POLA PEMANFAATAN MATA AIR TUK BABON DAN TUK PAKIS OLEH MASYARAKAT LOKAL DI KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

(1)

MATA AIR TUK BABON DAN TUK PAKIS

OLEH MASYARAKAT LOKAL

DI KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU

Tesis

Untuk memenuhi persyaratan mencapai derajat Sarjana S-2 pada Program Studi Ilmu Lingkungan

Akhmadi 21080110400002

PROGRAM MAGISTER ILMU LINGKUNGAN PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG


(2)

TESIS

POLA PEMANFAATAN

MATA AIR TUK BABON DAN TUK PAKIS

OLEH MASYARAKAT LOKAL

DI KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU

Disusun Oleh

A k h m a d i 21080110400002

Mengetahui, Komisi Pembimbing Pembimbing Utama

Dr. Boedi Hendrarto, M.Sc

Pembimbing Kedua

Ir. Winardi Dwi Nugraha, M.Si Ketua Program Studi

Magister Ilmu Lingkungan


(3)

POLA PEMANFAATAN

MATA AIR TUK BABON DAN TUK PAKIS

OLEH MASYARAKAT LOKAL

DI KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU

Disusun oleh A K H M A D I

21080110400002

Telah dipertahankan di depan Tim Penguji pada 20 Agustus 2011

dan dinyatakan memenuhi syarat untuk diterima

Ketua : Tanda Tangan

Dr. Boedi Hendrarto, M.Sc ... Anggota:

1. Dr. Hartuti Purnaweni, MPA ...

2. Ir. Winardi Dwi Nugraha, M.Si ...

3. Dra. Sri Suryoko, M.Si ...

Mengetahui, Ketua Program Studi Magister Ilmu Lingkungan


(4)

PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Tesis yang saya susun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Program Magister Ilmu Lingkungan seluruhnya adalah merupakan hasil karya sendiri.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan Tesis yang saya kutip dari hasil orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan seluruh atau sebagian Tesis ini bukan hasil karya saya sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan saknksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Semarang, Agustus 2011

Penulis Akhmadi


(5)

BIODATA PENULIS

AKHMADI lahir di Negara (Hulu Sungai Selatan)-Kalimantan Selatan pada tanggal 24 November 1979, sebagai putra kelima dari pasangan Bapak M. Arsyad dan Ibu Zakiyah. Pendidikan dasar ditempuh di SD Ma’arif Ponorogo (1986-1992), kemudian melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMP Ma’arif 1 Ponorogo (1992-1995) dan pendidikan menengah atas di SMUN 1 Ponorogo (1995-1998).

Gelar kesarjanaan Strata 1 Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada diraih pada tahun 2003. Pengabdian pada Kampus Lapangan Getas Fakultas Kehutanan UGM sebagai Co-Ass Praktek Lapangan dijalani sejak tahun 2003-2004. Tahun 2005 hingga sekarang, penulis bekerja di Balai Taman Nasional Laut Taka Bonerate Kementerian Kehutanan di Sulawesi Selatan sebagai fungsional Pengendali Ekosistem Hutan (PEH). Berbagai pengalaman dan pelatihan serta seminar khususnya bidang Kehutanan dan Kelautan pernah penulis ikuti. Penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang Strata 2 pada Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro dengan mendapat dukungan beasiswa dari Pusat Pembinaan Pendidikan dan Pelatihan Perencana-Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Pusbindiklatren-Bappenas) tahun 2010-2011.

Penulis telah dikaruniai dua orang putri bernama Aleyda Izzatia dan Afina Dannish, buah pernikahan dengan Ade Rezania Anggraini yang turut memberikan dukungan dalam kehidupan penulis.


(6)

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayah dan karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan Tesis ini dengan lancar. Tesis dengan judul “Pola Pemanfaatan Mata Air Tuk Babon dan Tuk Pakis Oleh Masyarakat Lokal di Kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh derajat Sarjana S2 Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.

Dalam kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Boedi Hendrarto, M.Sc, sebagai Dosen Pembimbing I atas segala bimbingan, arahan dan masukannya selama proses penyusunan Tesis ini. 2. Ir Winardi Dwi Nugraha, M.Si, sebagai Dosen pembimbing II atas segala

bimbingan, arahan dan masukannya selama proses penyusunan Tesis ini. 3. Prof. Dr.Ir. Purwanto,DEA, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu

Lingkungan Universitas Diponegoro serta seluruh dosen pengajar dan staf administrasi.

4. Kepala Pusat Pembinaan Pendidikan dan Pelatihan Perencana-Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Pusbindiklatren-Bappenas) atas kesempatan belajar dan beasiswa yang diberikan.

5. Kepala Balai Taman Nasional Gunung Merbabu serta seluruh stafnya dalam dukungan, arahan dan bantuan sebagai lokasi penelitian.

6. Perangkat Desa dan masyarakat Desa Samiran, Desa Selo, Desa Tarubatang Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali atas segala bantuannya.

7. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Lingkungan angkatan 27 atas dukungan dan semangatnya

8. Bapak Suparman, Bapak Ngatun, Bapak Kasno, Bapak Sowoto, Bapak Pardi, Mas Mujianto atas bantuannya selama pengambilan data di lapangan

9. Serta semua pihak yang telah turut serta membantu proses penelitian dan penyusunan Tesis ini.

Penulis menyadari bahwa untuk lebih menyempurnakan tesis ini, penulis mengharapkan segala kritik, saran dan masukan yang bersifat membangun sangat diperlukan. Semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi Penulis, Pembaca dan para pihak yang berkenan. Akhirnya atas segalanya Penulis mengucapkan Alhamdulillahirobbil’alamin.

Semarang, Agustus 2011 Penulis


(7)

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

BIODATA PENULIS ...v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ...x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

Abstark ... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...1

1.2 Permasalahan ...6

1.3 Rumusan Masalah ...7

1.4 Tujuan Penelitian ...8

1.5 Ruang Lingkup Penelitian...8

1.5.1 Ruang Lingkup Spasial ...8

1.5.2 Ruang Lingkup Substansial ...8

1.6 Manfaat Penelitian ...9

1.7 Penelitian Terkait ...9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konservasi Sumber Daya Air dan Mata Air ...11

2.2 Sumber Daya Hutan ...12

2.3 Kawasan Hutan sebagai Fungsi Hidrologis Konservasi Air ...14

2.4 Taman Nasional dan Konsep Pengelolaannya ...15

2.5 Peran Serta Masyarakat...17

2.6 Pola Pemanfaatan Masyarakat Terhadap Kawasan Konservasi ....19

2.7 Pengelolaan Penyediaan Air Bersih ...20

2.7.1 Aspek Teknik Operasional ...21

2.7.2 Aspek kelembagaan ...21

2.7.3 Aspek Pembiayaan ...22

2.7.4 Aspek Peraturan ...22


(8)

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Tipe Penelitian ...27

3.2 Pendekatan Penelitian ...27

3.3 Lokasi Penelitian ...28

3.4 Waktu Penelitian ...28

3.5 Jenis Data dan Sumber Data ...29

3.6 Teknik Pengumpulan Data ...29

3.6.1 Data Primer ...29

3.6.2 Data Sekunder ...33

3.7 Kerangka Metoda Penelitian ...34

3.8 Analisis Data ...35

3.8.1 Analisis Diskripsi Kualitatif ...35

3.8.2 Analisis Lanjutan ...37

3.9 Kerangka Analisis ...38

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ...39

4.1.1 Desa Samiran ...42

4.1.2 Desa Selo ...44

4.1.3 Desa Tarubatang ...46

4.1.4 Taman Nasional Gunung Merbabu ...49

4.2 Kondisi Mata Air ...56

4.2.1 Mata Air Tuk Babon ...56

4.2.2 Mata Air Tuk Pakis ...59

4.3 Pemanfaatan Mata Air Oleh Masyarakat Lokal ...62

4.3.1 Kearifan Lokal dalam pemanfaatan Mata Air ...62

4.3.2 Pola Pemanfaatan dalam Aspek Sosial, Ekonomi dan Ekologi ...63

4.3.3 Masyarakat Lokal dan Taman Nasional Gunung Merbabu ...66

4.4 Pelestarian Mata Air bersama Masyarakat Lokal ...71


(9)

Bersama Masyarakat Lokal ...86

4.5 Analisis Strategi Pelestarian Mata Air ...89

4.5.1 Kerangka Hirarki Strategi (AHP) ...89

4.5.2 Analisis Hasil AHP ...93

4.5.3 Matrik Penerapan Strategi ...103

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ...108

5.2 Saran ...109

DAFTAR PUSTAKA ...110


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Skala Perbandingan Berpasangan ... 26 Tabel 3.1 Jadwal Kegiatan Penelitian ... 28 Tabel 3.2 Kebutuhan Data Penelitian ... 35 Tabel 4.1 Luasan Berdasarkan Penggunaan Lahan Desa di Kecamatan Selo . 41 Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Desa Samiran, Selo dan Tarubatang ... 48 Tabel 4.3 Fenomena Mata Air Tuk Babon dan Tuk Pakis ... 60 Tabel 4.4 Matrik Penerapan Strategi Pelestarian Pemanfaatan Mata


(11)

Gambar 3.1 Kerangka Metoda Penelitian ... 34

Gambar 3.2 Komponen dalam Analisis Data ( Interactive Model) ... 36

Gambar 3.3 Kerangka Analisis ... 38

Gambar 4.1 Peta Lokasi Penelitian dan Mata Air ... 40

Gambar 4.2 Desa Samiran pada sisi Lereng Gunung Merapi ... 43

Gambar 4.3 Puncak Gunung Merapi dari Desa Samiran ... 44

Gambar 4.4 Desa Selo dengan Latar Gunung Merapi ... 45

Gambar 4.5 Desa Tarubatang dari Ketinggian ... 47

Gambar 4.6 Struktur Organisasi Balai Taman Nasional Gunung Merbabu ... 53

Gambar 4.7 Peta Wilayah Kerja Pengelolaan Taman Nasional Gunung Merbabu ... 55

Gambar 4.8 Kondisi sekitar Mata Air dan Bagunan Bak Penampung Tuk Babon ... 59

Gambar 4.9 Mata Air dan Bagunan Bak Penampung Tuk Pakis ... 61

Gambar 4.10 Peta Rencana Zonasi Taman Nasional Gunung Merbabu ... 68

Gambar 4.11 Peta Rencana Zonasi TN GMb di Desa Pengguna Mata Air Tuk Babon dan Tuk Pakis ... 69

Gambar 4.12 Bak Pembagi Utama ... 74

Gambar 4.13 Bangunan Bak Berjalan ... 74

Gambar 4.14 Diagram Distribusi Air dari Mata Air Tuk Babon ... 75

Gambar 4.15 Peta Distribusi Air Tuk Babon ... 77

Gambar 4.16 Skema Bak Pembagi I Tuk Babon ... 79

Gambar 4.17 Peta Distribusi Air Tuk Pakis ... 80

Gambar 4.18 Diagram Distribusi Air dari Mata Air Tuk Pakis ... 81

Gambar 4.19 Aspek Pembangunan Berkelanjutan (kelestarian alam) ... 87

Gambar 4.20 Struktur Hirarki dari Strategi Pelestarian Mata Air Bersama Masyarakat Lokal ... 93

Gambar 4.21 Hasil Keluaran AHP pada Analisis Antar Aspek ... 93

Gambar 4.22 Hasil Keluaran AHP pada Analisis Dalam Aspek Lingkungan ... 95

Gambar 4.23 Hasil Keluaran AHP pada Analisis Aspek Sosial Budaya ... 98

Gambar 4.24 Hasil keluaran AHP pada analisis Aspek Ekonomi ... 100


(12)

Lampiran 1. Surat Ijin Penelitian ...115

Lampiran 2. Panduan Wawancara dan Observasi lapangan ...118

Lampiran 3. Panduan Kuesioner Untuk AHP ...133

Lampiran 4. Daftar Keyperson untuk Wawancara ...143

Lampiran 5. Daftar Keyperson untuk Kuesioner AHP ...145

Lampiran 6. Daftar peserta FGD ...146


(13)

Oleh Masyarakat Lokal di Kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu

ABSTRAK

Mata air merupakan bagian dari paremeter ekosistem hutan. Ekosistem Gunung Merbabu dengan karakteristik kehidupan masyarakat sekitarnya membentuk interaksi hubungan timbal balik dalam keseimbangan ekosistem. Pemanfaatan mata air oleh masyarakat lokal di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu diduga sangat mempengaruhi kondisi kelestarian ekosistem sekitarnya. Untuk memberikan sebuah langkah strategis dalam mewujudkan pemanfaatan mata air yang lestari perlu dilakukannya kajian pola pemanfaatan oleh masyarakat lokal dengan mengedepankan azas kelestarian dan keberlanjutan. Pemanfaatan yang lestari tentunya memperhatikan aspek lingkungan, sosial budaya dan aspek ekonomi.

