EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE (TPS) DAN SPONTANEUS GROUP DISCUSSION (SGD) DENGAN PENDEKATAN SAINTIFIK DITINJAU DARI KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH DAN KEPERCAYAAN DIRI SISWA KELAS X MIA DI MAN 1 YOGYAKARTA.

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ilmu pengetahuan dan teknologi terus berkembang seiring dengan terjadinya perkembangan pada dunia pendidikan. Pendidikan secara konsisten menjalankan peranannya untuk mengembangkan potensi generasi penerus agar menjadi sumber daya manusia yang unggul. Sumber daya inilah yang nantinya secara bertahap akan menciptakan penemuan-penemuan baru yang penting bagi kehidupan manusia. Di Indonesia peran peting pendidikan dipahami dengan merancang fungsi dan tujuan pendidikan yang akan mampu mengembangkan peradaban bangsa dan menciptakan manusia berkualitas. Adapun fungsi dan tujuan pendidikan di Indonesia adalah sebagai berikut :

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU RI No 20 Tahun 2003 ).

Sebagai usaha untuk mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan, dikembangkanlah kurikulum. Kurikulum terbaru yang dikembangkan adalah Kurikulum 2013. Pengembangan Kurikulum 2013 difokuskan pada kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan (Kemendikbud : 2013). Kurikulum ini diharapkan mampu membentuk siswa yang memiliki


(2)

2 kemampuan kognisi tinggi yang diiringi dengan kecakapan dan sikap yang baik.

Dalam penerapannya, matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib dipelajari oleh siswa. Hal ini dikarenakan matematika memiliki peranan penting dalam pengembangan teknologi dan ilmu pengetahuan. Menurut Sudrajat (2008 : 2) matematika akan melatih keterampilan abstraksi, penalaran logika, dan analisis masalah seseorang. Latihan ini akan membimbing seseorang untuk mengkaji alam sekitar dan mengembangkannya menjadi teknologi yang bermanfaat.

Sejalan dengan pendapat yang disampaikan oleh Sudrajat, Branca (Leo Adhar Effendi, 2012 : 2) berpendapat bahwa kemampuan pemecahan masalah adalah jantungnya matematika. Kemampuan pemecahan masalah menjadi penting untuk dipelajari karena melatih siswa dalam berpikir secara logis. Kemampuan ini akan membantu siswa dalam menghadapi kehidupan yang sebenarnya. Siswa yang mempunyai kemampuan pemecahan masalah akan mampu mencari informasi yang dibutuhkan dalam pemecahan masalah kemudian menganalisinya untuk melakukan penyelesaian masalah.

Menurut Herman Hujodo (2001 : 167), siswa yang sering mengerjakan soal pemecahan masalah akan terbiasa dalam mengumpulkan informasi relevan, melakukan analisis informasi, dan mengetahui pentingnya menganalisis kembali hasil yang diperoleh. Pendapat ini memperkuat bahwa kemampuan pemecahan masalah merupakan


(3)

3 komponen yang penting dalam pembelajaran matematika. Kemampuan ini perlu dikembangkan agar siswa memiliki kemampuan pemecahan masalah yang baik. Akibatnya, pengembangan kemampuan pemecahan masalah perlu mendapatkan perhatian.

Selain kemampuan pemecahan masalah aspek sikap juga penting dalam mencapai tujuan pendidikan. Berdasarkan kurikulum 2013 (Kemendikbud, 2013), standar kelulusan siswa dari aspek sikap yaitu akan terbentuk siswa yang beriman, berakhlak mulia, percaya diri, dan bertanggung jawab dalam berinteraksi dengan lingkungan sosial dan alam. Keterangan ini menunjukkan bahwa kepercayaan diri menjadi salah satu sikap yang mendapatkan perhatian.

Sikap percaya diri diperhatikan karena akan membantu siswa dalam mencapai keberhasilan. David Lawrence Preston (2008: 18) mendefinisikan kepercayaan diri sebagai suatu keyakinan seseorang akan kemampuannya mencapai, dan berpikir untuk dirinya sendiri. Keyakinan ini akan mengondisikan siswa untuk mengeluarkan seluruh potensinya. Saat seluruh potensi siswa dapat tersalurkan tingkat keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan akan meningkat.

Kemampuan pemecahan masalah dan kepercayaan diri siswa dapat ditingkatkan melalui proses pembelajaran. Menurut Trianto (2007 : 13) prinsip dari pembelajaran adalah guru memfasilitasi siswa untuk membangun pengetahuannya sendiri. Dalam memfasilitasi siswa, pendekatan pembelajaran dan model pembelajaran menjadi hal yang


(4)

4 penting. Kedua komponen ini akan membantu guru dalam melakukan pembelajaran yang baik. Akibatnya, pendekatan pembelajaran dan model pembelajaran yang digunakan akan mempengaruhi hasil pembelajaran.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses dinyatakan bahwa standar proses pembelajaran pada Kurikulum 2013 menggunakan pembelajaran dengan pendekatan saintifik, tematik terpadu, dan tematik. Pendekatan saintifik menjadi pilihan untuk penyampaian materi matematika. Pendekatan ini menganut paham konstruktivisme di mana siswa dituntut untuk membangun pengetahuannya sendiri. Menurut Daryanto (2014 : 51) pendekatan saintifik merupakan proses pembelajaran yang mengarahkan siswa untuk secara aktif membangun prinsip, konsep atau hukum melalui langkah-langkah saintifik. Dengan demikian, pendekatan saintifik akan membantu siswa dalam belajar matematika.

Selain itu, model pembelajaran juga telah banyak dikembangkan oleh ahli pembelajaran. Model pembelajaran ini memiliki keunggulan masing-masing. Salah satu model pembelajaran yang sering dipakai adalah model pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran kooperatif berlandaskan pada paham konstruktivisme yaitu model yang mengharapkan siswa membangun pengetahuannya sendiri. Robert E.Slavin (2009 : 8) menyatakan bahwa dalam pembelajaran kooperatif, siswa saling berdiskusi, beragumentasi, dan bekerja sama dalam kelompok kecil untuk saling membantu dalam menyelesaikan suatu


(5)

5 permasalahan tertentu. Kondisi ini akan membantu siswa dalam proses pemecahan masalah dan meningkatkan kepercayaan diri siswa.

Model pembelajaran kooperatif sendiri juga telah dikembangkan oleh para ahli sehingga terdapat banyak model pembelajaran kooperatif. Beberapa model yang diantaranya adalah Think Pair Share (TPS) dan Spontaneous Group Discussion (SGD). Pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) menekankan pada tiga tahapan yaitu Think (berpikir), Pair (berpasangan), dan Share (berbagi). Syahrul (2011 : 8) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) memiliki prosedur tak tampak yang akan memberikan waktu lebih banyak bagi siswa untuk berfikir dan menjawab serta saling membantu dalam menghadapi suatu masalah. Menurut Miftahul Huda (2012 : 132) dalam model pembelajaran Think Pair Share (TPS), siswa diminta untuk duduk berpasangan, dan setelah guru memberikan suatu pertanyaan siswa diminta untuk berpikir sendiri terlebih dahulu kemudian mendiskusikan hasil pemikiran tersebut dengan pasangan.

Selanjutnya pembelajaran kooperatif tipe Spontaneous Group Discussion (SGD) merupakan pembelajaran yang dilakukan secara spontan. Menurut Miftahul Huda, (2012 : 129) pembelajaran ini merupakan metode diskusi kelompok yang tidak direncanakan sebelumnya, tetapi dilaksanakan secara spontan dan sederhana. Langkah-langkah dari pembelajaran kooperatif tipe Spontaneous Group Discussion (SGD) terdiri atas : meminta siswa untuk berkelompok, siswa berdiskusi


(6)

6 tentang sesuatu, guru memanggil kelompok satu persatu, dan siswa mempresentasikan hasil diskusi di depan kelas.

Penerapan pendekatan pembelajaran dan model pembelajaran perlu dilakukan di berbagai sekolah, salah satunya adalah di Madrasah Aliyah (MA). Madrasah Aliyah merupakan Sekolah Menengah Atas dengan berciri khas Agama Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Agama. Dalam pelaksanaannya, setiap madrasah harus melaksanakan kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah dengan ditambah muatan pelajaran keagamaan. Dalam Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 117 Tahun 2014 tentang Implementasi Kurikulum 2013 di Madrasah disebutkan bahwa mata pelajaran pada satuan pendidikan MA meliputi mata pelajaran Sekolah Menengah Atas pada umumnya ditambah mata pelajaran Bahasa Arab dan Pendidikan Agama Islam yang terdiri dari Al-Qur'an Hadist, Akhidah-Akhlak, Fikih, dan Sejarah Kebudayaan Islam. Kondisi ini mengakibatkan tuntutan beban belajar di MA menjadi lebih berat dibandingkan dengan sekolah formal pada umumnya.

Menurut Slameto (2003: 54) beban belajar yang berat menjadi salah satu faktor penyebab kesulitan belajar siswa. Kesulitan yang dimaksud meliputi kemampuan pemecahan masalah dan sikap kepercayaan diri siswa. Hal ini menjadi indikasi bahwa kemampuan pemecahan masalah dan kepercayaan diri siswa MA yang diharapkan dipelajari dalam pembelajaran matematika pada Kurikulum 2013 masih belum maksimal.


(7)

7 Hal ini diperkuat dengan wawancara yang dilakukkan kepada siswa kelas X MAN 1 Yogyakarta. Mereka menyampaikan bahwa selain harus memahami materi pelajaran, mereka juga harus memahami materi keagamaan yang tidak ada pada sekolah menengah atas pada umumnya. Keadaan ini mengakibatkan waktu belajar menjadi lebih padat sehingga mereka sering merasa kurang memahami pelajaran yang diberikan. Selain itu, pengamatan yang dilakukan di dalam kelas menunjukkan bahwa kepercayaan diri sebagian siswa telah berkembang namun masih banyak siswa yang kurang percaya diri untuk menyampaikan pendapatnya. Dengan demikian, perlu adanya upaya untuk meningkatkan kedua kemampuan penting yaitu kemampuan pemecahan masalah dan kerpercayaan diri tersebut.

Uraian sebelumnya memberikan harapan bahwa model pembelajaran TPS dan SGD dengan pendekatan saintifik mampu mengatasi masalah ini. Pembelajaran matematika menggunakan model TPS dengan pendekatan saintifik menekankan pada suatu pembelajaran matematika melalui tahap-tahap saintifik yang dilakukan secara berkelompok menggunakan model TPS sehingga di akhir pembelajaran siswa mampu menemukan konsep, prinsip, atau hukum matematika tertentu. Di lain pihak, pembelajaran matematika menggunakan model SGD dengan pendekatan saintifik menekankan pada suatu pembelajaran matematika melalui tahap-tahap saintifik yang dilakukan secara spontan dan sederhana.


(8)

8 Berdasarkan uraian yang telah disampaikan, dan potensi yang terdapat pada langkah pembelajaran dengan pendekatan saintifik menggunakan model pembelajaran TPS dan SGD perlu diteliti tentang efektivitas penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dan Spontaneous Group Discussion (SGD) dengan pendekatan saintifik ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah matematika dan sikap kepercayaan diri siswa Madrasah Aliyah.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, diidentifikasi beberapa masalah penelitian yaitu :

1. Kemampuan pemecahan masalah siswa masih belum maksimal. 2. Pengembangan sikap kepercayaan diri siswa masih belum terfasilitasi

secara maksimal.

