Pengetahuan lokal sebagai bagian dalam pembelajaran sains pada pokok bahasan fase-fase bulan kelas VIII SMP Negeri 32 Sendawar Kabupaten Kutai Barat Kalimantan Timur.

(1)

ABSTRAK

PENGETAHUAN LOKAL SEBAGAI BAGIAN DALAM PEMBELAJARAN SAINS PADA POKOK BAHASAN FASE – FASE BULAN DIKELAS VIII

SMP NEGERI 32 SENDAWAR KABUPATEN KUTAI BARAT KALIMANTAN TIMUR

Enita (2013) “Pengetahuan Lokal Sebagai Bagian Dalam Pembelajaran Sains Pada Pokok Bahasan Fase – fase Bulan Kelas VIII SMP N 32 Sendawar Kabupaten Kutai Barat Kalimantan Timur”. Program Studi Pendidikan Fisika, Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2013.

Penelitian ini bertujuan untuk (1)Mengidentifikasi pengetahuan lokal yang dapat diintegrasi kedalam pembelajaran sains di SMP, (2) Mendesain pembelajaran yang melibatkan budaya lokal yang menjadi bagian dalam pembelajaran sains, (3) Mendeskripsikan dan mengidentifikasi proses pembelajaran sains yang berbasis budaya lokal.

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif – kualitatif. Sampel penelitian ini adalah tokoh masyarakat dan siswa kelas VIII SMP N 32 Sendawar. Instrument penelitian yang digunakan adalah wawancara kepada tokoh mayarakat dan tes tertulis untuk siswa. Wawancara digunakan untuk mengidentifikasi pengetahuan lokal yang nantinya dapat diintegrasikan ke dalam pembelajaran sains sedangkan tes tertulis digunakan untuk mengetahui sejauh mana pemahaman siswa mengenai pembelajaran sains yang berbasis budaya lokal.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Penelitian tentang budaya dayak Benuaq memiliki banyak konsep tentang sains yang layak diintegrasikan ke dalam pembelajaran, (2) Pada awal proses pembelajaran pemahaman siswa kurang, baik tentang sains maupun tentang budaya lokal, (3) Setelah proses pembelajaran juga hasilnya masih kurang karena pada hasil tes ada nilai siswa yang berada di bawah nilai cukup, (4) Pada proses pembelajaran tanggapan dan sikap siswa sangat positif.


(2)

ABSTRACT

LOCAL KNOWLEDGE AS PART OF LEARNING SCIENCE ON THE TOPIC

PHASE – PHASE OF THE MOON IN 8 TH GRADE SMP N 32 SENDAWAR WEST KUTAI REGENCY OF EAST KALIMANTAN

Enita (2013) “ Local Knowledge as Part of Learning Science on the Topic Phase

– phase of the Moon in 8 th Grade SMP N 32 Sendawar West Kutai Regency of

East Kalimantan”. Physics Education Study Program, Department of

Matematics and Science Education, The Faculty of Teacher Training and

Education, Sanata Dharma University Yogyakarta, 2013.

This study aims to (1) identify local knowledge that can be integrated into the teaching of science in junior high, (2) designing learning that involving local culture as a part of learning science, (3) describe and identify the learning process, that the process – based science integrate learning the local culture.

This research was descriptive quantitave – qualitative research. Sampel were community leaders and eight grade students of SMP N 32 Sendawar. Instruments used in this research were interview protocol/questions for society figures and written tests for students. Interviews were used to identify the local knowledge that can later be integrated into the teaching of science, while the written test was used to determine the extent of student’s understanding of the science – based learning local culture.

The result showed that (1) research on Benuaq Dayak culture has many worthy concepts of science which can be integrated into learning, (2) at the beginning of the learning process, the students have poor understanding of science and about the local culture, (3) based and evaluation tests after the learning process also the results was not sidnificantly improve student’s understanding of science, and (4) the student’s responses and attitudes are positive during the learning process.


(3)

PENGETAHUAN LOKAL SEBAGAI BAGIAN DALAM PEMBELAJARAN SAINS PADA POKOK BAHASAN FASE – FASE BULAN KELAS VIII SMP

NEGERI 32 SENDAWAR KABUPATEN KUTAI BARAT KALIMANTAN TIMUR

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Fisika

Oleh :

ENITA

NIM : 061424014

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2013


(4)

(5)

(6)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Aku senantiasa mengucap syukur kepada Allahku Karena atas kasih karunia Allah yang dianugerahkanNya

kepada kamu dalam Kristus Yesus.

Sebab didalam Dia kamu menjadi kaya dalam segala hal Dalam segala macam perkataan dan segala macam pengetahuan

( Korintus 1:4 –5 )

Skripsi ini ku persembahkan untuk Bunda Maria

Tuhan Yesus Kristus Kakek tercinta Bapak dan Ibu tercinta Kakak ku (Melita Sumarni)

Adik adik ku ( Alexandria Yunita, Bonifasia Demiri & Fransiskus) Kakak Iparku (Dominikus Baping)

Keponakan ku (Emanuel Rae Tuah Baping) Keluarga besar ku dan juga teman teman ku

Terimakasih berkat doa dan dukungannya selama ini


(7)

(8)

(9)

ABSTRAK

PENGETAHUAN LOKAL SEBAGAI BAGIAN DALAM PEMBELAJARAN SAINS PADA POKOK BAHASAN FASE – FASE BULAN DIKELAS VIII

SMP NEGERI 32 SENDAWAR KABUPATEN KUTAI BARAT KALIMANTAN TIMUR

Enita (2013) “Pengetahuan Lokal Sebagai Bagian Dalam Pembelajaran Sains Pada Pokok Bahasan Fase – fase Bulan Kelas VIII SMP N 32 Sendawar Kabupaten Kutai Barat Kalimantan Timur”. Program Studi Pendidikan Fisika, Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2013.

Penelitian ini bertujuan untuk (1)Mengidentifikasi pengetahuan lokal yang dapat diintegrasi kedalam pembelajaran sains di SMP, (2) Mendesain pembelajaran yang melibatkan budaya lokal yang menjadi bagian dalam pembelajaran sains, (3) Mendeskripsikan dan mengidentifikasi proses pembelajaran sains yang berbasis budaya lokal.

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif – kualitatif. Sampel penelitian ini adalah tokoh masyarakat dan siswa kelas VIII SMP N 32 Sendawar. Instrument penelitian yang digunakan adalah wawancara kepada tokoh mayarakat dan tes tertulis untuk siswa. Wawancara digunakan untuk mengidentifikasi pengetahuan lokal yang nantinya dapat diintegrasikan ke dalam pembelajaran sains sedangkan tes tertulis digunakan untuk mengetahui sejauh mana pemahaman siswa mengenai pembelajaran sains yang berbasis budaya lokal.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Penelitian tentang budaya dayak Benuaq memiliki banyak konsep tentang sains yang layak diintegrasikan ke dalam pembelajaran, (2) Pada awal proses pembelajaran pemahaman siswa kurang, baik tentang sains maupun tentang budaya lokal, (3) Setelah proses pembelajaran juga hasilnya masih kurang karena pada hasil tes ada nilai siswa yang berada di bawah nilai cukup, (4) Pada proses pembelajaran tanggapan dan sikap siswa sangat positif.


(10)

ABSTRACT

LOCAL KNOWLEDGE AS PART OF LEARNING SCIENCE ON THE TOPIC

PHASE – PHASE OF THE MOON IN 8 TH GRADE SMP N 32 SENDAWAR WEST KUTAI REGENCY OF EAST KALIMANTAN

Enita (2013) “ Local Knowledge as Part of Learning Science on the Topic Phase

– phase of the Moon in 8 th Grade SMP N 32 Sendawar West Kutai Regency of

East Kalimantan”. Physics Education Study Program, Department of

Matematics and Science Education, The Faculty of Teacher Training and

Education, Sanata Dharma University Yogyakarta, 2013.

This study aims to (1) identify local knowledge that can be integrated into the teaching of science in junior high, (2) designing learning that involving local culture as a part of learning science, (3) describe and identify the learning process, that the process – based science integrate learning the local culture.

This research was descriptive quantitave – qualitative research. Sampel were community leaders and eight grade students of SMP N 32 Sendawar. Instruments used in this research were interview protocol/questions for society figures and written tests for students. Interviews were used to identify the local knowledge that can later be integrated into the teaching of science, while the written test was used to determine the extent of student’s understanding of the science – based learning local culture.

The result showed that (1) research on Benuaq Dayak culture has many worthy concepts of science which can be integrated into learning, (2) at the beginning of the learning process, the students have poor understanding of science and about the local culture, (3) based and evaluation tests after the learning process also the results was not sidnificantly improve student’s understanding of science, and (4) the student’s responses and attitudes are positive during the learning process.


(11)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada tuhan Yang Maha Esa berkat segala kasih dan karuniaNya yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul : “Pengetahuan Lokal Sebagai Bagian Dalam Pembelajaran Sains Pada Pokok Bahasan Fase – fase Bulan Kelas VIII SMP N 32 Sendawar Kabupaten Kutai Barat Kalimantan Timur”.

Penulis menyadari bahwa untuk keperluan penyusunan dan penulisan sampai

pada tahap penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari berbagai bantuan dari segala

pihak, baik berupa pengetahuan, bimbingan dan dorongan maupun kemudahan yang

lannya. Untuk semua itu, melalui skripsi ini dan segala kerendahan hati penulis

menyampaikan terimakasih kepada:

1. Rohandi, Ph.D selaku dosen pembimbing skripsi, terimakasih atas bantuan, saran,

dan kritiknya dalam menyusun skripsi ini.

2. Segenap dosen program studi Pendidikan Fisika USD yang telah memberikan

ilmu dan pengalaman yang sangat berguna bagi masa depan penulis.

3. Pengurus sekretariat JPMIPA Bu Henny dan Pak Sugeng, terimakasih telah

memfasilitasi selama proses masa study di Sanata Dharma

4. Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Barat yang telah memberikan beasiswa

kepada penulis

5. Keluarga besar Ikatan Pelajar Mahasiswa Dayak Kutai Barat (IPMDKB) sebagai

wadah untuk mengembangkan diri di luar tempat Kuliah

6. Jeragan, S.Pd, selaku Kepala Sekolah SMP N 32 Sendawar, yang telah

memberikan ijin kepada penulis untuk pelaksanakan penelitian dalam rangka

menyelesaikan penulisan skripsi.


(12)

7. Misran Hasudungan, S.Si, selaku guru pengampu matapelajaran IPA SMP N 32

Sendawar yang telah memberikan gambaran selama proses penelitian.

8. Alentinus, selaku wali kelas VIII SMP N 32 Sendawar, yang telah membantu

memberikan data siswa

9. Para guru dan staff karyawan SMP N 32 Sendawar, yang telah membantu penulis

selama prose penelitian di sekolah

10.Seluruh siswa kelas VIII yang telah bersedia menjadi sampel untuk penelitian ini

11.Seluruh keluarga besar saya Kakek, Bapak, Mamak, Kakak (Melita Sumarni)

dan adik – adik saya (Alexandria Yunita, Bonifasia Demiri dan Fransiskus) dan juga Kakak Ipar saya (Dominikus Baping) yang telah memberikan saya semangat,

dukungan dan doa selama proses penulisan skripsi.

