Brine shrimp lethality test ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan [Lantana camara L.] beserta profil kromatografi lapis tipisnya.

(1)

ix INTISARI

Pengobatan dengan obat antikanker dirasa masih kurang memuaskan dan mahal sehingga pengobatan dengan obat tradisional menjadi pilihan alternatif. Salah satu obat tradisional yang telah digunakan sebagai antitumor adalah daun tumbuhan tembelekan (Lantana camara L.) (Raghu et al., 2004). Langkah awal untuk mengetahui apakah daun tumbuhan tembelekan beraktivitas antikanker dilakukan dengan menggunakan metode Brine Shrimp Lethality Test sehingga didapatkan informasi toksisitas ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan terhadap larva Artemia salina Leach (artemia).

Penelitian ini bersifat eksperimental murni dengan rancangan posttest only control group design. Penelitian menggunakan artemia yang diberi perlakuan ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan berkonsentrasi 50, 100, 200, 400, dan 800 µg/ml. Setiap pengujian disertai kontrol berupa air laut buatan dan dilakukan 5 kali replikasi. Jumlah larva yang mati dihitung setelah didiamkan selama 24 jam perlakuan. Data persentase kematian larva artemia dianalisis menggunakan analisis probit untuk menghitung nilai LC50. Ekstrak dikatakan toksik jika nilai LC50 < 1000 µg/ml, yang diharapkan berupa efek sitotoksik yang merupakan syarat utama senyawa yang beraktivitas antikanker. Ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan kemudian diidentifikasi kandungan senyawa flavonoid dan triterpenoidnya menggunakan kromatografi lapis tipis.

Hasil penelitian menunjukkan ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan bersifat toksik dengan LC50 sebesar 221,7 µg/ml. Identifikasi kandungan senyawa kimia dengan kromatografi lapis tipis menunjukkan ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan diduga mengandung senyawa golongan triterpenoid.

Kata kunci : Brine Shrimp Lethality Test, Lantana camara L., Artemia salina


(2)

x ABSTRACT

Medication using anticancer medicine is still considered less satisfying and expensive, so that traditional medicine is chosen as the alternative. One traditional medicine which has been used as antitumor is tembelekan leaves (Lantana camara L.) (Raghu et al., 2004). The first step to know whether

tembelekan leaves has anticancer activity or not can be done by using Brine Shrimp Lethality Test method so that the information about the chloroform extract of tembelekan leaves toward Artemia salina Leach (artemia) larva.

This research is a pure experimental research with a posttest only control group design. This research is using artemia which were given chloroform extract of tembelekan leaves with 50, 100, 200, 400, and 800 µg/ml concentrations. Every test was accompanied with a control that is artificial sea water and five-time replication. The dead larvas were counted after 24 hours treatment. The percentage of the dead artemia larva was analysed using probit analysis to count the value of LC50. An extract is considered as toxic when the value of LC50 is below 1000 µg/ml, which is supposed to be a sitotoxic effect. It is the main requirement for a compound whose activity is anticancer. The flavonoid compound and triterpenoid of the chloroform extract of tembelekan leaves then was identified using thin- layered chromatography.

This study shows that the chloroform extract of tembelekan leaves has toxic characteristics containing LC50 221,7 µg/ml. The identification of chemical compound using thin- layered chromatography shows that chloroform extract of

tembelekan leaves are suspected to contain a triterpenoid-class compound.

Key words: Brine Shrimp Lethality Test, Lantana camara L., Artemia salina


(3)

BRINE SHRIMP LETHALITY TEST EKSTRAK KLOROFORM DAUN TUMBUHAN TEMBELEKAN (Lantana camara L.) BESERTA PROFIL KROMATOGRAFI LAPIS TIPISNYA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh: Aprilia Prahara NIM: 048114095

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

ii

BRINE SHRIMP LETHALITY TEST EKSTRAK KLOROFORM DAUN TUMBUHAN TEMBELEKAN (Lantana camara L.) BESERTA PROFIL KROMATOGRAFI LAPIS TIPISNYA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh: Aprilia Prahara NIM: 048114095

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(5)

(6)

(7)

v

HaLamAn peRseMbaHan

EaCh mOrniNg, whEn i 0peN mY eYEs

I sAy To my self;

I, noT eVeNts,

HavE a p0weR tO mAkE mE HapPy

oR UnhApPy tOdAy.

i caN cHo0sE whIcH iT shAll be.

YesTeRDay iS dEaD,

tomorrow haSn’T aRriVed yEt

i hAvE jUsT 0Ne daY tOdaY

AnD I’M goiNg t0 bE hapPy in iT…

I deDicaTed iT f 0R:

JeSus mY sAviOr…

My LuVlY FaMz…

‘ pApa, MamA, kO Yan, heNRy’

mY bEst f RiEnDs…

‘ noVi, NikE, l aLA, yaSinTa, cHiKa’

‘ sEl Vi, l iNDa, aNgEl , niTa, dHaNieL’

‘ aLmaMat ErkU’


(8)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Aprilia Prahara

Nomor Mahasiswa : 048114095

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

BRINE SHRIMP LETHALITY TEST EKSTRAK KLOROFORM DAUN TUMBUHAN TEMBELEKAN (Lantana camara L.) BESERTA PROFIL KROMATOGRAFI LAPIS TIPISNYA

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupaun memberikan royalty kepada saya selamA tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyatan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 08 April 2008 Yang menyatakan


(9)

vi PRAKATA

Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan berkatnya untuk menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul Brine Shrimp Lethality Test Ekstrak Kloroform Daun Tumbuhan Tembelekan (Lantana camara L.) Beserta Profil Kromatografi Lapis Tipisnya. Penelitian ini dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat tugas akhir untuk mencapai gelar sarjana ilmu Farmasi bidang studi Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis telah banyak mendapat bantuan, dukungan, bimbingan, dorongan, sarana, maupun fasilitas dari berbagai pihak dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Ibu Yustina Sri Hartini, M.Si., Apt. selaku dosen pembimbing atas kesabarannya dalam membimbing selama penelitian dan penyusunan skripsi, dan sebagai donatur sehingga penelitian ini dapat terlaksana. 3. Bapak Yohanes Dwiatmaka, M.Si. selaku dosen pembimbing atas

kesabarannya dalam membimbing selama penelitian dan penyusunan skripsi.

4. Bapak Ipang Djunarko, S.Si, Apt. selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dan saran dalam penyusunan skripsi ini.


(10)

vii

5. Ibu Erna Tri Wulandari, M.Si, Apt. selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dan saran dalam penyusunan skripsi ini.

6. Papa, Mama, kakak dan adikku, atas cinta, pengorbanan, dukungan semangat, dan doa nya yang tak pernah berhenti.

7. Mas Wagiran, Mas Sigit, Mas Sarwanto selaku staf laboratorium Farmakognosi Fitokimia. Terima kasih atas bantuan yang diberikan.

8. Novi, Nike, Yasinta, Lala, Chika, Linda, Angel, Selvi, dan Nita sahabat dalam berbagi suka dan duka.

9. Ci Lia, Mas Wondo, Novi, dan Mbak Rosa. Terima kasih atas kerja sama dan bantuannya selama penelitian.

10. Teman-teman angk atan 2004, khususnya kelas FKK dan kelas C. Terima kasih atas kebersamaan dan kerja samanya selama ini.

11. Pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.

Penulis menyadari masih ada kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, maka penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak demi kemajuan dan kesempurnaan penelitian yang telah dilakukan. Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi kita semua.

Yogyakarta, Januari 2008 Penulis


(11)

viii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, Januari 2008 Penulis


(12)

ix INTISARI

Pengobatan dengan obat antikanker dirasa masih kurang memuaskan dan mahal sehingga pengobatan dengan obat tradisional menjadi pilihan alternatif. Salah satu obat tradisional yang telah digunakan sebagai antitumor adalah daun tumbuhan tembelekan (Lantana camara L.) (Raghu et al., 2004). Langkah awal untuk mengetahui apakah daun tumbuhan tembelekan beraktivitas antikanker dilakukan dengan menggunakan metode Brine Shrimp Lethality Test sehingga didapatkan informasi toksisitas ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan terhadap larva Artemia salina Leach (artemia).

Penelitian ini bersifat eksperimental murni dengan rancangan posttest only control group design. Penelitian menggunakan artemia yang diberi perlakuan ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan berkonsentrasi 50, 100, 200, 400, dan 800 µg/ml. Setiap pengujian disertai kontrol berupa air laut buatan dan dilakukan 5 kali replikasi. Jumlah larva yang mati dihitung setelah didiamkan selama 24 jam perlakuan. Data persentase kematian larva artemia dianalisis menggunakan analisis probit untuk menghitung nilai LC50. Ekstrak dikatakan toksik jika nilai LC50 < 1000 µg/ml, yang diharapkan berupa efek sitotoksik yang merupakan syarat utama senyawa yang beraktivitas antikanker. Ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan kemudian diidentifikasi kandungan senyawa flavonoid dan triterpenoidnya menggunakan kromatografi lapis tipis.

Hasil penelitian menunjukkan ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan bersifat toksik dengan LC50 sebesar 221,7 µg/ml. Identifikasi kandungan senyawa kimia dengan kromatografi lapis tipis menunjukkan ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan diduga mengandung senyawa golongan triterpenoid.

Kata kunci : Brine Shrimp Lethality Test, Lantana camara L., Artemia salina


(13)

x ABSTRACT

Medication using anticancer medicine is still considered less satisfying and expensive, so that traditional medicine is chosen as the alternative. One traditional medicine which has been used as antitumor is tembelekan leaves (Lantana camara L.) (Raghu et al., 2004). The first step to know whether

tembelekan leaves has anticancer activity or not can be done by using Brine Shrimp Lethality Test method so that the information about the chloroform extract of tembelekan leaves toward Artemia salina Leach (artemia) larva.

This research is a pure experimental research with a posttest only control group design. This research is using artemia which were given chloroform extract of tembelekan leaves with 50, 100, 200, 400, and 800 µg/ml concentrations. Every test was accompanied with a control that is artificial sea water and five-time replication. The dead larvas were counted after 24 hours treatment. The percentage of the dead artemia larva was analysed using probit analysis to count the value of LC50. An extract is considered as toxic when the value of LC50 is below 1000 µg/ml, which is supposed to be a sitotoxic effect. It is the main requirement for a compound whose activity is anticancer. The flavonoid compound and triterpenoid of the chloroform extract of tembelekan leaves then was identified using thin- layered chromatography.

This study shows that the chloroform extract of tembelekan leaves has toxic characteristics containing LC50 221,7 µg/ml. The identification of chemical compound using thin- layered chromatography shows that chloroform extract of

tembelekan leaves are suspected to contain a triterpenoid-class compound.

Key words: Brine Shrimp Lethality Test, Lantana camara L., Artemia salina


(14)

xi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING...iii

HALAMAN PENGESAHAN...iv

HALAMAN PERSEMBAHAN...v

PRAKATA...vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA...viii

INTI SARI...ix

ABSTRACT...x

DAFTAR ISI...xi

DAFTAR TABEL...xv

DAFTAR GAMBAR...xvi

DAFTAR LAMPIRAN...xvii

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG...xviii

BAB I. PENGANTAR...1

A. Latar Belakang...1

1. Permasalahan...3

2. Keaslian penelitian...3

3. Manfaat penelitian ...3

B. Tujuan penelitian...4

1. Tujuan umum...4


(15)

xii

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA...5

A. Tembelekan...5

1. Keterangan botani...5

2. Deskripsi...5

3. Kandungan Kimia...5

4. Khasiat dan kegunaan...6

B. Senyawa yang diidentifikasi...6

1. Flavonoid...6

2. Triterpenoid...8

C. Artemia salina Leach...10

1. Morfologi...10

2. Klasifikasi hewan uji...12

3. Brine Shrimp Lethality test (BST)...12

D. Uji toksisitas...13

E. Kanker...14

F. Kromatografi Lapis Tipis...18

G. Maserasi...19

H. Landasan teori...20

I. Hipotesis...20

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN...21

A. Jenis dan rancangan penelitian...21

B. Variabel dan definisi operasional...21


(16)

xiii

2. Definisi operasional...22

C. Bahan penelitian...22

1. Bahan utama...22

2. Bahan untuk ekstraksi...22

3. Bahan untuk KLT...23

4. Bahan untuk pembuatan air laut buatan...23

5. Bahan untuk uji toksisitas (BST)...23

D. Alat-alat penelitian...24

1. Alat untuk ekstraksi...24

2. Alat untuk uji BST...24

3. Alat untuk KLT...24

E. Tata cara penelitian...24

1. Determinasi tumbuhan...24

2. Pengumpulan bahan...25

3. Pembuatan ekstrak kloroform daun tembelekan...25

4. Pembuatan air laut buatan...26

5. Penetasan siste artemia...26

6. Penyiapan sampel uji toksisitas...26

7. Uji toksisitas...27

8. Identifikasi kualitatif senyawa aktif dengan KLT...27

F. Analisis data...28

BAB IV. HASIL dan PEMBAHASAN...29


(17)

xiv

B. Pengumpulan bahan dan penyarian zat aktif...29

C. Pembuatan air laut buatan...32

D. Penetasan Siste...32

E. Uji toksisitas dengan BST...33

F. Hasil uji kualitatif kandungan senyawa aktif...36

BAB V. KESIMPULAN dan SARAN...44

A. Kesimpulan...44

B. Saran...44

DAFTAR PUSTAKA...45

LAMPIRAN...48


(18)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel I Pedoman umum bercak flavonoid dengan sinar tampak dan UV 365 nm...8 Tabel II Keterangan anatomi skematik kepala larva artemia ...11 Tabel III Data kematian larva artemia karena pengaruh ekstrak kloroform

daun tembelekan setelah 24 jam ...34 Tabel IV Hasil KLT pemeriksaan flavonoid dalam ekstrak kloroform

daun tumbuhan tembelekan ...37 Tabel V Hasil KLT pemeriksaan triterpenoid dalam ekstrak kloroform


(19)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Struktur umum flavonol ...6

Gambar 2. Mekanisme kematian sel yang terprogram (apoptosis) pada sel normal dan sel tumor yang kekurangan p53 menyebabkan kanker...7

Gambar 3. Struktur Lantadene A...9

Gambar 4. Mekanisme penghambatan enzim topoisomerase...10

Gambar 5. Anatomi skematik kepala larva artemia...11

Gambar 6. Skema siklus sel...14

Gambar 7. Jalur Transduksi sinyal yang berhubungan dengan perkembangan kanker ...16

Gambar 8. Kurva hubungan nilai probit versus log konsentrasi ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan...35

Gambar 9. Reaksi flavonoid dengan uap ammonia... ...37

Gambar 10. Reaksi flavonoid dengan AlCl3...37

Gambar 11. Kromatogram ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan untuk pemeriksaan flavonoid dengan jarak pengembangan 10 cm...38

Gambar 12. Reaksi triterpenoid dengan vanilin asam sulfat ... ...41

Gambar 13. Kromatogram ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan untuk pemeriksaan triterpenoid dengan jarak pengembangan 10 cm...42


(20)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat keterangan determinasi tumbuhan tembelekan...48 Lampiran 2. Foto tumbuhan tembelekan ...49 Lampiran 3. Foto aquarium untuk uji BST...49 Lampiran 4. Orientasi untuk mendapatkan seri konsentrasi yang akan

digunakan dalam pengujian ...50 Lampiran 5. Jumlah kematian larva artemia akibat pemberian ekstrak

kloroform daun tumbuha n tembelekan ...55 Lampiran 6. Perhitungan data statistik SPSS 10.00 dengan analisis probit


(21)

xviii

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

1. ALB = Air Laut Buatan 2. AlCl3 = aluminium klorida 3. CaCl2 = kalsium klorida 4. cm = centimeter

5. KCl = kalium klorida

6. KLT = Kromatografi Lapis Tipis

7. LC50 = Median Lethal Concentration 8. LD50 = Median Lethal Dose

9. mm = millimeter

10.mg = milligram

11.MgCl2 = magnesium klorida 12.MgSO4 = magnesium sulfat 13.ml = milliliter

14.NaHCO3 = natrium bikarbonat 15.NaCl = natrium klorida 16.nm = nanometer

17.rpm = rotasi per menit 18.UV = ultraviolet

19.°C = derajat celcius

20.% = persen

21.µg/ml = microgram per milliliter


(22)

1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang

Penyakit kanker termasuk penyakit yang sukar disembuhkan dan dapat menyebabkan kematian bagi penderitanya. Saat ini telah banyak obat antikanker yang ditemukan dan dikembangkan namun hasil yang dirasakan masih kurang memuaskan dan biayanya pun sangat mahal. Hal ini yang membuat masyarakat mulai melakukan pengobatan alternatif dengan menggunakan obat tradisional.

Bahan alam yang mulai diteliti aktivitas antikankernya adalah Lantana camara L. (tembelekan). Tumbuhan ini cukup mudah ditemukan dan tiap organnya memiliki khasiat tertentu, salah satunya bagian daun yang beracun digunakan untuk antitumor, antibakteri dan antihipertensi (Raghu, Ashok, Dhanaraj, Suresh, Vijayan, 2004). Bagian daun yang paling sering dimanfaatkan karena cara pengambilan dan pengolahannya yang mudah, dan jumlahnya yang banyak (Anonim, 2005).

Brine Shrimp Lethality Test (BST) merupakan metode pengujian toksisitas sederhana produk alam untuk menentukan Median Lethal Concentration

(LC50) dalam µg/ml dengan menggunakan larva Artemia salina Leach (artemia). Penggunaan artemia ini memang tidak spesifik untuk antikanker ataupun zat aktif fisiologis tertentu, tetapi dapat menunjukkan kemampuan untuk memonitor kemungkinan adanya efek sitotoksik. Suatu senyawa dikatakan toksik jika nilai LC50 < 1000 µg/ml. Metode uji ini dapat dijadikan uji awal senyawa sitotoksik


(23)

karena mudah, murah dan cepat (Meyer, Ferrigni, Putnama, Jacobsen, Nicholas, Mclaughlin, 1982).

Senyawa yang dikenal memiliki aktivitas sitotoksik adalah senyawa flavonoid dan triterpenoid. Flavonoid diketahui dapat menginduksi apoptosis (Middleton, Kandaswami, Theoharides, 2000). Senyawa ini merupakan senyawa polar yang umumnya larut pada pelarut polar, namun adanya aglikon yang kurang polar menyebabkan fla vonoid lebih mudah larut dalam pelarut seperti eter dan kloroform (Markham, 1988). Senyawa triterpenoid terutama golongan pentasiklik triterpenoid dapat menghambat kerja enzim topoisomerase I dan II serta menghambat RNA polymerase sehingga mengakibatkan kematian sel (Lee, Fang, Wang, Li, Cook, 1991). Biasanya terpenoid diekstraksi dengan menggunakan eter minyak bumi, eter atau kloroform (Harborne, 1984).

Penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya dengan menggunakan daun tumbuhan tembelekan antara lain oleh Sugianti (2007) yang mengekstrak daun dengan pelarut etanol. Dari penelitian ya ng telah dilakukan tersebut diketahui bahwa ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan bersifat toksik terhadap larva artemia dengan LC50 sebesar 60,4 µ g/ml. Efek toksik ini diduga karena kandungan flavonoid dan triterpenoid yang larut dalam ekstrak etanol tersebut. Berdasarkan penelitian tersebut peneliti ingin melakukan penelitian alternatif dengan mengganti larutan penyari etanol dengan kloroform karena diketahui senyawa golongan flavonoid dan triterpenoid juga dapat larut dalam kloroform.


(24)

Daun tumbuhan tembelekan diketahui memiliki kandungan flavonoid dan triterpenoid pentasiklik (lantadene A dan B). Oleh karena itu untuk mengetahui apakah kandungan triterpen pentasiklik dan flavonoid ini memiliki efek sitotoksik maka perlu dilakukan uji dan salah satu uji yang dapat dilakukan adalah BST dengan menggunakan ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan tersebut. Hasil uji ini dapat menjadi dasar awal untuk melanjutkan ke tahap uji untuk mencari aktivitas antikanker berikutnya jika hasil BST menunjukkan adanya efek toksik dari ekstrak tersebut.

1. Permasalahan

a. Apakah ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan bersifat toksik terhadap larva artemia?

b. Berapa besar LC50 ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan terhadap larva artemia?

c. Apakah terdapat senyawa golongan flavonoid dan / atau triterpenoid dalam ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan?

2. Keaslian penelitian

Sejauh penelusuran pustaka belum pernah dilakukan penelitian mengenai toksisitas ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan terhadap larva artemia. 3. Manfaat penelitian

a. Manfaat praktis penelitian ini adalah memberikan informasi tentang tingkat ketoksikan ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan terhadap larva artemia dan membantu pengembangan dan penggunaan daun tumbuhan tembelekan sebagai antikanker.


(25)

b. Manfaat teoritis penelitian ini adalah memberikan sumbangan ilmiah bagi perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang farmasi mengenai ada tidaknya aktivitas ketoksikan ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan terhadap larva artemia.

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Tujuan umum penelitian ini, yaitu untuk mengenali tumbuhan yang mungkin mengandung senyawa sitotoksik yang bermanfaat dalam pengobatan. 2. Tujuan khusus

Tujuan khusus penelitian ini, yaitu untuk:

a. Mengetahui ketoksikan ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan terhadap larva artemia

b. Mengetahui nilai LC50 ekstrak klorofo rm daun tumbuhan tembelekan c. Mengetahui kandungan senyawa flavonoid dan/atau triterpenoid pada


(26)

5 BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA A. Tumbuhan Tembelekan 1. Keterangan botani

Tumbuhan tembelekan (Lantana camara L.) termasuk dalam kingdom Plantae, filum Embryophyta, kelas Magnoliopsida, ordo Lamiales, familia Verbenaceae, dan genus Lantana. Tumbuhan ini mempunyai sinonim antara lain

Lantana aculeata L., Lantana antillana Rafin., Lantana mutabilis Salisb.,

Lantana polyacanthus SCH., Lantana scabrida Soland (Backer & Brink Jr., 1963). Nama daerah tumbuhan tembelekan ini antara lain: tembelekan, kembang telek, bunga pagar, kayu singapur, tahi ayam (Sumatera); kembang telek, oblo, puyengan, pucengan, tembelek, tembelekan, teterapan, waung, wilweran (Jawa); kembang satek, saliyara, saliyare, tahi hayam, tahi kotok, cente (Sunda); kamanco, mainco, tamanjho (Madura) (Hembing, 2000).

2. Deskripsi

Daun tembelekan tersusun berhadapan, jarang melingkar, dan semakin padat pada bagian atas mendekati pucuk (Backer & Brink Jr., 1963).

3. Kandungan kimia

Daun tembelekan mengandung lantadene A (0,31-0,68%), lantadene B

(0,2%), lantanolic acid, lantic acid, humulene (mengandung minyak menguap 0,16 - 0,2%), Beta-caryophyllene, gamma-terpidene, alpha-pinene, p-cymene, dan flavonoid (Anonim,2005).


(27)

4. Khasiat dan kegunaan

Bagia n daunnya yang bersifat sedikit beracun digunakan untuk menghilangkan gatal (anti pruritus), antitoxic, perangsang muntah (emetikum), dan menghilangkan pembengkakan (anti-swelling) (Anonim, 2005), antitumor, antibakteri dan antihipertensi (Raghu, Ashok, Dhanaraj, Suresh, Vijayan, 2004).

B. Senyawa yang Diidentifikasi 1. Flavonoid

Flavonoid adalah golongan senyawa alam yang strukturnya terdiri dari 2 cincin aromatik yang dihubungkan oleh atom karbon membentuk rangka dengan sistem C6-C3-C6. Flavonoid sebenarnya terdapat pada semua bagian tumbuhan termasuk daun, akar, kayu, kulit, nektar, bunga, buah, dan biji (Markham, 1988)

Flavonoid merupakan senyawa polar, maka pada umumnya flavonoid larut pada pelarut polar seperti etanol, metanol, butanol, aseton, dimetilsulfoksida, dan air. Adanya gula yang terikat pada flavonoid cenderung menyebabkan flavonoid lebih mudah larut dalam air. Sebaliknya, aglikon yang kurang polar seperti isoflavon, flavonon, flavon, dan flavonol yang termetoksilasi cenderung lebih mudah larut dalam pelarut seperti eter dan kloroform (Markham, 1988).

O O

OH

flavonol


(28)

Flavonoid jenis flavonol diketahui dapat menginduksi terjadinya apoptosis (mekanisme kematian yang terprogram) pada sel kanker salah satunya dengan mencegah terjadinya mutasi p53. Dengan adanya apoptosis, sel yang telah rusak (abnormal) dan tidak berfungsi lagi akan mati dengan sendirinya, tidak terus menerus membelah dan menghasilkan sel neoplastik yang dapat berkembang menjadi sel tumor dan kanker (Middleton, Kandaswami, Theoharides, 2000).

Gambar 2. Mekanisme kematian sel yang terprogram (apoptosis) pada sel normal (A) dan sel tumor yang kekurangan p53 menyebabkan kanker (B)

(Albert, Johnson, Lewis, Raff, Roberts, Walter, 2002)

Senyawa flavonoid dapat dianalisis dengan kromatografi lapis tipis (KLT). Fase diam yang digunakan adalah selulosa dan fase geraknya seperti n-butanol, asam asetat, air (4:1:5 v/v lapisan atas); kloroform, etil asetat (60:40 v/v); atau kloroform, aseton, asam format (75:16,5:8,5 v/v). Deteksi terhadap bercak yang timbul setelah pengembangan dapat menggunakan sinar UV, pereaksi


(29)

semprot seperti sitroborat, pereaksi aluminium klorida, dan antimon triklorida (Wagner, Brady, Zgainski, 1984).

Tabel I. Pedoman umum bercak flavonoid dengan sinar tampak dan UV 365 nm (Geissman, 1962)

Gol. Flavonoid Vis UV 365 nm NH3 NH3 /UV AlCl3 AlCl3/ UV Flavon Kuning

lemah

Coklat gelap, coklat merah, kuning coklat

Kuning Kuning terang, kuning hijau, ungu gelap Kuning pucat Fl. Hijau, kuning hijau

Flavonol Kuning lemah

Kuning terang, kuning hijau,

coklat

Kuning Kuning terang, kuning

hijau, coklat

Kuning Fl. Kuning,

hijau

Isoflavon Tidak berwarna Ungu padam, kuning lemah Tidak berwarna Ungu padam, kuning lemah Tidak berwarna FL. Kuning

Flavonon Tidak berwarna Tidak berwarna Tidak berwarna Tidak berwarna, kuning gelap, kuning hijau Tidak berwarna Fl. Hijau, kuning, biru pucat 2. Triterpenoid

Terpenoid berasal dari molekul isoprena CH2=C(CH3)-CH=CH2. Terpenoid terdiri atas beberapa senyawa berdasarkan jumlah satuan yang terdapat dalam senyawa tersebut, yaitu: komponen minyak atsiri [monoterpena dan seskuiterpena yang mudah menguap (C10 dan C15)], diterpena yang lebih sukar menguap (C20), senyawa yang tidak menguap [triterpenoid dan sterol (C30)], dan pigmen karotenoid (C40) (Harborne, 1984).

Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang nisbi rumit, kebanyakan


(30)

berupa alkohol, aldehida, atau asam karboksilat. Mereka berupa senyawa tanwarna, berbentuk kristal, sering sekali bertitik leleh tinggi dan aktif optik, yang umumnya sukar dicirikan karena tak ada kereaktifan kimianya. Uji yang banyak digunakan adalah reaksi Lieberman-Burchard (anhidra asetat – H2SO4 pekat) yang dengan kebanyakan triterpena dan sterol memberikan warna hijau-biru (Harborne, 1984). Triterpen akan memberikan warna biru, biru-violet dengan pereaksi vanilin asam sulfat (Wagner, 1984).

Gambar 3. Struktur Lantadene A (Sharma, Sharma, Bansal, Singh, 2007) Triterpenoid yang paling penting dan paling tersebar luas ialah pentasiklik triterpenoid. Senyawa pentasiklik triterpenoid yang diketahui tersebar luas adalah a-amirin dan ß-amirin serta asam turunannya yaitu asam ursolat dan asam oleanolat (Evans and Trease, 2002). Pentasiklik triterpenoid dapat menghambat kerja enzim topoisomerase I dan II serta menghambat RNA polymerase sehingga mengakibatkan kematian sel (Lee et al., 1991). Lantadene A

yang merupakan salah satu kandungan dalam daun tembelekan merupakan triterpenoid pentasiklik yang telah dievaluasi dapat menginduksi apoptosis pada


(31)

Gambar 4 . Mekanisme penghambatan enzim topoisomerase(Albert et al., 2002)

KLT praktis selalu digunakan pada lapisan silika gel. KLT silika gel AgNO3 digunakan untuk memisahkan triterpenoid takjenuh berdasarkan jumlah ikatan rangkap terisolasi yang ada dalam molekul. Metode ini dapat menggunakan fase gerak seperti heksan, etil asetat (1:1); kloroform, metanol (10:1); atau toluene : etil asetat (93:7). Sebagai deteksi dapat digunakan penyemprotan dengan asam sulfat pekat, diteruskan dengan pemanasan pada 100°C - 105°C sampai pembentukan warna sempurna (Harborne, 1984). Untuk senyawa terpenoid, akan menghasilkan warna abu-abu, merah violet atau ungu (Wagner et al.,1984).

C. Artemia salina Leach 1. Morfologi

Istilah telur artemia yang benar adalah siste yaitu telur yang telah berkembang lebih lanjut menjadi embrio yang tebal dan kuat. Apabila telur-telur


(32)

artemia yang kering direndam dalam air laut yang bersuhu 25°C, akan menetas dalam waktu 24-36 jam, dan dari cangkangnya keluarlah burayak (larva) yang juga dikenal dengan istilah nauplius (Mudjiman, 1991).

Gambar 5. Anatomi Skematik Kepala Larva Artemia (Anonim, 2007) Tabel II. Keterangan Anatomi Skematik Kepala Larva Artemia

(Anonim, 2007)

# nama keterangan

1 naupliar eye Ada sejak larva instar awal hingga akhir 2 antenna 1 Juga disebut antennulae

3 compund eyes -

4 antenna 2 Larva jantan mempunyai antenna 2 lebih besar untuk

memegang larva betina selama kopulasi 5 mandible Digunakan untuk menyaring partikel makanan 6 maxillary gland Digunakan untuk regulasi osmotik (ekskresi garam)

7 labrum

Menutupi permukaan ventral kepala, termasuk mulut; digunakan untuk memegang makanan dalam posisi untuk mengunyah dan menelan

8 gut Saluran pencernaan

9 maxilla 2 Digunakan untuk memproses makanan 10 maxilla 1 Digunakan untuk memproses makanan

11 mouth & esophagus Diantara mandibles; esofagus,; memanjang secara dorsal dari

mulut ke perut 12 digestive cecum plural: ceca

13 heart Panjang, “pipa” sempit; mamanjang hampir di seluruh badan 14 stomach Menghabiskan daerah gut di bagian tengah kepala

Dalam perkembangan selanjutnya, burayak akan mengalami 15 kali perubahan bentuk (metamorfosis). Setiap kali burayak mengalami perubahan bentuk merupakan satu tingkatan (instar). Burayak yang baru menetas masih


(33)

dalam tingkatan instar I. Warnanya kemerah- merahan karena masih banyak mengandung makanan cadangan, sehingga mereka masih belum perlu makan (Mudjiman, 1991).

Sekitar 24 jam setelah menetas, burayak akan berubah menjadi instar II dimana burayak mulai mempunyai mulut, saluran pencernaan dan dubur; dan cadangan makanan mulai habis. Oleh karena itu burayak mulai mencari makanan untuk kelangsungan hidupnya. Masa burayak akan berakhir setelah menjadi instar XV (artemia dewasa), yaitu saat kakinya sudah lengkap 11 pasang. Proses ini biasanya berlangsung antara 1-3 minggu atau rata-rata sekitar 2 minggu atau 14 hari (Mudjiman, 1991).

2. Klasifikasi hewan uji

Artemia merupakan zooplankton yang diklasifikasikan dalam genus artemia dan spesies Artemia salina Leach (Oemarjati dan Wardhana, 1990)

3. Brine Shrimp Lethality Test (BST)

Brine Shrimp Lethality Test (BST) merupakan metode penelitian toksisitas sederhana untuk produk alam dengan hewan uji artemia. Tingkat toksisitas suatu campuran bahan aktif dan ekstrak dinyatakan dalam nilai LC50 yang dinyatakan dalam µg/ml. Artemia dapat digunakan untuk skrining awal secara sederhana dan murah untuk senyawa yang sitotoksik (Solis, Wright, Anderson, Gupta, Phillipson, 1993), karena diduga ada kaitan antara uji toksisitas dengan sitotoksisitas jika harga LC50 dari suatu senyawa kurang dari 1000 µg/ml (Meyer et al., 1982).


(34)

Penggunaan artemia memang tidak spesifik untuk anti tumor maupun zat aktif fisiologis tertentu, namun dapat menunjukkan kemungkinan adanya efek sitotoksik secara lebih cepat dibanding dengan prosedur pemeriksaan sitotoksisitas yang umum, misalnya dengan biakan sel tumor (Meyer et al., 1982). Penggunaan larva artemia ini juga dikarenakan adanya kesamaan sistem enzim dengan mamalia, yaitu pada DNA-dependent RNA polymerase dan ouabaine sensitive Na+ and K+ dependent ATPase (Solis et al., 1992).

Artemia sebagai organisme uji toksisitas memiliki keuntungan karena tidak memerlukan kondisi steril, waktu pelaksanaan singkat (24 jam), sederhana dan murah. Disamping itu jumlah yang besar dapat diterapkan untuk memenuhi tuntutan statistik, karena pembiakan artemia sangat mudah, menggunakan peralatan yang sederhana dan jumlah cuplikan yang dibutuhkan relatif sedikit, yaitu kurang lebih 50 mg untuk ekstrak kasar (Meyer et al., 1982).

D. Uji Toksisitas

Toksisitas merupakan suatu sifat relatif yang biasa digunakan untuk membandingkan apakah zat kimia yang satu lebih toksik dari zat kimia yang lain. Perbandingan antara zat kimia seperti informasi tentang mekanisme biologi yang dipermasalahkan dan dalam kondisi di mana zat kimia tersebut berbahaya (Loomis, 1978).

Pengamatan aktivitas biologi yang dilakukan pada uji toksisitas dapat berupa pengamatan-pengamatan gejala khas, kematian hewan uji atau pengamatan histopatologi organ. Adapun data yang diperoleh pada uji toksisitas dapat berupa


(35)

data kuantitatif yang dapat dinyatakan dengan LD50 (Median Lethal Dose) atau LC50 (Median Lethal Concentration) (Loomis, 1978).

Kriteria dan petunjuk yang dapat digunakan untuk zat-zat baru (yang belum dikenal) ada bermacam- macam. Kriteria awal yang biasa digunakan dalam evaluasi toksikologi dengan me nggunakan kematian sebagai indeks untuk memperkirakan dosis letal yang mungkin terjadi pada manusia (Amdur et al., 1975).

E. Kanker

Kanker ialah suatu penyakit sel dengan ciri gangguan atau kegagalan mekanisme pengatur multiplikasi dan fungsi homeostasis lainnya pada organisme multiseluler (Nafrialdi, 1995).

Gamba r 6. Skema siklus sel. Lingkaran luar: I=Interfase, M=Metafase; dalam lingkaran: M=Mitosis, G1=Gap 1, G2=Gap 2, S=Sintesis; tidak dalam

lingkaran: G0=Gap 0/istirahat (Wikipedia, 2007).

Proses pembelahan sel terjadi dalam beberapa tahap/fase. Sel akan membelah dan diikuti dengan periode dormansi. Sebagian sel tumor selalu berada dalam fase G0 dimana sel yang istirahat hampir tidak tercapai oleh sitostatika. Fase G0 berhubungan dengan fase G1 yang kemudian diikuti dengan fase S dimana DNA secara aktif disintesis. Selanjutnya adalah fase G2 yang merupakan


(36)

periode premitotik dimana kromosom terdapat dalam bentuk kromatid. Fase terakhir adalah fase M yaitu sel masuk pada tahapan mitosis (profase, metafase, anafase, dan telofase) dan terjadilah pembelahan sel dimana material inti diturunkan identik kepada sel anak (Gringauz, 1997).

Kanker diperkirakan berkembang dari sel dimana mekanisme kontrol pertumbuhan dan proliferasinya berubah. Fase pertama adalah inisiasi yang membutuhkan serangan senyawa karsinogenik terhadap sel normal. Karsinogen ini menyebabkan kerusakan genetik yang jika tidak diperbaiki dapat mengakibatkan mutasi seluler ireversibel. Fase kedua adalah fase promosi dimana karsinogen atau faktor lain mengubah lingkungan agar mendukung pertumbuhan populasi sel termutasi melebihi sel normal. Fase akhir dari pertumbuhan neoplastik disebut progresi, yaitu meningkatnya perubahan genetik yang memicu peningkatan proliferasi sel. Bagian kritis dari fase ini termasuk invasi tumor ke dalam jaringan lokal dan perkembangan metastasis (Dipiro, Talbert, Yee, Matzke, Wells, Posey, 2005).

Terdapat dua kelompok utama gen yang memicu karsinogenesis, yaitu onkogen dan gen supresi tumor. Onkogen berkembang dari sel normal (protoonkogen) dan mempunyai peranan penting pada semua fase karsinogenesis. Protoonkogen terdapat dalam semua sel dan penting sebagai pengatur fungsi sel normal, termasuk siklus sel. (Dipiro et al., 2005).

Gen supresi tumor mengatur dan menghambat pertumbuhan sel dan proliferasi yang tidak benar. Contoh umum gen supresi tumor adalah gen protein 53 (p53). Gen normal menghasilkan p53 yang bertanggungjawab untuk regulasi


(37)

negatif siklus sel, menghentikan siklus sel untuk perbaikan, koreksi, dan merespon sinyal dari luar lainnya. Inaktivasi p53 menyebabkan mutasi dapat terjadi. Fungsi penting lain p53 adalah mungkin memodulasi efek obat sitotoksik. Hilangnya p53 diasosiasikan dengan resistensi terhadap obat antineoplastik (Dipiro et al., 2005).

Gambar 7. Jalur Transduksi sinyal yang berhubungan dengan perkembangan kanker (Rang 2003)

Onkogen dan gen supresi tumor dapat menstimulasi dan menginhibisi sinyal yang utamanya mengatur siklus sel. Sinyal ini bertemu pada sistem molekular dalam nukleus yang dikenal sebagai cell cyle clock. Fungsinya dalam jaringan normal adalah untuk mengitegrasikan input sinyal dan menentukan kapan siklus sel harus dimulai. Cell cyle clock terdiri dari beberapa protein yang berinteraksi, yang paling penting adalah cyclin dan cyclin-dependent kinase


(38)

(CDKs). CDKs inhibitor telah diidentifikasikan sebagai regulator negatif yang penting dalam siklus sel (Dipiro et al., 2005).

Saat mekanisme regulator normal untuk pertumbuhan sel gagal, sistem pertahanan cadangan dapat diaktifkan. Pertahanan sekunder termasuk apoptosis dan cellular senescence (aging). Apoptosis merupakan mekanisme kematian sel normal yang dibutuhkan untuk homeostasis jaringan. Proses ini diatur oleh onkogen dan gen supresi tumor dan juga merupakan mekanisme kematian sel setelah serangan agent sitotoksik. Studi menunjukkan p53 juga mengatur apoptosis. Kehilangan p53 mengganggu jalannya apoptosis normal (Dipiro et al., 2005).

Cellular senescence merupakan mekanisme pertahanan lainnya. Sekali saja populasi sel mengalami preset penggandaan maka pertumbuhan terhenti dan sel mati. Hal ini dikenal sebagai senescene, sebuah proses yang diregulasi oleh telomer. Telomer adalah segmen DNA atau ujung akhir kromosom yang bertanggunag jawab untuk melindungi ujung akhir DNA dari kerusakan. Tiap replikasi, panjang telomer semakin pendek. Setelah telomer menjadi pendek hingga panjang kritis, senescence bertindak untuk menghitung dan membatasi jumlah penggandaan sel. Pada sel kanker, fungsi telomer diatasi oleh ekspresi berlebihan enzim telomerase. Telomerase menggantikan bagian telomer yang hilang pada tiap pembelahan, sehingga menghindari senescence dan mengizinkan penggandaan sel dengan jumlah yang terbatas (Dip iro et al., 2005).

Anti kanker diharapkan memiliki toksisitas selektif, artinya mampu menghancurkan sel kanker tanpa merusak sel normal. Pada umumnya anti


(39)

neoplastik menekan pertumbuhan/proliferasi sel dan menimbulkan toksisitas, karena menghambat pembelahan sel normal yang proliferasinya cepat misal sum-sum tulang, epitel germinativum, mukosa saluran cerna, folikel rambut dan jaringan limfosit. Terapi hanya dapat dikatakan berhasil baik, apabila dosis yang digunakan dapat mematikan sel tumor yang ganas dan tidak terlalu mengganggu sel normal yang berpoliferasi (Nafrialdi, 1995).

F. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Kromatografi lapis tipis merupakan metode pemisahan fisikokimia. Metode ini didasarkan atas pembagian campuran senyawa dalam dua fase yaitu fase diam dan fase gerak (Stahl, 1969). Fase diam meliputi adsorben sedangkan fase gerak meliputi suatu larutan pengembang. Adsorben dilapiskan pada lempeng kaca yang bertindak sebagai penunjang fase diam. Fase gerak akan merayap sepanjang fase diam sehingga terbentuklah kromatogram. Materi pelapis lempeng pada umumnya digunakan silika gel, tetapi kadangkala bubuk selulosa, tanah diatome dan kieselguhr (Khopkar, 1990).

Identifikasi dari senyawa-senyawa yang terpisah pada KLT lebih baik dikerjakan dengan pereaksi lokasi kimia dan reaksi-reaksi warna. Jika pereaksi kimia digunakan untuk lokasi, maka dapat dilakukan dengan penyemprotan (Hardjono, 1983).

Pada umumnya identifikasi menggunakan harga Rf, meskipun kurang tepat. Harga Rf dapat didefinisikan sebagai berikut:

awal titik dari pelarut Jarak

asal titik dari senyawa bercak

Jarak

Rf =


(40)

Kelebihan khas KLT adalah keserbagunaan, kecepatan dan kepekaannya dibandingkan dengan kromatografi kertas. Keserbagunaan KLT disebabkan oleh kenyataan bahwa disamping selulosa, sejumlah plat kaca atau penyangga lain dan digunakan untuk kromatografi (Harborne, 1984).

G. Maserasi

Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana, yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari, cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan zat aktif di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsent rasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel (Anonim, 1986).

Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari dan tidak mengandung zat yang mudah mengembang dalam cairan penyari dan tidak mengandung benzoin atau stirak. Cairan penyari yang digunakan dapat berupa air, etanol, campuran air etanol atau pelarut lain yang cocok, untuk cairan penyari air perlu ditambah pengawet pada awal penyarian untuk mencegah timbulnya kapang. Keuntungan cara maserasi ini adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sangat sederhana dan mudah diusahakan, sedangkan kerugiannya pengerjaannya butuh waktu lama dan hasil penyarian kurang sempurna. Cara maserasi ini dapat dipercepat dengan menggunakan mesin pengaduk yang terus menerus berputar sehingga mempersingkat waktu maserasi menjadi 6-24 jam (Anonim, 1986).


(41)

H. Landasan Teori

Tembelekan merupakan salah satu tumbuhan obat yang cukup banyak digunakan masyarakat dan dilaporkan toksik pada binatang yang memakan daunnya. Toksisitas tumbuhan tembelekan ini disebabkan karena kandungan

lantadene A yang merupakan triterpenoid pentasiklik dan flavonoid nya. Triterpenoid dan flavonoid yang aglikonnya yang kurang polar diketahui dapat larut dalam pelarut non polar, salah satunya adalah kloroform. Triterpenoid bekerja dengan menghambat kerja enzim topoisomerase I dan II serta menghambat RNA polymerase, dan flavonoid bekerja dengan menginduksi apoptosis sehingga mengakibatkan kematian sel.

Toksisitas daun tumbuhan tembelekan diuji menggunakan metode BST yang merupakan pengujian toksisitas tahap awal. Metode ini adalah pengujian bioaktivitas suatu bahan dengan organisme uji berupa larva artemia. Digunakan larva ini karena terdapat kesamaan sistem enzim dengan mamalia, yaitu pada

DNA-dependent RNA polymerase dan ouabaine sensitive Na+ and K+ dependent ATPase.

Senyawa dikatakan toksik jika nilai LC50 kurang dari 1000 µg/ml. Jika senyawa tersebut berefek toksik terhadap larva artemia, maka senyawa tersebut dapat diuji lebih lanjut untuk mengetahui efeknya sebagai antikanker dengan menggunakan biakan sel kanker.

I. Hipotesis

Ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan diduga bersifat toksik terhadap larva artemia.


(42)

21 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Brine Shrimp Lethality Test (BST) ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan terhadap larva artemia merupakan jenis penelitian eksperimental murni denga n rancangan Posttest Only Control Group Design. Lokasi penelitian adalah laboratorium Farmakognosi-Fitokimia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

B. Variabel dan Definisi Operasional 1. Variabel penelitian

a. Variabel bebas: konsentrasi ekstrak kloroform daun tumb uhan tembelekan, yaitu 50, 100, 200, 400, dan 800 µg/ml yang diujikan pada larva artemia.

b. Variabel tergantung: jumlah larva artemia yang mati akibat pemberian ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan dengan berbagai konsentrasi.

c. Variabel pengacau terkendali, yaitu: 1. Umur larva artemia, yaitu 48 jam

2. Lingkungan tempat percobaan yang meliputi: pH air laut buatan antara 7-8 dengan kadar garam 5 per mil, cahaya untuk mempercepat penetasan larva artemiadengan menggunakan sinar lampu 5 watt, serta suhu lingkungan yang optimal bagi kelangsungan hidup larva artemia yang berkisar antara 25-30°C.


(43)

4. Teknik dan lamanya penyarian daun tumbuhan tembelekan.

d. Variabel pengacau tak terkendali: kondisi lingkungan tempat tumbuh tumbuhan tembelekan.

2. Definisi operasional

a. Median Lethal Concentration (LC50) adalah konsentrasi larutan senyawa uji yang menyebabkan kematian separuh dari hewan uji dengan perlakuan selama 24 jam dan merupakan data kuantitatif yang diperoleh pada uji BST, dinyatakan dalam µg/ml.

b. Larva artemia yang mati adalah larva yang tidak menunjukkan adanya kehidupan yang ditandai dengan tidak adanya gerakan sekecil apa pun dari larva.

c. Ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan adalah ekstrak kental atau kering yang dib uat dengan menyari daun tembelekan dalam pelarut kloroform dengan cara maserasi selama 48 jam.

d. Larva artemia adalah larva yang telah berumur 48 jam hasil penetasan siste artemia.

C. Bahan Penelitian 1. Bahan utama

Bahan penelitian ini berupa daun tumbuhan tembelekan yang diperoleh dari Kaliurang, Yogyakarta pada bulan Agustus 2006.

2. Bahan untuk ekstraksi


(44)

3. Bahan untuk KLT

Semua bahan untuk KLT berderajat p.a kecuali serbuk Liquiritiae Radix

yang berderajat farmasetis.

1. Untuk uji flavonoid. Bahan yang digunakan antara lain selulosa (MERCK), n-butanol, asam asetat, aquadest, ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan, pembanding rutin 1%, uap ammonia, dan pereaksi AlCl3.

2. Untuk uji triterpenoid. Bahan yang digunakan antara lain silika gel GF 254 (MERCK), toluene, etil asetat, ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan, ekstrak kloroform Liquiritiae Radix dan pereaksi semprot vanilin asam sulfat. 4. Bahan untuk pembuatan air laut buatan

Semua bahan kimia untuk pembuatan air laut buatan berderajat teknis. Bahan-bahan tersebut adalah kalium klorida, kalsium klorida, magnesium klorida, magnesium sulfat, natrium bikarbonat, natrium klorida, aquadest, aquadest bebas CO2, dan aquadest panas.

5. Bahan untuk uji toksisitas (BST)

a. Larva artemia yang berumur 48 jam merupakan hasil penetasan siste

Artemia salina Viper (Jeannie Hoo., LTD, China) dalam air laut buatan berkadar 5 permil.

b. Larutan ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan dengan konsentrasi 50, 100, 200, 400, dan 800 µg/ml.

c. Air laut buatan berkadar 5 permil.

d. Suspensi Sacharomyces cerevisiae (ragi) sebagai makanan bagi larva artemia.


(45)

D. Alat-alat Penelitian 1. Alat untuk ekstraksi

Alat-alat yang digunakan untuk ekstraksi antara lain: blender, shaker

(Innova 2100), gelas ukur (Pyrex), Erlenmeyer (Pyrex), gelas Beker (Pyrex), sendok, pipet ukur, pipet volume, kertas saring, Vaccum Rotary Evaporator

(Janke & Kunkel), Waterbath (Memert), neraca analitik (Mettler Toledo AB 204), batang pengaduk, dan cawan porselen.

2. Alat untuk uji BST

Alat-alat yang digunakan untuk uji BST antara lain: flakon, bak penetas artemia, mikropipet (Socorex ISBA S.A), lampu 5 watt (dop), aerator (Niko NK 1200), pipet tetes, pipet khusus BST, neraca analitik (Mettler Toledo AB 204), dan Vortek (Dijkstra).

3. Alat untuk KLT

Alat-alat yang digunakan untuk KLT antara lain: pipet kapiler, bejana kromatografi, alat semprot, kertas saring, dan lampu UV 254 dan 365 nm.

E. Tata Cara Penelitian 1. Determinasi tumbuhan

Determinasi dilakukan untuk memastikan jenis tumbuhan tembelekan yang akan digunakan untuk penelitian. Determinasi tumbuhan tembelekan dilakukan di Laboratorium Kebun Obat, Fakultas Farmasi Sanata Dharma Yogyakarta serta dengan menggunakan buku acuan menurut Van Stenis (1981).


(46)

2. Pengumpulan bahan

Daun tumbuhan tembelekan dikumpulkan dari Kaliurang, Yogyakarta pada bulan Agustus 2006. Daun tumbuhan tembelekan yang telah dikumpulkan diambil daunnya, dicuci dengan menggunakan air mengalir, dikeringkan dengan dijemur secara tidak langsung dengan ditutupi kain hitam. Setelah kering kemudian diserbuk dengan cara diblender.

3. Pembuatan ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan

Sebanyak 30 gram serbuk daun tumbuhan tembelekan ditimbang dan dimasukkan dalam Erlenmeyer dengan ditambah 225 ml kloroform. Erlenmeyer ditutup dengan aluminium foil kemudian diletakkan pada shaker dengan laju konstan (120 rpm) selama 24 jam lalu larutan disaring dengan kertas saring. Maserat ditampung dan disimpan pada suhu kamar sedangkan ampasnya dimaserasi lagi dengan 225 ml kloroform menggunakan shaker 120 rpm selama 24 jam, lalu disaring dan maserat ditampung untuk digabungkan dengan maserat hasil maserasi 24 jam pertama.

Maserat yang terkumpul lalu dipekatkan dengan vaccum rotary evaporator sampai kental (volume kira-kira 1/3 nya). Setelah itu, dengan menggunakan cawan porselen yang sudah ditimbang terlebih dahulu, ekstrak diuapkan di atas waterbath dengan suhu 50°C dan dengan kipas angin sampai didapatkan ekstrak kering. Ekstrak kering ini kemudian dibungkus rapat dan disimpan dalam eksikator.


(47)

4. Pembuatan air laut buatan

Air laut buatan diperoleh dengan cara melarutkan: 5,0 g natrium klorida (NaCl); 1,3 g magnesium sulfat (MgSO4); 1,0 g magnesium klorida (MgCl2); 0,3 g kalsium klorida (CaCl2); 0,2 g kalium klorida (KCl2); dan 2,0 g natrium bikarbonat (NaHCO3) dalam sebagian aquadest dengan menggunakan labu takar 1 liter. Khusus untuk magnesium sulfat dilarutkan dalam aquadest panas, sedangkan natrium bikarbonat dilarutkan dalam air bebas CO2. Bahan-bahan tersebut lalu dicampur dan ditambahkan aquadest sampai volume tepat 1 liter, sehingga diperoleh air laut buatan dengan kadar garam 5 per mil.

5. Penetasan siste artemia

Siste artemia ditetaskan dengan media air laut buatan berkadar 5 permil dalam bak penetasan artemia yang disekat menjadi 2 bagian, bagian terang dan bagian gelap, dengan lubang sekat 1 cm. Bagian gelap merupakan tempat siste artemia ditaburkan. Siste menetas setelah kira-kira 24 jam kemudian menjadi larva. Larva yang aktif akan bergerak menuju tempat yang terang melalui lubang pada sekat. Larva berumur 48 jam yang aktif inilah yang akan digunakan untuk BST.

6. Penyiapan sampel uji toksisitas

Ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan dibuat seri konsentrasi 50, 100, 200, 400, dan 800 µg/ml. Seri konsentrasi 50, 100, dan 200 µg/ml dibuat dari pengenceran larutan ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan berkonsentrasi 10 mg/ml (larutan A), sedangkan seri konsentrasi 400 dan 800 µg/ml dibuat dari pengenceran larutan ekstrak kloroform daun tumbuhan


(48)

tembelekan berkonsentrasi 1 mg/ml (larutan B). Kelompok ini merupakan kelompok perlakuan. Selain itu dilakukan pengujian terhadap kelompok kontrol, yaitu larutan kloroform yang tidak mengandung ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan. Dilakukan replikasi sebanyak 5 kali.

7. Uji toksisitas

Uji dilakukan dengan menggunakan larva artemia yang berumur 48 jam. Sepuluh ekor larva artemia yang berumur 48 jam diambil secara random, dimasukkan ke dalam flakon yang berisi sampel dengan konsentrasi tertentu dan air laut buatan sebanyak 3 ml yang telah divortex. Kemudian ditambah air laut buatan sampai 5 ml dan 1 tetes ragi (1,5 mg/5 ml) sebagai makanan. Setiap pengujian selalu disertai dengan kontrol dan tiap konsentrasi dibuat dalam 5 kali ulangan. Flakon dijaga agar selalu mendapat penerangan. Selama 24 jam, jumlah larva yang mati dihitung untuk mengetahui nilai probit dan dianalisis untuk mengetahui harga LC50 (Meyer et al., 1982).

8. Identifikasi kualitatif senyawa aktif dengan KLT

Ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan (larutan A) ditotolkan pada plat KLT (3 totol). Plat KLT dimasukkan ke dalam bejana yang telah jenuh dengan fase gerak lalu dielusi sampai jarak rambat 10 cm, kemudian diangkat dan dikeringkan. Untuk memastikan letak dan warna bercak sampel serta pembandingnya maka dilakukan deteksi dengan menggunakan pereaksi semprot yang sesuai.


(49)

a. flavonoid

1). Fase diam : selulosa

2). Fase gerak : n-butanol:asam asetat:air (4:1:5 v/v fase atas) 3). Standar : rutin

4). Deteksi : visibel, UV 254 nm dan UV 365 nm sebelum dan sesudah diuapi amonia dan dengan pereaksi AlCl3

b. triterpenoid

1). Fase diam : silika gel GF 254 (MERCK) 2). Fase gerak : toluen:etil asetat (93:7 v/v) 3). Pembanding : ekstrak etanol Liquiritiae Radix

4). Deteksi : visibel, UV 254 nm dan UV 365 nm, dan vanillin asam sulfat (pemanasan 100-110 °C, 10 menit)

F. Analisis Data

Data persentase kematian larva artemia yang diperoleh dianalisis probit SPSS untuk menghitung harga LC50. Jika pada kontrol ada larva artemia yang mati, maka persen kematian ditentukan dengan rumus Abbot (Kumar, Prasad, Singh, 2005).

% 100 %

100

% %

% ×

− =

kontrol kematian

kontrol kematian

perlakuan kematian

terkoreksi kematian


(50)

29 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Determinasi Tanaman

Tujuan dilakukan determinasi tanaman adalah untuk memastikan kebenaran tanaman yang digunakan dalam penelitian ini. Determinasi dilakukan di Laboratorium Kebun Obat, Fakultas Farmasi Sanata Dharma Yogyakarta serta dengan menggunakan buku acuan (Van Steenis, 1981). Berdasarkan determinasi yang telah dilakukan (lampiran 1), diperoleh kesimpulan bahwa tumbuhan yang digunakan adalah benar-benar tumbuhan Lantana camara L..

B. Pengumpulan Bahan dan Penyarian Zat Aktif

Daun tumbuhan tembelekan diperoleh di Kaliurang, Yogyakarta pada bulan Agustus 2006. Tumbuhan yang telah dikumpulkan diambil daunnya. Daun yang diambil merupakan daun ke-4 sampai ke-5 dari ujung tangkai. Pemilihan ini bertujuan agar daun yang digunakan memiliki umur yang relatif sama sehingga kadar senyawa aktifnya tidak berbeda secara bermakna (Anonim, 1985). Daun-daun tersebut kemudian dicuci dengan air mengalir agar tanah dan pengotor lainnya dapat terlepas. Kemudian daun dikeringkan dengan dijemur secara tidak langsung dengan ditutup kain hitam. Tujuan pengeringan secara tidak langsung adalah agar senyawa aktif yang terdapat di dalam tanaman tidak rusak karena paparan panas, sedangkan tujuan pengeringan adalah untuk mempermudah penyerbukan simplisia, menurunkan kadar air sehingga tidak ditumbuhi jamur, meminimalkan reaksi enzimatis, dan untuk menjamin agar kualitasnya tetap baik sehingga dapat disimpan dalam waktu ya ng cukup lama (Anonim, 1986).


(51)

Pengeringan dilakukan hingga kadar air dalam simplisia kurang dari 10% yang ditandai dengan daun yang mudah hancur ketika diremas. Simplisia yang telah kering kemudian diserbuk menggunakan blender. Penyerbukan ini bertujuan untuk memperluas permukaan yang kontak dengan larutan penyari sehingga kandungan kimia yang dapat terlarut selama proses penyarian akan lebih banyak dan penyarian dapat berjalan lebih sempurna (Anonim, 1986).

Pada penelitian ini penyarian dilakukan dengan metode maserasi dengan larutan penyari kloroform. Maserasi merupakan salah satu metode ekstraksi dengan cara dingin. Pemilihan metode ini dipilih didasarkan pada pelarut yang digunakan, yaitu kloroform yang mempunyai sifat sangat mudah menguap pada suhu kamar, sedangkan kloroform dipilih sebagai pelarut karena kloroform mampu menarik senyawa aglikon flavonoid yang kurang polar (Markham, 1988). Selain itu kloroform merupakan salah satu pelarut yang biasa digunakan untuk mengekstraksi senyawa golongan terpenoid yang bersifat kurang polar (Harborne, 1984).

Pada proses maserasi, bahan tumbuhan direndam dalam suatu wadah tertutup rapat selama kurang lebih 48 jam dan selama masa perendaman tersebut dilakukan penggojokan sesering mungkin. Penggojokan berulang ini memungkinkan pelarut masuk ke seluruh permukaan bahan serbuk dan kesetimbangan konsentrasi bahan ekstraktif yang lebih cepat ke dalam penyarian karena keadaan diam selama maserasi menyebabkan turunnya perpindahan bahan aktif.


(52)

Pada penelitian ini digunakan 30 gram serbuk daun tembelekan dan 225 ml kloroform (perbandingan 10 : 75) yang dimasukkan dalam Erlenmeyer yang kemudian ditutup rapat dengan aluminium foil. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya oksidasi senyawa dan agar kloroform tidak menguap sehingga penyarian dapat maksimal. Setelah itu Erlenmeyer diletakkan pada

shaker dengan laju konstan (120 rpm) selama 2 x 24 jam, dengan tiap 24 jam disaring dan diganti pelarutnya. Penyarian dilakukan selama 2 x 24 jam untuk memastikan bahwa zat aktif yang terkandung dalam daun tumbuhan tembelekan sudah tersari dengan sempurna.

Maserat yang didapat kemudian dikeringkan vaccum rotary evaporator

hingga sepertiga bagiannya dan dilanjutkan dengan dipekatkan dalam wadah cawan porselen menggunakan waterbath dengan suhu 50° C. Vaccum rotary evaporator digunakan karena alat ini dapat diatur tekanannya (474 mmHg untuk kloroform), sehingga diharapkan hanya kloroform saja yang menguap. Suhu 50° C merupakan suhu optimal untuk penguapan di atas waterbath.

Ekstrak kering yang didapatkan dari proses ekstraksi di atas sebanyak 1,32 gram. Ekstrak kering dalam cawan porselen ini kemudian ditutup dengan aluminium foil dan dimasukkan ke dalam eksikator agar tidak ada udara, air, ataupun uap air yang dapat masuk yang dapat menyebabkan ekstrak menjadi rusak. Selain itu eksikator ini juga dapat menarik sisa air dalam ekstrak sehingga ekstrak akan semakin kering jika pengeringan yang dilakukan sebelumnya kurang sempurna.


(53)

C. Pembuatan Air laut Buatan

Air laut buatan yang digunakan untuk menetaskan siste dan sebagai tempat hidup artemia berkadar 5 per mil (1 ml aquadest mengandung 5 mg natrium klorida) agar dicapai hasil penetasan yang optimal. Apabila digunakan air berkadar garam tinggi dikhawatirkan siste tidak akan menetas karena tekanan osmose di luar telur lebih tinggi, sehingga siste tidak dapat menyerap air yang cukup untuk proses metabolismenya.

Pada pembuatan air laut buatan magnesium sulfat dilarutkan dalam aquadest panas karena magnesium sulfat lebih mudah larut dalam air panas, sedangkan natrium bikarbonat dilarutkan dalam air bebas CO2. Agar mencegah kekeruhan, maka larutan natrium bikarbonat dalam air bebas CO2 tersebut dicampurkan terakhir kali dengan bahan lainnya. Penambahan natrium bikarbonat bertujuan untuk mempertahankan pH air laut buatan agar tetap berkisar antara 8-9. pH berpengaruh terhadap penetasan siste karena pemecahan cangkang siste dibantu oleh kegiatan enzim penetasan yang membutuhkan pH sekitar 8-9.

D. Penetasan Siste

Siste artemia yang kering (kadar air kurang dari 10%) berisi embrio dalam keadaan diapauze (metabolisme terhenti untuk sementara). Sebelum ditetaskan, siste artemia ini direndam dalam aquadest selama satu jam sehingga terjadi penyerapan air ke dalam siste. Penyerapan ini berlangsung secara hiperosmotik (tekanan osmose di dalam siste lebih tinggi dibanding lingkungannya). Dalam satu jam kadar air dalam siste diperkirakan sudah mencapai 65% sehingga metabolisme embrio yang semula berada dalam keadaan


(54)

diapauze menjadi aktif kembali (Kristiana, 2005). Setelah direndam selama satu jam, siste disaring dan ditiriskan selama satu jam untuk mengurangi sisa-sisa aquadest. Kemudian telur dimasukkan ke dalam bak penetasan bagian kompartemen gelap berisi 500 ml air laut buatan yang telah diaerasi selama kurang lebih dua jam dengan aerator. Tujuan aerasi ini adalah untuk memberikan oksigen yang cukup bagi kelangsungan hidup larva artemia.

Dalam waktu 24-36 jam siste artemia akan menetas dan berkembang menjadi larva. Larva yang baru menetas (instar I) berwarna kemerah- merahan karena masih banyak mengandung cadangan makanan. Oleh karena itu, larva artemia masih belum membutuhkan makanan. Setelah larva berumur 24 jam, larva berubah menjadi instar II dan mulai mempunyai mulut, saluran pencernaan, dan dubur. Bersamaan dengan itu, cadangan makanan larva habis sehingga perlu diberi makanan berupa suspensi ragi dengan konsentrasi 1,5 mg dalam 5 ml air laut buatan.

E. Uji Toksisitas dengan BST

Metode BST dikerjakan sebagai skrining awal untuk mengetahui tingkat ketoksikan suatu senyawa dalam tanaman terhadap larva artemia. Tingkat toksisitas itu dilihat pada harga LC50, yaitu konsentrasi senyawa uji yang mampu mengakibatkan terbunuhnya 50% jumlah hewan uji. Jika nilai LC50 yang lebih kecil dari 1000 µg/ml dikatakan toksik; sebaliknya nilai LC50 yang lebih besar dari 1000 µg/ml dikatakan tidak toksik. Tingkat ketoksikan tersebut memberikan makna terhadap potensi aktivitasnya (Meyer et al., 1982).


(55)

Uji toksisitas ini menggunakan artemia yang berumur 48 jam karena pada umur 48 jam tersebut artemia telah mencapai instar 2 dan 3 di mana memiliki sensitivitas yang besar terhadap senyawa yang diuji (Carballo, Hernandez-Inda, Perez, Garcia-Gravalos, 2002). Toksisitas diperoleh dengan menghitung jumlah larva artemia yang mati setelah 24 jam perlakuan dan untuk setiap konsentrasi uji dilakukan replikasi lima kali. Berdasarkan jumlah larva yang mati, dapat ditentukan persentase kematiannya menggunakan rumus Abbot (tabel III). Adapun cara perhitungan dapat dilihat pada lampiran 5 dan 6. Kemud ian harga LC50 dihitung dengan analisis probit. Nilai probit didapat dengan mengubah prosentase kematian berdasarkan tabel probit, kemudian dibuat kurva antara log konsentrasi versus nilai probit.

Tabel III. Data kematian larva artemia karena pengaruh ekstrak kloroform daun tembelekan setelah 24 jam

Kontrol Perlakuan

Konsentrasi (µg/ml)

replikasi 50 100 200 400 800 50 100 200 400 800

1 0 0 1 0 1 3 4 6 6 8

2 0 1 1 0 0 3 3 5 7 6

3 1 1 0 0 1 3 5 6 7 7

4 0 1 0 1 1 3 4 5 5 9

5 1 0 1 0 1 1 4 4 5 8

Persentase kematian (%) 22,92 36,17 48,94 59,18 73,91

Dari data persentase kematian kemudian dihitung harga LC50 dengan metode analisis probit dengan menggunakan program komputer SPSS10.0. Analisis probit dapat digunakan dalam penentuan LC50 karena dapat memberikan nilai regresi yang menghasilkan garis linear. Berdasarkan analisis probit, maka diperoleh persamaan garis lurus: y = 1,10880x – 2,60102 seperti yang terlihat pada gambar 8.


(56)

Probit Transformed Responses

Log of KONS

3,0 2,8 2,6 2,4 2,2 2,0 1,8 1,6

Probit

, 8 , 6 , 4 , 2 0,0 -,2 -,4 -,6

-,8 Rsq = 0,9954

Gambar 8. Kurva hubungan nilai probit versus log konsentrasi ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan

Dari gambar di atas didapatkan nilai Rsq yang merupakan koefisien determinasi yang mengukur tingkat ketepatan dari regresi linier sederhana, yaitu merupakan persentase sumbangan X terhadap variasi (naik atau turunnya) Y. Dari analisis didapatkan nilai Rsq sebesar 0,9954 yang berarti bahwa persentase sumbangan X (konsentrasi ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan) terhadap variasi Y (jumlah kematian artemia) sebesar 99,54%.

Dari nilai Rsq juga dapat dihitung nilai r yaitu akar dari Rsq. Dari penelitian ini didapatkan nilai r sebesar 0,9977. Nilai r merupakan koefisien korelasi dalam hubungan dua variabel X dan Y yang mengukur kuatnya hubungan antara X dan Y. Berdasarkan tabel nilai r denga n taraf kepercayaan 95% dan derajat bebas 3 diketahui nilai r sebesar 0,878. Nilai r hasil penelitian lebih besar daripada nilai r tabel. Hal ini menunjukkan hubungan korelasi yang linier antara konsentrasi dengan nilai probit dimana meningkatnya konsentrasi diikuti dengan meningkatnya respon.


(57)

Hasil analisis probit menunjukkan nilai LC50 ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan sebesar 221,7 µg/ml. Nilai LC50 ini lebih besar dari nilai LC50 ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan hasil penelitian Sugianti (2007), yaitu 60,4 µ g/ml. Dengan demikian ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan dikatakan bersifat toksik terhadap larva artemia, tetapi lebih kurang toksik jika dibandingkan dengan ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan.

F. Hasil Uji Kualitatif Kandungan Senyawa Aktif

Metode ini dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai golongan senyawa yang terdapat dalam ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan. Pemeriksaan kandungan kimia ekstrak klororform daun tumbuhan tembelekan dilakukan terhadap senyawa golongan flavonoid dan triterpenoid. Deteksi dilakukan secara visibel, di bawah sinar UV 254 nm dan 365 nm, dan menggunakan pereaksi-pereaksi yang spesifik.

Pada KLT digunakan pereaksi-pereaksi yang terbatas macamnya, sehingga hasil yang diperoleh baru dapat memberikan informasi pendahuluan tentang golongan senyawa yang kemungkinan terdapat dalam ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan, namun belum memberikan informasi mengenai anggota golongan senyawa yang lebih terperinci. Hasil identifikasi golongan senyawa ekstrak klororform daun tumbuhan tembelekan dengan metode KLT adalah sebagai berikut:

1. Identifikasi flavonoid

Pemeriksaan flavonoid menggunakan fase diam selulosa, fase gerak BAW (4:1:5), dan pembanding rutin yang merupakan glikosida flavonol. Deteksi


(58)

yang digunakan adalah dengan sinar ultraviolet, yang merupakan deteksi umum untuk senyawa yang memiliki ikatan rangkap terkonjugasi. Flavonoid mempunyai ikatan rangkap terkonjugasi maka dapat menunjukkan pita serapan pada daerah spektrum UV. Selain itu juga dideteksi dengan uap ammonia yang menunjukkan bercak berwarna kuning yang mantap (Wagner et al.,1984). Dengan pereaksi AlCl3, flavonoid akan membentuk kompleks berwarna kuning (Mabry, 1970).

O HO OH O O OH OH rhamnoglucosyl

+ 4 NH3

O O O O O O O rhamnoglucosyl

+ 4 NH4

Gambar 9. Reaksi flavonoid dengan uap ammonia

O HO OH O O OH OH rhamnoglucosyl

+ 2 AlCl3

HO O O O O O O Al rhamnoglucosyl Cl Cl Al Cl

+ 3 HCl

Rutin

Kompleks warna kuning

Gambar 10. Reaksi flavonoid dengan pereaksi AlCl3

Tabel IV. Hasil KLT pemeriksaan flavonoid dalam ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan

Uap amonia Uap ammonia UV 365 nm AlCl3

Bercak Rf Warna Rf Warna Rf Warna

1. sampel 0,95 Hijau kuning

0,95 Coklat

kemerahan

0,95 Hijau kuning 2. rutin 0,64 Kuning 0,64 Biru gelap 0,64 Kuning


(59)

A B C

Gambar 11. Kromatogram ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan untuk pemeriksaan flavonoid dengan jarak pengembangan 10 cm.

Keterangan:

Fase diam : selulosa

Fase gerak : n-butanol:asam asetat:air (4:1:5 v/v) Deteksi : A. Uap ammonia visibel

B. Uap ammonia dengan UV 365 nm C. Pereaksi AlCl3 visibel

1. Sampel : ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan 2. Standar : rutin

Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga Rf bercak sampel dan standar berada cukup jauh dan warna kedua bercak tersebut berbeda. Harga Rf bercak sampel yaitu 0,95 dan harga Rf bercak rutin yaitu 0,64. Pada deteksi uap ammonia

visible dan deteksi dengan pereaksi AlCl3 visible, bercak sampel tampak berwarna hijau kuning sedangkan bercak rutin berwarna kuning. Pada deteksi uap amonia


(60)

UV 365 nm, bercak sampel berwarna coklat kemerahan sedangkan bercak rutin berwarna biru gelap.

Berdasarkan hasil yang diperoleh tersebut dengan kedua bercak yang memiliki harga Rf dan warna bercak yang berbeda maka ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan tidak mengandung senyawa flavonoid golongan flavono l. Pada penelitian Sugianti (2007) ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan diduga mengandung senyawa flavonoid jenis flavon atau flavonol yang tidak mengandung 5-OH.

2. Identifikasi triterpenoid

Identifikasi triterpenoid menggunakan fase diam silika GF 254, fase gerak toluene : etil asetat (93:7), dan pembanding ekstrak kloroform Liquiritiae Radix. Silika gel GF 254 mengandung gypsum (CaSO4) dan indikator flouresensi yang dapat berfluoresensi di bawah sinar ultraviolet 254 nm. Jika suatu senyawa memiliki ikatan rangkap terkonjugasi atau cincin aromatik maka bercak akan meredam pada panjang gelombang 254 nm dan akan berfluoresensi pada panjang gelombang 365 nm. Triterpenoid mengandung sedikit kromofor sehingga bercak akan memberikan warna lemah di bawah sinar UV tanpa indikator. Oleh itu digunakan indikator fluoresensi pada silika gel GF 254 untuk memperjelas bercak ketika dideteksi.

Pembanding yang digunakan adalah ekstrak kloroform Liquiritae Radix

karena komponen utama penyusun Liquiritae Radix adalah triterpenoid. Deteksi dilakukan dengan menggunakan 3 macam deteksi, yaitu dengan sinar UV 254 nm dan 365 nm, dan menggunakan pereaksi vanilin asam sulfat dengan pemanasan


(61)

110°C selama 10 menit karena vanilin asam sulfat merupakan pereaksi yang spesifik untuk triterpenoid. Triterpenoid yang bereaksi dengan vanilin asam sulfat akan memberikan warna biru, biru-violet (Wagner, 1984).

O C

H O

O H H3C

Vanilin H H O H H H O C O C CH3 C H H3C

HOOC

+ H2SO4

Lantadene + OH H O H H C O C CH3 C H

H3C

HOOC

+ HSO4 + H

O C

H O

O H H3C

+

+ H2SO4

O O C H H H C O C CH3 C H

H3C

H H O OH O CH3 HOOC O O H H H C O C C H3 C H3C

H C H

OH

OH O

CH3 HOOC

- H2O O O H H H C O C CH3 C H3C

H C H

OH O

CH3 HOOC


(62)

O O H H H C O C CH3 C H3C

H C H

O O

CH3

HOOC

H

(Warna ungu)

Gambar 12. Reaksi triterpenoid dengan vanilin asam sulfat

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat bercak sampel dan bercak pembanding yang memiliki harga Rf dan warna yang hampir sama, yaitu bercak c sampel dengan bercak b pembanding; dan bercak f sampel dengan bercak c pembanding. Bercak a sampel memiliki harga Rf hampir sama dengan bercak a pembanding namun warnanya berbeda. Bercak c sampel memiliki harga Rf 0,3 dengan warna ungu muda, sedangkan bercak b pembanding memiliki harga Rf 0,28 dengan warna ungu muda juga. Bercak f sampel memiliki harga Rf 0,89 dengan warna ungu tua dan bercak c pembandingnya memiliki harga Rf 0,87 dengan warna bercak ungu muda.

Tabel V. Hasil KLT pemeriksaan triterpenoid dalam ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan dengan deteksi vanilin asam sulfat

Sampel Pembanding

Bercak Rf Warna Rf Warna

a 0,06 Ungu muda 0,07 Merah

b 0,19 Ungu muda 0,28 Ungu muda

c *) 0,30 Ungu muda 0,87 Ungu muda

d 0,50 Ungu muda

E 0,63 Ungu muda

f *) 0,89 Ungu tua Keterangan:*) bercak senyawa triterpenoid


(63)

Gambar 13. Kromatogram ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan untuk pemeriksaan triterpenoid dengan jarak pengembangan 10 cm.

Keterangan:

Fase diam : silika gel GF 254

Fase gerak : toluene : etil asetat (93:7)

Deteksi : vanillin asam sulfat (110°C, 10 menit) 1. Sampel : ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan 2. Pembanding : ekstrak kloroform Liquiritiae Radix

Hasil uji KLT (gambar 13 dan table V) menunjukkan bahwa ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan mengandung senyawa golongan triterpenoid. Pada penelitian Sugianti (2007), ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan juga mengandung senyawa golongan triterpenoid. Triterpenoid yang terkandung dalam ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan diduga berbeda dengan triterpenoid pada ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan. Jenis triterpenoid yang terkandung dalam ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan bersifat non polar, sedangkan pada ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan


(64)

bersifat polar. Hal ini karena adanya perbedaan polaritas penyari, dimana kloroform bersifat non polar sedangkan etanol bersifat polar. Pada prinsipnya larutan penyari akan melarutkan senyawa yang memiliki kepolaran yang mirip.

Hasil KLT ini belum dapat memberikan informasi yang pasti mengenai senyawa-senyawa yang terkandung dalam ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan karena metode ini hanya metode sederhana sebagai uji awal yang memberikan kemungkinan adanya senyawa yang terdapat dalam ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan.

Berdasarkan hasil KLT di atas maka senyawa yang diduga bersifat toksik terhadap larva artemia adalah triterpenoid. Diketahui senyawa triterpenoid dapat menghambat enzim topoisomerase I dan II. Topoisomerase merupakan enzim yang berperan penting dalam transkripsi dan replikasi DNA, di antaranya dalam menguraikan untaian DNA dan untuk memasangkan DNA dengan pasangannya selama replikasi. Mekanisme kerja triterpenoid dalam menghambat replikasi DNA diduga dapat melalui dua cara yaitu dengan berikatan dengan DNA menggantikan kedudukan enzim topoisomerase, atau dengan mengikat topoisomerase sehingga DNA tidak dapat bereplikasi. Selain itu, triterpenoid ini juga dapat menghambat enzim RNA polymerase yang mengkatalis sintesis RNA. Penghambatan enzim ini akan menyebabkan kematian sel karena DNA dan protein yang tidak dapat terbentuk.


(65)

44 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan bersifat toksik terhadap larva artemia.

2. LC50 ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan sebesar 221,7 µ g/ml. 3. Ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan mengandung senyawa

triterpenoid.

B. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai toksisitas fraksi aktif dari ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan dengan BST.

2. Perlu dilakukan identifikasi lebih lanjut terhadap jenis triterpenoid yang diduga terkandung dalam ekstrak kloroform daun tumbuhan tembelekan.


(66)

45

DAFTAR PUSTAKA

Albert B., Johnson A., Lewis J., Raff M., Roberts K., and Walter P., 2002,

Molecular Biology of The Cell, fourth edition, Garland Science, Taylor & Francis Group, AS Anonim, 1985, Cara Pembuatan Simplisia, Direktorat Jandral Pengawasan Obat dan Makanan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Anonim, 1986, Sediaan Galenik, Departemen kesehatan RI, Jakarta

Anonim, 2005, Tanaman Obat Indonesia, Jakarta,

http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/view.php?id=65, diakses tanggal 12 Agustus 2006

Anonim, 2007, Artemia Salina Sea Monkeys Anatomy & Taxonomy,

http://www.captain.at/artemia-anatomy-taxonomy.php, diakses 28 Oktober 2007

Asterina, R., 1994, Pemeriksaan Flavonoid dan Verbakosid Daun Tembelekan,

Skripsi, Fakultas Farmasi ITB, Bandung

Backer, C.A. and Brink Jr., R.C.B.V.D., 1963, Flora of Java, Vol I, N.V.P. Noordoff, Groningen, The Netherlands

Carballo, J.L., Hernandez-Inda, Z.L., Perez, P., and Garcia-Gravalos, M.D., 2002,

A Comparison Between Two Brine Shrimp Assays to Detect in Vitro Cytotoxicity in Marine Natural Products, Mexico,

http://www.biomedcentral.com/1472-6750/2/17, diakses 11 Juli 2007 Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., and Posey,

L.M., 2005, Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, 6th edition, McGraw-Hill Companies Inc, USA

Harborne, J.B., 1984, Phytochemical Methods, diterjemahkan oleh Padmawinata, K., Soediro, I., ITB, Bandung

Hardjono, 1983, Kromatografi, Liberty, Yogyakarta

Hembing, W., 2000, Ensiklopedi Milenium Tumbuhan Berkhasiat Indonesia, Prestasi Insan Indonesia, Jakarta

Gringauz, A., 1997, Introduction to Medical Chemistry, How Drugs Act and Why, Wiley-VCH Inc., Canada

Khopkar, S.M., 1990, Konsep Dasar Kimia Analitik, diterjemahkan oleh Saptorahardjo, A., UI Press, Jakarta


(1)

Dipilih konsentrasi yang % kematiannya antara 20%-80%, sehingga

dipilih konsentrasi terendah yaitu 50

µ

g/ml dan konsentrasi tertinggi yaitu 800

µ

g/ml.

H. Penentuan seri konsentrasi

F =

n−1

LD

/

SD

ket:

F= faktor pengali

n= jumlah seri konsentrasi yang diinginkan

LD = konsentrasi terbesar

SD = konsentrasi terkecil

F =

5−1

800

/

50

=

4

16 = 2

Seri konsentrasi:

1. Dosis terendah =50

µ

g/ml = 0,05 mg/ml

2. 50

µ

g/ml x 2 = 100

µ

g/ml

= 0,1 mg/ml

3. 100

µ

g/ml x 2 = 200

µ

g/ml = 0,2 mg/ml

4. 200

µ

g/ml x 2 = 400

µ

g/ml = 0,4 mg/ml

5. 400

µ

g/ml x 2 = 800

µ

g/ml = 0,8 mg/ml

I. Pembuatan larutan dengan konsentrasi 50, 100, 200, 400, dan 800

µ

g/ml

Dari larutan B (1 mg/ml), dibuat seri konsentrasi

50, 100, dan 200

µ

g/ml.

Konsentrasi

(

µ

g/ml)

Jumlah yang diambil

dari larutan B (ml)

50

0,25

100

0,5


(2)

Dari larutan A (10 mg/ml), dibuat seri konsentrasi 400 dan 800

µ

g/ml.

Konsentrasi

(

µ

g/ml)

Jumlah yang diambil

dari larutan A (ml)

400

0,2

800

0,4

Lampiran 5. Jumlah kematian larva artemia

akibat pemberian ekstrak

kloroform daun tumbuhan tembelekan

A. Jumlah larva artemia yang mati tiap 10 ekor

Kontrol (

µ

g/ml)

Perlakuan (

µ

g/ml)

Replikasi

50

100

200

400

800

50

100

200

400

800

1

0

0

1

0

1

3

4

6

6

8

2

0

1

1

0

0

3

3

5

7

6

3

1

1

0

0

1

3

5

6

7

7

4

0

1

0

1

1

3

4

5

5

9

5

1

0

1

0

1

1

4

4

5

8

% rata

2

4

6

6

2

8

26

40

52

60

76

B. Data % kematian dengan umus Abbot:

Konsentrasi

(

µ

g/ml)

% kematian larva

artemia

50

22,92

100

36,17

200

48,94

400

59,18


(3)

Lampiran 6. Perhitungan data statistik SPSS 10.00 dengan menggunakan

analisis probit terhadap ekstrak klorofrom daun tumbuhan tembelekan

* * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * *

DATA Information

5 unweighted cases accepted.

0 cases rejected because of missing data. 0 cases are in the control group.

0 cases rejected because LOG-transform can't be done. MODEL Information

ONLY Normal Sigmoid is requested.

- - - - - -

* * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * *

Parameter estimates converged after 9 iterations. Optimal solution found.

Parameter Estimates (PROBIT model: (PROBIT(p)) = Intercept + BX):

Regression Coeff. Standard Error Coeff./S.E.

KONS 1,10880 ,14129 7,84756

Intercept Standard Error Intercept/S.E.

-2,60102 ,33130 -7,85100

Pearson Goodness-of-Fit Chi Square = ,315 DF = 3 P = ,957 Since Goodness-of-Fit Chi square is NOT significant, no

heterogeneity

factor is used in the calculation of confidence limits.

- - - - - -

* * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * *

Observed and Expected Frequencies

Number of Observed Expected

KONS Subjects Responses Responses Residual Prob

1,70 100,0 22,9 23,662 -,742 ,23662


(4)

2,00 100,0 36,2 35,070 1,100 ,35070

2,30 100,0 48,9 48,020 ,920 ,48020

2,60 100,0 59,2 61,185 -2,005 ,61185

2,90 100,0 73,9 73,169 ,741 ,73169

* * * * * * * * * * * * P R O B I T A N A L Y S I S * * * * * * * * * * * *

Confidence Limits for Effective KONS

95% Confidence Limits Prob KONS Lower Upper ,01 1,76898 ,35609 4,67438 ,02 3,11582 ,75492 7,37563 ,03 4,46228 1,21550 9,85534 ,04 5,84652 1,73870 12,26016 ,05 7,28359 2,32585 14,64653 ,06 8,78186 2,97880 17,04381 ,07 10,34711 3,69983 19,47013 ,08 11,98393 4,49159 21,93801 ,09 13,69634 5,35703 24,45697 ,10 15,48812 6,29938 27,03472 ,15 25,76706 12,29610 41,02038 ,20 38,61546 20,84839 57,34100 ,25 54,63779 32,65328 76,75927 ,30 74,61994 48,58012 100,30761 ,35 99,60654 69,65206 129,54313 ,40 131,01210 96,96280 166,96580 ,45 170,79222 131,53475 216,68468 ,50 221,71701 174,31303 285,28599 ,55 287,82593 226,63657 382,84405 ,60 375,22054 291,10559 524,73179 ,65 493,52616 372,43449 735,90608 ,70 658,78407 478,58878 1060,39000 ,75 899,71493 623,32700 1582,87657 ,80 1273,02447 832,51681 2484,79129 ,85 1907,80113 1161,87993 4219,80556 ,90 3173,94378 1760,85525 8246,64364 ,91 3589,16479 1946,05287 9699,27307 ,92 4102,03075 2169,07875 11570,38231 ,93 4750,93493 2443,55503 14049,07723 ,94 5597,72475 2790,90318 17452,92489 ,95 6749,20365 3247,12527 22356,60298 ,96 8408,14598 3878,46695 29911,65222 ,97 11016,43483 4823,98237 42794,67622 ,98 15777,03014 6444,58396 68916,64261 ,99 27789,17398 10166,52366 146136,93791


(5)

Probit Transformed Responses

Log of KONS

3,0 2,8 2,6 2,4 2,2 2,0 1,8 1,6

Probit

,8

,6

,4

,2

0,0

-,2

-,4

-,6


(6)

BIOGRAFI PENULIS

Aprilia Prahara dilahirkan di Surakarta pada tanggal

19 April 1986 sebagai putri pertama dari pasangan

Eric Prahara dan Lanny Setiawati. Penulis menempuh

pendidikan di Taman Kanak-Kanak Xaverius II pada

tahun 1990-1992, dan pada tahun 1998 menyelesaikan

pendidikan di Sekolah Dasar Xaverius II Jambi. Pada

tahun 1998-2000, penulis menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Pertama

Xaverius I Jambi, dan menyelesaikan tahun terakhir masa Sekolah Menengah

Pertama di Sekolah Menengah Pertama Kristen Satya Wacana Salatiga. Pada

tahun 2001-2004 penulis menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Umum

Kristen Satya Wacana Salatiga. Pada tahun 2004, penulis melanjutkan pendidikan

ke jenjang Strata Satu (S1) Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta. Selama kuliah penulis pernah menjadi panitia Seminar Nasional

“Terapi Kanker dan Pengelolaan Sitostatika”.