Dinamika kekerasa etnis di Yogyakarta dan dampak sosio psikologisnya pada mahasiswa mahasiswa yang berasal dari Indonesia Timur

(1)

DINAMIKA KEKERASAN ETNIS DI YOGYAKARTA DAN DAMPAK SOSIO-PSIKOLOGISNYA PADA

MAHASISWA-MAHASIWA YANG BERASAL DARI INDONESIA TIMUR

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh :

Gregorius Septian Agung Renggi 109114142

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

iv

MOTTO

“Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan Jalanmu.” (Amsal 3:6)

Dari malam yang menyelimutiku, sehitam lubang yang dalam,

Aku berterimakasih kepada Tuhan di manapun ia berada Atas jiwaku yang tak terkalahkan.

Di dalam keadaan yang menimpaku. Aku tak mengeluh ataupun menangis.

Di Bawah tempaan Takdir. Jiwaku berdarah namun tak terpatahkan. Di balik tempat amarah dan air mata ini.

Hanya mengintip horor kematian. Namun ancaman bertahun-tahun akan menemukanku tanpa rasa takut.

Seberapapun kuatnya gerbang. Seberapapun beratnya hukuman.

Aku adalah Penguasa takdirku Aku adalah kapten Jiwaku.

"Kemuliaan terbesar dalam hidup adalah bukan karena tidak

pernah jatuh, tetapi bangkit setiap kali kita jatuh"


(5)

v

P

ersembahanku

K

epada

:

Allah Tritunggal Maha Kudus Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Bunda Maria dan Santo Yosef.

Terimakasih untuk Segala Kebaikan, Kasih Setia, & Penyertaan-Mu dalam Hidupku yang Luar Biasa Indahnya.

Dan Kepada Keluarga Tercinta

Papa (Zakarias Renggi), Mama (Marthina Renggi) Adik-adikku tercinta (Fulgensius Chalpin Stilman Renggi), dan

(Fenensius Elmar Fermin Renggi)

yang Selalu Mendoakan, Mendukung, serta Memberi Semangat.


(6)

(7)

vii

DINAMIKA KEKERASAN ETNIS DI YOGYAKARTA DAN DAMPAK SOSIO-PSIKOLOGISNYA PADA MAHASISWA-MAHASIWA YANG

BERASAL DARI INDONESIA TIMUR

Gregorius Septian Agung Renggi

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dinamika dari kekerasan etnis di Yogyakarta dan dampak sosio-psikologisnya pada mahasiswa-mahasiswa yang berasal dari Indonesia timur. Penelitian ini berfokus pada empat hal yaitu faktor-faktor yang dapat menimbulkan terjadinya kekerasan antara penduduk Yogyakarta dan orang-orang dari Indonesia timur, prasangka dan diskriminasi sebagai akibat dari kekerasan, dampak sosio-psikologis yang dialami para mahasiswa yang berasal dari Indonesia Timur, dan upaya penyesuian diri agar tidak terjadi lagi kekerasan etnis di Yogyakarta. Pendekatan kualitatif deskriptif digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut. Penelitian ini melibatkan 4 mahasiswa yaitu dua mahasiswa asal NTT dan dua mahasiswa asal Papua yang mendapatkan perlakuan diskriminasi dan tidak melakukan kekerasan etnis di Yogyakarta. Subjek dipilih menggunakan criterion

sampling yaitu dengan kriteria mahasiswa usia antara 18-23 tahun, pernah mengalami kekerasan

ataupun diskriminasi dari warga Yogyakarta. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa ada empat faktor yang mengakibatkan terjadinya kekerasan etnis seperti, perbedaan antar individu, perbedaan budaya, bentrokan kepentingan, dan persaingan. Terdapat tiga bentuk pengucilan masyarakat seperti tidak diterima tinggal di kos-kosan, ditolak teman kelas, dan diremehkan masyarakat. Dampak sosio-psikologis terdiri dari enam bentuk seperti, harga diri rendah, kecemasan, depresi, stress pasca trauma, perasaan malu, dan tertekan. Selain itu didapatkan data berkaitan dengan upaya-upaya positif seperti membangun sikap ramah, mau menyesuaikan diri, menaati peraturan lalu lintas dan upaya bersama komunitas melalui pelayanan masyarakat serta sangsi tegas kepada mahasiswa yang membuat keributan di Yogyakarta.


(8)

viii

DYNAMICS OF ETHNIC VIOLENCE IN YOGYAKARTA AND IMPACT ON SOCIO-PSYCHOLOGICALLY THOSE STUDENTS EAST FROM

INDONESIA

Gregorius Septian Agung Renggi

ABSTRACT

This study aims to describe the dynamics of ethnic violence in Yogyakarta and socio-psychological impact on students who come from eastern Indonesia. This research focuses on four issues of the factors that can lead to violence between residents of Yogyakarta and the people from eastern Indonesia, prejudice and discrimination as a result of violence, socio-psychological impact experienced by students from eastern Indonesia, and efforts adjusting themselves to prevent further ethnic violence in Yogyakarta. Qualitative descriptive approach used to answer the research questions. The study involved four students: two students from NTT and two students from Papua who get discriminated against and do not do ethnic violence in Yogyakarta. Subjects selected using criterion sampling that the criteria students aged between 18-23 years, had experienced violence or discrimination of people of Yogyakarta. These results indicate that there are four factors that have led to violence such as ethnic, inter-individual differences, cultural differences, clashes of interests, and competition. There are three forms of exclusion such communities are not welcome to stay in the boarding house, rejected classmates, and underestimated the public. Socio-psychological impact consists of six forms such as, low self esteem, anxiety, depression, post traumatic stress, shame, and distress. In addition, the data obtained with regard to positive efforts such as building a friendly attitude, willing to conform, obey traffic laws and efforts with the community through community service and firm sanctions to students who make a scene in Yogyakarta.


(9)

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, Bunda Maria dan Santo Yosep atas rahmat dan penyertaan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulis menyadari bahwa masih ada kekurangan dalam skripsi ini. Walaupun demikian, penulis bersyukur karena banyak pihak turut berperan serta dalam mendukung dan membantu penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu dari lubuk hati terdalam dan dengan segala kerendahan hati, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

2. Ratri Sunar A., M.Si. selaku Ketua Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

3. Drs. H. Wahyudi, M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi yang bersedia meluangkan banyak waktu dan penuh kesabaran telah membimbing penulis selama penyusunan skripsi serta memberikan inspirasi atas skripsi ini.

4. P. Henrietta PDADS., M.A. selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing selama penulis menempuh studi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

5. Monica Eviandaru M., M. App. Psych yang telah memberi masukan dan informasi kepada penulis berkaitan dengan penelitian kualitatif dan fenomena sosial.


(11)

xi

6. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah membimbing dan menambah wawasan bagi penulis di bidang psikologi.

7. Semua Karyawan di Psikologi Universitas Sanata Dharma, khususnya Mas Gandung, ibu Nanik, Mas Mudji, Mas Doni, dan Pak Gie yang telah memberikan pelayanan selama penulis menempuh studi dan tidak lupa Karyawan Perpustakaan USD yang telah memberikan fasilitas serta kemudahan kepada penulis dalam memperoleh informasi yang dibutuhkan.

8. Papa Zakarias Renggi dan Mama Marthina Fernatyanan yang penulis Cintai. Terimakasih atas doa, semangat serta dukungan secara moril maupun materil.

9. Adik-adikku yang terkasih dan kubanggakan Fulgensius Chalpin Stilman Renggi dan Fenensius Elmar Fermin Renggi. Terimakasih sudah mendoakan, dan mendukung kakakmu ini.

10. Mama Habeldina (almarhumah), Tete (almarhum) dan Nene Fernatyanan (almarhumah), Tete (almarhum) dan Nene Pati, Muda Berhmans (almarhum) dan semua nenek moyang yang sudah doakan dari surga.

11. Keluarga besar di Jayapura, Ende-Flores, Kupang, Jakarta yang selalu memberi dukungan dan doa bagi penulis.


(12)

xii

12. Keempat subjek penelitian yang telah bersedia diwawancarai selama proses penelitian berlangsung. Terimakasih atas ketulusan kalian teman-teman.

13. Segenap umat di Gereja Kristus Terang Dunia Waena yang telah mendukung, mendoakan serta memotivasi penulis selama penyelesaiaan skripsi.

14. Kekasih hati Maria Gretty Huwae yang telah bersama menemani dalam susah dan senang selama menjalani pendidikan di Fakultas Psikologi Sanata Dharma. Tuhan memberkati segala kebaikan dan masa depanmu.

15. Teman-teman kelas D angkatan 2010, dan semua teman-teman angkatan 2010 yang telah mendukung dan menemani selama kita menempuh matakuliah-matakuliah yang menyenangkan di Fakultas Psikologi.

16. Sahabat-sahabat Yosi Virargo, Satya, Ryan, Damar, Leo, Dita, Rendi, Grego, Stefanus Sampeako, Cahyo, Akbar, Yuyu, Yosep. Terima kasih karena sudah menemani, mendukung, canda-tawa bersama, dan menjadi tempat curahan hati penulis selama menjalani kuliah.

17. Teman-teman Psikologi baik itu kakak angkatan maupun adik angkatan.

18. Teman-teman Vertigostic : Sandi, Vincent, Uli Silaen, Daning, Aldo, Disty, Koko Yosua Karmali. Terimakasih telah mendukung, memotivasi dan membantu mengembangkan talenta dalam.


(13)

(14)

xiv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAM PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... Error! Bookmark not defined. KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR TABEL ... xviii

