Pengembangan buku cerita bergambar berbasis pendidikan anti korupsi untuk pembelajaran membaca siswa kelas II B SD Negeri Dayuharjo tahun pelajaran 2016 2017

(1)

i

PENGEMBANGAN BUKU CERITA BERGAMBAR BERBASIS

PENDIDIKAN ANTI KORUPSI UNTUK PEMBELAJARAN

MEMBACA SISWA KELAS II B SD NEGERI DAYUHARJO

TAHUN PELAJARAN 2016-2017

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar

Oleh:

Hilarius Alvin Krisnawan NIM : 131134030

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2017


(2)

(3)

(4)

iv PERSEMBAHAN

Karya ini dipersembahkan penulis kepada:

1. Tuhan Yesus Kristus yang selalu memberikan nikmat sehat, berkat, sempat, juga penyertaan sehingga penulis dapat dengan lancar menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak Andreas Ismono dan Ibu Theresia Rina Titik Kristanti yang selalu memberikan doa, semangat, dan dukungan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan lancar.

3. Adik saya Vincentia Indira Oktaviani yang selalu memberikan semangat kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi dengan baik dan lancar. 4. Agnes Rahayu Epifani yang selalu memberikan dukungan, penyertaan, dan

juga motivasi pada penulis dalam menyelesaikan skripsi.

5. Teman dekat juga sahabat yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu terima kasih atas keceriaan, semangat dan kebersamaan selama ini.

6. Teman-teman angkatan 2013 terima kasih atas kebersamaan selama kurang lebih 4 tahun ini.


(5)

v MOTTO

“Siapa pun yang pada saat bekerja tidak mencintai pekerjaannya, itulah buruh.” (presiden, dalang, ibu rumah tangga, dll)

“Sudjiwotedjo”

“Tidak hanya ilmu, doa, kesempatan, maupun keberuntungan yang mendekatkan pada pintu rezeki, tetapi juga teman”

(Hilarius Alvin K)

“Doa tanpa usaha itu bohong Usaha tanpa doa itu sombong”

(Bambang Widoyoko)

“Ojo dumeh, ojo gumunan” (NN)


(6)

vi PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang sudah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 4 Mei 2017 Peneliti


(7)

vii LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Hilarius Alvin Krisnawan

Nomor Mahasiswa : 131134030

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

PENGEMBANGAN BUKU CERITA BERGAMBAR BERBASIS PENDIDIKAN ANTI KORUPSI UNTUK PEMBELAJARAN MEMBACA SISWA KELAS II B SD NEGERI DAYUHARJO

TAHUN PELAJARAN 2016-2017

beserta perangkat yang diperlukan. Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal : 4 Mei 2017 Yang menyatakan


(8)

viii ABSTRAK

PENGEMBANGAN BUKU CERITA BERGAMBAR BERBASIS PENDIDIKAN ANTI KORUPSI UNTUK PEMBELAJARAN MEMBACA

SISWA KELAS II B SD NEGERI DAYUHARJO TAHUN PELAJARAN

2016-2017

Hilarius Alvin Krisnawan Universitas Sanata Dharma

2017

Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan yang berawal dari permasalahan dan juga adanya potensi terkait dengan pendidikan anti korupsi. Masalah yang dihadapi adalah belum adanya media penunjang terkait penanaman nilai pendidikan anti korupsi. Penelitian ini difokuskan pada pembuatan media berupa buku cerita bergambar berbasis pendidikan anti korupsi untuk pembelajaran membaca siswa kelas II B SD Negeri Dayuharjo.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian dan pengembangan (Research

and Development atau R&D). Penelitian ini bertujuan mengembangkan produk

dan mendeskripsikan kualitas buku cerita bergambar untuk siswa kelas II B SD Negeri Dayuharjo. Penelitian ini melalui tujuh langkah pengembangan penelitian yaitu (1) potensi dan masalah, (2) pengumpulan data, (3) desain produk, (4) validasi desain, (5) revisi desain, (6) uji coba produk, dan (7) revisi produk. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah daftar pertanyaan wawancara analisis kebutuhan dan kuisioner. Wawancara yang digunakan untuk analisis kebutuhan kepada guru kelas II B SD Negeri Dayuharjo, sedangkan kuesioner digunakan untuk validasi kualitas media bahan ajar oleh dosen ahli dan guru kelas II B SD Negeri Dayuharjo. Uji coba produk melalui kuisioner dilakukan kepada 6 siswa kelas II B SD Negeri Dayuharjo sebagai subjek penelitian.

Hasil validasi dosen ahli dan guru kelas II B SD Negeri Dayuharjo dengan

total skor keseluruhan 4,31 dengan kategori “sangat baik”. Hasil uji coba produk

kepada 6 siswa kelas II B SD Negeri Dayuharjo dengan total skor keseluruhan

4,31dengan kategori “sangat baik”.

Kata kunci: pendidikan anti korupsi, buku cerita bergambar, pembelajaran membaca


(9)

ix ABSTRACT

THE DEVELOPMENT OF PICTURE STORY BOOKS BASED ON ANTI-CORRUPTION EDUCATION ON READING

LEARNING TO ELEMENTARY SCHOOL

STUDENTS CLASS II B OF DAYUHARJO STATE ELEMENTARY SCHOOL YEAR 2016 – 2017

Hilarius Alvin Krisnawan Sanata Dharma University

2017

This research was a development research that came from problem and other potential related to Anti-Corruption Education. The problem was there was no supported media that planted values related to Anti-Corruption Education. This research focused on making media such as picture books based on anti-corruption on reading learning for second grade B student of Dayuharjo state elementary school.

This Research and Development or R & D aimed to develop product and know the quality of picture books for second grade B students of Dayuharjo state elementary school. This research used 7 steps of development, those were (1) problem and potential, (2) data collection, (3) product design, (4) design validation, (5) design revision, (6) product trials, and (7) product revision. Instrument used in this research was a question list for interview about needs analysis and questioner. The interview about needs analysis was for second grade B teacher of Dayuharjo state elementary school, and the questioner was used for quality validation in teaching materials by lecture and second grade B teacher of Dayuharjo state elementary school. The product trial through questioner was for 6 second grade student B of Dayuharjo State Elementary School as the subject of this research.

The lecture and teacher‟s validation result was 4,31 in total that was including in category of “very good”. The product trial result of 6 second grade B student of Dayuharjo state elementary school was 4,31 in total that was “very good.”


(10)

x KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan nikmat sehat dan penyertaan sehingga peneliti dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi yang berjudul “Pengembangan Buku Cerita Bergambar Berbasis Pendidikan Anti Korupsi Untuk Pembelajaran Membaca Siswa Kelas II B SD Negeri Dayuharjo

Tahun Ajaran 2016-2017” dengan lancar dan tepat waktu. Skripsi ini disusun

dalam rangka memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.

Peneliti menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini, peneliti mendapatkan banyak bimbingan, bantuan, dan dukungan dari berbagai pihak terkait kepentingan dalam penyelesaian tugas akhir ini. Maka pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Rohandi, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma.

2. Christiyanti Aprinastuti S.Si., M.Pd. selaku Kepala Program Studi PGSD. 3. Apri Damai Sagita Krisandi, S.S., M.Pd. selaku Wakaprodi Program Studi

PGSD.

4. Brigita Erlita Tri Anggadewi, S.Psi., M.Psi. selaku Dosen Pembimbing I yang telah membimbing dan memberi dukungan kepada peneliti sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi ini.

5. Apri Damai Sagita Krisandi, S.S., M.Pd. selaku Dosen Pembimbing II yang telah membimbing dan juga mendukung sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.

6. Para validator yang telah berkenan meluangkan waktu dan juga membantu dalam proses validasi produk.

7. Drs. Abu Yamin Kepala Sekolah SD Negeri Dayuharjo yang telah memberikan izin dalam melakukan penelitian di SD Negeri Dayuharjo.


(11)

xi 8. Guru SD Negeri Dayuharjo yang telah membantu pelaksanaan analisis kebutuhan dan mengijinkan siswa untuk berpartisipasi dalam uji coba produk yang dikembangkan oleh peneliti.

9. Seluruh siswa kelas II B SD Negeri Dayuharjo yang telah bersedia berpartisipasi dalam pelaksanaan uji coba produk.

10.Bapak Andreas Ismono dan Ibu Theresia Rina Titik Kristanti yang selalu memberikan doa, semangat, cinta kasih, dan dukungan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan lancar.

11.Adik Vincentia Indira Oktaviani yang selalu memberikan semangat kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi dengan baik dan lancar. 12.Agnes Rahayu Epifani yang selalu memberikan dukungan, penyertaan, dan

juga motivasi pada penulis dalam menyelesaikan skripsi. Terima kasih untuk setiap chat yang selalu mengingatkan dalam mencicil tugas skripsi. GBU

13. Teman-teman PGSD angkatan 2013, teman-teman PPL, teman payung skripsi dan teman-teman lain yang mendukung serta ikut mendoakan.

14. Member To School For School : Spesial Muhammad Ais Erwin & Dyah

Nevi Anggraini. Terima kasih Arif Sae, Iyus, Danang, Albertin, Ristiana Putri, dan teman-teman lain yang telah membantu.

15.Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah memberikan dukungan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

Peneliti menyadari bahwa penulisan skripsi ini memiliki banyak kekurangannya. Oleh karena itu, peneliti sangat membutuhkan kritik dan saran dari berbagai pihak demi perbaikan karya ilmiah ini.

Yogyakarta, 4 April 2017 Peneliti,


(12)

xii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR BAGAN ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 7

1.3Tujuan Penelitian ... 7

1.4Manfaat Penelitian ... 7

1.5Definisi Operasional ... 9

1.6Spesifikasi Produk ... 9

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka ... 11

2.1.1 Pendidikan Anti Korupsi ... ... 11

2.1.1.1 Pengertian Korupsi ... 11

2.1.1.2 Tujuan Pendidikan Anti Korupsi ... . 16


(13)

xiii

2.1.1.3.1 Kejujuran ... 19

2.1.1.3.2 Kepedulian ... 19

2.1.1.3.3 Kemandirian ... 20

2.1.1.3.4 Kedisiplinan ... 20

2.1.1.3.5 Tanggung Jawab ... 20

2.1.1.3.6 Kerja Keras ... 21

2.1.1.3.7 Sederhana ... 21

2.1.1.3.8 Keberanian ... 21

2.1.1.3.9 Keadilan ... 21

2.1.2 Buku Cerita Bergambar ... 22

2.1.2.1 Unsur-Unsur Cerita ... 24

2.1.2.2 Kriteria Buku Cerita yang Baik bagi Anak...28

2.1.3 Pengertian Membaca ... .29

2.1.3.1 Tujuan Membaca ... 30

2.1.3.2 Gerakan Literasi Sekolah ... 31

2.1.3.3 Prinsip-Prinsip Literasi Sekolah ... 33

2.1.3.4 Langkah-Langkah Kegiatan Membaca Literasi ... 34

2.1.3.4.1 Membacakan Nyaring ... 35

2.1.3.4.2 Membaca Dalam Hati ... 37

2.1.4 Tahap Perkembangan Anak ... 38

2.1.4.1 Perkembangan Anak SD Kelas Bawah ... 42

2.2 Penelitian yang Relevan ... 45

2.3 Kerangka Berpikir ... 49

2.4 Pertanyaan Penelitian ... 51

BAB III METODE PENELITIAN 3.1Jenis Penelitian ... 52

3.2Prosedur Pengembangan ... 59

3.2.1 Potensi dan Masalah ... 60

3.2.2 Pengumpulan Data ... 61

3.2.3 Desain Produk ... 61


(14)

xiv

3.2.5 Revisi Desain ... 62

3.2.6 Uji Coba Produk ... 62

3.2.7 Revisi Produk ... 62

3.3Setting Penelitian ... 63

3.3.1 Lokasi Penelitian ... 63

3.3.2 Subjek Penelitian ... 63

3.3.3 Waktu Penelitian ... 63

3.4Teknik Pengumpulan Data ... 64

3.4.1 Wawancara ... 64

3.4.2 Kuesioner ... 65

3.5Instrumen Penelitian... 65

3.5.1 Wawancara ... 66

3.5.2 Kuisioner ... 67

3.6Teknik Analisis Data ... 70

3.6.1 Teknik Analisa Data Kualitatif ... 70

3.6.2 Teknik Analisa Data Kuantitatif ... 70

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN 4.1Hasil Penelitian Pengembangan ... 73

4.1.1 Proses Pengembangan Buku Cerita ... 73

4.1.1.1 Potensi dan Masalah ... 73

4.1.1.2 Pengumpulan Data ... 74

4.1.1.3 Desain Produk Awal ... 77

4.1.1.3.1 Konsep Buku ... 77

4.1.1.3.2 Tokoh ... 77

4.1.1.3.3 Format dan Ukuran Buku ... 78

4.1.1.3.4 Isi dan Tema Buku ... 79

4.1.1.3.5 Judul Buku ... 79

4.1.1.3.6 Desain Gambar ... 80

4.1.1.3.7 Teknik Pengerjaan ... 81

4.1.1.3.8 Warna ... 83


(15)

xv

4.1.1.3.10 Teknik Cetak ... 84

4.1.1.4 Validasi... 84

4.1.1.4.1 Data Hasil Validasi Dosen Ahli ... 85

4.1.1.4.2 Data Hasil Validasi Guru Kelas II B ... 88

4.1.1.5 Revisi Desain ... 89

4.1.1.6 Uji Coba Produk ... 93

4.2Kualitas Buku Cerita ... 95

4.3 Pembahasan ... 96

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... 101

5.2 Keterbatasan Pengembangan ... 102

5.3 Saran ... 102

DAFTAR PUSTAKA ... 103

LAMPIRAN ... 106


(16)

xvi DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Tahap Membaca Nyaring ...35

Tabel 2.2 Tahapan Membaca dalam Hati ...37

Tabel 3.1 Daftar Pertanyaan Wawancara ...66

Tabel 3.2 Pedoman Uji Validasi Produk untuk Pakar dan Guru ...68

Tabel 3.3 Contoh Instrumen Kuesioner Uji Validasi Pakar dan Guru ...68

Tabel 3.4 Konversi Nilai Skala Lima ...71

Tabel 4.1 Rangkuman Hasil Wawancara ...75

Tabel 4.2 Pengenalan Tokoh Harsa ...78

Tabel 4.3 Hasil Validasi Buku Cerita Bergambar oleh Dosen...85

Tabel 4.4 Komentar Buku Cerita Bergambar oleh Guru Kelas ...88

Tabel 4.5 Revisi Desain Buku Cerita Bergambar oleh Dosen ...89

Tabel 4.6 Ringkasan Hasil Uji Coba Produk ...93


(17)

xvii DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Judul Buku ... 80

Gambar 4.2 Gambar Sketsa Tangan... 81

Gambar 4.3 Gambar Sketsa Tangan yang Belum diberikan Warna ... 82

Gambar 4.4 Gambar Sesudah Diwarnai Menggunakan Adobe Photoshop CS6 ... 82

Gambar 4.5 Font untuk Judul Buku ... 83

Gambar 4.6 Font untuk Isi Cerita ... 84

Gambar 4.7 Sampul Depan Sebelum Revisi ... 90

Gambar 4.8 Sampul Depan Setelah Revisi Diberi Gradasi Warna ... 90

Gambar 4.9 Gambar Sampul Depan Awal ... 91

Gambar 4.10 Gambar Sampul Setelah Revisi ... 91

Gambar 4.11 Box CaptionSebelum Revisi ... 92

Gambar 4.12 Box CaptionSetelah Revisi... 92

Gambar 4.13 Gambar Gaya Tipografi Sebelum Revisi ... 94

Gambar 4.14 Gambar Gaya Tipografi Setelah Revisi ... 94

Gambar 4.15 Diagram Batang Rekapitulasi Hasil Validasi ... 96


(18)

xviii DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil Wawancara dengan Guru Kelas II B ... 107

Lampiran 2. Hasil Validasi Dosen Ahli ... 109

Lampiran 3. Hasil Validasi Guru Kelas II B ... 112

Lampiran 4. Hasil Uji Coba Produk 6 Siswa ... 116

Lampiran 5. Surat Izin Penelitian... 134

Lampiran 6. Surat Keterangan Melakukan Penelitian ... 135

Lampiran 7. Dokumentasi ... 136

Lampiran 8. Buku Cerita Bergambar (Dicetak Terpisah) ... 138


(19)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Pendidikan anti korupsi dalam Syarbini dan Arbain (2014 : 7) adalah usaha sadar untuk memberi pemahaman dan pencegahan terjadinya perbuatan korupsi yang dilakukan dari pendidikan formal di sekolah, pendidikan informal pada lingkungan keluarga, dan pendidikan non formal di masyarakat. Pendidikan anti korupsi dapat dikatakan sebagai sikap penolakan terhadap berkembangnya budaya korupsi. Korupsi menurut Wijaya (2014 : 4) memiliki pengertian sebagai sekumpulan kegiatan yang menyimpang dan merugikan orang lain. Tindakan korupsi meliputi berbagai bentuk perbuatan, dimulai dari skala kecil hingga yang berpengaruh terhadap kepentingan orang banyak.

Penolakan terhadap tindakan korupsi merupakan mentalitas dalam membina kemampuan generasi mendatang untuk mampu mengidentifikasi berbagai kelemahan dari sistem nilai yang mereka warisi dan memperbaharui sistem nilai warisan dengan situasi-situasi tertentu (Mukodi dan Burhanuddin, 2014 : 114). Pembinaan generasi muda terhadap bahaya budaya korupsi dapat dilakukan melalui institusi pendidikan seperti halnya sekolah. Sekolah menjadi wahana yang strategis dalam pengenalan nilai-nilai pendidikan anti korupsi. Dikatakan strategis karena disadari atau tidak, anak-anak memeroleh pengetahuan, sikap, dan keterampilan bermula dari pembelajaran di kelas. Proses pembelajaran juga


(20)

2 menjadi waktu bagi guru dalam menginternalisasi nilai-nilai terkait suatu mata pelajaran tertentu, seperti halnya nilai-nilai pendidikan anti korupsi.

Pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD), istilah korupsi mungkin akan terasa asing di telinga anak terutama bagi anak kelas II. Pemahaman terkait nilai-nilai pendidikan anti korupsi penting untuk diberikan sejak dini terutama pada anak usia SD. Berdasarkan hasil wawancara pada guru kelas II B SD Negeri Dayuharjo, menuturkan bahwa pendidikan anti korupsi penting untuk diberikan pada anak. Menurut narasumber pendidikan anti korupsi secara tidak langsung disampaikan melalui penanaman nilai-nilai anti korupsi yang diimplementasikan dalam 2 mata pelajaran yaitu Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dan Bahasa Indonesia.

Pentingnya penanaman nilai anti korupsi menurut narasumber berdasarkan pengaplikasian nilai pendidikan anti korupsi yang selalu bersinggungan dengan dunia anak. Narasumber memberikan contoh bahwa nilai pendidikan anti korupsi hadir semisal mengajarkan akan nilai kejujuran yang diimplementasikan dalam mata pelajaran PKn. Nilai ini dapat ditemukan dalam bab yang membahas nilai kejujuran maupun terdapat dalam soal. Selain itu, penggambaran nilai pendidikan anti korupsi juga dapat dimunculkan dalam cerita pada bacaan terkait amanat maupun karakter tokoh pada mata pelajaran Bahasa Indonesia. Hal ini menjadi alasan mengapa pendidikan anti korupsi perlu diberikan pada anak SD terutama kelas bawah.

Pengenalan nilai pendidikan anti korupsi pada anak dapat dilakukan dengan beragam cara, salah satunya melalui buku cerita bergambar. Buku bergambar


(21)

3 menurut Nurgiyantoro (2010:152) adalah buku bacaan cerita anak yang di dalamnya terdapat gambar-gambarnya. Bahan bacaan anak memiliki kesan penuh gambar, warna, tersaji dengan kemasan buku yang menarik, karakter tokoh mudah dikenali, dan alur cerita yang sederhana. Buku bergambar dipergunakan untuk bacaan anak di usia awal sampai usia yang lebih besar dan bahkan, tidak jarang juga, untuk orang dewasa. Buku bergambar merupakan perpaduan antara tulisan dan gambar. Melalui gambar dapat diterjemahkan ide-ide abstrak dalam bentuk lebih realistis (Anitah, 2009: 8). Penggambaran dalam bentuk yang lebih realistis ditunjukkan lewat hadirnya media pembelajaran di kelas. Media tersebut seperti gambar tokoh pahlawan, pakaian tradisional, rumah adat maupun keanekaragaman hayati yang ditempelkan di dinding-dinding ruang kelas.

Pembelajaran adalah proses interaksi siswa dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan oleh guru agar dapat terjadi proses perolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan di dalam diri siswa (Wijaya, 2014 : 51). Pembelajaran di kelas dapat terselenggara dengan baik apabila terdapat hubungan yang saling mendukung antara guru dan juga siswa. Guru menjalankan tugas utama sebagai pendidik dan pengajar, sementara siswa membalas bantuan yang diberikan oleh guru dengan bersikap kooperatif guna mencapai kompetensi ataupun kecakapan yang ditetapkan oleh guru dalam pembelajaran. Kompetensi siswa dalam proses pembelajaran dibutuhkan guna mendukung penyampaian materi yang diberikan oleh guru. Salah satu kompetensi yang perlu dimiliki oleh siswa adalah kompetensi dalam hal membaca.


(22)

4 Membaca merupakan suatu kegiatan berpikir untuk memahami dan mengetahui maksud dari keterangan yang diberikan oleh penulis. Menurut Dalman (2013: 5) membaca merupakan suatu kegiatan atau proses kognitif untuk menemukan berbagai informasi yang terdapat dalam tulisan. Informasi hadir melalui karya tulisan penulis berupa gagasan, pengalaman dan lain sebagainya. Dalam usaha memperoleh informasi yang diberikan oleh penulis, pembaca harus mampu menginterpretasikan maksud dari tulisan penulis. Dengan demikian pembaca harus mampu menyusun pengertian-pengertian yang tertuang dalam kalimat-kalimat yang disajikan oleh pengarang sesuai dengan konsep yang terdapat pada diri pembaca (Haryadi, 2007:77).

Di Indonesia minat baca terbilang masih rendah. Hasil survei UNESCO pada 2011 menunjukkan indeks tingkat membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, hanya ada satu orang dari 1000 penduduk yang masih mau membaca buku secara serius (jurnalasia.id, 30/04/2016). Berdasarkan survei tersebut, ditemukan fakta di lapangan berupa hasil wawancara yang dilakukan pada guru kelas II B SD Negeri Dayuharjo pada 29 November 2016, yang menunjukkan kompetensi terkait membaca belum terpenuhi oleh anak di sekolah tersebut. Dari hasil wawancara yang dilakukan (hasil wawancara terlampir), ada sedikitnya 1 anak dari total 29 anak kelas II B SD Negeri Dayuharjo yang belum dapat membaca, 3 anak kurang cermat dalam mengeja dan sebagian besar kurang memahami bacaan yang dibaca. Dari hasil wawancara tersebut, dapat diketahui bahwa pembelajaran membaca perlu ditingkatkan pada siswa kelas bawah. Selain itu, menurut penuturan guru kesulitan anak dalam membaca juga dipengaruhi oleh


(23)

5 kebijakan pemerintah yang diterapkan di sekolah yaitu berupa larangan penerimaan anak baru melalui tes membaca. Oleh karena itu, ditemukan banyak anak yang belum dapat membaca memasuki jenjang pendidikan SD dikarenakan oleh sistem penerimaan siswa baru berdasarkan usia anak.

Membaca sebagai salah satu cara dalam memperoleh informasi terus diusahakan hadir di sekitar lingkungan belajar anak. Hal ini terlihat dengan adanya Gerakan Literasi Sekolah (GLS). GLS sebagai upaya menyeluruh yang dilakukan di lingkungan sekolah memiliki tujuan menanamkan budaya membaca sebagai kebiasaan yang menyenangkan dan ramah pada anak agar warga sekolah mampu mengelola pengetahuan. Penanaman kebiasaan membaca anak dilakukan dengan pembiasaan membaca oleh anak di sekolah dengan kisaran waktu 15 menit sebelum pelajaran dimulai dan sesudah pelajaran selesai. Sebagai gerakan yang partisipatif, GLS melibatkan seluruh elemen terutama bagi peserta didik yang diwujudkan melalui pembiasaan membaca.

Tahapan keterampilan membaca anak senada dengan perkembangan anak yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Perkembangan anak oleh Piaget dibagi menurut empat tahap seperti (1) tahap sensorimotor yang berlangsung sejak anak lahir hingga berusia dua tahun, (2) tahap praoperasional yang berlangsung dari usia dua tahun sampai dengan anak berusia tujuh tahun, (3) tahap operasional konkret yang berlangsung dari usia tujuh tahun sampai dengan dua belas tahun, (4) tahap operasional formal yang berlangsung pada usia dua belas tahun sampai dengan dewasa (Salkind, 2009: 328). Pada anak kelas II SD, anak masuk pada tahapan operasional konkret. Menurut Jarvis (2011:142) pada tahap ini, anak


(24)

6 sudah cukup matang untuk menggunakan pemikiran logika atau operasi, tetapi hanya untuk objek fisik yang ada saat ini. Dalam tahap ini, anak telah hilang kecenderungan terhadap animism dan articialisme. Egosentrisnya berkurang dan kemampuannya dalam tugas-tugas konservasi menjadi lebih baik. Namun, tanpa objek fisik di hadapan mereka, anak-anak pada tahap operasional konkret masih mengalami kesulitan besar dalam menyelesaikan tugas-tugas logika. Hal ini merupakan kecenderungan dari anak usia sekolah awal di mana perkembangan berbanding lurus dengan logika terkait objek fisik yang abstrak. Semakin matang pola berpikir anak, semakin dapat pula menyelesaikan tugas-tugas yang mempergunakan logika pada objek yang berbentuk abstrak.

Berdasarkan masalah tersebut, peneliti akan mencoba mengembangkan buku cerita bergambar berbasis pendidikan anti korupsi untuk pembelajaran membaca siswa kelas II SD. Buku cerita bergambar ini diharapkan dapat memberi motivasi anak untuk meningkatkan keterampilan membaca sekaligus memperkenalkan nilai pendidikan anti korupsi disesuaikan dengan tampilan buku, isi cerita, maupun karakter tokoh menurut karakteristik siswa kelas II SD. Buku yang akan dikembangkan merupakan buku cerita bergambar berbasis pendidikan anti korupsi untuk pembelajaran membaca siswa kelas II B SD Negeri Dayuharjo tahun pelajaran 2016/2017.


(25)

7 1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan dari penelitian ini adalah :

1. Bagaimana proses pengembangan buku cerita bergambar berbasis pendidikan anti korupsi untuk pembelajaran membaca siswa kelas II B SD Negeri Dayuharjo tahun pelajaran 2016/2017?

2. Bagaimana kualitas produk buku cerita bergambar berbasis pendidikan anti korupsi yang layak untuk pembelajaran membaca siswa kelas II B SD Negeri Dayuharjo tahun pelajaran 2016/2017?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan yang akan dicapai dalam penelitian pengembangkan buku cerita bergambar berbasis pendidikan anti korupsi adalah :

1. Menjelaskan bagaimana proses pengembangan buku cerita bergambar berbasis pendidikan anti korupsi untuk pembelajaran membaca siswa kelas II B SD Negeri Dayuharjo tahun pelajaran 2016/2017.

2. Mendeskripsikan bagaimana kualitas pengembangan buku cerita bergambar berbasis pendidikan anti korupsi untuk pembelajaran membaca siswa kelas II B SD Negeri Dayuharjo tahun pelajaran 2016/2017.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1`Bagi Siswa

Penelitian ini diharapkan mampu memotivasi dan memperkenalkan siswa untuk mengetahui lebih dalam mengenai pendidikan anti korupsi melalui buku cerita bergambar.


(26)

8 1.4.2 Bagi Guru

Pelaksanaan penelitian ini diharapkan membuat guru dapat mempergunakan buku cerita bergambar ini sebagai referensi dalam mengajar khususnya mengajarkan nilai anti korupsi. Selain itu, melalui pengembangan buku cerita bergambar ini diharapkan dapat menambah variasi pada kegiatan pembelajaran membaca sehingga pembelajaran menjadi menyenangkan dan menarik minat siswa dalam belajar membaca.

1.4.3 Bagi Sekolah

Pengembangan buku cerita bergambar ini diharapkan menambah perbendaharaan buku cerita bergambar di sekolah. Selain itu, hadirnya buku cerita bergambar ini juga dapat dipergunakan sebagai referensi milik sekolah dalam pengenalan nilai anti korupsi pada siswa khususnya kelas bawah. 1.4.4 Bagi prodi PGSD

Penelitian pengembangan buku cerita bergambar berbasis pendidikan anti korupsi ini dapat menambah pustaka prodi PGSD Universitas Sanata Dharma terkait dengan pengembangan buku cerita bergambar untuk pembelajaran membaca kelas II SD.

1.4.5 Bagi Peneliti

Memberikan tambahan wawasan dan pengalaman bagi peneliti dalam mengembangkan buku cerita bergambar berbasis pendidikan anti korupsi. Peneliti mengharapkan melalui hadirnya buku cerita bergambar berbasis pendidikan anti korupsi ini dapat membantu dalam pembelajaran membaca anak sekaligus memperkenalkan nilai anti korupsi yang bersinggungan dengan dunia anak.


(27)

9 1.5 Definisi Operasional

1. Membaca adalah kegiatan aktif yang dilakukan untuk memperoleh informasi terkait makna tulisan penulis yang didapatkan melalui berbagai media tulis atau media lainnya.

2. Buku cerita bergambar adalah buku yang dibuat dengan memadukan cerita, gambar dan bahasa yang sederhana serta dikemas halaman sampul yang menarik.

3. Pendidikan anti korupsi adalah usaha sadar dan terencana dalam memberikan penanaman dan penguatan nilai-nilai dalam membentuk sikap anti korupsi yang diharapkan mampu diwujudkan generasi muda dalam usaha melawan korupsi.

1.6 Spesifikasi Produk

Spesifikasi produk yang dihasilkan adalah :

1. Disesuaikan menurut tahap perkembangan anak yaitu konkret dan bahasa yang digunakan sederhana.

2. Pembuatan buku cerita bergambar didesain penuh warna dan dikemas menarik supaya meningkatkan minat anak dalam membaca.

3. Dilengkapi dengan komponen kata pengantar, panduan penggunaan buku, kesimpulan, dan refleksi.

4. Bersifat kontekstual atau terkait dengan lingkungan sekitar anak.

5. Buku cerita bergambar dicetak dengan menggunakan kertas ivory 230 pada bagian sampul buku, sedangkan isi buku dicetak dengan kertas AP (Art


(28)

10 6. Buku ini dibuat menggunakan gambar manual yang dipadukan ke dalam

Adobe Photoshop CS6.

7. Produk buku cerita bergambar memiliki jumlah halaman sebanyak 26 lembar sudah termasuk sampul bagian depan dan belakang.


(29)

11 BAB II

LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Pendidikan Anti Korupsi 2.1.1.1 Pengertian Korupsi

Korupsi merupakan permasalahan yang banyak dihadapi oleh negara-negara di dunia tak terkecuali di Indonesia. Korupsi bagaikan penyakit yang sukar disembuhkan dan merupakan fenomena yang kompleks (Wijaya, 2014 : 4). Istilah korupsi dalam Syarbini dan Arbain (2014 : 4) berasal dari bahasa Latin “corruptus” atau “corruptio” yang berarti “to abuse” (menyalahgunakan) atau “to deviate” (menyimpang). Korupsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (dalam Wijaya, 2014 : 4) adalah busuk, palsu, suap.

Korupsi adalah tindakan yang menyebabkan negara menjadi bangkrut dengan pengaruh luar biasa seperti hancurnya perekonomian, pelayanan kesehatan tidak memadai, dan rusaknya sistem pendidikan sehingga membudaya dalam kehidupan bangsa indonesia. Korupsi menurut Hamzah (dalam Syarbini dan Arbain, 2014 : 7) adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, dan kata-kata atau ucapan yang memfitnah. Korupsi diartikan secara lebih luas adalah perbuatan yang merugikan orang lain dan juga menyimpang. Perbuatan merugikan dan menyimpang ini perlu mendapat perhatian khusus oleh negara. Di Indonesia, korupsi tergolong ekstra

ordinary crime, karena telah merusak tidak hanya keuangan Negara dan potensi


(30)

12 moral, politik, dan tatanan hukum dan keamanan sosial (Syarbini dan Arbain, 2014 : 27).

Lebih lanjut, untuk menganalisis secara detail tentang konsep korupsi, Harahap (dalam Mukodi dan Burhanuddin, 2014 : 12) membagi korupsi menjadi 7 (tujuh) tipologi, yakni:

a. Korupsi Transaktif (transactive corruption), yaitu kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan penerima demi keuntungan kedua belah pihak dan dengan aktif diusahakan keuntungan oleh kedua-duanya. Misalnya, transaksi ilegal luar negeri, transaksi penyelundupan, dan menyalahgunakan dana.

b. Korupsi Memeras (exportive corruption), yaitu perilaku dengan pihak pemberi dipaksa menyuap guna mencegah kerugian yang mengancam dirinya, kepentingannya, atau orang-orang yang bersamanya, seperti intimidasi, penyiksaan, menawarkan jasa perantara dan konflik kepentingan.

c. Korupsi Investif (investivecorruption), adalah pemberian barang dam jasa tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang dibayangkan akan diperoleh di masa mendatang. Misalnya penyuapan dan penyogokan, meminta komisi, menerima hadiah uang jasa, dan uang pelicin. d. Korupsi Perkerabatan (nepotisic corruption) adalah menunjuk perilaku yang

tidak sah terhadap teman atau sanak saudara memegang jabatan atau tindakan yang memberikan perlakuan khusus dalam bentuk uang atau bentuk lain kepada mereka yang bertentangan dengan norma dan peraturan yang berlaku, seperti pertemanan dan menutupi kejahatan.


(31)

13 e. Korupsi Defensif (defensive corruption) adalah perbuatan korban korupsi

pemerasan demi mempertahankan diri, seperti menipu, mengecoh, mencurangi dan memperdayai, serta memberi kesan salah.

f. Korupsi Otogenik (autogenic corruption) adalah korupsi yang dilakukan sendiri tanpa melibatkan orang lain, seperti menipu, mencuri, merampok, tidak menjalankan tugas, memalsu dokumen, menyalahgunakan telekomunikasi, pos, stempel, kertas surat kantor, dan hak istimewa jabatan.

g. Korupsi Dukungan (support corruption) adalah korupsi yang secara tidak langsung menyangkut uang atau imbalan langsung dalam bentuk lain, tindakan yang dilakukan untuk melindungi dan memperkuat korupsi kekuasaan yang sudah ada, seperti memalsu peraturan, menjegal pemilihan umum dan lain sebagainya.

Menyikapi fenomena tersebut diperlukan suatu upaya yang holistik dalam pemberantasan korupsi baik dari segi aparat penegak hukum, kebijakan pengelolaan negara sampai ke pendidikan formal di sekolah (Aditjondro, 2002). Di lingkungan sekolah banyak ditemukan praktik korupsi mulai dari yang paling sederhana seperti menyontek, berbohong, melanggar aturan sekolah, masuk sekolah terlambat, sampai menggelapkan uang pembangunan sekolah yang bernilai puluhan juta rupiah (Wijaya, 2014 : 4). Terkait contoh tersebut, apabila dihubungkan pada konsep korupsi menurut tipologi, perbuatan menyontek, berbohong, melanggar aturan sekolah, masuk sekolah terlambat maupun penggelapan uang sekolah termasuk konsep tipologi korupsi defensif dan otogenik. Kebijakan pengelolaan sebagai antisipasi terkait tindakan korupsi di lingkungan sekolah dilakukan dengan mengintegrasikan nilai-nilai luhur dalam


(32)

14 beberapa mata pelajaran di sekolah. Pengintegrasian nilai-nilai luhur tersebut dilakukan sebagai upaya membentuk perilaku siswa yang anti korupsi. Melalui perilaku anti korupsi, mata rantai virus korupsi dapat terputus.

Upaya pemberantasan korupsi melalui jalur pendidikan harus dilaksanakan karena tidak bisa dipungkiri bahwa pendidikan merupakan wahana yang sangat strategis untuk membina generasi muda agar menanamkan nilai-nilai kehidupan termasuk anti korupsi (Wijaya, 2014 : 24). Pendidikan menurut John Dewey (dalam Syarbini dan Arbain, 2014 : 3) adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia. Pengertian pendidikan juga dikemukakan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga mengemukakan pengertian pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Usaha ini termasuk dalam pengembangan potensi peserta didik dalam segala aspek dalam diri (intern peserta didik), kemudian pada lingkup yang lebih luas seperti lingkup masyarakat dalam hidup berbangsa dan bernegara.

Melihat peran sentral pendidikan bagi pemberantasan korupsi, pendidikan anti korupsi penting ditanamkan pada generasi muda sebagai upaya sadar dan terencana menanggulangi bahaya tindakan korupsi. Pendidikan anti korupsi dalam pengertiannya adalah usaha sadar untuk memberi pemahaman dan pencegahan terjadinya perbuatan korupsi yang dilakukan dari pendidikan formal di sekolah,


(33)

15 pendidikan informal pada lingkungan keluarga, dan pendidikan non formal di masyarakat. Pendidikan anti korupsi tidak berhenti pada pengenalan nilai-nilai anti korupsi saja, akan tetapi, berlanjut pada pemahaman nilai, penghayatan nilai dan pengamatan nilai anti korupsi menjadi kebiasaan hidup sehari-hari. Pendidikan anti korupsi secara umum dikatakan sebagai pendidikan koreksi budaya yang bertujuan untuk mengenalkan cara berfikir dan nilai-nilai baru kepada peserta didik (Syarbini dan Arbain, 2014 :7).

Pendidikan anti korupsi adalah penanaman dan penguatan nilai-nilai dasar yang diharapkan mampu membentuk sikap anti korupsi dalam diri peserta didik (Wijaya, 2014 : 24). Melalui penanaman nilai dasar anti korupsi dapat meningkatkan sikap tidak toleran pada tindakan korupsi sehingga mewujudkan nilai-nilai dalam usaha melawan korupsi di kalangan generasi muda.

Upaya pemberantasan korupsi melalui jalur pendidikan bukan suatu alternatif melainkan suatu keharusan atau kewajiban (Wijaya, 2014 : 24). Hal ini dikarenakan oleh upaya yang dilakukan oleh pemerintahan tidak mampu mematahkan keyakinan bahwa negara ini memang negara yang korup. Fakta terkait kasus korupsi dapat diketahui melalui pemberitaan di televisi, surat kabar, maupun media informasi lainnya. Tertangkapnya oknum pejabat pemerintahan, seniman maupun oknum yang bekerja di berbagai bidang, merupakan gambaran bahwa korupsi terjadi hampir di semua bidang dan sektor pembangunan. Keberhasilan penanggulangan pemberantasan korupsi tidak hanya bergantung pada penegakkan hukum saja, namun ditentukan pula pada aspek tindakan preventifnya. Tindakan preventif ini diartikan bahwa korupsi dapat dicegah secara


(34)

16 dini dengan menguatkan pendidikan anti korupsi di sekolah/madrasah (Mukodi dan Burhanuddin, 2014 : 113).

Melalui penjelasan di atas, peneliti mengambil kesimpulan bahwa pendidikan anti korupsi merupakan usaha sadar dan terencana dalam memberikan penanaman dan penguatan nilai-nilai dalam membentuk sikap anti korupsi yang diharapkan mampu diwujudkan generasi muda dalam usaha melawan korupsi. Pendidikan anti korupsi berwujud dalam pengintegrasian suatu mata pelajaran di sekolah. Pendidikan anti korupsi di sekolah merupakan salah satu cara dalam memutus mata rantai korupsi di Indonesia melalui sektor pendidikan.

2.1.1.2 Tujuan Pendidikan Anti Korupsi

Pendidikan anti korupsi merupakan langkah pencegahan sejak dini terjadinya korupsi. Strategi ini punya dampak baik dalam penanggulangan korupsi. Hanya saja, pendekatan preventif ini memang tidak dapat dinikmati langsung, tetapi akan terlihat hasilnya dalam jangka panjang (Mukodi dan Burhanuddin, 2014 : 113). Usaha dalam pemberian pengetahuan dan pemahaman mengenai korupsi tentu saja memiliki tujuan.

Tujuan pendidikan anti korupsi menurut Syarbini dan Arbain (2014 : 13) adalah untuk :

1. Menanamkan nilai dan sikap hidup anti korupsi kepada warga sekolah.

Penanaman nilai dan sikap hidup anti korupsi kepada warga sekolah merupakan tujuan utama dalam menerapkan pendidikan anti korupsi di lingkungan pendidikan. Dengan penanaman nilai dan sikap kepada warga sekolah, secara sadar telah mengajak warga sekolah untuk dapat menjadikan sekolah sebagai wadah penanaman nilai-nilai kebaikan dalam diri pendidik,


(35)

17 peserta didik, dan tenaga kependidikan serta warga sekolah secara menyeluruh. Dengan adanya penanaman nilai dan sikap anti korupsi di lingkungan warga sekolah dan menjadikan warga sekolah anti terhadap korupsi maka tujuan pendidikan anti korupsi dapat terwujud.

2. Menumbuhkan kebiasaan perilaku anti korupsi kepada warga sekolah.

Ala bisa karena biasa. Itulah sepenggal kalimat sederhana yang sering dilontarkan oleh kebanyakan orang. Melalui sebuah pembiasaan yang baik dan terus-menerus dilakukan secara konsisten dalam bersikap dan berperilaku akan menghadirkan sebuah stigma positif dalam diri setiap warga sekolah. Kebiasaan perilaku anti korupsi kepada warga sekolah ini merupakan upaya untuk melatih, membimbing, dan membina diri insan pendidikan dan lembaga pendidikan untuk dapat bersikap jujur dan amanah dalam setiap perilaku yang dilakukannya serta dapat memiliki tanggung jawab yang besar terhadap diri, masyarakat, dan negara.

3. Mengembangkan kreativitas warga sekolah dalam memasyarakatkan dan membudayakan perilaku anti korupsi.

Tujuan terakhir dari pendidikan anti korupsi adalah pengembangan kreativitas masyarakat dan membudayakan perilaku anti korupsi di lingkungan sekolah. Hal ini sangat penting dan memiliki peranan besar dalam menciptakan sekolah yang terbebas dari korupsi. Menjadikan sekolah sebagai wahana anti korupsi dan menjadikan sebuah kebiasaan (budaya) di sekolah adalah solusi logis untuk dapat membebaskan sekolah dari virus-virus korupsi. Sebab, begitu banyak lembaga pendidikan sudah terjangkiti oleh virus korupsi bahkan sudah menjadi amalan sehari-hari dalam diri lembaga pendidikan. Oleh karena itu, penting


(36)

18 kiranya membudayakan perilaku anti korupsi di setiap sekolah secara universal dan dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah dan terintegrasi dalam setiap mata pelajaran guna menjadikan sekolah sebagai media untuk dapat memberantas virus korupsi sampai ke akar-akarnya.

Tujuan pendidikan anti korupsi juga disampaikan oleh Wijaya (2014 : 25) berikut ini :

1. Membangun kehidupan sekolah sebagai bagian dari masyarakat melalui penciptaan lingkungan belajar yang berbudaya integritas (anti korupsi), yaitu jujur, disiplin, adil, tanggung jawab, bekerja keras, sederhana, mandiri, berani, peduli, dan bermasyarakat.

2. Mengembangkan potensi kalbu/nurani peserta didik melalui ranah afektif sebagai manusia yang memiliki kepekaan hati dan selalu menjunjung tinggi nilai-nilai budaya sebagai wujud rasa cinta tanah air serta didukung wawasan kebangsaan yang kuat.

3. Menumbuhkan sikap, perilaku, kebiasaan terpuji sejalan dengan nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius.

4. Menanamkan jiwa kepemimpinan yang profesional dan bertanggung jawab sebagai generasi penerus bangsa.

5. Menyelenggarakan manajemen sekolah secara terbuka, transparan, profesional, serta bertanggung jawab.

Pada hakikatnya tujuan pendidikan anti korupsi adalah untuk menanamkan nilai dan sikap dalam penciptaan lingkungan belajar yang terbuka, transparan, profesional, serta bertanggung jawab demi menumbuhkan kebiasaan perilaku anti korupsi pada warga sekolah.


(37)

19 2.1.1.3 Nilai-Nilai Terkait Pendidikan Anti Korupsi

Pendidikan anti korupsi secara internal sangat dipengaruhi oleh nila-nilai anti korupsi yang tertanam dalam diri seseorang. Menurut Nanang dan Romie (dalam Mukodi dan Burhanuddin, 2014 : 79) terdapat 9 (sembilan) nilai anti korupsi, yaitu 1) kejujuran, 2) kepedulian, 3) kemandirian, 4) kedisiplinan, 5) tanggung jawab, 6) kerja keras, 7) kesederhanaan, 8) keberanian, dan 9) keadilan.

2.1.1.3.1 Kejujuran

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, jujur diartikan sebagai 1) lurus hati, tidak berbohong, berkata apa adanya, 2) tidak curang dengan mengikuti aturan yang berlaku, 3) tulus, ikhlas. Nilai kejujuran ibarat sebuah mata uang yang berlaku dimana-mana termasuk dalam kehidupan di sekolah/madrasah. Prinsip kejujuran harus dipegang teguh oleh peserta didik. Nilai kejujuran di sekolah/madrasah dapat diwujudkan oleh peserta didik dalam bentuk tidak melakukan kecurangan akademik seperti tidak menyontek saat ujian, tidak melakukan kecurangan akademik, tidak memalsukan nilai, dan sebagainya.

2.1.1.3.2 Kepedulian

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline v1.3, peduli diartikan sebagai sikap mengindahkan, memperhatikan, menghiraukan. Nilai kepedulian dapat diwujudkan oleh peserta didik dalam beragam bentuk, diantaranya berusaha ikut memantau jalannya proses pembelajaran, memantau sistem pengelolaan sumber daya di sekolah atau madrasah, memantau kondisi infrastruktur lingkungan sekolah atau madrasah.


(38)

20 2.1.1.3.3 Kemandirian

Menurut Nanang dan Romie dalam (Mukodi dan Burhanuddin, 2014 : 85) kondisi mandiri bagi peserta didik diartikan sebagai proses mendewasakan diri yaitu dengan tidak bergantung pada orang lain untuk mengerjakan tugas dan tanggung jawabnya. Nilai kemandirian dapat diwujudkan antara lain dalam bentuk mengerjakan tugas secara mandiri, mengerjakan ujian secara mandiri, dan menyelenggarakan kegiatan kesiswaan dengan swadaya.

2.1.1.3.4 Kedisiplinan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, disiplin diartikan sebagai ketaatan (kepatuhan) kepada peraturan. Sikap disiplin diperlukan dalam berkehidupan di sekolah atau madrasah maupun masyarakat. Manfaat dari hidup yang disiplin adalah peserta didik dapat mencapai tujuan hidupnya dengan efektif dan efisien. Disiplin pada akhirnya juga dapat menambah rasa kepercayaan kepada orang lain. Dalam berbagai situasi guru dituntut untuk dapat mengembangkan sikap disiplin peserta didik.

2.1.1.3.5 Tanggung Jawab

Menurut Nanang dan Romie (dalam Mukodi dan Burhanuddin, 2014 : 88) mendefinisikan tanggung jawab adalah menerima segala sesuatu dari sebuah perbuatan yang salah, baik itu disengaja maupun tidak disengaja. Penerapan nilai tanggung jawab antara lain dapat diwujudkan dalam bentuk belajar dengan sungguh-sungguh, lulus tepat waktu dengan nilai yang baik, mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru, menjaga amanah dan kepercayaan yang diberikan kepadanya.


(39)

21 2.1.1.3.6 Kerja Keras

Kerja keras didasarkan atas kemauan yang tinggi. Kerja keras dapat diwujudkan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya dalam melakukan sesuatu menghargai proses bukan hasil semata, tidak melakukan jalan pintas, belajar dan mengerjakan tugas-tugas akademik dengan sungguh-sungguh. 2.1.1.3.7 Sederhana

Prinsip hidup sederhana merupakan indikator bagian penting dalam menjalin hubungan antara sesama peserta didik. Hidup sederhana menjauhkan pada bentuk kecemburuan sosial yang tak jarang berujung pada sebuah tindakan melawan hukum. Prinsip hidup sederhana juga menghindari seseorang dari keinginan yang berlebihan. Nilai kesederhanaan dapat diterapkan oleh peserta didik dalam bentuk diantaranya hidup sesuai dengan kemampuan, hidup sesuai dengan kebutuhan, tidak suka pamer kekayaan dan sebagainya.

2.1.1.3.8 Keberanian

Berani menyampaikan pendapat adalah modal awal untuk mencegah terjadinya korupsi. Nilai keberanian dapat dikembangkan peserta didik diantaranya melalui berani mengatakan dan membela kebenaran, berani bertanggung jawab terhadap segala bentuk kesalahan, berani menyampaikan pendapat, dan sebagainya.

2.1.1.3.9 Keadilan

Keadilan diartikan dengan memberikan hak seimbang dengan kewajiban, atau memberi sesuatu dengan kebutuhannya. Nilai keadilan dapat dikembangkan oleh peserta didik diantaranya melalui bentuk memberikan saran perbaikan dan


(40)

22 semangat pada temannnya yang tidak berprestasi, tidak memilih teman dalam bergaul berdasarkan suku, agama, ras dan antar golongan.

Terkait dengan 9 nilai pendidikan anti korupsi di atas, peneliti berusaha memunculkan 4 nilai anti korupsi dalam pengembangan produk buku cerita bergambar miliknya. Nilai pendidikan anti korupsi yang dimunculkan peneliti seperti nilai kejujuran, tanggung jawab, sederhana, dan keberanian. Peneliti memunculkan nilai-nilai pendidikan anti korupsi dimaksudkan agar anak dapat mengambil amanat setelah membaca cerita tersebut.

2.1.2 Buku Cerita Bergambar

Buku bergambar (picture books) menurut Huck (dalam Nurgiyantoro, 2005 : 153) adalah buku yang menyampaikan pesan lewat dua cara, yaitu ilustrasi dan tulisan. Ilustrasi (gambar) merupakan pendukung yang menguatkan dan mengungkapkan pesan yang ingin disampaikan dalam buku secara lebih baik dan jelas. Pemakaian gambar dalam memperkuat suatu pesan diperjelas oleh Gerlach dan Ely (dalam Anitah, 2009:7-8) yang menyatakan bahwa:

Gambar tidak hanya bernilai seribu bahasa, tetapi juga seribu tahun atau seribu mil. Melalui gambar dapat ditunjukkan kepada pebelajar suatu tempat, orang, dan segala sesuatu dari daerah yang jauh dari jangkauan pengalaman pebelajar sendiri. Gambar juga dapat memberikan gambaran dari waktu yang telah lalu atau potret (gambaran) masa yang akan datang.

Gambar diyakini menarik perhatian anak dalam hubungan menumbuhkan minat terhadap bacaan. Keberadaan gambar juga dapat menambah keindahan buku yang ditampilkan lewat sampul halaman buku yang beraneka ragam dan memperkuat gambaran terkait isi cerita. Isi cerita dalam buku bergambar juga


(41)

23 harus mempergunakan bahasa yang baik dan benar. Hal ini dimaksudkan agar cerita dapat dipahami pembaca sesuai pesan yang ingin disampaikan oleh penulis. Bahasa yang diwujudkan dalam bentuk teks dan kata-kata merupakan aspek yang penting dalam penulisan cerita. Menurut Huck dkk. (dalam Nurgiyantoro, 2005 : 157) kata-kata dan teks dalam buku cerita bergambar sama pentingnya dengan gambar ilustrasi. Hal itu akan membantu pembaca mengembangkan sensitivitas awal ke imajinasi dalam penggunaan bahasa. Bahasa dalam buku untuk anak-anak juga harus sederhana. Kesederhanaan tersebut merujuk pada kemudahan pengenalan arti kata yang dapat membantu anak memahami isi cerita. Pemahaman terkait isi cerita dibantu dengan gambar merupakan keunggulan dari buku cerita bergambar. Oleh karena itu, buku cerita bergambar tidak lepas dengan dunia anak-anak yang mengkreasikan gambar menarik pada tiap halaman sampulnya. Meskipun, tidak jarang juga buku cerita bergambar dikonsumsikan pada pembaca dewasa. Selain dilengkapi dengan gambar yang menarik dan bahasa yang sederhana, penampilan buku secara fisik dibuat agar menarik minat baca anak untuk membaca. Hal ini diperkuat menurut pernyataan Nurgiyantoro (2005 : 158) yang menyatakan bahwa anak memiliki bakat untuk menyenangi keindahan, maka hal itu perlu dipupuk lewat penampilan keindahan bahasa dan gambar-gambar ilustrasi.

Buku cerita bergambar menurut Stewing (dalam Susanto, 2011) adalah sebuah buku yang menjajarkan cerita dengan gambar. Sementara Mitchell (dalam Nurgiyantoro, 2005 : 153) lebih menyukai istilah picture storybooks yaitu buku cerita bergambar adalah buku yang menampilkan gambar dan teks dan keduanya saling menjalin. Kedua pengertian di atas memiliki persamaan pendapat yang


(42)

24 mengungkapkan bahwa buku cerita bergambar memadukan unsur cerita dan gambar. Unsur cerita yang termuat pada teks, sedangkan gambar berperan sebagai pelengkap cerita yang keduanya tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya.

Berdasarkan teori diatas, dapat disimpulkan bahwa buku cerita bergambar merupakan buku yang dibuat dengan memadukan cerita, gambar dan bahasa yang sederhana serta dikemas halaman sampul yang menarik. Buku cerita bergambar dibuat menarik agar membantu meningkatkan minat baca anak.

2.1.2.1 Unsur-Unsur Cerita

Menurut Nurgiyantoro (2005 : 7) mengatakan bahwa isi cerita anak tidak harus yang baik-baik saja, seperti kisah anak rajin, suka membantu ibu, dan lain-lain. Anak-anak juga dapat menerima cerita yang “tidak baik” seperti anak malas, anak pembohong, kucing pemalas, atau bintang yang suka memakan sebangsanya. Terkait beberapa contoh isi cerita di atas merupakan kesatuan dari berbagai elemen yang membentuknya. Elemen-elemen itu dapat dibedakan ke dalam unsur instrinsik dan unsur ekstrinsik.

Unsur instrinsik adalah unsur-unsur cerita fiksi yang secara langsung berada di dalam, menjadi bagian dan ikut membentuk eksistensi cerita yang bersangkutan. Unsur fiksi yang termasuk dalam kategori ini misalnya adalah tokoh dan penokohan, alur, pengaluran, dan berbagai peristiwa yang membentuknya, latar, sudut pandang, dan lain-lain. Berbeda dengan unsur ekstrinsik, di pihak lain, adalah unsur yang berada di luar teks fiksi yang bersangkutan, tetapi mempunyai pengaruh membangun cerita yang dikisahkan, langsung atau tidak langsung (Nurgiyantoro, 2005 : 221).


(43)

25 Rampan (2012: 73) menyatakan bahwa sebuah cerita sebenarnya terdiri dari pilar-pilar sebagai berikut. (1) tema, (2) tokoh, (3) latar, (4) alur, dan (5) gaya. Pilar pertama merupakan tema atau disebut rancang bangun cerita yang dikehendaki pengarang harus dilandasi amanat, yaitu pesan moral yang ingin disampaikan kepada pembaca. Namun, amanat ini harus dijalin secara menarik, sehingga anak-anak tidak merasa sedang membaca wejangan moral. Pembaca dihadapkan pada sebuah cerita yang menarik dan menghibur, dan dari bacaan itu anak-anak atau orang tua mereka dapat membangun pengertian dan menarik kesimpulan tentang pesan yang hendak disampaikan pengarang. Umumnya tema yang dinyatakan secara terbuka dan gamblang tidak akan menarik minat pembaca. Pilar kedua adalah tokoh. Secara umum, tokoh dapat dibagi dua yaitu tokoh utama (protagonis) dan tokoh lawan (antagonis). Tokoh utama ini biasanya disertai dengan tokoh-tokoh sampingan yang umumnya ikut serta dan menjadi bagian kesatuan cerita. Sebagai tokoh bulat, tokoh utama ini mendapat porsi paling istimewa dibandingkan dengan tokoh-tokoh sampingan. Kondisi fisik atau karakternya digambarkan secara lengkap, sebagaimana manusia sehari-hari. Disamping itu, seiring pula dihadirkan tokoh datar, yaitu tokoh yang ditampilkan secara satu isi (baik atau jahat), sehingga dapat melahirkan tanggapan memuja atau membenci dari para pembaca. Penokohan harus memperlihatkan perkembangan karakter tokoh. Peristiwa-peristiwa yang terbina dan dilema yang muncul di dalam alur harus mampu membawa perubahan dan perkembangan pada tokoh, sehingga lahir diidentifikasi pembaca pada tokoh yang muncul sebagai hero atau sebagia antagonis yang dibenci.


(44)

26 Pilar ketiga adalah latar. Peristiwa-peristiwa di dalam cerita dapat dibangun dengan menarik jika penempatan latar waktu dan tempatnya dilakukan secara tepat, karena latar berhubungan dengan tokoh, dan tokoh berkaitan erat dengan karakter. Bangunan latar yang baik menunjukan bahwa cerita tertentu tidak dapat dipindahkan ke kawasan lain, karena latarnya tidak menunjang tokoh dan peristiwa-peristiwa khas yang hanya terjadi di suatu latar tertentu saja. Dengan kata lain, latar menunjukan keunikan tersendiri dalam rangkaian kisah, sehinggga mampu membangun tokoh-tokoh spesifik dengan sifat-sifat tertentu yang hanya ada pada kawasan tertentu itu. Dengan demikian, tampak latar memperkuat tokoh dan mengidupkan peristiwa-peristiwa yang dibina di dalam alur, menjadikan cerita spesifik dan unik.

Alur merupakan pilar keempat. Alur menuntut kemampuan utama pengarang untuk menarik minat pembaca. Secara sederhana, alur dapat dikatakan sebagai rentetan peristiwa yang terjadi di dalam cerita. Alur dapat dibina secara lurus, dimana cerita dibangun secara kronologis. Peristiwa-peristiwa demi peristiwa berkaiatan langsung satu sama lain hingga cerita berakhir. Alur juga dapat dibangun secara episodik, dimana cerita diikat oleh episode-episode tertentu, dan pada setiap episodenya ditemukan gawatan, klimaks dan leraian. Alur juga dapat dibangun dengan sorot balik atau maju. Sorot balik adalah paparan informasi atau peristiwa yang terjadi di masa lampau, dikisahkan kembali dalam situasi masa kini, sementara alur maju merupakan wujud ancang-ancang untuk menerima peristiwa-peristiwa tertentu yang nanti akan terjadi.

Pilar kelima adalah gaya. Disamping pilar-pilar lainnya, gaya menentukan keberhasilan sebuah cerita. Secara tradisional dikatan bahwa keberhasilan sebuah


(45)

27 cerita bukan pada apa yang dikatakan, tetapi bagaimana mengatakannya. Kalimat-kalimat yang enak dibaca, ungkapan-ungkapan yang baru dan hidup, suspence yang menyimpan kerahasiaan, pemecahan persoalan yang rumit namun penuh tantangan, pengalaman-pengalaman baru yang bernuansa kemanusiaan, dan sebagainya merupakan muatan gaya yang membuat pembaca terpesona. Disamping sebagai tanda seorang pengarang, gaya tertentu mampu menyedot perhatian pembaca untuk terus membaca. Bersama elemen lainnya, seperti penggunaan sudut pandang yang tepat, pembukaan dan penutup yang memberi kesan tertentu, gaya adalah salah satu kunci yang menentukan berhasil atau gagalnya sebuah cerita.

Penyusunan kerangka buku cerita bergambar didasari oleh teori kelima pilar cerita di atas. Kelima pilar tersebut seperti tema yang diangkat yaitu mengenai nilai pendidikan anti korupsi berisi nilai kejujuran, tanggung jawab, keberanian, dan juga sederhana. Selanjutnya mengenai tokoh, pengembangan buku cerita bergambar ini mengambil beberapa tokoh seperti tokoh utama bernama Harsa, Ibu, Pak Teten, dan kedua teman Harsa yaitu Jujuk dan Emen. Latar yang digunakan dalam cerita seperti rumah Harsa, warung, dan juga jalan raya. Selain itu, alur yang digunakan dalam pembuatan buku cerita menggunakan alur maju, sehingga pemunculan masalah hingga penyelesaian masalah terdapat pada isi cerita. Pilar cerita yang terakhir yaitu gaya. Buku cerita dilengkapi gambar dipadu tulisan dan warna yang diharapkan memberi kesan buku terlihat lebih menarik. Hal ini dilakukan supaya menumbuhkan minat baca anak ketika melihat tampilan buku sehingga membantu anak dalam belajar membaca.


(46)

28 2.1.2.2 Kriteria Buku Cerita yang Baik bagi Anak

Kebutuhan akan bahan bacaan merupakan salah satu faktor bagi perkembangan tahap membaca anak. Oleh sebab itu, guru maupun orang tua perlu membimbing dan memperhatikan kebutuhan bacaan bagi anak-anaknya. Perlu diketahui bahwa buku bacaan yang baik adalah buku bacaan yang : (1) dapat memberikan nilai positif pada pembacanya; (2) disampaikan dalam bahasa yang sederhana, enak dibaca dan penulisnya seakan ingin berbagi dengan pembaca, bukan menggurui; (3) gaya penulisan tidak meledak-ledak; (4) menggunakan kaidah bahasa Indonesia yang berlaku, tidak menggunakan istilah asing yang sebenarnya ada padanannya dalam bahasa Indonesia Christantiowati (dalam Santosa, 2008: 9).

Pendapat serupa juga dikatakan oleh Effendi, Bangsa, dan Yudani (2013) yang mengatakan bahwa buku cerita yang baik meliputi: (a) tampilan visual buku dirancang menggunakan tampilan full color; (b) tampilan visual buku lebih dominan gambar dibandingkan dengan teks; (c) jenis huruf pada buku cerita memiliki tingkat keterbacaan yang baik bagi anak-anak; (d) judul buku cerita mewakili keseluruhan isi cerita dan menarik minat anak untuk membaca lebih lanjut; dan (e) tampilan warna mampu memberikan kesan dan mudah ditangkap oleh indera penglihatan anak.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kriteria buku cerita yang baik bagi anak dalam pengembangan buku cerita bergambar peneliti meliputi penggunaan bahasa yang sederhana, enak dibaca bagi pembaca. Selain itu, buku cerita yang baik memperhatikan kaidah bahasa Indonesia yang baik, tampilan


(47)

29 visual buku full color, gambar lebih dominan dibandingkan teks, judul buku cerita mewakili isi cerita, dan juga dapat memberikan nilai positif bagi pembaca seperti nilai pendidikan anti korupsi.

2.1.3 Pengertian Membaca

Membaca merupakan kegiatan dalam menemukan berbagai informasi dalam tulisan. Tulisan memiliki makna sebagai pesan yang ingin disampaikan oleh penulis kepada pembaca. Menurut Wassid dan Sunendar (2008 : 246) membaca merupakan proses memperoleh makna dari apa yang tertulis dalam teks. Mengetahui makna dari pikiran penulis merupakan cara dalam mendapatkan informasi dengan sejelas mungkin terkait bahan bacaan yang sedang dibaca. Oleh sebab itu, membaca juga merupakan kegiatan yang mempergunakan penalaran dalam menangkap informasi yang diberikan oleh penulis.

Pengertian membaca juga disampaikan Subyakto (1998: 145) yang mengemukakan membaca adalah suatu aktivitas yang rumit atau kompleks karena bergantung pada keterampilan berbahasa pelajar, dan pada tingkat penalarannya. Kegiatan membaca pada pernyataan sebelumnya disebut sebagai keterampilan berbahasa dipahami serupa oleh Pratiwi, dkk. (2007: 15) mengemukakan bahwa membaca merupakan kegiatan berbahasa yang secara aktif menyerap atau informasi atau pesan yang disampaikan melalui media tulis, seperti buku, artikel, modul, surat kabar, atau media tulis lainnya. Disebut aktif karena membaca bukan hanya sekedar memahami lambang tulis, tetapi juga membangun makna, memahami, menerima, menolak, membandingkan, dan meyakini isi tulisan.


(48)

30 Berdasarkan uraian teori di atas dapat disimpulkan bahwa membaca adalah kegiatan aktif yang dilakukan untuk memperoleh informasi terkait makna tulisan penulis yang didapatkan melalui berbagai media tulis atau media lainnya. Pada penelitian ini, peneliti ingin mengajak siswa kelas II SD untuk belajar membaca. Cara yang dilakukan oleh peneliti yaitu dengan memperkenalkan siswa pada bahan bacaan berbentuk buku cerita bergambar bertemakan pendidikan anti korupsi. Selain belajar membaca dilengkapi dengan penjelasan tampilan gambar, siswa diharapkan mampu menangkap nilai-nilai pendidikan anti korupsi yang terdapat di dalam cerita tersebut.

2.1.3.1 Tujuan Membaca

Informasi dapat diperoleh melalui membaca. Informasi dibutuhkan untuk memperkaya pengetahuan dari seseorang akan suatu peristiwa, asal-usul dan lain sebagainya. Hal ini merupakan salah satu dari tujuan yang ingin dicapai pada kegiatan membaca. Supriyadi mengemukakan dalam (1992: 117) tujuan membaca sebagai berikut.

a. Mengisi waktu luang atau mencari hiburan. b. Kepentingan studi (secara akademik).

c. Mencari informasi, menambah ilmu pengetahuan. d. Memperkaya perbendaharaan kosakata, dan lain-lain.

Selain itu, tujuan dari kegiatan membaca juga disampaikan oleh Zuchdi dan Budiasih (2001: 24). Menurut Zuchdi dan Budiasih membaca meliputi beberapa tujuan diantaranya sebagai berikut :

a. Mendapatkan informasi yaitu mencakup informasi tentang fakta dan kejadian sehari-hari,


(49)

31 b. Membaca untuk meningkatkan citra diri,

c. Submilasi atau penyaluran yang positif,

d. Rekreatif yaitu untuk mendapatkan kesenangan atau hiburan, e. Membaca hanya karena iseng, dan

f. Untuk mencari nilai-nilai keindahan dan nilai kehidupan.

Pada umumnya tujuan membaca adalah untuk memperoleh informasi terkait makna tulisan penulis yang didapatkan dari berbagai media. Namun secara khusus, setiap orang memiliki tujuan tersendiri dalam membaca seperti menambah ilmu pengetahuan, iseng mengisi waktu luang, mendapatkan kesenangan, dan lain sebagainya.

2.1.3.2 Gerakan Literasi Sekolah

Literasi sekolah dalam konteks Gerakan Literasi Sekolah (GLS) merupakan kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas, antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan atau berbicara (dikdas.kemdikbud 2016: 2). Literasi juga bermakna praktik dan hubungan sosial yang terkait dengan pengetahuan, bahasa, dan budaya (UNESCO, 2003).

GLS merupakan merupakan suatu usaha atau kegiatan yang bersifat partisipatif dengan melibatkan warga sekolah (peserta didik, guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan, pengawas sekolah, Komite Sekolah, orang tua/wali murid peserta didik), akademisi, penerbit, media massa, masyarakat (tokoh masyarakat yang dapat merepresentasikan keteladanan, dunia usaha, dll.), dan pemangku kepentingan di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (dikdas.kemdikbud 2016: 7).


(50)

32 Sebagai gerakan yang partisipatif, GLS melibatkan seluruh elemen terutama bagi peserta didik yang diwujudkan melalui pembiasaan membaca. Pembiasaan membaca ini selanjutnya diarahkan pada tahap pengembangan dan juga pembelajaran. Oleh karena itu, variasi kegiatan GLS ini dapat berupa perpaduan pengembangan keterampilan reseptif maupun produktif. Keterampilan reseptif merupakan keterampilan yang bersifat menerima meliputi keterampilan membaca dan menyimak. Sedangkan keterampilan produktif merupakan keterampilan yang bersifat mengungkap meliputi keterampilan menulis dan berbicara (Muchlisoh, 1992 : 119).

GLS sebagai upaya menyeluruh yang dilakukan di lingkungan sekolah memiliki tujuan dalam menanamkan budaya membaca sebagai kebiasaan yang menyenangkan dan ramah pada anak agar warga sekolah mampu mengelola pengetahuan. Penanaman kebiasaan membaca anak dilakukan dengan pembiasaan membaca oleh anak di sekolah dengan kisaran waktu 15 menit sebelum pelajaran dimulai dan sesudah pelajaran selesai.

Kegiatan GLS pada tahap pembiasaan ini, memiliki prinsip dalam pelaksanaan kegiatan membaca seperti bahan bacaan yang dibaca oleh anak dalam kegiatan ini merupakan buku bacaan, bukan buku teks pelajaran. Selain itu peserta didik diperkenankan memilih buku bacaan sesuai minat mereka dengan memberi keleluasaan untuk membawa buku dari rumah. Kegiatan membaca tidak diikuti oleh tugas lain seperti menghafalkan cerita, menulis sinopsis, dan lain-lain. Adapun dalam kegiatan membaca dapat diikuti dengan diskusi informal tentang buku yang dibaca ataupun kegiatan yang menyenangkan lainnya terkait buku yang dibacakan apabila waktu memungkinkan. Tanggapan dalam diskusi dan kegiatan


(51)

33 lanjutan ini tidak dinilai/dievaluasi. Kegiatan membaca juga berlangsung dalam suasana yang santai dan menyenangkan. Guru menyapa peserta didik dan bercerita sebelum membacakan buku dan meminta mereka untuk membaca buku

(dikdas.kemdikbud 2016: 8).

2.1.3.3 Prinsip-prinsip Literasi Sekolah

Menurut Beers (2009), praktik-praktik yang baik dalam gerakan literasi sekolah menekankan prinsip-prinsip sebagai berikut :

a. Perkembangan literasi berjalan sesuai tahap perkembangan yang dapat diprediksi.

Tahap perkembangan anak dalam belajar membaca dan menulis saling beririsan antar tahap perkembangan. Memahami tahap perkembangan literasi peserta didik dapat membantu sekolah untuk memilih strategi pembiasaan dan pembelajaran literasi yang tepat sesuai kebutuhan perkembangan mereka.

b. Program literasi yang baik bersifat berimbang

Sekolah yang menerapkan program literasi berimbang menyadari bahwa tiap peserta didik memiliki kebutuhan yang berbeda. Oleh karena itu, strategi membaca dan jenis teks yang dibaca perlu divariasikan dan disesuaikan dengan jenjang pendidikan. Program literasi yang bermakna dapat dilakukan dengan memanfaatkan bahan bacaan kaya ragam teks, seperti karya sastra untuk anak dan remaja.

c. Program literasi terintegrasi dengan kurikulum

Pembiasaan dan pembelajaran literasi di sekolah adalah tanggung jawab semua guru di semua mata pelajaran sebab pembelajaran mata pelajaran apapun membutuhkan bahasa, terutama membaca dan menulis. Dengan demikian,


(52)

34 pengembangan profesional guru dalam hal literasi perlu diberikan kepada guru semua mata pelajaran.

d. Kegiatan membaca dan menulis dilakukan kapanpun

Misalnya, „menulis surat kepada presiden‟ atau „membaca untuk ibu‟ merupakan contoh-contoh kegiatan literasi yang bermakna.

e. Kegiatan literasi mengembangkan budaya lisan

Kelas berbasis literasi yang kuat diharapkan memunculkan berbagai kegiatan lisan berupa diskusi tentang buku selama pembelajaran di kelas. Kegiatan diskusi ini juga perlu membuka kemungkinan untuk perbedaan pendapat agar kemampuan berpikir kritis dapat diasah. Peserta didik perlu belajar untuk menyampaikan perasaan dan pendapatnya, saling mendengarkan, dan menghormati perbedaan pandangan.

f. Kegiatan literasi perlu mengembangkan kesadaran terhadap keberagaman Warga sekolah perlu menghargai perbedaan melalui kegiatan literasi di sekolah. Bahan bacaan untuk peserta didik perlu merefleksikan kekayaan budaya Indonesia agar mereka dapat terpajan pada pengalaman multikultural (http://dikdas.kemdikbud.go.id).

2.1.3.4 Langkah-langkah Kegiatan Membaca Literasi

Kegiatan pelaksanaan gerakan literasi ini bertujuan untuk menumbuhkan minat siswa terhadap bacaan dan terhadap kegiatan membaca. Membaca buku dilakukan selama 15 menit sebelum pembelajaran dimulai dan 15 menit sesudah pembelajaran selesai. Kegiatan membaca yang dapat dilakukan adalah membacakan buku dengan nyaring dan membaca dalam hati.


(53)

35 2.1.3.4.1 Membacakan Nyaring

Tujuan :

a. Memotivasi peserta didik agar mau membaca.

b. Membuat peserta didik dapat membaca dan gemar membaca. c. Memberikan pengalaman membaca yang menyenangkan. d. Membangun komunikasi antara guru dan peserta didik.

e. Guru / pustakawan / kepala sekolah menjadi teladan membaca. Tabel 2.1 Tahap Membaca Nyaring

Tahap Membaca Kegiatan

1. Persiapan yang perlu dilakukan

a. Memahami tujuan membacakan nyaring, yaitu menumbuhkan minat baca, memeragakan cara membaca, dan menjadikan peserta didik lancar membaca.

b. Mengetahui tingkat kemampuan berpikir dan membaca peserta didik. c. Memilih buku yang berkualitas baik dan memiliki isi yang disesuaikan dengan jenjang dan minat peserta didik. d. Melakukan kegiatan prabaca dan baca ulang dengan

Tujuan:

1. Mengetahui jalannya cerita, atau isi/pesan dalam setiap buku yang dibaca;

2. Mengetahui letak tanda-tanda baca sehingga memungkinkan untuk mengatur intonasi suara agar menarik atau menentukan kapan harus jeda; 3. Mengantisipasi pertanyaan yang ditanyakan oleh peserta didik; dan 4. Melakukan prediksi atau menghubungkan isi bacaan dengan topik lain yang relevan.

5. Menulis pertanyaan-pertanyaan sebagai bahan diskusi.

6. Melatih intonasi, volume suara, dan gerak tubuh agar dapat membacakan buku dengan menarik serta ekspresi wajah yang mendukung penceritaan.


(54)

36 2. Sebelum membacakan

nyaring

a. Memulai dengan menyapa peserta didik dan menyebutkan alasan memilih bacaan tersebut.

b. Menunjukkan sampul buku cerita yang akan dibacakan dan menyampaikan gambaran singkat cerita.

c. Menyebutkan judul, pengarang, dan ilustrator buku.

d. Menggali pengalaman peserta didik, misalnya dengan menanyakan: Apakah ada di antara mereka yang pernah membaca buku tersebut? Apakah ada yang memiliki buku itu? Atau, apakah ada yang dapat menduga isi buku itu? e. Mulai menyusuri ilustrasi, apabila terdapat dalam buku atau bahan bacaan. f. Membacakan buku dengan cara yang sangat menarik.

3. Saat membacakan Nyaring

a. Suara dapat didengar seluruh peserta didik: tidak terlalu cepat, disertai intonasi, ekspresi, dan gestur yang sesuai isi cerita.

b. Bersikap ramah.

c. Menanggapi komentar dan pertanyaan peserta didik.

d. Mengingatkan peserta didik untuk menyimak.

e. Membagi informasi dan berdiskusi selama membacakan buku.

f. Mengajak peserta didik aktif bertanya.

g. Mengajak peserta didik untuk menceritakan apayang dibacakan dan apa yang dipikirkan (think aloud) terkait bacaan.

4. Setelah membacakan nyaring

a. Meminta peserta didik mengajukan pertanyaan.

b. Guru mengajukan pertanyaan seandainya peserta didik tidak bertanya. c. Meminta peserta didik untuk menceritakan ulang bacaan dengan kata-katanya sendiri.

d. Meletakkan buku atau materi bacaan di tempat yang mudah dilihat dan dijangkau oleh tangan peserta didik. e. Mencatat judul buku yang telah dibacakan


(55)

37 Sumber:http://dikdas.kemdikbud.go.id

2.1.3.4.2 Membaca dalam hati

Membaca dalam hati (sustained silent reading) adalah kegiatan membaca 15 menit yang diberikan kepada peserta didik tanpa gangguan. Guru menciptakan suasana tenang, nyaman, agar peserta didik dapat berkonsentrasi pada buku yang dibacanya.

Tabel 2.2 Tahapan Membaca Dalam Hati

Tahap Membaca Kegiatan

1. Persiapan membaca dalam hati.

a. Memahami tujuan membaca dalam hati, yaitu untuk menumbuhkan minat baca peserta didik.

b. Memastikan agar bacaan sesuai dengan tingkat keterampilan membaca peserta didik.

2. Sebelum membaca dalam hati dilakukan.

a. Menawarkan kepada peserta didik apakah mereka memilih sendiri buku yang ingin dibaca dari sudut baca kelas atau membawanya sendiri dari rumah. b. Membebaskan peserta didik untuk memilih buku yang sesuai dengan minat dan kesenangannya.

c. Memberi semangat kepada peserta didik bahwa ia harus membaca buku tersebut sampai selesai, dalam kurun waktu tertentu, bergantung pada ketebalan buku.

d. Membolehkan peserta didik untuk mencari buku lain apabila isi buku dianggap kurang menarik.

e. Membolehkan peserta didik untuk memilih tempat yang disukainya untuk membaca.

f. Menyediakan buku-buku dengan jenis dan judul yang variatif.

3. Saat membaca dalam hati

Peserta didik dan guru bersama-sama membaca buku masing-masing dengan tenang selama 15 menit.

4. Setelah membaca dalam hati

Guru dapat menggunakan 5–10 menit setelah membaca untuk bertanya kepada peserta didik tentang buku yang dibaca.


(56)

38 Sumber: http://dikdas.kemdikbud.go.id

Literasi sangat penting bagi siswa karena keterampilan dalam literasi berpengaruh terhadap keberhasilan belajar mereka dan kehidupannya. Keterampilan literasi yang baik akan membantu siswa dalam memahami teks lisan, tulisan, maupun gambar/visual. Kemampuan literasi (membaca dan menulis) di kelas awal berperan penting dalam menentukan keberhasilan belajar siswa. Di tingkat ini, pembelajaran membaca dan menulis perlu diperkenalkan. Kedua keterampilan tersebut tidak berkembang dengan sendirinya, tetapi perlu diajarkan. Jika pembelajaran literasi (membaca dan menulis) di kelas awal tidak kuat, maka pada tahap membaca dan menulis lanjut siswa akan mengalami kesulitan untuk dapat memiliki kemampuan membaca dan menulis yang memadai (USAID, 2014 : 2).

2.1.4 Tahap Perkembangan Anak

Sepanjang jenjang kehidupan manusia, semenjak awal kehidupan dari lahir sampai meninggal dunia, manusia selalu mengalami perubahan, baik perubahan dalam bentuk fisik maupun kemampuan mental psikologis, perubahan-perubahan tersebut terus berlangsung karena terjadinya pertumbuhan dan perkembangan pada dirinya. Pertumbuhan dan perkembangan merupakan suatu proses tahapan hidup manusia yang tidak terpisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Pertumbuhan merupakan suatu proses perubahan psikologis dari proses kematangan secara normal dalam perubahan fisik maupun psikisnya. Seperti bertambah berat badan, bertambah tinggi badan dan lain sebagainya. Sedangkan perkembangan memiliki pengertian proses perubahan kualitatif yang mengacu pada kualitas fungsi-fungsi organ jasmaniah dan bukan pada organ jasmani


(57)

39 tersebut sehingga penekanan arti perkembangan terletak pada penyempurnaan fungsi psikologis (Agustina, 2014 : 2).

Kehidupan manusia berlangsung dari beragam fase kehidupan, dimulai dari manusia lahir hingga fase tua. Pada tiap fase ini manusia mengalami perubahan yang berlangsung secara berkesinambungan. Menurut Santrock (dalam Agustina, 2014: 27) periode perkembangan itu terdiri atas tiga periode, yaitu anak(childhood), remaja (adolescence), dan dewasa (adulthood). Dari ketiga periode ini diklasifikasikan lagi menjadi beberapa periode yaitu: (1) periode anak sebelum kelahiran (prenatal), masa bayi (infacy), masa awal anak-anak (early

childhood), masa pertengahan dan akhir anak-anak (midle and late childhood); (2)

periode remaja (adolescence), dan (3) periode dewasa: masa awal remaja (early

adulthood), masa pertengahan dewasa (midle adulthood), dan masa akhir dewasa

(late adulthood). Dan di setiap periode ini memiliki tugasnya masing-masing.

Tugas di tiap periode ini akan dilewati anak dalam proses yang sama, namun tidak harus dalam umur yang sama pula.

Piaget (dalam Nurgiyantoro, 2005: 50) membedakan perkembangan intelektual anak ke dalam empat tahapan. Tiap tahapan memiliki karakteristik yang membedakannya dengan tahapan lain. Tahapan tersebut meliputi : tahap sensorimotor, tahap praoperasional, tahap operasi konkret, dan tahap operasional formal.

Pertama : tahap sensorimotor (the sensorymotor period, 0-2 tahun). Tahap ini merupakan tahapan pertama dalam perkembangan kognitif anak. Tahap sensorimotor terjadi berdasarkan informasi dari indera (senses) dan bodi (motor). Karakteristik utama dalam tahap ini adalah bahwa anak belajar lewat koordinasi


(58)

40 persepsi indera dan aktivitas motor serta mengembangkan pemahaman sebab-akibat atau hubungan-hubungan berdasarkan sesuatu yang dapat diraih atau dapat berkontak langsung. Anak mulai memahami hubungannya dengan orang lain, mengembangkan pemahaman objek secara permanen. Pada usia anak 1-2 tahun, anak pada tahapan ini menyukai aktivitas atau permainan bunyi yang mengandung perulangan-perulangan yang ritmis. Anak menyukai bunyi-bunyian yang bersajak dan berirama. Permainan bunyi yang dimaksud dapat berupa nyanyian, kata-kata yang dinyanyikan, atau kata-kata biasa dalam perkataan yang tidak dilagukan (Nurgiyantoro, 2005: 50).

Kedua: tahap praoperasional (the preoperational period, 2-7 tahun). Dalam

tahap ini anak mulai dapat “mengoperasikan” sesuatu yang sudah mencerminkan

aktivitas mental dan tidak lagi semata-mata bersifat fisik. Karakteristik dalam tahap ini antara lain adalah bahwa (i) anak mulai belajar mengaktualisasi dirinya lewat bahasa, bermain, dan menggambar (corat-coret). (ii) Jalan pikiran anak masih bersifat egosentris, menempatkan dirinya sebagai pusat dunia, yang didasarkan persepsi segera, dan pengalaman langsung karena masih kesulitan menempatkan dirinya di antara orang lain. Anak tidak dapat memahami sesuatu dari sudut pandang orang lain. (iii) Anak mempergunakan simbol dengan cara elementer yang pada awalnya lewat gerakan-gerakan tertentu dan kemudian lewat bahasa dalam pembicaraan. (iv) Pada masa ini anak mengalami proses asimilasi di mana anak mengasimilasikan sesuatu yang didengar, dilihat, dan dirasakan dengan cara menerima ide-ide tersebut ke dalam suatu bentuk skema di dalam kognisinya (Nurgiyantoro, 2005: 51).


(59)

41 Ketiga: tahap operasional konkret (the concrete operational, 7-11 tahun). Pada tahap ini anak mulai dapat memahami logika secara stabil. Karakteristik anak pada tahap ini antara lain adalah (i) anak dapat membuat klasifikasi sederhana, mengklasifikasikan objek berdasarkan sifat-sifat umum, misalnya klasifikasi warna, klasifikasi karakter tertentu. (ii) Anak dapat membuat urutan sesuatu secara semestinya, mengurutkan abjad, angka, besar-kecil, dan lain-lain. (iii) Anak mulai dapat mengembangkan imajinasinya ke masa lalu dan masa depan; adanya perkembangan dari pola berpikir yang egosentris menjadi mudah untuk mengidentifikasikan sesuatu dengan sudut pandang berbeda. (iv) Anak mulai dapat berpikir argumentatif dan memecahkan masalah sederhana, ada kecenderungan memperoleh ide-ide sebagaimana yang dilakukan oleh orang dewasa, namun belum dapat berpikir tentang sesuatu yang abstrak karena jalan pikirnya terbatas pada situasi yang konkret (Nurgiyantoro, 2005: 52).

Keempat: tahap operasi formal (the formal operational, 11 atau 12 tahun ke atas). Pada tahap ini, tahap awal adolesen, anak sudah mampu berpikir abstrak. Karakteristik penting dalam tahap ini antara lain adalah (i) anak sudah mampu

berpikir “secara ilmiah”, berpikir teoritis, berargumentasi, dan menguji hipotesis yang mengutamakan kemampuan berpikir. (ii) Anak sudah mampu memecahkan masalah secara logis dengan melibatkan berbagai masalah yang terkait (Nurgiyantoro, 2005 : 53).

Pada penelitian ini, peneliti melakukan penyusunan buku cerita bergambar dengan mempertimbangkan perkembangan kognitif operasional konkret berdasarkan usia anak kelas 2 SD yang memiliki kecenderungan belum dapat diajak berpikir secara abstrak. Maka dari hal tersebut, peneliti menyusun buku


(60)

42 cerita bergambar dengan anak menampilkan cerita yang bersifat nyata atau kontekstual mengangkat pemecahan masalah sederhana terkait cerita, bertemakan pendidikan anti korupsi.

2.1.4.1 Perkembangan Anak SD Kelas Bawah

SD merupakan jenjang pendidikan sekolah pertama dalam kegiatan belajar anak bersama dengan guru sekolah. Pada masa ini anak menjalani sebagian besar kehidupannya di sekolah. Masa usia sekolah dasar sering pula disebut sebagai masa intelektual atau masa keserasian sekolah. Pada masa keserasian sekolah ini secara relatif anak-anak lebih mudah dididik dari pada sebelumnya dan sesudahnya. Sugiyanto dan Sudjarwo (dalam Agustina, 2014 : 93), masa ini dapat dirinci lagi menjadi 2 fase yaitu sebagai berikut:

1. Karakteristik anak pada masa kelas-kelas bawah sekolah dasar (6-10 tahun)

Beberapa sifat khas anak pada masa ini antara lain adalah:

a. Adanya korelasi positif yang tinggi antara keadaan jasmani dengan prestasi sekolah.

b. Sikap tunduk kepada peraturan-peraturan permainan tradisional. c. Adanya kecenderungan menuju diri sendiri.

d. Suka membanding-bandingkan dirinya dengan anak lain pada kecenderungan meremehkan anak lain.

e. Jika tidak dapat menyelesaikan sesuatu hal, maka soal itu dianggapnya tidak penting.


(61)

43 f. Pada masa ini anak menghendaki nilai rapor yang baik, tanpa

mengingat apakah prestasinya memang pantas diberi nilai atau tidak. Soemantri dan Saodih (dalam Agustina, 2014 : 94).

2. Karakteristik anak pada masa kelas-kelas tinggi SD (10-12 tahun) Beberapa sifat khas anak-anak pada masa ini adalah :

a. Adanya minat terhadap kehidupan praktis sehari-hari yang konkret. b. Amat realistis, ingin tahu, ingin belajar.

c. Menjelang akhir masa ini telah ada minat kepada hal-hal dan mata pelajaran khusus.

d. Sampai kira-kira umur II tahun anak dapat membutuhkan seorang guru orang-orang dewasa lainnya untuk menyelesaikan tugasnya dan memenuhi keinginannya. Setelah kira-kira umur II tahun pada umunya anak menghadapi tugasnya dengan bebas dan berusaha menyelesaikannya sendiri.

e. Pada masa ini anak memandang (nilai rapor) sebagai ukuran yang tepat (sebaik-baiknya) mengenai prestasi sekolah.

f. Anak-anak pada masa ini gemar membentuk kelompok sebaya biasanya untuk dapat bermain bersama-sama.

g. Mengembangkan kata hati, moralitas suatu skala nilai-nilai. Soemantri dan Saodih (dalam Agustina, 2014 : 95).

Perkembangan manusia itu ada periode-periodenya dan ada tugas-tugas yang harus dilewati di setiap periode tersebut. Perkembangan yang baik adalah perkembangan yang mengarah ke arah yang lebih positif dan sesuai dengan


(1)

135 LAMPIRAN 6


(2)

136 LAMPIRAN 7

DOKUMENTASI


(3)

(4)

138 LAMPIRAN 8


(5)

139 LAMPIRAN 9

BIODATA PENULIS

Hilarius Alvin Krisnawan lahir di Bantul, 12 Januari 1995, sebagai anak pertama dari dua bersaudara. Penulis menempuh pendidikan dasar di SD Negeri Mlati I mulai tahun 2001 hingga tamat pada tahun 2006. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 4 Ngaglik hingga tamat tahun 2010. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 2 Sleman dan ditamatkan pada tahun 2013.

Penulis tercatat sebagai mahasiswa aktif di Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Sanata Dharma sejak tahun 2013. Pendidikan di perguruan tinggi diakhiri dengan menulis skripsi yang berjudul : “Pengembangan Buku Cerita Bergambar Berbasis Pendidikan Anti Korupsi untuk PembelajaranMembaca Siswa Kelas 2 B SD Negeri Dayuharjo Tahun Ajaran 2016/2017.


(6)