penanggulangan AIDS secara global. Acuan pengembangan strategi dan rencana di sektor, pemerintah daerah, swasta, para mitra kerja dan masyarakat dalam
penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Isi strategi dan rencana aksi ini telah mengacu ke arah kebijakan yang terdapat dalam dokumen Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional RPJMN; yang selanjutnya akan menjadi acuan sektor- sektor pemerintah yang terkait untuk mengembangkan strateginya masing-masing.
Rencana aksi nasional ini bagi daerah juga menjadi acuan untuk penyusunan rencana aksi masing-masing daerah sebagai dasar untuk penyusunan RAPBD. Selain itu di
tingkat nasional dokumen ini menjadi instrumen untuk mobilisasi dana ke tingkat nasional maupun internasional Nafsiah, 2009.
c. Kecenderungan Epidemi HIVAIDS ke Depan di Indonesia
Kecenderungan epidemi HIV ke depan dengan pemodelan memberikan gambaran yang lebih jelas tentang penularan HIV saat ini dan perubahannya ke
depan. Proses pemodelan tersebut menggunakan data demografi, perilaku dan epidemiologi pada populasi kunci. Dari hasil proyeksi diperkirakan akan terjadi hal-
hal berikut: a peningkatan prevalensi HIV pada populasi usia 15-49 tahun dari 0,21 pada tahun 2008 menjadi 0,4 di tahun 2014, b peningkatan jumlah infeksi
baru HIV pada perempuan, sehingga akan berdampak meningkatnya jumlah infeksi HIV pada anak, c peningkatan infeksi baru yang signifi kan pada seluruh kelompok
risiko, d perlu adanya kewaspadaan terhadap potensi meningkatnya infeksi baru pada pasangan seksual intimate partner dari masing-masing populasi kunci,
Universitas Sumatera Utara
e peningkatan jumlah ODHA dari sekitar 404.600 pada tahun 2010 menjadi 813.720 pada tahun 2014, f peningkatan kebutuhan ART dari 50.400 pada tahun 2010
menjadi 86.800 pada tahun 2014 KPAN, 2010.
2.2 Penanggulangan HIVAIDS di Lembaga Pemasyarakatan
Menekan angka kematian akibat HIVAIDS, salah satunya adalah dengan melakukan upaya pencegahan penularan penyakit yang ada di dalam Lembaga
Pemasyarakatan, serta memberikan pengobatan kepada yang sudah sakit. Meskipun HIVAIDS belum menjadi penyebab kematian utama di Lembaga Pemasyarakatan,
tetapi antisipasi terhadap hal tersebut perlu dilakukan. Terlebih lagi karena kasus narkoba, memiliki kemungkinan sudah terinfeksi HIV sangat tinggi Dirjen
Pemasyarakatan, 2009. Hasil Survei Surveilans Perilaku SSP tahun 2005 pada Lapas Wanita dan
Rutan di Tanjung Gusta Medan, menunjukkan 90 dari WBP yang pernah menjadi pengguna narkoba suntik, mengaku melakukan penyunt ikan ber sama teman. Hal
yang mengkhawatirkan adalah pengguna narkoba suntik wanita sebesar 29 menggunakan jarum suntik secara bersama dengan pacarnya, sedangkan yang berbagi
jarum dengan teman juga cukup tinggi sekitar 55-60 KPAND SU tahun 2005. Sero survei yang dilakukan Dinas Kesehatan Sumatera Utara tahun 2005
terhadap 534 WBP dari 4 UPT sebagai sampel, menunjukkan 28 WBP terinfeksi HIV. Sedangkan tahun 2006, dari 2 UPT yang berbeda dari tahun sebelumnya,
Universitas Sumatera Utara
pemeriksaan terhadap 323 sampel, 14 orang terinfeksi HIV dan 1 orang IMS KPAND SU tahun 2005.