3. Beban belajar siswa MA lebih berat dibandingkan siswa SMA karena selain harus melaksanakan kurikulum nasional masih perlu ditambah dengan muatan keagamaan.

4. Belum diketahui keefektifan model pembelajaran model pembelajaran Think Pair Share (TPS) dan Spontaneous Group Discussion (SGD) dengan pendekatan saintifik ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah matematika dan sikap kepercayaan diri siswa.

C. Pembatasan Masalah

Masalah pada penelitian ini dibatasi pada efektivitas penggunaan model pembelajaran Think Pair Share (TPS) dengan pendekatan


(9)

9 saintifik dan Spontaneous Group Discussion (SGD) dengan pendekatan saintifik ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah matematika dan sikap kepercayaan diri siswa kelas X MIA di MAN 1 Yogyakarta pada materi barisan dan deret.

D. Perumusan Masalah

1. Apakah model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dengan pendekatan saintifik efektif ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah siswa?

2. Apakah model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dengan pendekatan saintifik efektif ditinjau dari kepercayaan diri siswa?

3. Apakah model pembelajaran Spontaneous Group Discussion (SGD) dengan pendekatan saintifik efektif ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah siswa?

4. Apakah model pembelajaran Spontaneous Group Discussion (SGD) dengan pendekatan saintifik efektif ditinjau dari kepercayaan diri siswa ?

5. Jika keduanya efektif ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah siswa, manakah model pembelajaran yang lebih efektif antara model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dengan pendekatan saintifik dan model pembelajaran Spontaneous Group Discussion (SGD) dengan pendekatan saintifik?


(10)

10 6. Jika keduanya efektif ditinjau dari kepercayaan diri siswa, manakah model pembelajaran yang lebih efektif antara model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dengan pendekatan saintifik dan model pembelajaran Spontaneous Group Discussion (SGD) dengan pendekatan saintifik?

E. Tujuan Penelitian

1. Untuk mendeskripsikan keefektifan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dengan pendekatan saintifik ditinjau dari kemampuan pemecahan malalah siswa.

2. Untuk mendeskripsikan keefektifan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dengan pendekatan saintifik ditinjau dari kepercayaan diri siswa.

3. Untuk mendeskripsikan keefektifan model pembelajaran Spontaneous Group Discussion (SGD) dengan pendekatan saintifik ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah siswa.

4. Untuk mendeskripsikan keefektifan model pembelajaran Spontaneous Group Discussion (SGD) dengan pendekatan saintifik ditinjau dari kepercayaan diri siswa.

5. Jika keduanya efektif ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah siswa, maka untuk mendeskripsikan manakah yang lebih efektif antara model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share


(11)

11 (TPS) dengan pendekatan saintifik dan model pembelajaran Spontaneous Group Discussion (SGD) dengan pendekatan saintifik. 6. Jika keduanya efektif ditinjau dari kepercayaan diri siswa, maka

untuk mendeskripsikan manakah yang lebih efektif antara model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dengan pendekatan saintifik dan model pembelajaran Spontaneous Group Discussion (SGD) dengan pendekatan saintifik.

F. Manfaat Penelitian 1. Guru

a. Memberikan referensi bagi guru dalam menerapkan pendekatan saitifik yaitu dengan model pembelajaran Think Pair Share (TPS) dan Spontaneous Group Discussion (SGD).

b. Memberikan referensi bagi guru mengenai cara meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan kepercayaan diri siswa. c. Membantu guru dalam menciptakan suasana pemebelajaran

matematika yang menarik dan efektif. 2. Siswa

a. Membantu siswa dalam melatih kepercayaan diri.

b. Membiasakan siswa dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan matematika.

c. Melatih siswa untuk mampu menyampaikan pendapatnya kepada orang lain.


(12)

12 3. Peneliti

a. Memberikan sarana pengembangan diri dalam hal penelitian dan proses mengajar.

b. Memberikan gambaran mengenai keefektifan model pembelajaran TPS dengan pendekatan saitifik dan SGD dengan pendekatan saintifik ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah dan kepercayaan diri siswa.


(13)

13

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Deskripsi Teori

1. Pembelajaran Matematika

Menurut Suyitno (2004 : 1) pembelajaran merupakan usaha untuk membentuk kondisi yang mendukung kemampuan, minat, bakat, serta kebutuhan siswa agar tercipta interaksi yang optimal. Kondisi yang mendukung proses belajar akan mendorong siswa untuk mencapai hasil belajar yang maksimal. Hal ini diperkuat oleh Erman Suherman, dkk. (2001 : 8) yang menyatakan bahwa pembelajaran adalah usaha untuk mengatur lingkungan agar program belajar bisa berkembang secara optimal.

Pembelajaran merupakan bagian penting dari pendidikan. Pembelajaran berkaitan dengan pengkondisian lingkuangan serta interaksi antara guru dan siswa. Menurut UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, pembelajaran merupakan proses interaksi siswa dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar (Depdiknas, 2003 : 7). Dengan demikian, pembelajaran melibatkan beberapa komponen penting yaitu interaksi antara siswa dan guru, serta dengan lingkungannya.

Di lain pihak, matematika didefinisikan dengan banyak makna. Abraham S Luchins dan Edith N Luchins (Herman Hudojo, 2001 : 17) menyatakan bahwa matematika akan diartikan sesuai dengan siapa yang ditanya mengenai matematika. Pernyataan ini memiliki maksud bahwa


(14)

14 matematika memiliki banyak arti berbeda sesuai dengan orang yang mendefinisikannya. Jadi, definisi tentang matematika akan mengikuti sudut pandang masing-masing orang.

Ruseffendi (Erman Suherman, dkk. 2001 : 16), mendefinisikan matematika sebagai suatu hasil pemikiran manusia yang berkaitan dengan penalaran, ide, dan proses. Pendapat ini menekankan bahwa matematika merupakan suatu ilmu yang membutuhkan kemampuan berpikir. Di sekolah matematika diharapkan mampu melatih kemampuan berpikir siswa dalam menyelesaikan masalah. Di sisi lain, menurut Ebbutt dan Straker (Marsigit, 2012: 8) hakekat matematika sekolah antara lain: matematika adalah kegiatan penelusuran pola dan hubungan; matematika adalah kreativitas yang memerlukan imajinasi, intuisi, dan penemuan; matematika adalah kegiatan problem solving; dan matematika adalah alat komunikasi. Dengan kata lain, pembelajaan matematika di sini menekankan kegiatan siswa untuk melatih kemampuan berpikirnya sendiri.

Sejalan dengan apa yang sudah disampaikan sebelumnya, Yansen Marpaung (2008 : 24), menyatakan bahwa dalam proses pembelajaran matematika siswa sebaiknya aktif dalam melakukan proses matematisasi. Matematisasi di sini diartikan sebagai pemberian kesempatan kepada siswa untuk merekonstruksi pengetahuan melalui kegiatan : mengamati, mengklasifikasi, menyelesaikan masalah, berkomunikasi, berinteraksi dengan yang lain termasuk dengan gurunya, melakukan refleksi,


(15)

15 melakukan estimasi, mengambil kesimpulan, menyelidiki keterkaitan, dan sebagainya. Sebagai fasilitator guru diharapkan berperan untuk mengarahkan siswa agar aktif dalam proses matematisasi ini. Dengan demikian, proses rekonstruksi pengetahuan oleh siswa dapat berjalan dengan baik.

Dari uraian yang telah disampaikan di atas, disimpulkan bahwa pembelajaran matematika menekankan pada kegiatan siswa, sedangkan guru hanya bersifat memfasilitasi siswa untuk menciptakan kondisi pembelajaran yang mendukung proses matematisasi.

2. Efektivitas Pembelajaran Matematika

Efektivitas berasal dari kata efektif yang berarti berdampak. Kata efektif dapat pula diartikan sebagai sesuatu yang membawa dampak yang baik. Menurut Kamus Bahasa Indonesia (2002: 159), efektivitas berasal dari kata efektif berarti memiliki efek, akibat, atau pengaruh. Sementara itu, menurut Institute of Education University of London (2002: 4), efektivitas merujuk pada tujuan tertentu. Dengan demikian, sesuatu akan dikatakan efektif apabila telah berhasil mencapai tujuan yang diinginkan. Apabila efektivitas dikaitkan dengan pembelajaran maka pembelajaran yang efektif merupakan pembelajaran yang mampu mencapai tujuan atau keberhasilan.

Untuk mengetahui efektivitas pembelajaran matematika diperlukan suatu pedoman. Menurut O”Neil (Roy Killen, 2009: 4) pembelajaran matematika dikatakan efektif apabila memenuhi kriteria sebagai berikut.


(16)

16 a. Siswa mampu menggunakan pengetahuannya untuk

menyelesaikan masalah.

b. Siswa mampu mengomunikasikan pengetahuannya kepada temannya.

c. Siswa mampu menemukan keterkaitan antara pengetahuan yang sudah dimiliki dengan pengetahuan yang baru.

d. Siswa dapat mengingat pengetahuan yang baru diperolehnya untuk waktu yang lama.

e. Siswa mampu menciptakan pengetahuannya sendiri. f. Siswa mau belajar lebih.

Sementara itu, kerangka pembelajaran efektif menurut Kyriacou (2009: 7-9) terdiri dari tiga hal, meliputi context, process, dan product. Context (konteks) dalam pendapat ini berkaitan dengan ciri pembelajaran yang dilakukan. Process (proses) dalam hal ini berkaitan dengan kegiatan yang berlangsung dalam pembelajaran meliputi strategi, model pembelajaran, pendekatan, kondisi siswa dan guru serta tugas yang diberikan. Selanjutnya, product ( produk ) berkaitan dengan tujuan yang diinginkan, tujuan ini bisa berupa peningkatan pengetahuan, keterampilan, motivasi, ataupun pengembangan sikap sosial.

Dari dua pendapat yang sudah diuraikan dapat dinyatakan kembali bahwa salah satu kerangka dasar pembelajaran efektif menurut Kyricacou adalah product yaitu hasil dalam pembelajaran berdasarkan tujuan yang telah dibuat. Hasil ini misalnya kepercayaan diri siswa. Sehubungan dengan itu, dari pendapat O”Neil diketahui bahwa salah satu karakteristik pembelajaran matematika yang efektif adalah kemampuan siswa dalam memecahkan masalah.

Dengan demikian, efektivitas yang dimaksud di sini adalah tingkat keberhasilan pembelajaran matematika menggunakan model pembelajaran


(17)

17 TPS dan SGD dengan pendekatan saintifik ditinjau dari kepercayaan diri dan kemampuan pemecahan masalah.

3. Pembelajaran Kooperatif

Pembelajaran kooperatif mengarahkan siswa untuk belajar secara berkelompok. Proses belajar ini, diharapkan mampu meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi pelajaran. Arends & Kilcher (2010 : 306) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan model atau strategi yang memaksimalkan keterlibatan siswa dalam kegiatan kelompok seperti diskusi, debat, atau belajar untuk mencapai tujuan bersama. Tujuan yang dimaksud dalam pendapat ini seringkali dihubungkan dengan pemecahan masalah. Sejalan dengan hal ini, Robert E.Slavin (2009 : 8) menambahkan bahwa dalam pembelajaran kooperatif, siswa saling berdiskusi, bekerja sama, dan berargumentasi dalam suatu kelompok kecil untuk saling membantu dalam menyelesaikan masalah.