DAFTAR SKEMA ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 13


(15)

xv

B AB II TINJAUAN PUSTAKA ... 15

A. Tinjauan Konseptual Dampak Sosio-Psikologis ... 15

1. Memahami Pengertian Dampak Sosio-Psikologis ... 15

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Munculnya Dampak Psikologis ... 17

a. Faktor Internal ... 17

b. Faktor Eksternal ... 20

3. Bentuk-bentuk Dampak Sosio-Psikologis Akibat Kekerasan ... 21

B. Tinjauan Konseptual tentang Mahasiswa-Mahasiwi Remaja Korban Kekerasan yang Berasal dari Indonesia Timur ... 28

1. Remaja ... 28

2. Korban ... 32

3. Kelompok Etnis ... 33

C. Agresi Antar Etnis ... 34

1. Faktor-faktor yang Mengakibatkan Terjadinya Konflik dan Kekerasan antar Etnis di Masyarakat ... 36

2. Bentuk-bentuk Kekerasan Antar Etnis ... 43

3. Akibat Sosio-Psikologis dari Kekerasan ... 45

D. Prasangka ... 46

1. Pengucilan Sosial ... 47


(16)

xvi

E. Kerangka Penelitian: Kekerasan Etnis di Yogyakarta dan Dampak Sosio-Psikologis pada Mahasiswa-mahasiwi

asal Indonesia Timur... 49

F. Pertanyaan Penelitian ... 52

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 54

A. Jenis Penelitian ... 54

B. Fokus Penelitian ... 55

C. Definisi Operasional ... 56

D. Subjek Penelitian ... 57

E. Metode Pengumpulan Data ... 58

1. Observasi ... 58

2. Wawancara ... 60

F. Prosedur Analisis Data ... 63

G. Uji Kesahihan dan Keandalan ... 66

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 74

A. Proses Penelitian ... 74

1. Persiapan Penelitian ... 74

2. Pelaksanaan Penelitian ... 75

3. Proses Analisis Data ... 78

4. Jadwal Pengambilan Data ... 79

B. Profil Subjek ... 83

1. Subjek 1 (AT) ... 83


(17)

xvii

3. Subjek 3 (AS) ... 110

4. Subjek 4 (MR) ... 121

C. Rangkuman Tema Temuan Penelitian ... 137

D. Deskripsi Tema ... 139

1. Faktor-Faktor yang Mengakibatkan Terjadinya Kekerasan Etnis di Yogyakarta ... 139

2. Prasangka dan Diskriminasi ... 146

3. Dampak Sosio-Psikologis dari diskriminasi dan Kekerasan Etnis di Yogyakarta ... 147

4. Upaya Para Subjek dan Komunitas untuk Mengurangi Kekerasan Etnis di Yogyakarta ... 153

E. Pembahasan ... 156

1. Temuan Tambahan ... 162

BAB V PENUTUP ... 165

A. Kesimpulan ... 165

B. Keterbatasan Penelitian ... 166

C. Saran ... 166

1. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 166

2. Bagi Para Mahasiswa dan Perantau yang Berasal dari Indonesia Timur ... 167

3. Bagi Warga Yogyakarta ... 167

DAFTAR PUSTAKA ... 168


(18)

xviii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Panduan Wawancara tentang Dinamika Kekerasan Etnis dan

dampak Sosio-Psikologis yang Dialami Subjek ... 61

Tabel 2. Jadwal Wawancara dengan Subjek 1 (AT) ... 80

Tabel 3. Jadwal Wawancara dengan Subjek 2 (YD)... ... 81

Tabel 4. Jadwal Wawancara dengan Subjek 3 (AS) ... 81

Tabel 5. Jadwal Wawancara dengan Subjek 4 (MR) ... 82

Tabel 6. Rangkuman Tema Temuan Penelitian ... 137


(19)

xix

DAFTAR SKEMA

Skema 1. Kerangka Penelitian : Dinamika Kekerasan Etnis dan Dampak Sosio-Psikologis Pada Mahasiswa-Mahasiswa

asal Indonesia Timur ... 51 Skema 2. Kerangka Hubungan antara Faktor-faktor, Prasangka

dan diskriminasi, Dampak Sosio-Psikologis dan Upaya

Mencegah terjadinya kekerasan etnis ... 164 Skema 3. Dinamika Kekerasan Etnis dan Dampak Sosio-Psikologis

pada Subjek 1 (AT) ... 175 Skema 4. Dinamika Kekerasan Etnis dan Dampak Sosio-Psikologis

pada Subjek 2 (TD) ... 177 Skema 5. Dinamika Kekerasan Etnis dan Dampak Sosio-Psikologis

pada Subjek 3 (AS) ... 179 Skema 6. Dinamika Kekerasan Etnis dan Dampak Sosio-Psikologis


(20)

xx

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Dinamika Kekerasan Etnis di Yogyakarta dan Dampak

Sosio-Psikologis pada Subjek 1 (AT) ... 174 Lampiran 2 Dinamika Kekerasan Etnis di Yogyakarta dan Dampak

Sosio-Psikologis pada Subjek 2 (YD) ... 176 Lampiran 3 Dinamika Kekerasan Etnis di Yogyakarta dan Dampak

Sosio-Psikologis pada Subjek 3 (AS)... 178 Lampiran 4 Dinamika Kekerasan Etnis di Yogyakarta dan Dampak

Sosio-Psikologis pada Subjek 4 (MR) ... 180 Lampiran 5 Protokol Wawancara ... 182 Lampiran 6 Transkrip Verbatim Wawancara dan Analisis

Data Subjek 1 (AT) ... 184 Lampiran 7 Transkrip Verbatim Wawancara dan Analisis

Data Subjek 2 (YD) ... 196 Lampiran 8 Transkrip Verbatim Wawancara dan Analisis

Data Subjek 3 (AS)... 209 Lampiran 9 Transkrip Verbatim Wawancara dan Analisis

Data Subjek 4 (MR) ... 222 Lampiran 10 Surat Pernyataan Persetujuan Wawancara Subjek 1 (AT) .. 233 Lampiran 11 Surat Keterangan Keabsahan Hasil Wawancara


(21)

xxi

Lampiran 12 Surat Pernyataan Persetujuan Wawancara Subjek 2 (YD) .. 237 Lampiran 13 Surat Keterangan Keabsahan Hasil Wawancara

Subjek 2 (YD) ... 239 Lampiran 14 Surat Pernyataan Persetujuan Wawancara Subjek 3 (AS) ... 241 Lampiran 15 Surat Keterangan Keabsahan Hasil Wawancara

Subjek 3 (AS) ... 243 Lampiran 16 Surat Pernyataan Persetujuan Wawancara Subjek 4 (MR) . 245 Lampiran 17 Surat Keterangan Keabsahan Hasil Wawancara


(22)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada Era globalisasi dan modern ini, konflik dan kekerasan sering sekali terjadi. Hampir setiap hari di media cetak maupun elektronik

memberitakan tentang penembakan, perampokan, pembacokan, dan

penyerangan antar geng yang menelan korban jiwa (Berkowitz, 1995). Maraknya konflik dan kekerasan di masyarakat mengakibatkan kerugian bagi para korbannya mulai dari melukai hingga menghilangkan nyawa manusia (Sarwono, 2009).

Konflik dan kekerasan sebenarnya bukan baru saja ini terjadi (Rahman, 2013). Konflik dan kekerasan etnis di Indonesia sejak lama terjadi misalnya konflik Poso, konflik Sanggoledo, konflik Ambon, konflik Sambas yang terjadi pada awal milenium baru (Tohari, dkk 2011). Dampak yang dirasakan dari konflik dan kekerasan etnis pada saat itu ialah banyak korban yang meninggal dunia serta meningkatnya jumlah pengungsi yang pergi meninggalkan daerah konflik (Tohari, 2011).

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Tohari (2008), konflik dan kekerasan di Indonesia terbagi dalam delapan jenis. Konflik dan kekerasan tersebut meliputi, konflik agama, konflik etnis, konflik politik, konflik sumber daya alam, konflik sumber daya ekonomi, kekerasan rutin (tawuran,


(23)

penghakiman massa, pengeroyokan), konflik antar aparat negara, dan lain-lain. Berdasarkan data presentase konflik dan kekerasan di Indonesia yang terjadi dari tahun 2008 hingga 2010, kekerasan etnis yang terjadi sekitar 2,2 % dari total keseluruhan. Itu berarti jumlah kekerasan etnis yang terjadi sejak tahun 2008 hingga 2010 sebanyak 90 kali dan tiap tahunnya terjadi 30 kali kasus konflik dan kekerasan etnis yang terjadi di Indonesia.

Konfik dan kekerasan etnis masih terjadi di kota Yogyakarta. Sebagai kota pelajar dan kota yang menjunjung keberagaman, masih marak terjadi konflik dan kekerasan antara mahasiswa asal Indonesia Timur dengan warga Yogyakarta. Pada tanggal 6 Mei 2013, dua Tentara Nasional Indonesia dikeroyok oleh 4 mahasiswa Papua yang sedang menjalani kuliah di Yogyakarta (Hasan, 2013). Selain itu, seorang mahasiswa asal Indonesia Timur melakukan tindakan kriminal yaitu mengamuk dan memecahkan kaca di Mapolsek Mergangsan pada hari rabu 9 Oktober 2013 (Fernandez, 2013). Kekerasan lain yang terjadi adalah tanggal 8 Mei 2012 terjadi pembacokan di Babarsari Yogyakarta. Awal mula kejadian ketika mahasiswa asal Timor Leste tidak mau membayar parkir di depan sebuah cafe. Karena emosi, mahasiswa tersebut kembali ke asrama dan mengajak rombongan teman-temannya sambil membawa sebilah parang. Sesampainya di cafe, mahasiswa tersebut membacok tukang parkir yang saat itu berjaga (Surya, 2012). Pada malam yang sama tidak jauh dari lokasi kejadian, terjadi juga pembacokan 2 orang pemuda dan pemudi di daerah selokan mataram. Pada waktu yang


(24)

berurutan, sebuah ATM di depan Sekolah Tinggi YKPN, dibobol dan kemudian dirusak (Surya, 2012).

Selain kasus kekerasan di atas, kasus penembakan yang terjadi di Lapas Cebongan merupakan salah satu kasus kekerasan menyangkut etnis di Yogyakarta. Penembakan yang terjadi di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 23 Maret 2013 dilakukan oleh beberapa anggota kopasus terhadap warga NTT karena motif balas dendam. Empat korban penembakan merupakan pelaku pengeroyokan seorang anggota kopasus

bernama Heru Santosa yang tewas di Hugo‟s Café beberapa hari sebelumnya.

Keempat korban tersebut merupakan perantau asal Nusa Tenggara Timur (Iwe, 2013).

Berdasarkan media elektronik dan media cetak, konflik dan kekerasan etnis di Yogyakarta memberi dampak psikologis seperti traumatik dan ketakutan bagi mahasiswa asal NTT lainnya yang tidak melakukan kekerasan yang saat ini kuliah di Yogyakarta. Perasaan ketakutan dan trauma tersebut muncul karena beredar isu melalui pesan singkat SMS dan blackberry messenger (BBM) akan adanya sweeping terhadap masyarakat asal NTT. Dari pemberitaan koran SINDO, salah seorang mahasiswa asal NTT yang berhasil ditemui di RSUP Sardjito Yogyakarta, bernama Max Nani berumur 26 tahun mengaku pasca kejadian penembakan ini, mahasiswa dan masyarakat asal NTT yang berada di DIY merasa trauma dan ketakutan (Hanafi, 2013). Ketakutan tersebut membuat mereka mengungsi ke kerabat yang ada di


(25)

Malang, Solo, dan Surabaya. Separuh dari 10 ribu mahasiswa NTT, terutama dari Kupang, melakukan eksodus (Maharani, 2013).

Dampak yang dirasakan di atas sesuai dengan penelitian yang dilakukan para ahli misalnya, konflik dan kekerasan di masyarakat menyangkut suku maupun etnis, ternyata memberi dampak sosio-psikologis bagi kaum minoritas yang mewakili etnis tertentu (Cooley & Quille, 2001). Selain itu, penelitian yang dilakukan Mahoney (2004) di Caribbean mengungkapkan bahwa ada korelasi yang kuat antara maraknya kekerasan dan gangguan stres pasca trauma (Post Traumatic Stress Disorder). Penelitian lain juga melihat adanya implikasi hubungan antara kekerasan dengan masalah sosio-psikologis seperti stress pasca trauma, depresi, penyalahgunaan Zat, maupun agresi (Bingenheimer, Brennan, & Earls, 2005; Goldstein, Walton, Cunningham, Trowbridge, & Maio, 2007).