Mengingat masalah ketergantungan NAPZA serta penggunaan NAPZA tidak lagi terbatas pada masyarakat namun sudah masuk ke dalam lingkungan Lembaga
Pemasyarakatan, serta peningkatan perilaku yang berisiko di dalam Lembaga Pemasyarakatan termasuk dampak buruknya, maka Kanwil Departemen Hukum dan
HAM Sumatera Utara memandang perlu untuk melaksanakan program penanggulangan HIV dan AIDS di Lembaga Pemasyarakatan. Sebagai acuannya
adalah Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS dan Penyalahgunaan Narkoba di Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia Tahun 2005–2009 yang
dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia KPAND SU tahun 2005.
Guna pelaksanaan Strategi Nasional tersebut sangatlah diperlukan panduan operasional pelaksanaan program di Lembaga Pemasyarakatan yang dapat dijadikan
acuan bagi para petugas di wilayah Sumatera Utara. Panduan operasional pelaksanaan program ini menjadi pelengkap dari panduan yang berasal dari Dirjen
Pemasyarakatan, baik panduan tata laksana untuk penanganan narapidana Napi secara umum maupun yang berkaitan dengan penanggulangan HIV dan AIDS Dirjen
Pemasyarakatan, 2009.
2.2.1 Tujuan Penanggulangan HIVAIDS di Lembaga Pemasyarakatan
Secara umum tujuan penanggulangan HIVAIDS di Lembaga Pemasyarakatan adalah mencegah terjadinya penularan HIV dan meningkatkan kesehatan warga di
Universitas Sumatera Utara
Lembaga Pemasyarakatan termasuk tahanan dan para petugas Lembaga Pemasyarakatan. Secara khusus adalah; a sebagai pedoman penatalaksanaan
kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS di Lembaga Pemasyarakatan, khususnya bagi petugas maupun ins tans i yang terkai t dengan program penanggulangan HIV
dan AIDS di Lembaga Pemasyarakatan dan b menjaga mutu layanan program sehingga upaya pencegahan penularan dan peningkatan kesehatan dapat tercapai
secara optimal Dirjen Pemasyarakatan, 2009. 2.2.2 Pelaksana Penanggulangan HIVAIDS di Lembaga Pemasyarakatan
Untuk mendukung pelaksanaan penanggulangan HIVAIDS di Lembaga Pemasyarakatan perlu dibentuk: Tim Pokja AIDS di Lembaga Pemasyarakatan dan
Tim Pokja Lapas. Tim HIV dan AIDS di Lembaga Pemasyarakatan mempunyai peran dan fungsi untuk melaksanakan kegiatan pencegahan melalui pendidikan,
konseling dan testing Voluntary Conseling and Testing serta perawatan, dukungan dan pengobatan Care, Support and Treatment. Untuk melaksanakan peran dan
fungsi tersebut Tim HIV dan AIDS perlu melakukan kerjasama dengan lembaga lain terutama untuk kegiatan pengobatan, perawatan, dan pemberian dukungan kepada
tahanan Dirjen Pemasyarakatan, 2009. Susunan Tim HIV dan AIDS di Lembaga Pemasyarakatan ini sebaiknya
diketuai kepala Lembaga Pemasyarakatan karena akan memudahkan dalam mengkoordinasikan tugas dari anggota tim serta staf lain dalam Lembaga
Pemasyarakatan. Sesuai dengan fungsi pokok Tim HIV dan AIDS Lapas maka dalam
Universitas Sumatera Utara
struktur organisasi perlu ada petugas yang bertanggung jawab pada pemberian informasi dan edukasi, pelayanan medis, melakukan konseling, melayani VCT
Voluntary Conseling and Testing, dan kegiatan pendampingan pada tahanan yang terinfeksi manajemen kasus. Oleh karenanya dalam keanggotaan tim ini perlu
disesuaikan dengan kelembagaan yang sudah ada, sehingga tidak akan terjadi tumpang tindih kegiatan dan mekanisme kerja antara masing-masing bidang.
Pembentukan tim ini akan disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing Lembaga Pemasyarakatan Dirjen Pemasyarakatan, 2009.