Pembelajaran kooperatif dipandang sebagai suatu pembelajaran paling efektif untuk memperoleh hasil yang maksimal. Kegiatan penyelesaian masalah yang dilakukan secara berkelompok akan memfasilitasi siswa untuk membangun konsepnya sendiri. Menurut Spencer Kagan & Miguel Kagan (2009 : 3.1-3.2) pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang paling efektif untuk mencapai tujuan pembelajaran. Ketercapaian tujuan pembelajaran ini, akan membentuk kualitas siswa yang diharapkan.


(18)

18 Proses pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif akan membawa manfaat bagi siswa. Pembelajaran ini memfasilitasi siswa untuk bertukar pikiran dalam kelompok belajar. Menurut Robert E. Slavin (2009 : 10), manfaat dari pembelajaran kooperatif yaitu siswa bekerjasama dalam belajar dan bertanggung jawab terhadap teman satu timnya sehingga mampu membuat diri mereka belajar sama baiknya. Hal ini menyebabkan kemampuan semua siswa di dalam kelas akan berkembang secara beriringan, sehingga kesenjangan kemampuan pemecahan masalah akan berkurang.

Selain itu, tujuan utama dari pembelajaran kooperatif adalah agar siswa bisa saling berbagi pengetahuan. Proses saling membagi pengetahuan ini akan mempercepat pembangunan konsep oleh siswa. Dengan demikian, proses pembelajaran diharapkan akan lebih efektif. Hal ini dikuatkan oleh pendapat Isjoni (2010 : 135), yang menyatakan bahwa tujuan utama dari pembelajaran kooperatif adalah agar siswa memperoleh pengetahuan dari teman sesamanya.

Berdasarkan beberapa definisi yang telah disampaikan, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif dalam penelitian ini merupakan model pembelajaran yang mengkondisikan siswa dalam suatu kelompok kecil untuk saling membantu dalam memperoleh pengetahuan.

4. Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share (TPS)

Pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) merupakan pembelajaran yang mengarahkan siswa untuk belajar secara berpasangan.


(19)

19 Arends dan Kilcher (2010 : 316) menyatakan, "in think pair share, the teacher poses a question, individual student think about (and record) their answer. Individuals then pair with another student to share their answer. The teacher calls on individuals or pairs to share with the large group". Pendapat ini dapat diartikan bahwa dalam pembelajaran TPS guru mengajukan pertanyaan kemudian siswa memikirkan jawabanya secara mandiri kemudian jawaban ini dibawa dalam diskusi kelompok, selanjutnya guru akan memanggil siswa secara individu atau kelompok untuk menyampaikan hasil diskusinya kepada kelompok besar.

Pada pembelajaran TPS siswa akan memiliki kesempatan yang lebih besar dalam berpartisipasi menyelesaikan permasalahan. Pada model pembelajaran ini siswa diberi kesempatan terlebih dahulu untuk memikirkan penyelesaian masalah secara individu baru membawanya dalam diskusi kelompok. Hal ini akan membuat pembelajaran kelompok menjadi lebih aktif. Menurut Fogarty dan Robin (Daryanto, 2014 : 38) pembelajaran kooperatif tipe TPS melatih siswa untuk berani menyampaikan pendapatnya dan mudah dilaksanakan dalam kelas yang besar.

Selanjutnya, Abdul Majid (2013 : 191-192) menyatakan bahwa tahap-tahap model pembelajaran kooperatif TPS dapat dijabarkan sebagai berikut.


(20)

20 1. Tahap think atau berpikir

Pada tahap awal, guru akan menyajikan permasalahan untuk siswa, selanjutnya siswa diminta untuk mencoba memikirkan solusi dari permasalahan itu secara mandiri terlebih dahulu. 2. Tahap pair atau berpasangan

Tahap yang selajutnya, siswa dipasangkan secara heterogen untuk saling berdiskusi, membantu dan bertukar ide dalam menyelesaikan permasalahan.

3. Tahap share atau berbagi

Pada tahap akhir, masing-masing kelompok diminta untuk membagikan hasil diskusi yang sudah mereka peroleh kepada kelompok yang lebih besar melalui presentasi di depan kelas. Presentasi dilakukan sampai seperempat kelompok telah mendapat kesempatan untuk melakukan presentasi.

Model pembelajaran TPS memberi kesempatan bagi siswa untuk menyelesaikan masalah secara individu terlebih dahulu kemudian membawa hasil pemikirannya pada diskusi kelompok. Akibatnya, kemampuan pemecahan masalah siswa menjadi lebih berkembang baik secara individu maupun berkelompok. Selain itu, TPS memiliki tahapan share yang dapat melatih kepercayaan diri siswa dalam menyampaikan pendapat. Namun, karena kelompok yang dibentuk dalam TPS hanya terdiri dari dua orang atau berpasangan maka kemungkinan ide yang muncul dalam pemecahan masalah menjadi lebih sedikit sehingga proses


(21)

21 pemecahan masalah akan menjadi lebih lambat dibandingkan dengan kelompok yang beranggotakan lebih banyak.

Selanjutnya, berdasarkan definisi sebelumnya dapat disimpulkan bahwa model pembelajaraan kooperatif tipe TPS merupakan pembelajaran yang mengarahkan siswa untuk memecahkan masalah melalui tahap berfikir, berpasangan, dan berbagi.

5. Pembelajaran Kooperatif Tipe Spontaneous Group Discussion (SGD)

Spontaneous Group Discussion (SGD) merupakan metode diskusi kelompok yang tidak direncanakan sebelumnya, tetapi dilaksanakan secara spontan dan sederhana (Miftahul Huda, 2012: 129). Pembelajaran kooperatif tipe SGD menuntut siswa untuk aktif dalam berdiskusi kelompok. Siswa diharapkan mampu bertukar pikiran mengenai cara pemecahan masalah melalui kegiatan diskusi. Hal ini dikuatkan oleh pendapat (Gagne dan Briggs, 2010: 251) yang menyatakan bahwa pembelajaran SGD merupakan pembelajaran interaktif yang melibatkan anggota kelompok untuk saling bertukar pendapat dalam pemecahan masalah.

Selanjutnya Miftahul Huda (2012 : 129) menyebutkan bahwa langkah-langkah pembelajaran model SGD adalah sebagai berikut :

1) Meminta siswa untuk berkelompok;

2) Siswa berdiskusi tentang sesuatu, yaitu soal atau permasalahan tentang materi pelajaran yang diberikan oleh guru kepada siswa; 3) Guru memanggil kelompok satu persatu; dan


(22)

22 Di samping itu, menurut Umi Solihatun (2012 : 31) langkah-langkah pembelajaran inovatif menggunakan model Cooperative Learning tipe SGD yaitu:

1) Membentuk kelompok secara spontan dan bervariasi; 2) Meminta siswa belajar kelompok dan mengerjakan LKS;

3) Memanggil nama kelompok satu per satu untuk mempresentasikan hasil LKS serta membahas hasil diskusi/LKS; dan

4) Memberi penghargaan kelompok.

Model pembelajaran SGD mudah untuk dilakukan karena pembelajarannya yang sederhana dan spontan sehingga tidak membutuhkan banyak persiapan. Pembelajaran SGD yang dilakukan secara berkelompok memberikan kesempatan bagi siswa untuk saling bertukar ide dalam diskusi pemecahan masalah. Selain itu, dalam model pembelajaran SGD terdapat tahap pemanggilan semua kelompok untuk melakukan presentasi, tahap ini mendorong siswa untuk meningkatkan kepercayaan diri terutama dalam menyampaikan pendapat. Namun, karena kelompok dibentuk secara spontan maka besar kemungkinan bahwa anggota pada masing-masing kelompok memiliki kemampuan yang homogen. Hal ini dapat menyebabkan ketimpangan kemampuan pemecahan masalah di antara para siswa.

Selanjutnya, berdasarkan keterangan yang telah disampaikan maka disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe SGD merupakan pembelajaran yang mengarahkan siswa untuk menyelesaikan masalah melalui tahapan berkelompok secara spontan dan bervariasi, berdiskusi


(23)

23 tentang permasalahan, guru memanggil kelompok satu persatu, kemudian meminta siswa untuk melakukan presentasi hasil diskusi.

6. Pendekatan Saintifik

Pendekatan saintifik memiliki pengaruh yang besar dalam perbaikan proses pembelajaran. Menurut Varelas, M and Ford, M, (2008 : 31) pendekatan saintifik memudahkan guru dalam membantu peningkatan proses pembelajaran, hal ini terjadi karena pembelajaran akan dipisah dalam tahapan-tahapan terperinci yang memuat instruksi untuk siswa dalam melaksanakan kegiatan. Pemecahan kegiatan ini akan membuat siswa menjadi lebih fokus dalam belajar. Selain itu, tahapan yang dirancang berdasarkan metode ilmiah akan melatih siswa untuk berpikir secara rasional dalam memecahkan masalah.

Pendekatan saintifik sesuai untuk menghadapi tuntutan dunia global yang senantiasa menginginkan inovasi dan perkembangan ilmu pengetahuan. Vhurumuku & Mokeleche (Washington T Dudu, 2014: 1) menyatakan bahwa pembelajaran dengan pendekatan saintifik merupakan pembelajaran dengan menggunakan langkah yang dilakukan oleh ilmuwan dalam mengembangakan ilmu pengetahuan yang valid. Siswa yang telah terbiasa menggunakan pendekatan saintifik diharapkan menjadi lebih peka terhadap lingkungannya sehingga inovasi-inovasi dalam dunia ilmu pengetahuan akan semakin berkembang.

Pendekatan saintifik memiliki karakteristik yang membedakan dengan pendekatan yang lain. Karakteristik dalam pendekatan saintifik


(24)

24 berkaitan dengan tahapan metode ilmiah yang menuntut keaktifan peneliti dan kemampuan pemikiran tingkat tinggi. Hosnan (2014 : 36) menyampaikan bahwa pendekatan saintifik memiliki karakter sebagai berikut :

a. Terpusat pada siswa

b. Melibatkan keterampilan proses sains dalam mengkonstruksi konsep, hukum atau prinsip.

c. Melibatkan proses-proses kognitif yang potensial dalam merangsang perkembangan intelek, khususnya keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa.

d. Mampu mengembangkan karakter siswa.

Pada prinsipnya pendekatan ilmiah akan membantu siswa dalam membangun konsep matematika yang dipelajarinya. Proses membangun konsep bisa terjadi karena siswa mengikuti langkah-langakah yang dilakukan oleh peneliti dalam memperoleh ilmu baru. Hal ini selaras dengan pendapat yang disampaikan oleh Daryanto (2014 : 51) yang menyatakan bahwa pendekatan saintifik merupakan proses pembelajaran yang mengarahkan siswa untuk secara aktif membangun prinsip, konsep atau hukum melalui proses :

a. Mengamati,

b. Merumuskan masalah, c. Mengajukan hipotesis, d. Mengumpulkan data, e. Menganalisis data,

f. Menarik kesimpulan dan mengomunikasikan prinsip, konsep, atau hukum.