12. Pacar saya “Sofyan Souisa” sebagai tempat curhat dan selalu memberikan semangat selama proses menyelesaikan skripsi

13.Sahabat – sahabat ku : Sari, Kak Nani, Angel, Wan, Imbran, Kak Korly, Sepa, Ari, Sr. Yulian, terimakasih atas kesetiakawanan serta dukungan yang telah

diberikan selama ini.

14.Teman – teman angkatan 2006 dan teman – teman mahasiswa ikatan dinas angkatan 2006. Terimakasih atas kebersamaan dan kerjasamanya selama proses

studi di Sanata Dharma

15.Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terimakasih atas

segala doa dan dukungannya selama penulisan skripsi

Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini

masih jauh dari sempurna, sehingga masih perlu dikaji dan dikembangkan secara

lebih lanjut. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya petunjuk dan arahan yang

dapat membangun dari pembaca agar dapat menunjang perbaikan penulisan skripsi


(13)

selanjutnya. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi

semua pihak yang berkepentingan.

Yogyakarta, 6 Maret 2013

Enita


(14)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……… i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……… ii

HALAMAN PENGESAHAN ……… iii

HALAMAN PERSEMBAHAN……….. iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……… v

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ……… vi

ABSTRAK ……….. vii

ABSTRACT ……… viii

KATA PENGANTAR ………. ix

DAFTAR ISI ……….. xii

DAFTAR TABEL ………... xv

DAFTAR LAMPIRAN ……….. xvi BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ………

B. Rumusan Masalah ………

C. Tujuan Penelitian ………

D. Manfaat Penelitian ………

1 3 4 4

BAB II. LANDASAN TEORI

A. Teori Perspektif Sosiokultural Vygotsky

1. Teori Sosiokultural ………..

2. Zona Perkembangan Proksimal ………

7 8


(15)

B. Pengertian Budaya Sains ………. C. Pembelajaran Berbasis Budaya

1. Belajar Tentang Budaya ………

2. Belajar Dengan Budaya ………

3. Belajar Melalui Budaya ………

D. Pembelajaran Sains Berbasis Budaya ………

8

12 13 13 14 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian ... B. Desain Penelitian

1. Pengumpulan Informasi Tentang Budaya Dayak…………

2. Memilih Informasi Yang Relevan………

3. Merancang Desain Pembelajaran……….

4. Implementasi Di Dalam Kelas……….

C. Sampel Penelitian ... D. Waktu Dan Tempat Penelitian ... E. Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian

1. Wawancara………

2. Tes Tertulis………

F. Metode Analisis Data………

20 21 21 21 22 22 22 22 23 24

BAB IV. HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN

A. Deskripsi Penelitian ……….

B. Gambaran Masyarakat Dayak Secara Umum

1. Masyarakat Dayak Secara Umum………

2. Pemahaman Masyarakat Dayak Terhadap Alam dan

27

28


(16)

Budayanya ………

C. Hasil Penelitian ………

1. Pandangan Masyarakat Terhadap Alam Semesta …

2. Mengintegrasikan Budaya Dayak Dalam Pembelajaran sains ………

3. Pelaksanaan Proses Belajar Mengajar di Kelas …..

4. Hasil Tes………...

D. Pembahasan ………

32 33 35

41 48 55 56 BAB V. KESIMPULAN dan SARAN

A. Kesimpulan ………

B. Saran ………

63 64

DAFTAR PUSTAKA ……….. 66

LAMPIRAN ………... 69


(17)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Tahapan penelitian …………... 21 Tabel 3.2 Kualifikasi dan interval skor ………... 26 Tabel 4.1

Tabel 4.2

Tabel 4.3

Penjelasan fase –fase kenampakan bulan ……... Penjelasan mengenai fase – fase bulan

pengetahuan dayak Benuaq………

Gambar kenampakan bulan dalam setiap fase –fasenya……… 43

44

46

Tabel 4.4

Tabel 4.5

Hasil data wawancara sederhana siswa kepada tokoh

masyarakat……….. Jumlah skor nilai yang dihasilkan berdasarkan jumlah siswa………

51

56


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

`Lampiran 1 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ……… 69

Lampiran 2 Hasil Tes Tertulis ………. 75

Lampiran 3 Soal tes tertulis ……… 77

Lampiran 4 Hasil jawaban tes tertulis siswa ……… 78

Lampiran 5 Daftar pertanyaan wawancara kepada tokoh masyarakat ... 103

Lampiran 6 Hasil wawancara kepada tokoh masyarakat ………. 104

Lampiran 7 Gambar penelitian ……… 113

Lampiran 8 Surat permohonan ijin dari kampus ………. 114

Lampiran 9 Surat keterangan selesai penelitian dari sekolah ………….. 116

Lampiran 10 Daftar nama pegawai SMP N 32 Sendawar ………. 117


(19)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia mempunyai beragam kebudayaan yang unik,akan tetapi kekayaanbudaya Indonesia pada umumnya dimanfaatkan dalam konteks pariwisata dan seni saja. Kekayaan Budaya sangat jarang diintegrasikan dalam pendidikan, padahal pendidikan sangat penting bagi kita. Oleh karena itu pendidikan sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai budaya.

Salah satu carayang paling efektif untuk melestarikan nilai-nilai budaya dengan melalui pendidikan, karena pendidikan berfungsi memberdayakan potensi manusia untuk mewariskan,mengembangkan dan membangun kebudayaan dan peradaban masa depan. Di satu sisi pendidikan berfungsi untuk melestarikan nilai-nilai budaya yang positif dan disisi lain pendidikan berfungsi untuk menciptakan perubahan kearah kehidupan yang inovatif. Oleh karena itu,pendidikan mempunyai fungsi kembar (Budhisantoso,1992; Pelly,1992 dalam Suastra, 2010).

Pembelajaran merupakan inti dari pendidikan.Pemecahan masalah pendidikan terkait dengan rendahnya kualitas pendidikan harus difokuskan pada kualitas pembelajaran.Kualitas pembelajaran salah satunya ditentukan oleh para pendidik yang berkualitas baik (profesional).Pendidik yang baik adalah pendidik yang kreatif, selalu mencari pendekatan atau strategi baru yang menimbulkan berbagai macam inovasi.


(20)

Guru mempunyai tugas untuk membimbing dan mengarahkan siswa agar proses belajar–mengajarmenjadi lancar sehingga siswa memperoleh pengalaman belajar yang optimal dan dapat mengembangkan kemampuan berpikirnya.Sekolah merupakan salah satu media dari proses pembudayaan disamping keluarga dan lingkungan masyarakat. Ketiganya saling berkaitan dalam proses pendidikan. Sekolah merupakan lembaga formal dalam proses pendidikan di mana siswa akanmemperoleh pengetahuan. Proses pembelajaran harus dekat dengan lingkungan. Pembelajaran mestinya memanfaatkan secara optimal potensi lingkungan yang ada, akan tetapi kenyataannya model pembelajaran yang ada sekarang jarang sekali memanfaatkan potensi lingkungan khususnya budaya lokal. Pembelajaran harus dikaitkan dengan kebiasaan atau budaya masyarakat dilingkungan sekitar agar dapat digunakan sebagai sarana dalam mengembangkan pengetahuan ilmiah yang relevan dengan budaya yang dimiliki siswa dan masyarakatnya.

Penelitimenyadari bahwa perlunya mengintegrasikan aspek budaya lokal dalam pembelajaran agar siswa nantinya menyadari bahwa mereka tidak hanya dapat belajar sains dari adopsi dunia Barat tetapi mereka juga bisa belajar sains dari lingkungan budaya mereka sendiri.Karena lingkungan memberikan kontribusi tertentu pada pengalaman belajar siswa itu sendiri.Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan sains berbasis budaya lokaldisekolah khususnya di Kabupaten Kutai Barat. Peneliti mempunyai pertimbangan untuk mengembangkan sains yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat yang ada di Kutai Barat antara lain dengan alasan masih kurangnya fasilitas pendukung dalam proses belajar-mengajar. Kebanyakan guruyang ada didaerah Kutai Barat, yang mengajar sains bukan dari jurusan sains, kurikulum sains kurang


(21)

sesuai dan tidak memperhatikan lingkungan sosial-budayasiswa, adanya ketidaksesuaian metode yang digunakan dalam proses pembelajaran sains. Berkaitandengan fasilitas pendukung yaitu fasilitas yang tersedia di sekolah baik itu berupa perlengkapan untuk belajar seperti perpustakaan,laboratorium dan perangkat media yang lain sebagai pendukung proses belajar mengajar, sangat terbatas dan bahkan ada sekolah yang tidak mempunyai laboratorium,sekolah hanya mempunyai perpustakaan dan kelas teori sebagai sarana belajar.

Dalam penelitian ini di-eksplorasi pentingnya peran budaya dalam pendidikan/pembelajaran.Dalam penelitian ini peneliti telah mengidentifikasi dan mengintegrasikan budaya lokal ke dalam pembelajaran.Siswa belajar sains dari budayanya sendiri yang relevan. Karena proses pembelajaran juga merupakan proses pembudayaan,maka proses pembelajaran sesungguhnya tidak bisa lepas dari lingkungan budaya siswa dan dimana siswa tersebut tinggal. Dengan demikian pembelajaran menjadi wahana untuk terjadinya penyampaian budaya ilmiah dan budaya kehidupan bangsa kepada siswa sebagai generasi penerus sehingga terjadinya adaptasi budaya yang modern yaitu secara ilmiah dan budaya kehidupan komunitas oleh siswa serta pengembangan budaya dalam suatu komunitas.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut,maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Khasanah budaya apa saja yang terdapat di dalam Budaya Dayak yang memiliki keterkaitan dengan sains?


(22)

2. Bagaimana merancang pembelajaran sains yang mengintegrasikan budaya lokal?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk menggambarkan mengenai pembelajaran Sains (fisika) yang berbasis budaya lokal untuk meningkatkan pemahaman konsep siswa di SMP yang ada di Kutai Barat.

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi pengetahuan lokal yang dapat diintegrasikan dalam pembelajaran Sains di SMP

2. Mendesain pembelajaran yang melibatkan budaya lokal yang menjadi bagian dalam pembelajaran Sains

3. Mendeskripsikan dan mengidentifikasikan proses pembelajaran sains yang berbasis budaya lokal.

4. Sejauh mana pemahaman siswa tentang sains melalui penerapan pembelajaran sains berbasis budaya lokal?

D. Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: a. Bagi Guru dan calon Guru

 Dapat memperoleh wawasan untuk memperbaiki,meningkatkan dan mengembangkan kualitas pembelajaran sains hendaknya memperhatikan lingkungan sosial budaya siswa.


(23)

 Menyediakan alternatif pembelajaran sains yang memperhatikan aspek budaya dan mengintegrasikannya dalam pembelajaran Sains  Sebagai referensi bagi guru dan calon guru agar nantinya dalam

merencanakan pembelajaran sains hendaknya juga memperhatikan budaya lokal siswa.

b. Bagi siswa

 Selain siswa dapat belajar Sains yang diadopsi dari Barat (Sains Barat) siswa juga dapat belajar Sains dari lingkungan budayanya sendiri.