Komisi Penanggulangan AIDS KPA merupakan lembaga yang bertanggung jawab mengkoodinir dan meng-integrasikan semua kegiatan penanggulangan HIV
dan AIDS yang dilaksanakan oleh berbagai sektor. Dengan belum berjalannya program yang tertata dalam sistem maka KPA perlu membentuk Kelompok Kerja
Pokja untuk membantu sektor terkait dalam pelaksanaannya. Pokja bersifat adhoc sementara, apabila program tersebut sudah berjalan dengan optimal dan sistem
sudah terbentuk dan berfungsi maka kemungkinan Pokja tidak diperlukan lagi. Ada beberapa Pokja berkaitan dengan berbagai program, misalnya Pokja untuk
penanggulangan dampak buruk NAPZA suntik Harm Reduction dan Pokja penanggulangan HIV dan AIDS di tempat kerja Dirjen Pemasyarakatan, 2009.
Berkaitan dengan program penanggulangan HIV dan AIDS di Lembaga Pemasyarakatan juga perlu dibentuk Tim Pokja Lapas untuk mendukung pelaksanaan
kegiatan yang dilakukan oleh Tim AIDS di Lembaga Pemasyarakatan. Peran dan fungsi Tim Pokja Lapas lebih diarahkan untuk advokasi, mediasi, penyusunan
Universitas Sumatera Utara
panduan dan regulasi, serta koordinasi. Sebagai contoh, koordinasi dalam hal pelayanan dan pengobatan, kerjasama dengan lembaga lain dalam mendukung
pelayanan bagi warga binaan, advokasi pada penentu kebijakan sektoral untuk mendukung pelaksanaan program di Lembaga Pemasyarakatan. Oleh Karenanya Tim
Pokja Lapas diharapkan melibatkan lintas sektor baik instansi pemerintah maupun LSM. Tim Pokja Lapas akan sangat berperan dalam membantu kinerja dari Tim
AIDS di Lapas. Sebagai ketua tim Pokja Lapas sebaiknya dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan. Keanggotaan Tim Pokja Lapas melibatkan Dinas Kesehatan, rumah
sakit, pihak kepolisian, Lembaga Swadaya Masyarakat LSM, dan lembaga terkait yang dirasa perlu. Dalam pembentukannya diharapkan berkoordinasi dengan Komisi
Penanggulangan AIDS kabupatenkota setempat. Sebagai contoh, ditingkat provinsi telah dibentuk Pokja Lapas SK Gubernur tentang pembentukan pokja LAPAS.
2.2.3 Kebijakan Pelaksanaan Program Penanggulangan HIVAIDS di Lembaga Pemasyarakatan
Sebagai acuan pelaksanaan program adalah Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS dan Penyalahgunaan Narkoba di Lembaga Pemasyarakatan tahun
2005–2009, dengan menitikberatkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Bahwa Lembaga Pemasyarakatan selain sebagai instansi yang melakukan
pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan, juga harus mampu memberikan layanan kesehatan yang optimal bagi mereka yang membutuhkannya,
termasuk narapidana dan tahanan yang terinfeksi HIV dan pengidap AIDS.
Universitas Sumatera Utara
2. Bahwa dalam rangka memberikan layanan klinis yang optimal bagi semua warga binaan pemasyarakatan harus sesuai dengan nilai-nilai Hak Asasi Manusia
sebagaimana termaktub dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan berbagai kebijakan hak asasi manusia internasional dan nasional yang terkait
dengan perlakuan terhadap narapidana dan tahanan. 3. Lembaga Pemasyarakatan sebagai instansi pembinaan harus menyediakan dan
memperluas akses program edukasi pencegahan HIV dan AIDS bagi seluruh warga binaan pemasyarakatan.
4. Bahwa dalam rangka memberikan layanan klinis yang optimal, para petugas Lembaga Pemasyarakatan, baik medis dan non medis, harus mampu
memperkenalkan manfaat dan pentahapan konseling dan pengujian HIV secara rinci dengan menggarisbawahi bahwa pengujian HIV dilakukan atas dasar sukarela
kepada warga binaan pemasyarakatan dan dijamin kerahasiaannya. 5. Bahwa pihak yang berwenang untuk memberikan rekomendasi atau inisiasi
konseling dan pengujian HIV adalah dokter Lembaga Pemasyarakatan berdasarkan indikasi medis dari warga binaan pemasyarakatan.