Dalam Permendikbud nomor 81 A tahun 2013 lampiran IV dan Permendikbud nomor 103 tahun 2014, pendekatan saintifik pada


(25)

25 kurikulum 2013 yang diterapkan di Indonesia menjabarkan langkah-langkah pembelajaran tersebut menjadi lima, yaitu:

a. Mengamati

Proses mengamati dapat dilakukan melalui kegiatan menyimak, mendengar, melihat, dan membaca. Kegiatan ini difasilitasi oleh guru mata pelajaran. Dalam hal ini guru juga mengarahkan siswa untuk melakukan kegiatan pengamatan yang berkualitas.

b. Menanya

Kegiatan menanya akan melatih siswa untuk memiliki pemikiran yang kristis dalam menghadapi suatu permasalahan. Dalam kegiatan ini guru mengarahkan siswa untuk membuat pertanyaan mulai dari pertanyaan tentang hasil pengamatan objek yang konkrit sampai kepada yang abstrak berkenaan dengan fakta, konsep, prosedur, atau pun hal lain yang lebih abstrak. Pertanyaan yang bersifat faktual sampai kepada pertanyaan yang bersifat hipotetik. Untuk mencapai kemampuan bertanya tingkat tinggi siswa awalnya mendapatkan bantuan dari guru setelah terbiasa maka siswa akan mampu untuk menyusun pertanyaannya sendiri. Kemampuan bertanya akan mendorong siswa untuk mencari informasi yang lebih banyak berkaitan dengan obyek yang diamatinya.


(26)

26

c. Mengumpulkan informasi

Setelah menyusun daftar pertanyaan, kegiatan selanjutnya yang akan dilakukan oleh siswa adalah mencari informasi dari berbagai sumber terkait dengan permasalahan yang sedag dihadapi. Proses mengumpulkan informasi dapat dilakukan dengan membaca buku, referensi online atau mengamati objek secara lebih teliti atau bahkan melakukan eksperimen.

d. Mengasosiasi

Langakah selanjutnya setelah mengumpulan informasi adalah mengasosiasi. Mengasosiasi di sini dimaksudkan untuk menemukan keterkaitan antarinformasi yang sudah diperoleh. Pada tahap berikutnya setelah keterkaitan antarinformasi ditemukan maka dapat ditarik kesimpulan yang sesuai dengan pola keterkaitan informasi.

e. Mengkomunikasikan

Kegiatan terakhir dalam pendekatan saintifik adalah mengomunikasikan. Kegiatan ini mengarahkan siswa untuk menyampaikan hasil yang sudah mereka peroleh. Penyampaian ini dapat berupa menuliskan hasil ataupun menceritakan hasil penemuan mereka.

Berdasarkan definisi yang telah diuraikan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa pendektan saintifik merupakan proses pembelajaran yang menuntut siswa untuk aktif dalam menemukan konsep, prinsip, atau


(27)

27 hukum melalui proses mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi, dan mengomunikasikan.

7. Pembelajaran Kooperatif Tipe TPS dengan Pendekatan Saintifik

Pembelajaran matematika dengan pendekatan saintifik menggunakan model pemebelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) menekankan pada suatu pembelajaran matematika melalui tahap-tahap saintifik yang dilakukan secara berkelompok menggunakan model TPS sehingga di akhir pembelajaran siswa mampu menemukan konsep, prinsip atau hukum matematika tertentu.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya langkah pendekatan saintifik berdasarkan Permendikbud nomor 81 A tahun 2013 lampiran IV dan Permendikbud nomor 103 tahun 2014 adalah :

a. Mengamati b. Menanya

c. Mengumpulkan informasi d. Mengasosiasi

e. Mengomunikasikan

Di lain pihak, langkah pembelajaran dengan model TPS yang dijelaskan sebelumnya terdiri atas :

a. Think (Berpikir) b. Pair (Berpasangan) c. Share (Berbagi)


(28)

28 Maka langkah pembelajaran matematika dengan pendekatan saintifik menggunakan model pemebelajaran kooperatif tipe TPS disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 1. Langkah Pembelajaran TPS dengan Pendekatan Saintifik

No Tahap TPS Tahap Saintifik Keterangan

1

Think (berpikir)

Mengamati

Guru memfasilitasi siswa untuk melakukan pengamatan dan memperhatikan ( melihat, membaca, mendengar ) berbagai hal yang penting dari suatu objek secara mandiri.

Menanya

Siswa diberi kesempatan untuk membuat pertanyaan dari yang faktual sampai yang bersifat hipotesis. Hal ini diawali dengan bimbingan guru sampai siswa mampu mandiri.

Mengumpulkan informasi

Siswa diberi kesempatan mencari data dan mencoba mengerjakan permasalahan secara mandiri.

2 Pair

(berpasangan) Mengasosiasi

Siswa diminta untuk berdiskusi secara berpasangan mengenai hasil pemikiran, pengamatan, dan informasi yang sudah diperoleh.

3 Share

(berbagi) Mengomunikasikan

Beberapa pasangan

mempresentasikan hasil diskusi yang sudah diperoleh kepada pasangan lain di depan kelas. Siswa dari pasangan lain memberikan pertanyaan atau tanggapan terhadap hasil yang dipresentasikan.

8. Pembelajaran Kooperatif Tipe SGD dengan pendekatan Saintifik

Pembelajaran matematika dengan pendekatan saintifik menggunakan model kooperatif tipe Spontaneous Group Discussion (SGD) menekankan pada suatu pembelajaran matematika melalui


(29)

tahap-29 tahap saintifik yang dilakukan secara spontan dan sederhana. Pembelajaran ini akan mengarahkan siswa untuk lebih berperan aktif dalam berdiskusi.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya langkah pendekatan saintifik berdasarkan Permendikbud nomor 81 A tahun 2013 lampiran IV dan Permendikbud nomor 103 tahun 2014 adalah :

a. Mengamati b. Menanya

c. Mengumpulkan informasi d. Mengasosiasi

e. Mengomunikasikan

Di lain pihak, langkah pembelajaran dengan model SGD yang dijelaskan sebelumnya terdiri atas :

a. Membentuk kelompok secara spontan dan bervariasi b. Berdiskusi mengenai masalah

c. Guru memanggil kelompok satu persatu dan meminta siswa untuk mempresentasikan hasil diskusi yang diperoleh. Maka langkah pembelajaran matematika dengan pendekatan saintifik menggunakan model pemebelajaran kooperatif tipe SGD disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 2. Langkah Pembelajaran SGD dengan Pendekatan Saintifik

No Tahap SGD Tahap Keterangan

1 Berkelompok secara spontan dan

bervariasi

Mengamati Guru memfasilitasi siswa untuk

melakukan pengamatan dan

memperhatikan (melihat,

membaca, mendengar) berbagai hal yang penting dari suatu objek


(30)

30

No Tahap SGD Tahap Keterangan

secara berkelompok.

Menanya Siswa diberi kesempatan untuk

membuat pertanyaan dari yang faktual sampai yang bersifat hipotesis. Hal ini diawali dengan bimbingan guru sampai siswa mampu mandiri.

Mengumpulkan

informasi Siswa diberi kesempatan untuk mencari data yang dibutuhkan dan mencoba memecahkan masalah untuk menjawab pertanyaan yang diajukan secara berkelompok.

2

Berdiskusi tentang

permasalahan Mengasosiasi

Siswa diminta untuk membentuk kategori berdasarkan informasi, menetukan keterhubungan data, kemudian menyimpulkan

berdasarkan analisis yang dilakukan.

3

Memanggil nama kelompok satu per satu untuk

mempresentas ikan hasil diskusi.

Mengomunikasikan Guru memberi kesempatan kepada

setiap kelopok untuk melakukan presentasi dengan memanggil tiap kelompok ke depan kelas secara bergantian.

Kemudian, setiap kelompok

mempresentasikan hasil yang diperoleh. Sementara itu siswa dari kelompok lain memberikan

pertanyaan atau tanggapan terhadap hasil yang

dipresentasikan. 9. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika

Kehidupan manusia tidak pernah lepas dari suatu masalah. Setiap hari manusia akan terus dihadapkan dengan berbagai masalah. Hal ini mendorong mereka untuk terus berusaha melakukan proses pemecahan masalah. Herman Hudojo (2003 : 148) menyatakan bahwa memecahkan masalah merupakan suatu aktivitas dasar bagi manusia, sehingga memiliki kemampuan pemecahan masalah menjadi kebutuhan bagi manusia.


(31)

31 Kemampuan pemecahan masalah relevan dengan proses pembelajaran yang diharapkan oleh kurikulum 2013 yaitu pembelajaran saintifik. Dalam pembelajaran saintifik kondisi pembelajaran yang diharapkan tercipta diarahkan untuk mendorong siswa dalam mencari tahu dari berbagai sumber, melalui observasi dan bukan hanya diberi tahu (Daryanto, 2014 : 51). Siswa yang melakukan proses mencari tahu akan terdorong untuk memecahakan masalah yang dihadapinya secara mandiri. Dengan demikian, kemampuan pemecahan masalahnya akan terus terasah.

Secara lebih spesifik, kemampuan pemecahkan masalah perlu diintegrasikan dalam proses pembelajaran matematika. Disebutkan bahwa “problem solving is an integral part of all mathematics learning, and

so it should not be an isolated part of the mathematics program” (NCTM,

2000b: 52). Pendapat ini dapat diartikan bahwa pemecahan masalah merupakan bagian dari matematika sehingga tidak bisa dipisahkan dari matematika. Keterangan ini memperkuat bahwa pemecahan masalah harus menjadi bagian dari proses pembelajaran matematika.

Dalam pembelajaran matematika perlu diberikan masalah yang akan melatih siswa untuk berpikir logis secara matematis. Oleh karena itu, masalah yang diberikan harus memenuhi kriteria tertentu. Menurut Herman Hujodo (2003 : 149), masalah bagi siswa harus memenuhi syarat sebagai berikut :


(32)

32 a. Pertanyaan yang diberikan harus dapat dimengerti siswa,

tetapi pertanyaan tersebut juga merupakan tantangan tersendiri bagi siswa.

b. Pertanyaan yang diberikan tidak dapat dijawab dengan prosedur rutin yang biasa dilakukan siswa.

Selanjutnya, Sukirman (2005 : 4) menyatakan bahwa masalah matematika dapat digolongkan dalam dua jenis, yaitu masalah mencari (problem to find) dan masalah membuktikan (problem to prove) :

a. Masalah mencari (problem to find), dapat teoritis atau praktis, abstrak atau konkret, termasuk teka-teki. Bagian utama dari masalah ini adalah sebagai berikut:

1) Apakah yang dicari?

2) Bagaimana data yang diketahui? 3) Bagaimana syaratnya?