Penelitian ini dilakukan di mata air “Tuk Babon” dan “Tuk Pakis” dengan pengambilan data di Desa Tarubatang, Selo dan Samiran Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali. Penelitian ini dilakukan pada Bulan April sampai dengan Juli 2011. Tipe penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan metode pengambilan data dengan wawancara mendalam, observasi lapangan dan Focus Group Discussion (FGD). Analisis dilakukan dengan diskriptif kualitatif dari pemanfaatan mata air oleh masyarakat dalam aspek lingkungan, sosial budaya dan ekonomi yang menghasilkan rumusan strategi pelestarian sumber mata air oleh masyarakat lokal. Selanjutnya rumusan strategi ini dilakukan analisis lanjutan dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP).

Hasil dari penelitian ini disimpulkan bahwa masyarakat yang memanfaatkan mata air Tuk Babon dan Tuk Pakis lebih mengedepankan fungsi sosial. Pengkajian dari ketiga aspek, didapatkan bahwa kelestarian mata air perlu didukung dengan penguatan kelembagaan masyarakat, perbaikan dalam pelestarian ekosistem hutan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Strategi yang dilakukan tetap menjaga keseimbangan dan keterkaitan dari aspek lingkungan, sosial budaya, ekonomi dalam pemanfaatan mata air. Berdasarkan analisis lanjutan AHP dihasilkan analisis yang dapat diterima dengan prioritas kepentingan dari 13 alternatif dengan urutan dari yang terpenting adalah (1) Penyediaan Basis Data Kawasan Konservasi dan Lingkungan Sumber Mata Air dan ekosistemnya; (2) Alternatif Budaya dan Alam; (3) alternatif Rehabilitasi lahan dan kawasan; (4) Budaya dan Sosial; (5) Alternatif Keseimbangan air; (6) Koperasi dengan kosep konservasi; (7) Pembentukan dan penguatan kelembagaan atau organisasi; (8) Penerapan konsep Silvoagropastura; (9) Peraturan Desa; (10) Pengamanan Swakarsa Masyarakat; (11) Pemberdayaan ekonomi masyarakat; (12) Penerapan konsep Imbal Jasa Lingkungan (IJL); (13) Pendanaan.

Kata Kunci:Mata air, aspek ekonomi,sosial budaya dan lingkungan, Analytical Hierarchy Process (AHP).


(14)

Communities in Merbabu Mount National Park

ABSTRACT

Springs are part of the forest ecosystem parameter. Merbabu mountain ecosystem with the surrounding community characteristics forms reciprocal interactions in the ecosystem equilibrium. Utilization of water resources by local communities around the Mount Merbabu National Park is assumed able to influence the surrounding ecosystem sustainable conditions. To provide a strategic step in realizing the utilization of sustainable springs, it was needed to do a study of patterns of utilization by the local community by promoting the principles of sustainability and continuity. Sustainable use must consider to the environmental, social, cultural and economic aspects.

The research was conducted in "Tuk Babon" and "Tuk Pakis" springs. Data was collected in the Tarubatang Village, Selo and Samiran in Selo Sub Boyolali District. The research was conducted from April to July 2011. This was a qualitative research used a descriptive method. Data collection with in-depth interviews, field observations and Focus Group Discussions (FGD). Data analyses were performed with a qualitative description of the utilization of water resources by the community in environmental, social and economic culture that generates conservation springs strategy by local communities. Furthermore, the formulation of this strategy was carried out by using Analytical Hierarchy Process (AHP) method.

The results showed that local people used the springs at Tuk Babon and Tuk Pakis was principally for social functions. Study on the three aspects in question proved that the sustainability of the water source required supports from local community institutions, improvement of forest ecosystem preservation and community economic empowerment. Strategy to be applied must rely on the balance and interrelationship of the environmental, social-cultural, and economic aspects. According to the subsequent analysis using the AHP the research found thirteen priorities of interest, based on the order of importance as follows: (1) The need for database on conservation areas and environment of springs and its ecosystem; (2) Culture and natural alternatives; (3) Alternatives of land and area rehabilitation; (4) culture and social concerns; (5) Water balance alternatives; (6) Co-operation with conservation concepts; (7) Establishment and empowerment of institutions and organizations; (8) Application of Silvo-agropasture concepts; (9) Rural areas management; (10) Community self-initiatives security system; (11) Community economic empowerment; (12) Application of payment for environmental services (PES); and (13) Funding Supports.

Keywords: Springs; Economic, Social-cultural and Environmental Aspects, Analytical Hierarchy Process (AHP).


(15)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

Air merupakan salah satu kebutuhan dasar bagi setiap makhluk hidup, tidak terkecuali manusia. Manusia tidak akan mampu bertahan hidup tanpa air, karena air merupakan salah satu elemen dasar yang menunjang proses metabolisme tubuh manusia. Ketergantungan manusia terhadap air tidak hanya berhenti pada kebutuhan biologis semata, namun juga menyangkut aspek sosial dan ekonomi. Ketersediaan air di muka Bumi sangat melimpah, di mana dua pertiga dari Bumi adalah berupa air baik air laut (asin) dan air tawar. Bumi memiliki kawasan khusus yang meresapkan dan menyimpan air secara alami sebagai sumber daya air tanah. Saat hujan, kawasan tersebut meresapkan air dan mengeluarkannya ke permukaan saat kemarau sebagai sumber daya mata air yang kemudian mengalir menjadi sumber daya air sungai. Kedua sumber daya air tersebut, baik mata air maupun air sungai berperan penting menunjang berbagai kegiatan manusia. Namun, saat ini banyak kawasan resapan beralih peran, tak lagi menahan dan meresapkan sumberdaya air. Akibatnya, jumlah potensi air tanah menyusut dan mengurangi aliran mata air yang akan mengalir ke sungai saat musim kemarau.

Salah satu kawasan yang menjadi daerah resapan air hujan adalah kawasan lindung. Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindung kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan. Kawasan lindung dapat berupa tutupan lahan yang bervegetasi seperti hutan, dan kawasan lindung dapat pula berupa gunung yang merupakan kondisi geografi yang mampu menampung resapan air hujan, membuat mata air dan menjadi hulu dari aliran sungai ke daerah bawah. Kawasan resapan air yang berupa gunung yang bervegetasi hutan sangat berperan dalam mengatur sistem aliran air sehingga membentuk aliran sungai dari hulu hingga ke hilir.


(16)

Kawasan lindung di Indonesia, dikelola dengan berbagai bentuk dan ketetapan, salah satunya adalah kawasan konservasi taman nasional. Kawasan konservasi mempunyai bagian yang merupakan sistem aliran sungai yang membentuk sistem Daerah Aliran Sungai (DAS), maka sistem perlindungan kawasan diharapkan mampu mendukung sistem ini secara menyeluruh dari hulu dan bermanfaat pada bagian hilir. Kawasan Konservasi mempunyai salah satu fungsi sebagai penyangga kehidupan. Dengan dilakukannya konservasi sumber daya air, maka diharapkan ketersediaan air baik sebagai air bersih maupun air sebagai sumber daya alam dalam kelangsungan ekosistem dan lingkungannya mampu mendukung kelestarian lingkungan.

Pertumbuhan penduduk yang terus meningkat, kebutuhan lahan yang terus meningkat yang diikuti perubahan fungsi lahan konservasi atau bahkan kerusakan lingkungan di daerah yang semestinya menjadi daerah resapan air telah menjadikan sumber daya air menjadi bagian yang memberikan bencana atau bahkan kelangkaan keberadaanya. Pemanfaatan sumber daya air perlu dilakukan secara arif dan bijaksana sehingga ketersediaannya dapat terpenuhi dan tidak menjadi bencana bagi kehidupan manusia itu sendiri.

Kawasan hutan di Gunung Merbabu merupakan daerah tangkapan air atau sumber air bagi sungai-sungai yang memiliki hulu di kaki Gunung Merbabu seperti Sungai Bulak, Sungai Gendil, Sungai Mangu dan Sungai Soti. Oleh karena itu Taman Nasional Gunung Merbabu memiliki nilai multi fungsi penting, baik secara ekologis, ekonomis, sosial maupun budaya. Secara fungsi hidrologi, kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu memiliki arti penting, khususnya sebagai daerah tangkapan air yang mengaliri daerah pertanian dan perkebunan di Kabupaten Semarang, Boyolali dan Magelang (BTN Gunung Merbabu, 2010).

Berdasarkan pengelolaan yang ada, Taman Nasional Gunung Merbabu merupakan salah satu Taman Nasional di Jawa Tengah yang ditunjuk pada Tahun 2004 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No: 135/Menhut-II/2004 tanggal 4 Mei 2004 tentang Perubahan Fungsi


(17)

Kawasan Hutan Lindung dan Taman Wisata Alam pada Kelompok Hutan Gunung Merbabu seluas ± 5.725 Ha.

Di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu banyak terdapat mata air yang dimanfaatkan untuk menopang kehidupan masyarakat di sekitar Gunung tersebut. Setidaknya ada 25 mata air yang ada di kawasan ini, diantaranya: Mata Air Candran, Batur, Ngagrong, Malang, Denokan di Kecamatan Sawangan Kabupaten Magelang; Mata Air Derepan, Kragilan, Sikendi, Kali Grenden, Kali Kalong, Kali Wuloh, Kali Ngesong dan Pujan, Sikendil, Kali Soti, Teyeng di Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang; Mata Air Simuncar, Sipendok, Jaran Mati di Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali; Mata Air Tuk Pakis, Tuk Babon di Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali; dan Mata Air Umbul Songo, Kali Pasang, Tuk Padas, Tuk Geded di Kabupaten Semarang (BTN Gunung Merbabu, 2010)

Kriteria suatu kawasan hutan ditetapkan sebagai taman nasional, antara lain meliputi kawasan yang memiliki sumber daya alam hayati dan ekosistem yang khas, masih utuh dan alami serta gejala alam yang unik. Selain itu kawasan juga memiliki satu atau beberapa ekosistem yang utuh, ideal dalam kelangsungan proses ekologis yang dapat menunjang pariwisata dan rekreasi dan merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan zona lain yang karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri. (Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 2011)

Perkembangan kompleksitas permasalahan sosial, ekonomi dan politik yang terjadi di Indonesia berdampak semakin sulitnya untuk mengelola suatu kawasan konservasi. Selain itu sebagian besar kawasan konservasi selalu bersinggungan langsung dengan penduduk lokal yang sebenarnya mempunyai kemampuan mengelola secara bersama dan untuk melestarikan kawasan konservasi. Dengan Demikian pengelola taman nasional diharapkan mampu menciptakan pengelolaan yang dapat


(18)

menjembatani kepentingan konservasi dalam dinamika politik, sosial dan kepentingan masyarakat lokal. Aspek pemanfaatan sering terjadi benturan kepentingan dan permasalahan sosial, sehingga sebagian besar permasalahan utama dari taman nasional adalah pada pemanfaatan yang tidak optimal yang mengakibatkan fungsi perlindungan terganggu dan akhirnya pengawetan tidak dapat terjamin.