Penelitian yang dilakukan oleh Horowitz (2005), di Amerika menunjukan bahwa, ada hubungan antara kekerasan yang terjadi di masyarakat dengan kondisi psikologis anak-anak dan remaja. Penelitian ini menunjukan bahwa, dampak kekerasan yang terjadi di masyarakat dapat menimbulkan masalah psikologis seperti konsentrasi buruk, dan menimbulkan kecemasan. Kondisi kecemasan, traumatik, hingga berdampak pada masalah sosial seperti agresi, dipicu oleh faktor-faktor seperti, kekerasan yang langsung disaksikan oleh anak-anak atau remaja, memiliki kedekatan dengan


(26)

korban, hingga lingkungan tempat tinggal yang berada di wilayah konflik (Jenkins dalam Mahoney 2008).

Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat dampak psikologis yang dirasakan mahasiswa asal Indonesia Timur yang tidak melakukan kekerasan namun menjadi korban dari maraknya konflik dan kekerasan antara orang-orang Timur dengan warga Yogyakarta. Untuk itu peneliti melakukan wawancara singkat terhadap dua mahasiswa asal Papua dan dua mahasiswa asal NTT untuk melihat adanya tanda-tanda dampak psikologis dari fenomena kekerasan yang terjadi, sekaligus membuktikan pemberitaan media di atas. Berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan pada waktu dan tempat berbeda, ditemukan bahwa keempat subjek merasa sedih, terpukul, karena warga Yogyakarta telah memberi penilaiaan negatif terhadap semua mahasiswa asal Indonesia Timur yang sedang menjalani kuliah di Yogyakarta.

Padahal menurut para mahasiswa tersebut, “tidak semua orang Papua atau

NTT adalah orang yang keras, mudah marah, maupun bertindak seenaknya di tempat rantauaan. Hanya beberapa mahasiswa saja yang kebetulan berasal dari

Timur Indonesia”. Walker dan Gresham (1997) berpendapat bahwa diskriminasi ras dan etnik terhadap individu maupun kelompok minoritas, dapat menjadi pemicu timbulnya masalah internal seperti kecemasan, depresi, traumatik hingga dapat memicu masalah eksternal seperti agresi, maupun melakukan tindak kriminal.


(27)

Sangat disayangkan bahwa akibat dari kekerasan yang dilakukan oleh beberapa orang yang berasal dari Indonesia Timur (Papua, NTT, Maluku), membuat warga Yogyakarta semakin membentuk prasangka negatif bagi semua mahasiswa asal Indonesia Timur yang tinggal di Kota Yogyakarta. Ada pengalaman yang dialami oleh teman peneliti ketika ditolak oleh pemilik kos walaupun masih ada kamar kosong di kos tersebut. Penolakan yang diterimanya hanya karena dia berasal dari NTT. Waktu itu bapak pemilik kos

bertanya, “masnya berasal dari mana?” Teman saya menjawab, “Flores Pak!”.

Oh, “NTT yah”, jawab bapak pemilik kos, “aduh gimana ya mas ya, saya kapok punya anak kos dari Timur” (Timur baginya merujuk ke Papua, NTT

dan Maluku). “Pusing saya ngurus masalah tiap hari karena mabuk lalu berantem”. Teman saya mencoba membela diri dan menyatakan bahwa itu hanya oknum, dan tidak semua mahasiswa asal NTT bertabiat buruk, tapi tetap saja bapak itu menolak teman saya. Perasaan sedih dan kecewa terhadap penilaiaan negatif tersebut membuatnya terpukul. Stereotype terhadap individu maupun kelompok tertentu, berdampak pada pengucilan sosial dan konflik sosial (Putra & Pitaloka, 2012). Fenomena kekerasan mengakibatkan warga

Yogyakarta membentuk stereotype dan membuat mahasiswa yang berasal dari

Indonesia Timur mengalami pengucilan dan diskriminasi.

Konflik dan kekerasan etnis juga dialami oleh mahasiswa Papua yang menjalani pendidikan di perguruan tinggi Yogyakarta. Beberapa data yang dikumpulkan oleh Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Papua (IPMAPA) adalah


(28)

tahun 2002 misalnya, warga DIY secara terang-terangan menyerang asrama mahasiswa Papua dan menghancurkan kaca-kaca asrama dan melukai seorang mahasiswi asal Merauke. Kemudian pada tahun 2002 juga mahasiswa asal Biak Mesak Ronsumre dibunuh di jalan Solo. Pada bulan Agustus 2004, seorang mahasiswa Magister Manajemen Agribisnis Universitas Gajah Mada, dipukul dengan balok pada otak kecilnya oleh warga hingga dirawat di rumah sakit selama dua minggu. Kekerasan ini mengakibatkan mahasiswa tersebut mengalami gangguan lupa ingatan. Selain itu pada tahun 2007, seorang mahasiswa asal pegunungan bintang diracuni sehingga meninggal dengan mengenaskan di tengah rumah warga. Aksi ini adalah salah satu bentuk penyerangan yang terang-terangan oleh warga (Degei, 2007).

Perbedaan antar invidu dan perbedaan budaya, menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan konflik dan kekerasan etnis antar kelompok, saling men-stereotype-kan kelompok satu dengan kelompok lainnya (Soekanto dalam Budioyono, 2009). Bahkan menjadi sangat menyedihkan jika setiap individu yang berasal dari suku maupun etnis tertentu, diberikan label negatif. Dalam buku berjudul Psikologi Prasangka yang ditulis oleh Eka Putra dan Ardiningtiyas Pitaloka (2012), dikatakan bahwa prasangka terjadi dalam hubungannya antar kelompok bukan individu. Sedangkan individu yang menjadi sasaran dari prasangka adalah individu yang menjadi bagian kelompok etnis tertentu. Mahasiswa-mahasiswa asal Indonesia Timur merupakan bagian dari kelompok besar yaitu etnis Timur, Ambon, NTT,


(29)

Papua dan sebagainya. Teramat disayangkan jika mahasiswa yang berasal dari Indonesia Timur, yang tidak melakukan kekerasan mendapat perlakuan diskriminasi oleh warga Yogyakarta.

Untuk membuktikan bahwa ada stereotype negatif terhadap para mahasiswa asal Indonesia Timur, penulis melakukan wawancara singkat terhadap dua orang warga asli Yogyakarta yang memiliki kos-kosan. Berdasarkan hasil wawancara terhadap mereka didapatkan jawaban bahwa, kedua pemilik kos tersebut merasa tidak ingin menerima mahasiswa baru yang berasal dari Indonesia Timur. Pernyataan kedua pemilik kos tersebut dikuatkan oleh anggapan mereka bahwa mahasiswa asal Indonesia Timur baik itu yang berasal dari Papua, NTT maupun Maluku, memiliki sikap yang kurang baik, seperti sering mabuk-mabukan, suka mengganggu ketenangan dengan memutar musik keras maupun berteriak-teriak, dan kalau sudah mabuk akan meresahkan warga sekitar. Penelitian yang dilakukan Warnaen (1979) tentang stereotype antaretnis di Indonesia, menunjukan bahwa, orang Jawa khususnya Yogyakarta, menganggap orang Maluku, maupun yang berasal dari Timur Indonesia sebagai orang yang periang, menyukai pesta, agresif, dan emosional (Warnaen dalam Putra 2012).

Kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari Indonesia Timur semakin menguatkan warga Yogyakarta dalam berpandangan negatif hingga akhirnya memberi perlakuan diskriminasi terhadap para mahasiswa asal Indonesia Timur. Terbentuknya prasangka sangat erat


(30)

kaitannya dengan sejarah, emosi, pengalaman, pengetahuan yang telah dibentuk sebelumnya, dan bentuk karakteristik masyarakat (Wagner, 1993; Duveen, 1993; Scherer, 1992; Liu & Hilton, 2005; Moscovici, 2001 dalam

Eka Putra dkk, 2012; 86). Ibarat “bola salju” fenomena kekerasan yang terjadi

semakin membuat citra mahasiswa asal Indonesia Timur semakin buruk. Seperti yang sudah dipaparkan di atas, para mahasiswa asal Indonesia Timur

dianggap “suka membuat kericuhan”, “sangat emosional”, “sering mabuk

-mabukan” dan “bertindak seenaknya”. Akibatnya mereka mendapatkan perlakuan diskriminasi seperti, tidak diterima tinggal di kos-kosan, dan sebagainya. Jika stereotype dan diskriminasi terus terjadi, tentunya dapat

berdampak pada perkembangan psikologi maupun study para mahasiswa asal

Indonesia Timur yang menjalani pendidikan di Yogyakarta.

Dalam taraf perkembangannya, mahasiswa asal Indonesia Timur yang menjalani kuliah di Yogyakarta berada dalam peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Menurut Hurlock (1955) remaja adalah mereka yang berada pada usia 13-17 tahun. Monks, dkk (2003) memberi batasan usia remaja adalah 9-17 tahun. Menurut Stanley Hall (dalam Santrock, 2007; 6) usia remaja berada pada rentang 12-23 tahun. Berdasarkan batasan-batasan yang diberikan para ahli, bisa dilihat bahwa mulainya masa remaja relatif sama, tetapi berakhirnya masa remaja sangat bervariasi. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan batasan usia yang dikemukakan oleh Stanley Hall karena subjek


(31)

penelitian merupakan mahasiswa asal Indonesia Timur yang menjalani kuliah di Yogyakarta.

Masa remaja adalah masa yang ditandai oleh adanya perkembangan yang pesat dari aspek biologis, psikologis, dan juga sosialnya (Santrock, 2007). Kondisi ini mengakibatkan terjadinya berbagai disharmonisasi yang membutuhkan penyeimbangan sehingga remaja dapat mencapai taraf perkembangan psikososial yang matang dan adekuat sesuai dengan tingkat usianya. Kondisi ini sangat bervariasi antar remaja dan menunjukkan perbedaan yang bersifat individual, sehingga setiap remaja diharapkan mampu menyesuaikan diri mereka dengan tuntutan lingkungannya (Idai, 2013). Schneiders (1951) menegaskan bahwa, individu yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya mengalami kondisi yang tertekan dan tidak dapat bertindak rasional dan efektif sehingga mengakibatkan individu tersebut dapat bertindak agresif terhadap masalah yang dihadapi.

Permasalahan emosi pada masa remaja sangat menarik, sebab emosi merupakan suatu fenomena yang dimiliki oleh setiap manusia (Rosenthal dalam Burdett, 2009; 99) dan pengaruhnya sangat besar terhadap aspek-aspek kehidupan lain seperti sikap, perilaku, penyesuaian pribadi dan sosial yang dilakukan (Hurlock, 1955). Menurut G. Stanley Hall 1904 (dalam John W. Santrock 2003), masa remaja merupakan masa dimana terjadi pergulatan yang ditandai dengan konflik dan perubahan suasana hati atau yang biasa disebut dengan istilah storm and stress. Hurlock (1955) menerangkan bahwa salah


(32)

satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan orang lain diluar lingkungan keluarga. Untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja harus membuat banyak penyesuaian baru. Yang terpenting dan tersulit adalah penyesuaian diri dengan pengaruh kelompok teman sebaya agar dapat diterima dilingkungan. Rasa aman, kepercayaan, dan memberikan kebebasan untuk bereksplorasi serta menguasai lingkungan penting untuk diberikan kepada remaja agar perkembangan hidupnya menjadi sehat (Erikson, 1963 dalam Burdett, 2009).