Ketiga bagian utama tersebut menjadi landasan dalam menyelesaikan masalah jenis ini. Masalah untuk mencari lebih penting diterapkan untuk matematika tingkat dasar.

b. Masalah untuk membuktikan (problem to prove) adalah untuk menunjukkan suatu pertanyaan itu benar atau tidak benar kedua-duanya. Bagian utama dari masalah ini adalah hipotesis dan konklusi dari suatu teorema yang harus dibuktikan kebenarannya. Kedua bagian utama tersebut menjadi landasan dalam


(33)

33 menyelesaikan masalah jenis ini. Masalah membuktikan penting untuk diterapkan pada matematika tingkat lanjut.

Siswa perlu melalui tahapan-tahapan tertentu dalam melakukan penyelesaian masalah. Tahapan-tahapan ini akan mengarahkan siswa pada solusi masalah yang diinginkan. Susan O’Connell (2000 : 3) menyatakan

bahwa “Problem solving is a process that requires students to follow a

series of steps to find a solution.” Pemecahan masalah di sini diartikan

sebagai proses yang mengharuskan siswa mengikuti serangkaian tahap-tahap untuk menemukan sebuah penyelesaian.

Menurut Aisyah (2007 : 6) selama memecahkan masalah siswa akan dihadapkan pada beberapa tahapan yaitu memahami masalah (mengidentifikasi unsur yang diketahui dan yang ditanyakan), membuat model matematika, memilih strategi penyelesaian model matematika, melaksanakan penyelesaikan model matematika dan menyimpulkan.

Di samping itu, menurut Polya (Sri Wardhani, 2010 : 56) terdapat empat tahap dalam pemecahan masalah, yaitu:

a. Memahami masalah

Langkah pertama dalam menyelesaikan masalah adalah memahami permasalahan tersebut. Dalam hal ini, siswa dituntut untuk mampu menemukan hal yang belum diketahui, data yang sudah diketahui, dan syarat yang ada dalam masalah. Selanjutnya, siswa diharapkan mampu menuliskan hal-hal tersebut dalam notasi matematika.


(34)

34 b. Merencanakan penyelesaian masalah

Dalam merencanakan penyelesaian masalah siswa harus menguasai materi sebelumnya dan juga memiliki pengetahuan pendukung mengenai materi itu. Selanjutnya, siswa dituntut untuk memikirkan langkah-langkah yang harus dilakukan. Pada tahapan ini pengalaman akan mempengaruhi kreatifitas siswa dalam menyelesaikan masalah. Wheeler (Herman Hudojo, 2003 : 163) menyatakan bahwa dalam merencanakan penyelesaian suatu masalah, siswa dapat melakukan beberapa hal, contohnya:

1) membuat tabel, gambar, ataupun model matematika, 2) mencari pola,

3) menyatakan kembali permasalahan,

4) menggunakan penalaran, variabel, ataupun persamaan, 5) menyederhanakan permasalahan,

6) menghilangkan situasi yang tidak mungkin, 7) menggunakan algoritma,

8) memecah kasus menjadi beberapa bagian, 9) menggunakan rumus,

10)menggunakan informasi yang diketahui untuk mengembangkan informasi baru.

c. Menyelesaikan masalah sesuai rencana

Setelah membuat rencana penyelesaian masalah, selanjutnya siswa melaksanakan rencana yang telah dibuatnya. Proses penyelesaian


(35)

35 masalah dilakukan dengan perhitungan matematis dan juga mencantumkan informasi yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya dengan benar.

d. Melakukan pengecekan jawaban

Langkah terakhir dalam penyelesaian masalah adalah melakukan pengecekan. Langkah ini dilakukan dengan menguji dan mempertimbangkan jawaban yang telah diperoleh melalui langkah pertama sampai ketiga. Menurut Wirdah Pramita (2014 : 3) pada tahap memeriksa kembali, siswa diminta untuk mengecek hasil yang diperoleh apakah sudah sesuai dengan ketentuan dan tidak terjadi kontradiksi dengan yang ditanyakan. Ada empat langkah yang dapat dijadikan pedoman dalam tahap ini, yaitu :

1) Mencocokkan hasil yang diperoleh dengan hal yang ditanyakan, 2) Menginterpretasikan jawaban yang diperoleh,

3) Mengidentifikasi adakah cara lain untuk mendapatkan penyelesaian masalah,

4) Mengidentifikasi adakah jawaban atau hasil lain yang memenuhi. Dari uraian sebelumnya, masalah dalam penelitian ini didefinisikan sebagai masalah untuk menemukan yang memenuhi syarat dapat dimengerti oleh siswa namun tetap menjadi tantangan bagi siswa dan tidak bisa diselesaikan menggunakan prosedur yang rutin dilakukan siswa. Sementara itu, kemampuan pemecahan masalah matematika diartikan sebagai proses untuk memperoleh solusi dari masalah matematika dengan


(36)

36 menerapkan empat tahap pemecahan masalah yaitu memahami masalah, merencanakan pemecahan masalah, menyelesaikan masalah sesuai rencana, dan melakukan pengecekan jawaban. Secara lebih rinci, indikator pemecahan masalah dari keempat tahapan pemecahan masalah dijelaskan melalui tabel berikut.

Tabel 3. Indikator Kemampuan Penyelesaian Masalah Matematika No Kemampuan Penyelesaian

Masalah

Indikator

1 Memahami masalah a. Menuliskan apa yang diketahui dari permasalahan.

b. Menuliskan apa yang ditanyakan dari permasalahan.

c. Menuliskan syarat yang ada dalam permasalahan.

2 Merencanakan penyelesaian masalah

Menuliskan langkah – langkah yang akan digunakan untuk menyelesaikan masalah, hal ini dapat berupa :

a. Menyatakan kembali permasalahan b. Menuliskan rumus yang akan

digunakan

c. Menuliskan langkah penyelesaian masalah yang akan digunakan. 3 Menyelesaiakan masalah

sesuai rencana

Menyelesaikan masalah sesuai langkah yang telah dituliskan.

4 Melakukan pengecekan kembali

a. Melakukan pengecekan jawaban dengan perhitungan matematis atau cara lain dengan benar.

b. Mencocokkan hasil yang sudah didapatkan dengan pertanyaan.

c. Menuliskan kesimpulan dari proses yang dilakukan.

10.Kepercayaan Diri

Menurut Lauster (2002 : 4) kepercayaan diri merupakan keyakinan atas kemampuan diri sendiri sehingga dalam tindakan-tindakannya tidak terlalu cemas, merasa bebas untuk melakukan hal-hal yang sesuai


(37)

37 keinginan dan tanggung jawab atas perbuatannya, sopan dalam berinteraksi dengan orang lain, memiliki dorongan prestasi serta dapat mengenal kelebihan dan kekurangan diri sendiri. Rasa yakin yang dimaksud di sini adalah keyakinan bahwa seseorang tersebut dapat mencapai keberhasilan dari tujuannya. Kepercayaan diri akan menjadi jembatan bagi seseorang untuk mencapai tujuan hidupnya. Orang yang memiliki kepercayaan diri akan memiliki rasa yakin terhadap kemampuannya. Hal ini mengakibatkan kemampuannya dapat digunakan secara maksimal.

Sejalan dengan yang disampaikan oleh Lauster, menurut Yusuf AL-Uqshari (2005 : 9) self confidence adalah keyakinan seorang individu akan kemampuan yang dimiliki sehingga merasa puas dengan keadaannya. Seseorang yang memiliki kepercayaan diri akan memiliki sikap positif yang didasari oleh kemampuannya. Sikap positif ini membantu mereka dalam menghadapi permasalahan yang menimpa mereka.

Hal ini diperkuat dengan pendapat Gençtan (Ali Haydar Sar, 2010 : 1205) yang menyatakan “Self-confidence is defined as an individual’s recognition of his own abilities, loving himself and being aware of his own emotions”. Pendapat ini dapat diartikan bahwa kepercayaan diri didefinisikan sebagai penghargaan terhadap kemampuannya sendiri, mencintai diri sendiri dan sadar akan kondisi emosinya. Dengan penghargaan terhadap kemampuan yang dimiliki, seseorang dapat mengaktualisasikan kemampaun yang ada di dalam dirinya.


(38)

38 Pengaktualisasian kemampuan diri akan mengarahkan seseorang dalam suatu keberhasilan tujuannya.

Selanjutnya, Lauster (Sudarjo Siska & Esti Hayu Purnamaningsih, 2003: 69) menyatakan bahwa kepercayaan diri juga perlu dilatihkan dan ditanamkan pada diri masing-masing siswa, misalnya dalam pembelajaran matematika. Hal ini dikarenakan kepercayaan diri bukanlah kemampuan bawaan namun sesuatu yang diperoleh melalui latihan dan pengalaman. Dengan demikian, diharapkan melalui penerapan sikap percaya diri dalam pembelajaran matematika, siswa akan memiliki kepercayaan diri dalam menghadapi permasalahan yang menimpanya dalam kehidupan nyata.

Terdapat beberapa langkah yang bisa ditempuh untuk meningkatkan kepercayaan diri siswa. Akrim Ridha (2002 : 29) menyatakan bahwa terdapat enam faktor yang dapat meningkatkan kepercayaan diri yaitu melalui :

a. Menanyakan mengapa kita tidak mau berusaha. b. Bekerja atau berbuat langsung.

c. Mengganti kelemahan dan kekurangan menjadi potensi dalam hati. d. Menerima dan menghadapi kemungkinan sesuai kemampuan. e. Menghitung segala bentuk kesuksesan yang pernah diraih. f. Keimanan.

Seseorang yang memiliki kepercayaan diri akan terlihat melalui perilakunya. Perilaku ini menjadi ciri yang membedakan orang yang


(39)

39 memiliki kepercayaan diri tinggi dan rendah. Lauster (Surya Bintarti, 2013: 93) menyebutkan aspek-aspek kepercayaan diri sebagai berikut.

a. Keyakinan akan kemampuan diri, merupakan sikap mempercayai kemampuan diri mengenai apa yang akan dilakukan.

b. Optimis, merupakan sikap yang mendorong seseorang untuk selalu memiliki pandangan yang baik dalam menghadapi segala sesuatu, baik tentang diri maupun kemampuan.

c. Objektif, merupakan cara memandang masalah menggunakan kebenaran yang semestinya, dengan demikian unsur subjektivitas pribadi dapat dikurangi.

d. Bertanggung jawab, merupakan sikap untuk menerima akibat dari segala sesuatu yang sudah dilakukan.

e. Rasional dan realistis, merupakan kemampuan untuk menganalisis masalah menggunakan pemikiran yang logis berdasarkan kenyataan yang ada.

Di lain pihak, menurut Ignoffo (dalam Megawati, 2010 : 3), terdapat beberapa karakteristik yang menggambarkan individu yang memiliki kepercayaan diri yaitu :

a. Memiliki cara pandang yang positif terhadap diri. b. Yakin dengan kemampuan yang dimiliki.

c. Melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dipikirkan. d. Berpikir positif dalam kehidupan.

e. Bertindak mandiri dalam mengambil keputusan. f. Memiliki potensi dan kemampuan.

