.1.5 Kadar Karbohidrat

By Diference

(AOAC 1995)

Analisis ini merupakan hasil pengurangan dari 100% dikurangi dengan kadar air, kadar protein, kadar lemak, dan kadar abu.

Keterangan: a = kadar protein (%) b = kadar air (%) c = kadar abu (%) d = kadar lemak (%)

3.1.6 Nilai pH (Apriyantono

et al

. 1989)

Sampel sebesar 1 gram ditimbang, kemudian ditambahkan 20 ml air. Kocok dengan stirrer sampai basah sempurna. Kemudian ditambahkan 50 ml air dan dihomogenkan. Biarkan sampel selama 1 jam. Jangan disaring dan biarkan mengendap. Sebelum dilakukan pengukuran, pH-meter dinyalakan dan distabilkan terlebih dahulu selama 15-30 menit. Selanjutnya pH-meter dikalibrasi dengan menggunakan larutan

buffer pH 4 dan pH 7. Elektroda dibilas dengan akuades dan dikeringkan dengan kertas pengering. Sebanyak 20 ml sampel dimasukkan ke dalam gelas piala 100 ml. Elektroda pH-meter dibilas dengan air destilata. dikeringkan. dan dicelupkan ke dalam sampel. Angka yang tertera pada layar menunjukkan nilai pH buras. Selanjutnya, elektroda kembali dibilas dengan air destilata, dikeringkan, dan dapat digunakan kembali untuk pengukuran pH sampel.


(1)

103

Lampiran 8. Rekapitulasi data pengukuran tekstur objektif

Lampiran 9. Rekapitulasi data pengukuran pH

Sampel pH Rataan

EFP Buras 1a 6.36

6.38

EFP buras 1b 6.35

EFP buras 2a 6.37

EFP buras 2b 6.42

Force 1951,5 2076,6 2257 1403

Distance 8 7,997 8 7,775

Time 4 4,003 4,008 3,89

Area FT atas1 3225 3625 3363 1977

Area FT Atas2 1504 1777 1441 918,6 Area FT bwh1 -661,3 -1025 -1001 -242,8 Area FT bwh2 -205,3 -294,1 -290 -56,45

jarak puncak 1 8 7,997 8 7,925

POS1 8 7,997 7,997 7,96

POS2 2,098 1,975 2,015 2,953

Jarak puncak 2 5,902 6,022 5,982 5,007

Atribut

tekstur Ulang. Nilai rata-rata Kekerasan 1 1951,5

2076,6 1922,025 2 2257

1403 Elastisitas 1 0,73775

0,753032 0,717583 2 0,74775

0,631798 Daya kohesif 1 0,466357

0,490207 0,462423 2 0,428486

0,464643 Kekenyalan 1 910,0949

1017,964 886,7618 2 967,094

651,8947 Daya kunyah 1 671,4225

766,5596 643,2481 2 723,1445

411,8658 Kelengketan 1 -866,6

-1319,1 -943,988 2 -1291

-299,25


(2)

104

Lampiran 10. Rekapitulasi data pengukuran a

w

Lampiran 11. Rekapitulasi data analisis

total plate count

(TPC)

Sampel Aw Suhu (0C) Rataan

EFP Buras 1a 0.914 29.9

0.908 (300C)

EFP buras 1b 0.915 29.9

EFP buras 2a 0.903 30.1

EFP buras 2b 0.900 30.1

Suhu Plo- 10-1 10-2 10-3 10-4 Koloni/gram Log CFU/gram

280C 1 85 15 1 0 930 2.96

2 84 14 1 0


(3)

105

Lampiran 12. Data pengukuran nilai pH selama penyimpanan

Suhu Hari ke- Plo Skor Rata-rata

0 1 6,42 6,41

2 6,4

4 1 6,37 6,37

2 6,37

8 1 6,35 6,345

2 6,34

350C 12 1 6,42 6,405

2 6,39

16 1 6,39 6,37

2 6,35

20 1 6,01 6,1

2 6,19

0 1 6,42 6,41

2 6,4

4 1 6,34 6,345

2 6,35

8 1 6,37 6,36

2 6,35

450C 12 1 6,35 6,37

2 6,39

16 1 6,17 6,27

2 6,37

20 1 6,09 6,08

2 6,07

0 1 6,42 6,41

2 6,4

4 1 6,16 6,265

2 6,37

8 1 6,05 6,21

2 6,37

550C 12 1 6,19 6,165

2 6,14

16 1 6,18 6,185

2 6,19

20 1 5,97 5,845


(4)

106

Lampiran 13. Data pengukuran nilai a

w

selama penyimpanan

Suhu Hari ke- Plo Skor Rata-rata

0 1 0,972 0,972

2 0,972

4 1 0,975 0,9725

2 0,97

8 1 0,974 0,9615

2 0,949

350C 12 1 0,935 0,9165

2 0,898

16 1 0,898 0,8965

2 0,895

20 1 0,881 0,8895

2 0,898

0 1 0,972 0,972

2 0,972

4 1 0,943 0,9565

2 0,97

8 1 0,965 0,963

2 0,961

450C 12 1 0,934 0,919

2 0,904

16 1 0,929 0,9165

2 0,904

20 1 0,92 0,912

2 0,904

0 1 0,972 0,972

2 0,972

4 1 0,97 0,97

2 0,97

8 1 0,962 0,9525

2 0,943

550C 12 1 0,927 0,9185

2 0,91

16 1 0,91 0,9025

2 0,895

20 1 0,91 0,9


(5)

107

Lampiran 14. Data pengukuran total mikroba selama penyimpanan

Suhu hari ke- Plo- 10-1 10-2 10-3 10-4 Koloni/gram

0 1 0 0 0 0 <25

2 0 0 0 0

4 1 0 1 0 0 <25

2 0 0 0 0

8 1 0 0 0 0 <25

2 0 0 0 0

350C 12 1 0 0 0 0 <25

2 0 0 0 0

16 1 0 0 0 0 <25

2 0 0 0 0

20 1 21 4 0 0 <25

2 6 4 2 0

0 1 0 0 0 0 <25

2 0 0 0 0

4 1 84 15 1 0 845

2 85 14 1 0

8 1 120 41 6 0 1477,27

2 110 54 18 0

450C 12 1 150 110 0 0 1714,29

2 100 10 0 0

16 1 150 15 0 0 2363,64

2 TBUD 110 5 0

20 1 180 19 0 0 1963,64

2 TBUD 36 2 0

0 1 0 0 0 0 <25

2 0 0 0 0

4 1 85 15 1 0 975

2 110 5 1 0

8 1 98 22 26 0 1391,5

2 90 41 40 1

550C 12 1 100 65 1 0 1259,091

2 70 42 1 0

16 1 110 11 3 0 1627,27

2 TBUD 69 11 1

20 1 101 42 1 0 1700


(6)