Di Taman Nasional Gunung Merbabu terdapat sebuah interaksi kehidupan masyarakat dengan kawasan konservasi hutan Gunung Merbabu. Salah satu aktifitas yang berlangsung pada kawasan taman nasional adalah pemanfaatan mata air untuk memenuhi kebutuhan hidup dan juga untuk mengairi perkebunan/ pertanian milik penduduk sekitar lereng Gunung Merbabu. Mata air ini menjadi salah satu sumber utama kebutuhan air untuk kehidupan masyarakat. Selain mata air, masyarakat hanya mengandalkan air hujan, hal ini dikarenakan pada daerah lereng perbukitan tidak dapat dilakukan pembuatan sumur galian dan kondisi sungai yang relatif kecil dan berada di sisi jurang, sehingga mata air ini menjadi sangat penting bagi kehidupan masyarakat di Gunung Merbabu. Jarak mata air ke rumah penduduk yang jauh juga menjadi bagian kesulitan masyarakat untuk mendapatkan air terutama bagi yang masih harus mengambil air secara manual tanpa aliran pipa.

Pemanfaatan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat adalah dengan mengalirkan aliran air dari mata air dengan menggunakan pipa menuju rumah tinggal penduduk. Kebutuhan air sangat penting ketika musim kemarau tiba, namun di sisi lain kondisi mata air pada musim kemarau debitnya menjadi kecil atau bahkan tidak keluar, sehingga terkadang menimbulkan permasalahan kekurangan air, kekeringan dan konflik perebutan air antar masyarakat. Perebutan air yang sering terjadi saat distribusi mata air khususnya Tuk Babon dan Tuk Pakis adalah ketika pipa masih hanya terdistribusi dua desa saja, sehingga desa yang lain masih sangat kekurangan.

Berbagai pola dan bentuk pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar Taman Nasional Gunung Merbabu akan berperan


(19)

penting dalam menjaga kelestarian mata air dan lingkungan terutama di daerah tangkapan air Gunung Merbabu. Perubahan fungsi ini menjadi pemicu pemikiran masyarakat dalam terjadinya pengurangan vegetasi. Sebagian masyarakat memandang hutan Pinus yang sudah tua dan tidak produktif getahnya akan lebih bernilai untuk ditebang dan dimanfaatkan kayunya. Pada kondisi lain bahwa setelah menjadi taman nasional maka vegetasi apapun tidak bisa ditebang apalagi hanya karena alasan lebih bernilai ekonomi. Selain itu sering terjadinya kebakaran hutan menjadi bagian kerusakan vegetasi di daerah tangkapan air. Perubahan fungsi kawasan telah memberikan perubahan pengelolaan dalam bentuk taman nasional. Perubahan pengelolaan ini diharapkan mampu memberikan kebijakan yang tepat pada pola pemanfaatan mata air yang selama ini telah dilakukan masyarakat.

Pemanfaatan mata air oleh masyarakat sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu merupakan bagian dari kebijakan pengelolaan taman nasional dari aspek pemanfaatan. Pola dan bentuk pemanfaatan mata air yang dilakukan masyarakat sangat beragam. Mulai dari pemanfaatan yang sederhana, pemanfaatan secara individu dan berkelompok, hanya sekedar memanfaatkan, ada pula yang mulai peduli dengan pelestarian dan pemeliharaan mata air, hingga pemanfaatan yang telah tertata dengan membentuk sebuah organisasi untuk memperkuat pengelolaan mata air.

Berbagai bentuk pemanfaatan mata air di Kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu, pola pemanfaatan yang masih kental nuansa masyarakat lokal dan kondisi sumber air yang hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari, serta keberadaan masyarakat yang berada berbatasan dengan kawasan konservasi, salah satunya adalah pemanfaatan mata air Tuk Babon dan Tuk Pakis di Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali. Pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat perlu dilakukan kajian dalam bentuk pemanfaatan yang berkelanjutan, memperhatikan kelestarian baik mata air maupun ekosistem Gunung Merbabu sebagai penyangga kehidupan masyarakat sekitarnya.


(20)

1.2 Permasalahan

Salah satu manfaat lingkungan dari ekosistem Gunung Merbabu adalah adanya mata air sebagai penyedia air untuk kebutuhan hidup masyarakat sekitar dan mempunyai fungsi ekologis yang sangat besar dalam mendukung aliran sungai dari hulu hingga hilir dari ekosistem Gunung Merbabu. Kawasan Gunung Merbabu merupakan kawasan konservasi yang dikelola dalam bentuk taman nasional. Pengelolaan kawasan ini merupakan perubahan dari pengelolaan sebelumnya yang merupakan kawasan Hutan Lindung dan Taman Hutan Wisata Alam oleh pihak Perum Perhutanan Indonesia (Perhutani). Perubahan pengelolaan ini akan berpengaruh terhadap sistem dan pola pemanfaatan mata air yang telah dilakukan oleh masyarakat sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu.

Masyarakat dalam pemanfaat mata air dari Gunung Merbabu mempunyai berbagai cara atau pola dan bentuknya. Pemanfaatan yang dilakukan di berbagai desa-desa yang terdapat dalam tiga kabupaten yaitu Kabupaten Boyolali, Kabupaten Semarang dan Kabupaten Magelang. Pemanfaatan mata air oleh masyarakat lokal telah mengalami perkembangan dan perubahan seiring terjadi perubahan pengelolaan kawasan konservasi Gunung Merbabu oleh pemerintah, dan perubahan kondisi baik secara alam maupun dampak dari kegiatan dan aktivitas terhadap ekosistem Gunung Merbabu. Bentuk dan pola pemanfaatan mata air yang dilakukan masyarakat beragam, mulai dari pemanfaatan yang sederhana hanya sekedar mengalirkan air dari mata air ke rumah untuk kebutuhan hidup mereka, pemanfaatan untuk pertanian atau perkebunan milik masyarakat, namun ada pula yang sudah mengembangkan pengelolaan dengan diperkuat kelembagaan organisasi masyarakat setingkat desa atau kecamatan.

Pengelolaan terhadap mata air tidak semua masyarakat yang memanfaatkan mempunyai kepedulian yang sama. Salah satu bentuk pengelolaan yang telah berkembang adalah adanya pengembangan kelembagaan organisasi masyarakat untuk mengatur pemeliharaan dan pemanfaatan mata air. Salah satu pemanfaatan mata air yang masih kental


(21)

dengan nuansa lokal, dan ketersediaan sumber air yang terbatas, serta keberadaan pemukiman masyarakat yang berbatasan langsung dengan kawasan taman nasional adalah mata air Tuk Babon dan Tuk Pakis yang berada di Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali.

Permasalahan yang mempengaruhi kondisi mata air antara lain adalah kondisi vegetasi yang mengalami penurunan. Perubahan pengelolaan dari hutan wisata dan lindung oleh Perhutani menjadi Taman Nasional, vegetasi khususnya pinus menjadi sasaran untuk dimanfaatkan kayunya oleh masyarakat karena dianggap sudah tidak produksi getah lagi. Selain itu perebutan mata air yang dikarenakan menurunnya debit dimusim kemarau dan dikarenakan distribusi air yang belum menjangkau seluruh desa. Masyarakat yang masih harus mengambil air secara manual dengan jarak yang relatif jauh menjadikan pemicu perebutan air khususnya di musim kemarau. Kejadian pemutusan aliran air pipa plastik pernah terjadi ketika debit air menurun, sedangkan distribusi air masih belum merata. Dengan berbagai permasalahan ini maka pengelolaan pemanfaatan mata air untuk kebutuhan kehidupan masyarakat perlu dilakukan dengan baik.

Dengan adanya pengelolaan taman nasional, keterlibatan masyarakat sangat diperlukan guna menghasilkan strategi pengelolaan yang mampu mendukung pemanfaatan mata air secara lestari. Untuk itu perlu dilakukannya kajian pemanfaatan mata air yang dilakukan oleh masyarakat lokal, sehingga didapatkan strategi pelestarian pemanfaatan mata air oleh masyarakat yang selaras dengan Pengelolaan Taman Nasional Gunung Merbabu.

1.3 Rumusan Masalah

Dari permasalahan di atas maka dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah pemanfaatan mata air mendukung pelestarian sumber daya alam dan lingkungan?

2. Strategi apa yang dapat dirumuskan dalam pemanfaatan mata air oleh masyarakat lokal sebagai bentuk keselarasan pemanfaatan dan kebijakan taman nasional?


(22)

1.4 Tujuan Penetian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pola pemanfaatan mata air oleh masyarakat lokal dalam upaya menjaga dan melestarikan lingkungan dan sumber daya alam kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu.

2. Merumuskan strategi pelestarian pemanfaatan mata air oleh masyarakat lokal di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu yang selaras dengan kebijakan pengelolaan Taman Nasional Gunung Merbabu.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini mencakup di antaranya:

1.5.1 Ruang lingkup spasial, yaitu penelitian ini dilakukan pada

masyarakat lokal di Sekitar Taman Nasional Gunung Merbabu yang memanfaatkan mata air Tuk Babon dan Tuk Pakis di Kecamatan Selo Kabupten Boyolali. Adapun Desa yang menjadi obyek penelitian adalah Desa Tarubatang, Desa Selo dan Desa Samiran yang merupakan Desa yang memanfaatkan terbanyak mata air dari Tuk Pakis dan Tuk Babon.

1.5.2 Ruang lingkup substansial, dengan maksud untuk memperjelas

permasalahan yang terdiri dari:

1. Mengkaji pola pemanfaatan mata air dari kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu oleh masyarakat lokal yang ditinjau dari aspek operasional, kelembagaan, mekanisme pengaturan yang diterapkan dan peran serta masyarakat.

2. Menganalisis hasil pola pemanfaatan mata air yang dilakukan oleh masyarakat lokal yang ditinjau dari aspek pelestarian lingkungan kawasan mata air dan sekitarnya serta dukungan terhadap pengelolaan taman nasional.

3. Memberi masukan arahan strategi kebijakan terkait pemanfaatan mata air oleh masyarakat lokal yang selaras dengan sistem pengelolaan taman nasional.


(23)

1.6 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini terbagi dua:

1. Manfaat Teoritis, yaitu penelitian ini dapat menjadi acuan pengembangan ilmu pengetahuan, pelestarian lingkungan dan pengelolaan Kawasan Konservasi pada umumnya.

2. Manfaat praktis, yaitu dapat sebagai masukan kepada pihak pengelola dalam kebijakan pengelolaan Taman Nasional Gunung Merbabu yang berwawasan konservasi berkelanjutan dan meningkatkan kesejateraan masyarakat terutama dalam pemanfaatan mata air oleh masyarakat.

3. Masukan bagi pembangunan masyarakat desa, khususnya Desa Tarubatang, Desa Selo dan Desa Samiran dalam pelestarian mata air dan ekosistem Taman Nasional Gunung Merbabu.

