Sedangkan tahun 2003 dan 2009 merupakan tahun dimana tingkat pertumbuhan masing- masing harga mengalami peningkatan harga jual yang sangat drastis, yaitu antara 2 - 5.
Penyebabnya adalah : •
Pada umumnya faktor yang mempengaruhi peningkatan harga nominal ikut juga juga mempengaruhi peningkatan harga rill. Terkhususnya di tahun 2009, dimana Indonesia
mengalami perbaikan ekonomi pasca krisis global terjadi •
Setiap tahun pada semester pertama, Indonesia sebagai negara produsen CPO Dunia mengalami “track buah”
• Terjadinya penurunan persentase inflasi yang ditandai dengan menurunnya persentase
Index Harga Konsumen secara fluktuatif Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa tingkat pertumbuhan harga nominal
dan harga rill CPO Internasional, CPO Domestik, dan TBS Sumatera Utara cenderung sama yaitu mengalami peningkatan harga yang sama secara fluktuatif.
5.2. Hubungan korelasi antara harga CPO Internasional, harga CPO Domestik, dan
Harga TBS Sumatera Utara
Hasil analisis korelasi antara harga CPO Internasional, harga CPO Domestik, dan harga TBS Sumatera Utara semua harga dalam nilai rill dapat di lihat pada tabel 7 di bawah ini :
Tabel 7. Hubungan korelasi antara harga P CPO Internasional, harga P CPO Domestik, dan harga P TBS Sumatera Utara
Variabel N
Signifikansi Pearson Correlation
P TBS Sumatera Utara - P CPO Domestik 120
0,000 0,992
P TBS Sumatera Utara - P CPO Internasional 120
0,000 0,967
PCPO Domestik - P CPO Internasional 120
0,000 0,972
Sumber : Data olahan dari lampiran 12
Pada tabel 7 menjelaskan bahwa terdapat tiga variabel hubungan korelasi, yaitu hubungan korelasi antara harga TBS Sumatera Utara terhadap harga CPO Domestik, hubungan korelasi
antara harga TBS Sumatera Utara terhadap harga CPO Internasional, dan hubungan korelasi antara harga CPO Domestik terhadap harga CPO Internasional. Dan jumah data Time Series
masing-masing variabel sebanyak 120. Dari hasil diatas tampak bahwa Koefisien korelasi antara variabel harga TBS
Sumatera Utara Y terhadap harga CPO Domestik X adalah 0,992 dengan signifikansi 0,000. Koefisien korelasi 0, 992 berarti terjadi hubungan yang sangat kuat antara kedua
variabel. Tingkat signifikansi sebesar 0,000 0,05, berarti ada korelasi yang nyata antara variabel Y dengan variabel X. Koefisien bertanda positif berarti apabila variabel X naik maka
variabel Y juga naik, demikian sebaliknya, dengan kata lain menyatakan adanya hubungan linier sempurna langsung. Ini berarti bahwa titik-titik yang ditentukan oleh X,Y seluruhnya
berada pada garis regresi linier. Secara estimasi, penjelasan diatas seharusnya menjadi kenyataan. Dimana ketika
harga CPO Domestik mengalami peningkatan ataupun penurunan harga, maka harga TBS Sumatera Utara juga mengalami perubahan tersebut. Tetapi secara nyata ketika harga CPO
Domestik mengalami peningkatan harga, maka harga TBS Sumatera Utara tidak mutlak mengalami peningkatan harga, sedangkan ketika harga CPO Domestik mengalami penurunan
harga, maka harga TBS Sumatera Utara mutlak mengalami penurun tersebut dan bahkan lebih turun lagi. Ini dikarenakan, penerima harga TBS tersebut tidak mempunyai posisi tawar
yang kuat untuk ikut serta dalam menentukan harga hasil panennya, Harga TBS yang wajar diterima telah distorsi oleh berbagai kepentingan, biaya produksi yang mahal, Tidak adanya
perbedaan antar rendemen dengan umur tanaman, serta terlalu panjangnya jalur tataniaga, sehingga banyak yang menggunakan jasa pengangkutan untuk menjual hasil TBS atau
menjualnya ke tengkulak.