6. Bahwa berdasarkan unsur sukarela sebagaimana tersebut pada butir 3, warga binaan pemasyarakatan memiliki hak untuk menolak pelaksaaan pengujian HIV
terhadapnya. 7. Bahwa untuk mendukung dilaksanakannya layanan klinis yang optimal pada unit
kesehatan Lembaga Pemasyarakatan dengan menggarisbawahi ketetapan sebagaimana tersebut pada butir 3, maka konseling dan pengujian HIV akan
Universitas Sumatera Utara
ditawarkan secara rutin kepada setiap warga binaan pemasyarakatan satu bulan menjelang selesainya masa tahanan.
8. Bahwa sesuai dengan nilai-nilai Hak Asasi Manusia, maka tidak akan ada diskriminasi terhadap warga binaan pemasyarakatan yang terbukti secara klinis
mengidap HIV, baik dalam upaya pembinaan maupun penempatannya. 9. Bahwa bagi warga binaan pemasyarakatan yang terbukti secara klinis mengidap
HIV akan didampingi oleh petugas manajemen klinis dalam pendampingan psikososial dan akan memperoleh akses pelayanan pengobatan dan perawatan
seoptimal mungkin yang terdiri dari: − Perawatan dan pengobatan akut, meliputi pengobatan Infeksi
Opportunistik IO dan infeksi serta penyakit terkait HIV lainnya. − Perawatan dan pengobatan kronis, termasuk ARV.
− Perawatan dan pengobatan paliatif, termasuk perawatan menjelang ajal. 10. Warga binaan pemasyarakatan yang telah mengidap AIDS stadium 3 atau 4 dapat
menjalani perawatan yang lebih intensif. 11. Bahwa dalam rangka memberikan layanan klinis HIV yang optimal bagi Warga
Binaan Pemasyarakatan Di Lembaga Pemasyarakatan, Tim Medis Lembaga Pemasyarakatan bekerja sama dengan dokter ahli dari Rumah Sakit Umum
Daerah terdekat. 12. Bahwa dalam rangka memberikan layanan klinis HIV yang optimal bagi Warga
Binaan Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan tersebut, bagi kasus-kasus
Universitas Sumatera Utara
medis yang rumit dan kompleks Tim Medis Lembaga Pemasyarakatan dapat merujuk RSUD terdekat.
2.2.4 Tatalaksana Penanganan Tahanan Berisiko Tinggi Tertular HIV di Lembaga Pemasyarakatan
Pelaksanaan program penanggulangan HIV dan AIDS di Lembaga Pemasyarakatan adalah Strategi Nasional penanggulangan HIV dan AIDS tahun
2005-2009 yang menekankan pada pilar utama pendekatan yaitu: i Penegakan hukum dan bimbingan hukum; ii Rehabilitasi dan pelayanan sosial; dan
iii Pencegahan dan Perawatan Dirjen Pemasyarakatan, 2009. Penegakan hukum dan bimbingan hukum dilakukan agar jumlah pengguna
narkoba baru di Lembaga Pemasyarakatan tidak bermunculan. Kegiatan rehabilitasi dan pelayanan sosial bagi narapidanatahanan dimaksudkan untuk membantu
pemulihan bagi pengguna narkoba, pengguna NAPZA suntik penasun atau yang terinfeksi HIV. Selain kedua pilar tersebut, pilar ketiga yaitu pencegahan dan
perawatan bagi narapidanatahanan pengidap HIV-AIDS dilakukanlah pencegahan dan perawatan, dukungan dan pengobatan CST. Ketiga pilar tersebut saling terkait
satu dengan yang lainnya dan harus dilaksanakan secara bersamaan agar tujuan dari strategi penanggulangan HIV dan AIDS dan penyalahgunaan narkoba di Lembaga
Pemasyarakatan di Indonesia dapat tercapai secara efektif dan efisien Dirjen Pemasyarakatan, 2009.