Selanjutnya menurut Jacita F. Rini, (Abu Al-Ghifari, 2003 : 16). Beberapa ciri atau karakteristik individu yang mempunyai rasa percaya diri yang proposional diantaranya :


(40)

40 a. Percaya akan kompetensi atau kemampuan diri.

b. Tidak terdorong untuk menunjukkan sikap konformis demi diterima oleh orang lain atu kelompok.

c. Berani menerima dan menghadapi penolakan orang lain dan berani menjadi diri sendiri.

d. Mempunyai pengendalian diri yang baik (tidak moody dan emosinya stabil).

e. Mempunyai internal locus of control (memandang keberhasilan atau kegagalan, tergantung dari usaha sendiri dan tidak mudah menyerah pada nasib atau keadaan serta tidak tergantung atau mengharapkan bantuan orang lain).

f. Mempunyai cara pandang yang positif terhadap diri sendiri, orang lain dan situasi di luar dirinya.

g. Mempunyai harapan yang realistik terhadap diri sendiri, sehingga ketika harapan itu tidak terwujud ia tetap mampu melihat sisi positif dirinya dan situasi yang terjadi.

Dari uraian yang telah disampaikan sebelumnya maka kepercayaan diri pada penelitian ini adalah keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk bisa mencapai tujuan tertentu. Adapun aspek kepercayaan diri yang dimaksud meliputi : keyakinan akan kemampuan diri, kempunyai internal locus of control (memandang keberhasilan dari usaha dan tidak mudah menyerah), objektif, bertanggung jawab, rasional dan realistis. Secara lebih rinci aspek dan indikator dari kepercayaan diri disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 4. Indikator Kepercayaan Diri Siswa No Aspek Kepercayaan

Diri

Indikator

1 Keyakinan akan kemampuan diri

a. Memiliki keyakinan untuk mengerjakan tugas atau PR tanpa bantuan orang lain.

b. Tidak mencontek saat ujian

c. Berani menyampaikan pendapat tanpa ditujuk. d. Berani mengerjakan penyelesaian soal di depan


(41)

41

No Aspek Kepercayaan Diri

Indikator

kelas. 2 Mempunyai internal

locus of control (memandang

keberhasilan dari usaha dan tidak mudah menyerah)

a. Tidak mudah putus asa saat mendapatkan hasil yang kurang memuaskan.

b. Memiliki semangat bersaing dengan teman-temannya.

c. Mau berusaha dengan keras untuk memahami materi yang diberikan.

3 Objektif a. Mau menerima saran dan kritik atas pendapat yang disampaikan.

b. Mampu menghargai pendapat lain yang lebih baik dari pendapatnya sendiri.

c. Lebih mementingkan kebenaran pendapat daripada orang yang menyampaikannya

4 Bertanggung jawab a. Mengerjakan PR yang diberikan dengan sungguh-sungguh.

b. Menyelesaikan tugas yang diberikan tepat pada waktunya.

5 Rasional dan realistis a. Mampu menyelesaikan permasalahan matematika menggunakan konsep yang sudah dimiliki.

b. Mampu mengaplikasikan langkah-langkah pemecahan masalah dalam pemecahan masalah. c. Mengetahui kekurangan kemampuan diri sendiri

dalam pemecahan masalah

d. Merasa dapat menyelesaiakan permasalahan jika sudah belajar dan berlatih

e. Menggunakan fakta yang diketahui untuk menyelesaikan permasalahan

Kedua kemampuan yaitu kemampuan pemecahan masalah dan kepercayaan diri merupakan kemampuan yang penting dimiliki oleh siswa. Walaupun demikian kedua kemampuan ini ternyata tidak saling mempengaruhi. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Sena Gürşen

Otacioğlu menyatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah dan

kepercayaan diri siswa tidak saling berhubungan. Kesimpulan dari

penelitian ini adalah sebagai berikut “It has been revealed that the relations between students’ self confidence and problem solving skills are


(42)

42

negative. “ (Sena Gürşen Otacioğlu, 2008 : 915). Kesimpulan ini

menunjukkan bahwa hubungan antara kepercayaan diri siswa dan kemampuan pemecahan masalah adalah negatif. Dari keterangan ini diketahui bahwa kedua variabel tidak saling mempengaruhi sehingga menyebabkan kedua kemampuan penting ini nantinya dapat diuji secara terpisah.

11.Tinjauan Materi Barisan dan Deret

Berdasarkan kurikulum 2013 (Kemendikbud, 2013), materi pada pembelajaran matematika wajib SMA / MA kelas X MIA meliputi fungsi eksponen dan logaritma, persamaan dan pertidaksamaan linear, sistem persamaam dan pertidaksamaan linear, matriks, relasi dan fungsi, barisan dan deret, persamaan dan fungsi kuadrat, geometri, trigonometri, limit fungsi aljabar, statistika, dan peluang.

Menurut Ebbutt dan Straker (Marsigit, 2012: 8) salah satu hakikat matematika sekolah adalah kegiatan penelusuran pola dan hubungan. Materi barisan dan deret dirasa sesuai untuk hakekat matematika ini. Selain itu, dalam kehidupan sehari-hari barisan dan deret menggambarkan keteraturan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, sehingga diharapkan siswa akan lebih tertarik dalam menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan barisan dan deret.

Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar materi Barisan dan Deret disajikan dalam tabel berikut.


(43)

43

Tabel 5. Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Materi Barisan dan Deret

Kompetensi Inti Kompetensi Dasar

3. Memahami, menerapkan, dan menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah.

3 8. Memprediksi pola barisan dan deret aritmetika dan geometri atau barisan lainnya melalui pengamatan dan memberikan alasannya.

4. Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, bertindak secara efektif dan kreatif, serta mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan.

3 9. Menyajikan hasil,

menemukan pola barisan dan deret dan penerapannya dalam penyelesaian masalah sederhana.


(44)

44 Berikut merupakan uraian singkat materi barisan dan deret :

a. Barisan Aritmetika

Barisan aritmetika adalah barisan bilangan yang beda setiap dua suku yang berurutan adalah sama. Beda, dinotasikan “b” (Kemendikbud,2014:202).

Barisan U1 , U2 , U3 , … , U n-1 , Un disebut suatu barisan aritmatika

jika memenuhi hubungan U2 - U1 = U3 - U2 = b

Rumus umum barisan aritmatika adalah sebagai berikut :

U1 = a

U2 = a + b

U3 = a + 2b

U4 = a + 3b ………

Un = a + (n-1) b

Jadi rumus umum suku ke n barisan aritmatika adalah Un = a + (n-1) b dimana :

Un = suku ke n

a = U1 = suku pertama

n = banyaknya suku b = beda


(45)

45

b. Deret Aritmetika

Jika U1, U2, U3, …., Un merupakan suku-suku barisan aritmetika

maka :

U1+ U2+ U3+ ….+ Un disebut deret aritmatika dan ditulis :

Sn = U1+ U2+ U3+ ….+ Un, atau :

Sn= a + ( a+b) + ( a + 2b) + ….+ ( a + (n - 1)b)

Sn = Un+ (Un - b)+ (Un - 2b)+ ….+ a

2Sn = (a+Un) + (a+Un)+ (a+Un)+ (a+Un)+….+ (a+Un)

Sn = n (a+Un)

= .n ( a + a + (n-1) b)

= .n ( 2a + (n-1) b)

Jadi rumus jumlah n suku pertama deret aritmatika adalah Sn = . n ( 2a + (n-1) b)

Sn : jumlah n suku pertama

a : suku pertama n : banyak suku b : beda


(46)

46

c. Barisan Geometri

Barisan geometri adalah suatu barisan dengan pembanding (rasio) antara dua suku yang berurutan selalu tetap (Kemendikbud, 2014 : 275). Berikut merupakan bentuk umum dari barisan geometri.

U1 , U2 , U3 , U4 , ... , Un-1 , Un

a , ar , ar2 , ar3 , … , arn-2 , arn-1

Rumus suku ke-n barisan Geometri adalah sebagai berikut : Un = a. rn-1

Dimana :

a : suku pertama r : rasio =

n : banyakanya suku

d. Deret Geometri

Jika U1 , U2, U3, …., Un merupakan suku-suku barisan geometri maka :

U1+ U2+ U3+ ….+ Un disebut deret geometri dan ditulis :

Sn = U1+ U2+ U3+ ….+ Un, atau

Sn = a + ar2 + ar3+ …arn-2+ arn-1

rSn = ar + ar3 + ar4+ …arn-1+ arn

Sn - rSn = a - arn

(1-r)Sn = a - arn

1 ) 1 ( 1 ) 1 ( 1          r r a r r a r ar a S n n n

n untuk r ≠ 1


(47)

-47

e. Contoh soal penyelesaian masalah

Pada sebuah panggung terdapat empat baris tempat duduk. Setiap baris memuat sejumlah kursi tertentu. Banyaknya kursi pada baris pertama, kedua, ketiga dan keempat membentuk barisan aritmetika dengan beda bukan nol. Banyaknya kursi pada baris pertama, kedua dan keempat akan membentuk barisan geometri. Jika banyaknya kursi pada baris kedua adalah 16 kursi, berapakah jumlah semua kursi pada keempat baris?

Solusi :

1. Memahami masalah

Siswa diharapkan mampu menuliskan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan dari permasalahan.

Diketahui :

 Banyaknya kursi pada baris pertama, kedua, ketiga dan keempat membentuk barisan aritmetika.

 Banyaknya kursi pada baris pertama, kedua dan keempat membentuk barisan geometri.

 Banyaknya kursi pada barisan kedua adalah 16 buah.

 Beda barisan aritmetika bukan nol

Ditanyakan :


(48)

48

Syarat

Dalam permasalahan ini digunakan aturan dari barisan aritmetika pada suku pertama, kedua, ketiga dan keempat serta aturan bilangan geometri pada suku pertama kedua dan keempat.

2. Merencanakan penyelesaian masalah

Siswa diharapkan mampu menyatakan kembali permasalahan, menuliskan rumus yang akan digunakan dan menuliskan langkah yang akan dilakukan.

Menyatakan kembali

Misalkan :

banyaknya kursi pada barisan pertama = a banyaknya kursi pada barisan ketiga = c banyaknya kursi pada barisan keempat = d Sehingga,

a , 16, c , d merupakan barisan aritmetika a, 16 , d merupakan barisan geometri

Menuliskan rumus

Untuk menyelesaikan masalah ini perlu diingat kembali bahwa pada barisan aritmetika selisih antara dua suku yang berurutan selalu tetap. Sementara itu, pada barisan geometri rasionya tetap.

Sehingga 16 – a = c - 16 = d – c dan


(49)

49

Menuliskan langkah penyelesaian

Dari keterangan bahwa 16 – a = c - 16 = d – c dan

selanjutnya dibentuk persamaan untuk menentukan nilai a, c dan d.

3. Menyelesaiakan masalah sesuai rencana

Langkah selanjutnya siswa diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan dengan meggunakan rencana yang telah dibuat.

16 – a = c – 16 maka a + c = 32 maka c = 32 – a ….….. (1) c - 16 = d – c maka 2c –d = 16 ...…… (2) ……… (3) 2 c – d = 16

↔ 2 ( 32 – a ) – d = 16 (substitusikan persamaan 1)

↔ 64 – 2a - = 16 (substitusikan persamaan 3)

↔ 48 -2a - = 0 (kurangkan kedua ruas dengan 16)

↔ 48a – 2 a2– 256 = 0 (Kalikan kedua ruas dengan a)

↔ 2 a2

- 48a + 256 = 0 (Kalikan kedua ruas dengan -1 )

↔ (a – 16) ( a – 8 ) = 0 sehingga a = 16 atau a = 8

Pilih a = 8 karena jika a = 16 maka beda barisan aritmetika akan sama dengan nol.