Dari tabel 7 menjelaskan bahwa Koefisien korelasi antara variabel harga TBS Sumatera Utara Y terhadap harga CPO Internasional X adalah 0,967 dengan signifikansi
0,000. Koefisien korelasi 0, 967 berarti terjadi hubungan yang sangat kuat antara kedua variabel. Tingkat signifikansi sebesar 0,000 0,05, berarti ada korelasi yang nyata antara
variabel Y dengan variabel X. Koefisien bertanda positif berarti apabila variabel X naik maka variabel Y juga naik, demikian sebaliknya, dengan kata lain menyatakan adanya hubungan
linier sempurna langsung. Ini berarti bahwa titik-titik yang ditentukan oleh X,Y seluruhnya berada pada garis regresi linier.
Dari penjelasan diatas seharusnya secara estimasi menjadi kenyataan. Dimana ketika harga CPO Internasional mengalami peningkatan ataupun penurunan harga, maka harga TBS
Sumatera Utara juga mengalami perubahan tersebut. Tetapi secara nyata ketika harga CPO Internasional mengalami peningkatan harga, maka harga TBS Sumatera Utara tidak mutlak
mengalami peningkatan harga, sedangkan ketika harga CPO Internasional mengalami penurunan harga, maka harga TBS Sumatera Utara mutlak mengalami penurun tersebut dan
bahkan lebih turun lagi. Ini dikarenakan, Penurunan harga CPO ataupun harga Kernel inti sawit. Jika hal ini terjadi , perusahaan inti tidak akan mau mengurangi keuntungannya.
Selanjutnya hal yang terjadi di lapangan adalah penurunan harga TBS yang akan diterima petani sehingga biaya pengolahan yang dikeluarkan perusahaan dapat dikatakan tidak
mengalami banyak perubahan. Dan secara tidak langsung, harga TBS tersebut ikut terkena punggutan ekspor, meskipun penerima harga TBS tersebut tidak mengekspor, yang
seharusnya pungutan ekspor tersebut di kenakan pada perusahaan yang melakukan ekspor CPO.
Dari tabel 7 juga menjelaskan bahwa bahwa Koefisien korelasi antara variabel harga CPO Domestik Y terhadap harga CPO Internasional X adalah 0,972 dengan signifikansi
0,000. Koefisien korelasi 0, 972 berarti terjadi hubungan yang sangat kuat antara kedua
variabel. Tingkat signifikansi sebesar 0,000 0,05, berarti ada korelasi yang nyata antara variabel Y dengan variabel X. Koefisien bertanda positif berarti apabila variabel X naik maka
variabel Y juga naik, demikian sebaliknya, dengan kata lain menyatakan adanya hubungan linier sempurna langsung. Ini berarti bahwa titik-titik yang ditentukan oleh X,Y seluruhnya
berada pada garis regresi linier. Secara estimasi, penjelasan diatas seharusnya menjadi kenyataan. Dimana ketika
harga CPO Internasional mengalami peningkatan ataupun penurunan harga, maka harga CPO Domestik juga mengalami perubahan tersebut. Tetapi secara nyata ketika harga CPO
Internasional mengalami peningkatan harga, maka harga CPO Domestik tidak mutlak mengalami peningkatan harga, sedangkan ketika harga CPO Internasional mengalami
penurunan harga, maka harga CPO Domestik mutlak mengalami penurun tersebut dan bahkan lebih turun lagi. Ini dikarenakan, Indonesia sebagai negara produsen CPO terbesar
kedua setelah Malaysia belum dapat menjadi Price Maker CPO Internasional dan hanya mengacu pada harga CPO Internasional yang ditetapkan di Rotterdam, tingginya punggutan
ekspor yang ditetapkan pemerintah bagi perusahaan inti yang melakukan pengeksporan CPO ke pasar Internasional. Dan juga dikarenakan, tingginya harga pengapalan yang terjadi pada
saat melakukan ekspor CPO terjadi dan tingginya tarif impor yang di tetapkan pemerintah, serta berfluktuatifnya pertumbuhan nilai tukar mata uang Rupiah terhadap mata uang Dollar
Amerika dan fluktuatifnya pertumbuhan index harga konsumen IHK sebagai indikator inflasi di Indonesia.
Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa secara estimasi, seluruh hubungan korelasi yang telah dijelaskan diatas mempunyai nilai koefisien korelasi b
1
mendekati 1, berarti terjadi integrasi harga secara sempurna. Nilai tersebut menunjukkan bahwa hubungan
korelasi yang terjadi adalah sangat kuat, dimana jika terjadi kenaikkan harga satu rupiah Rp 1 pada harga CPO Domestik X maka akan diikuti dengan kenaikan harga sebesar satu
rupiah Rp 1 pula pada harga TBS Sumatera Utara Y dan begitu juga yang terjadi pada hubungan korelasi harga TBS Sumatera Utara Y terhadap CPO Internasional X, serta
pada hubungan korelasi harga CPO Domestik Y terhadap CPO Internasional X, sehingga dapat dikatakan bahwa integrasi harganya adalah sempurna atau pasarnya pasar persaingan
sempurna, serta pemasarannya efisien, artinya besar persentase perubahan harga CPO Domestik sebanding dengan besarnya yang terjadi pada harga TBS Sumatera Utara
Tabel 6. Ciri-ciri pasar persaingan sempurna adalah terdapat sangat banyak penjual dan
pembeli, produk yang dihasilkan oleh para produsen adalah homogen, penjual,pembeli, dan perusahaan bebas masuk dan keluar pasar, setiap produsen adalah penerim harga price
taker. Tetapi secara nyata, seluruh hubungan yang seharusnya terjadi, tidak secara mutlak
terjadi. Ketika harga X mengalami peningkatan sebesar satu rupiah per kilogram Rp 1 per Kg, maka harga Y yang seharusya secara empiris meningkat satu rupiah per kilogram pula
tetapi secara nyata hanya meningkat sebesar kurang dari satu rupiah per kilogram. Tetapi keadaan berbeda, ketika harga X mengalami penurunan sebesar satu rupiah per kilogram Rp
1 per Kg, maka harga Y yang seharusya secara empiris dan secara nyata ikut mengalami penurunan sebesar satu rupiah per kilogram bahkan lebih besar dari satu rupiah per kilogram
yang terjadi. pula tetapi secara nyata hanya meningkat sebesar kurang dari satu rupiah per kilogram.
Keadaan ini lebih sering terjadi pada perubahan harga CPO Domestik terhadap perubahan harga TBS Sumatera Utara. Dimana Ketika harga CPO Domestik mengalami
peningkatan sebesar satu rupiah per kilogram Rp 1 per Kg, maka harga TBS Sumatera Utara akan meningkat sebesar kurang dari satu rupiah per kilogram. Dan, ketika harga CPO
Domestik mengalami penurunan sebesar satu rupiah per kilogram Rp 1 per Kg, maka harga
TBS Sumatera Utara ikut mengalami penurunan sebesar satu rupiah per kilogram bahkan lebih besar dari satu rupiah per kilogram yang terjadi.
Dan secara nyata, struktur pasar yang terjadi pada pasar CPO Domestik, dan pada pasar TBS Sumatera Utara adalah pasar persaingan monopolistik. Ciri-ciri pasar ini adalah
terdapat banyak penjual dan pembeli relatif sedikit, produknya tidak homogen berbeda corak, perusahaan mempunyai sedikit kekuatan mempengaruhi harga CPO Domestik
dan penentu harga CPO Internasional, masuk ke dalam industripasar relative mudah. Dan sistem pemasarannya tidak efisien, artinya besar persentase perubahan harga CPO Domestik
tidak sebanding dengan besarnya yang terjadi pada harga TBS Sumatera Utara.
5.3. Elastisitas transmisi harga CPO Domestik terhadap harga TBS petani Sumatera