1.7 Penelitian terkait

Tabel 1.1 Daftar Penelitian terkait

Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian Lokasi

Penelitian Dahniar Yudha Eriyanto, 2006 Pengelolaan Air Bersih Secara Partisipatif di Gunung Merbabu

Pemahaman yang utuh mengenai pendekatan partisipatif di daerah yang kekurangan sumber air dan tidak terjangkau layanan air bersih dari pemerintah dengan penggunakan Lereng Selatan Gunung Merbabu sebagai studi kasus.

Di 7 Desa Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali

Umar, 2009 Persepsi dan perilaku Masyarakat dalam Pelestarian Fungsi Hutan sebagai Daerah Resapan Air

Kajian persepsi dan perilaku masyarakat dalam pelestarian fungsi hutan Penggaron sebagai daerah resapan air

Hutan Penggaron, Kabupaten Semarang


(24)

Lanjutan Tabel 1.1 Daftar Penelitian terkait

Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian Lokasi

Penelitian

Muhamad I’tishom, 2010

Pengelolaan Penyediaaan Air Bersih Oleh Masyarakat Di Kawasan Jetisharjo Kota Yogyakarta

Kajian pengelolaan Penyediaan air Bersih oleh Masyarakat di kawasan Jetisharjo Kota Yogyakarta dari aspek operasional, pembiayaan, kelembagaan, peraturan dan peran serta

masyarakat

Kawasan Jetisharjo Kota Yogyakarta

Penelitian yang dilakukan berbeda dengan ketiga penelitian pada tabel 1.1. Penelitian ini kajian mengarah pada aspek pengelolaan dalam pemanfaatan mata air kaitannya dengan pengelolaan taman nasional. Pada penelitian Dahniar Yudha Eriyanto 2006 dan Muhamad I’tishom 2010 adalah kajian pada aspek teknis pengelolaan air bersih dan kondisi sosial masyarakatnya. Sedangkan penelitian ini aspek teknis pengelolaan hanya sebatas gambaran pengelolaan, kajian lebih menyeluruh kaitannya dengan bagian dari proses perencanaan pengelolaan pemanfaatan mata air.


(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konservasi Sumber Daya Air dan Mata Air

Sumber daya air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya. Air adalah semua air yang terdapat pada di atas maupun di bawah permukaan tanah termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan dan air laut yang berada di darat. Air permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah. Air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah (Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air). Penyebaran air laut dan air tawar di dunia yaitu: air asin laut (97,3%); danau air asin (0,01%); air tawar (3%) terdiri dari es 2,14%; akifer 0,61%, kelembaban tanah 0,005%; atmosfer 0,001%; danau 0,009%; sungai 0,0001 (total 100%) (Lee, 1990).

Salah satu sumber daya air yang merupakan mekanisme penyimpanan air dan siklus air di Bumi adalah munculnya yang disebut mata air. Mata air (Spring) adalah pemusatan keluarnya air tanah yang muncul di permukaan tanah sebagai arus dari aliran air tanah (Tolman,1937 dalam Santosa LW, 2006). Menurut Bryan (1919) dalam Santosa LW (2006), berdasarkan sebab terjadinya mata air diklasifikasikan menjadi 2 yaitu: mata air yang dihasilkan oleh tenaga non gravitasi (non gravitational spring) dan mata air yang dihasilkan oleh tenaga gravitasi (gravitational spring). Mata air yang dihasilkan oleh tenaga non gravitasi meliputi: mata air vulkanik, mata air celah, mata air hangat, dan mata air panas. Mata air gravitasi dikalsifikasikan menjadi beberapa tipe, yaitu mata air depresi (depression spring) yang terbentuk bila permukaan air tanah terpotong oleh topografi; mata air kontak (contact spring) terjadi bila lapisan yang lulus air terletak di atas lapisan kedap air; mata air artesis (artesian spring) yang keluar dari akuifer tertekan; dan mata air turbuler (turbulence spring) yang terdapat pada saluran-saluran alami pada formasi kulit bumi, seperti goa lava atau joint.


(26)

Berbagai wilayah memungkinkan menjadi jalur aliran air dari dalam tanah menuju ke permukaan tanah yang memunculkan mata air. Salah satu wilayah yang mempunyai potensi mata air besar adalah wilayah lereng gunung api, dan di antara wilayah gunung api. Gunung Merbabu merupakan gunung api yang tidak aktif dan berdekatan (sisi selatan) pertemuan lerengnya dengan Gunung Merapi yang termasuk gunung api yang masih aktif. Munculnya mata air selain dipengaruhi oleh jenis batuan dan geomorfologi yang membentuk kemiringan lereng dan rekahan, juga tergantung dari luasan area penahan hujan (hutan) yang mampu meresapkan air hujan (Santosa. LW, 2006). Maka kondisi ketersediaan mata air sangat tergantung pada kondisi wilayah, ekosistem hutan daerah tangkapan air hujan. Dengan keterpaduan ekosistem hidrologi di wilayah tangkapan air perlu dilakukan konservasi sumber daya air.

Dalam Undang-Undang nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air menjelaskan konservasi sumber daya air adalah upaya memelihara keberadaan serta keberlanjutan keadaan, sifat dan fungsi sumber daya air agar selalu tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan mahkluk hidup, baik pada waktu sekarang maupun yang akan datang.

Konservasi air tidak bisa lepas dari konservasi tanah, sehingga keduanya sering disebut bersamaan menjadi konservasi tanah dan air. Hal ini mengandung makna, bahwa kegiatan konservasi tanah akan berpengaruh tidak hanya pada perbaikan kondisi lahan tetapi juga pada perbaikan kondisi sumber daya airnya, demikian juga sebaliknya. Konservasi air mempunyai efek berganda; diantaranya mengurangi biaya kerugian akibat banjir, mengurangi biaya pengolahaan air, mengurangi ukuran jaringan pipa dan lain sebagainya. (Kodoatie RJ, 2005).

2.2 Sumber Daya Hutan

Sumber daya alam yang erat kaitannya dengan sumber daya air adalah hutan. Hutan merupakan sebagai asosiasi masyarakat tumbuh-tumbuhan dan


(27)

hewan yang didominasi oleh pohon-pohonan dengan luasan tertentu sehingga dapat membentuk iklim mikro dan kondisi ekologi tertentu (Suparmoko, 1997). Kondisi hutan terutama di Indonesia Hutan hujan tropis memiliki vegetasi utama pohon-pohonan berkayu yang mampu menjadikan kondisi lapisan tanah menjadi lebih kuat dalam mempertahankan air yang masuk ke dalam tanah. Fungsi lahan hutan yang bervegetasi hampir sama fungsinya seperti busa raksasa yang mampu menahan air hujan sehingga meresap perlahan-lahan dan bertahan lama di dalam tanah. Pada kondisi geografis dan geologis tertentu, lahan hutan yang bervegetasi pepohonan yang menyimpan air dapat memunculkan mata air ke permukaan tanah, maupun ke sela-sela bebatuan di dalam tanah menuju ke aliran yang lebih rendah.

Hutan mampu memberikan sumber daya energi dan bahan makanan bagi kehidupan lainnya. Hasil hutan tidak hanya berupa kayu dan hewan saja. Hutan yang mencakup kehidupan tumbuhan dan hewan mampu memberikan produktifitas biologis tumbuhan berupa energi, karbohidrat, biomasa, air, tanah dan sebagainya membentuk struktur biologis dan fungsi kehidupan. Hutan juga mampu menjadi bagian dari regenerasi kehidupan secara alami yang akan mengalami permudaan baik alami maupun ada campur tangan manusia.

Hutan dengan berbagai komponen biotik dan abiotiknya membentuk sebuah proses biologis dan kimia yang mampu memberikan manfaat yang luas bagi kehidupan lainnya. Beberapa fungsi hutan adalah hutan mampu mengatur tata air, mencegah dan membatasi banjir, erosi, serta memelihara kesuburan tanah; hutan dapat memberikan hasil hutan berupa kayu dan bukan kayu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia dan kehidupan lainnya. Manfaat hasil hutan dapat digunakan sebagai bahan baku pembangunan dan industri pada kehidupan manusia. Hutan dalam skala besar, akan mampu mempengaruhi iklim dan mengendalikan perubahan iklim akibat dari dampak kerusakan lingkungan di luar hutan. Selain itu hutan juga mampu memberikan keindahan dan keunikan, sehingga dapat memberikan manfaat lingkungan


(28)

hutan sebagai obyek wisata, obyek penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan dan sebagai sumber plasma nutfah keanekaragaman hayati.

2.3 Kawasan Hutan Sebagai Fungsi Hidrologis Konservasi Air

Kawasan lindung dan kawasan konservasi yang mempunyai keaslian alam dan vegetasi hutannya harus tetap terjaga karena keberadaan hutan mempunyai peran sangat penting dalam menjaga keseimbangan tata air. Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindung kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan (Kepres nomor 32 tahun 1990). Hutan dengan keberagaman vegetasi mampu meningkatkan porositas tanah untuk memudahkan proses infiltrasi air hujan ke dalam tanah. Tajuk hutan juga berfungsi menghalangi penggerusan lapisan atas tanah bagian atas oleh air hujan, sehingga mencegah terjadinya erosi (Soemarwoto, 2001).

Dalam mewujudkan pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan, sangat penting memperhatikan daya dukung dan konservasi sumber daya air. Strategi pengelolaan sumber daya air harus dilakukan secara terpadu dengan menggunakan pendekatan one management for one watershed yang meliputi Daerah Aliran Sungai dari bagian hulu (mata air) sampai dengan hilir. Pemahaman Daerah Aliran Sungai dapat diartikan suatu kesatuan wilayah tata air yang terbentuk secara alamiah, di mana semua air hujan yang jatuh ke daerah ini akan mengalir melalui sungai dan anak sungai yang bersangkutan (Kadoatie, 2001).

Gunung merupakan bentang alam sangat berperan dalam fungsi melindungi bagian yang lain. Selain karena sebagai wilayah resapan dan tangkapan air gunung merupakan bentang alam yang mempunyai topografi yang saling terkait dengan siklus air. Gunung, pegunungan dan dataran tinggi memiliki peranan penting dalam perjalanan siklus hidrologi. Siklus hidrologi adalah proses-proses yang tercakup dalam peralihan uap lengas dari laut ke daratan dan kembali ke laut lagi membentuk apa yang disebut daur hidrologi


(29)

(Linsley, 1985). Menurut Asdak 2002, daur hidrologi adalah proses perjalanan air dari permukaan laut ke atmosfer kemudian ke permukaan tanah dan kembali lagi ke laut yang berlangsung terus menerus tanpa pernah berhenti. Air yang jatuh ke tanah sebagai air hujan (presipitasi) akan bertahan (sementara) di dalam tanah, danau, sungai, sehingga dapat dimanfaatkan oleh manusia dan mahkluk hidup lainnya.

Sumber daya hutan mempunyai beragam manfaat. Manfaat intangible sumber daya hutan yang sangat dekat dengan kehidupan adalah manfaat pengatur tata air. Kondisi saat ini, air telah menjadi isu sentral terkait dengan ketersediaan air tawar untuk memenuhi kebutuhan manusia yang semakin langka. Air merupakan sumber daya penting dalam menunjang kehidupan semua mahkluk yang ada di Bumi. Air juga merupakan sumber daya vital dalam menunjang pembangunan ekonomi seperti sektor industri, perdagangan, pertanian, perikanan, transportasi, pembangkit listrik, pariwisata, rumah tangga dan lainnya. Dengan bertambahnya jumlah penduduk yang semakin meningkat serta pertumbuhan ekonomi yang terus dipacu, permintaan sumber daya air baik kuantitas maupun kualitasnya meningkat melebihi ketersediaannya.