 Siswa akan lebih dapat menghargai budaya lokalnya sendiri dan mengkaji pengetahuan lokal.

c. Bagi peneliti

 Dapat mendorong untuk melaksanakan penelitian Sains berbasis budaya lokal yang lain atau di daerah yang berbeda sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar siswa


(24)

BAB II

LANDASAN TEORI

Dalam pengembangan pembelajaran sains (IPA) disekolahsering

digunakan teori psikologi yang berakar pada konstruktivisme individu (personal constructivism) dan perspektif sosiologi yang bertumpu pada

konstruktivisme sosial (social contructivism). Namun demikian pembelajaran

dapat juga dikembangkan melalui kajian teoriantropologi (anthropological perspective).Kajian ini mencoba melihat proses pembelajaran

sains disekolah dengan latarbelakang budaya masyarakat sekitar (Maddock,Coberndan Aikenhead dalam Wahyudi,2008).

Bentuk pembelajaran dalam perspektif antropologidilakukan dengan mengintegrasikan pengalaman atau bahan yang akan dipelajari yang terkait dengan konsep pengetahuan,kepercayaan,adat-istiadat dan kemampuan serta kebiasaan yang telah dimiliki sebelumnya oleh siswa atau masyarakat. Dalam perspektif antropologi, pembelajaran yang diselenggarakan disekolah dapat dipandang sebagai proses transmisi budaya sehingga proses pembelajaran dikelas diibaratkan sebagai suatu proses eksplorasi pengetahuan bersama antara guru dan siswa (Gerts dalam Wahyudi,2008). Melalui integrasi budaya, sebagai suatu sistem nilai atau tatanan masyarakat, budaya lokal digunakan dan diintegrasikan dalam pembelajaran. Budaya lokal dapat terdiri dari antara lainpengetahuan.Kepercayaan, kesenian,moral, keilmuan, hukum, adat-istiadat serta kebiasaan yang didapat oleh manusia (masyarakat setempat) yang menjadi ciri khas didaerah tersebut.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembelajaran berbasis budaya lokal merupakan proses aktif yaitu pembelajaran yang mampu menjembatani


(25)

perpaduan antar budaya siswa atau masyarakatnya dengan budaya ilmiah disekolah (sains). Dalam pembelajaran seperti ini terjadisuatu fenomenologi didaktis (didactical phenomenology) yang tidak lain berupa proses belajar tentang konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan materi-materi Sains dimana para siswa belajar dengan bertolak dari masalah (fenomena) kontekstual yang lekat budaya, yaitu masalah-masalah dalam dunia nyata atau masalah-masalah-masalah-masalah yang terdapat di daerah tersebut (Johnson dalam Suastra, 2010).

A. Teori Perspektif Sosiokultural Vygotsky

1. Teori Sosiokultural

Vygotsky berpendapat bahwa aktivitas manusia terjadi dalam setting kultural dan dapat dipahami secara terpisah dari setting tersebut (Woolfolk, 2009:68).Suatu aktivitas di masyarakat merupakan interaksi antara orang yang satu dengan yang lainnya yang disebut dengan interaksi sosial.Dan interaksi sosial lebih dari sekedar pengaruh sederhana pada perkembangan kognitif.Interaksi sosial sebenarnya menciptakan struktur kognitif dan proses berpikir kita (Palincsar, 1998 dalam Woolfolk, 2009:68).

Vygotsky berpendapat bahwa setiap fungsi perkembangan kultural anak muncul dua kali, pertama-tama ditingkat sosial dan kemudian ditingkat individual kemudian pertama-tama diantara orang (interpsikologis) dan kemudian dalam diri anak (intrapsikologis)


(26)

2. Zona Perkembangan Proksimal

Pada titik perkembangan tertentu, ada masalah-masalah tertentu, pada saat anak berada pada ambang mampu mengatasi dan sebagian lainnnya berada diluar jangkauan kemampuan anak. Zona perkembangan proksimal adalah wilayah tempat anak tidak dapat menyelesaikan suatu masalah sendirian, dan anak dapat berhasil jika dengan bantuan bimbingan orang dewasa atau dengan berkolaborasi dengan teman sebayanya yang lebih maju (Woolfolk,2009:77). Vygotsky meyakini bahwa anak-anak mengikuti contoh – contoh yang diberikan oleh orang dewasa dan secara bertahap mengembangkan kecakapannya untuk melakukan tugas-tugas tertentu tanpa dengan bantuan pendampingan dari orang lain (Suyono dan Hariyanto, 2011:113)

B.Pengertian Budaya dan Sains

Sebelum memaparkan keterkaitan antara budaya lokal dengan pembelajaran sains, maka akan dipaparkan dahulu pengertian umum tentang budaya. Sapardi (2008:119) memaparkan bahwa kebudayaan secara etimologi berasal dari bahasa Sansekerta: buddayah yaitu bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti budi atau akal,dalam konteks ini kebudayaan diartikan sebagai perbuatan atau hal-hal yang berkaitan dengan akal-budi .

Sementara itu Van Baal (lihat dalam Sapardi 2008:122) menjelaskan bahwa kultur/kebudayaan dapat digunakan dengan dua cara :pertama, secara umum untuk menunjukkan apa saja yang diperoleh manusia dengan cara belajar dan pengembangannya dalam pengetahuan,kelembagaan,kebiasaan,keterampilan dan seterusnya. Kedua, sebagai suatu istilah yang mencakup kesemuanya untuk


(27)

menunjukkan bentuk kehidupan secara total dari para anggota suatu kelompok tertentu. Dalam cara pertama orang berbicara tentang satu kultur tertentu, sedang cara kedua adalah penggunaan yang paling konkrit,karena kultur hanya ada sebagai kultur dari suatu kelompok tertentu.Pendapat lain tentang budaya yaitu pendapat Goodenough (dalam Sapardi 2008: 122) menjelaskan bahwa kebanyakan definisi dan pemakaiannya telah mengaburkan perbedaan penting antara pola untuk perilaku dengan pola dari perilaku.

Dalam kenyataannya para antropologi berbicara tentang dua tatanan semesta yang sangat berbeda dalam menggunakan istilah budaya:

1. Budaya secara teratur yang merupakan kekhususan suatu kelompok manusia tertentu. Dalam pengertian ini,budaya telah mengacu pada kedalaman fenomena benda-benda dan peristiwa-peristiwa yang bisa diamati didaerah tertentu.

2. Budaya dipakai untuk mengacu pada sistem pengetahuan dan kepercayaan yang disusun sebagai pedoman manusia dalam mengatur pengalaman dan persepsi mereka,menetukan tindakan dan memilih diantara alternatif yang ada. Pengertian budaya yang demikian mengacu pada dunia gagasan.

Sains yang merupakan pengetahuan yang didapatkan dengan menggunakan metode ilmiah.Dalam aspek kebudayaan, Aikenhead dan Cobern (1998), memaparkan bahwa sains sendiri adalah merupakan sub-budaya dari kebudayaan Barat.Selanjutnya dalam pandangan antropologi budaya,pembelajaran sains dapat dianggap sebagai transmisi budaya(Wollcot dalam Aikenhead dan cobern,1998).


(28)

Dengan demikian dapat dipahami bahwa sains merupakan bagian proses dari budaya,yaitu pada sistem pengetahuan yang dimiliki manusia melalui proses belajar. Dan belajar sains juga merupakan belajar tentang kebudayaan,khususnya sub-budaya atau sistem budaya barat (Setiawan,2008).

Proses belajar unsur-unsur kebudayaan asing oleh warga suatu masyarakat,dilakukan melalui proses akulturasi dan asimilasi (Koentjaraningrat,1990).Pada pembelajaran sains, yang merupakan sub-budaya barat,sains dianggap sebagai budaya asing yang bila dipelajari oleh warga masyarakat bukan barat (warga masyarakat dengan budaya lokal) juga akan terjadi sebuah proses belajar kebudayaan melalui proses akulturasi dan asimilasi. Dalam proses belajar tersebut, siswa dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing sehingga unsur-unsur dari kebudayaan asing perlahan–lahan akan diterima dan diolah kedalam kebudayaannya sendiri (Koentjaraningrat,1990).

Pada pembelajaran di kelas, siswa-siswa dengan suatu sistem pengetahuan tertentu (pengetahuan lokal) dihadapkan dengan sistem pengetahuan asing (mata pelajaran sains) dalam proses belajar di kelas. Unsur–unsur pelajaran sains perlahan-lahan diterima dan diolah tanpa mengakibatkan hilangnya kepribadian kebudayaan lokal. Dalam proses ini akulturasi budaya yang terjadi dalam kelas harus menjadi perhatian. Dalam pembelajaran di kelas dapat terjadi proses penerimaan dan penolakan oleh siswa yang tentunya sudah mempunyai sistem pengetahuan sendiri (pengetahuan lokal) terhadap pengetahuan sains (sistem pengetahuan asing). Bila terjadi penerimaan oleh siswa terhadap sistem pengetahuan asing sehingga dapat terjadi akulturasi budaya,maka proses tersebut disebut dengan proses asimilasi (Koentjaraningrat,1990). Penerimaan itu akan


(29)

menyebabkan rasa ingin tahu, suka dan senang,dekat,dan faktor–faktor lain yang dapat mendukung dalam proses pembelajaran sains dalam diri siswa sendiri. Sedangkan penolakan pada siswa akan menimbulkan konflik-konflik yang dapat menghambat dan mengganggu proses pembelajaran sains,bahkan dapat mengakibatkan terjadinya keterasingan pada diri siswa (Maddock dalam Aikenhead dan Cobern,1999). Dengan menggunakan pembelajaran sains yang berbasis budaya ini bertujuan agar siswa tidak terasing dengan budayanya sendiri dan siswa juga dapat belajar sains baik itu sains modern (sains barat) maupun sains yang ada dilingkungan budaya siswa.

C. Pembelajaran berbasis budaya

Sekarang banyak cara pendidik dalam mengembangkan pembelajaran melalui penerapan berbagai metode. Pembelajaran berbasis budaya lokal merupakan suatu bentuk pembelajaran yang memadukan materi kurikulum sekolah dengan khasanah budaya masyarakat. Proses pembelajaran mempertimbangkan konteks masyarakat setempat dengan cara membawa dan mengintegrasikan budaya masyarakat setempat dengan bahan ajar di sekolah (Wahidin,2006). Sementara itu Sardjiyo (2005) berpendapat bahwa pembelajaran berbasis budaya lokal adalah strategi penciptaan lingkungan belajar dan perancangan pengalaman belajar yang mengintegrasikan budaya sebagai bagian dari proses. Pembelajaran berbasis budaya dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu belajar tentang budaya, belajar dengan budaya dan belajar melalui budaya (Goldberg,2000 dalam Sarjiyo, 2005).