Substitusi a pada persamaan 1 diperoleh nilai c = 24, substitusi nilai a pada persamaan 3 diperoleh nilai d = 32


(50)

50

4. Melakukan Pengecekan kembali Pengecekan

Pada proses ini siswa diharapkan mampu memastikan kebenaran jawabannya dengan melakukan pengecekan yang sesuai.

banyaknya kursi pada barisan pertama = a = 8 banyaknya kursi pada barisan kedua = b =16 banyaknya kursi pada barisan ketiga = c =24 banyaknya kursi pada barisan keempat = d =32

Untuk mengecek kebenaran bahwa banyaknya kursi pada baris pertama, kedua, ketiga dan keempat membentuk barisan aritmetika, gunakan konsep bahwa beda dua suku yang berurutan pada barisan aritmetika adalah sama.

b-a =8 c- b =8 d- c = 8

Karena beda dua suku yang berurutan memiliki nilai yang sama maka barisan ini merupakan barisan aritmetika.

Untuk mengecek kebenaran bahwa banyaknya kursi pada baris pertama, kedua dan keempat membentuk barisan geometri gunakan konsep bahwa rasio pada barisan geometri tetap.


(51)

51

Mencocokkan hasil dengan pertanyaan dan Menuliskan kesimpulan dari proses yang dilakukan.

Hasil yang diinginkan dari pertanyaan adalah jumlah semua kursi sehingga dari perhitungan yang telah dilakukan diperoleh nilai a = 8, c = 24 , d = 32, maka jumlah semua kursi adalah a + 16 + c + d = 40 kursi.

Membuat kesimpulan

Jadi jumlah semua kursi pada keempat baris adalah 40 kursi

B. Penelitian Relevan

1. Hasil penelitian Eny Sulistyaningsih (2014) yang berjudul " Efektivitas Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads Together (NHT) dan Think Pair Share (TPS) dengan Pendekatan Kontekstual ditinjau dari Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika dan Sikap Tanggung Jawab Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Wates “ menunjukkan bahwa pembelajaran menggunakan model kooperatif tipe TPS dengan pendekatan kontekstual efektif ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah peserta didik.

2. Penelitian Fadiah Khairina Pertiwi (2014) yang berjudul

“Efektivitas Pembelajaran Matematika Berbasis Masalah

Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Think Talk Write (TTW) dan Think Pair Share (TPS) Ditinjau dari Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika dan Kepercayaan Diri Siswa


(52)

52 Kelas VIII SMP Negeri 1 Wonosari Gunungkidul “ menunjukkan bahwa pembelajaran matematika berbasis masalah menggunakan model pembelajaran kooperatif TPS efektif ditinjau kemampuan pemecahan masalah matematika dan kepercayaan diri siswa.

3. Penelitian Ratih Damayanti (2013) yang berjudul “Peningkatan Aktivitas Belajar Matematika dengan Metode Spontaneous Group Discussion menunjukkan bahwa aktivitas siswa dalam memecahkan masalah meningkat dari 17,4 % menjadi 73,91 %.

C. Kerangka Berpikir

Sebagai mata pelajaran wajib, matematika diharapkan mampu memenuhi tuntutan kurikulum 2013. Kurikulum 2013 mengharapkan terbentuknya siswa yang memiliki kemampuan kognisi tinggi yang diiringi dengan keterampilan dan sikap yang baik. Salah satu kemampuan kognisi dan keterampilan yang diharapkan dimiliki oleh siswa adalah kemampuan pemecahan masalah.

Kemampuan pemecahan masalah matematika penting dimiliki oleh siswa. Proses pemecahan masalah matematika melatih siswa untuk aktif dalam mencari informasi. Kemudian, dari informasi yang diperoleh siswa akan berlatih untuk menganalisis solusi yang tepat dari masalah yang dihadapi. Pola berpikir logis inilah yang akan melatih siswa untuk menghadapi permasalahan hidup yang sebenarnya.


(53)

53 Selanjutnya, salah satu sikap yang diharapkan dimiliki siswa adalah kepercayaan diri. Kepercayaan diri merupakan keyakinan yang akan mengantarkan siswa pada tujuannya. Dalam pembelajaran matematika kepercayaan diri dibutuhkan agar siswa mampu menyampaikan hasil pemikirannya kepada orang lain. Dengan demikian, sikap percaya diri menjadi salah satu faktor penting yang akan mempengaruhi keberhasilan belajar siswa dan keberhasilan siswa dalam kehidupan yang sebenarnya.

Di lain pihak, terdapat indikasi bahwa kemampuan pemecahan masalah dan kepercayaan diri belum berkembang secara maksimal. Hal ini terjadi di Madrasah Aliyah yang memiliki beban belajar lebih berat dibandingkan sekolah menengah atas biasa. Tuntutan belajar yang lebih berat mengakibatkan waktu untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan kepercayaan diri siswa Madrasah Aliyah menjadi lebih terbatas dibandingkan siswa di sekolah menengah atas pada umumnya.

Dalam menghadapi hal ini guru diharapkan mampu memfasilitasi siswa untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah siswa dan kepercayaan diri. Salah satu upaya yang bisa ditempuh oleh guru adalah menerapkan pendekatan pembelajaran dan model pembelajaran yang tepat. Berdasarkan kajian yang disampaikan sebelumnya, pendekatan saintifik merupakan pendekatan yang dianjurkan oleh kurikulum 2013. Selain itu proses pembelajaran dalam pendekatan saintifik diharapkan mampu memberikan kesempatan yang lebih banyak bagi siswa untuk


(54)

54 mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan kepercayaan diri. Di lain pihak, model pembelajaran yang diharapkan mampu untuk menangani hal ini adalah model pembelajaran kooperatif. Sesuai dengan uraian sebelumnya model pembelajan kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dan Spontaneous Group Disscussion (SGD) diharapkan mampu memfasilitasi siswa dalam mengembangkan dua kemampuan penting yaitu pemecahan masalah dan kepercayaan diri.

Oleh karena itu, penggabungan antara pendekatan saintifik dan model pembelajaran kooperatif tipe TPS dan SGD perlu dilakukan untuk memfasilitasi siswa dalam proses pembelajaran matematika dalam rangka mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan kepercayaan diri siswa. Dalam pembelajaran matematika menggunakan model TPS dengan pendekatan saintifik siswa akan bekerja secara berpasangan. Pasangan ini dikondisikan agar lebih heterogen. Kondisi pembelajaran secara berpasangan menuntut tanggung jawab yang lebih dari siswa. Dalam pembelajaran TPS siswa juga akan memiliki kesempatan untuk memikirkan permasalahan secara individu terlebih dahulu. Akibatnya, saat kegiatan diskusi dalam kelompok siswa akan lebih aktif karena sudah memiliki modal awal hasil pemikirannya sendiri. Selain itu, pembelajaran TPS dengan pendekatan saintifik juga memberikan kesempatan bagi siswa untuk melakukan presentasi pada kegiatan share yang diharapkan akan meningkatkan kepercayaan diri siswa.


(55)

55 Pembelajaran Spontaneous Group Discussion (SGD) dengan pendekatan saintifik berlangsung secara lebih natural dan spontan. Siswa akan berkelompok secara spontan dan bervariasi pada setiap pertemuan. Dengan demikian, siswa diharapkan lebih nyaman dalam berdiskusi. Dalam diskusi yang dilakukan akan muncul ide-ide dari para siswa untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Setelah diskusi dirasa cukup nantinya guru akan memanggil kelompok satu persatu untuk mempresentasikan hasil diskusinya, sehingga setiap kelompok memiliki kesempatan yang sama untuk menyampaikan pendapatnya. Hal ini memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengembangkan sikap kepercayaan diri yang dimiliki.

Diharapkan kedua model pembelajaran dengan pendekatan saintifik ini akan mampu membantu siswa dalam belajar, namun apabila dilihat dalam hal proses pembentukan kelompok dan kesempatan yang dimiliki oleh siswa, pembelajaran dengan model Think Pair Share (TPS) dengan pendekatan saintifik dirasa lebih unggul untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan kepercayaan diri siswa.

D. Perumusan Hipotesis

Berdasarkan kajian teori yang sudah diuraikan dan kerangka berpikir, maka hipotesis dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :

1. Model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dengan pendekatan saintifik efektif ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah siswa.


(56)

56 2. Model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dengan

pendekatan saintifik efektif ditinjau dari kepercayaan diri siswa. 3. Model pembelajaran Spontaneous Group Discussion (SGD) dengan

pendekatan saintifik efektif ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah siswa.

4. Model pembelajaran Spontaneous Group Discussion (SGD) dengan pendekatan saintifik efektif ditinjau dari kepercayaan diri siswa. 5. Model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dengan

pendekatan saintifik lebih efektif daripada pembelajaran kooperatif tipe Spontaneous Group Discussion (SGD) dengan pendekatan saintifik ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah siswa.

6. Model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dengan pendekatan saintifik lebih efektif daripada pembelajaran kooperatif tipe Spontaneous Group Discussion (SGD) dengan pendekatan saintifik ditinjau dari kepercayaan diri siswa.


(1)

81 6) Uji Hipotesis Keenam

Uji hipotesis keenam digunakan untuk menjawab rumusan

masalah keenam yaitu jika keduanya efektif ditinjau dari kepercayaan

diri siswa, manakah model pembelajaran yang lebih efektif antara model

pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dengan pendekatan

saintifik dan model pembelajaran Spontaneous Group Discussion (SGD)

dengan pendekatan saintifik. Apabila tidak terdapat perbedaan rata-rata

pada kelompok TPS dengan pendekatan saintifik dan kelompok SGD

dengan pendekatan saintifik maka dikatakan model pembelajaran TPS

dengan pendekatan saintifik sama efektifnya dengan model SGD dengan

pendekatan saintifik terhadap kepercayaan diri siswa. Namun jika

terdapat perbedaan rata-rata antara kelompok TPS dengan pendekatan

saintifik dan model SGD dengan pendekatan saintifik, maka dilakukan uji

hipotesis lanjutan. Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut

sebagai berikut:

H0 : model pembelajaran kooperatif TPS dengan pendekatan saintifik

tidak lebih efektif daripada model pembelajaran SGD dengan

pendekatan saintifik terhadap kepercayaan diri siswa

Ha: model pembelajaran TPS dengan pendekatan saintifik lebih efektif

daripada model pembelajaran SGD dengan pendekatan saintifik

terhadap kepercayaan diri siswa.


(2)

82 H0:

Ha: Keterangan:

: rata-rata skor kepercayaan diri kelas TPS dengan pendekatan saintifik : rata-rata kepercayaan diri matematis kelas SGD dengan pendekatan

saintifik

Langkah selanjutnya adalah melakukan uji independent sample t test.

Kriteria pengujiannya adalah H0 ditolak jika nilai signifikasi yang

dihasilkan lebih kecil dari 0,05. Uji hipotesis dilakukan menggunakan


(3)

114

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Majid. (2013). Strategi Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Akrim Ridha. (2002). Menjadi Pribadi Sukses. Bandung : Asy-Syamsil.