Bahkan dapat dilihat bahwa beberapa produk air dapat dimanfaatkan secara bebas tanpa biaya, misalnya pemanfaatan air permukaan untuk menunjang kegiatan pertanian, air tanah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga maupun industri yang membutuhkan air dalam jumlah besar (Kadoatie, 2001)

2.4 Taman Nasional dan Konsep Pengelolaannya

Dasar hukum pengelolaan Taman Nasional di Indonesia antara lain adalah Undang-Undang RI nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Berdasarkan Undang-Undang RI nomor 5 Tahun 1990, menyebutkan taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang


(30)

mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.

Taman nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai fungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang dikelola dengan sistem zonasi, yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan dan zona lain sesuai dengan keperluan. Zona inti adalah bagian dari kawasan taman nasional yang mutlak untuk dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia. Zona pemanfaatan adalah bagian dari kawasan taman nasional yang dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan pariwisata. Zona lainnya adalah bagian taman nasional yang dikelola sesuai keperluannya seperti zona rimba, zona pemanfaatan tradisional, zona rehabilitasi dan zona khusus lainnya. (Peraturan Menteri Kehutanan, 2006)

Zonasi dapat pula dikembangkan sesuai kondisi dan spesifikasi setiap kawasan dengan pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. zona lain yang dimaksud misalnya zona pemanfaatan tradisional, zona rehabilitasi, zona restorasi, dan zona-zona khusus lainnya (Peraturan Menteri Kehutanan, 2007).

Berdasarkan penyetaraan klasifikasi kawasan konservasi di Indonesia dengan kategori protected area versi dari lembaga internasional yang fokus pada konservasi alam yaitu International Union for Conservation

of Nature (IUCN), taman nasional disetarakan dalam Protected Areas Category II, yaitu sebagai kawasan yang mempunyai ekosistem asli, dikelola

dengan sistem zonasi, dimanfaatkan untuk penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya serta pariwisata dan rekreasi. Kegiatan yang dapat dilakukan di taman nasional tidak hanya perlindungan dan pengamanan sumber daya alam di dalamnya, tentunya kegiatan lain yang menunjang


(31)

fungsi pemanfaatan dan pengawetan dapat dilakukan seperti pemenuhan kebutuhan masyarakat yang kehidupannya tergantung kepada sumber daya alam taman nasional dengan aturan tertentu yang menunjang kelestarian taman nasional (Widada et al, 2001)

Pembentukan kawasan konservasi seperti taman nasional yang bertujuan untuk lingkungan, perubahan lahan hutan dan kepemilikian sumber daya alam akan memicu konflik antara pemerintah dan rakyat. Kasus yang terjadi kebanyakan di Indonesia pembentukan taman nasional bermasalah atas batas kawasan yang berdekatan dengan masyarakat (Ellyn, K. et al, 2008). Selanjutnya dikatakan bahwa untuk mengurangi konflik dalam pembentukan taman nasional segera dikompromikan oleh penyebaran informasi taman nasional kepada masyarakat lokal, tentang sistem zonasi dan peran masyarakat ketika ditetapkanya taman nasional.

2.5Peran Serta Masyarakat

Masyarakat merupakan bagian yang berperan dalam pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam. Peran serta masyarakat akan menentukan keberhasilan pembangunan sumber daya alam. Keberdayaan masyarakat akan ditentukan oleh proses pemberdayaannya dan kemampuan dari pelaku pemberdayaan. Pelaku pemberdayaan akan ditentukan oleh kemampuan masyarakat dalam keterlibatannya dalam proses pemberdayaan, maka disinilah pentingnya masyarakat sebagai modal manusia, selain modal fisik dan modal sosial yang ada dalam keberdayaaan masyarakat (Sidu, 2010)

Pembangunan pengelolaan sumber daya alam sangat terkait pula dengan lingkungan hidup. Maka peran serta masyarakat dalam pembangunan sumber daya alam akan memberikan pengaruh pula terhadap kualitas lingkungan hidup. Dalam pasal 70 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan Pengelolaan lingkungan Hidup, masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan


(32)

lingkungan hidup. Peran serta hak dan kewajiban masyarakat ini diperjelas dalam ayat (3) bahwa peran masyarakat tersebut dilakukan untuk:

1. Meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

2. Meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat dan kemitraan. 3. Menumbuh-kembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat. 4. Menumbuh-kembangkan ketanggap-segeraan masyarakat untuk

melakukan pengawasan sosial.

5. Mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.

Ketentuan diatas menunjukkan peran serta masyarakat dapat berperan sebagai bagian dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan bagian subyek pemanfaat hasil dari lingkungan hidup. Tjokroamidjojo (1986) mengemukakan 3 (tiga) bentuk partisipasi masyarakat, yaitu: a) Partisipasi dalam perencanaan; b) Partisipasi dalam pelaksanaan pembangunan dan c) Partisipasi dalam pemanfaatan hasil.

Salah satu aspek yang menyebabkan kurang berhasilnya upaya pengelolaan yang dilakukan selama ini karena tidak melibatkan masyarakat lokal dalam mata rantai pengambilan keputusan yang semestinya pembangunan lingkungan tetap mendayagunakan potensi masyarakat lokal (Hadi, 2009). Masyarakat lokal dapat dikatakan lebih memahami kondisi lingkungan sekitarnya, pengalaman masyarakat yang berkaitan langsung dengan alam sekitarnya menjadikan masyarakat mampu beradaptasi dan penyelarasan dengan alam. Masyarakat lokal dapat menjadi aset berharga ditemukannya tabir pencemaran. Sebagai sub-sistem, masyarakat lokal kaya akan informasi keseharian yang oleh (Lindblom 1979, dalam Hadi, 2009) dipuji sebagai “Usable knowledge” yang amat berguna bagi pengelolaan dan perencanaan pembangunan (Hadi, 2009).


(33)

2.6 Pola Pemanfaatan Masyarakat Terhadap Kawasan Konservasi

Upaya pendekatan pengelolaan kawasan konservasi yang kolaboratif dan partisipatif merupakan alternatif untuk menjawab tantangan pengelolaan kawasan konservasi masa kini. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa masyarakat lokal memiliki kepentingan dan keterkaitan dengan sumber daya alam di sekitarnya sehingga penting dilibatkan dalam pengelolaan kawasan konservasi. Selain itu, masyarakat lokal mampu memberikan komitmen jangka panjang dalam pengelolaan konservasi apabila ada kepastian akses manfaat dan akses kepada proses pengambilan kebijakan dalam pengelolaan kawasan konservasi (USAID, 2008).

Partisipasi masyarakat sangat menentukan hasil pola pemanfaatan sumber daya oleh masyarakat. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor. 5 tahun 2007 tentang Pedoman Penataan Kelembagaan Masyarakat, partisipasi masyarakat merupakan bentuk keikutsertaan dan keterlibatan masyarakat secara aktif dalam proses perencanaan pembangunan. Secara umum partisipasi adalah proses tumbuhnya kesadaran terhadap terhadap interaksi antara stakeholders yang berbeda dalam masyarakat yaitu antara kelompok sosial dan komunitas dengan pengambil kebijakan dan lembaga-lembaga jasa lain. Jadi dalam partisipasi siapapun dapat memainkan peran secara aktif memiliki pengawasan terhadap kehidupannya sendiri, mengambil peran dalam masyarakat, serta menjadi lebih terlibat dalam pembangunan (Syahyuti, 2006). Selanjutnya dalam karakteristik tipologi partisipasi berturut-turut semakin dekat pada bentuk yang ideal adalah:

1. Partisipasi Pasif, merupakan bentuk partisipasi yang paling lemah. 2. Partisipasi Informatif, masyarakat menjawab pertanyaan dari pihak lain,

namun masyarakat tidak mempunyai pengaruh dalam proses penentuan kebijakan pihak lain.

3. Partisipasi Konsultatif, masyarakat berpartisipasi berkonsultasi dengan pihak lain, pihak lain mendengarkan, menganalisis masalah dalam perencanaan.


(34)

4. Partisipasi Insentif, masyarakat memberikan korbanan dan jasa untuk memperoleh upah, namun tidak dilibatkan dalam proses pembelajaran. 5. Partisipasi Fungsional, masyarakat membentuk kelompok sebagai bagian

dari proyek setelah ada keputusan yang disepakati.

6. Partisipasi Interaktif, masyarakat berperan dalam analisis untuk perencanaan kegiatan dan pembentukan atau penguatan kelembagaan. 7. Partisipasi Mandiri (Self mobilization), masyarakat mengambil inisiatif

sendiri secara bebas untuk merubah nasib atau nilai-nilai yang mereka junjung.

2.7Pengelolaan Penyediaan Air Besih

Pemanfaatan mata air untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat merupakan bagaian dari sistem pengelolaan penyediaan air minum. Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) seperti yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum merupakan satu kesatuan sistem fisik (teknik) dan non-fisik dari sarana dan prasarana air minum. Adapun maksud dari pengembangan SPAM adalah untuk membangun, memperluas dan/atau meningkatkan sistem fisik (teknik) dan non fisik (kelembagaan, manajemen, keuangan, peran serta masyarakat dan peraturan) dalam kesatuan yang utuh untuk melaksanakan penyediaan air minum kepada masyarakat menuju keadaan yang lebih baik (Peraturan Pemerintah Nomor 16, 2005: Bab I. Pasal 1).

Sistem pengelolaan penyediaan air bersih adalah proses pengelolaan penyediaan air bersih meliputi lima (5) subsistem yang saling mendukung dimana antara satu dengan yang lainnya saling berinteraksi untuk mencapai tujuan. Adapun subsistem-subsistem yang dimaksudkan dalam pengelolaan penyediaan air bersih adalah:

1. Aspek teknik operasional 2. Aspek kelembagaan 3. Aspek pembiayaan


(35)

4. Aspek peraturan

5. Aspek peran serta masyarakat

Pola pemanfaatan mata air oleh masyarakat lokal merupakan salah satu contoh bagian dari Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM). Maka pola pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat lokal, setidaknya memperhatikan kelima aspek tersebut dalam sistem pengelolaan pemanfaatan mata air.

2.7.1 Aspek Teknik Operasional

Sub-sistem pada aspek teknik operasional ini terkait dengan sumber air baku, kuantitas dan kualitas, teknik sarana dan prasarana distribusi, pemeliharaan dan operasional. Pemanfaatan mata air dari kawasan pegunungan secara teknis adalah mata air yang dikelola dengan memamfaatkan perbedaan ketinggian atau gravitasi. Jika melihat dari sumber air baku, mata air adalah air yang pemanfaatannya tanpa pengolahan setelah kualitas terpenuhi. Secara kuantitas, mata air sangat bergantung pada kondisi mata air dan lingkungan sekitar.

Sistem penyediaan air tahap penyaluran dilakukan distribusi air melalui jaringan perpipaan dan atau jaringan non perpipaan. Dalam sistem jaringan perpipaan dapat meliputi unit air baku, unit produksi, unit distribusi, pelayanan dan pengelolaan. Untuk sistem jaringan non perpipaan sumber air yang didapat melalui teknik penggalian atau pengeboran seperti sumur dangkal, sumur pompa tangan. Selain itu sistem jaringan non perpipaan juga meliputi sistem penyaluran yang tidak menggunakan jaringan pipa, namun distribusi lainnya seperti mobil tangki air, tandon air, air kemasan atau bangunan perlindungan mata air.