Penjabaran operasional dari ketiga pendekatan khususnya upaya untuk pencegahan dan perawatan hendaknya dilakukan sejak awal pada saat tahanan masuk
Universitas Sumatera Utara
ke Lembaga Pemasyarakatan sampai mereka dibebaskan. Pola disain pelaksanaan program dapat digambarkan dalam diagram sebagai berikut:
Gambar 2.1 Pola Disain Pelaksanaan Program Penanganan HIV di Lembaga Pemasyarakatan
Sumber : Dirjen Pemasyarakatan 2009
Kegiatan yang perlu dilakukan pada saat tahanan baru masuk di Lembaga
Pemasyarakatan adalah :
a. Registrasi atau Pencatatan
Sesuai dengan prosedur yang ada, tahanan yang baru masuk ke Lembaga Pemasyarakatan akan dilakukan registrasi. Di samping mencatat informasi yang
sudah ditetapkan, perlu ditambahkan pendataan untuk mengetahui gambaran atau
Universitas Sumatera Utara
latar belakang tahanan seperti apakah mereka berisiko tertular HIV, apakah tahanan tersebut sudah pernah tes HIV, apakah tahanan sedang menjalani masa
perawatan seperti penggunaan antiretroviral ARV, atau metadon. Informasi ini dibutuhkan untuk merencanakan pemberian edukasi, menghindari tes HIV ulang,
melanjutkan pengobatan yang sudah berjalan. Oleh karenanya pada saat registrasi kepada setiap tahanan yang masuk perlu ditanyakan dan dicatat informasi
mengenai: apakah mereka pengguna narkoba, apakah mereka pernah memakai narkoba melalui jarum suntik, apakah mereka sering melakukan hubungan seks
yang tidak aman berganti-ganti pasangan dan tidak menggunakan kondom, apakah pernah VCT, apakah mereka sedang mengikuti pengobatan Metadon,
ARV Dirjen Pemasyarakatan, 2009 Penggalian informasi ini dapat dilakukan oleh Tim AIDS Lembaga
Pemasyarakatan atau petugas registrasi yang dilatih. Hasil catatan ini selanjutnya diserahkan ke Tim AIDS yang akan digunakan sebagai data untuk kegiatan tindak
lanjut seperti edukasi, VCT dan kelanjutan pengobatan Dirjen Pemasyarakatan, 2009.
b Pemberian Informasi HIV dan AIDS
Ada dua kegiatan pemberian informasi HIV dan AIDS yaitu pemberian informasi tahap awal dan tahap lanjutan. Pemberian informasi tahap awal tentang HIV dan
AIDS segera dilakukan pada semua tahanan, dan kegiatan ini dapat dilakukan pada waktu Masa Pengenalan Lingkungan Mapenaling. Pada proses ini Tim
AIDS menjelaskan informasi dasar HIV dan AIDS dan menjelaskan peran Tim
Universitas Sumatera Utara
AIDS serta program yang akan dilakukan. Melalui masa pengenalan ini diharapkan semua tahanan baru sudah mengetahui informasi dasar HIV dan
AIDS, dan sudah terjadi interaksi dan kedekatan komunikasi anatara tahanan dengan Tim AIDS, yang akan memudahkan dalam kegiatan selanjutnya selama
tahanan berada di Lembaga Pemasyarakatan. Pemberian informasi pada waktu Mapenaling sangat penting dan strategis untuk menumbuhkan rasa kepedulian
akan kesehatan diri dan lingkungan, rasa kebutuhan informasi, dan bagaimana akses kepada Tim AIDS. Akan sangat membantu bila pada masa Mapenaling ini
bisa diidentifikasi tahanan yang sangat berisiko seperti pengguna narkoba suntik, karena mereka sangat berpeluang terinfeksi HIV. Pemberian edukasi pada
kelompok ini perlu dilakukan secara intesif sampai pada kemauan untuk testing Dirjen Pemasyarakatan, 2009.
c Edukasi Lanjutan
Sebagai tindak lanjut dari pemberian informasi waktu Mapenaling, perlu ditindak lanjuti dengan edukasi yang intensif. Pemberian informasi di kelompok Rutan
perlu dirancang dengan baik karena masa tahanan yang singkat. Oleh karenanya perlu dipikirkan jenis informasi apa saja yang perlu diberikan bila masa tahanan
kurang dari 3 bulan dan yang lebih dari 3 bulan. Kondisi ini berbeda dengan di Lapas karena tahanan sudah ada ketetapan hukum untuk berapa lama mereka akan
tinggal di Lapas. Karena itu edukasi di Lapas sudah dapat dirancang sampai
Universitas Sumatera Utara
konseling, testing serta dukungan untuk pengobatan, dan perawatan Dirjen Pemasyarakatan, 2009.