Ali Haydar Sar. (2010). Analyzing undergraduate students’self confidence levels in terms of some variables. Procedia Social and Behavioral Sciences 5. Hlm. 1205–1209

Al-Ghifari, Abu. (2003). Percaya Diri Sepanjang Hari, Panduan Sukses Generasi

Qur'ani. Bandung : Mujahid

Al-Uqshari, Yusuf. (2005). Percaya Diri Pasti. Jakarta : Gema Insani.

Aisyah, N. (2007). Pendekatan Pemecahan Masalah Matematika. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi : Depdiknas.

Arends, R.I. & Kilcher, A (2010). Teaching for Students Learning: Becoming an

accomplished Teacher. New York: Routledge.

Daryanto. (2014). Pendekatan Pembelajaran Saintifik Kurikulum 2013. Yogyakarta : Gava Media.

Dudu, Washington T. (2014). Exploring South Africa High School

Teachers’s Conceptions of The Nature of Scientific Inquiry: A Case Study.

Sout Africa Journal of Education. Hlm. 34(1).

Effendi, Leo Adhar. (2012). Pembelajaran Matematika dengan Metode Penemuan

Terbimbing untuk Meningkatkan Kemampuan Representasi dan

Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP. Tesis. SPs UPI Bandung.

Eny Sulistyaningsih. (2014). Efektivitas Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads Together (NHT) dan Think Pair Share (TPS) dengan Pendekatan Kontekstual ditinjau dari Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika dan Sikap Tanggung Jawab Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Wates. Skripsi. UNY

Erman Suherman dkk. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung : JICA Universitas Pendidikan Indonesia.

Fadiah Khairina Pertiwi. (2014). Efektivitas Pembelajaran Matematika Berbasis Masalah Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Think Talk Write (TTW) dan Think Pair Share (TPS) Ditinjau dari Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika dan Kepercayaan Diri Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Wonosari Gunungkidul. Skripsi. UNY.


(4)

115 Herman Hudojo. (2003). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran

Matematika. Jakarta: JICA. IMSTEP.

Herman Hudojo. (2001). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran

Matematika. Malang : JICA Universitas Negeri Malang.

Hosnan. (2014). Desain Sistem Pembelajaran dalam Konteks Kurikulum 2013. Bandung : Refika Aditama.

Institute of Education University of London. (2002). Effective Learning. Diakses darihttp://www.ioe.ac.uk/about/documents/Watkins_02_Effective_Lng% 281%29.pdf. pada tanggal 27 Mei 2015, Jam 19.00 WIB.

Isjoni. (2010). Pembelajaran Kooperatif Meningkatkan Kecerdasan Komunikasi

Antar Peserta Didik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kaddoura, Mahmoed. (2012). Think Pair Share: A teaching Learning Strategy to Enhance Students' Critical Thinking. Jornal of Educational Research

Quarterly; Jun 2013; 36, 4; ProQuest Education Journals. Hal. 3.

Kagan, Spencer & Miguel, Kagan. (2009). Kagan Cooperative Learning. San Clemente: Kagan Publishing.

Kemendikbud. (2013). Kurikulum 2013 Kompetensi Dasar Sekolah

Menengah Atas (SMA) / Madrasah Aliyah (MA). Jakarta : Kemendikbud.

Kemendikbud. (2014). Matematika Buku Guru Edisi Revisi. Jakarta : Kemendikbud.

Kemendikbud. (2014) Matematika Buku Pegangan Siswa Edisi Revisi. Jakarta : Kemendikbud.

Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 117 Tahun 2014 tentang Implementasi Kurikulum 2013 di Madrasah.

Killen, Roy. (2009). Effective Teaching Strategies: Lesson From Research

and Practice. Fifth Edition. South Melbourne: Cengage Learning

Australia.

Kyriacou, Chris. (2009). Effective Teaching in Schools Theory and Practice.

Third Edition. United Kingdom: Nelson Thornes.

Lauster, Peter. 2002. Tes Kepribadian (Terjemahan D.H Gulo). Edisi Bahasa

Indonesia. Cetakan Ketiagabelas. Jakarta: Bumi Aksara.

M. Andre Martin & F.V. Bhaskarra. (2002). Kamus Bahasa Indonesia Millenium. Surabaya: KARINA.

Marpaung, Yansen. (2005). Persperktif Pembelajaran Berbagai Bidang

Study. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. Institute of Education

University of London. (2002). Effective Learning. Diakses dari http://www.ioe.ac.uk/about/documents/Watkins_02_Effective_Lng%281 %29.pdf. pada tanggal 12 April 2015, Jam 23.01 WIB.


(5)

116 Megawati. (2010). Perbedaan Self Confidence Siswa SMP yang Aktif dan Tidak Aktif dalam Organisasi Intra Sekolah. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Marsigit. (2012). Philosophy of Mathematics Education. Diakses dari:

http://www.academia.edu/1809148/Philosophy_of_Mathematics_Educatio n_by_Marsigit pada tanggal 3 April 2015, Jam 16.23 WIB.

Miftahul Huda. (2012). Cooperative Learning, Metode, Teknik, Struktural

dan Model Penerapan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

NCTM. (2000b). Learning Mathematics for A New Century. 2000 Yearbook NCTM: Reston VA.

O‟Connell, Susan. (2000). Introduction to Problem Solving: Grades prek -2. Porthsmouth: Heinemann.

Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 65 tahun 2013 Tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah. Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 81a

Lampiran IV tahun 2013 Tentang Implementasi Kurikulum.

Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 103 tahun 2014 Tentang Pembelajaran pada Pendidikan Dasar dan Menengah. Preston, David Lawrence. (2007). 365 Steps to Self-Confidence. Oxford: How To

Content.

Ratih Damayanti. (2013). Peningkatan Aktivitas Belajar Matematika dengan

Metode Spontaneous Group Discussion. Skripsi. Universitas

Muhammadiyah Surakarta.

Ruseffendi.(2005). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan & Bidang Non-Eksata

Lainnya. Bandung : Tarsito

Sena Gürşen Otacioğlu. (2008). Prospective Teachers’ Problem Solving Skills and Self-Confidence Levels. Journal Educational Sciences: Theory &

Practice. Hal 915-923.

Siska, Sudardjo & Esti Hayu Purnamaningsih (2003). Kepercayaan Diri dan Kecemasan Komunikasi Interpersonal pada Mahasiswa. Jurnal

Psikologi (Nomor 2 tahun 2003). Hlm. 67-71.

Slameto. (2003). Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.

Slavin, Robert E. (2009). Cooperative Learning (Teori, Riset, Praktik). Bandung : Nusa Media.

Sri Wardhani. (2010). Pembelajaran Kemampuan Pemecahan Masalah


(6)

117 Sudrajat. (2008). Peranan Matematika dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

Makalah pada seminar The Power of Mathematics for All Applications. Bandung.

Sukirman. (2005). Karakteristik Kurikulum Matematika 2004 & Strategi Penyusunan Rencana Pembelajaran. Makalah disampaikan pada Seminar

dan Workshop Pengembangan Pembelajaran Matematika dan

Evaluasinya di FMIPA UNY, tanggal 15 November 2005.

Surya Bintarti. (2013). Manajemen Pengembangan Diri. Yogyakarta: CV ANDI OFFSET.

Suyitno. 2004. Dasar-Dasar Dan Proses Pembelajaran Matematika I. Semarang : Universitas Negeri Semarang

Syahrul. (2011). Perbandingan Keefektifan Pembelajaran Cooperative Learning Type STAD (Student Team Achievement Division) Dengan Type TPS (Think-Pair-Share) Ditinjau Dari Ketercapaian Kompetensi Dasar, Sikap, dan Metode Matematika Siswa SMP. Tesis. PPs-Universitas Negeri Yogyakarta.

Trianto. (2007). Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi

Konstruktivistik. Jakarta : Prestasi Pustaka.

Tukiran Taniredja, Efi Miftah, & Sri Harmianto. (2012). Model-Model

Pembelajaran Inovatif. Bandung: Alfabeta.

Umi Solikhatun. (2012). Penerapan Pembelajaran Inovatif dalam Peningkatan Pembelajaran Matematika tentang Pecahan di Sekolah Dasar Kabupaten Kebumen Tahun Ajaran 2011/2012. Jurnal FKIP Universitas Sebelas

Maret VOl 1, No 1. Hlm 29-35

Undang-undang RI No 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Varelas, M and Ford M. (2009). The Scientific method and scientific

inquiry: Tensions in teaching and learning. USA: Wiley InterScience.

Wirdah Pramita.(2014). Penerapan Pendekatan Pemecahan Masalah Menurut Polya Materi Persegi dan Persegi Panjang Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas VII B SMP Negeri 10 JEMBER Tahun Ajaran 2012/2013. Jurnal Kadikma, Vol. 5, No. 2, hal 1-10


Dokumen yang terkait

Perbedaan hasil belajar biologi antara siswa yang menggunakan pembelajaran kooperatif teknik think pair share dan teknik think pair squre

0 4 174

Upaya meningkatkan hasil belajar IPS melalui pendekatan pembelajaran kooperatif model think, pair and share siswa kelas IV MI Jam’iyatul Muta’allimin Teluknaga- Tangerang

1 8 113

Perbandingan hasil belajar biologi dengan menggunakan metode pembelajaran cooperative learning tipe group investigation (GI) dan think pair share (TPS)

1 5 152

PERBEDAAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS DAN SELF EFFICACY SISWA PADA MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD DAN THINK PAIR SHARE (TPS) DI SMP SABILINA.

1 4 36

EKSPERIMENTASI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE GROUP INVESTIGATION (GI) DAN THINK PAIR SHARE (TPS) DENGAN PENDEKATAN SAINTIFIK PADA MATERI RELASI DAN FUNGSI DITINJAU DARI KEMAMPUAN PENALARAN SISWA SMP NEGERI KELAS VIII DI KABUPATEN KARANGANYAR TAHUN AJ

0 0 16

KEEFEKTIFAN PEMBELAJARAN LOGIKA MATEMATIKA BERBASIS MASALAH MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SHARE (TPS) DITINJAU DARI PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA DAN KEPERCAYAAN DIRI SISWA KELAS X SMA N 1 DEPOK.

0 5 281

KEEFEKTIFAN PENDEKATAN SAINTIFIK DENGAN METODE PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINKPAIR SHARE (TPS) DITINJAU DARI KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF MATEMATIS PESERTA DIDIK DI MAN YOGYAKARTA 2 KELAS X.

0 0 147

EKSPERIMENTASI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SHARE (TPS) DAN LEARNING CYCLE 5E (LC 5E) DENGAN PENDEKATAN SAINTIFIK DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN SISWA | Mahmudati | 5916 12645 1 SM

0 0 13

EKSPERIMENTASI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE GROUP INVESTIGATION (GI) DAN THINK PAIR SHARE (TPS) DENGAN PENDEKATAN SAINTIFIK PADA MATERI RELASI DAN FUNGSI DITINJAU DARI KEMAMPUAN PENALARAN SISWA SMP NEGERI KELAS VIII DI KABUPATEN KARANGANYAR | Razak

0 0 14

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE (TPS) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA SISWA

0 0 9