2.7.2 Aspek Kelembagaan

Pada sub-sistem kelembagaan, merupakan bentuk pengelolaan pemanfaatan air dalam manajemen atau sistem pengorganisasian. Kelembagaan dalam pengelolaan penyediaan air bersih meliputi ada atau


(36)

tidaknya kelembagaan, peran atau fungsi organisasi, sumber daya manusia dan sistem pelayanan.

Kelembagaan dalam pengelolaan penyediaan air bersih merupakan faktor untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna dari sistem pengelolaan penyediaan air bersih. Kelembagaan ini diharapakan mampu menggerakkan, mengaktifkan dan mengarahkan sistem pengelolaan penyediaan air bersih dengan ruang lingkup bentuk institusi, pola organisasi, personalia serta manajemen perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian.

2.7.3 Aspek Pembiayaan

Dalam pengelolaan penyediaan air bersih pada tahap operasionalnya tentu membutuhkan biaya. Biaya meliputi biaya penyediaan sumber air, pengelolaan produksi, penyaluran dan pemeliharaan. Sub-sistem pembiayaan berfungsi membiayai operasional penyediaan air bersih, sehingga mampu menggerakkan roda sistem pengelolaan penyediaan air bersih. Pelaksanaan pembiayaan dapat dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari biaya sendiri, organisasi, institusi, pemerintah, perusahaan daerah atau swasta.

Secara umum aspek pembiayaan merupakan mekanisme untuk melangsungkan operasional dan pemeliharaan sehingga ketersediaan air bersih terpenuhi. Aspek ini juga memperhatikan sistem pendapatan, pengeluaran, restribusi, keuntungan dan kerugian dan sebagainya.

2.7.4 Aspek Peraturan

Berbagai peraturan menjadi acuan dalam pengelolaan penyediaan air bersih yang mengacu pada Peraturan meliputi Peraturan dan Perundang-undangan yang terkait dalam pengelolaan penyediaan air bersih. Peraturan bisa bersifat pengaturan teknis dan peraturan yang mendukung terkait dengan kondisi lingkungan hidup, sosial masyarakat dan keterkaitan dengan institusi lainnya. peraturan ini setidaknya mengatur wewenang dan tanggung jawab pengelola penyediaan air bersih. Pengaturan dalam hal ini dapat


(37)

meliputi pengaturan dalam operasional sistem pembiayaan, restribusi, hingga pengaturan control terhadap kelangsungan pengelolaan, termasuk pengawasan dan evaluasi.

Aspek peraturan dapat dikembangkan sesuai dengan kondisi yang diperlukan. Pada lingkup masyarakat lokal atau setingkat desa, maka peraturan dapat dijabarkan lebih terperinci sesuai keperluan desa dalam pengelolaan penyediaan air bersih. Tentunya peraturan tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku dan berderajat lebih tinggi.

2.7.5 Aspek Peran Serta Masyarakat

Peran serta merupakan pelibatan peran dari masyarakat dalam pengelolaan penyediaan air bersih. Secara umum peran serta masyarakat dalam pengelolaan penyediaan air bersih adalah sebagai konsumen pelayanan air bersih dan sebagai warga mempengaruhi kualitas dan kelancaran pelayanan air bersih. Dalam perkembangannya peran serta masyarakat dalam pengelolaan penyediaan air bersih, keterlibatan masyarakat dapat bersifat lebih. Sistem pengelolaan penyediaan air bersih yang bersifat lokal dan swadaya masyarakat, peran serta masyarakat akan sangat menentukan dalam pengelolaannya.

Peran serta masyarakat dalam pengelolaan penyediaan air bersih dapat pula sebagai sistem pengawasan dan evaluasi. Keterlibatan masyarakat merupakan salah satu komponen dalam aktivitas pembangunan.

2.8 Pengertian Dasar AHP

Teori Analytic Hierarchy Process (AHP) dikembangkan oleh Thomas L. Saaty seorang ahli ilmu pasti dari University of Pennsylvania pada tahun 1971-1975. Pada prinsipnya AHP adalah suatu proses untuk menyelesaikan suatu masalah terkait dengan pengambilan keputusan melalui tahapan yang berkaitan dengan faktor nyata dan tidak nyata. Proses AHP diharapkan dapat mendorong pengambilan keputusan sebuah masalah dengan penuh tanggung jawab terhadap masyarakat dengan membantu pemimpin menghindarkan


(38)

penyederhanaan yang berlebih untuk mengidentifikasi serta menilai biaya dan manfaat, untuk merencanakan masa depan dan untuk menyesuaikan terhadap perubahan (Saaty, 1993).

AHP merupakan bagian dari sebuah proses pengambilan keputusan yang dapat menjadi lebih kuat serta dapat menunjukkan adanya hubungan asumsi-asumsi dengan fakta yang ada. AHP merupakan suatu model untuk membangun gagasan dan mendefinisikan permasalahan dengan cara membuat asumsi-asumsi dan memperoleh pemecahan yang diinginkan, serta memungkinkan menguji kepekaan hasilnya. AHP merupakan salah satu alat analisis untuk menguatkan analisis kualitatif dengan cara kuantitatif (Susilowati, 2008).

Algoritma AHP dapat digunakan sebagai alat bantu dalam analisis pengambilan keputusan dan sebagai dasar pengambilan keputusan dengan member bobot prioritas masing-masing alternatif. Pengambilan keputusan didasarkan atas kriteria dan alternatif. Kriteria dan alternatif yang digunakan sebagai penentu pengambilan keputusan menjadi penentu keputusan yang diambil, jika terjadi bias kriteria atau alternatif maka keputusan yang diambil akan berbeda (Immanuddin. M, 2006).

Menurut Saaty (1993), prinsip dasar dari AHP adalah pertama Penguraian (Decomposition) yaitu menggambarkan dan menguraikan dengan menyusun secara hirarki, memecah-mecah persoalan menjadi unsur-unsur yang terpisah-pisah. Prinsip kedua adalah Pembedaan Prioritas (Synthesis of

priority), yaitu penetapan prioritas dengan menentukan peringkat

elemen-elemen menurut relatif pentingnya. Prinsip ketiga adalah kosistensi logis yaitu menjamin bahwa semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis.

Analisis AHP dapat mengetahui prioritas pemilihan alternatif dari suatu keputusan berdasarkan semua pertimbangan faktor yang dipilih yang merupakan kriteria dari pengambilan keputusan (Teknomo. K, 1999).


(39)

Dengan prinsip ini maka AHP merupakan proses yang memungkinkan orang menguji kepekaan hasilnya terhadap perubahan informasi sehingga fakta dapat diterima orang lain sebagai aspek esensial dari masalah.

Keuntungan penggunaan metode AHP dalam menyelesaikan masalah (Saaty, 1993):

1. AHP merupakan Kesatuan; AHP memberikan satu model tunggal yang mudah dimengerti, bersifat luwes untuk berbagai permasalahan yang tidak terstruktur,

2. AHP mempunyai sifat kompleksitas, memadukan ancangan deduktif dan ancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan permasalahan yang kompleks dengan menangani saling ketergantungan antar elemen-elemen permasalahan,

3. AHP mencerminkan proses hirarki kecenderungan alami pikiran untuk memisahkan menjadi elemen-elemen dalam suatu sistem menjadi berbagai tingkatan berbeda dan mengelompokkan setiap unsur yang serupa dalam satu tingkatan,

4. Hasil penjabaran dalam suatu tingkatan prioritas, maka AHP dapat memberi suatu skala untuk mengukur obyek dan konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan serta menuntun pada suatu taksiran menyeluruh kebaikan setiap alternatif,

5. AHP mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan orang untuk memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan-tujuan dari penyelesaian masalah dengan tidak memaksakan consensus, tetapi mensintesiskan suatu hasil yang representatif dari berbagai penilaian yang berbeda,

6. AHP memungkinkan orang untuk memperhalus definisi pada suatu permasalahan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian melalui pengulangan.

Proses AHP dilakukan dengan membuat ukuran skala terhadap prioritas dari berbagai alternatif yang merupakan penyelesaian masalah.


(40)

Selanjutnya ukuran skala digunakan pada penilaian dari perbandingan berpasangan dari setiap alternatif yang merupakan langkah mencapai tujuan masalah. Menurut Saaty (1993) Perbandingan berpasangan (pairwise

comparisons) merupakan alat untuk menetapkan prioritas elemen-elemen

dalam suatu permasalahan keputusan dengan membandingkan secara berpasangan setiap alternatif terhadap suatu kriteria yang ditentukan. Skala ini mendefinisikan dan menjelaskan nilai 1-9 yang ditetapkan sebagai pertimbangan dalam membandingkan pasangan elemen sejenis di setiap tingkat hirarki terhadap suatu kriteria yang berbeda setingkat di atasnya. Nilai skala 1-9 menunjukkan suatu ukuran untuk membedakan suatu prioritas dalam aspek kepentingannya yang dijabarkan dalam Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Skala Perbandingan Berpasangan Nilai 1 Kedua faktor sama pentingnya

Nilai 3 Faktor yang satu sedikit lebih penting dari pada faktor yang lainnya

Nilai 5 Faktor satu esensial atau lebih penting dari pada faktor yang lainnya

Nilai 7 Satu faktor jelas lebih penting dari pada faktor lainnya Nilai 9 Satu faktor mutlak lebih penting dari faktor lainnya Nilai

2,4,6,8

Nilai-nilai antara, di antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan

Sumber : Saaty, 1993

Kelemahan dari metode AHP ini antara lain adalah metode ini tergantung pada input utamanya, di mana nilai skala merupakan persepsi seseorang ahli sehingga dalam hal ini melibatkan subyektifitas sang ahli dan juga model ini menjadi tidak berarti jika ahli tersebut memberikan penilaian yang keliru. Selain itu metode AHP hanya metode matematis tanpa ada pengujian statistik sehingga tidak ada batas kepercayaan dari kebenaran model yang dibentuk.


(41)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tipe Penelitian

Tipe penelitian ini adalah penelitian deskriptif eksploratif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian deskriptif eksploratif berusaha mengetahui lebih mendalam dan mendeskriptifkan atau menggambarkan fakta-fakta berupa fenomena awal dengan tujuan mengungkap gejala yang bersifat kualitatif secara lengkap khususnya pada pemanfaatan mata air oleh masyarakat lokal yang berada di sekitar Taman Nasional Gunung Merbabu. Penelitian ini juga mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, kegiatan-kegiatan dan proses yang sedang berlangsung dari fenomena yang terkait dengan pemanfaatan mata air yang berada di kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu.

3.2Pendekatan penelitian

Pada penelitian ini dilakukan pendekatan kualitatif untuk pengkajian pola dan bentuk pemanfaatan mata air oleh masyarakat di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu. Pola pemanfaatan mata air yang dikaji termasuk dalam pengelolaan dan pemiliharaan mata air dan eksositem di sekitarnya oleh masyarakat. Selain pengelolaan dan pemeliharaan fisik mata air, sistem pengelolaan meliputi operasional, pembiayaan, kelembagaan, peraturan dan pengawasan, peran serta masyarakat yang dilakukan oleh masyarakat merupakan bagian dari kajian penelitian ini. Selanjutnya dari hasil pemahaman pola pemanfaatan mata air dapat dihasilkan rumusan strategi pelestarian pemanfaatan mata air oleh masyarakat lokal sehingg selaras dengan kebijakan pengelolaan Taman Nasional Gunung Merbabu terkait pemanfaatan mata air.


(42)

3.3 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan lokasi mata air yang berada dalam kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu, tepatnya di resort Selo, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I. Mata air tersebut adalah Tuk Babon dan Tuk Pakis. Penentuan wilayah penelitian adalah desa pengguna Tuk Babon dan Tuk Pakis yang sebagian besar memperoleh air dari Tuk Babon dan Tuk Pakis. Desa yang sebagian besar wilayahnya memperoleh air dari Tuk Babon dan Tuk Pakis adalah Desa Tarubatang, Desa Selo dan Desa Samiran, Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali. Selain itu masyarakat di 3 desa ini merupakan desa yang berbatasan langsung dengan kawasan taman nasional, sehingga mempunyai interaksi terhadap kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu.

3.4 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 7 bulan, terhitung mulai Bulan Januari s/d Juli 2011 dengan rincian kegiatan pada Tabel 3.1:

Tabel 3.1 Jadwal Kegiatan Penelitian

No Uraian Kegiatan Waktu (Bulan) tahun 2011 1 2 3 4 5 6 7 1 Penyusunan draf proposal Ѵ

2 Pengajuan proposal penelitian Ѵ

3 Seminar proposal penelitian Ѵ

4 Pengambilan data primer dan sekunder Ѵ Ѵ

5 Pengolahan data dan analisis hasil

penelitian Ѵ Ѵ Ѵ

6 Penyusunan draf hasil penelitian Ѵ Ѵ Ѵ

7 Seminar hasil penelitian Ѵ

8 Penyusunan makalah dan mengikuti


(43)

3.5 Jenis dan Sumber Data

1. Data Primer

Data primer diperoleh dari lapangan yang dikumpulkan, berdasarkan kondisi saat ini dan pada obyek yang diteliti. Data primer diperoleh dari hasil wawancara mendalam terhadap masyarakat, perangkat desa, pihak Balai Taman Nasional Gunung Merbabu, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Boyolali, Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Boyolali, Lembaga Swadaya Masyarakat Kelompok “Pepeling” Desa Samiran, Lembaga Infront Yogyakarta dan akademisi Universitas Diponegoro. Data primer juga dari observasi langsung ke lapangan dan hasil dari Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) dengan masyarakat Desa Selo dan pihak Taman Nasional Gunung Merbabu.

2. Data sekunder

Data sekunder pada penelitian ini adalah berupa data yang menyangkut dokumen terkait dengan kelembagaan, desa, kecamatan, maupun kabupaten, organisasi pengelolaan taman nasional, peta lokasi, monografi desa dan profil desa dan lembaga pengelola taman nasional. Data tersebut dikumpulkan melalui studi pustaka, maupun permintaan pada organisasi atau lembaga yang terkait.

3.6 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data didasarkan pada jenis data yang diambil yaitu data primer dan data sekunder.

3.6.1 Data Primer

Teknik Wawancara

Dengan melakukan wawancara diharapkan dapat mengkonstruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan lain-lain, membangun kebulatan sebagai kejadian yang dialami masa lalu. Selain itu wawancara dapat memproyeksikan kebulatan-kebulatan sebagai yang


(44)

diharapkan untuk dialami pada masa yang akan datang. Wawancara juga dapat menjadi bagian untuk memverifikasi, merubah, memperluas informasi yang diperoleh dari orang lain.

Wawancara pada penelitian ini melibatkan berbagai sumber dengan sistem snowbolling, dengan mencari informan kunci sebagai pihak yang diwawancarai untuk mendapatkan data primer antara lain:

1. Penduduk, masyarakat setempat yang melakukan pemanfaatan

mata air secara langsung baik untuk kebutuhan hidup sehari-hari, untuk pengairan pertanian atau perkebunan. Penduduk adalah masyarakat setempat yang memanfaatkan mata air Tuk Babon dan Tuk Pakis yang berdomisili di Desa Tarubatang, Desa Selo dan Desa Samiran.

2. Pengurus dusun atau desa, wawancara ini diajukan kepada kepala

dusun atau desa yang diharapkan dapat mewakili masyarakat desa dari sudut pandang pemerintahan dalam lingkup desa.

3. Lembaga atau organisasi masyarakat lokal yang terkait

langsung dengan pemanfaatan mata air. Lembaga ini dianggap dapat memberikan informasi peran dan kinerja dari keberadaan lembaga atau organisasi ini dalam mendampingi masyarakat memanfaatkan mata air.

4. Instansi Balai Taman Nasional Gunung Merbabu, pihak ini dapat

diwakili oleh pejabat struktural yang dapat memberikan informasi keterangan dan kebijakan baik yang telah ada maupun kebijakan ke depan dalam pengelolaan taman nasional. Wawancara terhadap pihak pengelola juga dilakukan kepada petugas yang ada di lapangan.

5. Instansi pemerintah tingkat kabupaten. Wawancara diajukan

kepada pihak pemerintah Kabupaten Boyolali yaitu Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan dalam kaitannya kebijakan dan pengembangan baik


(45)

yang sudah dilakukan atau rencana yang terkait dengan pemanfaatan mata air.

6. Lembaga Swadaya Masyarakat. Lembaga atau kelompok

masyarakat baik tingkat lokal yaitu Kelompok “Pepeling” di Desa Samiran, regional maupun lembaga nasional/ internasional sebagai pendamping dalam pembangunan masyarakat lokal yaitu LSM Infront Yogyakarta.

Wawancara yang dilakukan disesuaikan dengan lokasi fokus penelitian yaitu di tiga desa, yaitu Desa Tarubatang, Desa Selo, Desa Samiran, Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali, instansi dari pihak Balai Taman Nasional Gunung Merbabu dan Pemerintah Daerah Kabupaten Boyolali. Pengambilan informasi tidak menutup jumlah orang yang akan diwawancarai, namun seberapa jauh data telah diperoleh, sehingga tidak menutup kemungkinan di lapangan orang yang akan diwawancarai bertambah.

Teknik Observasi

Observasi ini adalah teknik kedua untuk mendapatkan data primer yang dapat berupa hasil diskripsi, gambaran, pengamatan lapangan dan kajian mendalam pada fenomena yang ada. Observasi sendiri adalah pengamatan dengan melihat dan mengamati, mencatat perilaku, kejadian sebagaimana yang terjadi pada keadaan sebenarnya secara langsung. Pengamatan mengoptimalkan kemampuan peneliti dari segi motif, kepercayaan, perhatian, perilaku spontanitas, kebiasaan dan sebagainya. Dalam observasi pengamat memungkinkan untuk melihat dunia sebagaimana yang dilihat oleh subyek penelitian, hidup pada saat itu, menangkap arti fenomena dari segi pengertian subyek, menangkap kehidupan budaya dari segi pandangan dan anutan para subyek pada keadaan waktu itu (Moleong, 2002). Dalam istilah lain obeservasi adalah pengamatan dan pencatatan suatu objek dengan sistematika fenomena yang diselidiki (Sukandarrumidi, 2004). Observasi ini


(46)

bertujuan untuk mengetahui karakteristik kondisi fisik lapangan terkait data yang akan di selidiki.

Observasi pada penelitian ini dilakukan pada lokasi pemanfaatan mata air yang meliputi:

1. Lokasi penduduk, tempat tinggal/ rumah masyarakat yang melakukan pemanfaatan mata air, baik untuk kebutuhan sehari-hari, maupun untuk keperluan pertanian atau perkebunannya. 2. Jaringan distribusi aliran air dari mata air yang dimanfaatkan oleh

masyarakat. Pengamatan dilakukan pada jalur aliran dan sekitarnya terkait dengan pemanfaatan mata air.

3. Pada lokasi mata air yang dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Pengamatan dilakukan untuk mengetahui kondisi asli di lapangan, serta fenomena yang terjadi di sekitar mata air dan daerah resapan air diatasnya.

4. Organisasi masyarakat yang terkait dengan pemanfaatan mata air. Pengamatan ini guna mendapatkan gambaran keberadaan kelembagaan yang mendukung pemanfaatan mata air.

5. Taman Nasional Gunung Merbabu, pengamatan dilakukan pada pengelolaan yang terkait dengan lokasi pengamatan dan struktur kelembagaan organisasi balai taman nasional.

Focus Group Discussion (FGD)

Diskusi kelompok atau FGD dilakukan guna memperoleh rumusan strategi yang dibangun dari hasil wawancara mendalam dan observasi lapangan. FGD ini diharapkan mampu memberikan rumusan strategi yang mampu menggambarkan secara rinci dan keinginan dari masyarakat atas ulasan tujuan dari penelitian. FGD dilakukan bersama masyarakat terkait, perangkat desa, pihak pengelola taman nasional dan peneliti sendiri. Selanjutnya hasil dapat dilakukan analisis lanjutan.


(47)

Teknik Kuisioner khusus

Kuisioner ini digunakan untuk melengkapai proses analisis lanjutan. Analisis lanjutan adalah analisis pada strategi yang dihasilkan dari perumusan analisis pertama hasil dari wawancara mendalam dan observasi. Kuisioner khusus dalam bentuk pertanyaan tertutup khusus pada hasil rumusan strategi pada analisis awal. Hasil kuisioner ini untuk melengkapai proses analisis lanjutan. Adapun analisis lanjutan mengacu pada konsep Analisis Proses Hirarki (Analythical Hierarchy Process/

AHP) (Saaty, 1993).

3.6.2 Data Sekunder

Data sekunder didapat dari data yang sudah ada dan data yang telah terdokumentasi sebelumnya. Selain itu data sekunder dapat pula melengkapi dan mendukung data primer. Adapun data sekunder didapatkan melalui instansi terkait dan studi literatur. Jenis data sekunder meliputi data demografi penduduk lokasi terkait, data peta lokasi, peta taman nasional dan data pendukung lainnya.


(48)

3.7Kerangka Metoda Penelitian

Gambar 3.1 Kerangka Metoda Penelitian

Analisis pola dan bentuk Pemanfaatan mata air oleh

masyarakat

Rumusan Strategi Pelestarian Pemanfaatan Mata air oleh masyarakat lokal

Penentuan narasumber/ informasi/ key person Pengumpulan data:

(wawancara, observasi, dokumen)

Rumusan Permasalahan Penelitian:

• Apakah pemanfaatan mata air mendukung pelestarian SDA dan lingkungan?

• Strategi apa yang dapat dirumuskan sebagai bentuk keselarasan pemanfaatan dengan kebijakan TN?

Gambaran umum: Kondisi wilayah studi, kondisi pemanfaatan mata air

Studi Literatur: • Konserv SDA dan

Mata air

• Pengelolaan TN • Pengelolaan SPAM • Peran serta masy

Pemanfaatan mata air oleh masyarakat lokal

Masukan dan saran kebijakan pengelolaan TN khususnya pemanfaatan mata air oleh masyarakat

sekitar TN

Analisis Lanjutan


(49)

Tabel 3.2 Kebutuhan Data Penelitian

No Variabel

Data yang dibutuhkan Cara Pengumpulan Data Jenis Data Sumber Data 1 Kondisi Sosial,

Budaya , ekonomi masyarakat

• Lama tinggal, pekerjaan, pendidikan,jumlah penduduk Data dokumen, wawancara, observasi Primer dan sekunder Instansi Daerah, Desa/ Kec/ Kab, masyarakat 2 Kondisi biofisik

Kawasan TN GMb dan biofisik lingkungan sekitar mata air

• Jenis flora fauna • Ekosistem kawasan • Tutupan lahan • Peta kawasan

Data dokumen, obervasi Wawancara Primer dan sekunder BTN GMb dan Masyarakat

3 Kondisi Biofisik lingkungan masyarakat

• Kepemilikan lahan • Penggunaan lahan • Topografi Observasi, data dokumen, wawancara Primer dan sekunder Masyarakat. Instansi terkait 4 Pemanfaatan mata

air •

Pengelolaan SPAM • Teknik operasional • Kelembagaa • Pembiayaan • Peraturan • Peran serta

masyrakat

• Kualitas, Kuantitas dan kontinuitas Wawancara, Observasi, Data dokumen dan FGD Primer dan sekunder Masyarakat, Instansi terkait, swasta

5 Pengelolaan dan

kebijakan •

Peraturan pengelolaan kawasan, mata air • Kebijakan/ program

terkait mata air

Wawancara, Data dokumen Primer dan sekunder Instansi terkait (Pemda, BTN GMb)

3.8 Analisis Data

3.8.1 Analisis Deskriptif Kualitatif

Analisis ini menggambarkan keadaan obyek studi melalui penjelasan-penjelasan yang logis didasarkan teori yang relevan. Penjelasan ini tidak diuraikan dalam bentuk angka ataupun perhitungan. Data yang telah diperoleh dikumpulkan, diorganisasi, ditabulasi, dijabarkan kedalam unit-unit, direduksi, kemudian dibuat kesimpulan. Analisis data ini dilakukan mulai sebelum ke lapangan, saat di lapangan dan setelah dari lapangan.


