PENGEMBANGANPELAKSPELAYANANPRIMApim3

(1)

MODUL PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

KEPEMIMPINAN TINGKAT III

Lembaga Administrasi Negara - Republik Indonesia 2008


(2)

Hak Cipta© Pada: Lembaga Administrasi Negara Edisi Tahun 2008

Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia Jl. Veteran No. 10 Jakarta 10110

Telp. (62 21) 3868201-06 Ext. 193, 197 Fax. (62 21) 3800188

Pengembangan Pelaksanaan Pelayanan Prima

Jakarta – LAN – 2008 139 hlm: 15 x 21 cm ISBN: 979-8619-67-6

LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA REPUBLIK INDONESIA

SAMBUTAN

Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian menegaskan bahwa dalam rangka usaha mencapai tujuan nasional, diperlukan Pegawai Negeri Sipil yang berkemampuan melaksanakan tugas secara profesional. Untuk mewujudkan profesionalisme PNS ini, mutlak diperlukan peningkatan kompetensi, khususnya kompetensi kepemimpinan bagi para pejabat dan calon pejabat Struktural Eselon III baik di lingkungan pemerintah pusat maupun daerah. Sebagai pejabat struktural yang berada pada posisi paling depan atau ujung tombak, pejabat struktural eselon III memainkan peran yang sangat penting karena bertanggung jawab dalam mensukseskan pelaksanaan kegiatan-kegiatan secara langsung, sehingga buah karyanya dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat.

Untuk mempercepat upaya peningkatan kompetensi tersebut, Lembaga Administrasi Negara (LAN) telah menetapkan kebijakan desentralisasi dalam penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan (Diklatpim) Tingkat III. Dengan kebijakan ini, jumlah penyelenggaraan Diklatpim Tingkat III dapat lebih ditingkatkan sehingga kebutuhan akan pejabat struktural eselon III yang profesional dapat terpenuhi. Agar penyelenggaraan Diklatpim Tingkat III menghasilkan alumni dengan kualitas yang sama, walaupun diselenggarakan dan diproses oleh Lembaga Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) yang berbeda, maka LAN menerapkan kebijakan standarisasi program Diklatpim Tingkat III. Proses standarisasi meliputi keseluruhan aspek penyelenggaraan Diklat,


(3)

mulai dari aspek kurikulum yang meliputi rumusan kompetensi, mata Diklat dan strukturnya, metode dan skenario pembelajaran sampai pada pengadministrasian penyelenggaranya. Dengan proses standarisasi ini, maka kualitas penyelenggaraan dan alumni dapat lebih terjamin.

Salah satu unsur penyelenggaraan Diklatpim Tingkat III yang mengalami proses standarisasi adalah modul untuk para peserta (participants’ book). Disadari sejak modul-modul tersebut diterbitkan, lingkungan strategis khususnya kebijakan-kebijakan nasional pemerintah juga terus berkembang secara dinamis. Di samping itu, konsep dan teori yang mendasari substansi modul juga mengalami perkembangan. Kedua hal inilah yang menuntut diperlukannya penyempurnaan secara menyeluruh terhadap modul-modul Diklatpim Tingkat III ini.

Oleh karena itu, saya menyambut baik penerbitan modul-modul yang telah mengalami penyempurnaan ini, dan mengharapkan agar peserta Diklatpim Tingkat III dapat memanfaatkannya secara optimal, bahkan dapat menggali kedalaman substansinya di antara sesama peserta dan para Widyaiswara dalam berbagai kegiatan pembelajaran selama Diklat berlangsung. Semoga modul hasil perbaikan ini dapat dipergunakan sebaik-baiknya.

Kepada Drs. Sampara Lukman, MA, Sugiyanto, SH, MPA dan Dra. Damayani Tyastianti, MQM selaku penulis serta seluruh anggota Tim yang telah berpartisipasi, kami ucapkan terima kasih atas kesungguhan dan dedikasinya.

Jakarta, Juli 2008 KEPALA

LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA REPUBLIK INDONESIA

SUNARNO

KATA PENGANTAR

Sejalan dengan upaya mewujudkan Pegawai Negeri Sipil yang profesional melalui jalur pendidikan dan pelatihan (Diklat), pembinaan Diklat khususnya Diklat Kepemimpinan (Diklatpim) Tingkat III ke arah Diklat berbasis kompetensi, terus dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 Tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil. Salah satu upaya pembinaan yang telah ditempuh adalah melalui penerbitan modul Diklat.

Kehadiran modul Diklatpim Tingkat III ini memiliki nilai strategis karena menjadi acuan dalam proses pembelajaran, sehingga kebijakan pembinaan Diklat yang berupa standarisasi penyelenggaraan Diklat dapat diwujudkan. Oleh karena itu, modul ini dapat membantu widyaiswara atau fasilitator Diklat dalam mendisain pengajaran yang akan disampaikan kepada peserta Diklat; membantu pengelola dan penyelenggara Diklat dalam penyelenggaraan Diklat; dan membantu peserta Diklat dalam mengikuti proses pembelajaran. Untuk maksud inilah maka dilakukan penyempurnaan terhadap keseluruhan modul Diklat Kepemimpinan Tingkat III yang meliputi substansi dan format.

Disadari bahwa perkembangan lingkungan strategis berlangsung lebih cepat khususnya terhadap dinamika peraturan perundangan yang diterbitkan dalam rangka perbaikan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara, maka kualitas modul terutama kesesuaian isi dengan kebijakan yang berkembang perlu terus dipantau dan disesuaikan manakala terdapat hal-hal yang sudah tidak relevan lagi. Sehubungan dengan hal ini, modul ini dapat pula dipandang sebagai bahan minimal Diklat, dalam artian bahwa setelah substansinya disesuaikan dengan perkembangan yang ada, maka dapat dikembangkan selama relevan dengan hasil belajar yang akan dicapai dalam modul ini. Oleh karena itu, kami harapkan bahwa dalam rangka menjaga kualitas modul ini, peranan widyaiswara termasuk peserta Diklat juga dibutuhkan. Konkritnya, widyaiswara dapat


(4)

vi

melakukan penyesuaian dan pengembangan terhadap isi modul, sedangkan peserta Diklat dapat memperluas bacaan yang relevan dengan modul ini, sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung dinamis, interaktif dan aktual.

Selamat memanfaatkan modul Diklat Kepemimpinan Tingkat III ini. Semoga melalui modul ini, kompetensi kepemimpinan bagi peserta Diklat Kepemimpinan Tingkat III dapat tercapai.

Jakarta, Juli 2008 DEPUTI BIDANG PEMBINAAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

APARATUR

NOORSYAMSA DJUMARA

DAFTAR ISI

SAMBUTAN ... iii

KATA PENGANTAR... v

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Deskripsi Singkat... 2

C. Indikator Hasil Belajar ... 3

D. Materi Pokok ... 3

E. Manfaat... 3

BAB II PELAYANAN PRIMA... 5

A. Pengertian Pelayanan... 5

B. Makna Pelayanan Prima ... 10

C. Paradigma Pelayanan... 12

D. Latihan... 21

E. Rangkuman... 22

BAB III STRATEGI KEBERHASILAN PELAYANAN PRIMA ... 23

A. Kelembagaan ... 23

B. Pengelolaan SDM... 29

C. Komitmen Pimpinan... 36

D. Fokus Kepada Pelanggan ... 42

E. Pengelolaan Pengaduan ... 50

F. Latihan... 71

G. Rangkuman... 71

BAB IV STRATEGI PENGEMBANGAN PELAYANAN PRIMA ... 73

A. Standar Pelayanan ... 74

B. Standard Operating Procedures... 88

C. Indeks Kepuasan... 107


(5)

E. Latihan ... 125

F. Rangkuman ... 125

BAB V PENUTUP... 128

A. Simpulan ... 128

B. Tindak Lanjut ... 129


(6)

BAB I

PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

Pemberian pelayanan publik yang berkualitas dan mampu memberikan kepuasan bagi masyarakatnya merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh pemerintah. Kinerja pelayanan publik akan menjadi tolok ukur bagi kinerja pemerintah. Fungsi pemerintah beserta aparatnya sebagai pelayan publik (public servant) merupakan salah satu tuntutan dari reformasi. Persepsi masyarakat yang selama ini cenderung dijadikan obyek pelayanan sehingga masyarakat dianggap yang harus ‘melayani’ harus dihilangkan. Setiap aparat pemerintah harus mulai bersikap profesional dalam memberikan pelayanan dan menjadikan masyarakat seseorang yang harus dilayani. Oleh karena itu seluruh aparat penyedia layanan pada tiap-tiap organisasi pemerintah haruslah bersinergi satu sama lain untuk berupaya memberikan pelayanan yang terbaik.

Upaya peningkatan kualitas pelayanan publik sejauh ini terus menerus dilakukan oleh pemerintah melalui berbagai kebijakan di bidang pelayanan. Di samping itu pemberian penghargaan kepada unit-unit pelayanan yang dinilai mampu memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat juga menjadi salah satu cara yang dilakukan pemerintah untuk mendorong terciptanya pelayanan publik yang berkualitas di segala bidang. Meskipun


(7)

demikian, sejauh ini penilaian negatif akan kinerja pelayanan yang masih belum sesuai harapan masyarakat masih saja ditujukan pada pengelolaan pelayanan publik di Indonesia. Ucapan “miring” pun masih terdengar ketika menyebut kata pelayanan publik.

Menghadapi kenyataan tersebut, maka pemberian pelatihan kepada pegawai pemerintah, khususnya yang menyediakan pelayanan publik, masih dipandang perlu untuk dilakukan agar pemberian pelayanan yang berkualitas tidak hanya sebatas konsep, akan tetapi segera dapat terealisasikan. Terkait dengan hal tersebut, maka materi pengembangan pelaksanaan pelayanan prima semakin penting untuk diberikan pada Diklat Kepemimpinan Tingkat III ini.

B.

DESKRIPSI SINGKAT

Pada bagian ini akan disajikan berbagai strategi pengembangan pelayanan publik, serta beberapa strategi yang mendukung keberhasilan dalam pengembangan pelayanan prima.

Menyadari betapa pentingnya pemberian kualitas pelayanan prima bagi masyarakat, maka keberadaan modul ini cukup penting. Meskipun demikian, dari serangkaian strategi yang dapat dipergunakan untuk perbaikan kualitas pelayanan dalam modul ini hanya dipilih beberapa strategi yang dinilai mudah untuk diterapkan. Strategi tersebut antara lain penataan kelembagaan, pengelolaan SDM, komitmen pimpinan, fokus kepada pelanggan serta strategi pengelolaan pengaduan.

Disamping penerapan strategi dalam pengembangan pelayanan prima beberapa faktor lain yang perlu diperhatikan antara lain penerapan standar pelayanan, penyusunan standard operating procedures, pengukuran kepuasan pelanggan (indeks kepuasan pelanggan) serta penerapan konsep manajemen kualitas seperti TQM, ISO 9000.

C.

INDIKATOR HASIL BELAJAR

Indikator-indikator hasil belajar adalah:

1. Peserta mampu memahami pengertian pelayanan prima, makna pelayanan prima serta paradigma pelayanan;

2. Peserta mampu memahami dan menjelaskan berbagai strategi keberhasilan dalam pelayanan prima;

3. Peserta mampu memahami dan menjelaskan strategi pengembangan pelayanan prima.

D.