(30)

1. Belajar Tentang Budaya

Belajar tentang budaya menempatkan budaya sebagai bidang ilmu. Proses belajar tentang budaya sudah cukup kita kenal selama ini,misalnya mata pelajaran kesenian dan kerajinan tangan,seni dan sastra,melukis serta menggambar. Budaya dipelajari dalam satu mata pelajaran khusus tentang budaya untuk budaya. Mata pelajaran tersebut tidak diintegrasikan dengan mata pelajaran yang lain dan tidak berhubungan satu sama lain. Di sekolah tertentu yang mampu menyediakan sumber belajar seperti alat musik dan peralatan drama dalam mempelajari budaya maka mata pelajaran budaya di sekolah tersebut akan berkembang relatif lebih baik. Namun banyak sekolah yang tidak memiliki sumber belajar yang memadai sehingga mata pelajaran tersebut menjadi mata pelajaran hafalan dari buku atau dari cerita guru (yang belum tentu benar).Dengan kondisi seperti itu pada akhirnya,mata pelajaran budaya menjadi tidak bermakna baik bagi siswa,guru,sekolah,maupun pengembang budaya dalam komunitas tempat sekolah berada.Inilah gambaran tentang ketidakberhasilan mata pelajaran budaya yang sekarang ini ada.Selanjutnya,mata pelajaran budaya dan pengetahuan tentang budaya tidak pernah memperoleh tempat yang proporsional baik dalam kurikulum maupun dalam pengembangan pengetahuan secara umum.Sementara mata pelajaran lain seperti matematika,sains dan pengetahuan sosial,bahasa Indonesia dan lain-lain,dianggap penting sebagai suatu bukti kemajuan Negara. Dengan demikian, mata pelajaran budaya makin tersisihkan.


(31)

2. Belajar dengan budaya

Terjadi pada saat budaya diperkenalkan kepada siswa sebagai cara atau metode untuk mempelajari suatu mata pelajaran tertentu. Belajar dengan budaya meliputi pemanfaatan beragam bentuk perwujudan budaya. Dalam belajar dengan budaya,budaya dan perwujudannya menjadi media pembelajaran dalam proses belajar menjadi konteks dari contoh tentang konsep atau prinsip dalam suatu matapelajaran, menjadi konteks penerapan prinsip atau prosedur dalam suatu matapelajaran. Contoh dalam mata pelajran fisika (IPA) adalah guru mengajar dengan memperkenalkan alat musik tradisional seperti gong, gendang, angklung untuk menjelaskan konsep bunyi, gelombang bunyi dan gema.

3. Belajar Melalui Budaya

Merupakan metode yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan pencapaian pemahaman atau makna yang diciptakannya dalam suatu matapelajaran melalui ragam perwujudan budaya.Belajar melalui budaya merupakan salah satu bentuk multiple representation of learning assessmentatau bentuk penilaian pemahaman dalam beragam bentuk. Misalnya,siswa tidak perlu mengerjakan tes untuk menjelaskan tentang proses fotosintesis tetapi siswa dapat membuat poster,membuat lukisan,lagu,ataupun puisi yang melukiskan fotosintesis. Dengan menganalisa produk budaya yang diwujudkan siswa, guru dapat menilai sejauh mana siswa memperoleh pemahaman dalam topik proses fotosintesis dan bagaimana siswa menjiwai topik tersebut. Belajar melalui budaya memungkinkan siswa untuk memperhatikan kedalaman


(32)

pemikirannya terhadap konsep atau prinsip yang dipelajari dalam suatu matapelajaran, serta imajinasi kreatifnya dalam mengekspresikan pemahamannya.Belajar melalui budaya dapat dilakukan di sekolah dasar, sekolah menengah, ataupun perguruan tinggi dalam matapelajaran apapun.

D. Pembelajaran Sains Berbasis Budaya

Para ahli yang berkecimpung dalam penelitian tentang keterlibatan nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh siswa dalam proses pembelajaran sains yang menggunakan metafora pelintas batas (Border Crossing) untuk menjelaskan proses pembelajaran sains dari kajian antropologi (Aikenhead dan Jegede, dalam Wahyudi,2008). Berdasarkan metafora ini,siswa dianggap sebagai pelintas batas antara dua budaya yaitu nilai-nilai budaya keseharian yang dipahami mereka dengan nilai-nilai budaya sains Barat yang diajarkan disekolah. Sekolah dan masyarakat memilki ciri yang berbeda yang harus ditempuh oleh para siswa ketika mereka mulai memasuki pendidikan disekolah.Dalam konteks pembelajaran sains untuk semua orang (Aikenhead dan Jegede, dalam Wahyudi,2008).

Dalam pemahaman siswa sebagai pelintas batas budaya, (Costa dalam Setiawan, 2008) mengelompokkan siswa dalam 5 kategori berdasarkan cara mereka belajar Sains disekolah dari budaya lokal mereka, yaitu:

a. Kelompok pertama disebut dengan potensial sains, dimana siswa dapat dengan mudah melintasi batas budaya dan menganggap bahwa batas budaya tersebut tidak ada.


(33)

b. Kelompok kedua disebut dengan other Smart Kid,dimana siswa dapat melewati batas budaya,tetapi masih mengakui Sains sebagai budaya asing.

c. Kelompok ketiga disebut I Don’t Know Student,dimana siswa menghadapi masalah serius saat melewati batas budaya tetapi mau belajar mengatasinya dengan belajar terus menerus.

d. Kelompok keempat disebut Outsider,dimana siswa cenderung terasing selama proses pembelajaran berlangsung dan menghadapi masalah besar saat melewati batas budaya sehingga tidak dapat melewati batas budaya dikarenakan kuatnya pengaruh budaya lokal daripada mata pelajaran Sains.

e. Kelompok yang terakhir disebut Inside Outsider, dimana siswa tidak dapat melewati batas budaya karena diskriminasi.

Pada kenyataannya siswa hidup dan berkembang dilingkungan yang masih erat dengan budaya,tradisi-tradisi dan suatu pengetahuan lokal.Mereka belum menyadari bahwa mereka sebenarnya dapat belajar sains dari lingkungan budaya mereka.Dengan demikian peran seorang guru menjadi penting untuk mengelola pembelajaran sains melalui pengintegrasian lingkungan budaya siswa itu sendiri.

Pendidik berperan dalam membimbing siswa bagaimana melewati batas budaya pada saat belajar sains (barat) yang diintegrasikan dengan budaya lokal siswa.Siswa perlu didorong untuk mau belajar secara terus-menerus.Siswa diharapkan akan mengalami bahwa pembelajaran sains yang mengintegrasikan


(34)

budayaakan memperkaya pengetahuan mereka sendiri dan akan semakin mengenal budaya siswa itu sendiri. Siswa semakin memahami konsep sains dengan lebih baik dan akhirnya dapat melestarikan budaya tradisional siswa itu sendiri.

Dalam hal pengertian akan makna sebuah pengetahuan, pengetahuan didasarkan pada nilai-nilai dasar, keyakinan dan paradigma. Pengetahuan perlu dikembangkan untuk mengetahui ciri dan ruang lingkup pengetahuan baik modern dan tradisional. Dalam pemahaman ini, banyak dilakukan upaya untuk memecahkan masalah kesulitan siswa dalam memahami konsep sains (barat) yaitu dengan cara mendekatkan sains pada konteks lingkungan budaya anak. Sejalan dengan hal di atas, Gandhi (dalam Pandey, 2002, Djulia 2005) juga menegaskan bahwa pengetahuan lokal dan sains formal diperlukan untuk mengembangkan pengetahuan baik itu pengetahuan lokal maupun pengetahuan yang didapatkan dari sains formal.

Dari berbagai penelitian-penelitian pendidikan tentang pengaruh budaya dalam pembelajaran sains yang diikuti dengan beberapa model-model pembelajaran yang cocok untuk melaksanakan isi kurikulum yang dikembangkan yang berbasis budaya lokal (Hardoyo, 2007). Dari berbagai penelitian-penelitian dan saran-saran dalam menggunakan PBM sains yang berbasis budaya lokal maka (Goerge dalam Hardoyo,2007) menyarankan pendidik memperhatikan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mengajar sains yang berbasis budaya lokal yaitu:

1. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengekspresikan pikiran-pikirannya untuk mengakomodasi konsep-konsep atau


(35)

keyakinan yang dimiliki dan yang berakar pada budayanya yang relevan dengan konsep sains.

2. Menjelaskan kepada siswa contoh-contoh konsep-konsep atau keyakinan yang dimiliki (termasuk keganjilan atau keajaiban) yang sebenarnya dapat dijelaskan berdasarkan konsep-konsep sains.

3. Mendorong siswa untuk aktif bertanya.

4. Mendorong siswa untuk membuat serangkaian skema-skema tentang konsep yang dikembangkan selama proses pembelajaran.

Berdasarkan saran-saran tersebut (George dalam Hardoyo, 2007) guru diharapkan memiliki pandangan bahwa pendidikan sebagai tempat untuk memberdayakan potensi siswa dalam usaha menguasai konsep-konsep yang diajarkan yang dalam banyak hal sudah dialami dan diyakini siswa melalui pengalaman kesehariannya. Dengan kata lain bukan dimaksudkan untuk mengenalkan konsep sains yang seolah-oleh baru. Dalam cara demikian pembelajaran diarahkan pada perubahan konsepsi pada siswa.

Driver (dalam Wahidin, 2006) menyusun model pembelajaran yang disebut dengan model perubahan konsep (Conceptual Change Model). Model pembelajaran ini terdiri dari lima fase, yaitu :

1.Fase Orientasi, memberikan kesempatan untuk mengidentifikasi konsep-konsep sains yang berkembang di dalam budaya masyarakat, kemudian siswa diminta untuk mengeluarkan konsepsi mereka.

2.Fase Elisitas, memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengekspresikan konsep-konsep awal yang dimiliki siswa.


(36)

3.Fase Restrukturisasi, memberikan kesempatan bersama-sama bagi siswa dan guru untuk membahas perbedaan-perbedaan dan keharmonisan antara konsep budaya masyarakat (ethnoscience) dengan konsep sains baru. 4.Fase Aplikasi, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk

mengaplikasikan konsep-konsep yang telah direstrukturisasi melalui pemberian permasalahan atau penyesuaian suatu masalah melalui pemberian soal-soal latihan.

5.Fase review, guru mereview kembali semua fase-fase yang telah dilaksanakan.

Pembelajaran yang berbasis budaya lokal merupakan suatu proses yang melibatkan sekolah dengan budaya masyarakat setempat. Bentuk pembelajaran ini yaitu dengan menghubungkan pengalaman nyata yang dimiliki siswa dengan konsep yang dipelajari. Pemahaman yang terjadi pada siswa dikembangkan melalui perubahan konsep yang terjadi pada setiap siswa sebagai akibat dari proses pembelajaran yang didasarkan pada konsep pengetahuan,kepercayaan,adat-istiadat serta kebiasaan yang telah dimiliki siswa sebelumnya.

Dengan menyusun model pembelajaran budaya yang dapat di integrasikan ke pembelajaran sains, siswa diharapkan dapat mengerti bahwa belajar sains juga bisa dilakukan melalui pengalaman nyata keseharian di dalam lingkungannya sendiri.Melalui pembelajaran seperti ini nantinya diharapkan dicapai suatu keharmonisan atau kesetaraan antara pengetahuan sains modern yang di adopsi dari barat dengan nilai-nilai kearifan lokal yang ada dan berkembang di masyarakat.Oleh karena itu lingkungan sosial-budaya siswa perlu


(37)

mendapat perhatian dari guru sebagai tenaga pendidik dari sains seharusnya peka terhadap lingkungan siswa, apalagi lingkungan yang masih tradisional. Guru diharapkan dapat mengembangkan pembelajaran sains yang berbasis budaya lokal di sekolah karena dalam budaya lokal dapat pula ditemukan berbagai konsep sains yang dapat berguna bagi guru maupun siswa dalam penguasaan bidang sains (Suastra, 2010).


(38)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian deskriptif kualitatif dan kuantitatif yaitu dengan menggunakan data wawancara dan Tes tertulis. Adapun wawancara dilakukan kepada masyarakat di sekitar Desa Eheng dan tes tertulis dikerjakan oleh siswa.

B. Desain Penelitian

Penelitian ini dibagi menjadi beberapa tahap, tahap – tahap penelitian ini dapat dilihat dibawah ini :

Pengumpulan Informasi Tentang Budaya Dayak

Memilih Informasi yang Relevan Dengan

Pembelajaran Sains

Merancang PBM (Proses Belajar Mengajar)

Implementasi di Kelas


(39)

Adapun penjelasan tahap – tahap pada penelitian ini adalah :

1. Pengumpulan Informasi tentang Budaya Dayak

Untuk mengetahui informasi tentang budaya dayak di daerah yang akan diteliti, peneliti mencari literatur yang menggambarkan tentang budaya dayak. Selain mencari literatur peneliti juga melakukan wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat yang mengenal budaya setempat untuk melengkapi informasi yang terdokumentasi.

Peneliti memilih warga di sekitar yang dapat menjadi partisipasi dan dapat memberikan informasi yang tepat tentang aspek budaya lokal yang ada di masyarakat serta kaitannya dengan pengetahuan lokal.Wawancara dengan warga dilakukan guna mendapatkan data tentang pengetahuan lokal yang ada dan terdapat di lingkungan masyarakat tersebut.

2. Memilih Informasi Yang Relevan

Setelah mendapatkan data dari masyarakat maka peneliti mengolah data hasil wawancara, guna mengetahui pengetahuan lokal yang ada di masyarakat.Selanjutnya peneliti memilih data yang relevan untuk di integrasikan ke dalam pembelajaran sains.

3. Merancang Desain Pembelajaran

Setelah mendapatkan data dari masyarakat yang relevan dengan sains maka pada tahap ini peneliti merancang pembelajaran yang akan di lakukan di kelas. Rancangan pembelajaran difokuskan pada integrasi budaya dan pengetahuan lokal yang ada di masyarakat tersebut dengan pembelajaran sains di sekolah.Pada tahap ini juga di eksplorasi


(40)

hubungan antara aspek budaya dari pengetahuan lokal terhadap konsep sains di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP).Setelah mengetahui hubungan pengetahuan lokal dengan sains, maka peneliti merancang desain pembelajaran yang sesuai dan cocok dengan pembelajaran sains yang di selenggarakan di SMP.

4. Implementasi Di Dalam Kelas

Setelah desain pembelajaran selesai dirancang, penelitian selanjutnya dilakukan dengan mengambil data di sekolah. Proses pengambilan data di sekolah dengan mencoba rancangan atau desain pembelajaran yang telah dibuat oleh peneliti.

C. Sampel Penelitian

Sampel adalah sebagian dari jumlah individu yang dipilih untuk sumber data dari penelitian (Sukardi, 2003).Sampel pada penelitian ini adalah masyarakat desa Eheng dan siswa–siswi di SMP N 32 Sendawar.

D. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Desa Pepas Eheng, kecamatan Barong Tongkok, Kabupaten Kutai Barat dan Di SMP N 32 Sendawar. Waktu pelaksanaan penelitian dimulai pada Mei – Juni 2012.

E. Pengumpulan Data Dan Instrument Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan beberapa cara untuk pengumpulan data:

1. Wawancara

Pengumpulan data dengan menggunakan wawancara digunakan untuk mengetahui kaitan aspek budaya lokal dan pengetahuan lokal yang


(41)

nantinya dapat di integrasikan ke pembelajaran Sains.Untuk dapat mengetahui budaya lokal dan pengetahuan lokal tentang alam sekitar maka peneliti melakukan wawancara ke beberapa narasumber untuk menemukan informasi mengenai budaya lokal dan pengetahuan lokal yang ada dimasyarakat dan narasumber yang dapat memberikan informasi yang tepat.Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara bebas.Peneliti menanyakan kepada narasumber mengenai aspek budaya dan pengetahuan lokal yang ada dan masih digunakan oleh masyarakat disekitar daerah tersebut.Sehingga untuk dapat mengetahui informasi yang dibutuhkan oleh peneliti, maka pertanyaan hanya menyangkut aspek budaya yang ada kaitannya dengan pengetahuan lokal dan pertanyaan dapat di kembangkan saat wawancara.

2. Tes Tertulis

Selain wawancara ke masyarakat, peneliti melakukan pengumpulan data dengan memberikan pertanyaan berupa tes tertulis kepada siswa. Disini peneliti memilih kelas VIII SMP N 32 Sendawar . Bentuk soalnya adalah berupa Essay, agar siswa bisa menjawab pertanyaan sesuai dengan kemampuan mereka mengenai pengetahuan mereka tentang lingkungan budaya mereka dan juga pembelajaran sains. Adapun tujuan pengumpulan data dengan uraian tertulis ini adalah:

a. Untuk mengetahui pemahaman siswa mengenai alam dan budaya dari materi pelajaran IPA (sains)


(42)

F. Metode Analisis Data

1. Analisis hasil wawancara dari masyarakat untuk mengetahui pengetahuan lokal

a. Dianalisis hasil wawancara mengenai pengetahuan lokal tentang alam yang ada di daerah sekitar

b. Dari hasil tersebut kemudian diidentifikasi pengetahuan lokal terhadap alam yang berhubungan dengan konteks materi pelajaran fisika di SMP c. Dari hasil identifikasi kemudian dipilih pengetahuan lokal terhadap

alam yang berhubungan dengan konteks materi pelajaran fisika di SMP, yang akan digunakan dalam penelitian terhadap siswa di sekolah.

2. Analisis tes tertulis dari siswa untuk mengetahui hubungan pengetahuan lokal terhadap alam dari masyarakat dalam pembelajaran disekolah

a. Mengidentifikasi dan memilih pengetahuan lokal terhadap alam apa sajakah dari siswa yang dapat menjadi bagian dalam materi pelajaran sains dengan menyusun tes tertulis berupa essay untuk siswa

b. Berdasarkan pengetahuan lokal yang sudah dipilih, kemudian dilihat pengaruh pengetahuan lokal pada siswa dari hasil jawaban siswa pada tes tertulis yang diisi oleh siswa

c. Mengetahui sejauh mana pemahaman siswa tentang pengetahuan lokal tentang alam dan pembelajaran sains yang berkaitan dengan pengetahuan lokal dilihat dari hasil tes tertulis.

3. Untuk menganalisis jawaban tes tertulis yaitu dengan tujuan untuk mengetahui gambaran pemahaman siswa setelah selesai mempraktekkan pembelajaran dengan pengetahuan lokal sebagai bagian dalam


(43)

pembelajaran sains dengan materi tentang fase – fase bulan. Tes tertulis sebanyak 10 soal, masing-masing skor atau bobot nilai untuk nomor 1 – 10 adalah 10 jadi jumlahnya jika menjawab benar semua adalah 100 .

Skor yang diperoleh dengan cara membagi jumlah skor total kemudian dikalikan dengan 100 %

x 100 %

Kemudian pemahaman siswa terhadap setiap aspek dikualifikasi menjadi 5 macam yaitu sangat baik, baik, cukup, kurang dan sangat kurang

Penentuan interval skor dan kualifikasi

a. Passing score adalah skor untuk nilai cukup. Dan ditetapkan untuk passing score untuk kualifikasi cukup adalah 60 %

b. Menentukan aturan konversi  Untuk kelompok atas

Untuk kelompok atas banyaknya kualifikasi ada 3 yaitu cukup, baik dan sangat baik. Lebar interval skornya : 100 – 59 = 41. Bila ditetapkan lebar interval skor sama untuk setiap kualifikasi, maka setiap kualifikasi menempati interval skor yang lebarnya = 41: 3 = 13 sisa 2 . ditetapkan satu kualifikasi, yaitu cukup menempati interval skor yang lebarnya 13, dua kualifikasi, yaitu baik dan sangat baik menempati interval skor yang lebarnya 14 . Jadi kualifikasi cukup interval skornya 60 – 73 %, kualifikasi baik interval skornya 74 – 87 %, dan kualifikasi sangat baik interval skornya 88 – 100 %


(44)

 Untuk kelompok bawah

Untuk kelompok bawah ditetapkan skor minimal untuk kualifikasi kurang adalah 50 % sehingga kualifikasi kurang menempati interval skor 50 – 59 % dan kualifikasi sangat kurang menempati interval skor 1 – 49 %

Hal tersebut dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 3.2 : kualifikasi dan interval skor

Interval skor (%) Kualifikasi

88 – 100 Sangat baik

74 – 87 Baik

60 – 73 Cukup

50 – 59 Kurang


(45)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di SMP N 32 SENDAWAR, yang terletak didesa Eheng Kecamatan Barong Tongkok Kabupaten Kutai Barat yang dilakukan pada tanggal 7–19 Mei. Wawancara kepada masyarakat dan 8 –9 Juni 2012 praktek mengajar di sekolah .

Proses pengumpulan data dalam penelitian ini adalah Wawancara kepada masyarakat yaitu tokoh-tokoh masyarakat dayakbenuaq seperti kepala adat dan tokoh masyarakat yang mengetahui budaya dayak. Setelah peneliti selesai mengadakan wawancara kepada masyarakat, kemudian peneliti mendesain pembelajaran yang berkaitan dengan pembelajaran sains disekolah berdasarkan pengetahuan lokal masyarakat disekitar.Selesai mendesain pembelajaran peneliti mempraktekkan desain pembelajaran tersebut disekolah.Setelah selesai mempraktekkan desain pembelajaran peneliti meminta siswa untuk mengisi tes tertulis yang telah disediakan dengan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan desain pembelajaran berdasarkan pengetahuan lokal masyarakat terhadap pembelajaran sains dikelas.


(46)

B. Gambaran masyarakat Dayak secara Umum

1. Masyarakat Dayak Secara Umum

Istilah dayaksecara kolektif menunjuk kepada orang-orang non-Muslim atau non-Melayu yang merupakan penduduk asli Kalimantan pada umumnya (Maunati, 2004:59). Masyarakat dayak adalah sebutan suku yang mendiami pulau Kalimantan, kecuali Kalimantan Selatan. Literatur antropologi klasik cenderung memotret dayak sebagai kelompok yang eksotik dan unik, yang bercirikan kebiasaan berburu kepala, tinggal dirumah panjang, animisme dan gaya hidup nomadik, sehingga gambaran tentang dayak seperti sebuah identitas’ lain’ (other) yang terasing (Maunati, 2004:61). Akan tetapi tidak semua dayak yang mempunyai kebiasaan berburu kepala.

Ada sejumlah kesamaan di antara orang-orang dayak, kecuali suku Punan yang memang lebih nomadik, dalam hal-hal yang terkait dengan fakta bahwa mereka tinggal dirumah-rumah panjang, menggunakan parang (Mandau) dan sumpit (tulup), memproduksi keranjang-keranjang rotan, menggunakan manik-manik dalam ritual mereka, melakukan pertanian dengan sistem ladang berpindah dan dalam hal pertunjukan tari-tarian dalam ritual-ritual mereka. (Maunati, 2004:61).

Pada penelitian ini, peneliti hanya meneliti didaerah suku dayakBenuaq, walaupun di pulau Kalimantan sangat banyak suku dayak dan beragam pula bahasa dan budayanya. Di Kalimantan Timur khususnya Kabupaten Kutai Barat banyak terdapat suku dayak, seperti dayak kenyah, dayak bahau, dayak tunjung, dayak benuaq, dayak bentian, dayak penihing dan masih


(47)

banyak suku-suku yang lainnya. Dari beberapa suku tersebut memiliki banyak perbedaan dari bahasa sehari-hari yang digunakan, adat-istiadat, kesenian dan ritual-ritual yang digunakan. Walaupun disebut suku dayak, tetapi suku dayak mempunyai kebudayaan atau adat-istiadat yang tidak sama dengan suku dayak yang lainnya. Dari suku dayak yang menempati wilayah Kabupaten Kutai Barat seperti Suku Dayak Benuaq memiliki kesamaan dengan Suku Dayak Tunjung. Kesamaannya seperti pada ritual pengobatan orang sakit (Beliatn), ritual naik ayun untuk anak yang masih bayi(Melas, Ngeragaq), ritual upacara pernikahan secara adat dan ritual Kematian dalam bahasa Dayak Benuaqdan dayaktunjung disebut Kwangkei. Walaupun sekarang jaman sudah modern akan tetapi bagi masyarakat dayak Benuaq, masyarakat masih percaya dengan pengobatan tradisional dan ritual Kematian yang sekarang masih terus dilaksanakan oleh masyarakat dayak Tunjung dan Benuaq di Kabupaten Kutai Barat. Begitu juga dengan suku dayak yang lainnya, mereka juga mempunyai tradisi dan adat-istiadat yang berbeda.

Berdasarkan penelitian beberapa sukudayakBenuaq masih ada beberapa yang tinggal di rumah panjang (Lamin)didalam rumah panjang tersebut dibuat seperti blok-blok selain blok panjang yang biasa digunakan bersama oleh orang-orang yang mendiami rumah panjang tersebut. Yang mendiami setiap blok tersebut adalah Kepala keluarga yang berbeda-beda. Keturunan – keturunannya bisa mewariskan blok tersebut. Alat tradisional orang dayak seperti Mandau memang masih digunakan untuk berbagai kegiatan seperti membuat ladang, dan biasa digunakan dalam upacara adat sebagai lambang.


(48)

Suku dayak Benuaq dari dulu sampai sekarang masih melakukan pertanian dengan sistem ladang yang berpindah–pindah.Walaupun sekarang telah menggunakan sistem persawahan dengan irigasi dan pemakaian bajak yang ditarik oleh kerbau serta dengan alat bajak yang lebih modern. Sistem perladangan yang dilakukan oleh suku dayak mengandung nilai-nilai ritual dan religi. Nilai-nilai ritual dan religi dapat dilihat dari kegiatan suku dayak dalam mencari calon lokasi akan dibuat ladang, cara membakar dan cara menanam, memanen dan sebagainya.

Jarak lahan pertanian biasanya jauh dan biasanya masyarakat Dayak tidak bisa membuat ladang dengan lahan yang berdekatan dengan orang lain karena dalam tradisi dayak ada yang tidak bisa membuat ladang terlalu berdekatan. Dalam keyakinan mereka bila ladang saling berdekatan mungkin salah satu ladang akan dirusak oleh hama. Jarak pertanian bisa mencapai puluhan kilometer dan harus ditempuh berjam-jam dengan berjalan kaki.Menebang pohon, membabat belukar, menunggu kurang lebih 2–3bulan sampai pohon-pohon kering, kemudian membakar lahan untuk pertanian.

Biasanya masyarakat dayakBenuaq sebelum membakar lahan mereka menempuh beberapa cara yaitu:

1. Terlebih dahulu membersihkan bagian pinggir lahan untuk menghindari terjadinya kebakaran ke lahan yang lainnya.

2. Pembakaran umumnya dilakukan tengah hari pada saat panas terik mencapai puncaknya dan angin tidak bertiup kencang, hal ini mengandung makna bahwa saat panas terik memuncak maka materi pembakaran akan cepat habis dan tidak menimbulkan asap dalam


(49)

waktu lama, angin tidak bertiup kencang sehingga tidak rawan menimbulkan kebakaran yang tidak terkendali.

3. Kegiatan pembakaran dilakukan dengan berlawanan arah dengan arah angin, artinya agar api tidak menyebar cepat yang dapat berakibat kebakaran yang tidak terkendali

Setelah membakar lahan kemudian mengolahnya, sekaligus persiapan untuk membuka ladang. Dan ladang siap untuk ditanam berbagai tanaman terutama padi, biasanya orang dayak menanam padi dimulai pada bulan Agustus–September. Selain tanaman padi juga diselingi tanaman lainnya seperti singkong dan ubi jalar dan bermacam-macam tanaman lainnya.Jika semuanya berjalan dengan lancar dan panen sukses maka ada upacara sebagai ucapan rasa syukur kepada Sang Pencipta atas hasil panen tersebut.

Dalam rangka pengelolaan alam semesta termasuk hubungan antar makhluk hidup dan kematiannya serta hubungan dengan kosmos, haruslah sesuai dengan adat-istiadat dan tatakrama yang telah diwariskan oleh nenek moyang orang dayakBenuaq. Adat-istiadat dan tata krama yang telah diwariskan olehtetuanya dengan keberadaan suku dayak benuaq dibumi. Orang suku dayakbenuaq percaya bahwa sistem adat yang ada bukanlah hasil budaya, tetapi mereka mendapatkan petunjuk langsung dari Letalla melalui para Seniang maupun melalui mimpi. Sukubenuaq percaya bahwa sistem adatnya telah ada sebelum negeri ini lahir.Oleh sebab itu mereka tidak begitu saja menerima pendapat yang mengatakan bahwa dengan lahir Negara dan


(50)

aturan dapat menghilangkan aturan adat istiadatSuku Dayak Benuaq (Suter, 2009).

2. Pemahaman masyarakat dayak terhadap alam dan budayanya

Selain masih percaya dengan pengobatan tradisional masyarakat dayak yang hidup dipedalaman mempunyai potensi secara tradisional yang dapat dipakai oleh masyarakat untuk pemberdayaan ekonomi dan juga mendukung konservasi keanekaragaman hayati.Yang pertama adalah Kebun buah tradisional (simpukng), keahlian dalam pembuatan alat-alat tradisional, hutan desa, pengetahuan tentangjenis habitat, sifat, kegunaan flora dan fauna. Kehidupan masyarakat dayak tidak terlepas dari alam karena masyarakat masih memanfaatkannya untuk kebutuhan ekonomi yaitu ladang untuk bertani, rotatn untuk membuat kerajinan tradisional khas dayak, tumbuh-tumbuhan hutan yang bisa dijadikan obat tradisional dan juga ada beberapa tumbuhan hutan yang bisa dijadikan makanan.

Kehidupan masyarakat dayakbenuaq tidak terlepas dari alam, karena masyarakat dayak benuaq hidupnya masih bergantung dengan alam. Walaupun sekarang sudah jaman modern akan tetapi suku dayak benuaq memiliki pengetahuan, pemahaman, pengalaman dan keterampilan sendiri dalam pengelolaan sumber daya alam.

Selain masih bergantung dengan alam, orang dayakbenuaq juga terkenal dengan musik dan tarian tradisional. Alat-alat musik yang digunakan oleh orang dayak seperti sapeq (alat musik yang dipetik hampir menyerupai gitar), gong, gendang dan juga gamelan. Tarian tradisional dayakBenuaq seperti tari gantar, tari beliatn dan tari ngelewai. Tarigantar merupakan jenis


(51)

tari pergaulan muda – mudi yang berasal dari dayak Benuaq dan Tunjung. Gerakan-gerakan tari gantar ini melukiskan orang yang sedang menanam padi.Tongkat melambangkan kayu penumbuk untuk membuat lubang ditanah.Sementara bambu yang didalamnya berisi biji-bijian melambangkan benih padi dan wadahnya.Tarianyang diselenggarakan adalah hanya sekedar untuk hiburan bagi masyarakat dayak umumnya dan juga ada yang bermaksud makna lain seperti tari belian yang diselenggarakan tidak sembarangan dan ritualnya yang dilakukan secara bertahap oleh ahlinya (dukun belian).

C. Hasil Penelitian

Menurut peneliti kepercayaan masyarakat disekitar lokasi penelitian tidak hanya dipandang dari segi religi atau kepercayaan saja melainkan dapat menjadi bagian dalam pengetahuan lokal.Pengaruh sistem kepercayaan itu masih erat kaitannya dengan alam.

Berdasarkan data wawancara dengan beberapa narasumber didaerah sekitar, kepercayaan masyarakat dayak banyak sekali seperti belian, upacara adat kematian dan upacara pembersihan desa (gugu tahun).Upacara beliatn bertujuan untuk menolak penyakit, mengobati orang sakit, membayar nazar dan sebagainya.Setelah diubah menjadi tarian, tarian belian biasanya disajikan pada acara – acara penerima tamu atau upacara kesenian yang biasanya diselenggarakan.

Kepercayaan masyarakat suku dayak benuaq terhadap alam agar alam dapat bersahabat dengan manusia di wujudkan dalam upacara Gugu tahunyang bertujuan untukmemelihara hubungan baik dengan Tuhan agar


(52)

memberi perlindungan supaya mereka terbebas dari malapetaka, supaya tanah menjadi subur serta curah hujan yang cukup.

Mitos bagi masyarakat dayakbenuaq bersifat religius dan mereka masih percaya bahwa mitos itu masih berlaku hingga sekarang. Mitos – mitos yang masih dipercaya oleh masyarakat dayakBenuaq, didasarkan pada hubungan antara manusia dengan alam. Masyarakat dayakBenuaqpercaya tentang mitos bahwa pada saat hujan kemudian timbul pelangi dan pelangi itu merupakan jelmaan ikan yang disebut Juwata yang menandakan adanya musim panas. Mitos yang lainnya adalah percaya bahwa jika hari telah senja anak-anak tidak boleh keluar dari rumah alasannya takut diserang penyakit. Juga pada saat ada tetangga atau keluarga yang meninggal biasanya orang dayakbenuaq tidak akan pergi ke ladang atau bertani karena pada hari tersebut merupakan hari yang tidak baik untuk bertani.

Selain masih percaya dengan mitos suku dayak benuaq sangat kental dengan aturan sistem adat yaitu berupa penjagaan tata tertib masyarakat yang sifatnya memaksa, turun – temurun dari dahulu kala dan tidak ada sistem hukum yang kuat. Sistem adat atau tata tertib bagi suku dayakbenuaq akan tetap terjaga walaupun tanpa sistem hukum karena dayak benuaq mempunyai ketaatan otomatis terhadap adat yang sudah ada. Adatharus ditaati dan dihargai, jika terjadi pelanggaran maka secara otomatis timbul reaksi masyarakat untuk menghukum pelanggar dengan berbagai macam denda secara adat.


(53)

Dalam sistem religi yang tercampur dengan adat seperti lambang berupa angka, suku dayakbenuaq menganggap bahwa angka Delapan (8) adalah lambang kebaikan. Delapan jika dikurangi 1 sama dengan 7 itu artinya bahwa kita sebagai manusia harus memberi waktu 1 hari untuk mengucap syukur kepada Tuhan.

1. Pandangan Masyarakat Terhadap Alam Semesta

Cara pandang masyarakat dayak terhadap alam didasari bagaimana masyarakat dayak Benuaqmenganggap bahwa alam adalah sahabat. Bagi mereka, alam adalah sumber kehidupan dari dulu hingga sekarang.Maka dari itu masyarakat percaya jika manusia tidak bersahabat dengan alam maka alam akan marah dan akibatnya akan timbul suatu bencana seperti kemarau panjang, banjir, kebakaran hutan dan didatangi berbagai penyakit.

Pandangan masyarakat terhadap alam biasanya berpatokan dengan rasi bintang dan fase-fase bulan.Pada jaman dahulu sukudayakbenuaqmempunyai kalender yang disebut Papan Ketikadidalam kalender tersebut terdapat nama-nama bulan dan nama-nama hari. Papan ketika adalah berbentuk 4 persegi panjang dan diberi tanda baik berupa lubang-lubang dipinggirnya lalu dimasukkan tali–tali khusus dari benang dan serat kulit kayu kedalam lubang-lubang tadi. Juga terdapat tanda– tanda tertentu pada semua permukaan papan dengan tujuan dan maksud tertentu. Dipapan itu juga tertulis nama-nama hari yaitu:


(54)

2) Senen

3) Selasa

4) Rebo

5) Kemis

6) Jemahat

7) Setu

Orang tua-tua dayakBenuaq dijaman dulu sangat yakin dengan melihat papan ketika ini tahu jika mau bepergian hari apa yang baik, hari apa banyak rejeki, hari apa tak ada rejeki, hari apa tak ada musuh dan hari apa yang aman. Akan tetapi sekarang sudah tidak ada yang memiliki bentuk kalender tersebut.

Dalam melihat alam, masyarakat dayak berpatokan pada kenampakan alam yaitu rasi bintang dan fase-fase bulan digunakan sebagai patokan dalam bertani yaitu menanam padi atau tanaman lainnya agar tidak salah dalam bercocok tanam dan pada saat panen dapat berhasil dengan baik. Rasi bintang merupakan sistem penanggalan suku dayak dalam sistem pertanian yaitu dalam membuat ladang. Rasi bintang menurut suku dayak ada 12 yaitu:

1) Pengkuluq, bulan juli yaitu musim nebas bagi suku dayak 2) Piuluq, bulan agustus yaitu musim nebang


(55)

3) Berurukng, bulan September yaitu pada bulan ini biasanya ditandai dengan banyak angin dan pada bulan ini biasanya dimanfaatkan oleh para petani untuk membakar lahannya atau ladang.

4) Bemanuk, bulan Oktober yaitu musim nugal 5) Poti, bulan November

6) Sempuatn, bulan Desember yaitu biasanya pada bulan ini musim penghujan dan orang dayak percaya bahwa dengan musim penghujan berarti dapat menumbuhkan padi yang telah ditanam 7) Lentokng,bulan Januari

8) Surigodiq, bulan Februari 9) Bemari, bulan Maret 10)Kotopkonom, bulan April 11)Perejoteh, bulan Mei

12)Kererapit, bulan Juni yaitu bagi masyarakat dayak pada bulan ini berarti jeda waktu masyarakat untuk melakukan hal-hal lain seperti gotong-royong dalam membuat lamin dan sebagainya. Akan tetapi seperti yang ditemukan dalam penelitian, walaupun ada yang mengetahui tentang rasi bintang tetapi ada yang tidak sama karena setiap orang mempunyai pemahaman yang berbeda- beda.Misalnya kepala adat Eheng dan tokoh masyarakat dari Eheng mempunyai pengalaman yang


(56)

samatentang rasi bintang, yaitu mereka menyebutkan bahwa rasi bintang ada 7 yaitu sebagai berikut:

a. Berurukng

b. Piuluk

c. Sempuatn = sangat baik dalam bercocok tanam

d. Poti

e. Bemanuk

f. Bemari

g. Bemana

Dayak benuaq juga mempercayai bahwa musim penghujan dan kemarau biasanya ditandai oleh apabila sore bintang tidak kelihatan dan karena tertutup oleh awan hitam, daun tidak basah karena pengaruh embun berada diatas.Sedangkan ciri-ciri musim kemarau kita dapat melihat bintang dilangit banyak bertaburan dan terang benderang diatas itu karena embun turun kebawah sehingga menyebabkan di jalan kelihatan basah.Akan tetapi menurut sumber yaitu kepala adat kampung Pepas Eheng, sekarang musim tidak dapat diidentifikasi. Hal ini karena kondisi alam tidak lagi alami sebagai mana saat dulu. Hal ini terjadi karena pengaruh dari kebijakan pemerintah dengan dibukanya areal pertambangan, perkebunan sawit secara besar-besaran dan sekarang sudah jarang ada hutan lindung.

Menurut sumber yang lain ciri-ciri musim panas adalah apabila kita melihat matahari pagi tidak ada awan hitam tebal disekitar matahari sedangkan musim hujan kita melihat banyak awan hitam dan sering terdengar suara


(57)

Guntur. Juga menurut sumber jika kita melihat awan hitam berkumpul dan terdengar suara bunglon bernyanyi.

Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh masyarakat yaitu kepala adat didesa Eheng mengatakan bahwa suku dayakBenuaq dalam sistem pertanian yaitu dalam membuat ladang masih mempercayai bulan dan bintang sebagai petunjuk untuk membuat ladang agar tanaman diladang dapat tumbuh dengan baik dan memperoleh hasil yang baik pada saat panen. Seperti halnya sains bulan dan bintang mempunyai nama begitu juga dengan suku dayak. Dan sukuBenuaqjuga dapat mengetahui fase-fase bulan mulai dari awal bulan datang dan bulan tenggelam.

Begitu juga dengan fase-fase bulan setiap orang mempunyai pemahaman yang berbeda-beda. Seperti kepala adat Eheng, narasumber mengatakan 3 fase bulan yaitu:

a. Selingur dawatn siit yang artinya bulan baru b. Sulat

c. Liatn

Pengenalan akan fase bulan oleh kepala adat tersebut sebenarnya masih belum lengkap. Data temuan lengkap dari dokumentasi bahwa di budaya dayak di kenal fase–fase bulan secara lengkap yaitu sebagai berikut:

a. Bulan umur 8 malam disebut dotuq doyakng b. Bulan umur 10 malam disebut utaq biakng


(58)

c. Bokaq bo’oq adalah bulan umur 11 malam yaitu bentuknya setengah bulatan

d. Bulan umur 12 malam disebut sulat e. Bulan umur 13 malam disebut gantukng

f. Bulan ke 14 atau 15 malam disebut liatn yang biasa disebut dengan bulan purnama

g. Bulan ke 15 atau 16 disebut sajakng h. Bulan umur 16 atau 17 disebut lesoq.

i. Bulan umur 17 atau 18 disebut sirapm mulutn

Kenampakan alam (bulan) oleh suku dayak sering dikaitkan dengan kejadian alam dan dapat memberi petunjuk. Contohnya Bulan datang biasanya ditandai dengan suara jangkrik atau suara burung pungguk. Suara burung dan jangkrik sebagai tanda, menurut sumber yang diwawancara berarti umur bulan kira-kira sudah 2 – 3 malam sudah datang. Orang dayakbenuaq percaya bahwa apabila bercocok tanam pada bulan penuh maka tanaman yang dihasilkan akan tumbuh dengan baik dan tidak dimakan oleh binatang atau hama. Selama proses pertanian bagi orang dayak yang mengiringi dalam proses tersebut adalah bulan dan bintang.


(59)

2. Mengintegrasikan Budaya Dayak Dalam Pembelajaran Pembelajaran

Sains

Dari paparan sebelumnya dapat dilihat bahwa khasanah budaya dengan banyak yang terkait dengan fenomena yang ada. Adanya kenyataan ini maka khasanah budaya tersebut dapat di integrasikan dalam proses belajar mengajar sains. Dalam konteks proses belajar mengajar maka penelitian terhadap budayadayak dapat juga melihat siswa atau anak dayak. Dengan demikian peneliti dapat menjadi pemandu dalam proses belajar mengajar di dalam kelas sejauh mana budaya anak dayak yang terkait dengan sains.Setelah selesai mendeskripsikan budaya dayak yang terkait dengan alam peneliti kemudian memilih topik yang sesuai untuk proses pembelajaran dan memungkinkan untuk melakukan pembelajaran di dalam kelas.

Sebelum merancang pembelajaran peneliti bertanya tentang materi yang akan diajarkan kepada siswa kepada Bapak Kepala Sekolah dan juga guru pengampu mata pelajaran IPA. Karena materi tersebut sebenarnya ada di kelas IX semester 2. Maka peneliti bertanya kepada Kepala Sekolah dan juga Guru pengampu mata pelajaran IPA kiranya mengijinkan peneliti mencobakan rancangan pembelajaran di kelas lain yaitu pada kelas VIII. Bapak Kepala Sekolah mengijinkan peneliti untuk melakukan penelitian dan mengatakan peneliti juga harus ijin kepada guru yang mengampu mata pelajaran IPA. Peneliti kemudian bertemu dengan Guru yang mengampu mata pelajaran IPA juga mengijinkan dan beliau mengatakan kepada peneliti untuk terserah mengajarkan materi kepada siswa karena pada saat


(60)

itu juga materi yang diajarkan telah habis. Dan minggu berikutnya siswa akan mengadakan Ujian Akhir Semester.

Peneliti mengintegrasikan pengetahuan lokal kedalam pembelajaran sains dengan topik fase- fase bulan.Berikutadalah penjelasan keterkaitan antara pembelajaran berdasarkan budaya lokal masyarakat dan pembelajaran sains dari rancangan pembelajaran yang telah dibuat.

a. Keterkaitan antara budaya lokal masyarakat dengan konsepsains

Pembelajaran yang berbasis budaya lokal terhadap pembelajaran sains adalah pembelajaran dengan menggunakan metode yang lain yaitu dalam konteks pengetahuan lokal. Pembelajaran ini mengintegrasikan budaya lokal ke dalam pembelajaran sains. Pada proses penelitian ini, peneliti mengambil topik tentang fase – fase bulan. Berikut adalah penjelasan materi tentang keterkaitan antara pembelajaran sains dan budaya lokal yang didapat oleh peneliti dari berbagai sumber yaitu : buku pelajaran, internet dan wawancara ke masyarakat.