(50)

Menurut Miles dan Huberman (1984) dalam Sugiyono (2008;183) aktivitas analisis data kualitatif dilakukan dengan cara interaktif dan berlangsung terus-menerus pada setiap tahapan penelitian sehingga sampai tuntas, dan datanya sampai jenuh. Analisis data tersebut yaitu data reduksi,

data display, dan coclution drawing/ verivication, dengan langkah-langkah

seperti pada Gambar 3.2.

sumber: Sugiyono 2008

Gambar 3.2. Komponen dalam analisis data ( Interactive Model)

Dalam penelitian ini, data yang diperoleh diharapkan sebanyak mungkin informasi yang diperoleh, kemudian pada tahap reduksi data, maka analisis yang dilakukan adalah memilih data mana yang penting dan mengeluarkan data yang tidak terkait dengan penelitian. Selanjutnya pada pada tahap penyajian data, data dikumpulkan kemudian disajikan dalam berbagai bentuk deskriptif, tabulasi, matrik dan sebagainya, sehingga data yang diperoleh menjadi sesuai yang dapat disajikan. Kemudian pada tahap verifikasi data adalah analisis data pada obyek dan tujuan dari penelitian.

Analisis awal dilakukan dengan analisis deskriptif kualitatif (Sugiyono, 2008). Analisis pertama adalah analisis karakteristik yang menggambarkan karakteristik lokasi, mata air serta pengelolaan taman nasional. Selanjutnya analisis pola pemanfaatan mata air oleh masyarakat lokal dan hasil wawancara mendalam dan observasi digunakan sebagai

Data Collection

Data Reduction

Data Display

Conclution Drawing/ Verifying


(1)

Ekosistemnya; (2) Budaya dan Alam; (3) Rehabilitasi Lahan dan Kawasan; (4) Budaya dan Sosial; (5) Keseimbangan Air; (6) Koperasi dengan Kosep Konservasi; (7) Pembentukan dan Penguatan Kelembagaan atau Organisasi; (8) Penerapan Konsep Silvoagropastura; (9) Peraturan Desa; (10) Pengamanan Swakarsa Masyarakat; (11) Pemberdayaan ekonomi masyarakat; (12) Penerapan konsep Imbal Jasa Lingkungan (IJL); (13) Dukungan Pendanaan.

d. Dalam penerapan strategi pelestarian pemanfaatan mata air oleh masyarakat lokal dapat dilakukan penyederhanaan alternatif prioritas berdasarkan nilai bobot tertinggi dan mencakup ke tiga aspek adalah sebagai berikut: (1) Penyediaan Basis Data Kawasan Konservasi dan Lingkungan Mata air dan ekosistemnya; (2) Budaya dan Alam; (3) Rehabilitasi lahan dan kawasan; (4) Budaya dan Sosial; (5) Keseimbangan air; (6) Koperasi dengan kosep konservasi; (7) Program Intensifikasi Pemberdayaan Masyarakat.

5.2 Saran

• Peran serta masyarakat lokal perlu diperkuat dalam pengelolaan dan pemanfaatan mata air berserta lingkungannya sehingga nilai budaya dan kearifan lokal dapat dipertahankan.

• Perlunya koordinasi dan kerjasama antar stakeholders terkait dalam pengelolaan mata air khususnya keterkaitan program dari pihak Balai Taman Nasional Gunung Merbabu, pemerintah daerah dalam hal pertanian dan perkebunan, serta pariwisata serta bidang pariwisata dan pemberdayaan masyarakat.

• Melaksanakan alternatif prioritas berdasarkan tugas dan fungsi instansi terkait dengan tetap melibatkan masyarakat lokal. Pelibatan dalam pengelohana basis data bersama masyarakat, memperkuat adat dan budaya, kesenian tradisional sebagai daya tarik penguatan pengelolaan mata air Tuk Babon dan Tuk Pakis.


(2)

• Implementasi alternatif sebagai strategi pelestarian mata air oleh masyarakat ini belum tentu dapat diterapkan di setiap kasus mata air yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu. Setiap sumber dengan masyarakatnya mempunyai karakteristik pola pemanfaatan mata air yang berbeda-beda, sehingga alternatif strategi pelestarian mata air akan berbeda pula.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Adiwidanto. N, 2004, Analisis Manfaat Sumber Daya Hutan dan Ekosistemnya Sebagai Pengatur Tata Air (Fungsi Hidrologis) pada Kawasan Lindung Daerah Aliran Sungai (DAS) Samin di Kabupaten Karanganyar, Thesis, Magister Ilmu Lingkungan, Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang

Al-layla. M, Anis et al, 1978, Water Supply Engineering Design, Ann Arbor Science Publisher Inc, Michigan, USA

Ariyanto, Dahniar. Y, 2006, Pengelolaan Air Bersih Secara Partisipatif di Gunung Merbabu, Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Semarang Asdak, Chay, 2002, Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah

Mada University Press Yogyakarta

Balai Taman Nasional Gunung Merbabu, 2010, Rencana Kerja Tahun 2011 Balai Taman Nasional Gunung Merbabu, BTN Gunung Merbabu, Boyolali , 2010, Statistik Taman Nasional Gunung Merbabu 2009, Boyolali

, 2011, Laporan Kegiatan Survey Potensi Jasa Lingkungan Kawasan Taman Nasional Gunung Merbabu, Boyolali

Biro Humas Propinsi Jawa Tengah, 2011 Asal Mula Goa Raja dan Tuk Babon diakses melalui http://www.promojateng-pemprovjateng.com pada tanggal 10 Agustus 2011.

Carter, Richard. C, et al, 1999, Impact and Sustainability of Community Water Supply and Sanitation Programmers in Developing Countries, Journal of The Chartered in Sanitation of Water and Environmental Management, Vol 13, pp 292-296

Ellyn. K, Damayanti, Masuda. M, 2008, National Park Establishment in Developing Countries: Between Legislation and Reality in India and Indonesia, Journal Tropics, Vol. 17 (2), Issued April 30, 2008, pp 119-133 Gleick. P, 2000, Coping With The Global Fresh Water Dillema; The State, Market

Forces; and Global Governance diakses melalui: (homepage of Center Of Water And Sanitation Strategic Studies (on line) available at http//www.ciaonet.org pada tanggal 10 Oktober 2010

Hadi, Sudharto. P, 2005, Dimensi Lingkungan Perencanaan Pembangunan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta


(4)

, 2009, Manusia dan Lingkungan, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang

I’tishom Muhamad, 2010, Pengelolaan Penyediaan Air Bersih oleh Masyarakat di Kawasan Jetisharjo Kota Yogyakarta, Magister Teknik Pembangunan Wilayah dan Kota, Universitas Dipoengoro, Semarang

Immanuddin. M, Trihono. K, 2006, Penerapan Algoritma AHP Untuk Prioritas Penanganan Bencana Banjir, Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi (SNATI 2006), Yogyakarta

Kadoatie, Robert J. dan Sugiyanto, 2001. Banjir , Beberapa Penyebab dan Metode Penyelesaiannya dalam Prespektif Lingkungan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Kodoatie. RJ, Sjarief. R, 2005, Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu, Penerbit Andi, Yogyakarta

Lee, Richard. 1990, Hidrologi Hutan , Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Linsley Ray K, Joseph B, Franzini, 1985, Teknik Sumber Daya Air, Erlangga,

Jakarta

Munasinghe, 1993, Environmental Economics and Sustainable Development, World Bank, Washington, D.C

Murjani.Nita, 2010, Mencari Mekanisme Tepat Imbal Jasa Lingkungan, Center International Forestry Research, CIFOR diakses melalui: http//:www.cifor.org diakses pada 20 april 2011

Nurfatriani Fitri, 2009, Peluang dan Tantangan dalam Penerapan Praktek Imbal Jasa Lingkungan, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan, Kementerian Kehutanan, dalam web www.http//puslitsosekhut.web.id/ 2011

Prijana, 2005, Sampling Terapan Untuk Penelitian Sosial. Humaniora. Bandung Saaty. T. L, 1993, Decision Making for Leaders The Analytical Hierarchy

Process for Decisions in Complex Word, University of Pitsburgh, Pitsburgh

Santosa. LW, 2006, Kajian Hidrogeomorfologi Mata Air di Sebagian Lereng Barat gunung Api Lawu, Jurnal Forum Geografi Vol. 20. No.1 Juli 2006, hal 68-85

Soemarwoto, Otto. 2001. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Djambatan. Jakarta


(5)

Soetrisno. L, 1995, Menuju Masyarakat Partisipatif, Kanisius, Yogyakarta Sugiyono, 2009, Memahami Penelitian Kualitatif, Penerbit Alfabeta, Bandung Sukandarrumidi, 2004, Metodelogi Penelitian. Gadjah Mada University Press.

Yogyakarta

Suparmoko, 1997, Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Penerbit BPFE Yogyakarta, Yogyakarta

Susilowati, Indah, 2008. Modul Pengambilan Keputusan Melalui Analythical Hierarchy Process (AHP), Fakultas Ekonomi, Universitas Diponegoro,Semarang

Sidu, Dasmin, 2010, Model Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan Lindung Jompi Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Selatan, Jurnal Ilmu Lingkungan Ecotrophic, Volume 5 No. 2 November 2010 ISSN: 1907-5626 hal 79-84

Teknomo. K, Siswanto. H, Yudhanto. S, 1999, Penggunaan Metode Analytic Hierarchy Process dalam Menganalisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Moda ke Kampus, Jurnal Dimensi Teknik Sipil Vol. 1, no.1, hal 31-39

Tjokroamidjojo. B, 1986, Perencanaan Pembangunan, Gunung Agung, Jakarta USAID, 2008. Desa Konservasi Sebuah Inisiatif Upaya Konservasi yang

Partisipatif, Environmental Service Program, Website esp.or.id

Widada, Mulayati, Kobayashi. 2001. Sekilas Tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. Biodivercity Conservastion Project. Bogor

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1990, Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 41 Tahun 1999, Tentang Kehutanan Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 7 tahun 2004, Tentang Sumber Daya

Air

Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 32 tahun 2009, Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, Nomor 68 Tahun 1998, Tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.


(6)

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, Nomor 16 Tahun 2005, Tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum.

Peraturan Pemerintah nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan

Peraturan Pemerintah nomor 28 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam

Keputusan Presiden Republik Indonesia, Nomor 32 tahun 1990, tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor. P.056/Menhut-II/2006 Tahun 2006, Tentang Pedoan Zonasi Taman Nasional.

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor. P.03/Menhut-II/2007, Tahun 2007, Tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional.