Peternakan dan Perikanan Kabupaten Jember, serta Dinas Pemerintahan Tingkat Desa Balai Desa Jubung, Balai Desa Sabrang, Balai Desa
Andongsari, dan Balai Desa Wonoasri. Data yang diambil meliputi data produksi susu sapi, data peternak sapi perah, profil desa, dan lain-lain yang
berhubungan dengan penelitian.
3.5 Metode Analisis Data
3.5.1 Kesesuaian Agroekologi
Untuk menyelesaikan
permasalahan pertama
terkait kesesuaian
agroekologi peternakan sapi perah yang tergabung dalam Koperasi Mahesa, peneliti menggunakan cara menggali informasi baik dari buku ataupun orang
– orang yang berkompeten di bidang peternakan sapi perah misalnya dokter hewan,
dinas peternakan, dan lainnya untuk mengetahui kriteria agroekologi peternakan sapi perah yang baik. Setelah itu, menggali informasi tentang keadaan agroekologi
di setiap kecamatan, baik dari wawancara ke peternak maupun dari profil desa untuk mengetahui ketinggian, curah hujan, kelembaban, dan lainnya jika
memang dibutuhkan. Jika semua kecamatan sudah didapatkan informasinya, maka hasilnya dibandingkan antara peternakan di satu kecamatan yang lain,
kemudian dibandingkan pula dengan kriteria agroekologi peternakan yang baik. Pada dasarnya, peternakan sapi perah mempunyai kriteria bagaimana
peternakan sapi perah yang baik dari segi pemeliharaan, sarana dan prasarana, termasuk kesesuaian agroekologinya. Hal itu dikarenakan berdampak pada hasil
produksi susu sapi. Jika cara pemeliharaan atau budidayanya baik, maka produktivitasnya pun akan baik. Begitu pula pada syarat agroekologinya.
Peternakan sapi perah dapat menghasilkan produksi yang maksimal apabila diternakkan di tempat yang agroekologiya sesuai dengan keadaan
fisiologis sapi perah. Jadi kesesuaian agroekologi ini digunakan untuk mengetahui bagaimana kondisi lingkungan peternakan sapi perah yang diternakkan oleh
peternak yang tergabung dalam Koperasi Mahesa, apakah kondisinya sudah sesuai atau tidak.
Peternakan sapi perah yang tergabung dalam Koperasi Mahesa ini tersebar di tiga kecamatan yang keadaan agroekologinya berbeda-beda, misalnya suhu,
dimana peternakan sapi perah pada umumya diternakkan di daerah dengan suhu cenderung rendah atau tidak panas. Namun kenyataannya, peternakan sapi perah
yang tergabung dalam Koperasi Mahesa berada di daerah dengan suhu yang cukup tinggi atau panas. Indikator berikutnya adalah kelembaban. Pada umumnya
peternakan sapi perah layak didirikan di daerah dengan kelembaban yang tinggi. Indikator ketiga adalah curah hujan. Indikator ini tidak selalu menjadi faktor
penting dalam menentukan kesesuaian agroekologi peternakan sapi perah, namun banyak juga peneliti yang meninjau kesesuaian peternakan sapi perah dari curha
hujannya. Indikator terakhir terkait kesesuaian agroekologi yang dapat diteliti adalah ketinggian tempat. Peternakan sapi perah dapat menghasilkan produksi
yang maksimal apabila diternakkan pada daerah dataran tinggi. Sedangkan pada perternakan sapi perah yang tergabung dalam Koperasi Mahesa berada di daerah
dataran rendah. Beberapa indikator yang tampaknya berbanding terbalik dengan standard kesesuaian agroekologi peternakan sapi perah itulah yang akan diteliti.
Penelitian ini salah satu permasalahannya adalah untuk mengetahui keseuaian agroekologi antara peternakan sapi perah di satu kecamatan dengan kecamatan
lain, kemudian membandingkan dengan kriteria agroekologi peternakan sapi perah yang baik. Berikut ini adalah data kriteria agroekologi peternakan sapi
perah yang baik :
Tabel 3.2 Kriteria Agroekologi Peternakan Sapi Perah Kriteria
Standardisasi
Suhu 27
– 29
o
C Kelembaban
60 - 70 Curah Hujan
1800 mm per tahun Ketinggian Tempat:
- Dataran rendah
- Dataran tinggi
100 – 500 m
500 m
Sumber :Sugeng dalam Ardy 2011 dan Wiryo 2010.
Menurut Sugeng dalam Ardy 2011, pemeliharaan sapi perah hendaknya pada suhu antara 27
– 29 C dan kelembaban udara antara 60
– 70 dan curah hujan rata- rata diatas 1800 mm pertahun. Suhu lingkungan yang ideal sangat
diperlukan untuk menjaga penampilan dan kualitas hasil ternak. Suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan cekaman pada sapi perah yang akhirnya dapat
berakibat pada turunnya produksi susu. Pada saat temperatur udara rendah maka kelembaban tinggi dan pada saat
temperatur udara meningkat maka kelembaban udara turun. Kelembaban udara yang sangat tinggi sangat mungkin terjadi karena intensitas hujan yang tinggi.
Kelembaban yang tinggi bisa mengurangi atau menurunkan jumlah panas yang hilang akibat penguapan, sedangkan penguapan merupakan salah satu cara untuk
mengurangi panas tubuh sehingga tubuh menjadi sejuk, jumlah panas yang hilang tersebut tergantung dari luas permukaan tubuh, bulu yang menyelubungi kulit,
jumlah dan besar kelenjar keringat, suhu lingkungan dan kelembaban udara Sugeng, dalam Putra, 2009. Kelembaban udara yang tinggi dengan sedikit
pergerakan udara akan menjadi salah satu faktor penyebab timbulnya stres panas pada sapi perah Gwatibaya et al, dalam Sudrajad dan Adiarto, 2011.
Suhu dan kelembaban merupakan unsur iklim mikro yang dapat mempengaruhi produktivitas ternak secara langsung. Sedangkan unsur lainnya
seperti curah hujan dan ketinggian tempat tidak mempengaruhi produktivitas ternak secara langsung. Namun curah hujan dan ketinggian tempat juga sering
dijadikan acuan peternak dalam mendirikan suatu usaha peternakan. Curah hujan yang ideal pada peternakan sapi perah adalah 1800 mm per tahun.
Menurut Bayong 2004, keadaan iklim suatu daerah berhubungan erat dengan ketinggian tempat, yang merupakan faktor penentu ciri khas dan pola
hidup dari suatu ternak. Setiap kenaikan ketinggian tempat di atas permukaan laut memperlihatkan terjadinya penurunan suhu, curah hujan tinggi disertai
peningkatan kelembaban udara. Lokasi pemeliharaan ternak sapi perah dapat dilakukan pada dataran rendah 100-500 m hingga dataran tinggi 500 m
Wiryo, 2010.
3.5.2 Analisis Kelayakan Usaha