MATERI POKOK

1. Pengertian pelayanan, makna dan paradigma pelayanan; 2. Strategi keberhasilan pelayanan prima;

3. Strategi pengembangan pelayanan prima.

E.

MANFAAT

Manfaat yang dapat diharapkan bagi peserta Diklat setelah mengikuti mata ajar ini adalah:


(8)

4 Pengembangan Pelaksanaan Pelayanan Prima

1. Mampu menjelaskan faktor-faktor yang menjadi strategi penentu keberhasilan pelayanan, perbaikan pelayanan; 2. Mampu menjelaskan faktor-faktor dapat dipergunakan

sebagai strategi pengembangan pelayanan prima.

BAB II

PELAYANAN PRIMA

A.

PENGERTIAN PELAYANAN

Pelayanan adalah suatu bentuk kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan (KEPMENPAN 63/KEP/M.PAN/7/2003). Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa pelayanan adalah suatu usaha untuk membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan orang lain.

Pelayanan merupakan kegiatan/keuntungan yang ditawarkan oleh organisasi atau perorangan kepada konsumen/customer yang bersifat tidak berwujud dan tidak dapat dimiliki (Daviddow dan Uttal, 1989). Dalam pelayanan yang disebut konsumen (customer) adalah masyarakat yang mendapat manfaat dari aktifitas yang dilakukan oleh organisasi atau petugas dari organisasi pemberi layanan.

Pelayanan yang dikatakan tidak berwujud tersebut berarti bahwa pelayanan itu hanya dirasakan. Norman (1991) mengetengahkan karakteristik pelayanan sebagai berikut:

Setelah membaca Bab ini, peserta Diklat diharapkan mampu menjelaskan pengertian pelayanan, makna


(9)

1. Pelayanan sifatnya tidak dapat diraba, pelayanan sangat berlawanan sifatnya dengan barang jadi;

2. Pelayanan itu kenyataannya terdiri dari tindakan nyata dan merupakan pengaruh yang sifatnya adalah tindak sosial;

3. Produksi dan konsumsi dari pelayanan tidak dapat dipisahkan secara nyata, karena pada umumnya kejadiannya bersamaan dan terjadi di tempat yang sama.

Gronroos (1990) dan beberapa ahli lain mencoba menjelaskan keabstrakan bentuk pelayanan jasa dengan menyusun beberapa karakteristik jasa pelayanan dan barang. Perbedaan karakteristik antara barang dan jasa dapat dilihat dalam tabel berikut:

Barang Jasa

Sesuatu yang berwujud Sesuatu yang tidak berwujud Satu jenis barang dapat berlaku untuk

semua orang (homogen)

Satu bentuk pelayanan kepada seseorang belum tentu sesuai/sama dengan bentuk jasa pelayanan kepada orang lain (heterogen)

Proses produksi dan distribusinya terpisah dengan proses komunikasi

Proses produksi dan distribusi pelayanan berlangsung bersamaan pada saat bersamaan

Berupa barang/benda Berupa proses/kegiatan

Nilai utamanya dihasilkan di perusahaan Nilai utamanya dihasilkan dalam proses interaksi antara penjual dan pembeli Pembeli pada umumnya tidak terlibat

dalam proses produksi

Pembeli terlibat dalam proses produksi Dapat disimpan sebagai persediaan Tidak dapat disimpan

Dapat terjadi perpindahan kepemilikan Tidak ada perpindahan kepemilikan

Karakteristik tersebut dapat dijadikan dasar bagaimana memberikan pelayanan yang terbaik (prima). Pengertian yang lebih luas seperti dikemukakan Daviddow dan Uttal (1989) bahwa pelayanan merupakan usaha apa saja yang mempertinggi kepuasan pelanggan (whatever enhances customer satisfaction). Pelayanan publik harus diartikan sebagai kewajiban yang diamanatkan oleh Konstitusi untuk dilaksanakan oleh Pemerintah untuk memenuhi hak-hak warga masyarakat. Menurut Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, pelayanan publik dibatasi pada pengertian pelayanan publik (masyarakat), merupakan segala bentuk pelayanan sektor publik yang dilaksanakan aparat pemerintah dalam bentuk barang dan atau jasa, yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan ketentuan perundang-undangan.

Pelayanan publik mempunyai perbedaan dengan pelayanan jasa lainnya. Karakteristik pelayanan publik antara lain adalah sebagai berikut:

1. Memiliki dasar hukum yang jelas dalam penyelenggaraannya;

2. Memiliki kelompok kepentingan yang luas termasuk kelompok sasaran yang ingin dilayani (wide stakeholders); 3. Memiliki tujuan sosial;

4. Dituntut untuk akuntabel kepada publik;

5. Memiliki konfigurasi indikator kinerja yang perlu kelugasan (complex and debated performance indicators);


(10)

8 Pengembangan Pelaksanaan Pelayanan Prima

Berbeda dengan pelayanan yang dikelola oleh pemerintah, penyediaan pelayanan oleh sektor swasta memiliki karakteristik: (1) didasarkan kepada kebijakan Dewan Direksi, (2) terfokus pada pemegang saham dan manajemen, (3) memiliki tujuan mencari keuntungan, (4) harus akuntabel pada kalangan terbatas, (5) kinerjanya ditentukan atas dasar kinerja manajemen, termasuk di dalamnya kinerja finansial, serta (6) tidak terlalu terkait dengan isu politik.

Berbagai karakteristik pengelolaan pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah tersebut menimbulkan persoalan dalam penyediaan pelayanan publik. Persoalan-persoalan tersebut antara lain: pertama, adalah kelemahan yang berasal dari sulitnya menentukan atau mengukur output maupun kualitas dari pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. Kedua, pelayanan yang diberikan pemerintah memiliki ketidakpastian tinggi dalam hal teknologi produksi sehingga hubungan antara output dan input tidak dapat ditentukan dengan jelas. Ketiga, pelayanan pemerintah tidak mengenal “bottom line” artinya seburuk apapun kinerjanya, pelayanan pemerintah tidak mengenal istilah bangkrut. Keempat, berbeda dengan mekanisme pasar yang memiliki kelemahan dalam memecahkan masalah eksternalitis, organisasi pelayanan pemerintah menghadapi masalah berupa internalitis. Artinya, organisasi pemerintah sangat sulit mencegah pengaruh nilai-nilai dan kepentingan para birokrat dari kepentingan umum masyarakat yang seharusnya dilayaninya.

Meskipun demikian, penyediaan pelayanan publik tetap harus

Modul Diklatpim Tingkat III 9

diupayakan untuk selalu dilakukan, mengingat penyediaan pelayanan publik yang berkualitas merupakan suatu kewajiban bagi setiap instansi penyedia pelayanan publik.

Pelayanan prima atau pelayanan yang berkualitas menurut Evans and Lindsay (1997) dapat dilihat dari berbagai sudut. Jika dilihat dari sudut pandang konsumen, maka pelayanan prima selalu dihubungkan dengan sesuatu yang baik/prima (excellent). Jika kualitas pelayanan dipandang dari sudut ”product based”, maka pelayanan prima dapat didefinisikan sebagai suatu fungsi yang spesifik, dengan variabel pengukuran yang berbeda-beda dalam memberikan penilaian kualitas sesuai dengan karakteristik produk yang bersangkutan. Pelayanan prima jika dilihat dari sudut “user based”, maka pelayanan prima adalah sesuatu yang diinginkan oleh pelanggan atau tingkat kesesuaian dengan keinginan pelanggan. Sedangkan, jika dilihat dari “value based”, maka kualitas pelayanan merupakan keterkaitan antara kegunaan atau kepuasan dengan harga.

Penilaian terhadap kualitas pelayanan dilakukan pada saat pemberian pelayanan, yaitu terjadinya kontak antara pelanggan dengan petugas pemberi pelayanan (service contact person). Kualitas pelayanan akan terlihat dari kesesuaian pelayanan yang diterima pelanggan dengan apa yang menjadi harapan dan keinginan pelanggan tersebut.


(11)

B.

MAKNA PELAYANAN PRIMA

Layanan dan dukungan kepada customer (pelanggan) dapat bermakna sebagai suatu bentuk layanan yang memberikan kepuasan bagi pelanggannya, selalu dekat denganpelanggannya, sehingga kesan yang menyenangkan senantiasa diingat oleh para pelanggannya. Selain itu, membangun kesan yang dapat memberikan citra positif di mata pelanggan karena jasa pelayanan yang diberikan dengan biaya yang terkendali/terjangkau bagi pelanggan yang membuat pelanggan terdorong/termotivasi untuk bekerja sama/berperan aktif dalam pelaksanaan pelayanan yang prima.

Tujuan dari pelayanan prima adalah memuaskan dan atau sesuai dengan keinginan pelanggan. Untuk mencapai hal itu, diperlukan kualitas pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan dan atau keinginan pelanggan. Zeithaml, et al, (1990) seperti dikutip Yun, Yong, dan Loh (1998) menyatakan bahwa mutu pelayanan didefinisikan oleh pelanggan. Oleh karena itu, mutu pelayanan adalah kesesuaian antara harapan dan atau keinginan dengan kenyataan. Sejalan dengan hal tersebut, maka dimensi yang sangat melekat dengan mutu pelayanan adalah:

1. Tak nyata: penampilan fasilitas fisik, peralatan, tenaga kerja, dan metode yang digunakan dalam berkomunikasi dengan pelanggan;

2. Daya uji: Kemampuan menunjukkan sebagai jasa yang dapat diandalkan dan akurat seperti yang dijanjikan (standar); 3. Daya tanggap: Kemauan membantu pelanggan dan

menyediakan layanan dengan segera;

4. Keterampilan: Memiliki keahlian dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk memberikan pelayanan sesuai standar pelayanan;

5. Keramahan: Sopan dan santun, penghargaan, perhatian, dan persahabatan, dari orang yang menghubungi;

6. Kredibilitas: Ketulusan, kepercayaan, kejujuran dari pemberi layanan;

7. Keamanan: Kebebasan dari bahaya, resiko, atau keragu-raguan;

8. Akses: Kemudahan untuk didekati dan atau dihubungi; 9. Komunikasi: Memberikan pengetahuan yang dapat dipahami

oleh pelanggan dan mendengarkan mereka;

10. Pengertian: Berusaha mengenal pelanggan dan kebutuhannya.

Pelayanan prima, juga dapat diberi makna dalam sebuah kata respek. Respek dalam kegiatan pelayanan dapat diartikan "menghormati atau menghargai kepentingan orang lain", dengan demikian, maka dalam menyajikan pelayanan hendaknya ”menambahkan sesuatu yang tidak dapat dinilai dengan uang, dan itu adalah ketulusan dan integritas". Ketulusan dan integritas ini bermuara pada hal-hal yang melekat dalam pelayanan prima (membuat orang lain merasa senang), seperti:


(12)

12 Pengembangan Pelaksanaan Pelayanan Prima

1. Keramahan, kesopanan, perhatian dan persahabatan dengan orang yang menghubunginya;

2. Kredibilitas dalam arti bahwa dalam melayani pelanggan, berpedoman pada prinsip ketulusan dan kejujuran dalam menyajikan jasa pelayanan yang sesuai dengan kepentingan pelanggan, sesuai dengan harapan pelanggan, dan sesuai dengan komitmen pelayanan yang menempatkan pelanggan pada urutan nomor satu;

3. Akses dalam arti bahwa seorang aparatur yang tugasnya melayani pelanggan mudah dihubungi baik langsung atau tidak langsung;

4. Penampilan fasilitas pelayanan yang dapat mengesankan pelayanan sesuai dengan keinginan pelanggan;

5. Kemampuan dalam menyajikan pelayanan sesuai dengan keinginan pelanggan (waktu, biaya, kualitas, dan moral).

C.

PARADIGMA PELAYANAN

Paradigma yang kini sedang menjadi gerakan organisasi (public/private) sejalan dengan adanya revolusi mutu melalui pendekatan manajemen mutu terpadu. Mutu yang oleh banyak kalangan dipandang sebagai suatu paradigma perubahan yang perlu mendapat perhatian serius, karena mutu merupakan inti kelangsungan hidup organisasi. Perlu disadari bahwa mutu sangat tergantung pada kepentingan dan atau penilaian pelanggan/stakeholders.

Modul Diklatpim Tingkat III 13

Birokrasi sebagai wujud organisasi sektor publik tidak terlepas dari pengaruh perubahan paradigma tersebut. Mutu yang diberikan aparatur birokrasi (birokrat) akan sangat menentukan kelangsungan hidup birokrasinya, dan mutu pelayanan yang diberikan sangat ditentukan oleh pengguna/yang berkepentingan dengan jasa layanan (stakeholders).

Paradigma baru mengenai orientasi pelayanan aparatur birokrasi (birokrat), pada dasarnya menuntut perubahan dalam orientasi pelayanan, dimana aparatur/birokrat dituntut memiliki visi dan misi yang jelas, dan pasti dalam mewujudkan pelayanan prima kepada pelanggan (masyarakat). Salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam paradigma baru mengenai orientasi pelayanan aparatur/birokrat adalah pemberdayaan (Empowerment). Pemberdayaan dalam hal ini dimaksudkan sebagai proses transformasi dari berbagai pihak yang mengarah pada saling menumbuh-kembangkan, saling memperkuat, dan menambah nilai daya saing global yang sama-sama menguntungkan.

Paradigma adalah suatu konsepsi yang dapat mendasari seseorang untuk merefleksikan keyakinannya dalam memberikan pelayanan kepada pelanggannya, sehingga pelanggan yang dilayani tidak lagi menyatakan bahwa pelayanan aparatur pemerintah dalam melayani pelanggan selama masih bisa dipersulit, kenapa dipermudah, kalau masih bisa dibayar kenapa mesti gratis, mumpung kita dibutuhkan, dll. Uraian ini menunjukkan bahwa selama ini aparatur pemerintah dalam melayani masyarakat (pelanggan) belum mengacu pada


(13)

pelayanan yang sesuai dengan keinginan pelanggan (pelayanan yang cepat, tepat, akurat, murah, dan dengan pelayan yang ramah). Ungkapan ini memang sangat menggelitik aparatur yang salah satu tugas pokok dan fungsinya sebagai pelayan masyarakat. Suatu pertanyaan yang muncul dari uraian di atas adalah:

1. Apakah masyarakat tidak cukup pengetahuan dalam hal sistem dan prosedur pelayanan yang diberikan aparatur pemerintah kepada masyarakat?

2. Apakah masyarakat belum menyadari betapa pentingnya pemahaman terhadap sistem dan prosedur pelayanan yang dijadikan panduan dalam memperoleh jasa pelayanan yang diinginkan? atau

3. Aparatur pemerintah belum menyadari dirinya sebagai abdi negara dan atau abdi masyarakat?

Pertanyaan tersebut di atas, seharusnya tidak terjadi apabila semua komponen menyadari tugas pokok dan fungsinya masing, menyadari kewajiban dan haknya masing-masing, semua aparatur pemerintah sadar bahwa dirinya adalah seorang visioner dan misioner yang tidak lepas dari tanggung jawab membawa bangsa ini ke masa depan yang ideal.

Salah satu tip menuju ke masa depan yang ideal bagi aparatur dalam kapasitasnya sebagai pelayan (sektor publik) adalah dengan menyajikan pelayanan yang prima kepada masyarakat (pelanggan), pelayanan yang memusatkan perhatian pada masyarakat (pelanggan). Hal ini dapat diwujudkan dengan

memusatkan perhatian kepada pelanggan dengan menggunakan cara sebagai berikut:

1. Mendengarkan dengan penuh perhatian apa yang dibicarakan oleh pelanggan;

2. Memperhatikan sikap tubuh, dan bertindak secara tenang dan rileks saat melayani pelanggan;

3. Menatap mata pelanggan saat ia berbicara, dan senyum yang dapat menyejukkan hati orang yang memandangnya; 4. Memperhatikan ekspresi wajah dengan menampilkan

senyum yang sesuai dengan konsep pribadi prima. Pribadi prima adalah pribadi yang:

a. Tampil rapi dalam melayani pelanggan; b. Tampil sopan dalam menghadapi pelanggan; c. Tampil ceria dalam menyambut pelanggan;

d. Tampil yakin dan meyakinkan bahwa dirinya dapat meyakinkan dan diyakini oleh pelanggan, bahwa dirinya dapat menyajikan pelayanan yang sesuai dengan keinginan pelanggannya;

e. Tampil dengan prinsip senang belajar (learning) untuk tujuan menyenangkan pelanggan;

f. Senang menyenangkan orang lain.

5. Memperhatikan sikap dan perilaku jangan sampai mengakibatkan pelanggan yang dihadapi merasa kecewa/mengecewakan pelanggan;


(14)

16 Pengembangan Pelaksanaan Pelayanan Prima

6. Menempatkan kepentingan pelanggan pada urutan nomor satu;

7. Mengetahui siapa pelanggannya dan apa keinginannya. Selanjutnya, dalam agenda Reinventing Government

dijelaskan tentang pengembangan organisasi yang bermuara pada terwujudnya a smaller, better, faster and cheafer government. Osborne dan Gaebler (1993) seperti dikutip Sudarsono Hardjo Soekarto dalam "Manajemen Pembangunan No.19/V/April 1997" menyatakan bahwa agenda ini mengacu pada prinsip customer driven government.

Instrumen dari prinsip di atas, menurut Sudariono Hardjo Soekarto adalah pembalikan mental model pada birokrat dari keadaan lebih suka dilayani menuju kepada lebih suka melayani. Yang pertama menempatkan pemimpin puncak birokrasi berada pada piramida tertinggi dengan warga negara (customer) berada pada posisi terbawah. Sebaliknya yang kedua, menempatkan warga negara (customer) berada pada puncak piramida dengan pemimpin birokrasi berada pada posisi paling bawah.

Sasaran akhir pengembangan organisasi ini menurut Sudarsono Hardjo Soekarto adalah tidak lain dicapainya pelayanan terbaik kepada masyarakat. Dalam manajemen sektor publik, pelayanan prima kepada masyarakat telah menjadi bagian penting dari accountability manajemen. Untuk itu perlu disadari bahwa datangnya era pelayanan terbaik kepada masyarakat/pelanggan sangatlah relevan dengan prinsip pengembangan daya saing global. Salah satu konsep yang

Modul Diklatpim Tingkat III 17

disodorkan Osborne dan Plastrik (1996) dalam strategi menerapkan reinventing government adalah Putting the customer in the drivers seat.

Sudarsono Hardjo Soekarto (1997) selanjutnya menyatakan bahwa implementasi dari prinsip reinventing government

tersebut di atas, dapat ditempuh melalui tiga agenda penting, yaitu:

1. Public-private partnersip atau privatization;

2. Budgeting reform; dan

3. Organizational development and change.

Pembangunan sistem kualitas pada awalnya diungkapkan oleh W. E. Deming yang berbicara dihadapan para ilmuan Jepang pada tahun 1950. Pada kesempatan itu antara lain disoroti mengenai keberhasilan yang dramatis dari industri Jepang dalam meningkatkan kualitas menjadi pusat perhatian berbagai negara di dunia yang tertarik untuk mempelajari bagaimana strategi perusahaan-perusahaan Jepang dalam menerapkan manajemen kualitas.

Hasil studi tentang perusahaan-perusahaan industri kelas dunia yang berhasil mengembangkan konsep kualitas dalam perusahaan, menurut Vincent Gaspersz, (1997) melahirkan apa yang disebut "Manajemen Kualitas Terpadu" (Total Quality Management (TQM). Indonesia dalam posisi sebagai negara yang sedang membangun untuk menuju negara industri, perlu membangun suatu sistem kualitas modern dan dapat menerapkan manajemen kualitas terpadu dalam berbagai


(15)

bidang kehidupan masyarakat sebagai alat untuk memenangkan persaingan global.

Pasar global adalah suatu pasar yang diselimuti oleh situasi dan sistem kompetisi yang demikian ketat, sehingga kita dihadapkan oleh tuntutan "ditemukannya suatu jawaban tentang kualitas produk jasa pelayanan yang memuaskan masyarakat pelanggannya". Konsep dasar dalam memuaskan pelanggan minimal mengacu pada; (1) keistimewaan yang terdiri dari sejumlah keistimewaan produk, baik keistimewaan langsung maupun keistimewaan atraktif (mempunyai daya tarik; bersifat menyenangkan) yang dapat memenuhi keinginan pelanggan, dan dengan demikian dapat memberikan kepuasan dalam penggunaan produk itu, (2) Kualitas terdiri dari segala sesuatu yang bebas dari kekurangan atau kerusakan.

Acuan dari kualitas seperti dijelaskan di atas, menunjukkan bahwa kualitas selalu berfokus pada kepentingan/kepuasan pelanggan (Customer Focused Quality). Dengan demikian, menurut (Vincent Gaspearsz, (1997) produk-produk didesain, diproduksi, serta pelayanan diberikan untuk memenuhi keinginan pelanggan. Oleh karena itu, maka kualitas mengacu pada segala sesuatu yang menentukan kepuasan pelanggan, suatu produk yang dihasilkan dapat dikatakan berkualitas apabila sesuai dengan keinginan pelanggan, dapat dimanfaatkan dengan baik, serta diproduksi (dihasilkan) dengan cara yang baik dan benar.

Kepuasan pelanggan (masyarakat) dapat dicapai apabila aparatur pemerintah yang terlibat baik langsung maupun tidak

langsung dalam pelayanan dapat mengerti dan menghayati serta berkeinginan untuk melaksanakan pelayanan prima. Untuk dapat melaksanakan pelayanan prima, unsur aparatur, seyogianya mengerti dan memahami apakah kepemimpinan pelayanan itu? dan siapakah pemimpin-pelayan?

Istilah kepemimpinan-pelayan pada awalnya diciptakan dalam karya Robert K. Greenleaf (1970) yang berjudul The Servant as Leader (pelayan sebagai pemimpin). Salah satu tujuan dari penulisan buku Greenleaf ini adalah ingin merangsang pemikiran dan tindakan untuk membangun masyarakat yang lebih baik dan peduli.

Kembali pada pertanyaan apakah kepemimpinan-pelayan itu, Greenleaf mengkaji keperluan akan jenis baru model kepemimpinan. Kajian Greenleaf menempatkan satu model pelayanan kepada orang lain termasuk karyawan, pelanggan, dan masyarakat sebagai prioritas nomor satu. Kepemimpinan - pelayan menekankan pada peningkatan pelayanan kepada orang lain, yang merupakan sebuah pendekatan holistik dalam pekerjaan.

Jawaban atas pertanyaan "Siapa Pemimpin - Pelayan itu?" Greenleaf dalam karyanya berjudul The servant as Leader

(pelayan sebagai pemimpin) menyatakan bahwa pemimpin-pelayan adalah orang yang mula-mula menjadi pemimpin-pelayan. Selanjutnya Greenleaf menyatakan bahwa pada hakikatnya orang ingin melayani, melayani lebih dulu, kemudian pilihan sadar membawa orang berkeinginan untuk memimpin. Hal ini memanifestasikan diri dalam kepedulian yang diambil oleh


(16)

20 Pengembangan Pelaksanaan Pelayanan Prima

pelayan yang mula-mula memastikan bahwa kebutuhan prioritas tertinggi orang lain adalah dilayani.

Untuk mencapai kepuasan total dan atau keuntungan pelanggan, aparat yang bertugas melayani masyarakat dituntut untuk menghayati berbagai elemen yang dapat memberi kepuasan kepada pelanggan. Dalam bisnis diperkenalkan berbagai elemen pemberi kepuasan seperti; 1) elemen produk, 2) elemen penjualan, 3) elemen purna jual, 4) elemen lokasi, 5) elemen waktu, dan elemen budaya.

Kepuasan pelanggan merupakan tujuan utama dalam pelayanan prima, karena itu, sebagai aparatur pelayan dituntut untuk menciptakan citra positif di mata pelanggan melalui: 1. Peningkatan kualitas pelayanan kepada pelanggan dengan

memperhatikan aspek-aspek; komunikasi, psikologis, dan perilaku dalam melayani (paradigma senang dilayani, menjadi gemar melayani).

2. Menciptakan citra positif di mata pelanggan dengan cara; menemukan cara terbaik dalam memproyeksikan citra positif di mata pelanggan, pengembangan citra dan cara pendekatan yang positif, penerapan interaksi sosial yang baik dengan pelanggan, serta pengelolaan lingkungan kerja yang dapat memotivasi karyawan/pegawai untuk berfokus pada pelanggan.

3. Membuat pelanggan merasa diperhatikan. Perhatian bagi seorang aparatur pelayan kepada pelanggannya dapat menyenangkan pelanggan, dapat memuaskan pelanggan,

Modul Diklatpim Tingkat III 21

dan dapat merubah keluhan pelanggan menjadi senyuman. 4. Menyelaraskan antara apa yang dikatakan dengan cara

mengatakannya melalui nada, tekanan, dan kecepatan suara, sikap tubuh, mimik, dan pandangan mata.

5. Mengenal siapa pelanggan anda, dan apa kebutuhannya. Pelanggan membeli selain produk, juga pelayanan yang sesuai dengan harapannya.

D.

LATIHAN

1. Apakah yang dimaksud dengan pelayanan prima? Serta apa yang menjadi tujuan dari pelayanan prima?

2. Perbedaan apakah yang harus diperhatikan dalam mengelola pelayanan jasa dan pelayanan barang? Mengapa antara pelayanan barang dan pelayanan jasa sesungguhnya sulit di bedakan?

3. Dimensi-dimensi apakah yang melekat pada mutu pelayanan? Dimensi-dimensi apakah yang dijadikan tolok ukur pada pelaksanaan pelayanan di instansi bapak/Ibu? 4. Paradigma pelayanan yang seperti apakah yang seharusnya

diterapkan dalam manajemen pelayanan prima pada organisasi publik?

5. Mengapa perwujudan pelayanan prima pada organisasi pelayanan publik dinilai lebih sulit diwujudkan, dibandingkan dengan pelayanan yang dikelola pihak swasta?


(17)

E.

RANGKUMAN

1. Pelayanan adalah suatu bentuk kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. 2. Pelayanan prima adalah pelayanan yang mampu memberikan

kepuasan sesuai atau melebihi harapan pelanggannya. Tujuan dari pelayanan prima adalah memuaskan dan atau sesuai dengan keinginan pelanggan.

3. Paradigma baru mengenai orientasi pelayanan aparatur birokrasi (birokrat), pada dasarnya menuntut perubahan dalam orientasi pelayanan, dimana aparatur/birokrat dituntut memiliki visi dan misi yang jelas, dan pasti dalam mewujudkan pelayanan prima kepada pelanggan (masyarakat).

4. Kepuasan pelanggan merupakan tujuan utama dari pelayanan, untuk mampu memberikan pelayanan yang berkualitas tersebut aparatur penydia pelayanan dituntut untuk membangun citra positif dimata pelanggan melalui: berperilaku melayani, membuat pelanggan merasa di perhatikan, menyelaraskan dengan apa yang dikatakan dengan cara mengatakannya, serta mengenal siapa yang menjadi pelanggan.


(18)

BAB III

STRATEGI KEBERHASILAN

PELAYANAN PRIMA

Keberhasilan suatu organisasi penyedia pelayanan dalam mengembangkan pelayanan prima, dipengaruhi oleh berbagai strategi dalam pengelolaan manajemen pelayanannya. Faktor-faktor yang dinilai sangat berpengaruh dalam pengembangan kualitas pelayanan, antara lain: kelembagaan organisasi, pengelolaan sumber daya manusia, komitmen pimpinan, perhatian kepada pelanggan dan manajemen pengaduan.

A.

KELEMBAGAAN

Salah satu kelemahan dari penyediaan pelayanan publik di Indonesia yang masih banyak terjadi adalah birokrasi pelayanan yang dinilai belum memudahkan penyelesaian proses pelayanan. Permasalahan semacam ini muncul dikarenakan untuk menyelesaikan suatu proses pelayanan terkadang, masyarakat harus berkeliling dari lokasi yang satu ke lokasi yang lain, sehingga disamping merepotkan masyarakat, proses pelayanan juga berjalan lebih lama. Hal tersebut terjadi dikarenakan unit-unit yang terkait dalam pengurusan suatu jenis pelayanan berada

Setelah membaca Bab ini, peserta Diklat diharapkan mampu menjelaskan faktor-faktor yang dinilai berpengaruh dalam

pengembangan kualitas pelayanan.

24 Pengembangan Pelaksanaan Pelayanan Prima

terpisah, bahkan terkadang dilakukan oleh instansi yang berbeda-beda.

Berkaitan dengan hal tersebut, salah satu strategi yang menjadi penentu keberhasilan pelayanan adalah bentuk kelembagaan organisasi pelayanan seharusnya disusun dibentuk berdasarkan kepentingan penggunanya. Dalam penyusunan organisasi pelayanan haruslah memperhatikan unsur-unsur pokok kelembagan seperti struktur organisasi, desain organisasi dan budaya organisasi.

Struktur organisasi merupakan bagian yang memberikan gambaran secara konkrit hubungan hirarkhis antara pimpinan yang menduduki jabatan yang paling atas dengan pimpinan tingkat menengah, maupun dengan pimpinan level terbawah. Di samping itu struktur organisasi juga meggambarkan hubungan yang bersifat horisontal antara unt-unit yang setara namun berbeda dalam organisasi; serta hubungan diagonal yang merupakan hubungan fungsi antara unit organisasi.

Desain organisasi merupakan gambaran tentang pola hubungan antara unit-unit yang ada dalam organisasi. Desain organisasi ini pada dasarnya menggambarkan hubungan kerja dan tata kerja dalam organisasi. Sedangkan budaya organisasi menggambarkan interaksi antara organisasi dengan individu-individu dalam organisasi, yang didalamya terdapat norma-norma umum, keyakinan antara organisasi dan individu-individu dalam organisasi.

Penyusunan kelembagaan yang berorientasi pada pelayanan yang berkualitas, seharusnya melihat organisasi sebagai suatu sistem


(19)

yang terdiri dari beberapa sub sistem yang saling terkait. Sistem-sistem tersebut melaksanakan kegiatannya sesuai dengan norma-norma yang berlaku dan seluruh sistem yang ada dalam organisasi haruslah berorientasi kepada pemberian pelayanan yang berkualitas.

Pentingnya penataan kelembagaan dalam mewujudkan pelayanan yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, maka setiap penyelenggara pelayanan publik haruslah mengevaluasi kembali bentuk kelembagaannya. Pembentukan Pelayanan Terpadu, pelayanan satu, pelayanan satu pintu ataupun pelayanan bersama merupakan bentuk-bentuk kelembagaan yang dinilai sesuai untuk penyediaan pelayanan yang berkualitas.

Sebagaimana termuat dalam Keputusan Menpan No. 63 Tahun 2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Publik diklasifikasikan penyelenggaraan pelayanan terpadu satu atap dan terpadu satu pintu. Pola penyelenggaraan terpadu satu atap merupakan pola penyelenggaraan berbagai jenis pelayanan yang tidak memiliki keterkaitan proses yang dipusatkan pada satu tempat tertentu, masyarakat dapat mengakses “pintu” mana yang dikehendaki sesuai dengan jenis pelayanan yang akan dimintanya. Sedangkan pola penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu merupakan pola penyelenggaraan berbagai jenis pelayanan yang memiliki keterkaitan proses yang dilayani melalui satu pintu.

Dalam pengertian pola penyelenggaraan terpadu satu atap, seluruh unit yang memberikan pelayanan dipusatkan pada satu tempat sehingga memudahkan masyarakat untuk mengakses

pelayanan yang dibutuhkannya. Keuntungan dari pola penyelenggaraan pelayanan seperti ini, antara lain: masyarakat akan mudah mengakses pelayanan, dan antara satu “pintu” dengan “pintu” yang lain akan terjadi kompetisi pelayanan yang mendorong terjadinya peningkatan kualitas pelayanan. Secara kelembagaan, pemerintah daerah dapat pula membentuk unit yang secara khusus menangani pengelolaan pelayanan satu atap. Setiap instansi teknis yang memberikan pelayanan perijinan, membuka counter-nya pada unit ini. Tugas yang dilakukan oleh unit pelayanan satu atap ini tidak lain hanya sekedar untuk menjaga agar pelayanan dapat berjalan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan.

Sementara pada pola penyelenggaraan terpadu satu pintu, berbagai jenis pelayanan yang memiliki keterkaitan dilayani oleh satu manajemen. Biasanya dibentuk unit pelayanan terpadu yang menangani pengelolaan pelayanan ini. Pada perkembangan selanjutnya, kelembagaan unit pelayanan terpadu yang menganut pola penyelengaraan satu pintu, dilakukan berbagai pengembangan.

Sedangkan pengertian penyelenggaran pelayanan terpadu satu pintu sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 tahun 2006 tentang pedoman penyelenggaraan terpadu satu pintu adalah kegiatan penyelenggaraan perijinan dan non perijinan yang proses pengelolaannya mulai dari tahap permohonan sampai ke tahap penerbitan dokumen dilakukan dalam satu tempat.


(20)

Modul Diklatpim Tingkat III 27

Tujuan dari penyelenggaraan pelayanan terpadu masih berdasarkan ketentuan yang sama adalah:

1. Meningkatkan kualitas pelayanan publik;

2. Memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk memperoleh pelayanan publik.

Sedangkan sasaran dari penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu adalah terwujudnya pelayanan publik yang cepat, murah, mudah, transparan dan pasti terjangkau. Serta meningkatkan hak-hak masyarakat terhadap pelayanan publik.

Unit pelayanan terpadu merupakan unit yang menjadi front liner

pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sementara seluruh proses pengolahan dilaksanakan oleh masing-masing instansi teknis yang terkait. Dalam kewenangan ini, unit pelayanan terpadu memiliki kewenangan yang sifatnya administratif, seperti memeriksa seluruh kelengkapan proses administratif, melakukan dokumentasi, memfasilitasi penyelesaian sengketa antara masyarakat pemohon ijin dengan instansi teknis, melakukan koordinasi instansi teknis dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat. Bahkan sebagai unit yang langsung berhadapan dengan masyarakat, maka unit pelayanan terpadu seharusnya juga memiliki kewenangan menegur instansi yang dipandang tidak kooperatif dalam proses pemberian pelayanan melalui pola penyelenggaraan terpadu. Dengan kata lain, unit pelayanan terpadu sebenarnya merupakan unsur lini yang melaksanakan kewenangan Kepala Daerah di Bidang Perijinan. Keberhasilan Kepala Daerah memberikan

28 Pengembangan Pelaksanaan Pelayanan Prima

pelayanan perijinan yang berkualitas dapat terlihat dari berfungsinya unit pelayanan terpadu di daerah.

Meskipun demikian, keberhasilan pengembangan pelayanan terpadu juga tergantung dari aspek kelembagaan yang akan diterapkannya. Aspek kelembagaan tidak hanya menyangkut kewenangan, tetapi juga menyangkut masalah organisasi. Pada aspek kewenangan, hal-hal yang harus diperhatikan antara lain adalah kewenangan apa yang akan diberikan/diserahkan kepada organisasi pelayanan terpadu, bagaimana kaitan kewenangan yang diserahkan dengan kewenangan instansi teknis, sejauhmana kewenangan ini memberikan dampak terhadap peningkatan kualitas pelayanan (terutama dalam kaitan dengan waktu dan biaya), apakah terdapat kemungkinan terjadinya tumpang tindih atau konflik kewenangan, dan sebagainya. Pada aspek organisasi, hal-hal yang harus diperhatikan antara lain berkaitan dengan tingkatan eselon pejabat yang akan menduduki (sesuai dengan kewenangan yang dimiliki), jabatan-jabatan apa yang diperlukan untuk menjalankan kewenangan yang dimiliki, fungsi-fungsi apa yang nantinya akan dijalankan oleh staf yang ditunjuk, sekaligus pula jumlah pegawai yang dibutuhkan.

Contoh yang dapat dikemukakan adalah Dinas Perijinan dan Penanaman Modal Kabupaten Sidoarjo. Dinas ini melaksanakan berbagai perijinan baik yang terkait dengan penanaman modal, seperti: Rekomendasi Lokasi, IMB, Ijin Undang-undang Gangguan (HO), Surat Ijin Pengambilan Air Tanah, Ijin Pengeringan Tanah, Ijin Pembuangan Limbah Cair, TDI, dan


(21)

Ijin Usaha Industri, maupun pelayanan non perijinan seperti: Catatan Sipil dan pengurusan KTP.

Di Kota Bontang, Kantor Pelayanan Terpadu (KPT) Bontang, tidak hanya menangani pelayanan yang memiliki keterkaitan, tetapi juga pelayanan-pelayanan lain yang tidak terkait dengan pelayanan perijinan. Fungsi KPT Bontang adalah menerima permintaan pelayanan dari masyarakat, baik berupa perijinan, seperti IMB, Ijin Lokasi, Ijin Gangguan, Ijin Tambang Galian C, Ijin Reklame, dan lainnya, serta pelayanan non perijinan seperti: Akta Kelahiran, Akta Kematian, Kartu Keluarga, Kartu Tanda Penduduk, dan lainnya.

Daerah lain yang juga berhasil meningkatkan kualitas pelayanan publiknya melalui penataan kelembagaan pelayanan adalah Kabupaten Sragen, Kota Pare-pare, Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Jembrana.

B.

PENGELOLAAN SDM

Suatu organisasi akan dapat menjalankan fungsinya dengan efektif dan efisien, apabila didukung oleh sumber daya aparatur yang memiliki kompetensi di bidangnya. Pegawai merupakan kunci pokok keberhasilan dalam penyediaan pelayanan. Segala bentuk output pelayanan baik yang berupa barang atau jasa sangatlah ditentukan oleh bagaimana sumber daya manusia yang ada dalam organisasi tersebut melaksanakan pekerjaannya. Oleh karena itu suatu organisasi penyedia pelayanan harus dapat mengelola pegawainya dengan baik dan benar.

Strategi yang paling sesuai dalam pengelolaan pegawai untuk mewujudkan pelayanan yang berkualitas adalah melalui pemberdayaan pegawai. Pemberdayaan pegawai merupakan suatu proses untuk mengikutsertakan para karyawan pada semua

level organisasi dalam pembuatan keputusan dan pemecahan masalah. Pemberdayaan pegawai juga diartikan sebagai pemberian wewenang kepada karyawan untuk merencanakan/mengendalikan dan membuat keputusan tentang pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya tanpa harus mendapatkan otorisasi secara eksplisit. (Tjiptono; 2005).

Ada beberapa hal yang sebaiknya dilakukan oleh organisasi untuk melakukan pemberdayaan pegawai, yaitu:

1. Manajer/pimpinan dan penyelia memberi tanggung jawab kepada pegawai;

2. Melatih penyelia dan pegawai mengenai bagaimana cara melakukan pendelegasian dan menerima tanggung jawab; 3. Melakukan komunikasi dan umpan balik dari manajer dan

penyelia kepada bawahan;

4. Memberikan penghargaan dan pengakuan sebagai hasil dari evaluasi kepada pegawai atas jas dan kontribusinya kepada organisasi.

Beberapa strategi yang dapat diterapkan dalam pemberdayaan pegawai sebagaimana dikemukan oleh Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana dalam Total Quality Management adalah:


(22)

Modul Diklatpim Tingkat III 31

1. Brainstorming

Strategi ini sebagai upaya pemberdayaan pegawai yang dilakukan dengan mendorong para peserta untuk berani mengungkapkan ide dan pemikiran dalam memecahkan masalah yang pada saat itu dibicarakan. Dalam hal ini pimpinan hanya bertindak sebagai katalisator untuk mendukung kelancaran jalannya diskusi. Namun demikian pimpinan harus memahami permasalahan yang sedang didiskusikan dan mempunyai jurus tertentu untuk mengatasi masalah tersebut.

Menurut Myers dan Lamm dalam Tjiptono (1995:137) dalam brainstorming dikenal adanya dua konsep, yaitu

groupthink adalah merupakan fenomena yang terjadi manakala peserta lebih banyak berfokus pada usaha untuk mencapai suatu keputusan daripada upaya menghasilkan suatu keputusan yang baik, hal ini terjadi karena pemimpin terlalu banyak memberikan ketentuan dan tekanan untuk mencapai kesesuaian. Strategi yang dapat diterapkan guna mengatasi groupthink antara lain:

a. Mendorong disampaikan kritik-kritik;

b. Mendorong pengembangan berbagai alternatif;

c. Menugaskan salah seorang atau beberapa orang untuk memainkan peranan sebagai penentang ide atau saran yang diajukan;

d. Melibatkan orang yang tidak familiar dengan isu yang dibahas;

e. Menyelenggarakan pertemuan tindak lanjut.

32 Pengembangan Pelaksanaan Pelayanan Prima

Salah satu bentuk lain dari Brainstorming adalah Nominal group technique. Teknik ini terdiri dari lima langkah yang harus dilalui:

a. Merumuskan permasalahan; b. Mencatat ide masing-masing; c. Mencatat ide kelompok; d. Memperjelas ide-ide;

e. Masing-masing anggota kelompok memilih ide yang dianggap sesuai.

2. Gugus Kualitas (Quality Circle)

Dalam gugus kualitas pegawai mengadakan pertemuan secara teratur untuk mengidentifikasi, menganjurkan dan membuat perbaikan lingkungan kerja, antara lain mendiskusikan permasalahan pekerjaan, bagaimana mengatasi masalah, menawarkan konsep perbaikan, menetapkan tujuan dan membuat rencana. Perbedaan yang mendasar dengan brainstorming adalah setiap peserta merupakan sukarelawan yang melaksanakan pertemuan sendiri, sedangkan brainstorming dilakukan bersama dengan pimpinan (manajer).

3. Kotak Saran

Cara ini dilakukan untuk menjaring berbagai masukan dari semua lapisan pegawai tanpa harus bertemu muka dengan pihak yang diberi masukan, kritik ataupun saran. Biasa kotak saran ditempatkan pada tempat-tempat terbuka dimana pegawai mudah untuk mendatangi.


(23)

4. Management by Walking Around

Strategi ini dilakukan oleh pimpinan sebagai cara untuk memonitor para pegawainya dengan cara berbicara dan melihat langsung proses pekerjaan pegawai dan memperoleh berbagai masukan langsung dari pegawai. Dengan cara ini pegawai akan benar-benar memahami apa yang mereka kerjakan, dan pimpinan akan dapat dengan cepat mengetahui berbagai kendala yang dihadapi.

Melalui penerapan prinsip pemberdayaan pegawai ini diharapkan mampu bersikap lebih profesional dalam melaksanakan berbagai pekerjaannya, sehingga mereka dapat memberikan pelayanan secara profesional.

Dalam konsep pemberdayaan pegawai terkandung dua hal yang saling berkaitan namun mempunyai dua pengertian, yaitu: a. Pelibatan pegawai adalah suatu proses untuk

mengikutsertakan para pegawai pada semua level organisasi dalam pembuatan keputusan dan pemecahan semua masalah (Tjiptono, 2005, 128). Arti penting kegiatan ini mengingat pegawai yang paling dekat dengan masalah adalah sangat tepat untuk ikut pula memikirkan keputusan penyelesaian. b. Pemberdayaan pegawai diartikan sebagai pelibatan pegawai

yang benar-benar berarti. Dengan demikian pemberdayaan tidak sekedar pemberian masukan dari pegawai melainkan juga memperhatikan, mempertimbangkan, menindaklanjuti masukan tersebut apakah akan diterima atau tidak. Tanpa adanya pemberdayaan, pelibatan pegawai hanya merupakan

alat manajemen yang tidak ada gunanya. Oleh karena itu pelibatan harus dibarengi dengan pemberdayaan pegawai (Tjiptono, 128).

Ada beberapa hal yang sebaiknya dilakukan oleh organisasi untuk melakukan pemberdayaan pegawai, yaitu:

a. Manajer/pimpinan dan penyelia memberi tanggung jawab kepada pegawai;

b. Melatih penyelia dan pegawai mengenai bagaimana cara melakukan pendelegasian dan menerima tanggung jawab; c. Melakukan komunikasi dan umpan balik dari manajer dan

penyelia kepada bawahan;

d. Memberikan penghargaan dan pengakuan sebagai hasil dari evaluasi kepada pegawai atas jasa dan kontribusinya kepada organisasi.

Upaya pemberdayaan pegawai ini pada gilirannya akan meningkatkan kompetensi pegawai dalam mendukung organisasi dalam meningkatkan pelayanan kepada pelanggannya.

Namun yang perlu diingat adalah bahwa keberhasilan upaya tersebut harus pula didukung oleh kepemimpinan yang kondusif terutama dalam menciptakan budaya yang sesuai untuk menjalankan pemberdayaan pegawai, misalnya tidak ada resistensi dari level pimpinan, adanya kepercayaan terhadap kemampuan pegawai sehingga pimpinan bersedia untuk mendelegasikan wewenang pada pegawai, budaya pengembangan pegawai agar selalu siap memecahkan masalah dengan cepat.


(24)

Modul Diklatpim Tingkat III 35

Pemberdayaan pegawai merupakan strategi yang tepat untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada pelanggan. Karena dengan pemberdayaan pegawai secara otomatis akan memotivasi pegawai serta meningkatkan produktifitas kerjanya. Seorang pegawai yang merasa dihargai dan memiliki kontribusi akan berkembang secara pribadi dan profesional sehingga akan meningkatkan daya kreativitas, inovasi serta inisiatif dalam menentukan keputusan yang berkaitan dengan pekerjaan. Semua hal tersebut pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan pegawai dapat menghasilkan kinerja yang optimal.

Faktor-faktor yang Menghambat Pemberdayaan Pegawai: a. Penolakan dari Manajemen (level Pimpinan)

1) Ketidakamanan; 2) Nilai-nilai pribadi; 3) Ego;

4) Pelatihan manajemen;

5) Karakteristik kepribadian pada pimpinan; 6) Ketidak-terlibatan Pimpinan;

7) Struktur organisasi dan praktik manajemen. b. Penolakan dari karyawan dan Serikat Pekerja

Faktor lain yang penting dalam pengelolaan SDM agar dapat tercipta pelayanan yang berkualitas adalah pemberian pendidikan dan pelatihan bagi pegawai. Tujuan dari pelatihan bagi pegawai adalah memutakhirkan keterampilan dan kemampuan karyawan seiring dengan perkembangan teknologi; mengurangi waktu belajar bagi karyawan baru sehingga memiliki kompetensi dalam pekerjaan; membantu

36 Pengembangan Pelaksanaan Pelayanan Prima

memecahkan permasalahan operasional; mempersiapkan karyawan untuk pengembangan karier; serta mengorientasikan karyawan kepada organisasi (Iqbal; 2004)

Sedangkan manfaat dari pelatihan pegawai adalah: 1) meningkatkan kualitas dan kuantitas produktifitas; 2). Mengurangi waktu belajar bagi karyawan untuk memenuhi standar-standar kinerja yang diinginkan; 3). Menumbuhkan sikap loyalitas dan kerjasama yang lebih menguntungkan; 4). Memenuhi persyaratan-persyaratan perencanaan sumber daya manusia; 5). Membantu pegawai dalam meningkatkan dan mengembangkan kemampuan pribadi.

C. KOMITMEN PIMPINAN

Leadership (kepemimpinan) merupakan faktor pertama yang menjadi kunci keberhasilan kinerja suatu organisasi. Kesuksesan suatu organisasi tergantung pada kinerja para pegawai yang berada paling bawah dalam suatu piramida organisasi, karena pada dasarnya para pegawai yang berkerja membutuhkan pemimpin yang memimpin mereka dalam bekerja. Oleh karena itu, berbagai kebijakan pelayanan prima akan dapat berjalan dengan baik apabila terdapat dukungan dari top management yang ada di dalam organisasi tersebut, bahkan baik buruknya kinerja organisasi akan sangat bergantung pada cara pimpinan suatu organisasi tersebut menjalankankan organisasinya. Sebagus apapun gagasan/ide dari bawah tanpa adanya dukungan dari pimpinan puncak, gagasan tersebut tidak akan dapat berjalan


(25)

dengan baik. Bahkan sebagus apapun suatu kebijakan itu dibuat, tanpa adanya komitmen pimpinan untuk menerapkan kebijakan tersebut, tidak akan dirasakan keberhasilannya.

Salah satu konsep kepemimpinan yang sering digunakan dalam prinsip TQM dalam dunia pelayanan adalah tender loving care (TLC). TLC merupakan suatu pendekatan untuk memperlakukan pegawai organisasi dengan penuh kasih sayang serta perhatian yang simpatik/ramah yang dapat pula diterapkan pada pelanggan (Dow. 1993). Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan konsep TLC ini adalah: keadilan dan kebebasan; pengembangan dan pelatihan; kompensasi; penghargaan; serta partisipasi dan kesempatan.

Figur pimpinan merupakan kunci penting agar organisasi mampu memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat penggunanya. Oleh karena itu kebutuhan akan pemimpin yang kompeten dan memiliki jiwa melayani menjadi syarat mutlak dalam penyediaan pelayanan.

Agar kinerja organisasi dalam memberikan pelayanan dapat berjalan dengan baik, perlu diterapkan strategi manajemen yang lebih mengarah kepada kepentingan pelanggannya. Beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh pimpinan organisasi untuk memperbaiki kinerja organisasi dalam menyediakan pelayanan adalah:

Pertama, organisasi penyedia jasa pelayanan harus lebih diarahkan ke arah pemberian kepuasan pelanggan. Struktur

organisasi yang lebih datar, akan lebih mudah menciptakan komunikasi antara pimpinan organisasi dengan pelanggannya. Kebalikannya bila terlalu banyak hirarki di dalam struktur organisasi, akan semakin menyulitkan terjalinnya komunikasi yang efektif antara pelanggan dan pimpinan organisasi. Akibatnya pihak manajemen akan lebih sulit dalam menterjemahkan apa yang menjadi kepentingan pelanggan. Organisasi pelayanan yang berkualitas juga harus lebih mementingkan proses produksi pelayanan melalui kerjasama antar instansi dibandingkan mengupayakan eksistensi per unit, hal ini sekaligus untuk menghindari terjadinya persaingan antar unit yang dikhawatirkan akan mengurangi efektifitas organisasi. Kedua, upaya peningkatan kualitas organisasi dapat dilakukan melalui kemampuan pimpinan dalam menterjemahkan visi organisasi menjadi strategi kepuasan. Bagaimana upaya pemberian kepuasan dapat dilakukan dengan mempergunakan sumber-sumber daya yang dimiliki dengan efektif dan efisien. Selanjutnya visi-misi organisasi yang sudah menjadi suatu dasar dalam strategi kepuasan diterjemahkan ke dalam kebijakan organisasi. Kemudian dalam rangka implementasinya, kebijakan organisasi ini haruslah disosialisasikan dan dikomunikasikan ke dalam seluruh jajaran pimpinan dan staf, sehingga masing-masing unsur dalam organisasi dapat berperan dan berkontribusi sesuai dengan apa yang menjadi keinginan organisasi.

Ketiga, pimpinan organisasi haruslah selalu memberikan perhatian yang lebih kepada kepentingan pelanggannya dalam pembuatan kebijakan-kebijakan organisasi. Dilakukannnya


(26)

Modul Diklatpim Tingkat III 39

survei terhadap pelanggan untuk mengetahui apa yang menjadi keinginan mereka serta apa yang belum sesuai dengan harapan pelanggan, merupakan sesuatu yang harus dilakukan, sebelum datangnya keluhan dari pelanggan.

Keempat, pimpinan organisasi dalam menerapkan strategi organisasi yang baru sebagai upaya perbaikan kinerja pelayanan haruslah dilakukan secara bertahap, dikarenakan proses pembelajaran organisasi dan proses perubahan strategi organisasi memerlukan pemahaman tertentu yang harus dilakukan dengan kesabaran. Dampak dari perubahan strategi yang baru itu pasti ada meskipun secara perlahan, seiring dengan terjadinya perubahan budaya dalam organisasi. Oleh karena itu seorang pimpinan dalam organisasi janganlah menciptakan atau mengharapkan hasil yang berlebihan dan tidak realistis.

Kelima, pimpinan memberikan peluang kepada pegawai untuk lebih banyak berpartisipasi dalam proses produksi pelayanan dan menempatkan orang-orang yang tepat dalam organisasi sesuai dengan kompetensi yang mereka miliki. Hal ini penting mengingat organisasi pelayanan mempunyai sifat yang sangat tergantung pada kualitas pegawainya. Penerapan prinsip pemberdayaan pegawai merupakan salah satu cara untuk membuka peluang bagi pegawai dalam berpartisipasi. Pemberdayaan (empowerment) adalah merupakan konsep motivasional atau “state of mind” yang memungkinkan pegawai untuk mencapai prestasi melalui kebebasan individu dan rasa tanggung jawab. Penerapan konsep pemberdayaan pegawai ini membutuhkan penyesuaian nilai dan budaya kerja yang berlaku

40 Pengembangan Pelaksanaan Pelayanan Prima

dalam organisasi. Pengertian diatas juga menuntut dikembangkannya sifat kepemimpinan untuk dipunyai oleh semua pegawai dalam organisasi yang bergerak dibidang pelayanan. Sifat kepemimpinan ini tidak hanya didominasi oleh kalangan pemimpin saja tapi harus dikembangkan pula pada semua pegawai sampai di tingkat pegawai yang langsung berhubungan dengan pelanggan (frontline level). Dengan pengembangan dan penerapan budaya tersebut suatu organisasi diharapkan mempunyai pegawai yang mandiri (LAN; 2006) Karakteristik pemimpin yang berorientasi pada kualitas pelayanan sebagaimana dikatakan oleh Ross dalam Fandy Tjiptono adalah:

1. Visible, commited, dan knowledgeable

Kepemimpinan yang baik mengembangkan fokus pada aspek kualitas, melibatkan setiap pegawai dalam pendidikan dan pelatihan, serta mengembangkan hubungan yang rutin antara pegawai dan pelanggan/customer.

2. Semangat misionaris

Pemimpin yang baik berusaha mempromosikan aspek kualitas di luar organisasi, misalnya melalui customer.

3. Target yang agresif

Mengarahkan perbaikan incremental, selain memperbaiki proses juga mengupayakan proses-proses yang berbeda.


(27)

4. Strong Driver

Tujuan yang ingin dicapai dalam aktifitas perbaikan ditetapkan dengan jelas dalam ukuran kepuasan pelanggan dan kualitas.

5. Komunikasi Nilai-nilai

Berupaya melakukan perubahan budaya ke arah budaya kualitas secara efektif. Hal ini dapat dilakukan dengan menyusun system komunikasi yang jelas dan konsisten melalui kebijakan tertulis, misi, pedoman, dan pernyataan lainnya mengenai nilai-nilai kualitas.

6. Organisasi

Struktur organisasinya datar (flat structure) yang memungkinkan adanya wewenang yang lebih besar bagi

level-level yang lebih rendah. Setiap karyawan diberdayakan dan dilibatkan dalam tim-tim perbaikan interdepartemental.

7. Kontak dengan pelanggan

Para pelanggan atau costumer diberikan akses untuk menghubungi para pimpinan organisasi.

Sebagai negara yang sebagian besar anggota masyarakatnya menganut paham paternalistik, konsep kepemimpinan dalam pemberian pelayanan publik menjadi suatu hal yang amat penting bahkan dapat dikatakan sangat menentukan keberhasilan pelayanan. Di Indonesia faktor pemimpin saat ini yang diyakini memegang peranan penting dalam peningkatan kualitas pelayanan. Hal tersebut terbukti dari keberhasilan beberapa

daerah dalam memberikan pelayanan yang berkualitas kepada anggotanya dikarenakan faktor pimpinan yang memiliki visi kuat dalam pemberian pelayanan prima. Beberapa daerah yang dinilai berhasil dalam mewujudkan pelayanan yang berkualitas antara lain adalah Kabupaten Sragen; Kabupaten Jembrana, Kota Tarakan, Propinsi Gorontalo, Kota Pare-pare, Kabupaten Sidoarjo, Kota Balikpapan.

D.

FOKUS KEPADA PELANGGAN

Pelanggan merupakan kunci penting dalam suatu organisasi pelayanan, bahkan suatu organisasi penyedia jasa pelayanan didirikan dikarenakan adanya kepentingan untuk mememenuhi kebutuhan pelanggan. Dengan kata lain pelanggan merupakan orang yang tidak tergantung pada kita, akan tetapi justru kita yang bergantung kepada pelanggan.

Pentingnya peran pelanggan dalam suatu organisasi pelayanan mengharuskan kita untuk memberi perhatian yang lebih pada mereka, bahkan harus senantiasa berupaya memenuhi dan memuaskan kebutuhan mereka.

Apabila suatu organisasi pelayanan ingin memberikan perhatian yang pada pelanggannya, beberapa pertanyaan mendasar yang perlu diperhatikan adalah:

1. Siapa konsumen saya? 2. Dimana konsumen saya

3. Apakah kebutuhan produk/jasa bagi konsumen tersebut dan kapan diperlukan?


(28)

Modul Diklatpim Tingkat III 43

4. Apa ukuran atau harapan konsumen terhadap produk/jasa saya?

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemanfaatan suatu jasa pelayanan seperti responsiveness, tangibles, intangibles, accuracy, dan reliability.

6. Apa yang harus diproses untuk memenuhi kebutuhan konsumen?

7. Apakah produk/jasa saya dapat memenuhi kebutuhan dan harapan?

8. Tindakan apa yang harus diambil untuk memperbaiki proses? Dalam organisasi publik,yang menjadi pelanggan pada suatu unit pelayanan adalah masyarakat sebagaimana yang menjadi prinsip dalam konsep New Public Service (NPS). Konsep NPS memandang masyarakat sebagai warga negara dengan hak dan kewajibannya, bukan sebagai pelanggan. Menurut pendekatan ini pelayanan publik harus: dilakukan secara demokratis, dilakukan secara strategis dan rasional atas dasar pertimbangan politik, ekonomi, serta organisasi, dilakukan dengan mengutamakan dialog penyedia jasa dengan yang dilayani untuk mencapai kesepakatan pelayanan, menganggap pengguna jasa sebagai warganegara (citizen) dengan hak dan kewajibannya yang melekat, bukan dianggap sebagai pelanggan, responsif terhadap kebutuhan warga negara, memperhatikan aturan-aturan yang telah disepakati bersama atas nilai-nilai yang profesional, serta interes warga negara, memberlakukan diskresi dan akuntabel meski banyak kendala, memiliki stuktur yang terbuka dan kepemimpinan yang kolaboratif, memiliki motivasi yang kuat untuk melayani dan berkonstribusi pada masyarakat banyak.

44 Pengembangan Pelaksanaan Pelayanan Prima

Fokus pada pelanggan (customer focus) merupakan manajemen yang berfokus kepada kepentingan pelanggan serta senantiasa berusaha memenuhi harapan pelanggannya. Kualitas suatu produk dan jasa diukur berdasarkan kepuasan pelanggannya. Partisipasi dimaksudkan suatu kewenangan yang diberikan manajemen (pimpinan) kepada karyawan untuk membuat suatu keputusan dan mendorong mereka untuk dapat berpartisipasi/berinisiatif dalam setiap pekerjaan. Memberdayakan pegawai untuk membuat suatu keputusan yang dapat memuaskan pelanggan tanpa harus melalui suatu prosedur melalui pemberian kepercayaan kepada pegawai merupakan wujud dari penciptaan organisasi yang berorientasi pada pelanggan (customer-driven organisation) yang mengarah pada penerapan TQM. Disamping partisipasi, juga diperlukan kerjasama, kerjasama disini dimaksudkan kerjasama antar pegawai, antar unit maupun antar organisasi. Suatu kerjasama diperlukan dengan tujuan untuk mendapatkan hasil terbaik agar dapat memberikan pelayanan yang memuaskan kepada pelanggannya.

Fokus pelanggan pada sektor publik merupakan proses memfokuskan kembali tujuan pelayanan dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat yang merupakan pelanggan suatu organisasi pelayanan publik. Hal tersebut berarti suatu organisasi pelayanan harus memiliki tujuan untuk memenuhi kebutuhan, harapan dan perilaku masyarakat. Proses pembuatan keputusan, strategi penyediaan pelayanan, proses bisnis, ukuran penilaian kinerja, sistem informasi dan proses pendukung pelayanan,


(29)

merupakan ruang lingkup dalam fokus pelanggan di sektor publik.

Di Inggris persyaratan fokus pelanggan meliputi 9 (sembilan) prinsip pelayanan publik (nine principles of public service delivery), yaitu setiap organisasi pelayanan publik harus:

1. Membuat seperangkat standar pelayanan;

2. Terbuka dan menyediakan informasi yang lengkap;

3. Melibatkan dan melakukan konsultasi dengan masyarakat; 4. Memberikan kemudahan dalam mengakses pelayanan dan

menyediakan pilihan;

5. Memberikan pelayanan yang adil;

6. Melakukan perbaikan sesuatu ketika terjadi kesalahan; 7. Efektif dalam mempergunakan sumber-sumber daya; 8. Melakukan perbaikan; dan

9. Bekerjasama dengan unit pelayanan lain. (LAN; 2006)

Strategi dalam mengutamakan kepentingan pelanggan ini dilakukan dengan melibatkan seluruh jajaran pegawai dalam suatu organisasi. Oleh karena itu, suatu departemen atau organisasi penyedia pelayanan perlu membuat program pelayanan yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Seperti menentukan pejabat tertentu yang bertanggung jawab dalam merancang dan menerapkan program consumer champion. Program semacam ini di Indonesia pernah dicanangkan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara melalui pencanangan tahun pelayanan publik pada tahun 2003. Berdasarkan pengertian tersebut, dalam konteks pelayanan di Indonesia, unit-unit

pelayanan publik yang masih menganut prinsip “dilayani”, harus segera beralih pada prinsip “melayani”.

Pemberian fokus pada pelanggan ini penting untuk dilakukan mengingat pada dasarnya empat tujuan suatu organisasi pelayanan tersebut adalah:

1. Memberikan kepuasan kepada pelanggan;

2. Memberikan kepuasan terbaik bagi pelanggannya dibanding apa yang telah diberikan oleh pesaingnya;

3. Agar pelanggan terus menerus menggunakan jasa pelayanannya dalam jangka waktu yang lama;

4. Meningkatkan daya saing. (Evans and Lindsay;1996)

Organisasi penyedia pelayanan yang memberikan perhatian khusus kepada pelanggannya, cenderung akan mengelola pelayanan publik lebih baik, bahkan kedekatan penyedia pelayanan dengan pelanggannya merupakan salah satu metode baru yang terus menerus dikembangkan dalam organisasi swasta untuk memenangkan persaingan. Sementara pada organisasi publik, khususnya unit pelayanan yang ada di daerah memberikan perhatian yang lebih kepada pelanggannya merupakan salah satu strategi yang akan mendekatkan pemerintah dengan masyarakatnya, agar tercipta pelayanan yang berkualitas sehingga pada gilirannya masyarakat akan mengetahui dengan baik pemimpin seperti apakah yang paling mereka inginkan.

Kualitas hubungan antara penyedia pelayanan dengan pelanggannya memiliki 3 (tiga) tingkat yaitu: customer aquisition


(1)

Modul Diklatpim Tingkat III 121 b.Tahap persiapan

Draft yang diajukan akan diterima jika memenuhi harapan terbentuknya solusi yang terbaik untuk menangani permasalahan yang dimaksud. Dalam tahap ini, draft yang sudah disetujui diberikan kepada anggota komite utama sebagai bahan pembangunan konsensus.

c.Committe stage (Tahap Komite)

Setelah draft pertama tersedia, draft tersebut didaftarkan ke Sekretariat Pusat ISO. Draft ini didistribusikan ke anggota komite untuk menjaring masukan dari anggota komite.

Draft ini akan diterima jika konsensus yang dihasilkan sudah mencapai ke hal-hal teknis. Jika konsensus behasil disepakati, draft ini akan menajdi draft standar internasional.

d. Enquiry stage (Tahap Pengumpulan)

Draft standar internasional disirkulasikan kepada seluruh anggota ISO untuk mengumpulkan masukan dengan jangka waktu 5 (lima) bulan. Draft disetujui menjadi draft final jika 2/3 mayoritas anggota menerima dan tidak lebih dari 1/4 dari keseluruhan anggota menolak. Jika kriteria yang disetujui tidak sesuai, draft tersebut dikembalikan ke anggota komite untuk dipelajari dan direvisi untuk selanjutnya disebarkan untuk mendapatkan masukan sebagai

draft standar internasional.

e.Tahap persetujuan

Draft final disebarkan ke seluruh anggota ISO untuk dinilai dalam jangka waktu 2 (dua) bulan. Draft final disetujui jika

122 Pengembangan Pelaksanaan Pelayanan Prima 2/3 mayoritas anggota menerima dan tidak lebih dari 1/4 dari keseluruhan anggota menolak. Jika kriteria yang disetujui tidak sesuai, draft tersebut dikembalikan ke anggota komite untuk dipelajari dan direvisi untuk selanjutnya disebarkan untuk mendapatkan masukan sebagai draft standar internasional.

f. Tahap publikasi

Jika draft final sudah disetujui, draft tersebut dikirim ke Sekretariat Pusat ISO untuk dipublikasikan sebagai standar internasional.

Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dengan penerapan sertifikasi ISO ini adalah:

1) Penggunaan standar ISO mendorong supplier untuk mengembangkan produk dan jasa mereka sesuai dengan spesifikasi yang diharapkan dalam usaha mereka. Sebagai timbal baliknya penggunaan standar ISO juga meningkatkan persaingan bebas diantara para supplier di pasar seluruh dunia.

2) Dengan diterapkannya standar ISO maka produk dan jasa yang diterima oleh pelanggan semakin bervariasi dan berkualitas. Selain itu mereka juga mendapatkan keuntungan dari adanya persaingan diantara supplier.

3) Standar ISO menyediakan teknologi dan ilmu pengetahuan berdasarkan pada peraturan kesehatan, keamanan dan lingkungan.

4) Standar ISO menghasilkan lahan yang luas bagi semua pengusaha di suatu pasar. Dengan adanya standar


(2)

Modul Diklatpim Tingkat III 123 internasional, perjanjian perjanjian politik yang berhubungan dengan perdagangan dapat dipraktekkan dalam dunia perdagangan.

5) Bagi pengembangan suatu negara, standar ISO menghadirkan konsensus internasional di suatu negara sebuah sumber teknologi penting yang dapat dengan mudah dimengerti. Dengan menentukan kharakteristik produk dan jasa yang diharapkan bisa sesuai dnegna keinginan pasar, ISO memberikan dasar untuk membuat keputusan yang tepat ketika melakukan suatu investasi kekurangan sumber daya.

6) Dengan diterapkannya sebuah standar ISO pada suatu produk dan jasa, konsumen diberi jaminan kualitas, keamanan dan kepercayaan akan poduk dan jasa tersebut.

7) Dengan standar ISO meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara umum dengan meyakinkan bahwa apa yang mereka gunakan sehari-hari baik itu produk dan jasa membuat kenyamanan dan keamanan bagi mereka.

8) Standar ISO secara tidak langsung memberi manfaat bagi lingkungan dengan mengurangi dampak terjadinya kerusakan lingkungan.

Secara spesifik manfaat yang diperoleh organisasi yang memanfaatkan standar ISO antara lain:

1) Mengurangi tindakan perbaikan yang dilakukan untuk menangani suatu masalah. Masalah yang ada dapat ditangani oleh pegawai/staf karena staf dibekali dengan

124 Pengembangan Pelaksanaan Pelayanan Prima panduan dan cara bekerja yang lengkap sehingga atasan tidak perlu ikut turun tangan;

2) Organisasi dapat mengetahui dengan pasti tugas- tugas yang akan melalui penetapan standar serta panduan/pedoman untuk membantu staf mengetahui tugas yang perlu dilakukan;

3) Tersedianya dokumen tentang tata cara kerja;

4) Organisasi mengetahui dengan pasti masalah yang dihadapi dan bagaimana cara mengatasinya;

5) Staf dapat menjalankan tugas-tugas mereka dengan betul dengan diberikannya arahan kerja, pelatihan, motivasi dan lingkungan kerja yang kondusif;

6) Organisasi dapat membuktikan kepada pihak luar mengenai kualitas pelayanan atau barang yang dihasilkan. Sistem yang ada dalam organisasi juga lebih terorganisir;

7) Menyediakan alat pengambilan keputusan yang lebih tepat bagi atasan dengan tersedianya dokumen yang lengkap.

Penerapan ISO 9001:2000 di Indonesia menurut laporan pemantauan Departemen Perindutrian dan Perdagangan per Januari 2002 telah dilaksanakan oleh 1570 unit perusahaan, 65% diantaranya didominasi oleh perusahaan swasta berskala menengah ke atas, sisanya 35% adalah BUMN dan instansi pelayanan publik/pemerintah. Unit pelayanan pemerintah tersebut antara lain Dinas Tata Kota – Kota Bekasi,


(3)

Modul Diklatpim Tingkat III 125 Pemerintah Kota Malang, Pemerintah Kota Sawahlunto, Dinas Informasi Takalar, Dinas Kesehatan DKI untuk 2 (dua) unit pelayanan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), Laboratorium Kesehatan Daerah, Rumah Sakit Haji serta salah satu Dinas di Kota Padang. Disamping itu berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Manajemen Pelayanan Lembaga Administrasi Negara pada tahun 2006 beberapa unit pelayanan yang juga telah bersertifikasi ISO antara lain adalah Kantor Pelayanan Satu Atap Kota Pare-pare; Puskesmas Depok dan Kabupaten Sleman.

E.

L

ATIHAN

1. Apakah yang dimaksud dengan standar pelayanan? Manfaat apa yang akan diperoleh suatu organisasi yang teleh memiliki standar pelayanan?

2. Bagaimanakah langkah-langkah penyusunan standar pelayanan?

3. Apa manfaat dari Standar Operating Procedures bagi organisasi?

4. Unsur-unsur apakah yang perlu diperhatikan dalam pengkuran indeks kepuasan masyarakat?

F.

R

ANGKUMAN

1. Standar pelayanan adalah suatu tolok ukur yang dipergunakan untuk acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai komitmen atau janji dari pihak penyedia

126 Pengembangan Pelaksanaan Pelayanan Prima pelayanan kepada pelanggan untuk memberikan pelayanan yang berkualitas.

2. Tahapan-tahapan yang harus dilakukan dalam penyusunan standar pelayanan adalah: Persiapan pihak manajemen unit pelayanan untuk menyusun standar pelayanan sesuai dengan langkah-langkah penyusunan standar pelayanan; Penyusunan standar pelayanan; Sosialisasi dan ujicoba standar pelayanan; Review hasil ujicoba. Pada tahapan ini dilakukan koreksi-koreksi tertentu terhadap standar pelayanan, kemudian dilakukan ujicoba kembali sampai diperoleh standar pelayanan yang dapat memenuhi keinginan pelanggan tetapi juga mampu dilaksanakan oleh unit pelayanan; Penerapan standar pelayanan serta; Review penerapan standar pelayanan. Review ini adalah untuk memperbaharui standar pelayanan sesuai dengan tuntutan dan harapan pelanggan.

3. SOP adalah instruksi sederhana, untuk menyelesaikan tugas rutin dengan cara yang paling efektif dalam rangka memenuhi persyaratan operasional. SOP juga diartikan sebagai penetapan tertulis mengenai apa yang harus dilakukan, kapan, dimana dan oleh siapa. SOP dibuat untuk menghindari terjadinya variasi dalam proses pelaksanaan kegiatan oleh pegawai yang akan mengganggu kinerja organisasi secara keseluruhan.

4. Secara garis besar langkah-langkah penyusunan SOP adalah melakukan analisa kebutuhan, pengembangan SOP, penerapan SOP serta monitoring dan evaluasi.


(4)

Modul Diklatpim Tingkat III 127 5. Unsur-unsur yang dipergunakan dalam pengukuran

indeks kepuasan masyarakat adalah: prosedur, persyaratan, kejelasan petugas, kedisiplinan petugas, kemampuan petugas, kecepatan, kedadilan, kesopanan, kepastian biaya, kepastian jadwal, kenyamanan lingkungan serta keamanan pelayanan

6. TQM adalah pendekatan yang digunakan untuk meningkatkan kualitas produk barang dan jasa melalui partisipasi semua tingkatan dan fungsi yang ada dalam organisasi. TQM digunakan atas dasar solusi permasalahan dengan menggunakan data yang akurat, dibangun atas dasar keterlibatan dan partisipasi seluruh jajaran manajemen tingkat atas sampai pada pegawai yang secara fungsional melaksanakan proses tertentu, dengan fokus pada orientasi pelanggan, pengendalian kialitas secara komprehensif, dan didukung oleh berbagai sistem yang dikembangkan dalam manajemen.

7. ISO merupakan lembaga standar yang memiliki jaringan internasional yang dikoordinasikan melalui Central Secretariat di Geneva, Switzerland. ISO menetapkan berbagai standar yang menjadi referensi internasional.

BAB V

PENUTUP

A.

S

IMPULAN

Pengelolaan pelayanan publik yang berkualitas sudah mulai dilakukan di berbagai unit pelayanan pemerintah, bahkan dari waktu ke waktu jumlah unit pelayanan yang telah mampu memperbaiki kualitas pelayanannya terus bertambah. Keberhasilan unit-unit pelayanan dalam mengembangkan pelayanan prima tersebut dilakukan melalu berbagai cara, baik melalui penerapam berbagai kebijakan pemerintah maupun dengan menerapkan berbagai inovasi dalam pengembangan pelayanan sebagai upaya untuk memuaskan pengguna jasa layanan.

Beberapa faktor yang perlu diperhatikan sebagai penentu keberhasilan pengelolaan pelayanan prima adalah adalah : faktor kelembagaan, SDM, fokus kepada pelanggan, pengelolaan pengaduan, dan yang palin utama adalah komitmen dari pimpinan organisasi.

Sedangkan strategi pengembangan pelayanan prima yang paling sederhana yang dapat dipergunakan adalah penerapan standar pelayanan dan SOP serta pengukuran indeks kepuasan masyarakat. Sebagai inovasi lebih lanjut yang dapat dilakukan oleh unit-unit pelayanan dalam pengembangan pelayanan prima dapat dilakukan dengan menerapkan manajemen kualitas ataupun


(5)

Modul Diklatpim Tingkat III 129 pengembangan pelayanan yang berstandar internasional (ISO 9000).

B.

T

INDAK

L

ANJUT

Pengelolaan pelayanan publik yang berkualitas merupakan salah satu tolok ukur keberhasilan kinerja organisasi, oleh karena itu penyediaan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditunda-tunda. Selain pentingnya komitmen dari pimpinan organisasi yang menjadi kunci keberhasilan pengembangan pelayanan prima, pengelolaan SDM merupakan faktor penting lainnya yang harus diperhatikan, khususnya terkait dengan bagaimana cara memotivasi dan merubah mindset para petugas menjadi, dari yang “dilayani” menjadi yang “melayani”.

Disamping itu, inovasi-inovasi perlu terus dikembangkan dalam pengembangan pelayanan prima sebagai upaya mempertahanlan kualitas. Hal tersebut dilakukan mengingat keinginan pelanggan yang terus menerus berubah sesuai dengan perkembangan yang ada. Manfaat dari penciptaan strategi baru ini selain untuk meningkatkan kualitas pelayanan, juga bermanfaat untuk terus menerus menaruh minat masyarakat untuk senantiasa mempergunakan jasa pelayanan yang diberikan.

DAFTAR PUSTAKA

Christian Gronroos, 1990, Service Management and Marketing, Lexington Books, Canada

Christopher H. Lovelock, 1992, Managing Services: Marketing, Operations, and Human Resources, New Jersey, Prentice Hall, Englewood Cliffs

---, 1994, Product Plus: How Product + Service = Competitive Advantage, International Edition, Mc Graw Hill, Singapore

Evans, James R and Lindsay, William, 1998, The Management and Control of Quality, west Publishing Comany, United State. Lembaga Administrasi Negara (2003), Buku Penyusunan Buku

Standar Pelayanan, Jakarta

--- (2005), Standar Operating Procedures, Jakarta.

--- (2006), Strategi Peningkatan Kualitas

Pelayanan Publik, Jakarta.

Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 20/M.PAN/2006 tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Publik

Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: PER/25/M.PAN/05/2006 tentang Pedoman Penilaian Kinerja Unit Pelayanan Publik

Sampara L dan Sugianto (2001), Pengembangan Pelaksanaan

Pelayanan Prima, Bahan Ajar Diklat Pim Tingkat III, LAN, Jakarta


(6)

131

Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, penyempurnaan dari Keputusan MenPAN Nomor 81/1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum

Surat Men. PAN Nomor 148/M.PAN/5/2003 perihal Pedoman Umum Penanganan Pengaduan Masyarakat

Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: KEP/25/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah

Tjiptono, Fandi (1995), Total Quality Management, Andi Offset, Yogyakarta.