2.2.5 Pemberian Perawatan Berkesinambungan continue of care di Lembaga
Pemasyarakatan
Perawatan berkesinambungan adalah pendekatan penanggulangan HIV dan AIDS berkesinambungan, terdiri dari pencegahan penularan HIV termasuk
pencegahan penularan dari ibu ke anak, konseling dan testing, perawatan, dukungan, dan pengobatan. Pendekatan ini bertujuan untuk merespon secara komprehensif
kebutuhan layanan populasi maupun individu di tiap fase perjalanan penyakit dan juga untuk menyediakan layanan, serta mencegah penyebaran IMS dan HIV Depkes
RI, 2010b. Selain upaya pencegahan, komponen perawatan yang berkesinambungan yang
lain adalah Konseling dan Tes HIV, Manajemen Kasus HIV dan AIDS, Perawatan dan Pengobatan, PMTCT Prevention of Mother to Child Transmission serta
Diagnosis dan Terapi IMS infeksi menular seksual. Di dalam Lembaga Pemasyarakatan tiap komponen dalam perawatan berkesinambungan ini dapat
disediakan oleh Lembaga Pemasyarakatan sendiri, atau melalui rujukan ke Unit Pelayanan Kesehatan UPK di luar Lembaga Pemasyarakatan Depkes RI, 2010b.
2.2.6 Konseling dan Tes HIV
Tes HIV bermanfaat untuk mengetahui status HIV seseorang sedini mungkin. Dengan demikian, ia dapat mengadopsi perilaku yang lebih aman serta mengakses
Universitas Sumatera Utara
layanan kesehatan sedini mungkin untuk mendapatkan layanan yang dibutuhkan. Pelayanan konseling diberikan oleh konselor di Lembaga Pemasyarakatan yaitu
petugas pembinaan yang sudah dilatih dan mempunyai sertifikat dari Departemen Kesehatan Depkes Republik Indonesia. Pola pendekatan dalam pelaksanaan
konseling dan testing HIV meliputi: Depkes RI, 2010b
a. VCTKTS Voluntary Counseling and TestingKonseling dan Testing Sukarela
dilakukan secara sukarela oleh tahanan klien. Melalui edukasi intensif diharapkan klien secara sukarela meminta konseling dan testing karena ingin tahu status
HIVnya. Sebelum tahanan meminta untuk testing, konselor perlu menjelaskan tentang manfaat dan tujuan VCT serta tindak lanjut dari tes seandainya hasilnya
nanti positip atau terinfeksi HIV. Konselor perlu melakukan pre dan post konseling konseling sebelum dan sesudah tes
b. Konseling dan Testing HIV yang ditawarkan secara rutin routine offerpenawaran
rutin. Routine offer diberikan kepada narapidanatahanan sebulan menjelang masa pidananya berakhir, agar ia setelah mengetahui status HIV-nya dapat membuat
perencanaan yang lebih lengkap untuk perilaku dan akses layanan kesehatan setelah bebas. Dalam pendekatan ini, petugas medis menawarkan konseling dan
testing HIV secara rutin sebagai bagian dari paket layanan kesehatan yang disediakan bagi klien. Namun demikian klien tetap perlu menyatakan diri secara
sukarela ikut serta, tidak boleh ada unsur pemaksaan, klien harus memberikan informed consent persetujuan dan mempunyai hak untuk menolak tes HIV.
Universitas Sumatera Utara
c. Diagnostic HIV testingPICT Testing, rekomendasi World Health Organization