PENGARUH INTERFERENSI ION KADMIUM (Cd2+) TERHADAP BIOSORPSI ION TIMBAL (Pb2+) OLEH SEL RAGI Saccharomyces cereviseae PADA VARIASI WAKTU KONTAK DAN pH MEDIA.

(1)

i

PENGARUH INTERFERENSI ION KADMIUM (Cd2+) TERHADAP BIOSORPSI ION TIMBAL (Pb2+) OLEH SEL RAGI Saccharomyces

cereviseae PADA VARIASI WAKTU KONTAK DAN pH MEDIA SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian

Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Sains Kimia

Oleh:

Ariqah Khoirunnisa 12307144016

JURUSAN PENDIDIKAN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

v MOTTO

“Hasbunallah wa ni’mal wakil (Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung.”

“Sesungguhnya pelindungku adalah Allah yang telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an). Dia melindungi orang-orang saleh.”

(QS. Ali ‘Imran (7)μ 1λ6)


(6)

vi

PERSEMBAHAN

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Karya ini saya persembahkan untuk: Sang Pencipta alam beserta isinya ALLAH SWT Orang tuaku tercinta, Bapak Kirdianto & Ibu Triwanti Adikku, Qori Ambar K & Dimas Elang Satria Sahabat-sahabatku, Kawanan Wanita Bahagia Teman-teman Kimia Swadana ‘12 Almamaterku Universitas Negeri Yogyakarta


(7)

vii

KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan semesta alam atas limpahan rahmat, karunia, dan hidayah-Nya. Sholawat dan salam selalu tercurahkan kepada nabi besar Muhammad SAW yang dirindukan syafaatnya di yaumul qiyamat nanti. Alhamdulillah atas berkat rahmat Allah SWT sehingga laporan tugas akhir ini mampu terselesaikan.

Penelitian kimia berjudul “Pengaruh Interferensi Ion Timbal (Pb2+) terhadap

Biosorpsi Ion Kadmium (Cd2+) oleh Sel Ragi Saccharomyces cerevisiae pada Variasi

Waktu Kontak dan pH Media” telah dapat diselesaikan dengan baik sebagai

persyaratan memperoleh gelar sarjana sains yang telah ditetapkan oleh Jurusan Pendidikan Kimia di Universitas Negeri Yogyakarta. Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Hartono selaku Dekan FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan izin dalam penulisan tugas akhir ini.

2. Bapak Drs. Jaslin Ikhsan, M.App.Sc., Ph.D selaku Ketua dan Koordinator Tugas Akhir Skripsi Program Studi Kimia, Jurusan Pendidikan Kimia, Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kelancaran pelayanan dan urusan akademik.

3. Bapak Sunarto, M.Si selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah memberikan dorongan dalam penulisan tugas akhir ini.


(8)

viii

4. Bapak Dr.rer.nat. Senam, selaku dosen pembimbing utama yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, dan saran.

5. Ibu Prof. Dr. Hj. Indyah Sulistyo Arty, M.S. selaku penguji utama, atas pertanyaan, kritik, dan saran yang diberikan.

6. Ibu Dr. Das Salirawati, M.Si selaku penguji pendamping, atas pertanyaan, kritik, dan saran yang diberikan.

7. Ibu Sulistyani, M.Si selaku sekretaris penguji, atas pertanyaan, kritik, dan saran yang diberikan.

8. Seluruh Dosen, Staf, dan Laboran Jurusan Pendidikan Kiimia FMIPA UNY yang telah banyak membantu selama perkuliahan dan penelitian.

9. Ibu, Ayah, adik dan seluruh keluargaku yang selalu mendoakan, mendukung, memotivasi dan segala kasih sayangnya selama ini.

10. Dhaul, Zainab, Kara, Fia, Sita, Nado, Ifa, Tika, April, Titik, sahabat Kawanan Wanita Bahagia yang selalu memberi dukungan, semangat, dan doa.

11. Teman-teman Kimia Swadana 2012 yang selalu memberi motivasi dan doa. 12. Karamina, mitra kerja selama penelitian yang sudah memberikan bantuan tenaga

dan motivasi.

13. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan secara moral maupun material dalam penyelesaian Tugas Akhir Skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebut satu per satu.

Semoga semua bantuan dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis, Inshaa Allah mendapat balasan dari Allah SWT.


(9)

ix

Penulis menyadari bahwa laporan tugas akhir ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak demi kesempurnaan laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan perbaikan pendidikan di masa yang akan datang. Aamiin.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Yogyakarta, 24 November 2016


(10)

x DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………...………….. i

HALAMAN PERSETUJUAN………...……….. ii

HALAMAN PERNYATAAN……….………. iii

HALAMAN PENGESAHAN ……….. iv

HALAMAN MOTTO ……….. v

HALAMAN PERSEMBAHAN………... vi

KATA PENGANTAR ……….. vii

DAFTAR ISI ………. x

DAFTAR TABEL………. xiii

DAFTAR GAMBAR ………... xv

DAFTAR LAMPIRAN………. xvii

ABSTRAK ……… xviii

ABSTRACT ………... xix

BAB I PENDAHULUAN ……….

A.Latar Belakang Masalah ….………... B.Identifikasi Masalah ..………... C.Pembatasan Masalah .………... D.Rumusan Masalah ……….

E.Tujuan Penelitian …………...………

F. Manfaat Penelitian ………... 1 1 4 5 6 6 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……….…

A.Deskripsi Teori ……….. 1.Pencemaran Lingkungan…….………...….…

2.Pengolahan Limbah ……….……….…..

3.S. cerevisiae……….……….……...…

4.Asam-Basa Lunak-Keras……….

8 8 8 12 17 22


(11)

xi

5.Pengukuran ………. B.Penelitian yang Relevan ………...………. C.Kerangka Berpikir ………...………..

24 27 28

BAB III METODE PENELITIAN……….……....

A.Subjek dan Objek Penelitian ………. 1.Subjek Penelitian ……… 2.Objek Penelitian ……….

B.Variabel Penelitian ………...……….

1.Variabel Bebas ……… 2.Variabel Terikat ……….. C.Instrumen Penelitian ……….. 1. Alat Penelitian ... 2. Bahan Penelitian ... 3. Tempat Penelitian ... D.Prosedur Penelitian ………... 1.Pembuatan Media Yeast Peptone Dextrosa (YPD) Padat ………... 2.Pembuatan Media Yeast Peptone Dextrosa (YPD) Cair ..……….

3.Peremajaan Sel Ragi S. cerevisiae ………..

4.Pembuatan Kultur Awal (Starter) ……….…………..

5.Pengamatan Profil Pertumbuhan Ragi S. cerevisiae ……….

6.Pembuatan Larutan Induk Pb2+ ………...

7.Pembuatan Larutan Induk Cd2+………..

8.Pengaruh Variasi Konsentrasi Pb2+ terhadap Pertumbuhan Ragi S. cerevisiae... 9.Pengaruh Interfensi Variasi Konsentrasi Cd2+ terhadap Pertumbuhan Ragi S.

cerevisiae ………...

10. Pengaruh Variasi Waktu Kontak terhadap Biosorpsi Ion Pb2+………... 11. Pengaruh Interferensi Ion Cd2+ terhadap Biosorpsi Ion Pb2+ oleh Sel Ragi S.

cerevisiae pada Variasi Waktu Kontak ……….………...

31 31 31 31 31 31 32 32 32 32 33 33 33 34 34 35 35 35 36 37 39 41 42


(12)

xii

12. Pengaruh Variasi pH Media terhadap Biosorpsi Ion Pb2+……….…..

13. Pengaruh Interferensi Ion Cd2+ terhadap Biosorpsi Ion Pb2+ oleh Sel Ragi S.

cerevisiae pada Variasi pH Media ……….…………..………...

E.Teknik Analisis Data ………. 1.Pengukuran dengan Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)………...

43 44 45 45

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………

A.Profil Pertumbuhan S. cerevisiae…...………...

B.Pengaruh Konsentrasi Ion Pb2+ terhadap Pertumbuhan Sel S. cerevisiae ……….. C.Pengaruh Interferensi Variasi Konsentrasi Ion Pb2+ terhadap Pertumbuhan Sel

S. cerevisiae ………

D.Pengaruh Waktu Kontak terhadap Efisiensi Biosorpsi Ion Pb2+………... E.Interfensi Ion Cd2+ terhadap Biosorpsi Ion Pb2+ pada Variasi Waktu Kontak ….. F. Pengaruh pH Media terhadap Efisiensi Biosorpsi Ion Pb2+…..……….…... G.Interfensi Ion Cd2+ terhadap Biosorpsi Ion Pb2+ pada Variasi pH Media ………..

H.Mekanisme Reaksi Biosorpsi ……..………. 48 48 50

53 55 60 67 71 77

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………...

A.Kesimpulan ………..…... B.Saran ……….……….

80 80 80

DAFTAR PUSTAKA ……….…….. 81


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kandungan Asam Amino dalam Khamir S. cerevisiae…….…...…. 21 Tabel 2. Klarifikasi Kriteria Lunak-Keras Asam-Basa Lewis …………..… 23 Tabel 3. Volume Larutan Pb2+ pada Setiap Variasi Konsentrasi……….….. 38 Tabel 4. Volume Larutan Cd2+ pada Setiap Variasi Konsentrasi ……….. 40

Tabel 5. Data Absorbansi Kultur Ragi S. cerevisiae…………..……….….. 49 Tabel 6. OD600 Kultur Ragi S. cerevisiae pada Variasi Konsentrasi Pb2+.… 51

Tabel 7. OD600 Kultur Ragi S. cerevisiae pada Variasi Konsentrasi Cd2+.… 53

Tabel 8. OD600 Kultur Ragi S. cerevisiaepada Variasi Waktu Kontak…... 56

Tabel 9. Konsentrasi Ion Pb2+ yang Terbiosorpsi pada Variasi Waktu

Kontak ……… 58 Tabel 10. Efisiensi Biosorpsi Ion Logam Pb2+ pada Variasi Waktu

Kontak... 59 Tabel 11. OD600 Kultur Ragi S. cerevisiae pada Variasi Waktu Kontak

dengan Interferensi Cd2+……… 60

Tabel 12. Konsentrasi Ion Pb2+ yang Terbiosorpsi pada Variasi Waktu Kontak dengan Interferensi Cd2+...………...……… 62 Tabel 13. Efisiensi Biosorpsi Ion Logam Pb2+ dengan Interferensi Cd2+ pada

Variasi Waktu Kontak …... 63 Tabel 14. Efisiensi Biosorpsi Ion Logam Pb2+ tanpa dan dengan Interferensi

Cd2+ pada Variasi Waktu Kontak………...... 65

Tabel 15. OD600 Kultur Ragi S. cerevisiaepada Variasi pH Media …....…... 67

Tabel 16. Konsentrasi Ion Pb2+ yang Terbiosorpsi pada Variasi pH Media…………...……… 69 Tabel 17. Efisiensi Biosorpsi Ion Logam Pb2+ pada Variasi pH

Media………... 70 Tabel 18. OD600 Kultur Ragi S. cerevisiae pada Variasi pH Media dengan


(14)

xiv

Interferensi Cd2+……….……… 71

Tabel 19. Konsentrasi Ion Pb2+ yang Terbiosorpsi pada Variasi pH Media dengan Interferensi Cd2+...………...……….…… 74 Tabel 20. Efisiensi Biosorpsi Ion Logam Pb2+ dengan Interferensi Cd2+ pada

Variasi pH Media …... 75 Tabel 21. Efisiensi Biosorpsi Ion Logam Pb2+ tanpa dan dengan Interferensi

Cd2+ pada Variasi pH Media ...………... 76 Tabel 22. Data Absorbansi Larutan Standar Timbal pada Variasi Waktu

Kontak tanpa Interfensi Cd2+………..

94 Tabel 23. Data Absorbansi Larutan Standar Timbal pada Variasi pH Media

tanpa Interfensi Cd2+……….………..

95 Tabel 24. Data Absorbansi Larutan Standar pada Variasi Waktu Kontak dan

pH Media dengan Interferensi Cd2+………...…………

96 Tabel 25. Perhitungan Korelasi X dan Y Larutan Standar Pb2+ pada Variasi

Waktu Kontak ………. 97 Tabel 26. Perhitungan Korelasi X dan Y Larutan Standar Pb2+ pada Variasi


(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Strukur Kimia Kitin ………..………... 16

Gambar 2. Struktur Kimia metallothionein……….……... 16

Gambar 3. S. cerevisiae pembesaran 10 x 40 ………. 18

Gambar 4. Fase Pertumbuhan S. cerevisiae……… 20

Gambar 5. Gambar 6. Komponen pada Spektrofotometer Serapan Atom……… Kerangka Berpikir Biosorpsi Menggunakan S. cerevisiae... 25 30 Gambar 7. Kurva Pertumbuhan Sel Ragi S. cerevisiae………... 49

Gambar 8. Grafik Hubungan Konsentrasi Pb2+ dengan Besarnya OD600 ...… 51

Gambar 9. Grafik Hubungan Konsentrasi Cd2+ dengan Besarnya OD600…... 54

Gambar 10. Hubungan antara OD600 Sel Ragi S. cerevisiae Sebelum dan Sesudah Dikontakkan pada Variasi Waktu Kontak ……….. 57

Gambar 11. Grafik Hubungan antara Variasi Waktu Kontak dengan Konsentrasi Pb2+……… 58 Gambar 12. Efisiensi Biosorpsi Ion Logam Pb2+ oleh Sel Ragi S. cerevisiae

pada Variasi Waktu Kontak …...

59 Gambar 13. Hubungan antara OD600 Sel Ragi S. cerevisiae Sebelum dan

Sesudah Dikontakkan pada Variasi Waktu Kontak dengan Ion

Pb2+ dan Cd2+………....

61 Gambar 14. Grafik Hubungan antara Variasi Waktu Kontak dengan

Konsentrasi Ion Pb2+ yang Terbiosorpsi dengan Adanya

Interferensi Cd2+………

63 Gambar 15. Efisiensi Biosorpsi Ion Logam Pb2+ oleh Sel Ragi S. cerevisiae

pada Variasi Waktu Kontak dengan Interferensi Cd2+ .…...

64 Gambar 16. Perbandingan Efisiensi Biosorpsi Ion Logam Pb2+ oleh Sel Ragi

S. cerevisiae tanpa dan dengan Interferensi Cd2+ pada Variasi

Waktu Kontak………...


(16)

xvi

Gambar 17. Perbandingan OD600 Sel Ragi S. cerevisiae Sebelum dan

Sesudah Dikontakkan pada Variasi pH Media ………... 68 Gambar 18. Grafik Hubungan antara Variasi pH Media dengan Konsentrasi

Pb2+yang Terbiosorpsi ………..………… 69 Gambar 19. Efisiensi Biosorpsi Ion Logam Pb2+ oleh Sel Ragi S. cerevisiae

pada Variasi pH Media ………...

70 Gambar 20. Hubungan antara OD600 Sel Ragi S. cerevisiae Sebelum dan

Sesudah Dikontakkan pada Variasi pH Media dengan Ion Pb2+

dan Cd2+………...

72 Gambar 21. Grafik Hubungan antara Variasi pH Media dengan Konsentrasi

Ion Pb2+ yang Terbiosorpsi dengan Adanya Interferensi Cd2+..…

74 Gambar 22. Efisiensi Biosorpsi Ion Logam Pb2+ oleh Sel Ragi S. cerevisiae

pada Variasi pH Media dengan Interferensi Cd2+ …... 75 Gambar 23. Perbandingan Efisiensi Biosorpsi Ion Logam Pb2+ oleh Sel Ragi

S. cerevisiaetanpa dan dengan Interferensi Cd2+ pada Variasi pH

Media ………..………...

77 Gambar 24. Kemungkinan Ikatan yang Terjadi antara Sel Ragi dengan Ion

Logam Pb2+ dan Cd2+………

79 Gambar 25. Kurva Kalibrasi Larutan Standar Timbal pada Variasi Waktu

Kontak tanpa Interfensi Cd2+………

94 Gambar 26. Kurva Kalibrasi Larutan Standar Timbal pada Variasi pH Media

tanpa Interfensi Cd2+……….………

95 Gambar 27. Kurva Kalibrasi Larutan Standar pada Variasi Waktu Kontak

dan pH Media dengan Interferensi Cd2+………... 96


(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Skema Kerja ... 84

Lampiran 2. Daftar dan Kurva Larutan Standar ………. 94

Lampiran 3. Uji Signifikansi Garis Regresi ………... 97


(18)

xviii

PENGARUH INTERFERENSI ION KADMIUM (Cd2+) TERHADAP BIOSORPSI ION TIMBAL (Pb2+) OLEH SEL RAGI Saccharomyces

cereviseae PADA VARIASI WAKTU KONTAK DAN pH MEDIA

Oleh :

Ariqah Khoirunnisa NIM. 12307144016 Pembimbing: Dr. rer. nat. Senam

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh waktu kontak dan pH media terhadap efisiensi biosorpsi ion Pb2+ oleh sel ragi S. cerevisiae dengan adanya

pengaruh interferensi ion Cd2+. Subjek penelitian ini adalah ragi S. cerevisiae dan objek penelitian ini adalah biosorpsi ragi S. cerevisiae terhadap ion Pb2+. Penelitian ini dilakukan secara bertahap untuk mengetahui kondisi biosorpsi meliputi: (1) Penentuan profil pertumbuhan S. cerevisiae pada rentang waktu 0, 2, 4, 6, 8, 16, 24 dan 48 jam, (2) pengukuran terhadap pertumbuhan ragi S. cerevisiae dengan konsentrasi Pb2+ 0, 5, 10, 15, 20, dan 25 ppm, (3) pengukuran terhadap pertumbuhan

ragi S. cerevisiae pada variasi waktu kontak 0, 2, 4, 6, 8 dan 10 jam tanpa dan dengan interferensi Cd2+, (4) pengukuran terhadap pertumbuhan ragi S. cerevisiae dengan pH media 3, 5, 7 dan 9 tanpa dan dengan interferensi Cd2+. Karakterisasi sampel dengan

menggunakan Spectronic 20 dan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa variasi waktu kontak dan pH media berpengaruh terhadap pertumbuhan ragi S. cerevisiae. Pada waktu kontak 6 jam menunjukkan efisiensi pertumbuhan sebesar 45,31%. Pada pH 5 ragi S. cerevisiae menunjukkan biosorpsi optimum yaitu 43,78%.


(19)

xix

THE INFLUENCE OF CADMIUM ION (Cd2+) INTERFERENCE ON THE BIOSORPTION OF LEAD (Pb2+) ION BY S. cerevisiae YEAST

CELL IN THE VARIATION OF TIME CONTACT AND pH MEDIUM

By :

Ariqah Khoirunnisa

Number of Student: 12307144016 Supervisor: Dr. rer. nat. Senam

ABSTRACT

The aim of this research are to study the influence of time contact and pH solution at on biosorption of Pb2+ by S. cerevisiae yeast with of interference Cd2+.

The subject and the object of this research respectively were S. cerevisiae yeast and biosorption of it. The biosorption process was done step by step to get the best condition. The evaluation of the biosorption consist of: (1) Measurement growth of S. cerevisiae yeast in 0, 2, 4, 6, 8, 16, 24, and 48 hours, (2) Measurement growth of S. cerevisiae yeast with variation concentration: 0, 5, 10, 15, 20 and 25 ppm, (3) Measurenment growth of S. cerevisiae with contact time varied at 0, 2, 4, 6, 8 and 10 hours without Cd2+ and with existence of Cd2+, (4) Measurement growth S. cerevisiae yeast at pH medium 3, 5, 7 and 9 without Cd2+ and with existence of Cd2+. Samples were characterized by Spectronic 20 and Atomic Absorbtion Spectrofotometer (AAS). The results showed that the growth efficiency of S. cerevisiae at 6 hours contact time was 45,31% and the optimum biosorption of it at media pH 5 was 43,78%.

Keywords: Pb2+ ion, Cd2+ ion, biosorption, S. cerevisiae, time contact, and pH medium.


(20)

1 BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Air yang menutupi hampir 70% permukaan bumi, memiliki peranan penting sebagai sumber kebutuhan pokok makhluk hidup yang digunakan untuk melangsungkan metabolisme, sistem asimilasi, menjaga keseimbangan tubuh dan lain-lain. Saat ini pemenuhan terhadap air bersih menjadi perhatian khusus, seiring dengan tingginya tingkat kepadatan penduduk serta meningkatnya aktivitas penduduk dikarenakan adanya arus globalisasi. Arus globalisasi ini memberikan pengaruh pada berbagai sektor perindustrian, pertambangan, dan transportasi yang membawa dampak negatif bagi lingkungan dan manusia. Salah satu dampak negatif ini berupa pencemaran lingkungan akuatik oleh logam berat.

Limbah logam berat pada lingkungan akuatik membahayakan keberlangsungan lingkungan, terutama manusia. Peristiwa ini dapat dilihat pada kasus pencemaran logam berat kadmium yang pernah terjadi di Toyama Jepang. Peristiwa ini mengakibatkan penduduk menderita penyakit Itai-itai (Ouch-ouch), yakni tulang mengalami pelunakan (osteomalacia), kemudian menjadi rapuh dan otot mengalami kontraksi karena kehilangan sejumlah kalsium, serta menderita kelainan ginjal (Soemirat, 2005).


(21)

2

Pencemaran logam dapat merusak jaringan makhluk hidup. Beberapa logam berbahaya yang terdapat di lingkungan, antara lain antimony (Sb), arsen (As), kadmium (Cd), kromium (Cr), kobalt (Co), timbal (Pb), zink (Zn), merkuri (Hg). Nikel (Ni), strontium (Sr) dan selenium (Se). Pencemaran lingkungan oleh logam mengganggu kesehatan makhluk hidup bahkan dapat menyebabkan kematian.

Timbal merupakan logam yang bersifat racun jika terakumulasi di dalam tubuh. Top Hazardous Subtance Priority List (2013) menjelaskan bahwa timbal menempati urutan ke dua sebagai zat yang paling sering ditemukan dan menimbulkan potensi yang signifikan bagi kesehatan manusia. Timbal dapat masuk dalam lingkungan dan tubuh manusia dari berbagai macam sumber, seperti bensin (petrol), daur ulang atau pembuangan baterai mobil, mainan, cat, pipa, tanah, beberapa jenis kosmetik dan obat tradisional dan berbagai sumber lainnya (WHO, 2007).

Pencemaran lingkungan oleh limbah logam berat umumnya diatasi dengan pengolahan secara fisiko-kimia dan fitoremediasi. Adapun cara-cara fisiko kimia yang umum digunakan seperti reverse osmosis, elektrodialisis, ultrafiltrasi pertukaran ion, dan pengendapan kimiawi. Akan tetapi pengolahan secara fisiko-kimia dan fitoremediasi masih menyebabkan berbagai kerugian misalnya pemindahan ion logam yang tidak sempurna, kebutuhan energi dan reagen yang tinggi, biaya yang mahal, menghasilkan lumpur toksik atau produk lain yang justru akan menimbulkan limbah sekunder (Rakhmawati, 2006). Oleh karena itu


(22)

3

dibutuhkan pengolahan yang efektif dan efisein dalam usaha mengurangi pencemaran logam berat.

Metode berbasis bioteknologi seperti biosorpsi atau bioakumulasi menjadi metode alternatif yang dapat digunakan dalam menangani pencemaran logam berat. Proses biosorpsi menggunakan mikroorganisme yang terdapat di alam, seperti rumput laut, fungi maupun bakteri. Faktor utama dalam pemilihan mikroorganisme tersebut berupa; organisme mudah tersedia di alam, dan dapat mengalami pertumbuhan cepat, terutama dibudayakan atau diperbanyak untuk keperluan biosorpsi; efektivitas biaya (Volesky, 2000).

Fungi dapat dibedakan menjadi yeast (khamir, sel ragi), kapang (mold), cendawan dan jamur lendir. Jamur dan khamir mendapat perhatian yang besar sebagai penyerap logam, terutama karena keduanya dapat diperoleh pada industri fermentasi (Gadd, 1992). Ragi S. cereviseae pada penelitian ini digunakan sebagai mikroorganisme model biosorben, telah banyak diteliti berkaitan dengan potensinya sebagai biosorben dan bioakumulator, diantaranya karena mudah diperoleh banyak digunakan pada proses fermentasi serta memiliki presentase material dinding sel sebagai sumber pengikatan logam yang tinggi. Hasil penelitian sebelumnya S. cerevisiae telah banyak digunakan dalam mengurangi logam berat, seperti Zn, Cu, Co, serta Th (Veglio, 1996).

Pada penelitian ini mempelajari ion logam Pb2+ sebagai ion yang dibiosorpsi oleh ragi S. cereviseae, sedangkan ion Cd2+ digunakan sebagai ion yang menginterferensi ion Pb2+ pada proses biosorpsi kondisi optimal. Penelitian ini


(23)

4

memberikan alternatif dalam penanganan pencemaran oleh limbah yang mengandung ion logam berat pada lingkungan. Proses biosorpsi ion Pb2+ yang terinterferensi Cd2+ sebagai ion penganggu dari proses penyerapan timbal. Pada penelitian ini dikaji berdasarkan pengaruh ion logam lain, yaitu Cd2+ pada variasi waktu kontak, dan pH media yang dimungkinkan mampu mempengaruhi proses biosorpsi ion Pb2+ oleh sel ragi S. cereviseae.

Pemilihan ion Pb2+ pada penelitian ini didasarkan pada kondisi di lingkungan dimana banyak ditemui ion Pb2+ pada limbah industri yang mencemari

lingkungan. Pemilihan waktu kontak didasarkan pada pertumbuhan ragi S. cereviseae yang diperoleh melalui pengamatan profil pertumbuhan ragi. Pengaruh interferensi oleh logam Cd2+ dilakukan sebagai simulasi keberadaan ion lain dalam

limbah, serta untuk mengetahui pengaruhnya terhadap biosorpsi ion Pb2+ oleh ragi S. cereviseae yang diambil berdasarkan konsep asam basa lunak keras.

Ion logam Cd2+ pada konsep asam basa lunak-keras terletak pada golongan asam-lunak, sedangkan ion logam Pb2+ terdapat pada daerah batas. Alasan menggunakan Cd2+ adalah untuk mengetahui kemampuan biosorpsi ragi S.cereviseae terhadap kedua logam yang memiliki kemiripan antara pasangan asam-basanya.

B.Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian ini dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut.


(24)

5

1. Belum dilakukan pengolahan limbah cair yang mengandung logam berat timbal secara optimal, sehingga limbah ion logam yang terbuang mencemari lingkungan

2. Pengolahan limbah cair khususnya yang mengandung logam berat timbal menggunakan biomassa S. cerevisiae belum dilakukan.

3. Adanya kemungkinan logam berat lain yang terdapat dalam kandungan limbah cair yang mengandung timbal, seperti kadmium yang dapat mengganggu proses biosorpsi.

4. Larutan logam berat timbal dan kadmium yang digunakan dalam penelitian ini berupa larutan simulasi berupa Pb(NO3)2 dan CdSO4.

5. Pengolahan limbah cair logam berat timbal menggunakan konsentrasi timbal (II) optimum dengan kondisi S. cerevisiae yang masih dapat hidup.

6. Pengolahan limbah cair yang mengandung logam berat timbal yang diinterferensi logam kadmium dengan variasi waktu kontak dan pH media belum diteliti.

C.Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah dilakukan pembatasan masalah pada penelitian ini sebagai berikut:

1. Media pertumbuhan yang digunakan yaitu media YPD (Yeast Peptone Dextrosa).


(25)

6

2. Variasi konsentrasi larutan ion Pb2+ yang digunakan adalah 0; 5; 10; 15; 20; dan

25 ppm untuk mendapatkan konsentrasi optimum ragi S.cerevisiae masih dapat hidup dengan baik.

3. Variasi konsentrasi interferensi larutan ion Cd2+ yang digunakan adalah 5; 10; 15; 20; dan 25 ppm untuk mendapatkan konsentrasi interferensi optimum ragi S.cerevisiae masih dapat hidup dengan baik.

4. Variasi waktu kontak yang digunakan sebesar 0; 2; 4; 6; 8; dan 10 jam. 5. Variasi pH media yang digunakan 3, 5, 7 dan 9.

D.Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini meliputi:

1. Adakah pengaruh interferensi ion Cd2+ terhadap efisiensi biosorpsi ion Pb2+ oleh sel ragi S. cereviseae pada variasi waktu kontak?

2. Adakah pengaruh interferensi ion Cd2+ terhadap efisiensi biosorpsi ion Pb2+ oleh sel ragi S. cereviseae pada variasi pH media?

E.Tujuan Penelitan

Penelitian ini bertujuan untuk menguji:

1. Ada tidaknya pengaruh interferensi ion Cd2+ terhadap biosorpsi ion Pb2+ oleh sel ragi S.cereviseae pada variasi waktu kontak.

2. Ada tidaknya pengaruh interferensi Cd2+ terhadap biosorpsi ion Pb2+ oleh sel ragi S. cereviseae pada variasi pH media.


(26)

7 F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Bagi masyarakat, menambah wawasan pengetahuan mengenai potensi lain sel ragi S. cereviseae dalam membantu mengatasi pencemaran lingkungan dan memberikan pengetahuan tentang bidang bioteknologi mengenai pemanfaatan mikroorganisme ragi dalam kehidupan manusia.

2. Bagi mahasiswa, memberikan pengetahuan mengenai pengaruh interferensi ion kadmium (II) terhadap biosorpsi ion timbal (II) oleh ragi S. cerevisiae pada variasi waktu kontak dan pH media dan sebagai acuan bagi referensi selanjutnya.


(27)

8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.Deskripsi Teori

Deskripsi teori yang terkait dengan biosorpsi ion logam berat oleh mikroorganisme disajikan secara rinci meliputi:

1. Pencemaran Lingkungan

Definisi pencemaran lingkungan menurut Undang-undang No. 23 tahun 1997 adalah masuknya dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya, kemudian Undang-undang tersebut diperbaharui kembali dengan Undang-Undang-undang No. 32 tahun 2009 menurut undang-undang tersebut pencemaran lingkungan adalah masuk atau dimasukannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.

Sumber pencemaran lingkungan dapat disebabkan oleh limbah industri dan limbah domestik. Zat atau bahan yang dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan disebut polutan. Syarat-syarat suatu zat disebut polutan bila keberadaannya dapat menyebabkan kerugian terhadap makhluk hidup. Suatu zat dapat dikatakan polutan apabila jumlahnya melebihi jumlah normal serta


(28)

9

berada pada waktu yang tidak tepat. Pencemaran lingkungan dalam bidang industri menjadi suatu perhatian khusus dikarenakan sangat berbahaya bagi kesehatan. Logam berat yang terkandung dalam pencemaran dalam bentuk ion logamnya seperti, Zn2+, Ni2+, Cu2+, Pb2+, Ag2+, Cd 2+ dan Cu2+..

Kasus pencemaran timbal dalam lingkungan biasanya disebabkan hasil samping industri. Industri kertas menghasilkan limbah cair timbal dalam volume yang besar. Limbah cair tersebut merupakan air dari hasil filtrasi limbah yang berupa bubur kertas encer yang apabila tidak dikelola dapat mengganggu kehidupan makhluk hidup (Maharai Haryati dkk, 2012). Pencemaran lingkungan oleh timbal kebanyakan berasal dari aktivitas manusia yang mengekstraksi dan mengeksploitasi logam tersebut.

a. Timbal

Timbal (Pb) merupakan salah satu jenis logam berat yang sering juga disebut dengan istilah timah hitam. Timbal memiliki titik lebur yang rendah, mudah dibentuk, memiliki sifat kimia yang aktif, sehingga biasa digunakan untuk melapisi logam agar tidak timbul perkaratan. Timbal adalah logam yang lunak berwarna abu-abu kebiruan mengkilat dan memiliki bilangan oksidasi +2 (Sunarya, 2007).

Timbal (Plumbum) beracun baik dalam bentuk logam maupun garamnya. Garamnya yang beracun adalah: timbal karbonat (timbal putih); timbal tetraoksida (timbal merah); timbal monoksida; timbal sulfida; timbal


(29)

10

asetat (merupakan penyebab keracunan yang paling sering terjadi). Ada beberapa bentuk keracunan timbal, yaitu keracunan akut, subakut dan kronis.

Baku mutu udara ambien untuk timbal, yaitu sebesar 2,0 g/Nm3 berdasarkan PP RI No. 41 Tahun 1999. Public Health Service Amerika Serikat (Evi Naria, 2005) menetapkan bahwa sumber-sumber air untuk masyarakat tidak boleh mengandung timbal lebih dari 0,05 mg/L, sedangkan WHO menetapkan batas timbal di dalam air sebesar 0,1 mg/L. Indonesia mempunyai batas maksimum cemaran Timbal (Pb) pada bahan makanan yang ditetapkan oleh Dirjen POM dalam Surat Keputusan Dirjen POM No. 03725/B/SK/VII/89 tentang Batas Maksimum Cemaran Logam dalam Makanan. Bahan makanan seperti susu dan hasil olahannya kadar maksimum adalah 1,0 ppm, untuk sayuran dan hasil olahannya maksimum 2,0 ppm, untuk ikan dan hasil olahannya maksimum 2,0 ppm, dan untuk beberapa jenis bahan makanan lainnya (Eva Naria, 2005).

Kemungkinan pencemaran timbal (Pb) oleh manusia dikarenakan luasnya penggunaan timbal oleh manusia seperti dalam bahan bakar bensin, baterai, cat dan sebagainya (Nana Dyah dkk., 2004). Palar (Meyliana, 2013) menjelaskan keracunan timbal dapat terjadi jika timbal atau persenyawaanya masuk ke dalam tubuh. Sama seperti jenis logam berat lainnya, timbal dapat masuk ke tubuh manusia melalui beberapa cara, antara lain: melalui pernapasan (inhalasi), konsumsi makanan dan minuman yang terkontaminasi


(30)

11

timbal maupun penetrasi melalui kulit. Peristiwa absorpsi melalui kulit terjadi untuk senyawa timbal organik (alkil timbal dan naftalenat timbal).

Keracunan timbal dapat menyerang manusia dari berbagai usia. Akan tetapi, anak usia muda, wanita hamil dan pekerja di industri tertentu lebih besar resikonya dibandingkan kelompok yang lain (Kessel I & O’Connor, 1997). Anak-anak lebih sensitif dibandingkan orang dewasa karena pusat perkembangan sistem saraf mereka masih berkembang (Albalak et al, 2003).

b. Kadmium

Widowati (Istana, 2014) menjelaskan kadmium merupakan logam berwarna putih perak, lunak, mengkilap, tidak larut dalam basa, mudah bereaksi, serta menghasilkan kadmium oksida bila dipanaskan. Kadmium (Cd) umumnya terdapat dalam kombinasi dengan klor (Cd klorida) atau belerang (Cd sulfit). Kadmium membentuk Cd2+ yang bersifat tidak stabil.

Cd memiliki nomor atom 40, berat atom 112,4, titik leleh 321°C, titik didih 767 °C dan memiliki masa jenis 8,65 g/cm3.

Seperti berbagai logam berat lain, logam kadmium membawa sifat racun yang dapat merugikan makhluk hidup. Sarwoko Mangkoediharjo dan Ganjar Hardianto (2009) menjelaskan bahwa meskipun kadmium mempunyai konfigurasi elektronik dan sifat kimia yang mirip dengan seng tetapi kadmium mempunyai daya racun yang lebih tinggi dibandingkan seng. Daya racun atau toksisitas logam berat kadmium sangat tinggi, tetapi masih lebih rendah (di bawah) logam merkuri. Namun demikian, kadmium


(31)

12

mempunyai sifat mobilitas yang tinggi dalam tatanan lingkungan dibandingkan logam berat lainnya, sehingga kadmium lebih mudah masuk ke dalam rantai makanan dan terakumulasi dalam tubuh makhluk hidup.

Terpapar akut oleh kadmium menyebabkan gejala nausea (mual), muntah, diare, kram otot, anemia, dermatitis, pertumbuhan lambat, kerusakan ginjal dan hati, dan gangguan kardiovaskuler, emfisema dan degenerasi testikular. Perkiraan dosis mematikan akut adalah sekitar 500 mg/kg untuk dewasa dan efek dosis akan nampak jika terabsorpsi 0,043 mg/kg per hari. Gejala akut keracunan Cd adalah sesak dada, kerongkongan kering dan dada terasa sesak, nafas pendek, nafas terengah-engah, dan dapat berkembang ke arah penyakit radang paru-paru, sakit kepala dan menggigil, bahkan dapat diikuti dengan kematian. Gejala kronis keracunan Cd yaitu nafas pendek, kemampuan mencium bau menurun, berat badan menurun, gigi terasa ngilu dan berwarna kuning keemasan (Widaningrum dkk, 2007).

2. Pengolahan Limbah

Pemisahan logam berat dapat dilakukan secara fisika, kimia dan biologi. Dyah Purwaningsih (2005) menjelaskan bahwa hampir semua logam berat dapat dipisahkan dengan cara pengendapan dengan pH tinggi. Oleh karena itu pada umumnya, cara pemisahan yang sering digunakan adalah cara kimia, yaitu cara pengendapan dengan pH tinggi yang dilakukan dengan menambahkan bahan kimia agar terjadi pengendapan hidroksida. Pengolahan secara fisika


(32)

13

yang umum dilakukan adalah absorpsi menggunakan karbon aktif atau dengan cara penyaringan menggunakan membran. Suyono (Dyah Purwaningsih, 2005) menjelaskan bahwa pengolahan secara fisika-kimia dibebani suatu harapan (terpenuhinya) kriteria efisien (tidak mahal) dan efektif. Namun ternyata cara tersebut tidak memenuhi kedua kriteria secara kompherensif. Harris dan Ramellow (1990) menjelaskan bahwa cara tersebut membutuhkan teknologi tinggi, serta peralatan dan sistem monitor yang mahal. Selain itu kelemahannya cara ini adalah dimasukkannya bahan kimia lain dalam proses pemisahannya. Oleh karena itu, perlu dikembangkan suatu sistem pengolahan yang menggunakan bahan (material) murah untuk memisahkan logam berat dari air buangan. Cara lain yang digunakan yaitu fitoremediasi menggunakan tanaman tertentu untuk membersihkan tanah, sedimen, dan air yang terkontaminsai logam. Kerugian menggunakan metode ini ialah dibutuhkan waktu lama untuk pemindahan logam dan regenerasi tanaman untuk proses biosorpsi lebih lanjut sukar (Rakhmawati, 2006).

Metode pengolahan limbah logam berat terutama timbal yang perlu dikembangkan yaitu dengan metode biosorpsi dengan menggunakan mikroorganisme. Kratochvil & Volesky (Ahalya et al, 2006) menjelaskan keuntungan utama biosorpsi dibandingkan dengan semua metode penanganan limbah yang ada ialah murah, efisiensi tinggi, minim bahan kimia dan buangan lumpur, tidak memerlukan nutrien tambahan, adanya regenerasi biosorben, dan adanya kemungkinan pengunduhan logam.


(33)

14 a. Biosorpsi

Biosorpsi merupakan suatu proses dalam pengikatan kation secara pasif dengan menggunakan mikroorganisme hidup atau mati yang dapat mengurangi toksisitas dari logam tersebut. Forest (Rakhmawati, 2006) menjelaskan bahwa biosorpsi dapat didefinisikan sebagai kemampuan dari materi biologi untuk mengakumulasi logam berat dari perairan baik dengan cara fisiko-kimia maupun secara metabolik.

Proses biosorpsi melibatkan bahan padat (biosorben: materi biologi) dan bahan cair (solven: biasanya digunakan air) mengandung logam berat yang akan diserap (sorbat; ion logam). Dengan adanya daya afinitas yang tinggi biosorben terhadap sorbat, sorbat akan ditarik dan terikat oleh mekanisme yang berbeda(Rakhmawati, 2006).

Biosorpsi logam terjadi karena kompleksitas ion logam yang bermuatan positif dengan pusat aktif yang bermuatan negatif pada permukaan dinding sel atau dalam polimer-polimer ekstraseluler, seperti protein dan polisakarida sebagai sumber gugus fungsi yang berperan penting dalam mengikat ion logam. Proses penyerapan ini berlangsung cepat dan terjadi pada sel hidup maupun sel yang telah mati (Volesky, 2000). Selain itu biosorpsi juga terjadi karena adanya peristiwa pertukaran ion dimana ion monovalent dan divalent seperti Na+, Mg2+, Ca2+, K+ pada dinding sel digantikan oleh ion-ion logam berat (Suhendrayatna, 2001).


(34)

15

Absorpsi logam berat (proses biosorpsi): melalui proses passive uptake dan active uptake (Zarkasyi, 2008). Passive uptake merupakan proses yang terjadi ketika ion logam berat terikat pada dinding sel biosorben. Mekanisme passive uptake dapat dilakukan dengan dua cara, pertama dengan cara pertukaran ion di mana ion pada dinding sel digantikan oleh ion-ion logam berat; dan kedua adalah pembentukan senyawa kompleks antara ion-ion logam berat dengan gugus fungsional seperti karbonil, amino, tiol, hidroksi, posfat dan hidroksi-karboksil secara bolak balik dan cepat (Suhendrayatna, 2001; Ahalya et al., 2004). Dinding sel fungi sangat efisien untuk biosorpsi logam karena adanya gugus-gugus fungsional yang dimilikinya. Polisakarida fungi memiliki gugus amino, karboksi, fosfat, dan sulfat (Rakhmawati, 2006).

Protein dan polisakarida yang terdapat dalam fungi memiliki peran dan proses biosorpsi logam karena ikatan-ikatan kovalen termasuk juga dengan gugus amino dan karboksil. Gambar 1 memperlihatkan struktur kimia dari kitin yang merupakan penyusun utama dinding sel S. cerevisiae. Kitin memiliki gugus amino dan karboksil yang dapat berperan dalam biosorpsi logam (Rakhmawati, 2006).


(35)

16

Gambar 1. Struktur Kimia Kitin

Mekanisme proses biosorpsi juga dapat diawali dengan pengikatan logam pada gugus sulfur dari asam amino sistein yang terdapat pada dinding sel S. cerevisiae. Protein reseptor akan mengenali adanya logam asing (non esensial), selanjutnya gen akan mengkode untuk pembentukan metallothionein dalam sel. Gambar 2 memperlihatkan strutur protein dalam metallothionein. Protein metallothionein merupakan suatu protein pengikat logam yang memiliki berat molekul 6000-7000 dalton, mengandung 30% asam amino sistein. Kandungan sistein dan thiol yang tinggi menyebabkan protein tersebut memiliki daya afinitas yang kuat terhadap logam (Rakhmawati, 2006).

Gambar 2. Struktur Kimia Mettalothienin (Rakhmawati, 2006) Active uptake merupakan mekanisme secara simultan terjadi berbagai tipe sel hidup, seiring dengan konsumsi ion logam untuk pertumbuhan


(36)

17

mikroorganisme dan akumulasi intraseluler ion logam tersebut. Logam berat dapat diendapkan pada proses metabolisme, proses ini tergantung dari energi yang terkandung dari energi yang tergantung dan sensifitasnya terhadap parameter yang berbeda seperti pH, suhu dan kekuatan ionik.

Proses biosorpsi dapat dihambat oleh suhu yang rendah, tidak tersedianya sumber energi dan beberapa penghambat metabolisme sel, selain itu biosorpsi logam berat dengan sel hidup sangat terbatas dikarenakan oleh akumulasi ion yang meracuni mikroorganisme. Mikroorganisme yang tahan terhadap efek toksik dari ion logam dapat dihasilkan berdasarkan prosedur seleksi yang ketat terhadap pemilihan jenis mikroorganisme yang tahan terhadap kehadiran ion logam berat.

3. Saccharomyces cerevisiae

S. cerevisiae merupakan khamir sejati tergolong eukariot yang secara morfologi hanya membentuk blastopora yang berbentuk bulat lonjong, silindris, oval atau bulat telur yang dipengaruhi oleh strainnya. Dapat berkembang biak dengan membelah diri melalui budding cell. Reproduksinya dapat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan serta jumlah nutrisi yang tersedia bagi pertumbuhan sel. Penampilan makroskopik mempunyai koloni berbentuk bulat, warna kuning muda, permukaan berkilau, licin, tekstur lunak dan memiliki sel bulat dengan askospora 1-8 buah (Ahmad, 2005).


(37)

18

Gambar 3. S. cerevisiae Pembesaran 10 x 40 (Jean-Michel 2005).

Sel S. cerevisiae dapat tumbuh pada medium yang mengandung air gula dengan konsentrasi tinggi. S. cerevisiae merupakan golongan khamir yang mampu memanfaatkan senyawa gula yang dihasilkan oleh mikroorganisme selulotik untuk pertumbuhannya. Spesies ini dapat memfermentasikan berbagai karbohidrat dan menghasilkan enzim invertase yang bisa memecah sukrosa menjadi glukosa dan frukosa serta dapat mengubah glukosa menjadi alcohol dan karbondioksida sehingga banyak digunakan dalam industri pembuatan bir, roti ataupun anggur (Fardiaz, 1992).

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan S. cerevisiae yaitu (Agustining, 2012):

a. Suhu

S. cerevisiae memiliki suhu optimum untuk pertumbuhannya. Pada posisi suhu dibawah minimal maupun diatas maksimal dapat menyebabkan terjadinya denaturasi enzim sehingga S. cerevisiae tidak dapat tumbuh. Sebagian besar S. cerevisiae umumnya tumbuh baik pada kisaran 25-460C.


(38)

19 b. pH

Laju pertumbuhan mikroorganisme S. cerevisiae bergantung pada pH, adanya perubahan pH dapat mempengaruhi permebilitas sel dan sintesis enzim, oleh sebab itu diperlukan upaya dalam mempertahankan pH dan buffer. Adapun nilai pH optimal untuk pertumbuhan S. cerevisiae berada di antara 2,5-4,5.

Dalam tahapan pertumbuhannya S. cerevisiae mengalami enam fase yaitu:

a. Fase Adaptasi (Lag Phase)

Fase ini merupakan fase dimana S. cerevisiae menyesuaikan diri (adaptasi) dengan lingkungan barunya dan belum mengadakan perbanyakan sel. Mikroba merombak substrat menjadi nutrisi untuk pertumbuhannya (Satriyo Krido., dkk, 2011).

b. Fase Eksponensial / Pertumbuhan (Log Phase)

S. cerevisiae telah menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

Pembelahhan sel terjadi secara sangat cepat secara eksponensial. Dalam kondisi kultur yang optimum, sel mengalami reaksi metabolisme yang maksimum. Fase eksponensial ini berlangsung selama 2 jam. Peristiwa ini dapat menunjukkan bahwa kultur telah berada kondisi aktif dan proses aktivasi sebelumnya berjalan baik (Satriyo Krido., dkk, 2011).


(39)

20 c. Fase Penurunan (Deceleration Phase)

Fase ini berlangsung selama 20 menit, dimana pertumbuhan mengalami perlambatan (Satriyo Krido., dkk, 2011).

d. Fase Penetapan/ Konstan (Stationer Phase)

Pada fase ini kecepatan pertumbuhan S. cerevisiae adalah nol. Namun demikian, bukan berarti tidak terjadi pertumbuhan sel. Konsentrasi biomassa pada fase ini berada dalam keadaan maksimum. Pada fase ini menghasilkan metabolisme sekunder, yaitu merupakan inhibitor dan bersifat racun. Nutrien yang merupaka asupan nutrisi bagi S. cerevisiae mulai berkurang, sehingga adanya persaingan antar mikroba yang mengakibatkan semakin cepat kematian (Satriyo Krido., dkk, 2011).

e. Fase Kematian (Decline Phase)

Tahapan pada fase ini terhentinya aktifitas kehidupan S. cerevisiae, dikarenakan tidak adanya energi yang digunakan untuk melakukan metabolisme (Satriyo Krido., dkk, 2011).


(40)

21

Mekanisme dalam proses biosorpsi S. cerevisiae diawali dengan pengikatan logam pada gugus sulfur yang terdapat dari asam amino sistein yang terdapat pada dinding sel. Berikut kandungan asam amino yang terdapat dalam S. cerevisiae:

Tabel 1. Kandungan Asam Amino dalam Khamir S. cerevisiae

No. Asam Amino Jumlah (%)

1. Fenilalanin 4,1-4,8

2. Isoleusin 4,6-5,3

3. Lisin 7,7-7,8

4. Leusin 7,0-7,8

5. Metionin 1,6-1,7

6. Sistein 0,9

7. Treonin 4,8-5,4

8. Triptofan 1,1-1,3

9. Valin 5,3-5,8

(Suriawiria, 1990)

Gugus sulfur yang terdapat pada asam amino sistein sebesar 0,9% dalam ragi S. cerevisiae dimungkinkan dapat mengikat logam berat seperti timbal dan kadmium. Metallothionein sebagai protein pengikat logam (metal-binding protein) berfungsi dan berperan dalam pengikatan atau penyekapan logam dalam jaringan makhluk hidup. Kandungan dalam metallothionein berupa residu sistein yang dibutuhkan dalam mendetoksifikasi logam-logam berat dengan mengikat kation dalam logam transisi. Terdapat dua domain dalam metallothionein yang mempunyai peran fungsional yaitu domain β (N-terminal)

yang terlibat dalam homeostasis dari ion logam esensial, dan domain α (C -terminal) yang mengikat dengan kuat logam-logam toksik (Ekawati, 2014).


(41)

22

Pertukaran ikatan dengan protein lain dalam metallothionein dapat berlangsung dengan mudah, meskipun metallothionein dapat mengikat logam dengan sangat kuat. Peristiwa ini karena ikatan metallothionein terhadap logam memiliki kestabilan termodinamik yang tinggi namun stabilitas kinetiknya rendah. Alasan inilah yang menjadikan metallothionein mempunyai fungsi biologis sebagai distributor dan mediator intraseluler terhadap logam-logam yang diikatnya (Ekawati, 2014).

4. Asam-Basa Lunak-Keras

Asam-basa lunak merupakan asam basa yang elektron valensinya mudah dilepaskan, sedangkan asam-basa keras merupakan asam-basa yang mempunyai sifat terpolarisasi rendah karena sifatnya yang tidak mempunyai elektron valensi. Istilah lunak-keras bersifat relatif tanpa adanya pemisahan yang tajam antara keduanya. Daerah batas umumnya banyak terdapat pada logam-logam transisi. Golongan utama logam pada bagian kanan sistem periodik unsur bersifat asam lunak. Beberapa ion logam tertentu bersifat asam lunak karena muatan ion rendah dan keras karena muatan ion tinggi (Cowan, 1997).

Pearson (1963) menjelaskan bahwa asam-basa Lewis dapat diklasifikasi sebagai asam basa lunak (soft) atau keras (hard). Asam-basa lunak adalah asam basa yang elektron-eletron valensinya mudah terpolarisasi atau dilepaskan, sedangkan asam-basa keras adalah asam-basa yang tiak mempunyai elektron valensi atau yang elektron valensinya sukar terpolarisasi.


(42)

23

Informasi yang paling penting untuk dipahami adalah bahwa istilah lunak-keras bersifat relatif tanpa adanya pemisahan yang tajam (mendadak) antara keduanya sehingga menghasilkan apa yang dapat dikatakan sebagai

“daerah batas” (borderline) bagi keduanya. Secara umum, ion logam-logam yang terletak pada bagian kiri sistem periodik unsur bersifat asam keras; peristiwa ini paralel dengan rendahnya sifat elektronegatif atau tingginya sifat elektropositif logam-logam yang bersangkutan. Daerah batas umumnya terdapat pada logam-logam transisi. Golongan utama logam pada bagian kanan sistem periodik unsur bersifat asam lunak. Sifat asam juga berkaitan dengan muatan ion; beberapa ion logam tertentu bersifat aman lunak bagi muatan ion rendah dan keras bagi muatan ion ton tinggi. Beberapa contoh sifat asam-basa menurut klasifikasi Pearson dapat diperiksa pada Tabel 2.

Tabel 2. Klasifikasi Kriteria Lunak-Keras Asam Basa Lewis

No Acid Bases

1 Hard (Keras) H+, Li+, Na+, K+, Be2+,

Mg2+, Ca2+, Sr2+, Ti4+, Cr3-, Cr6+, Mn2+, Mn7+, Fe3+, Co3+, BF3, BCl3, Al3+,

Al3+, AlCl

3, AlH3, CO2,

HX

H2O, NH3, N2H4, F-,

Cl-,OH-, ROH, R2O,

NOM-,ClO4-,

CH3COO-, O2-, CO32-,

SO42-, PO4

3-2 Intermediate (Batasan)

Fe2-, Co2+, Ni2+, Zn2+, Sn2+,

Pb2+, C

6H5, NO+, Sb3+,

Bi3+, SO 2

Imidazole Piridine, Pyridine

3 Soft (Lunak) Cu+, Ag+, Au+, Hg+, Cd2+,

Pd 2+, Pt 2+, Br2,

atom-atom logam

H-, C4H4, C6H6, CO,

SCN-, CN-, I-, S2-, S2O3


(43)

24 5. Pengukuran

Pengukuran untuk memperoleh data selama pelaksanaan penelitian dilakukan menggunakan:

a. Spektronik 20

Spektronik 20 dapat mengukur kepekaan sel dalam suspensi dengan parameter optical density (OD). Dalam mikrobiologi OD sebagai suatu hitungan karena OD sebanding dengan jumlah sel dalam suspensi biakan (Bibiana, 1994).

Dalam penggunaanya, penentuan jumlah sel dengan spektronik 20 dengan parameter OD memerlukan dua tahap. Pada tahap pertama, spektronik 20 dikalibrasikan hingga mempunyai nilai 0 bila tidak ada sel. Langkah ini dilakukan dengan memasukkan kuvet yang berisi larutan blanko, sedangkan pada tahap kedua dilakukan dengan memasukkan kuvet yang berisi larutan sampel hingga diperoleh nilai OD (Bibiana, 1994).

Pengukuran densitas optik dengan menggunakan spektronik 20 didasarkan pada pemisahan cahaya pada panjang gelombang 600 nm. Panjang gelombang 600 nm memiliki warna oranye, pemilihan panjang gelombang 600 nm ini dikarenakan dengan panjang gelombang 600 nm bahan organik lebih mudah menyerap cahaya.

Prinsipnya gelombang cahaya akan melewati suspensi biakan hingga banyaknya cahaya yang akan ditransmisikan setelah melewati suspensi dapat


(44)

25

diukur. Jumlah cahaya yang ditransmisikan setelah melewati biakan berbanding terbalik dengan jumlah mikroorganisme.

Densitas optik suatu supensi tidak langsung menunjukkan jumlah sampel dalam suatu populasi, namun menunjukkan jumlah cahaya yang disebar oleh populasi tersebut. Untuk memperoleh jumlah sel mikroorganisme, maka nilai kerapatan optik harus disetarakan dengan jumlah organisme. Semakin besar OD600 maka semakin banyak selnya

(OD600 = 1 menjadi 107 sel/mL).

b. Spektroskopi Serapan Atom

Spektrofotometri serapan atom adalah suatu metode yang digunakan untuk mendeteksi atom-atom logam dalam fase gas. Metode ini seringkali mengandalkan nyala untuk mengubah logam dalam larutan sampel menjadi atom-atom logam berbentuk gas yag digunakan untuk analisis kuantitatif dari logam dalam sampel. Metode spektrofotometri serapan atom berdasarkan pada prinsip absorpsi cahaya oleh atom. Atom-atom akan menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu, tergantung pada sifat unsurnya.


(45)

26

Spektroskopi serapan atom pada penelitian ini digunakan untuk mengukur jumlah konsentrasi Pb2+ yang tersisa maupun Pb2+ yang sudah terinteferensi oleh Cd2+. Metode analisis yang digunakan untuk mengukur

jumlah atom logam yang kembali dari energi tinggi menuju pada energi dasarnya.

Khopkar (1990) menjelaskan bahwa metode ini mampu mendeteksi logam sampai jumlah yang sangat kecil, yaitu bagian per juta (ppm). Dengan metode pengukuran ini dapat mendeteksi kadar logam berat salah satunya kadmium dan timbal dengan jumlah yang sangat kecil.

Energi radiasi disebabkan oleh terjadinya perpindahan elektron ke tingkat energi yang lebih tinggi. Pengurangan interaksi yang ditimbulkan sebanding dengan jumlah atom pada tingkat energi dasar yang menyerap energi tersebut. Sehubungan dengan itu intensitas radiasi yang dapat diserap menunjukkan konsentrasi unsur dalam suatu larutan (Khopkar, 1990).

Teknik analisis kuantitatif menggunakan spektrofotometer serapan atom digunakan untuk mengukur konsentrasi larutan dalam sampel dengan menggunakan kurva standar berdasarkan persamaan Lambert-Beer, A = bc. Bila  dan b tetap maka persamaan Lambert-Beer secara matematik dapat dinyatakan dengan Y= aX. Y menyatakan besarnya absorbansi, X menyatakan konsentrasi dan a menyatakan tetapan dengan a= bc,  merupakan koefisien ektingsi molar dan b adalah tebal media dalam cm.


(46)

27 B.Penelitian yang Relevan

Nunik Ekawati (2014) melakukan penelitian mengenai biosorpsi ion logam Cd oleh biomassa S. cerevisiae dengan menggunakan logam simulasi. Biosorspi dilakukan dengan menambahkan biomassa S. cerevisiae yang telah diinokulasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biomassa S. cerevisiae mencapai waktu optimum pada jam ke-6 dan pada suhu 25oC biomassa S. cerevisiae mencapai suhu

optimum. Adanya interferensi logam lain mengakibatkan penurunan efisiensi biosorpsi dari 24,57% menjadi 16,23% dan pada variasi suhu inkubasi terjadi penurunan efisiensi dari 44,47% menjadi 35,22%.

Sunardi (2011) telah melakukan penelitian adanya penurunan kadar krom (VI) dengan Sargassum Sp, S. cerevisiae dan kombinasinya pada limbah cair industri batik. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan S. cerevisiae dapat digunakan untuk menurunkan kadar krom(VI) serta limbah cair industri batik.

Rahmadhan dan Handajani (2010), melakukan penelitian untuk mengetahui biomassa S. cerevisiae sebagai biosorben untuk menyerap kandungan ion logam Cr yang terdapat pada larutan. Penelitian dilakukan dengan menguji kemampuan biosorpsi pada variasi pH, waktu kontak dan konsentrasi logam Cr. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa biosorpsi tertinggi mencapai 45% dengan kapasitas adsorpsi maksimum sebesar 62,5 mg Cr/g sorben.

Muwardi et al (1997) telah meneliti mengenai pemanfaatan biomassa S. cerevisiae untuk penyerapan logam Pb2+. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kurang lebih 86% dari total serapan terjadi pada 10 menit pertama waktu kontak


(47)

28

dengan serapan maksimum 33,04 mg Pb/g biomasaa. Veglio dan Beolchini (1996) telah menunjukkan kapasitas biosorpsi dari S. cerevisiae dalam mengurangi logam-logam seperti kobalt, zink, serta uranium.

C.Kerangka Berpikir

Pesatnya arus globalisasi yang ditandai dengan perkembangan industri menyebakan pencemaran logam berat pada lingkungan, terutama pada lingkungan perairan. Logam berat yang banyak ditemukan di alam berupa timbal, yang menempati urutan ke dua sebagai zat yang paling sering ditemukan dan menimbulkan potensi yang signifikan bagi kesehatan manusia. Selain logam timbal tidak menutup kemungkinan adanya logam-logam berat lain yang terbawa dan mampu menyebabkan pencemaran lingkungan akuatik juga. Dalam penelitian ini digunakan logam berat kadmium sebagai simulasi keberadaan logam lain di alam.

Untuk mengatasi masalah pencemaran logam tersebut perlu dilakukan penelitian dengan metode yang ramah lingkungan, salah satunya dengan biosorspi memanfaatkan sel ragi dengan menggunakan mikroorganisme. Mikroorganisme seperti jamur, khamir, bakteri, alga secara efisen dapat menyerap logam berat dengan memiliki berbagai keunggulan lebih murah dibandingkan metode fisika-kimia. Penelitian ini menggunakan mikroorganisme S. cerevisiae yang berpotensi sebagai biosorben dan bioakumulator logam berat, diantaranya karena material dinding sel sebagai sumber pengikat logam yang tinggi.


(48)

29

Penelitian ini mengkaji mengenai kemampuan ragi S. cerevisiae dalam mengabsorpsi Pb2+ yang tercampur ion logam Cd2+ yang keduanya berbeda kelompok sesuai klasifikasi asam basa lunak-keras. Hal ini dilakukan berdasarkan keberadaan ion-ion logam lain dalam limbah selain ion Pb2+ yang mungkin dapat mengabsorpsi ion Pb2+.

Ion logam dapat diabsorpsi oleh mikroorganisme S. cerevisiae dengan cara berikatan dengan gugus sulfida dan asam amino sistein pada protein dinding sel ragi S. cerevisiae. Berdasarkan klasifikasi asam basa lunak keras gugus sulfida termasuk ke dalam golongan basa lunak. Dengan demikian, secara teori dapat diramalkan bahwa gugus sulfida akan cenderung mengikat ion golongan asam lunak atau ion daerah batas.

Berdasarkan konsep asam basa lunak keras ion logam Pb2+ dan ion logam Cd2+ terletak pada klasifikasi yang berbeda. Pb2+ terletak pada daerah batas dan

Cd2+ terletak pada daerah asam lunak. Ditinjau dari elektron valensi gugus sulfida dan ion Pb2+ mempunyai elektron yang sesuai yaitu 2- dan 2+, sehingga dimungkinkan akan lebih mudah terjadi ikatan. Berdasarkan beberapa kemungkinan di atas maka interferensi ion Cd2+ diduga akan berpengaruh dalam mempengaruhi biosorpsi ragi S. cerevisiae terhadap logam Pb2+ apabila kedua ion


(49)

30

Pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan berbagai variasi yaitu waktu kontak dan pH media untuk mengetahui efisiensi biosorpsi ion Pb2+ yang terinteferensi ion logam Cd2+. Secara ringkas kerangka berpikir dapat ditampilkan

melalui Gambar 6.


(50)

31 BAB III

METODE PENELITIAN

A.Subjek dan Objek Penelitian

Subjek dan obyek penelitian ini dijelaskan secara rinci dengan memisahkan antara subyek penelitian dan obyek penelitian.

1. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini berupa sel ragi S. cerevisiae yang mampu membiosorpsi ion Pb2+ yang diinterferensi oleh ion Cd2+ pada pengaruh variasi waktu kontak dan pH media.

2. Objek Penelitian

Objek penelitian ini berupa absorptivitas sel ragi S. cereviseae terhadap ion Pb2+ yang diinterferensi oleh ion Cd2+ pada pengaruh variasi waktu kontak

dan pH media.

B.Variabel Penelitian

Variabel penelitian ini terdiri dari variabel bebas dan variabel terikat yang masing-masing variabel dijelaskan pada bagian berikut.

1. Variabel Bebas

Variabel bebas pada penelitian adalah variasi perbandingan Pb2+ dan Cd2+


(51)

32 2. Variabel Terikat

Variabel terikat pada penelitian ini adalah jumlah ion Pb2+ yang dibiosorpsi oleh sel ragi S. cereviseae pada media pertumbuhan yang mengandung ion Pb2+.

C.Instrumen Penelitian

Instrumen dalam penelitian ini terdiri dari alat penelitian, bahan penelitian, dan tempat penelitian sebagai berikut.

1. Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: Spektrofotometer Serapan Atom (SSA), Shaker Eyela, Autoklaf Model 25 No 25X Wiscosin Aluminium, sentrifuge H-103n Kokusan, laminar air flow (LAF) SCB- 4000A Shimadzu, timbangan analitik, tabung sentrifuge, mikropipet 10 mL; 5mL; dan 1 mL, labu ukur 100 mL, erlenmeyer, cawan petri, tabung reaksi, beakerglass, kawat ose, pipet tetes, stopwatch, tip, dan tabung fihn.

2. Bahan Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: yeast extract, bacto pepton, bacto agar, sel ragi S. cerevisiae, NaOH 0,5 M, HNO3

0,5 M, serbuk Pb(NO3)2, serbuk CdSO4, kapas, kasa, kertas payung, karet dan


(52)

33 3. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi FMIPA UNY dan Laboratorium Kimia Organik FMIPA UNY.

D.Prosedur Penelitian

Sebagian besar kerja dan penelitian ini dilakukan dalam kondisi steril untuk menghindari adanya kontaminasi, terutama ketika menggunakan media pertumbuhan dan inokulasi sel ragi. Inokulasi dilakukan di Laminar Air Flow (LAF) yang sebelumnya telah diberi sinar ultraviolet dan disemprot dengan alkohol 70%.

Semua peralatan gelas, kawat ose, YPD ( Yeast Peptone Dextrosa ) cair dan padat harus disterilkan terlebih dahulu menggunakan autoklaf pada suhu 121 ͦ C dan tekanan 1 atm selama 15 menit (Widyatmoko, 2012).

Pengukuran koloni mikroorganisme berdasarkan jumlah koloni secara kualitatif menggunakan spektronik 20 dengan = 600 nm. Sedangkan pengukuran secara kuantitatif dengan mengukur kadar timbal menggunakan SSA.

1. Pembuatan Media Yeast Pepton Dekstrosa (YPD) Padat

Sebanyak 2 g glukosa, 1 g yeast extract, 2 g agarosa dan 2 g bacto pepton. Bacto pepton, yeast extract, dan agarosa dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 mL dan ditambah akuades hingga volume 70 mL. Glukosa dimasukkan dalam erlenmeyer lain dan ditambah akuades hingga volume 30 mL. Masing-masing


(53)

34

larutan disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121 ͦC selama 10 menit dan tekanan 1 atm, kemudian larutan dicampur di dalam Laminar Air Flow. Media dituangkan pada cawan petri dan ditunggu sekitar 10 menit hingga memadat (Widyatmoko, 2012). Media YPD padat dapat digunakan setelah dua hari untuk melihat ada tidaknya kontaminasi jamur lain.

2. Pembuatan Media Yeast Pepton Dekstrosa (YPD) Cair

Sebanyak 2 g glukosa, 1 g yeast exctract, dan 2 g bacto pepton ditimbang. Bacto pepton dan yeast extract dicampur dalam erlenmeyer 250 mL dan ditambah akuades hingga volume 70 mL. Glukosa dimasukkan dalam erlenmeyer lain dan ditambah akuades hingga volume 30 mL. Masing–masing larutan disterilkan dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121oC selama 10 menit dan tekanan 1 atm, kemudian larutan dicampur di dalam Laminar Air Flow. Media YPD cair siap digunakan (Widyatmoko, 2012).

3. Peremajaan Sel Ragi S. cerevisiae

Media YPD padat pada cawan petri disiapkan. Sel ragi alami (wild type S. cereviseae) sebagai sel stok diambil dengan kawat ose steril. Sel yang menempel pada kawat ose digesekkan pada media YPD padat, kemudian diinkubasi pada suhu kamar selama 2 hari. Sel ragi dalam cawan petri ini


(54)

35

berperan sebagai sel stok dan disimpan pada alat pendingin dengan suhu 4oC

untuk dapat digunakan pada penelitian selanjutnya ( Widyatmoko, 2012).

4. Pembuatan Kultur Awal (Starter)

Media YPD cair yang telah disterilkan menggunakan autoklaf dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Sel ragi pada media diambil menggunakan ose steril, kemudian dimasukkan ke dalam 10 mL YPD cair. Inkubasi dilakukan pada suhu kamar selama 12 jam (Widyatmoko, 2012).

5. Pengamatan Profil Pertumbuhan Ragi S. cerevisiae

Sebanyak 25 mL media YPD cair dimasukkan dalam 2 buah Erlenmeyer 250 mL yang telah disterilkan terlebih dahulu. Media ditambah dengan starter masing-masing 0,5 mL (dari metode 4). Kultur tersebut diinkubasi menggunakan shaker dengan kecepatan 125 ppm pada suhu kamar selama 48 jam (erlenmeyer ditutup dengan kapas). Pengukuran OD600 dilakukan pada jam

ke 0, 2, 4, 6, 8, 16, 24 dan 48. Profil pertumbuhan ragi S.cereviseae diketahui dengan menghubungkan grafik antara waktu kontak dengan OD600

(Widyatmoko, 2012).

6. Pembuatan Larutan Induk Pb2+

Pembuatan larutan induk Pb2+ dilakukan dengan menimbang serbuk Pb(NO3)2 dan dilarutkan dengan akuades hingga larut dalam erlenmeyer.


(55)

36

Larutan tersebut kemudian dimasukkan dalam labu ukur 100 mL dengan menambahkan akuades hingga tanda batas. Kemudian larutan digojog hingga homogen. Larutan induk ini disterilkan menggunakan autoklaf pada suhu 121oC

selama 10 menit dan tekanan 1 atm. Pembuatan larutan induk didasarkan pada perhitungan (Widyatmoko, 2012).

Massa kristal Pb(NO3)2 =

=

= 159,848 mg

7. Pembuatan Larutan Induk Cd2+

Pembuatan larutan induk Cd2+ dilakukan dengan menimbang serbuk CdSO4 dan dilarutkan dengan akuades hingga larut dalam erlenmeyer. Larutan

tersebut kemudian dimasukkan dalam labu ukur 100 mL dengan menambahkan akuades hingga tanda batas. Kemudian larutan digojog hingga homogen. Larutan induk ini disterilkan menggunakan autoklaf pada suhu 121oC selama 10 menit dan tekanan 1 atm. Pembuatan larutan induk didasarkan pada perhitungan (Widyatmoko, 2012).

Massa kristal CdSO4 =

=


(56)

37

8. Pengaruh Variasi Konsentrasi Pb2+ terhadap Pertumbuhan Ragi S. cerevisiae

Tahap ini dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai konsentrasi larutan Pb2+ maksimum dengan kondisi sel ragi yang masih dapat hidup dengan baik. Variasi konsentrasi larutan Pb2+ yang digunakan yakni 0; 5; 10; 15; 20 dan 25 ppm (masing-masing dilakukan secara duplo).

Volume larutan Pb2+ yang ditambahkan dapat ditentukan dengan rumus pengenceran berikut.

V1 x C1 = V2 x C2

Keterangan:

V1 : volume larutan Pb2+ yang akan ditambahkan

C1 : konsentrasi larutan Pb2+ yang akan ditambahkan

V2 : volume total sampel

C2 : konsentrasi larutan Pb2+ total sampel

Volume total sampel yaitu 10 mL termasuk 0,5 mL starter. Melalui rumus di atas, maka akan diperoleh volume larutan Pb2+ yang ditambahkan pada setiap variabel konsentrasi dapat dilihat pada Tabel 3.


(57)

38

Tabel 3. Volume Larutan Pb2+ pada Setiap Variasi Konsentrasi

No. Konsentrasi Pb2+ (ppm)

VYPD (mL)

V Pb2+ (mL)

Vstarter (mL)

VTotal Sampel (mL)

1. 0 9,5 0 0,5 10

2. 5 9,45 0,05 0,5 10

3. 10 9,4 0,1 0,5 10

4. 15 9,35 0,15 0,5 10

5. 20 9,3 0,2 0,5 10

6. 25 9,25 0,25 0,5 10

Sebanyak 12 buah erlenmeyer yang sudah disterilkan dengan autoklaf diisi dengan media YPD cair sesuai dengan tabel di atas. Setiap dua erlenmeyer diisi masing-masing 9,5 mL; 9,45 mL; 9,4 mL; 9,35 mL; 9,3 mL; dan 9,25 mL. Starter sebanyak 0,5 mL ditambahkan pada masing-masing media cair dan diinkubasi selama 6 jam, kemudian dilakukan pengukuran OD600 setelah media

diinkubasi.

Larutan Pb2+ ditambahkan sesuai dengan variasi konsentrasi, setelah

media diinkubasi selama 6 jam. Masing-masing kultur diinkubasi kembali menggunakan shaker dengan kecepatan 125 rpm selama 10 jam (sesuai hasil dari profil pertumbuhan ragi) pada suhu kamar. Untuk mengetahui jumlah sel ragi yang mampu hidup dalam media yang telah diberi Pb2+, dapat dilakukan pengukuran dengan menggunakan spektronik 20. Data yang didapatkan berupa OD600 pada variasi konsentrasi Pb2+. Data ini kemudian digambarkan dalam

sebuah grafik yang menjelaskan mengenai konsentrasi Pb2+ optimum dimana


(58)

39

9. Pengaruh Interferensi Variasi Konsentrasi Cd2+ terhadap Pertumbuhan Ragi S. cerevisiae

Tahap ini dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai konsentrasi larutan Cd2+ maksimum dengan kondisi sel ragi yang masih dapat hidup dengan baik. Variasi konsentrasi larutan Cd2+ yang digunakan yakni 5; 10; 15; 20 dan 25 ppm (masing-masing dilakukan secara duplo).

Volume larutan Pb2+ yang ditambahkan disesuaikan dari hasil konsentrasi pengaruh variasi konsentrasi Pb2+, sedangkan volume larutan Cd2+ dapat

ditentukan dengan rumus pengenceran berikut. V1 x C1 = V2 x C2

Keterangan:

V1 : volume larutan Cd2+ yang akan ditambahkan

C1 : konsentrasi larutan Cd2+ yang akan ditambahkan

V2 : volume total sampel

C2 : konsentrasi larutan Cd2+ total sampel

Volume total sampel yaitu 10 mL termasuk 0,5 mL starter, dan 0,15 mL Pb2+. Dengan menggunakan rumus diatas, maka akan diperoleh volume larutan Cd2+ yang ditambahkan pada setiap variabel konsentrasi dapat dilihat pada


(59)

40

Tabel 4. Volume Larutan Cd2+ pada Setiap Variasi Konsentrasi

No.

Konsen-trasi Cd2+

(ppm)

VYPD (mL)

VLarutan Cd2+ (mL)

VLarutan Pb2+ (mL)

VStarter (mL)

VTotal Sampel (mL)

1. 5 9,3 0,05 0,15 0,5 10

2. 10 9,25 0,1 0,15 0,5 10

3. 15 9,2 0,15 0,15 0,5 10

4. 20 9,15 0,2 0,15 0,5 10

5. 25 9,1 0,25 0,15 0,5 10

Sebanyak 10 buah erlenmeyer yang sudah disterilkan dengan autoklaf diisi dengan media YPD cair sesuai dengan tabel di atas. Setiap dua erlenmeyer diisi masing-masing 9,3 mL; 9,25 mL; 9,2 mL; 9,15 mL; dan 9,1 mL. Starter sebanyak 0,5 mL ditambahkan pada masing-masing media cair dan diinkubasi selama 6 jam, kemudian dilakukan pengukuran OD600 setelah media diinkubasi.

Larutan Cd2+ sesuai dengan variasi konsentrasi dan larutan Pb2+

ditambahkan, setelah media diinkubasi selama 6 jam. Masing-masing kultur diinkubasi kembali menggunakan shaker dengan kecepatan 125 rpm selama 10 jam (sesuai hasil dari profil pertumbuhan ragi) pada suhu kamar. Untuk mengetahui jumlah sel ragi yang mampu hidup dalam media yang telah diberi Pb2+ dengan interferensi Cd2+, dapat dilakukan pengukuran dengan

menggunakan spektronik 20. Data yang didapatkan berupa OD600 pada variasi

konsentrasi Pb2+ dengan adanya interferensi Cd2+. Data ini kemudian

digambarkan dalam sebuah grafik yang menjelaskan mengenai konsentrasi Pb2+ optimum dimana kondisi ragi S. cerevisiae masih tumbuh dengan baik walaupun dengan adanya interferensi Cd2+.


(60)

41

10. Pengaruh Variasi Waktu Kontak terhadap Biosorpsi Ion Pb2+

Sebanyak 12 buah erlenmeyer 100 mL steril dilakukan secara duplo ( 2 kali ulangan ) disiapkan dan diisi dengan media YPD cair steril masing-masing 9,35 mL (berdasarkan konsentrasi optimum pada Pb2+ 15 ppm).

Pengambilan media itu dilakukan di dalam Laminar Air Flow dan ditambah dengan 0,5 mL, starter pada media di atas kemudian diinkubasi pada kecepatan 125 rpm selama 6 jam. Kultur ragi diambil 2 mL untuk pengukuran OD600 nya.

Larutan Pb2+ ditambahkan sebanyak 0,15 mL dan diinkubasi pada suhu

kamar, masing-masing pada variasi waktu 0, 2, 4, 6, 8, dan 10 jam dengan kecepatan 125 rpm selama 10 jam (waktu kontak optimum). Besarnya OD600

kultur ragi diukur setiap variasi waktu kontak kemudian dibuat grafik yang menghubungkan antara waktu kontak versus OD600.

Masing-masing kultur ragi disentrifugasi pada 3000 rpm selama 15 menit . Supernatan diambil dengan hati-hati dan ditambah dengan 3 tetes HNO3

pekat. Kandungan logam Pb2+ sisa pada supernatan diukur dengan

menggunakan SSA. Konsentrasi akhir Pb2+ akhir dapat diketahui dengan bantuan kurva larutan standar Pb2+, sehingga diperoleh waktu kontak optimum


(61)

42

11. Pengaruh Interferensi Cd2+ terhadap Penyerapan Ion Pb2+ oleh Sel Ragi S.cereviseae pada Variasi Waktu Kontak

Pada tahap ini sebanyak 12 buah Erlenmeyer 100 mL steril dilakukan secara duplo (2 kali ulangan) disiapkan dan diisi dengan media YPD cair steril masing-masing 9,15 mL. Pengambilan media itu dilakukan dilakukan di dalam Laminar Air Flow ditambah dengan 0,5 mL starter pada media di atas kemudian diinkubasi pada kecepatan 125 rpm selama 6 jam. Kultur ragi diambil 2 ml untuk pengukuran OD600-nya.

Larutan Pb2+ ditambahkan sebanyak 0,2 mL dan larutan Cd2+ ditambahkan sebanyak 0,15 mL dan diinkubasi dengan menggunakan Waterbatch shaker masing-masing pada variasi 0, 2, 4, 6, 8, dan 10 jam dengan kecepatan 125 rpm selama 10 jam (waktu kontak optimum). Besar OD600 kultur ragi diukur pada setiap variasi waktu kontak, kemudian dibuat

grafik yang menghubungkan antara waktu kontak versus OD600.

Kultur ragi disentrifugasi pada 3000 rpm selama 15 menit. Supernatan diambil dengan hati-hati dan ditambah dengan 3 tetes HNO3 pekat.

Kandungan logam Pb2+ sisa dalam supernatant diukur dengan menggunakan SSA. Konsentrasi Pb2+ akhir dapat diketahui dengan bantuan kurva larutan


(62)

43

12. Pengaruh Variasi pH Media terhadap Biosorpsi Ion Pb2+oleh Ragi S. cereviseae

Disiapkan 8 buah erlenmeyer 100 mL dilakukan secara duplo (2 kali ulangan) disiapkan dan diisi dengan media YPD cair yang telah disterilkan dengan menggunakan autoklaf masing-masing sebanyak 9,35 mL. Pengambilan YPD cair dilakukan di dalam Laminar Air Flow, kemudian pH media diatur pada variasi 3, 5, 7, dan 9 ditambah dengan HCl atau NaOH. Sebanyak 0,5 mL starter ditambahkan pada media diinkubasi selama 6 jam (berdasarkan waktu kontak optimum). Kemudian 2 mL diambil dan diukur OD600nya.

Larutan Pb2+ ditambah sebanyak 0,15 mL (konsentarasi optimum) dan diinkubasi dengan kecepatan 125 rpm selama 6 jam (berdasarkan waktu kontak optimum). OD600 kultur ragi diukur untuk setiap variasi pH media versus OD600.

Masing-masing kultur utama ragi disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit. Supernatan diambil dengan hati-hati dan ditambah dengan 3 tetes HNO3 pekat agar tidak terjadi pengendapan. Kandungan logam

Pb2+ sisa dalam supernatant diukur dengan menggunakan SSA. Konsentrasi Pb2+ akhir dapat diketahui dengan bantuan kurva larutan standar Pb2+, sehingga diperoleh pH optimum untuk proses biosorpsi Pb2+ oleh sel ragi S. cereviseae.


(63)

44

13. Pengaruh Interferensi Cd2+ terhadap Penyerapan Ion Pb2+ oleh Sel Ragi S. Cereviseae pada Variasi pH Media

Disiapkan 8 buah erlenmeyer 100 mL dilakukan secara duplo (2 kali ulangan) disiapkan dan diisi dengan media YPD cair yang telah disterilkan dengan menggunakan autoklaf masing-masing sebanyak 9,15 mL. Pengambilan YPD cair dilakukan di dalam Laminar Air Flow, kemudian pH media diatur pada variasi 4, 5, 7, dan 9 ditambah dengan HCl atau NaOH pekat. Sebanyak 0,5 mL starter ditambahkan pada media diinkubasi selama 6 jam, kemudian 2 mL kutur diambil dan diukur OD600-nya.

Larutan Pb2+ ditambahkan sebanyak 0,2 mL dan larutan Cd2+ ditambahkan sebanyak 0,2 mL dan diinkubasi pada suhu kamar masing-masing pada variasi pH 4, 5, 7, 9 dengan kecepatan 125 rpm selama 10 jam (waktu kontak optimum). OD600 kultur ragi diukur pada setiap variasi suhu inkubasi

kemudian dibuat grafik yang menghubungkan antara suhu inkubasi versus OD600.

Masing-masing kultur utama ragi disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit. Supernatan diambil dengan hati-hati dan ditambah dengan 3 tetes HNO3 pekat agar tidak terjadi pengendapan. Kandungan logam

Pb2+ sisa dalam supernatan diukur dengan menggunakan SSA. Konsentrasi Pb2+ akhir dapat diketahui dengan bantuan kurva larutan standar Pb2+ sehingga


(64)

45 E.Teknis Analisis Data

Data yang telah diperoleh dari hasil pengumpulan data selanjutnya dianalisis untuk memperoleh makna. Teknik analisis data dilakukan terhadap data yang meliputi:

1. Pengukuran dengan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA)

Analisis kuantitatif terhadap hasil pengamatan data absorbansi larutan standar Pb2+ dan larutan sampel dapat dilakukan sebagai berikut:

a. Penentuan Persamaan Garis Regresi Linier Larutan Standar

Dalam membuat regresi linier, nilai koefisien korelasi (r) sangat penting karena menunjukkan adakah hubungan yang nyata antara x dan y sehingga nilai r harus mendekati angka 1. Apabila nilai r menunjukkan hubungan yang nyata antara data x dan y, persamaan garis baru dapat dipakai untuk menghitung a dan b. Nilai r, a, dan b dapat diperoleh dengan menggunakan rumus berikut.

r =

∑ −

∑ ∑ n

√ ∑ 2 ∑ 2

n − (∑ 2−

∑ 2 n )

a =

∑ .∑n.∑ 22− ∑ .∑− ∑ 2

b =

n ∑ − ∑ .∑n.∑ 2− ∑ 2

Keterangan:


(65)

46

y : absorbansi larutan standar a : intersep

b : slope

r : koefisien relatif n : frekuensi data

b. Pengujian Linearitas Persamaan Garis Regresi

Persamaan garis regresi yang linier dapat diketahui dengan adanya hubungan yang bermakna antara absorbansi dengan konsentrasi larutan. Linearitas persamaan garis regresi dilakukan dengan menghitung Freg

menggunakan rumus:

∑ = ∑ − ∑

∑ = ∑ − ∑ 2

∑ = ∑ − ∑2

� = ∑

2

∑ 2

= ∑ − ∑ 22

�� � =

�� = � −

� � = ����

� = �


(66)

47

� =� ��

Keterangan:

N : banyaknya data

JK : jumlah kuadrat

RJKreg : rerata jumlah kuadrat regresi

RJKres : rerata jumlah kuadrat residu

db : derajat kebebasan

Freg : harga bilangan F garis regresi

Harga Freg hasil perhitungan dibandingkan dengan harga Freg tabel pada

taraf signifikansi 1% dengan derajat kebebasan dbreg = 1. Jika harga Freg

hitung lebih besar daripada Freg tabel maka persamaan garis regresi

dinyatakan linier.

c. Penentuan Efisiensi Biosorpsi Ion Logam Pb2+

Efisiensi biosorpsi ion logam Pb2+ dapat dihitung berdasarkan rumus berikut:

= ���� −�� ℎ�

���� %

Keterangan:

E : efisiensi biosorpsi ion logam Pb2+

Cawal : konsentrasi ion ion logam Pb2+ sebelum biosorpsi. Cakhir : konsentrasi ion ion logam Pb2+


(67)

48 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.Profil Pertumbuhan S. Cerevisiae

Pengukuran Optical Density (OD) dilakukan dengan menggunakan Spectronic 20 pada panjang gelombang 600 nm. Alasan pengukuran sel dengan menggunakan OD600 dikarenakan metode ini memiliki beberapa keuntungan

dibandingkan metode lain, yang berupa, tidak memerlukan banyak peralatan gelas, dan tidak memerlukan waktu yang lama.

Data yang diperoleh dapat disajikan dalam bentuk kurva pertumbuhan, yang menunjukkan gambaran mengenai profil serta kecepatan pertumbuhan dari sel S. cerevisiae. Berdasarkan kurva pertumbuhan ini dapat diketahui kondisi sel S. cerevisiae yang dihasilkan optimum, dimana asupan nutrisi bagi sel S. cerevisiae masih tersedia dan kultur dari sel telah berada pada kondisi aktif. Sehubungan dengan kondisi tersebut, diharapkan ragi S. cerevisiae yang digunakan dalam penelitian dapat berfungsi sebagai biosorben yang baik.

Sebelum dilakukan pengukuran OD600, ragi S. cerevisiae yang terdapat

dalam agar miring diinokulasi menggunakan kawat ose ke dalam media YPD cair dengan inkubasi selama 48 jam. Pengukuran absorbansi terhadap kultur sel dilakukan pada jam ke 0, 2, 4, 6, 8, 16, 24 dan 48 jam dengan menggunakan panjang gelombang 600 nm. Nilai yang dihasilkan dari pengukuran OD600


(68)

49 0.1550.175 0.208 0.323 0.587 0.638 0.521 0.495 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7

0 1 0 2 0 3 0 4 0 5 0 6 0

O D 6 0 0 WAKTU (JAM)

menunjukkan bahwa sel ragi yang terdapat di dalam kultur berjumlah sekitar 107

sel/mL. Larutan blanko yang digunakan yaitu media cair tanpa penambahan sel ragi. Data absorbansi kultur sel ragi S. cerevisiae disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Data Absorbansi Kultur Ragi S. cerevisiae

No. waktu

(jam) OD600

Pengenceran (kali)

Konsentrasi (Sel/mL)

1. 0 0,155 - 1,55 x 106

2. 2 0,175 - 1,75 x 106

3. 4 0,208 - 2,08 x 106

4. 6 0,323 - 3,23 x 106

5. 8 0,587 10 5,87 x 107

6. 16 0,638 10 6,38 x 107

7. 24 0,521 10 5,21 x 107

8. 48 0,495 10 4,95 x 107

Konsentrasi = OD600 x faktor pengenceran x 107 sel/mL

Data pada Tabel 5. bila dilukiskan dalam bentuk kurva (kurva pertumbuhan) disajikan pada Gambar 7.


(1)

98

Harga tersebut kemudian dibandingkan dengan r tabel dengan jumlah data 6 dengan taraf signifikansi 1%. Harga r hitung lebih besar dari harga r tabel 0,917 yang menandakan ada korelasi yang signifikan antara variabel x dan y.

2. Variasi pH Media

Tabel 26. Korelasi x dan y Larutan Standar Pb2+ Variasi pH Media

No X Y X2 Y2 XY

(ppm) (absorbansi)

1 0 0,0009 0 0,00000081 0

2 1 0,0357 1 0,00127499 0,0357 3 2 0,0701 4 0,00491401 0,1402 4 3 0,1034 9 0,01069156 0,3102 5 4 0,1353 16 0,01830609 0,5412 6 5 0,1667 25 0,02778889 0,8335

∑ 15 0,5121 55 0,06297585 1,8608

r =

N ∑ XY − ∑ X ∑ Y

√[N ∑X − ∑ X ][N ∑Y − ∑ Y ]

r =

,

,

√[

,

][

,

− ,

]

=

0,9995

Harga tersebut kemudian dibandingkan dengan r tabel dengan jumlah data 6 dengan taraf signifikansi 1%. Harga r hitung lebih besar dari harga r tabel 0,917; dengan demikian ada korelasi yang signifikan antara variabel x dan y.


(2)

99 LAMPIRAN 4

UJI LINEARITAS PERSAMAAN GARIS REGRESI

Persamaan garis regresi yang linier dapat diketahui dengan adanya hubungan yang bermakna antara absorbansi dengan konsentrasi larutan. Linearitas persamaan garis regresi dilakukan dengan menghitung Freg menggunakan rumus:

∑ = ∑ − ∑

∑ = ∑ − ∑ 2

∑ = ∑ − ∑2 � = ∑

2

∑ 2

= ∑ − ∑ 22

�� � =

�� = � −

� � = ����

� = �

��


(3)

100 Keterangan:

N : banyaknya data JK : jumlah kuadrat

RJKreg : rerata jumlah kuadrat regresi RJKres : rerata jumlah kuadrat residu db : derajat kebebasan

Freg : harga bilangan F garis regresi

1. Variasi Waktu Kontak

∑ = ∑ − ∑

∑ = , − , = 1,175525

∑ = ∑ − ∑ 2

∑ = − 2 = 17,5

∑ = ∑ − ∑

∑ = , − , = ,

� = ∑


(4)

101

= ∑ − ∑

= , − . , = , x −

�� � =

�� = − =

� � =�� � �

� � = , = ,

= ��

� = . x − = , x − � =�

� = , , x = . ,

Harga Freg hitung ini dibandingkan dengan Ftabel index pada taraf signifikansi 1% dengan db pembilang 1 dan db penyebut 4, didapat harga taraf Ftabel index sebesar 21,20. Harga Freg lebih besar dari F tabel index, maka dapat disimpulkan bahwa persamaan garis regresi larutan standar kadmium adalah linier.


(5)

102 2. Variasi pH Media

∑ = ∑ − ∑

∑ = , − , = 0,58055

∑ = ∑ − ∑ 2

∑ = − 2 = 17,5

∑ = ∑ − ∑

∑ = , − ∑ , = ,

� = ∑

� = , , = ,

= ∑ − ∑

= , − , , = , X −

�� � =

�� = − =


(6)

103

= ��

� = , X − = , X −

� =�

� = , , X = . ,

Harga Freg hitung ini dibandingkan dengan F tabel pada taraf signifikansi 1% dengan db pembilang 1 dan db penyebut 4, didapat harga taraf F tabel sebesar 21,20. Harga Freg lebih besar dari F tabel, maka dapat disimpulkan bahwa persamaan garis regresi larutan standar kadmium adalah linier.