Menurut Hurlock (1955) Untuk menjadikan remaja mampu berperan serta dan melaksanakan tugasnya, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat tidaklah mudah, karena masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Pada masa ini dalam diri remaja terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada fisik, psikis, maupun sosial. Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam berhubungan yang belum pernah ada dan harus menyesuaikan dengan orang dewasa diluar lingkungan keluarga. Untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja harus banyak penyesuaian baru. Selain itu, Hill dan Jones (1997) mengatakan bahwa, dukungan sosial dari orangtua maupun kerabat sangat penting dalam


(33)

mengatasi masalah kecemasan dan membantu perkembangan diri remaja dalam lingkungan sosialnya.

Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Pendekatan ini digunakan untuk memahami dampak sosio-psikologis yang dialami para subjek penelitian, akibat dari kekerasan etnis yang terjadi di kota Yogyakarta. Peneliti menilai bahwa pendekatan kualitatif menjadi metode penelitian yang tepat untuk memperoleh gambaran pengalaman para subjek. Melalui pendekatan kualitatif deskriptif peneliti dapat menggali secara lebih mendalam tentang dampak yang dirasakan para mahasiswa asal Indonesia Timur (subjek penelitian) yang menjadi korban dari fenomena kekerasan antara orang-orang Timur dengan warga Yogyakarta.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas maka, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apa dampak Sosio-Psikologis yang dialami mahasiswa asal Indonesia Timur dari kekerasan etnis yang terjadi di Yogyakarta dan apa tindakan preventif yang dilakukan mahasiswa Indonesia Timur agar dapat diterima oleh masyarakat Yogyakarta?


(34)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menggambarkan faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya konflik dan

kekerasan etnis di Yogyakarta;

2. Menggambarkan dampak Sosio-Psikologis yang dialami mahasiswa asal Indonesia Timur dari kekerasan yang terjadi di Yogyakarta;

3. Menggambarkan upaya yang dilakukan para mahasiswa asal Indonesia Timur agar diterima serta dapat hidup damai bersama warga Yogyakarta.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan dalam bidang psikologi, khususnya psikologi sosial, mengenai pengaruh fenomena kekerasan etnis, terbentuknya prasangka negatif, perlakuan diskriminasi hingga dampak kekerasan pada perkembangan sosio-psikologis mahasiswa asal Indonesia Timur yang berdomisili di Yogyakarta. Selain itu diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran bagi penelitian selanjutnya.


(35)

2. Manfaat Praktis

a. Bagi para mahasiswa asal Indonesia Timur agar dapat memahami fenomena kekerasan etnis di Yogyakarta dan dapat menyesuaikan diri serta berperilaku baik di Yogyakarta.

b. Bagi masyarakat Yogyakarta agar dapat memahami dampak

sosio-psikologis yang dialami mahasiswa asal Indonesia Timur akibat kekerasan dan diskriminasi yang terjadi di Yogyakarta. Selain itu kiranya juga menjadi sarana informasi untuk semakin mempererat tali persaudaraan diantara warga Yogyakarta dengan mahasiswa perantau asal Indonesia Timur.


(36)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauaan Konseptual Dampak Sosio-Psikologis

Pada bab ini akan dijelaskan tinjauan terkait dengan dinamika kekerasan etnis di Yogyakarta dan dampak sosio-psikologis yang dialami mahasiswa asal Indonesia Timur yang saat ini berada pada tahap perkembangan remaja. Tinjauaan ini tidak digunakan sebagai landasan teori melainkan sebagai konsep-konsep yang bertujuan mengarahkan peneliti dalam melakukan penelitian. Selain itu memperjelas pemahaman peneliti mengenai area konseptual yang menjadi fokus dalam penelitian ini.

1. Memahami Pengertian Dampak Sosio-Psikologis

Pada tinjauaan konseptual mengenai dampak sosio-psikologis, akan ditinjau sejumlah definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Menurut Hartley dan Hartley (1961), psikologi sosial adalah cabang ilmu-ilmu sosial yang berusaha untuk memahami perilaku individu dalam konteks interaksi sosial. Berdasarkan definisi ini, Hartley dan Hartley melihat perilaku individu dalam suatu konteks interaksi sosial (Walgito, 1978). Selain itu Sherif dan Sherif (1956) mengemukakan bahwa psikologi sosial adalah studi ilmiah tentang pengalaman dan perilaku individu dalam kaitannya dengan situasi stimulus sosial. Definisi yang dikemukakan


(37)

Sherif dan Sherif menjelaskan bahwa perilaku individu berkaitan dengan situasi sosial (Walgito, 1978).

Definisi yang lebih rinci mengenai psikologi sosial dijelaskan oleh Myers (Walgito, 1978). Menurut Myers (1983), psikologi sosial adalah studi ilmiah tentang bagaimana orang berpikir tentang pengaruh, dan berhubungan satu sama lain. Hubungan dengan orang lain tidak dapat lepas dari situasi sosialnya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2011) dampak

berarti, pengaruh kuat yang mendatangkan akibat baik negatif maupun positif. Psikologis adalah bersifat kejiwaan atau ditinjau dari segi kejiwaan. Sedangkan sosiologis adalah interaksi antara individu maupun kelompok dalam masyarakat (Sarwono, 2009).

Menurut Sherif dan Hovland dalam teori penilaiaan sosial (dalam Sarwono, 1995), seseorang membentuk situasi penting bagi dirinya. Pembentukan situasi ini mencakup faktor-faktor intern berupa motif, emosi, sikap, pengalaman masa lampau serta faktor-faktor eksternal seperti objek, orang-orang sekitar, maupun lingkungan dimana individu berada. Oleh karena itu faktor-faktor internal dan eksternal ini yang menjadi landasan dari setiap perilaku yang terbentuk.

Dari beberapa pandangan tokoh di atas mengenai dampak sosio-psikologis, dapat disimpulkan bahwa, dampak sosio-psikologis adalah akibat positif maupun negatif yang muncul sebagai hasil dari adanya


(38)

stimulus dan respon psikis yang bekerja dalam diri seseorang seperti motif, emosi, sikap, pengalaman lampau sebagai akibat dari adanya interaksi-interasi dengan lingkungan sekitar dimana individu itu berada.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Munculnya Dampak Psikologis

pada Individu

Dampak sosio-psikologis yang dialami manusia dipengaruhi oleh faktor-faktor internal maupun eksternal yang ada dalam dirinya. Faktor-faktor internal dan eksternal tersebut dikemukakan oleh Frizt Heider (dalam Huffman & Vernoy, 1958). Heider (dalam Sears dkk. 1994) mengatakan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh faktor internal yaitu motif, emosi, sikap, kemampuan, kesehatan, keinginan, sedangkan faktor eksternal seperti lingkungan umum, individu yang diajak berinterksi, tekanan sosial, dan peran yang dipaksakan. Lebih lanjut, Frizt Heider menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya dampak sosio-psikologis sebagai berikut:

a. Faktor Internal

Menurut Heider (dalam Pujiani, 2007) faktor internal adalah stimulus maupun respon yang berasal dari kondisi internal dalam diri individu. Faktor internal dalam diri individu dapat berupa :


(39)

1) Konsep Diri

Menurut Hurlock (1993), konsep diri merupakan konsep akan pengenalan diri yang dimiliki individu sebagai suatu pribadi. Konsep diri merupakan gabungan dari keyakinan yang dimiliki individu tentang dirinya yang meliputi karakteristik fisik, psikologis, dan sosial. Hurlock (1993) menambahkan bahwasanya konsep diri individu dapat menentukan keberhasilan dan kegagalan seseorang dalam hubungannya dengan masyarakat.

Konsep diri terbagi menjadi dua bagian utama yaitu citra diri dan harga diri (Malcolm H & Steve H). Citra diri merupakan gambaran sederhana mengenai diri misalnya, saya adalah kakak pertama, saya seorang mahasiswa dan sebagainya. Sedangkan harga diri merupakan penilaiaan terhadap diri misalnya, saya peramah, saya agak pandai dan sebagainya. Lebih lanjut Malcolm H & Steve H (1988) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang membentuk konsep diri adalah, reaksi dari orang lain, pembandingan dengan orang lain, peranan seseorang, identifikasi terhadap orang lain.

2) Motivasi

Motivasi berasal dari kata motif yang artinya dorongan atau kehendak (Dirgagunarsa, 1983). Menurut para ahli, motivasi merupakan kekuatan yang mendorong seseorang untuk berperilaku,


(40)

berpikir dan merasa seperti yang mereka lakukan (King, 2010). Berbeda dengan emosi yang dipicu dari luar, motif bersumber dari dalam diri individu (Atkinson dkk, 2010), misalnya motif untuk makan, memenuhi hasrat seksual dan lain sebagainya. Pada umumnya motif dapat dikategorisasikan menjadi kebutuhan untuk mempertahankan kelangsungan hidup, kebutuhan sosial, dan kebutuhan untuk memuaskan keingintahuan (Atkinson dkk, 2010). 3) Emosi

Emosi berasal dari kata Emotus atau Emovere yang artinya menggerakan yaitu sesuatu yang mendorong terhadap sesuatu (Dirgagunarsa, 1983). Selain motif, perasaan mendasar yang dimiliki manusia ialah emosi (Atkinson dkk, 2010). Seseorang dapat merasakan bahagia, marah, dan sebagainya karena kondisi emosional (Atkinson dkk, 2010). Walaupun motif dan emosi memiliki kemiripan, namun diantara keduanya memiliki perbedaan yaitu emosi dipicu dari luar sementara motif dibangkitkan dari dalam (Atkinson dkk, 2010). Atkinson (2010) Menyebutkan komponen-komponen emosi adalah respon tubuh internal, terutama yang melibatkan system saraf otonomik, keyakinan atau penilaiaan kognitif bahwa terjadi keadaan positif atau negatif tertentu, ekspresi wajah, dan reaksi terhadap emosi.


(41)

b. Faktor Eksternal

Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari lingkungan di luar diri yang meliputi dukungan sosial, lingkungan fisik ataupun sosial budaya. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan sebagai berikut:

1) Dukungan Sosial

Menurut Sarason & Pierce (dalam Baron & Byrne, 2005), dukungan sosial adalah kenyamanan secara fisik dan psikologis yang diberikan oleh orang lain. Sementara itu Frazier dan para koleganya (dalam Baron & Byrne, 2005) mengemukakan bahwa, dukungan sosial adalah hal yang bermanfaat tatkala kita mengalami stress, dan sesuatu yang sangat efektif, terlepas dari strategi mana yang digunakan untuk mengatasi stress. Adanya dukungan sosial dapat membantu menghalau penyakit dan memungkinkan seseorang untuk sembuh dari penyakitnya dengan lebih cepat (Roy, Steptoe, & Kirschbaum dalam Baron & Byrne, 2005).

Dukungan Sosial yang didapatkan dari kerabat maupun dari keluarga dapat berdampak positif pada aliran darah, kelenjar endokrin, dan sistem kekebalan (Uchino, U, & Holt L dalam Baron & Byrne, 2005). Maka dukungan sosial sangat penting bagi kondisi fisik dan psikologis pada individu.


