merugikan yang dapat ditimbulkan akibat interaksi obat Quinn dan Day,
1997.
Interaksi obat yang paling penting pada lansia termasuk obat dengan indikasi terapeutik yang sempit atau obat yang memengaruhi sistem
saraf pusat. Perawat perlu menyaring profil pengobatan untuk interaksi obat pada pasien yang menggunakan obat seperti warfarin, fenitoin, karbamazepin,
fenobarbital, digoksin,
quinidin, prokainamid,
antidepresan, atau
benzodiazepin Maryam, 2008.
5. Polifarmasi Pada Lansia
Kombinasi obat yang tidak diperlukan adalah penggunaan dua macam obat atau lebih dengan kelas terapi yang sama namun berbeda
golongan yang dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas terapi namun salah satu obat atau lebih dalam kombinasi tersebut sebenarnya tidak
diperlukan bagi pasien Rahmawati, 2008.
Kelompok lansia mengkonsumsi lebih banyak obat dibandingkan dengan kelompok umur lain. Polifarmasi ada bila obat-obatan yang digunakan
tidak memiliki indikasi yang nyata, duplikasi pengobatan, interaksi pengobatan yang sedang digunakan saat ini, kontraindikasi pengobatan yang
digunakan, obat yang digunakan untuk mengobati reaksi obat yang merugikan, atau terdapat perbaikan setelah pemutusan obat Stanley Beare,
2006.
Terapi obat adalah dasar perawatan untuk artritis, hipertensi, penyakit arteri koroner, diabetes, dan banyak dari permasalahan medis kronis
lain dapat dilihat pada lansia. Karena 4 dari 5 orang yang berusia di atas 65 tahun mempunyai satu atau lebih penyakit kronis, tidak mengejutkan bahwa
kelompok usia ini adalah pemakai paling besar obat yang diresepkan. Adanya sejumlah permasalahan medis mungkin membawa pasien untuk mencari
bantuan dari beberapa dokter. Suatu resep dibuat untuk 60 kunjungan ke tempat praktik, dan karena lansia mengunjungi dokter lebih banyak daripada
kelompok usia yang lain, mereka menerima lebih banyak obat yang
diresepkan Stanley Beare,2006.
6. Dampak Masalah Polifarmasi Pada Lansia
Penggunaan berbagai macam obat meningkatkan potensi untuk terjadinya ketidakpatuhan dan turut berperan dalam terjadinya reaksi obat
yang tidak diinginkan, interaksi obat, dan biaya pelayanan kesehatan.
Penambahan suatu obat baru pada program pengobatan mungkin memerlukan suatu perubahan gaya hidup pasien misalnya: harus ingat untuk memakan
satu tablet pada pagi hari atau perubahan yang lebih penting misalnya: harus ingat untuk memakan enam atau delapan kapsul setiap harinya, melakukan
penyesuaian untuk diet yang dikendalikan, membatasi aktifitas fisik atau menggunakan obat tambahan untuk mengantisipasi efek samping obat.
Kurangnya dukungan terhadap program pengobatan yang kompleks merupakan hal yang sering terjadi, dan kegagalan penyedia layanan kesehatan
untuk mengkoordinasikan program pengobatan. Perilaku ketergantungan
kemudian mungkin mendorong kearah tidak mematuhi, kegagalan perawatan, atau ketergantungan yang berlebihan pada obat. Tipe perilaku mencari obat ini
mungkin mendorong kearah penggunaan obat yang berlebihan Stanley
Beare, 2006.
Berbagai studi menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara jumlah obat yang diminum dengan kejadian efek samping obat. Artinya,
makin banyak jenis obat yang diresepkan pada individu-individu lansia, makin tinggi pula kemungkinan terjadinya efek samping. Secara epidemiologis, 1
dari 10 orang 10 akan mengalami efek samping setelah pemberian 1 jenis obat. Resiko ini meningkat mencapai 100 jika jumlah obat yang diberikan
mencapai 10 jenis atau lebih. Secara umum angka kejadian efek samping obat
pada lansia mencapai 2 kali lipat kelompok usia dewasa. Obat-obat yang sering menimbulkan efek samping pada lansia antara lain analgetika,
antihipertensi, antiparkinsion,
antipsikotik, sedatif
dan obat-obat
gastrointestinal. Sedangkan efek samping yang paling banyak dialami antara lain hipotensi postural, ataksia, kebingungan, retensi urin, dan konstipasi.
Tingginya angka kejadian efek samping obat ini nampaknya berkaitan erat dengan kesalahan peresepan oleh dokter maupun kesalahan pemakaian oleh
pasien, dalam Franklin 2009, a. Kesalahan peresepan
Sebagai contoh simetidin yang sering diberikan pada kelompok usia ini, ternyata memberi dampak efek samping yang cukup sering misalnya
halusinasi dan reaksi psikotik, jika diberikan sebagai obat tunggal. Obat ini juga menghambat metabolisme berbagai obat seperti warfarin, fenitoin
dan beta blocker. Sehingga pada pemberian bersama simetidin tanpa lebih dulu melakukan penetapan dosis yang sesuai, akan menimbulkan efek
toksik yang kadang fatal karena meningkatnya kadar obat dalam darah
secara mendadak Franklin, 2009. b. Kesalahan pasien
Secara konsisten, kelompok lansia banyak mengkonsumsi obat-obat yang dijual bebastanpa resep OTC. kandungan zat-zat aktif dalam satu obat
OTC kadang-kadang belum jelas efek farmakologiknya atau malah bersifat membahayakan. Beberapa antihistamin mempunyai efek sedasi,
yang jika diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi kognitif akan memberi efek samping yang serius. Demikian pula obat-obat dengan
kandungan zat yang mempunyai antimuskarinik akan menyebabkan retensi urin atau glaukoma, yang penanganannya akan jauh lebih sulit
dibanding penyakitnya semula Franklin, 2009. c. Ketidak-jelasan informasi pengobatan
Keadaan ini banyak dialami oleh penderita-penderita penyakit yang bersifat hilang timbul sering kambuh. Kesalahan umumnya berupa salah
minum obat karena banyaknya jenis obat yang diresepkan, atau berupa ketidaksesuaian dosis dan cara pemakaian seperti yang dianjurkan.
Kelompok usia ini tidak jarang pula memanfaatkan obat-obat yang kadaluwarsa secara tidak sengaja, karena ketidaktahuan ataupun
ketidakjelasan informasi. Namun demikian, hal-hal yang perlu dicatat
dalam segi ketaatan pasien antara lain dalam Franklin 2009 :
1 Meskipun secara umum populasi lansia kurang dari 15, tetapi peresepan pada usia ini relatif tinggi, yaitu mencapai 25-30 dari
seluruh peresepan.
2 Pasien sering lupa instruksi yang berkenaan dengan cara, frekuensi dan berapa lama obat harus diminum untuk memperoleh efek terapetik
yang optimal. Untuk antibiotika, misalnya pasien sering menganggap bahwa hilangnya simptom memberi tanda untuk menghentikan
pemakaian obat.
3 Pada penderita yang tremor, mengalami gangguan visual atau menderita artritis, jangan diberi obat cairan yang harus ditakar dengan
sendok.
4 Untuk pasien lansia dengan katarak atau gangguan visual karena degenerasi makular, sebaiknya etiket dibuat lebih besar agar mudah
dibaca.
7. Reaksi Obat yang Tidak Diharapkan