Menurut literatur yang di temukan, perhitungan fase – fase bulan berdasarkan pengetahuan ilmiah yaitu sains adalah sebagai berikut :

1.New moon sisi bulan yang menghadap bumi dan tidak menerima cahaya dari matahari maka bulan tidak terlihat

2.Kuartir pertama 7 3/8 hari (bulan sabit) 3.Bulan purnama 14 3/4 hari (bulan penuh)


(61)

4.Kuartir ketiga 22 1/8 hari (bulan sabit)

5. Kuartir keempat 28 1/2 hari (kembali menjadi bulan baru lagi) Data lebih rinci tentang fase – fase bulan dan keadaan kenampakan bulan dapat di lihat pada tabel 4.1

Tabel : 4. 1 penjelasan fase – fase kenampakan bulan

No Fase – fase kenampakan bulan Keterangan 1 Bulan baru Bulan tidak terlihat

2 Sabit awal Bulan berbentuk seperti sabit 3 Perbani awal Bulan terlihat setengah bulatan

4 Gibbus awal Bulan tampak benjol

5 Bulan purnama Bulan tampak bulat sempurna

6 Gibbus akhir Bulan kembali terlihat tampak benjol 7 Perbani akhir Bulan kembali terlihat tampak setengah

bulatan


(62)

Sebagaimana telah di paparkan pada bagian sebelumnya, dalam budaya dayak juga dikenal fase–fase kenampakan bulan beserta peranannya. Tabel 4.2 menunjukkan fase kenampakan bulan dalam suku dayak beserta keterangannya

Tabel 4.2:penjelasan mengenai fase – fase bulan berdasarkan pengetahuan suku dayak benuaq

No Fase – fase kenampakan bulan (pengetahuan lokal)

Keterangan

1 dotuq doyakng Bulan umur 8 malam (sabit)

2 utaq biakng Bulan umur 10 malam (setengah bulatan)

3 Bokaq bo’oq Bulan umur 11 malam (bulan tampak benjol)

4 Sulat Bulan umur 12 malam (bulan penuh)

5 Gantukng Bulan umur 13 malam (bulan penuh)

6 Liatn Bulan umur ke 14 – 15 malam (bulan penuh)

7 Sajakng Bulan ke 15 atau 16 malam (bulan tampak

benjol)

8 Lesoq Bulan umur ke 16 atau 17 malam (bulan

berbentuk setengah)


(63)

Dari penjelasan diatas ada perbedaan antara penjelasan fase bulan berdasarkan pengetahuan lokal dan pengetahuan secara sains yaitu bagaimana perhitungan umur fase bulan dari fase bulan baru sampai ke sabit akhir dimana bulan menjadi bulan baru lagi yaitu bulan tidak tampak. Seperti pada fase– fase bulan berdasarkan pengetahuan lokal perbedaan dari fase bulan dotuq doyakng ke utaq biakng selama 3 hari kemudian dari utaq biakng ke fase sulat selama 1 hari dan seterusnya fase–fase bulan perbedaannya selama 1 hari menuju ke fase–fase yang lainnnya sampai fase akhir yaitu sirapm mulut yaitu bulan baru lagi atau bulan sudah tidak tampak. Fase Sirapm mulutn biasanya menandakan akhir bulan dan fase bulan Liatn biasanya muncul pada pertengahan bulan.Sementara berdasarkan sains perbedaan fase–fase bulan dari setiap fase secara berurutan yaitu sekitar 3,6875 hari.

Bila dilakukan sebuah komparasi antara pengetahuan sains dan pengetahuan lokal, maka terdapat kesepadanan di antara kedua pengetahuan tersebut.Adapun keterkaitan antara pengetahuan sains dan budaya lokal masyarakat dilihat dari nama–nama fase bulan dan proses kenampakan setiap fasenya dapat kita lihat pada tabel dibawah ini:


(64)

Tabel 4.3: gambar kenampakan bulan dalam setiap fase – fase nya

Fase bulan berdasarkan pengetahuan sains

Gambar kenampakan bulan

Fase bulan berdasarkan pengetahuan Dayak

Bulan baru Tidak mempunyai nama

Sabit Dotuq doyakng

Perbani awal Bokaq bo’oq

Gibbus awal Utaq biakng

Bulan purnama Sulat,gantukng dan liatn

Gibbus akhir Sajakng

Perbani akhir Lesoq


(65)

Dari uraian diatas dapat menjadi pemahaman positif bagi guru dalam mengimplementasikan proses belajar. Juga untuk pemahaman guru terhadap konsep sains dan kaitannya dengan budaya lokal.Selain untuk pemahaman juga membantu guru dalam memfasilitasi belajar siswa.maka peneliti menyusun sebuah tema pembelajaran yang mengintegrasikan tentang khasanah budaya. Dengan topik tentang fase bulan dalam PBM (proses belajar mengajar) bumi antariksa di SMP kelas VIII semester genap. Rencana proses belajar mengajar seperti di paparkan pada hasil rancangan pembelajaran yang telah dibuat.

b. Rancangan Pembelajaran berdasarkan budaya lokal masyarakat

terhadap pembelajaran sains dikelas (terlampir)

Dari hasil yang ditemukan seperti wawancara dan sumber–sumber lainnya seperti buku pelajaran dan internet maka dapat di jelaskan mengenai keterkaitan antara pembelajaran berdasarkan pengetahuan lokal terhadap pembelajaran sains.Kemudian dari bahan–bahan yang telah diperoleh, peneliti menyusun sebuah rancangan pembelajaran dengan topik tentang fase–fase bulan.


(66)

3. Pelaksanaan PBM di Kelas

a. Hari Pertama Proses Belajar Mengajar di kelas

Pada saat peneliti melakukan penelitian dikelas VIII, pada hari pertama anak–anak sangat antusias belajar akan tetapi didalam kelas juga agak gaduh dengan suara siswa–siswi. Pada hari pertama peneliti mencobakan rancangan pembelajaran yang telah dibuat dengan materi fase–fase bulan.Pada saat peneliti menanyakan siapa yang suka belajar sains yaitu IPA, sangat sedikit dari siswa-siswi yang menyukai IPA.Dan salah satu murid perempuan mengatakan “kami ini bandel bu, walaupun gurunya baik tapi kami tidak mau belajar serius”. Dan ada juga yang mengatakan “ saya suka bu belajar IPA, tapi pelajaran IPA kadang sangat sulit dimengerti’. Walaupun dikatakan oleh tenaga pendidik di SMP N 32 Sendawar mengatakan bahwa siswa–siswi kelas VIII sangat nakal. Tetapi pada saat peneliti melakukan proses pengajaran anak-anak mendengarkan apa yang dijelaskan oleh peneliti.

Pada hari pertama peneliti mengajak siswa untuk berpikir, bagaimana menemukan sesuatu yang sebenarnya ada dilingkungan budaya siswa itu sendiri. Saat ditanya tentang apa itu fase bulan, ada yang mengatakan perubahan, tahap, proses. Kemudian peneliti menanyakan apakah siswa mengetahui bagaimana fase–fase bulan menurut pengetahuan suku dayakbenuaq dan mereka hanya tahu bulan purnama dalam bahasa dayak adalah liatn.


(67)

Kemudian peneliti menggali pemahaman siswa apakah mereka mengetahui bagaimana fase–fase bulan berdasarkan pengetahuan lokal masyarakat disekitar lingkungannya tersebut, akan tetapi siswa tidak tahu tentang fase bulan berdasarkan pengetahuan suku dayak benuaq, padahal yang berada didalam kelas tersebut adalah mayoritas siswa–siswinya adalah suku dayak Benuaq.

Pada hari pertama melakukan proses belajar mengajar siswa yang hadir sekitar 19 orang dari jumlah aslinya adalah 28 orang. Peneliti kemudian membentuk kelompok dan memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan wawancara sederhana dengan bertanya tentang fase- fase bulan dan bagaimana manfaatnya dalam sistem pertanian suku dayak khususnya dayak Benuaq. Peneliti juga menjelaskan kepada siswa bahwa pertemuan yang akan datangmembahas apa yang ditemukan oleh siswa di lingkungan budayanya sendiri. Dan setiap kelompok akan melaporkan hasil dari wawancara dan apa yang mereka hasilkan dari bertanya di lingkungan sekitar mereka.Peneliti membagi menjadi 5 kelompok yang tiap kelompok sekitar 3–4 orang.

b. Hari kedua Proses Belajar Mengajar Di Kelas

Pada hari kedua peneliti menanyakan hasil wawancara tentang fase-fase bulan kepada siswa dan memberikan kesempatan kepada siswa secara berkelompok untuk menuliskan hasil wawancaranya di papan tulis.Adapun kelompok terdiri dari 5 kelompok yang beranggotakan 3–4 orang. Dan yang hadir pada hari itu ada sekitar 19 orang siswa –siswi .Akan tetapi pada hari kedua ada beberapa siswa dari hasil pembentukan kelompok pada hari pertama tidak hadir dan kemudian ada yang baru masuk pada hari kedua.Jadi


(68)

siswa yang tidak hadir pada saat pembentukan kelompok pada hari pertama menggantikan yang tidak hadir.

Perwakilan dari kelompok menuliskan hasil yang telah mereka dapatkan. Pada saat giliran kelompok 3 untuk maju menuliskan hasil wawancaranya, mereka saling menyuruh satu sama lain di dalam kelompok mereka untuk maju dan tidak mau maju. Salah satu mengatakan kamu saja yang maju tetapi mengatakan dalam bahasa dayak. Peneliti melihat adanya keraguan pada kelompok tiga untuk menuliskan hasil yang mereka dapatkan sehingga mereka saling menunjuk satu sama lain. Mereka takut hasil dari wawancara yang mereka lakukan tidak benar jawabannya sehingga mereka tidak mau maju kedepan untuk menuliskan hasil yang mereka dapatkan.

Akhirnya karena melihat keadaan tersebut, peneliti kemudian memberikan kesempatan kepada kelompok yang lainnya untuk maju. Setelah semua kelompok selesai menuliskan hasil wawancara yang mereka dapatkan, peneliti kembali mengatakan ”ayo kelompok tiga silahkan perwakilan dari kelompoknya untuk menuliskan hasil wawancara yang telah kalian dapatkan” .

Dan beberapa teman dari kelompok lain juga mengatakan“ayo maju, ibunya suruh maju nulis kedepan”. Memerlukan waktu yang cukup lama kemudian salah satu dari perwakilan kelompok tiga maju kedepan menuliskan hasil wawancaranya. Padasaat itu keadaan kelas sangat ramai karena kelompok yang lainnya memprotes kepada kelompok 3, karena sangat susah maju kedepan untuk menuliskan hasil wawancaranya.


(1)

f. sempuatn,bulan Desember yaitu biasanya pada bulan ini musim penghujan dan orang dayak percaya bahwa dengan musim penghujan berarti dapat menumbuhkan padi yang telah ditanam g. lentokng,bulan januari

h. surigodiq,bulan februari i. bemari,bulan maret j. kotopkonom,bulan april k. perejoteh,bulan

l. kererapit, Mei bulan Juni yaitu bagi masyarakat dayak pada bulan ini berarti jeda waktu masyarakat untuk melakukan hal-hal lain seperti gotong-royong dalam membuat lamin dan sebagainya. 7. fase – fase bulan menurut orang dayak benuaq adalah

a) dotuq doyakng

b) utaq biakng

c) sulat

d) gantukng

e) liatn

f) sajakng

g) lesoq


(2)

FOTO PENELITIAN


(3)

(4)

(5)

(6)