(42)

2) Lingkungan

Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia (2011),

Lingkungan adalah daerah atau kawasan yang didalamnya semua yang memengaruhi pertumbuhan manusia atau hewan. Lingkungan dapat digambarkan sebagai lingkungan dimana individu berasa seperti lingkungan sosial, pendidikan atau budaya. Lingkungan sosial secara fisik dapat digambarkan sebagai tempat tinggal berupa asrama, panti asuhan, apartemen, kos-kosan atau rumah tinggal pada umumnya. Lingkungan pendidikan berupa sekolah atau kampus dan lain sebagainya, sedangkan lingkungan budaya merupakan sekumpulan masyarakat yang memiliki kesamaan cara pandang, dimana budaya itu sendiri dapat diartikan sebagai sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sukar diubah (Badudu dan Zein, 1994 dalam Pujiani).

3. Bentuk-bentuk Dampak Sosio-Psikologis Akibat Kekerasan

Berikut ini adalah beberapa bentuk dampak psikologis akibat kekerasan etnis di masyarakat menurut para akademisi. Kekerasan Etnis yang terjadi di masyarakat sangat berpengaruh pada kesehatan mental anak-anak dan remaja (Farver, Xu, Eppe, Fernandez, & Schwartz, 2005; Finkelhor, Ormrod, Turner, & Hamby, 2005). Dampak dari kekerasan pada remaja dapat mengarah pada kecemasan, depresi dan stress pasca


(43)

trauma (Kliewer, Lepore, Oskin, & Johnson, 1998). Selain dampak-dampak di atas, remaja korban kekerasan juga mengalami penyalahgunaan zat, dan agresi (Bingenheimer, Brennan, & Earls, 2005; Goldstein, Walton, Cunningham, Trowbridge, Maio, 2007; Rosenthal, 2000).

Menurut Coser (dalam Budiyono, 2009), dampak psikologis akibat konflik dan kekerasan adalah perasaan tertekan sehingga menjadi siksaan terhadap mentalnya, stress, kehilangan rasa percaya diri, rasa frustasi, cemas, dan takut. Hal ini dapat terjadi pada pribadi-pribadi individu yang tidak tahan menghadapi situasi konflik. Selain itu, mematikan semangat kompetisi dalam masyarakat karena pribadi yang mendapat tekanan psikologis akibat konflik cenderung pasrah dan putus asa. Berikut ini akan dijelaskan secara lebih detail mengenai dampak psikologi pada korban akibat kekerasan di masyarakat:

a. Harga Diri Rendah

Menurut Maslow (dalam Goble, 1971), setiap orang memiliki kebutuhan akan penghargaan dari diri sendiri maupun dari orang lain. Lebih spesifik Maslow mengemukakan bahwa harga diri meliputi kebutuhan akan kepercayaan diri, kompetensi, penguasaan, kecukupan, prestasi, ketidaktergantungan dan kebebasan. Sementara penghargaan dari orang lain meliputi, prestise, pengakuan, penerimaan, perhatian, kedudukan, nama baik serta penghargaan. Jika seseorang memiliki kebutuhan harga diri yang cukup terpenuhi maka, maka orang tersebut


(44)

akan lebih percaya diri, lebih mampu dan lebih produktif. Sebaliknya jika kebutuhan akan harga diri kurang maka, seseorang akan diliputi rasa rendah diri, dan perasaan tidak berdaya.

b. Kecemasan

Anxiety atau kecemasan adalah suatu keadaan emosional yang mempunyai ciri keterangsangan fisiologis, perasaan tegang yang tidak menyenangkan, dan perasaan aprehensif bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi (Nevid dkk, 2005). Freud (dalam Corey, 2005) mengartikan kecemasan sebagai keadaan tegang yang memotivasi seseorang berbuat sesuatu. Dalam hal ini fungsinya adalah memperingatkan seseorang akan adanya bahaya. Sulaiman (1995) berpendapat bahwa kecemasan merupakan reaksi psikologis yang disebabkan karena adanya rasa kawatir terus-menerus yang ditimbulkan oleh adanya inner conflik.

Kecemasan merupakan manivestasi dari berbagai proses emosi yang bercampur baur dan terjadi ketika orang mengalami tekanan perasaan karena adanya pertentangan (Daradjat dalam Jessica, 2007). Sementara pendapat Kenyou (dalam Jessica, 2007), kecemasan adalah rasa takut yang pasti terhadap sesuatu yang mengerikan akan terjadi, namun apa yang menjadi penyebab rasa takut ini tidak diketahui. Adapun gejala-gejala kecemasan oleh Buklew (dalam Purnamaningsih, 2003), dibagi menjadi dua tingkatan yaitu:


(45)

1) Tingkatan Fisiologis. Kecemasan ini sudah mempengaruhi atau berwujud pada gejala fisik terutama pada fngsi syaraf diantaranya tidak dapat tidur, perut mual, dan keringat dingin berlebihan. 2) Tingkat psikologis. Kecemasan semacam ini sudah berupa gejala

kejiwaan seperti rasa khawatir, bingung, sulit konsentrasi, tegang, dan sebagainya.

c. Depresi

Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertaannya, termasuk perubahan pada pola tidur, nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya, serta gagasan bunuh diri (Kaplam, 1998). Gejala yang paling sering ditemukan pada pasien depresi adalah penurunan mood yang berkepanjangan (Katona dkk, 2012). Katona dan koleganya lebih lanjut menjelaskan bahwa, ICD-10 mengklasifikasikan gangguan depresi berdasarkan tingkat keparahan dan mengidentifikasi tiga gejala utama yaitu, mood yang buruk, anhedonia (kehilangan rasa senang pada kegiatan yang sebelumnya terasa menyenangkan), dan penurunan energi (peningkatan rasa mudah lelah).

Depresi Gejala ringan dapat berlaku jika dua dari tiga gejala utama dialami oleh individu (Katona dkk, 2012). Selain itu, individu yang mengalami depresi ringan dapat dikatakan depresi jika memiliki


(46)

dua gejala diantara gejala-gejala berikut seperti: penurunan konsentrasi dan perhatian; penurunan rasa percaya diri dan harga diri; perasaan bersalah dan tidak berharga; merasa putus asa mengenai masa depan; pikiran untuk melukai diri sendiri, gangguan tidur, dan peningkatan atau penurunan nafsu makan. Depresi Gejala sedang terdapat enam gejala termasuk setidaknya dua dari gejala utama. Sedangkan depresi berat, setidaknya memiliki delapan gejala, termasuk seluruh tiga gejala utama yang mengakibatkan tekanan yang bermakna dan mengganggu kehidupan sehari-hari (Katona dkk, 2012).

d. Stres Pasca Trauma

Menurut DSM-IV, gangguan stress pasca trauma merupakan paparan terhadap kejadian traumatik dimana saat itu orang merasakan ketakutan, ketakberdayaan, atau kengerian. Setelah itu orang merasa mengalami kembali kejadian tersebut melalui kenangan dan mimpi buruknya (Mark & Barlow, 2006). Dengan kata lain stress pasca trauma, adalah gangguan emosional yang menyebabkan distress, yang bersifat menetap, yang terjadi setelah menghadapi ancaman keadaan yang membuat individu merasa benar-benar tidak berdaya atau ketakutan (Mark & Barlow, 2006).

Gangguan stess pasca trauma dibagi menjadi dua yaitu, stess pasca trauma akut dan stess pasca trauma kronis (Mark & Barlow, 2006). Stess pasca trauma akut dapat didiagnosa dalam kurun waktu 1


(47)

sampai 3 bulan. Jika stess pasca trauma lebih lama dari 3 bulan maka dianggap kronis. Pada kondisi kronis, individu cenderung menunjukan gejala menghindar (Davidson, dkk dalam Mark & Barlow, 2006).

Menurut Crider dkk (1983), gejala-gejala stress antara lain : 1) Gangguan emosional : tegang, khawatir, marah, tertekan oleh

perasaan bersalah. Stress yang paling sering timbul adalah kecemasan, biasanya dialami individu dalam mengantisipasi situasi yang penuh stress.

2) Gangguan kognitif : berpikir irrasional, tidak logis dan tidak fleksibel akibat kekhawatiran dan evaluasi diri yang negatif. Sering lupa dan bingung akibat terhambatnya kemampuan memisahkan dan menggabungkan ingatan-ingatan jangka pendek dengan ingatan jangka panjang.

3) Gangguan fisiologis : nyeri otot, cepat lelah, dan mual

Stress akan menimbulkan berbagai reaksi dalam diri individu yang mengalaminya, yaitu :

a) Reaksi emosional : cepat marah, perubahan nafsu

makan, perubahan berat badan, dan kecemasan yang terus menerus.

b) Reaksi intelektual : konsentrasi menurun

c) Reaksi fisiologis : sakit kepala, gatal-gatal dan diare, perasaan perut tidak menentu, dan mual.


(48)

d) Reaksi sosial : tidak betah seorang diri, marah tanpa alasan, kehilangan minat terhadap banyak hal, merasa tidak aman, dan sulit bersantai.

e. Rasa Malu

Lewis (dikutip Tangney, 1995) mengungkapkan bahwa rasa malu merupakan suatu reaksi emosi yang berfokus pada kekalahan atau pelanggaran moral, membungkus kekurangan diri dan memuat suatu kondisi pasif atau tidak berdaya. Pendapat lain datang dari Weekes (1991), yang memandang rasa malu sebagai campuran dari kesombongan dan ketakutan akan omongan si sekitar kita.

Hurlock (1993) mengemukakan rasa malu adalah reaksi emosional yang tidak menyenangkan diri dari individu terhadap penilaiaan orang lain, baik yang merupakan dugaan maupun yang benar-benar terjadi, yang mengakibatkan individu mencela diri sendiri berhadapan dengan kelompok. Sementara Goffman (dalam Harre & Lamb, 1996) mengemukakan bahwa apa yang dihasilkan rasa malu ialah pengakuan bahwa diri yang disokong dalam sebuah interaksi sosial telah terganggu oleh sesuatu yang dilakukan atau oleh suatu kenyataan pribadi yang terlepas. Ditambahkan pula ungkapan kekuatan rasa malu berasal dari pentingnya interaksi-interaksi sosial.


(49)

f. Tertekan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tertekan berarti, keadaan tidak menyenangkan yang umumnya merupakan beban batin seperti merasa rendah diri, dan tidak bebas.

g. Penyalahgunaan Zat h. Agresi

Dari beberapa penjelasan tentang dampak sosio-psikologis di atas, maka disimpulkan bahwa kekerasan etnis yang terjadi di masyarakat, dapat menimbulkan dampak psikologis seperti : kecemasan, depresi, stress pasca trauma, perasaan malu, tertekan, penyalahgunaan zat dan tindakan agresi.

B. Tinjauan Konseptual tentang Mahasiswa-Mahasiwi Remaja Korban

Kekerasan yang Berasal dari Indonesia Timur

1. Remaja

a. Pengertian Remaja

Masa remaja merupakan periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosioemosional (Santrock, 2007). Transisi antara anak-anak dan dewasa, membuat masa remaja menjadi masa yang penuh dengan gejolak dan pergolakan. Hal ini yang diungkapkan G. Stanley Hall 1904 (dalam Santrock 2003) bahwa masa


(50)

remaja merupakan masa dimana terjadi pergulatan yang ditandai dengan konflik dan perubahan suasana hati atau yang biasa disebut dengan istilah storm and stress. Menurut Stanley Hall (dalam Santrock, 2007) usia remaja berada pada rentang 12-23 tahun.

Menurut Hurlock (1980) Untuk menjadikan remaja mampu berperan serta dan melaksanakan tugasnya, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat tidaklah mudah, karena masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial (Hurlock, 1955) . Remaja harus menyesuaikan diri dengan orang lain diluar lingkungan keluarga.

Dari penjelasan di atas, maka yang dimaksud dengan remaja adalah individu yang berusia 12 tahun sampai dengan 23 tahun (Stanley Hall dalam Santrock, 2007), yang mengalami perubahan-perubahan biologis, kogitif dan sosio-emosional dalam diri, dan yang akan memulai tugas-tugasnya dalam menyesuaikan diri di masyarakat.

b. Tugas-tugas Perkembangan Remaja

Hurlock (2004), menyatakan bahwa tugas perkembangan remaja meliputi:


(51)

Dalam tugas ini, remaja belajar melihat kenyataan, bahwa anak wanita sebagai wanita, dan anak pria sebagai pria. Selain itu, remaja diharapkan berkembang menjadi orang dewasa di antara orang dewasa lainnya, belajar bekerja sama dengan orang lain untuk mencapai tujuan bersama dan, belajar memimpin orang lain tanpa mendominasinya.

2) Mencapai Peran Sosial Sebagai Pria dan Wanita

Remaja dapat menerima dan belajar peran sosial sebagai pria atau wanita dewasa yang dijunjung tinggi oleh masyarakat.

3) Menerima Keadaan Fisik dan Menggunakannya Secara Efektif.

Tugas ini bertujuan agak remaja merasa bangga, atau bersikap toleran terhadap fisiknya, menggunakan dan meemlihara fisiknya secara efektif, dan merasa puas dengan fisiknya tersebut.

4) Mencapai Kemandirian Emosional Dari Orangtua dan Orang

Dewasa Lainnya.

membebaskan diri dari sikap dan perilaku yang kekanak-kanakan atau bergantung pada orangtua, mengembangkan afeksi (cinta kasih) kepada orangtua, dan mengembangkan sikap respek terhadap orang dewasa lainnya tanpa bergantung kepadanya.


(52)

5) Mencapai Jaminan Kemandirian Ekonomi.

Tujuannya agar remaja merasa mampu menciptakan suatu kehidupan (mata pencaharian). Penting buat remaja pria dan tidak terlalu penting buat remaja wanita.

6) Memilih dan Mempersiapkan Karier (Pekerjaan)

memilih suatu pekerjaan yang sesuai dengan

kemampuannya, dan mempersiapkan diri memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk memasuki pekerjaan tersebut.

7) Mempersiapkan Pernikahan dan Hidup Berkeluarga

Mengembangkan sikap positif terhadap pernikahan, hidup berkeluarga, dan memiliki anak. Memperoleh pengetahuan yaang tepat tentang pengelolaan keluarga dan pemeliharaan anak.

8) Mengembangkan Keterampilan Intelektual dan Konsep-Konsep

yang Diperlukan Bagi Warga Negara

Mengembangkan konsep-konsep hukum, pemerintahan, ekonomi, politik, geografi, hakikat manusia, dan lembaga-lembaga sosial yang cocok dengan dunia modern, dan mengembangkan keterampilan berbahasa dan kemampuan nalar (berfikir) yang penting bagi upaya memecahkan masalah-masalah secara efektif.


(53)

Berpartisipasi sebagai orang dewasa yang bertanggung jawab sebagai masyarakat, dan memperhitungkan nilai-nilai sosial dalam tingkah laku dirinya.

10)Memperoleh Seperangkat Nilai dan Sistem Etika sebagai

Petunjuk/Pembimbing dalam Bertingkah Laku

Membentuk seperangkat nilai yang mungkin dapat direalisasikan, mengembangkan kesadaran untuk merealisasikan nilai-nilai, mengembangkan kesadaran akan hubungannya dengan sesama manusia dan juga alam sebagai lingkungan tempat tinggalnya, dan memahami gambaran hidup dan nilai-nilai yang dimilikinya, sehingga dapat hidup selaras (harmoni) dengan orang lain.

11)Beriman dan Bertakwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Mencapai kematangan sikap, kebiasaan dan pengembangan wawasan dalam mengamalkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan dalam kehidupan sehari-hari, baik pribadi maupun sosial.

2. Korban

Kamus Besar Bahasa Indonesia (2011) mendefinisikan istilah korban sebagai orang, binatang, dan sebagainya yang menjadi menderita


(54)

(mati, dan sebagainya) akibat suatu kejadian, perbuatan jahat, dan sebagainya.

Maka, korban dapat diartikan sebagai individu yang menderita akibat suatu kekerasan maupun tindakan jahat dan sebagainya. Dalam penelitian ini, korban yang dimaksud adalah mahasiswa asal Indonesia Timur yang menjalani kuliah di Yogyakarta, yang tidak melakukan kekerasan etnis namun merasakan dampak dari konflik dan kekerasan tersebut.

3. Kelompok Etnis

Kelompok etnis adalah penggolongan manusia berdasarkan kepercayaan, nilai, kebiasaan, adat istiadat, norma bahasa, sejarah, geografis dan hubungan kekerabatan (Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang No. 40 tahun 2008). Etnis berbeda dengan pengertian ras. Seperti yang diungkap oleh Coakley (2001) “...it refers to the cultural heritage of

particular group of people”. Jadi, etnis mengacu pada warisan budaya dari

kelompok orang tertentu. Maguire (2002) menjelaskan juga bahwa “the term ethnic become a precise word to use regarding people of varying

origins”. Jadi, istilah etnis menjadi sebuah kata yang tepat untuk

memandang orang dari berbagai asal-usul. Lebih lanjut diungkapkan pula bahwa etnis mungkin dipertimbangkan dalam istilah kelompok apapun yang didefinisikan atau disusun oleh asal-usul budaya, agama, nasional


(55)

atau beberapa kombinasi dari kategori-kategori tersebut (Maguire, 2002). Pengertian-pengertian etnis membentuk pengertian kelompok etnis.

Kelompok etnis merupakan sebuah kategori orang yang berbeda secara sosial karena mereka membagi sebuah jalan kehidupan dan komitmen pada segala sesuatu cita-cita, norma-norma, dan meteril yang terdapat pada jalan kehidupan itu (Coakley, 2001). Greely dan McCready dalam Maguire (2002) berpendapat bahwa, kelompok etnis adalah sebuah kolektivitas yang didasarkan pada dugaan asal-usul yang lazim dengan sebuah sifat menarik yang menandai mereka diluar atau yang tetap menanamkan mereka pada keanehan dengan populasi asli dalam kampung pedalaman.

Berdasarkan pernyataan-pernyataan tersebut di atas, maka terdapat dua istilah yaitu etnis dan kelompok etnis. Etnis mengacu pada orang yang didasarkan pada asal-usul sebagai warisan budaya kelompok orang tertentu. Kelompok etnis merupakan suatu kelompok manusia yang memiliki jalan kehidupan dan memiliki sifat serta karakteritik yang menarik. Kelompok etnis dalam penelitian ini adalah antara etnis asal Indonesia Timur dan kelompok etnis Jawa yaitu Yogyakarta.

C. Agresi Antar Etnis

Secara umum Berkowitz (1995) mendefinisikan Agresi sebagai segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti seseorang baik secara


(56)

fisik maupun mental. Lebih khusus Berkowitz menjelaskan bahwa, agresi bukan hanya suatu usaha untuk sengaja menyakiti seseorang tetapi juga,

“dasar dari prestasi intelektual, dari tercapainya kebebasan, bahkan kebanggaan yang bisa membuat seseorang merasa lebih dari teman-temannya.”

Poerwandari (2004) mendefinisikan agresi sebagai suatu tindakan yang disengaja untuk memaksa, menaklukan, mendominasi, mengendalikan, menguasai, menghancurkan, melalui cara-cara fisik, psikologis, ataupun gabungan-gabungannya, dan atau tindakan yang mungkin tidak disengaja, tetapi didasari oleh ketidaktahuan, kekurang pedulian, atau alasan-alasan lain, yang menyebabkan subjek secara langsung atau tidak lansung terlibat dalam upaya pemaksaan, penaklukan, penghancuran, dominasi, perendahan manusia lain.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, agresi antar kelompok etnis adalah suatu tindakan yang disengaja untuk memaksa, menaklukan, mendominasi, mengendalikan, menguasai, menghancurkan, melalui cara-cara fisik, psikologis, ataupun gabungan-gabungannya, dan tindakan yang mungkin tidak disengaja, tetapi didasari oleh ketidaktahuan, kekurang pedulian, atau alasan lain yang menyebabkan individu maupun kelompok etnis tertentu tidak berdaya.

Berikut akan dijelaskan faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya konflik dan kekerasan di masyarakat:


(57)

1. Faktor-faktor yang Mengakibatkan Terjadinya Konflik dan

Kekerasan antar Etnis di Masyarakat

Sementara itu, Soerjono Soekanto (dalam Budioyono, 2009) mengemukakan bahwa sebab-sebab terjadinya konflik antara lain sebagai berikut:

a. Perbedaan pada Tiap Individu

Perbedaan pendirian dan keyakinan orang per orang yang menyebabkan konflik antarindividu. Dalam hal ini masing-masing pihak berusaha membinasakan lawan baik fisik maupun pikiran-pikiran dan ide yang tidak disetujuinya. Hal ini mengingat bahwa manusia adalah individu yang unik atau istimewa, karena tidak pernah ada kesamaan yang baku antara yang satu dengan yang lain. Perbedaan-perbedaan inilah yang dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya konflik sosial, sebab dalam menjalani sebuah pola interaksi sosial, tidak mungkin seseorang akan selalu sejalan dengan individu yang lain.

b. Perbedaan Kebudayaan

Perbedaan kebudayaan mempengaruhi pola pemikiran dan tingkah laku perseorangan dalam kelompok kebudayaan yang bersangkutan. Selain perbedaan dalam tataran individual, kebudayaan dalam masing-masing kelompok juga tidak sama. Setiap individu dibesarkan dalam lingkungan kebudayaan yang berbeda-beda. Dalam


(58)

lingkungan kelompok masyarakat yang samapun tidak menutup kemungkinan akan terjadi perbedaan kebudayaan, karena kebudayaan lingkungan keluarga yang membesarkannya tidak sama. Yang jelas, dalam tataran kebudayaan ini akan terjadi perbedaan nilai dan norma yang ada dalam lingkungan masyarakat. Ukuran yang dipakai oleh satu kelompok atau masyarakat tidak akan sama dengan yang dipakai oleh kelompok atau masyarakat lain. Apabila tidak terdapat rasa saling pengertian dan menghormati perbedaan tersebut, tidak menutup kemungkinan faktor ini akan menimbulkan terjadinya konflik sosial. Contoh adalah seseorang yang berasal dari etnis A yang memiliki kebudayaan A, pindah ke wilayah B dengan kebudayaan B. Jika orang tersebut tetap membawa kebudayaan asal dengan konservatif, tentu saja ia tidak akan diterima dengan baik di wilayah barunya. Dengan kata lain meskipun orang tersebut memiliki pengaruh yang kuat, alangkah lebih baik jika tetap melakukan penyesuaian terhadap kebudayaan tempat tinggalnya yang baru.

c. Bentrokan Kepentingan

Bentrokan kepentingan dapat terjadi di bidang ekonomi, sosial, politik, dan sebagainya. Hal ini karena setiap individu memiliki kebutuhan dan kepentingan yang berbeda dalam melihat atau mengerjakan sesuatu. Demikian pula halnya dengan suatu kelompok


(59)

tentu juga akan memiliki kebutuhan dan kepentingan yang tidak sama dengan kelompok lain.

d. Perubahan Sosial yang Terlalu Cepat di Masyarakat

Perubahan tersebut dapat menyebabkan terjadinya disorganisasi dan perbedaan pendirian mengenai reorganisasi dari sistem nilai yang baru. Perubahan-perubahan yang terjadi secara cepat dan mendadak akan membuat keguncangan proses-proses sosial di dalam masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat yang telah ada. Sebenarnya perubahan adalah sesuatu yang wajar terjadi, namun jika terjadinya secara cepat akan menyebabkan gejolak sosial, karena adanya ketidaksiapan dan keterkejutan masyarakat, yang pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya konflik sosial.

Selain yang disebutkan di atas, proses sosial dalam masyarakat ada juga yang menyebabkan atau berpeluang menimbulkan konflik adalah persaingan dan kontravensi.

e. Persaingan (Competition)

Dalam persaingan individu atau kelompok berusaha mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum. Cara yang dilakukan untuk mencapai tujuan itu adalah dengan menarik perhatian atau


(60)

mempertajam prasangka yang telah ada tanpa menggunakan ancaman atau kekerasan.

Jika dikelompokkan, ada dua macam persaingan, yaitu persaingan yang bersifat pribadi dan tidak pribadi atau kelompok. Persaingan pribadi merupakan persaingan yang dilakukan orang per orang atau individu untuk memperoleh kedudukan dalam organisasi. Persaingan kelompok, misalnya terjadi antara dua macam perusahaan dengan produk yang sama untuk memperebutkan pasar di suatu wilayah. Persaingan pribadi dan kelompok menghasilkan beberapa bentuk persaingan, antara lain persaingan di bidang ekonomi, kebudayaan, kedudukan dan peranan, dan persaingan ras.

1) Persaingan di Bidang Kebudayaan

Persaingan di bidang kebudayaan merupakan persaingan antara dua kebudayaan untuk memperebutkan pengaruh di suatu

wilayah. Persaingan kebudayaan misalnya terjadi antara

kebudayaan pendatang dengan kebudayaan penduduk asli. Bangsa pendatang akan berusaha agar kebudayaannya dipakai di wilayah di mana ia datang. Begitu pula sebaliknya, penduduk asli akan berusaha agar bangsa pendatang menggunakan kebudayaannya dalam kehidupan.


(61)

2) Persaingan Kedudukan dan Peranan

Apabila dalam diri seseorang atau kelompok terdapat keinginan-keinginan untuk diakui sebagai orang atau kelompok yang mempunyai kedudukan dan peranan terpandang maka terjadilah persaingan. Kedudukan dan peranan yang dikejar tergantung pada apa yang paling dihargai oleh masyarakat pada suatu masa tertentu.

3) Persaingan Ras

Persaingan Ras sebenarnya juga merupakan persaingan di bidang kebudayaan. Perbedaan ras baik perbedaan warna kulit, bentuk tubuh, maupun corak rambut hanya merupakan suatu perlambang kesadaran dan sikap atau perbedaan-perbedaan dalam kebudayaan. Persaingan dalam batas-batas tertentu memiliki fungsi. Fungsi dari persaingan yaitu:

a) Sebagai alat untuk mengadakan seleksi atas dasar jenis kelamin dan sosial dan menyalurkan keinginan individu atau kelompok. b) Jalan untuk menyalurkan keinginan, kepentingan, serta nilai-nilai yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian sehingga tersalurkan dengan baik oleh mereka yang bersaing.

c) Alat untuk menyaring para warga golongan fungsional


(62)

Persaingan dalam segala bentuknya akan menghasilkan hal-hal yang bersifat positif maupun negatif. Hal-hal positif yang dihasilkan dengan adanya persaingan, antara lain makin kuatnya solidaritas kelompok, dicapainya kemajuan, dan terbentuknya kepribadian seseorang.

1. Makin Kuatnya Solidaritas Kelompok

Persaingan yang dilakukan dengan jujur akan menyebabkan individu saling menyesuaikan diri dalam hubungan sosialnya. Dengan demikian, keserasian dalam kelompok akan tercapai. Hal itu bisa tercapai apabila persaingan dilakukan dengan jujur.

2. Dicapainya Kemajuan

Persaingan akan lebih banyak dijumpai pada masyarakat yang maju dan berkembang pesat. Untuk itu, individu yang berada dalam masyarakat tersebut harus mampu menyesuaikan diri dengan keadaan tersebut. Persaingan akan menyebabkan seseorang terdorong untuk bekerja keras supaya dapat berperan dalam masyarakat.

3. Terbentuknya Kepribadian Seseorang

Persaingan yang dilakukan dengan jujur dapat

menimbulkan tumbuhnya rasa sosial dalam diri seseorang. Namun sebaliknya, persaingan juga bisa menimbulkan hal yang negatif, yaitu terciptanya disorganisasi. Adanya disorganisasi karena


(63)

masyarakat hampir tidak diberi kesempatan untuk menyesuaikan diri dan melakukan reorganisasi saat terjadi perubahan. Hal itu disebabkan karena perubahan yang terjadi bersifat cepat atau revolusi.

f. Kontravensi

Kontravensi berasal dari bahasa Latin, contra dan venire yang berarti menghalangi atau menantang. Kontravensi merupakan usaha untuk menghalang-halangi pihak lain dalam mencapai tujuan. Tujuan utama tindakan dalam kontravensi adalah menggagalkan tercapainya tujuan pihak lain. Hal itu dilakukan karena rasa tidak senang atas keberhasilan pihak lain yang dirasa merugikan. Namun demikian, dalam kontravensi tidak ada maksud untuk menghancurkan pihak lain. Menurut Leopold von Wiese dan Howard Becker (dalam Budioyono, 2009; 57) ada lima macam bentuk kontravensi.

1) Kontravensi umum, antara lain dilakukan dengan penolakan, keengganan, perlawanan, perbuatan menghalanghalangi, protes, gangguan-gangguan, dan kekerasan.

2) Kontravensi sederhana, antara lain dilakukan dengan menyangkal pernyataan pihak lain di depan umum, memaki-maki orang lain melalui selebaran, mencerca, dan memfitnah.

3) Kontravensi intensif, antara lain dilakukan dengan menghasut, menyebarkan desas-desus, dan mengecewakan pihak lain.


(64)

4) Kontravensi rahasia, antara lain dilakukan dengan pengkhianatan dan mengumumkan rahasia pihak lain.

5) Kontravensi taktis, antara lain dilakukan dengan mengejutkan lawan dan mengganggu pihak lain.

Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya kekerasan etnis antara lain, perbadaan antar invidu, perbedaan budaya, bentrokan kepentingan, perubahan sosial yang terlalu cepat di masyarakat, kompetisi dan kontravensi. Faktor-faktor tersebut dapat memicu terbentuknya prasangka yang pada akhirnya dapat mengakibatkan konflik dan kekerasan sosial.

2. Bentuk-bentuk Kekerasan antar Etnis

Buss (1989) menyatakan bahwa tingkah laku agresi dapat digolongkan menjadi tiga dimensi, yaitu fisik-verbal, aktif-pasif, dan langsung tidak langsung. Perbedaan dimensi fisik-verbal terletak pada perbedaan antara menyakiti fisik (tubuh) orang lain dan menyerang dengan kata-kata. Perbedaan dimensi aktif-pasif adalah pada perbedaan antara tindakan nyata dan kegagalan untuk bertindak. Sementara agresi langsung berarti kontak face-to-face dengan orang yang diserang, dan agresi tidak langsung terjadi tanpa kontak dengan orang yang diserang.


(65)

Menurut Poerwandari (2004), bentuk-bentuk kekerasan yang lebih umum adalah :

a. Kekerasan Fisik

Merupakan kekerasan yang dilakukan dengan menyerang organ-organ fisik pada manusia sehingga membuat korbannya menderita.

b. Kekerasan Psikis

Kekerasan Psikis biasanya bersifat emosional seperti kekerasan verbal, ancaman dan lain sebagainya

c. Kekerasan Seksual

Merupakan kekerasan yang dilakukan pada organ intim manusia dan biasanya kekerasan seksual terjadi secara fisik dan psikologi.

d. Kekerasan Ekonomi

Kekerasan yang dilakukan dengan tindakan-tindakan yang menjarah, merampas, hingga membuat korbannya bergantung secara materi.

Dari penjelasan mengenai bentuk-bentuk agresi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bentuk-bentuk Kekerasan secara umum adalah kekerasan fisik, psikis, seksual, dan ekonomi.


(66)

3. Akibat Sosio-Psikologis dari Kekerasan

Menurut penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para ahli sebelumnya, akibat dari kekerasan cukup bervariatif namun pada umumnya hampir sama. Menurut Rosenthal pada tahun 2006 (dalam Deborah Burdett, 2009), kekerasan berpotensi memberi dampak traumatik pada para korbannya. Sementara itu, Jenkins (dalam Annette Mahoney 2002) mengemukakan bahwa orang yang menyaksikan kekerasan, memiliki kerabat yang menjadi korban kekerasan, maupun tinggal di lingkungan kekerasan dapat mengakibatkan stress traumatik, termasuk gangguan klinis dan reaksi klinis. Masalah-masalah kesehatan mental seperti kecemasan, perasaan malu, depresi, tertekan, dan kepanikan sangat mungkin terjadi pada korban-korbannya (Freedy dan Hobfol 1995, dalam Annette Mahoney 2002). Selain itu meenurut Bingenheimer dkk (2005), kekerasan tidak hanya berdampak pada masalah internal seperti kecemasan, trauma, maupun depresi, melainkan juga dapat berdampak pada masalah-masalah eksternal seperti agresi dan tindakan kriminal. Secara fisiologis, dampak kekerasan dapat memberi pengaruh pada perubahan tingkat kortisol dan dapat memicu asma (Wright & Steinback, 2001). Dampak dari konflik adalah menimbulkan dampak psikologis yang negatif, seperti perasaan tertekan sehingga menjadi siksaan terhadap mentalnya, stress,


(67)

kehilangan rasa percaya diri, rasa frustasi, cemas, dan takut (Coser dalam Budiyono, 2009).

Jadi dapat disimpukan bahwa kekerasan yang terjadi dapat menimbulkan masalah pada fisiologis seperti meningkatnya kortisol dalam tubuh sehingga dapat memicu penyakit asma, selain itu berdampak pada kesehatan mental seperti kecemasan, stress pasca traumatik, depresi, kepanikan, perasaan malu, tertekan, dan juga dapat berdampak pada masalah-masalah sosial seperti agresi dan melakukan tindakan kriminal.

D. Prasangka

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2011), prasangka merupakan pendapat (anggapan) yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui (menyaksikan, menyelidik) sendiri. Selain itu menurut Stangor (dalam Putra, 2012), prasangka adalah sikap negatif terhadap suatu kelompok atau terhadap anggota kelompok. Dalam penelitian ini peneliti mau melihat prasangka yang dirasakan para mahasiswa asal Indonesia Timur oleh warga Yogyakarta.

Faktor yang dapat mengakibatkan terjadinya prasangka yang pada akhirnya menimbulkan kekerasan salah satunya adalah teori Ingroup Outgroup similarity. Ingroup dan outgroup ada apabila kategorisasi “kita” dan


(68)

sebagai ingroup dan orang lain sebagai outgroup. Dalam kategori ingroup memiliki dampak tertentu yang ditimbulkan, di antaranya:

1. Similarity effect adalah anggota ingroup mempersepsi anggota ingroup yang lain lebih memiliki kesamaan apabila dibandingkan dengan anggota outgroup.

2. Favoritism effect adalah anggapan bahwa ingroup lebih favorit dari pada outgroup yang disebabkan oleh kategorisasi antara ingroup dan outgroup. 3. Outgroup homogenity effect, bahwa seseorang dalam ingroup memandang

outgroup lebih homogen dari pada ingroup, baik dalam hal kepribadian maupun hal yag lain.

Dampak yang diakibatkan dari prasangka adalah terjadi pengucilan sosial hingga dapat menimbulkan konflik dan kekerasan sosial (Putra dan Pitaloka, 2012). Penjelasan mengenai pengucilan sosial dan konflik akan di jelaskan di bawah ini:

1. Pengucilan Sosial

Menurut Millar (dalam Putra, 2012), pengucilan sosial memiliki tiga derajat yaitu multidimensional, dinamis, dan relasional. Aspek multidimensional menunjukan bahwa para korban pengucilan sosial akan dihadapkan pada hambatan (penolakan) secara sosial, politik, maupun dimensi sosial lainnya. Selain itu, derajat dinamis adalah saat para korbannya akan sulit memilih kesempatan yang lebih baik di masa depan.


(69)

Derajat relasional menunjukan bahwa para korban menerima pengucilan dalam konteks sosial, termasuk ekonomi.

2 Konflik Sosial

Menurut Kriesberg dkk (dalam Putra, 2012), konflik

antarkelompok merupakan situasi dimana satu kelompok menilai bahwa tujuan dan kepentingannya terhalang oleh tujuan dan kepentingan kelompok lain atau dengan kata lain musuh. Selain itu Coser (dalam Putra, 2012) mengemukakan bahwa konflik kelompok dan sosial merupakan usaha yang tidak hanya untuk mendapatkan nilai tertentu, melainkan juga untuk perubahan afeksi, tindakan melukai lawan. Coser (dalam Budiyono, 2009) menambakan bahwa dampak dari konflik adalah menimbulkan dampak psikologis yang negatif, seperti perasaan tertekan sehingga menjadi siksaan terhadap mentalnya, stress, kehilangan rasa percaya diri, rasa frustasi, cemas, dan takut. Hal ini dapat terjadi pada pribadi-pribadi individu yang tidak tahan menghadapi situasi konflik. Selain itu, jatuhnya korban manusia yang disebabkan konflik telah mencapai pada tahap kekerasan, seperti perang, bentrok antarkelompok masyarakat, dan konflik antarsuku bangsa.


(70)

E. Kerangka Penelitian: Kekerasan Etnis di Yogyakarta dan Dampak

Sosio-Psikologis pada Mahasiswa-mahasiwi asal Indonesia Timur

Kekerasan etnis yang terjadi di Yogyakarta, tidaklah terjadi tanpa faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya kekerasan. Soerjono Soekanto (dalam Budioyono, 2009) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya konflik dan kekerasan di masyarakat adalah perbedaan antar invidu, perbedaan budaya, bentrokan kepentingan, perubahan sosial yang terlalu cepat di masyarakat, kompetisi dan kontravensi. Faktor-faktor tersebut dapat memicu timbunya prasangka antar kelompok etnis. Akibatnya dari prasangka menimbulkan konflik, pengucilan sosial hingga berujung pada kekerasan sosial.

Beberapa Penelitian sebelumnya menunjukan bahwa kekerasan baik itu menyangkut Etnis yang terjadi di masyarakat sangat berpengaruh pada kesehatan mental remaja (Farver, Xu, Eppe, Fernandez, & Schwartz, 2005; Finkelhor, Ormrod, Turner, & Hamby, 2005). Selain itu dampak dari kekerasan pada remaja dapat mengarah pada kecemasan, depresi dan stress pasca trauma (Kliewer, Lepore, Oskin, & Johnson, 1998). Penelitian yang dilakukan Bingenheimer dkk (2005) menunjukan bahwa kekerasan juga dapat berdampak pada tindakan penyalahgunaan zat, agresi dan kriminal. Selain itu, Secara fisiologis, dampak kekerasan dapat memberi pengaruh pada perubahan tingkat kortisol dan dapat memicu asma (Wright & Steinback, 2001).


(71)

Dalam penelitian ini, peneliti mau melihat dinamika kekerasan etnis di Yogyakarta meliputi faktor-faktor penyebab kekerasan etnis, prasangka yang diakibatkan oleh faktor-faktor tersebut, dan dampak prasangka yang dirasakan mahasiswa seperti pengucilan sosial, konflik, hingga kekerasan. Selain itu peneliti juga mau melihat dampak sosio-psikologis yang dirasakan serta upaya yang dilakukan subjek dalam menghadapi masalah kekerasan etnis di Yogyakarta.


(72)

Berikut ini merupakan skema yang digunakan sebagai kerangka penelitian:

Skema 1

Dinamika Kekerasan Etnis yang terjadi di Kota Yogyakarta dan Dampak Sosio-Psikologis Pada Mahasiswa-Mahasiswa yang Berasal dari Kawasan

Indonesia Timur

Faktorf

Keterangan :

Menyebabkan

Berdampak Negatif Mahasiswa Asal Indonesia Timur

Faktor-Faktor Yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Konflik danKekerasan Etnis

1. Perbedaan antar invidu

2. Perbedaan budaya

3. Bentrokan kepentingan

4. Perubahan sosial yang terlalu cepat di masyarakat

5. Kompetisi 6. Kontravensi Prasangka Stres Pasca Trauma Pengucilan sosial, konflik dan Kekerasan Etnis di Yogyakarta Rasa Malu tertekan Kecemasan Penyalahgunaan Zat Depresi Harga Diri Rendah Diskriminasi


(73)

F. Pertanyaan Penelitian

Dalam Penelitian yang ini, peneliti membuat pertanyaan penelitian sebagai dasar dalam melakukan penelitian. Pertanyaan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana dinamika kekerasan etnis di Yogyakarta dan pengaruhnya pada kondisi Sosio Psikologis Mahasiswa Asal Indonesia Timur?

Berdasarkan pertanyaan utama tersebut, peneliti selanjutnya membuat pertanyaan yang dirincikan menjadi empat fokus, yaitu:

1. Menurut subjek apa yang mengakibatkan terjadinya kekerasan etnis di Yogyakarta?

2. Pengalaman diskriminasi seperti apa yang subjek alami di Yogyakarta? 3. Apa dampak sosio psikologis yang dialami subjek dari kekerasan etnis

yang terjadi di Yogyakarta?

4. Upaya apa saja yang subjek lakukan agar tidak terjadi kekerasan etnis antara warga Yogyakarta dengan mahasiswa asal Indonesia Timur?


(74)

(75)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian yang berjudul “Dinamika Kekerasan Etnis di Yogyakarta dan Dampak Sosio-Psikologis pada Mahasiswa-Mahasiswa Asal Indonesia

Timur” ini menggunakan metode kualitatif. Metode penelitian ini dianggap tepat oleh peneliti untuk melihat dampak sosio-psikologis yang dialami oleh para mahasiswa yang berasal dari Indonesia Timur sebagai akibat dari kekerasan etnis yang terjadi di Yogyakarta. Selain itu, dapat diketahui upaya yang dilakukan oleh para mahasiswa asal Indonesia Timur agar dapat diterima oleh warga Yogyakarta. Hal ini karena, penelitian kualitatif mencoba memahami suatu fenomena dalam konteks seting dan konteks natural (bukan di dalam laboratorium) dimana peneliti tidak memanipulasi fenomena yang diamati (Crotty 1998; Hoepfl 1997; Sekaran 2000 dalam Samiaji, 2012; 7). Dalam hal ini, fenomena alami yang diangkat dalam penelitian adalah kekerasan etnis antar mahasiswa asal Indonesia Timur dengan warga Yogyakarta yang ternyata berdampak pada kondisi sosio-psikologis mahasiswa asal Indonesia Timur lain yang tidak melakukan kekerasan.

Selain itu, ada beberapa alasan yang digunakan peneliti dalam memilih pendekatan kualitatif yang berkaitan dengan ciri prosedur dan hasil yang didapat dari penelitian kualitatif. Dalam penelitian kualitatif, prosedur


(76)

penelitian yang dilakukan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Bodgan dan Taylor dalam Basrowi, 2008; 21). Data dalam penelitian ini dikumpulkan dari hasil wawancara terhadap para mahasiswa asal Indonesia Timur. Dengan menggunakan kerangka prosedural dalam penelitian kualitatif, peneliti diharapkan dapat memiliki patokan dalam proses pengambilan data. Dengan demikian data yang didapatkan dapat menggambarkan kondisi subjek secara mendalam.

Menurut Poerwandari (2005) data yang dihasilkan dari penelitian kualitatif tidak berupa angka melainkan berupa narasi, deskripsi, cerita, dokumen tertulis dan tidak tertulis (gambar atau foto) ataupun bentuk-bentuk non angka lainnya. Berdasarkan pemahaman tersebut, data yang nantinya akan dihasilkan dari penelitian ini dapat berupa data wawancara tertulis yang nantinya akan diolah menjadi suatu bentuk deskripsi sehingga hasil yang didapatkan dapat berupa deskripsi berkaitan dengan dampak sosio-psikologis dan dinamika dari kekerasan etnis di Yogyakarta sesuai dengan ciri-ciri dari pendekatan kualitatif deskriptif.

B. Fokus penelitian

Terdapat empat fokus dalam penelitian ini, yaitu:

1. Kekerasan etnis yang terjadi di Yogyakarta antara mahasiswa asal Indonesia Timur dengan warga Yogyakarta (bagaimana subjek


(1)

245 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(2)

246

LAMPIRAN

16

Surat Pernyataan

Persetujuan Wawancara

Subjek 4 (MR)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(3)

247 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(4)

248

LAMPIRAN

17

Surat Keterangan

Keabsahan Hasil

Wawancara Subjek 4 (MR)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(5)

249 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(6)

250 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI