Belajar dari Kitab Ayub menemukan makna dibalik penderitaan manusia dan aplikasinya melalui katekese pembebasan model Shared Christian Praxis (SCP)
i
BELAJAR DARI KITAB AYUB:
MENEMUKAN MAKNA DIBALIK PENDERITAAN MANUSIA DAN APLIKASINYA MELALUI KATEKESE PEMBEBASAN MODEL
SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh:
Christine Yossy Meinarty
NIM: 081124016
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2013
(2)
(3)
(4)
iv
PERSEMBAHAN
Sebagai wujud refleksi pribadi, Saya persembahkan skripsi ini kepada
Seluruh keluarga besar saya, sahabat-sahabat saya, serta semua orang yang mencari makna-makna penderitaan dalam hidupnya.
Secara istimewa kepada: Tuhan yang Maha Cinta
Kedua orang tua yang sangat saya cinta: Bpk Sabianus S.Pd., M.Si & Ibu Erminawati yang selalu mendoakan saya dan membesarkan saya dengan penuh
kasih sayang,
Adik-adik saya: Christian Dwi Fernando & Christy Tri Suhendro yang selalu menghadirkan keceriaan dalam hidup saya
Teman dekat saya: Edy Pratomo S.Kep yang sabar mendengarkan keluh kesah saya, dan juga tidak lelah memberikan dukungan kepada saya untuk
(5)
v MOTTO
Bukan kematian atau penderitaan yang harus ditakuti, melainkan rasa takut pada penderitaan atau kematian itu sendiri.
Bukan apa yang terjadi pada anda, yang paling penting adalah bagaimana anda bereaksi terhadap hal itu.
(Epictetus)
“Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil,
terpujilah nama Tuhan!” (Ayub 1: 21)
Kemuliaan kita yang terbesar adalah bukan karena tidak pernah jatuh, tapi karena bangun setiap kali kita jatuh
(Konfucius)
Jika anda mencintai sampai sakit, anda tidak akan menemukan luka lagi, hanya ada cinta yang lebih. Jika anda tidak bisa memberi makan seratus orang, berilah
makan satu orang saja (Bunda Theresa)
Kebebasan adalah hak untuk hidup seperti yang kita inginkan (Epictetus)
(6)
(7)
(8)
viii ABSTRAK
Realitas penderitaan adalah pengalaman yang dekat dengan hidup manusia. Manusia tidak pernah luput dari penderitaan, karena penderitaan merupakan hal yang manusiawi dan tidak terelakkan dari pengalaman hidup manusia. oleh karena itu, manusia selalu mencari dan menemukan cara yang tepat untuk menanggapinya. Salah satunya adalah dengan cara memaknainya.
Usaha dalam memaknai penderitaan bukan hanya merupakan usaha untuk menyikapi penderitaan saja, tetapi juga untuk mengasah/mengembangkan kedewasaan iman kita dalam menanggapi atau menyikapi persoalan-persoalan yang terjadi dalam hidup kita secara lebih baik. Bertitik tolak dari hal tersebut, skripsi yang berjudul “BELAJAR DARI KITAB AYUB: MENEMUKAN MAKNA DIBALIK PENDERITAAN MANUSIA DAN APLIKASINYA MELALUI KATEKESE PEMBEBASAN MODEL SHARED CHRISTIAN
PRAXIS (SCP)” dapat dimanfaatkan sebagai salah satu usaha manusia sekarang
untuk bersikap dewasa dalam menanggapi permasalahan hidup, baik yang terjadi pada orang lain maupun diri sendiri, dalam artian manusia dapat membebaskan diri dari belenggu yang disebabkan oleh pengalaman penderitaan.
Ada tiga permasalahan yang hendak penulis kaji dalam penulisan skripsi ini. Pertama, bagaimana penderitaan dimaknai dalam Kitab Ayub? Kedua, bagaimana pengaplikasian makna penderitaan manusia dalam katekese pembebasan dengan model Shared Christian Praxis (SCP)? Permasalahan ketiga, bagaimana katekese pembebasan dengan model Shared Christian Praxis dapat diterapkan dalam konteks actual kita?
Untuk menjawab permasalahan-permasalahan tadi, Kitab Ayub menjadi sumber utama refleksi ini. Mengapa? Karena Kitab Ayub sangat luas berbicara tentang tema penderitaan manusia yang hendak kita maknai, dan kita dapat belajar dari kitab penderitaan tersebut. Untuk memperkaya studi pustaka tersebut, terutama yang menyangkut Kitab Ayub, penderitaan manusia, dan katekese pembebasan, usaha tadi dapat menjadi landasan bagi katekese pembebasan dengan model Shared Christian Praxis (SCP) sebagai tindak lanjut.
Akhirnya, semua usaha dalam memaknai penderitaan dan merumuskan aplikasinya dalam katekese pembebasan dengan model Shared Christian Praxis (SCP), dapat dijadikan sebagai salah satu alternative bagi siapa saja yang memiliki keprihatinan terhadap adanya penderitaan hidup manusia, khususnya para katekis, pelayan sabda, dan umat kristiani yang tergerak untuk terlibat dalam membantu sesama untuk membebaskan diri dari belenggu penderitaan, dengan menemukan makna dibalik. Penulis berharap, semoga skripsi ini dapat menjadi bahan pertimbangan lebih lanjut dalam usaha untuk mengembangkan kegiatan katekese, khususnya katekese pembebasan dengan model Shared Christian Praxis (SCP).
(9)
ix ABSTRACT
A man is very close with the experience of misery. Since, it is a part of human being; a man cannot be separated from it. A man even always tries to find the right way in order to understand the meaning of it.
In the terms of understanding it, a man does not only try to face it but also attempt to develop the maturity in his faith or strive to solve his problem wisely. Considering this issue, this thesis, “BELAJAR DARI KITAB AYUB:
MENEMUKAN MAKNA DIBALIK PENDERITAAN MANUSIA DAN APLIKASINYA MELALUI KATEKESE PEMBEBASAN MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP)” can be used as the guidance or contemplation to
develop the maturity in order to face many problems in oneself or other. In this case, it is expected that a man can release himself from the shackle of misery.
Three are three problem formulations that the author wants to discuss in this study. First, how is the misery defined according to the book of Ayub? Second, how do the application of human misery in the context of liberation catechesis with a Shared Christian Praxis (SCP) work?, and the third is how can Shared Christian Praxis (SCP) be applied in the actual context?.
The book of Ayub is the primary source to answer those questions. It is because the book of Ayub has a wide significance to discuss about human misery and there are a lot of important explanations about it in this book. Furthermore, to complete the library studies about human misery, the book of Ayub, and the liberation catechesis, Shared Christian Praxis (SCP) can be used as the follow-up step.
As a conclusion, all efforts in understanding the misery and formulating the application using Shared Christian Praxis (SCP) can be used as an alternative source for people whom have a concern to understand about the misery. It also includes catechists, missionaries, and Christian people, who are involved in helping people releasing them from the shackles of misery and try to find the meaning behind it. The authors also expects that this thesis can be a good source in developing the catechesis activity.
(10)
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah Tritunggal Maha Kudus yang senantiasa
memberkati dan melimpahkan kasih karunia-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul: “BELAJAR DARI KITAB AYUB:
MENEMUKAN MAKNA DIBALIK PENDERITAAN MANUSIA DAN
APLIKASINYA MELALUI KATEKESE PEMBEBASAN MODEL SHARED
CHRISTIAN PRAXIS (SCP)” ini. Kisah Ayub memberi gambaran kepada kita
bahwa kesetiaan kepada Allah tidak tergantung pada apa yang diberikan Allah
kepada kita, melainkan hasil pilihan dan keputusan kita secara bebas sebagai
mkhluk yang bebas. Dari kisah Ayub ini, penulis mengajak para pembaca untuk
belajar dari Kitab Ayub, terutama dalam usaha menemukan makna penderitaan
hidupnya.
Skripsi yang difokuskan pada usaha memaknai penderitaan ini, tidak
terlepas dari keprihatinan dan kesadaran penulis akan realitas penderitaan
manusia, baik secara personal maupun komunal, secara langsung atau tidak
langsung penulis alami. Sebagai sumbangan praktis penulis berhubungan dengan
usaha pemaknaan ini, penulis menawarkan katekese pembebasan model Shared
Christian Praxis (SCP), yakni katekese yang bertujuan untuk menimbulkan
kembali kesadaran umat beriman akan perjuangan dan harapan akan kebebasan
dari pengalaman pahit yang membelenggu hidup umat beriman. Selain itu, skripsi
ini ditulis sebagaisalah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik di
(11)
xi
Dalam proses penyelesaian skripsi ini, tentu saja penulis sering mengalami
kesulitan. Atas kesadaran pribadi, penulis merasa bahwa skripsi ini tidak mungkin
terselesaikan tanpa bantuan berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Pada kesempatan ini dengan penuh syukur, penulis mengucapkan
terima kasih kepada:
1. P. Drs. FX. Heryatno Wono Wulung, SJ., M.Ed., selaku Kaprodi
IPPAK-USD yang selalu memberi dukungan dan motivasi kepada penulis, terutama
dalam menyelesaikan skripsi ini.
2. Dr. C.B. Putranto, SJ, selaku dosen pembimbing akademik yang selalu penuh
perhatian mendengarkan curhat penulis, serta sabar mendampingi, penulis
sejak awal masuk IPPAK sampai pada tahap penyelesaian penulisan skripsi
ini.
3. P. Dr. A. Hari Kustono, Pr selaku dosen pembimbing utama yang bersedia
meluangkan waktunya, serta penuh perhatian dan tabah dalam membimbing
penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
4. P. Dr. B.A. Rukiyanto, SJ selaku dosen penguji skripsi yang telah bersedia
meluangkan waktu, perhatian dan memberikan masukan dan motivasi dalam
menimbulkan gagasan baru dalam penulisan skripsi ini.
5. Bpk. Drs. L. Bambang Hendarto Y, M.Hum sebagai dosen penguji yang telah
menyediakan waktu dan perhatiannya kepada penulis
6. Kedua orang tua, serta keluarga besar saya yang selalu mendoakan dan
mendukung saya baik secara moril maupun materil.
7. Teman dekat saya yang selalu setia memotivasi saya dalam menyelesaikan
(12)
(13)
xiii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……….………….…. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……….…….…… ii
HALAMAN PENGESAHAN ……….……….…... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ……….………….……… iv
MOTTO ……….. v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……….………. vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ……….…….….……….… vii
ABSTRAK ……….. viii
ABSTRACT ……….…….… ix
KATA PENGANTAR ……….…….…... x
DAFTAR ISI ………... xiii
DAFTAR SINGKATAN ……….………….…... xxi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……….…….…….…….. 1
B. Rumusan Permasalahan ……….….………….……….... 14
C. Tujuan Penulisan ……….…….……... 15
D. Manfaat Penulisan ……….……….…………. 15
E. Metode Penulisan ……….………... 16
F. Sistematika Penulisan ……….………….……….………... 16
BAB II BELAJAR DAN MENGENAL KITAB AYUB A. Identitas Kitab Ayub ……….…….……….………. 18
(14)
xiv
2. Pengarang Kitab Ayub ……….….….…….…….……….. 19
3. Waktu Penulisan ……….…….…... 22
B. Struktur Penulisan Kitab Ayub ………….……....……... 22
1. Prolog ……….……… 23
a. Allah di Awal Penderitaan Ayub ……….……..….…………. 24
b. Peran Iblis yang Tersembunyi ………..….….. 26
1) Musibah yang Pertama ……….….….………... 26
2) Musibah Kedua ………..……… 28
2. Dialog ……… 29
a. Lingkaran Pertama ………....………... 29
b. Lingkaran Kedua ……….…….…... 33
c. Lingkaran Ketiga ………..…….….. 34
3. Ellihu Masuk dalam Pembicaraan …….…….…….….….……… 34
4. Ayub Ingin Allah Bicara dan Jawaban Dari Allah …...…….…. 35
a. Ayub ingin Allah Bicara Padanya ………...……… 35
b. Teofani: Jawaban Allah ………..………. 36
1) Jawaban Allah yang Pertama …………....….……… 37
2) Jawaban Allah yang Kedua ………..…….……… 38
5. Epilog ……….………… 39
C. Gaya Penulisan Kitab Ayub ……….….…….….…….………… 39
1. Sistematika Penulisan Kitab Ayub: Bagian Prosa .…..….…...….. 41
2. Sistematika Penulisan Kitab Ayub: Bagian Puisi …...……….… 43
D. Sikap Ayub Ketika Menghadapi Penderitaan ….……...……..…….... 45
(15)
xv
2. Sikap Ayub dalam Penderitaan ………...…….……. 46
a. Kepasrahan Ayub ………..……….. 47
b. Ayub Mengeluh ……….….………. 47
c. Kekecewaan dan Kemarahan Ayub ………...….….… 48
d. Tantangan dan Pemberontakan dari Ayub ………...……… 51
e. Tuduhan Ayub kepada Allah ………....…... 53
f. Pengharapan Ayub ………...……… 53
1) Pengharapan Implisit ………..….…….. 54
2) Pengharapan Eksplisit ………..….…….………… 55
BAB III USAHA MEMAKNAI PENDERITAAN MANUSIA MENURUT PANDANGAN IMAN KRISTIANI, BELAJAR DARI KITAB AYUB DAN RELEVANSINYA BAGI ORANG KRISTIANI DI ZAMAN SEKARANG A. Memahami Penderitaan secara Umum ………...…….…….. 59
1. Pengertian Penderitaan ………...………... 59
2. Beberapa Contoh Penderitaan Manusia ………...…... 61
a. Penderitaan karena Diri Sendiri ………...…. 61
b. Penderitaan yang Disebabkan Oleh Orang Lain ….…... 63
c. Penderitaan demi Orang Lain dan demi Tugas Perutusan .…. 64
d. Penderitaan Karena Penyakit ………...………… 65
e. Bencana Alam ……….……….… 66
3. Cara Mengatasi Penderitaan ………....….. 66
a. Penderitaan karena Diri Sendiri ………... 67
(16)
xvi
c. Penderitaan demi Orang Lain ………....…….. 67
d. Penderitaan karena Bencana Alam ………...………. 68
e. Penderitaan karena Penyakit ………...…………... 68
B. Relevansi Penderitaan Ayub bagi Penderitaan Hidup Umat Kristiani di
Zaman Sekarang ………...……… 71
1. Makna Penderitaan Manusia Menurut Pandangan
Iman Kristiani ……….……….……….. 71
a. Memahami arti penebusan dan makna penderitaan
Yesus Kristus ………..……… 73
b. Allah mendidik manusia melalui peristiwa penderitaan .. ...… 74
1) Penderitaan mengembangkan kepribadian manusia:
menjadikan manusia rendah hati ………...….. 75
2) Ditantang untuk ikut ambil bagian dalam mengatasi
penderitaan: solidaritas ………...….…….. 76
3) Kedewasaan iman ……….….……… 79
2. Makna Penderitaan Ayub ………..….….……….……. 80
a. Penderitaan Ayub Bukan Akibat Dosa
Atau Hukuman Dari Allah ………...……… 83
b. Penderitaan Ayub Membawa Pemahaman Baru
Mengenai Allah Dan Penderitaan Manusia …………..….….. 85
3. Relevansi Penderitaan Ayub Bagi Penderitaan Kita …….…... 88
a. Penderitaan, Dosa, dan Pertobatan ………….…………....…. 88
b. Penderitaan, Pengharapan, Perjuangan
(17)
xvii
c. Penderitaan dan Penerimaan Diri Sebagai
Makhluk yang Terbatas ………..…. 92
BAB IV APLIKASI PEMAKNAAN PENDERITAAN DALAM KITAB AYUB DENGAN KATEKESE PEMBEBASAN MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP) A. Panggilan dan Pergulatan Orang Beriman dalam Menghadapi Penderitaan ………...… 95
1. Panggilan Manusia ……….….……….. 95
a. Manusia sebagai Pribadi ………....……….. 98
b. Manusia Mencari Allah ………...……… 99
c. Manusia Mencintai Allah dan Mencintai Sesama …...….…. 100
2. Pergulatan Orang Beriman dalam Penderitaan ………...….….…. 100
a. Kesadaran ntuk Beriman dan Terlibat Dalam Memperjuangkan Martabat Manusia yang Menderita …... 103
b. Berani Bersyukur dalam Pengalaman Penderitaan: Kesetiaan Orang Beriman ………..….…... 105
B. Pokok-Pokok Gagasan Berkatekese bagi Orang Kristiani yang Menderita Di Zaman Sekarang ………...….….…….….. 106
1. Gagasan dan Sikap yang Diperlukan bagi Katekis .………...…. 106
a. Memahami Pengalaman Penderitaan Peserta ……...….…… 106
b. Memahami Tugas Gereja dalam Menanggapi Penderitaan Manusia ………...………….. 107
(18)
xviii
a. Menyadari Diri sebagai Makhluk yang Terbatas dan Dapat Melihat
Wajah Allah Pada Pengalaman Penderitaan …………..….… 108
b. Menerima Penderitaan sebagai Kenyataan Hidup ……….…. 109
c. Menyadari Diri sebagai Anggota Gereja ……… 111
1) Ikut Memperjuangkan Hak-Hak Asasi Manusia ………... 111
2) Setiakawan Melawan Penderitaan Sesama ………... 111
C. Katekese Pembebasan dengan Model Shared Christian Praxis (SCP) Sebagai Alternative dalam Menanggapi Penderitaan Orang Kristiani 1. Gambaran Katekese secara Umum ……….…….….. 113
a. Pengertian Katekese secara Umum ………...………… 115
b. Isi Katekese ………..…….….…….………. 115
c. Tujuan Katekese ……... 117
d. Prinsip Katekese ………..………… 118
e. Subjek Katekese ……….…………. 120
f. Objek Katekiese ……….………. 121
g. Fungsi Katekese ………..…………. 121
2. Katekese Pembebasan ………..……. 122
a. Isi Katekese Pembebasan .……….….…. 124
b. Tujuan dan Sasaran Katekese Pembebasan ……..…....…...… 125
c. Dasar-dasar Katekese Pembebasan ………...….…. 126
1) Dasar Teologi ……….……….…..….…... 127
2) Dasar Psikologis ……….….….….… 128
(19)
xix
3. Katekese Pembebasan dengan model Shared Christian Praxis (SCP)
a. Alasan Pemilihan Model Katekese Pembebasan ….….….…. 132
b. Tiga Komponen Pokok……….………….…….…….. 132
1) Praksis .….….……….……….……….. 132
2) Kristiani ……….….….….…..….….……….…… 132
3) Shared ……….…….……….. 133
c. Langkah-langkah Model Shared Christian Praxis (SCP)... 135
1) Langkah I ………...….... 135
2) Langkah II ………....……... 135
3) Langkah III ………....…. 136
4) Langkah IV ………..….….…. 136
5) Langkah V ……….……...……. 137
4. Usulan Program Katekese Pembebasan dan Contoh Persiapan Katekese Pembebasan dengan Model Shared Christian Praxis (SCP) ………. 138
a. Contoh Usulan Program . …..….…….……..……….…. 140
b. Contoh Persiapan Katekese Pembebasan Model Shared Christian Praxis (SCP) ………….….……….…. 144
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ……….……. 158
B. Saran ……….….……….…. 160
DAFTAR PUSTAKA ………..… 161
(20)
xx
DAFTAR SINGKATAN
A. Singkatan Kitab Suci
Semua singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Alkitab. Jakarta:
Lembaga Alkitab Indonesia, 1997
B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja
CT : Catechesi Tradendae, Anjuran Apostolik Paus Yohanes
Paulus II tentang Penyelenggaraan Katekese Masa Kini.
16 Oktober 1979
LG : Lumen Gentium, konstitusi Dogmatis Tentang Gereja, 12
November 1964.
GS : Gaudium et Spes. Konstitusi Pastoral tentang Gereja
dalam Dunia Moderen, 7 Desember 1965.
KGK : Katekismus Gereja Katolik
KWI : Koferensi Waligereja Indonesia
SD : Salvifici Doloris, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus
II tentang arti Kristiani dari Penderitaan Manusia, 11
Februari 1984.
C. Singkatan Lain
ARDAS KAS : Arah Dasar Keuskupan Agung Semarang
(21)
xxi
Ayb : Ayub
dll : dan lain-lain
Hal : Halaman.
KKN : Korupsi Kolusi dan Nepotisme
PKI : Partai Komunis Indonesia
PKKI : Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia
Sbb : sebagai berikut
(22)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di dunia ini, manusia dihadapkan dengan berbagai macam peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Peristiwa-peristiwa itu seperti: kesedihan, kesukaran, kegembiraan, kebahagiaan, kesuksesan, dan kegagalan. Ini merupakan fenomen kehidupan yang dialami oleh manusia.
Penderitaan merupakan pengalaman yang dekat dengan manusia. Manusia tidak pernah luput dari penderitaan, karena penderitaan merupakan hal yang manusiawi dan tidak terelakkan dari pengalaman hidup manusia (Timotheus, 1970: 23). Penderitaan adalah suatu fenomena yang kedudukannya sejajar dengan peristiwa hidup lainnya, seperti kelahiran, kematian, kegembiraan, sakit dan sebagainya (Haryanto, 2011 : 334).
Dalam diri manusia ada keharusan untuk mengerti segala hal yang terjadi sepanjang sejarah hidupnya, termasuk masalah penderitaan yang dialaminya. Realitas penderitaan yang terjadi pada manusia tidak pernah berhenti dipertanyakan. Kemampuan manusia untuk berpikir merupakan ciri khasnya yang paling menonjol (Michael Polanyi, 2001: 15). Tidak mengherankan jika manusia disebut makhluk yang berpikir atau “animale rationale” (Robini, 1998: 14,18). Mungkin saja manusia akan berhenti bertanya jika berhenti menjadi manusia.
Dari segala ciptaan yang kelihatan, hanya manusia yang mampu mengenal dan mencintai ciptaan-Nya (GS 12,3). Manusia diciptaan Allah secitra dengan-Nya. Karena hal inilah, manusia memiliki martabat sebagai pribadi: ia bukan sesuatu, melainkan seseorang (KGK, 1993: 94). Kenyataan ini, seharusnya
(23)
membuat manusia saling menghargai, dan menghormati martabat hidup satu dengan yang lain. Tetapi pada kenyataannya, di dunia ini masih sering terjadi permusuhan, pertikaian antar bangsa, suku, agama, dan itu dipelopori oleh satu orang atau suatu kelompok tertentu. Terkadang tidak jarang orang yang tidak bersalah ikut jadi korban.
Manusia saling membunuh dan saling menghancurkan. Tentu kita masih ingat peristiwa pembantaian anggota PKI yang terjadi pada tahun 1965. Peristiwa ini mengingatkan kita pada sejarah bangsa Indonesia yang tak pernah lekang oleh peristiwa tragis, pertikaian antarkelompok, pembalasan dendam lama, pembunuhan, semua ini merupakan perbuatan tanpa penghargaan terhadap pribadi manusia yang bermartabat. Tidak hanya orang-orang PKI, orang-orang yang tidak termasuk di dalamnya juga menjadi korban pembantaian orang-orang bringas (Majalah Tempo, 17 Oktober 2012). Kenyataan hingga saat ini, bangsa Indonesia masih mengalami penderitaan kolektif, yang juga menimbulkan penderitaan secara pribadi.
Kita diingatkan kembali pada sejumlah peristiwa mengerikan dalam sejarah hidup manusia: pembantaian 6 juta orang Yahudi di kamp konsentrasi NAZI, pembantaian rakyat Timor Leste dalam insiden Santa Cruz tahun 1991, perang Afganistan dan Irak yang menelan ribuan nyawa manusia, peristiwa tsunami tahun 2004 Aceh dan Nias yang menelan banyak jiwa dan harta benda, gempa bumi tektonik di Yogyakarta, meletusnya gunung merapi pada tahun 2010 juga menelan begitu banyak korban (Emanuel Bria, 2007: 9).
Kita sekarang hidup dalam dunia yang tidak aman. Sampai saat ini, masih banyak ditemukan kasus pembunuhan, ketidakadilan (KKN), pelecehan seksual, dll. Tidak mengherankan jika zaman sekarang banyak orang masih merasa terjajah
(24)
di tanah airnya sendiri. Memang tidak dapat dipungkiri, penderitaan adalah realita yang sangat dekat dengan manusia, ada hubungan erat diantara keduanya: manusia dan penderitaan. Seperti yang diungkapkan oleh Bapa Suci Paus Yohanes Paulus
II, dalam Salvifici Doloris (art. 3) : “…, dalam bentuk yang bagaimanapun,
penderitaan agaknya, dan memang hampir tak terpisahkan dari eksistensi manusia di dunia ini”. Pernyataan ini semakin menegaskan dan meneguhkan keyakinan kita, bahwa benar adanya relasi yang erat antara penderitaan sebagai realitas, dan manusia sebagai entitas (keberadaan) yang terbatas dan tidak dapat diulang (SD art. 8).
Realitas penderitaan yang terjadi pada manusia, sering terjadi akibat adanya kejahatan. Kejahatan itu sendiri berasal dari manusia; kurang harmonisnya hubungan antara manusia dan dunia (Timotheus, 1970: 25). Mengutip pernyataan dari Bapa Suci Yohanes Paulus II mengenai kejahatan:“Dapat dikatakan bahwa manusia menderita bilamana ia mengalami tindakan kejahatan dalam bentuk apapun” (SD art. 7). Kejahatan tersebut dapat berupa ketidakadilan, yang termasuk di dalamnya ada unsur; keserakahan, kekuasaan, penindasan, kekerasan dan kemiskinan. Tindakan kejahatan menimpa kaum lemah. Kenyataan yang terjadi, orang kaya menindas yang lemah, orang pintar yang mengatur, orang yang punya kuasa memonopoli. Namun belum tentu orang yang merasa lebih adalah orang yang hidup benar dan bahagia. Ini adalah permasalahan yang terjadi antar manusia. Semua ini terjadi karena kehendak bebas yang dimiliki oleh manusia.
Realita penderitaan di atas membuat kita merasa takut dan cemas barangkali bencana yang sama akan menimpa kita juga. Kita sungguh berhadapan dengan pengalaman akan dunia yang absurd. Jika dunia diciptakan oleh Allah Maha Kuasa, sebagaimana diajarkan dalam pelajaran pendidikan Agama, mengapa Allah
(25)
dipahami begitu tidak berkuasa? Jika Allah itu benar-benar ada, dari mana datangnya penderitaan yang menimpa manusia? Dalam pengalaman buruk dan sangat mengerikan, masih bermaknakah keyakinan kita bahwa Allah itu sungguh ada? Kalau memang Allah sungguh ada, mengapa Dia tidak campur tangan dalam peristiwa penderitaan? Mengapa Dia memilih untuk membiarkan penderitaan ada di dunia? Apakah Allah tidak sayang pada mahkluk ciptaan-Nya? Atau mungkin Allah hanya ada dalam dongeng? Kalaupun penderitaan bukan berasal dari Allah, dan kalau memang benar Allah itu Mahakuasa dan mengasihi manusia, mengapa Allah membiarkan penderitaan merajalela di dunia? Bukankah seharusnya Allah melindungi makhluk ciptaan-Nya yang lemah dan kecil? Orang baik berhak mendapat ganjaran yang setimpal dan orang yang jahat diberi hukuman (Robini, 1998: 34). Apa sesungguhnya yang Allah inginkan atas diri manusia yang menderita?
Dari fenomen-fenomen singkat di atas, penulis melihat ada persoalan yang menarik untuk dicari jawabannya, dan ini akan menjadi diskusi yang menarik dan tidak akan ada habisnya. Manusia adalah makhluk yang selalu mau tahu, dan bertanya “mengapa” pada segala yang dialaminya. Terutama orang seringkali bertanya-tanya ketika berhadapan dengan penderitaan, apalagi jika penderitaan tersebut menimpa orang baik dan jujur. Ketika manusia berhadapan dengan situasi yang tidak dia kehendaki, ia dapat saja berontak, marah, kecewa, dan frustasi. Kita yang hanya melihat saja dapat berontak, marah dan kesal, apalagi mereka yang mengalaminya. Pertanyaan yang muncul: “Di manakah Allah? Di manakah Allah ketika Merapi Meletus, tsunami Mentawai terjadi, banjir Wasior, dan bencana lainnya yang merenggut banyak nyawa manusia tak berdosa? Jika memang Allah Mahabaik dan Mahakuasa, mengapa penderitaan tetap ada di muka bumi?”,
(26)
pertanyaan “mengapa” merupakan usaha manusia untuk menemukan jawaban dan makna dari penderitaan yang menimpanya. Ini adalah reaksi yang manusiawi.
Hingga saat ini masih terdengar manusia mengeluh, menyalahkan Allah atas masalah yang dialami, kecewa pada kegagalan dan penderitaan yang menimpa dirinya. Merasa putus asa ketika dihadapkan pada suatu masalah yang berat, dan bahkan membuat manusia harus mengakhiri hidupnya. Manusia sering bertanya-tanya dalam hatinya, apakah ini hukuman atas dosa? Mungkin saya memang pantas mendapatkan ini?. Semua pertanyaan itu, menggambarkan bahwa Allah senang memberikan pelajaran dan hukuman setimpal atas dosa-dosa yang diperbuat manusia, sehingga gambaran Allah yang sesungguhnya yakni Maha pengasih dan pengampun hampir tidak ada. Lalu bagaimana dengan manusia yang menderita tanpa melakukan perbuatan dosa? Apakah itu adil? Kredibilitas Allah mulai dipertanyaan.
Melihat realitas di atas kembali kita perlu memahami bahwa Allah memberi kebebasan kepada manusia untuk melakukan segala hal di dunia sesuai dengan kehendak bebasnya. Menciptakan manusia sebagai makhluk yang bebas berarti: membiarkan kemungkinan bahwa manusia akan salah pilih, dan jatuh dalam dosa (Timotheus, 1965: 22). Ini bukan berarti Allah dengan sengaja menghendaki manusia jatuh dalam dosa, namun Allah itu baik, tidak pernah memaksa manusia untuk mencintai Dia, namun Allah tetap menunggu manusia benar-benar secara bebas dan sadar mencintai Dia dengan memberikan jawaban iman dan cinta yang tidak dapat diberikan makhluk lain sebagai penggantinya (KGK, 1993: 94).
Memaknai penderitaan adalah sebuah upaya reflektif yang sudah dilakukan sejak dahulu kala. Mungkin refleksi tentang penderitaan ini sudah dilakukan sejak
(27)
adanya manusia; sekurang-kurangnya sejak manusia menyadari dirinya sebagai makhluk reflektif; makhluk yang berpikir dan memiliki akal budi.
Dalam menemukan makna penderitaan, penulis mengutip pernyataan dari Bapa Suci Yohanes Paulus II dalam Salvifici Doloris, bahwa: “…dalam bentuk yang bagaimanapun penderitaan agaknya dan memang hampir tak terpisahkan dari eksistensi manusia di dunia ini” ( SD art. 3). Pernyataan ini menegaskan bahwa ada keterikatan yang kuat antara penderitaan dan hidup manusia. Selama manusia masih bernafas di dunia ini, maka permasalahan yang menimbulkan penderitaan akan selalu datang silih berganti.
Kebanyakan orang, pasrah menghadapi penderitaan, tanpa mau berjuang dan menemukan makna di balik penderitaan, sehingga penderitaan dilihat sebagai pengalaman yang menakutkan. Pertanyaan reflektif bagi kita, bagaimana kita menemukan makna dibalik penderitaan?. Sebagai wujud kesadaran sebagai makhluk reflektif, penulis di sini turut mengambil bagian dalam memaknai penderitaan manusia zaman sekarang.
Penderitaan merupakan misteri dalam hidup. Penderitaan tidak selalu dapat dimengerti secara tuntas oleh manusia. Memaknai penderitaan adalah upaya manusia menyadari dirinya yang lemah dan tidak berdaya ketika berhadapan dengan kejadian buruk, menakutkan dan menyakitkan.
Penderitaan manusia adalah realitas yang tidak terelakkan dari dunia ini. Penderitaan yang dialami manusia hendaknya dimaknai. Iman kitalah yang mampu memberi makna pada hal tersebut. Pertanyaannya, apakah iman kita sudah mampu memberikan makna atas semua yang terjadi dalam hidup kita? Atau, kita membiarkan iman mati dan terkikis oleh kekhawatiran kita? (Haryatno, 2011: 335).
(28)
Penderitaan menjadi problema ketuhanan bagi orang-orang yang percaya bahwa Allah Mahabaik, Mahaadil dan Mahacinta. Mengenai hal ini, apakah kita akan menyimpulkan bahwa Allah melakukan sesuatu yang salah terhadap segala yang diciptakan di dunia ini? Di mana keadilan Allah? Apakah maksud Allah dengan persoalan yang sulit dipahami ini? Apakah iman kita dapat memberi jawaban atas semua ini (Atkinson, 1996: 31).
Dalam kesadaran sebagai orang beriman, tentunya kita dapat kembali melihat ke dalam sumber wahyu tertulis kita, Kitab Suci. Mengikuti Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II, yang mengatakan: “Kitab Suci merupakan sebuah buku yang besar tentang penderitaan” (SD Art 6), Dalam rangka memaknai penderitaan, akhirnya kita dapat belajar dari sana. Untuk tujuan inilah, maka penulis akhirnya mengupas sebuah kitab yang secara istimewa mengungkapkan penderitaan yang dialami oleh manusia. Isi cerita dari kitab ini sangat menarik dan juga inspiratif. Kitab ini merupakan kitab yang banyak berbicara tentang penderitaan orang benar. Kitab yang besar berbicara mengenai penderitaan manusia ini adalah Kitab Ayub.
Benarkah Allah itu Mahakasih dan Mahaadil? Kalau memang benar, mengapa penderitaan masih merajalela di bumi? Mengapa manusia dibiarkan-Nya saling menindas dan saling membunuh? Tragisnya lagi, tidak semua korban adalah orang jahat. Di bumi ini masih banyak orang saleh jadi korban penindasan dan keserakahan sesamanya. Ini sangat memprihatinkan. benarkah Allah itu adil? Tapi mengapa orang-orang jahat diberi kehidupan yang layak, sementara orang saleh harus berjuang keras untuk hidupnya. (Stanislaus, 2008: 51-52).
Pandangan tentang ‘menderita karena dosa’ bertumpu pada paham keyakinan akan ‘keadilan Allah’ dan paham ‘pembalasan di bumi’. kepercayaan
(29)
akan keadilan Allah bertumpu pada tindakan Allah mengganjar yang baik dan menghukum yang jahat.
Berpijak pada kepercayaan akan keadilan Allah dan paham pembalasan di bumi, orang sampai pada kesimpulan bahwa bencana, penyakit, penderitaan dan segala konsekuensinya adalah hukuman dari dosa. pemikiran ini tertuang dalam buku-buku kebijaksanaan seperti Amsal (Ams 10-22; 25-29) dan Yesus bin Sirakh. Fakta bahwa orang-orang baik menderita dan mati dibunuh, memicu refleksi seseorang untuk mempersoalkan kebenaran ‘paham pembalasan di bumi’. Salah satunya Kitab Ayub. Kitab ini ingin memaparkan diskusi yang sangat panjang yang menyajikan argumentasi bahwa paham pembalasan di bumi tidak dapat dipertahankan lagi.
Penderitaan orang benar adalah tema yang menjadikan Kitab Ayub istimewa dalam konteks sekarang. Kitab Ayub menghadirkan gagasan baru mengenai ajaran tradisional yang berbicara bahwa penderitaan adalah akibat dari dosa. Kitab Ayub mau menunjukan bahwa tidak ada hubungan langsung antara penderitaan dan dosa. oleh karena itu, penderitaan tidak boleh secara langsung dikaitkan dengan dosa (Stanislaus, 2008: 55-58).
Segala sesuatu di bumi diciptakan Allah baik adanya, ini jelas menunjukan bahwa Allah tidak menghendaki sesuatu yang tidak baik, termasuk penderitaan (Kej 1: 31). Terkadang kitalah yang sulit memahami maksud Allah. Menjadi pertanyaan; “apakah orang benar mampu menanggapi penderitaan yang dialaminya secara benar atau tenggelam dalam penderitaan? Apakah penderitaan merupakan hukuman dari Allah? Mungkin manusia dapat lebih merasakan kehadiran Allah jika pernah merasakan penderitaan.
(30)
Orang benar atau orang beriman juga mengalami penderitaan dalam hidup. Dengan iman yang teguh orang beriman mampu menerima, menggulati dan memaknai penderitaan. Bagi orang benar memaknai penderitaan berarti dengan iman membangun relasi dengan Allah. Orang benar menyerahkan hidupnya dalam bimbingan dan penyelenggaraan Allah dan dengan sikap iman mengupayakan sikap-sikap positif dalam menghadapi penderitaan. Orang benar akan menemukan bahwa Allah itu penuh kasih meskipun mengalami penderitaan dalam hidup. Orang benar memiliki harapan dalam menghadapi penderitaan. Orang benar mengharapkan Allah yang senantiasa memberi kekuatan. Harapan tersebut merupakan reaksi orang benar ketika menghadapi penderitaan seperti bencana alam, kelaparan, kemiskinan, kematian dan sebagainya. Harapan tersebut juga merupakan ungkapan bahwa orang benar merasa lemah, tak berdaya, kecil sehingga membutuhkan Allah dalam menghadapi penderitaan.
Dalam Kitab Ayub, yang menjadi permasalahan di dalamnya adalah mengenai persoalan dan maksud Allah mengapa membiarkan orang baik menderita. Ayub adalah orang yang saleh dan takut akan Allah. Namun dia menderita. Mengapa orang benar seperti Ayub harus menderita? Pertanyaan ini seakan ingin menunjukan adanya ketidakadilan yang dialami oleh manusia.
Penderitaan Ayub disebabkan oleh iblis, dan dilakukannya (iblis) atas izin dari Allah. Mari kita lihat Ayub 1:6-12, sbb:
6Pada suatu hari datanglah anak-anak Allah menghadap Tuhan dan diantara
mereka datanglah juga iblis. 7Maka bertanyalah Tuhan kepada iblis: “Dari mana engkau?” Lalu jawab Iblis kepada Tuhan: “Dari perjalanan mengelilingi dan menjelajahi bumi.” 8Lalu bertanyalah Tuhan kepada Iblis: “Apakah engkau memperhatikan hamba-Ku Ayub? Sebab tiada seorangpun di bumi seperti dia, yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan. 9Lalu jawab Iblis kepada Tuhan: “Apakah dengan
tidak mendapatkan apa-apa Ayub takut akan Allah? 10Bukankah Engkau
(31)
dimilikinya? Apa yang dikerjakannya telah Kauberkati dan apa yang dimilikinya makin bertambah di negeri itu. 11Tetapi ulurkanlah tanganMu dan jamahlah segala yang dipunyainya, ia pasti mengutuki Engkau
dihadapan-Mu. 12Maka firman Tuhan kepada Iblis: “Nah, segala yang
dipunyainya ada dalam kuasamu; hanya janganlah engkau mengulurkan tanganmu terhadap dirinya.
Allah membiarkan Ayub kehilangan segala miliknya, namun Allah tetap mengasihi Ayub (ay 12). Dari bagian awal kisah Ayub, kita melihat bahwa penderitaan Ayub bermakna uji coba akan ketulusan, dan bukan hukuman atas dosa. Sesungguhnya apa maksud dari penderitaan Ayub orang saleh ini?
Dalam kisah digambarkan bahwa Ayub memang membuktikan ketulusan kepercayaannya. Kepercayaan Ayub akan Allah bukanlah kepercayaan yang menuntut balasan. Kecurigaan bahwa Ayub percaya kepada Allah karena kelimpahan yang dimilikinya sebagaimana dinyatakan oleh Iblis di awal kisah (lih. Ayb 1: 9) terbukti tidak benar. Ayub tetap percaya kepada Allah meskipun segala kepunyaannya telah sirna. Dengan berseru penuh ketulusan hati Ayub berseru; “Katanya: “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan! (Ayb 1: 21)”. Bagi Ayub segala yang terjadi di atas bumi ini, semua adalah kehendak Allah termasuk juga penderitaan yang menimpa dirinya.
Di akhir kisah digambarkan bahwa karena kesetiaannya itu, Allah mengembalikan segala milik Ayub, bahkan diberi-Nya lebih daripada apa yang dimilikinya sebelumnya (lih. Ayb 42: 10-17). Dalam Kitab Ayub, penderitaan dibicarakan secara dialektik oleh tokoh-tokohnya. Dengan adanya perdebatan atas penderitaan Ayub itulah maka penggalian makna atasnya menjadi semakin jelas
(32)
dan menarik. Karena itulah penulis dapat mengatakan bahwa kitab Ayub adalah kitab penderitaan.
Secara manusiawi kita pasti berpikir bahwa Tuhan tidak adil jika memberi hukuman penderitaan kepada orang benar, sedangkan orang-orang yang melakukan penindasan, melakukan korupsi dan kejahatan lainnya dibiarkan hidup bahagia. Sebagai manusia biasa wajar saja bila Ayub mengeluh dengan penderitaan yang ditimpakan Allah kepada dirinya, yang bisa dikatakan orang baik dan takut akan Allah. Inilah salah satu keluh kesah atau pertanyaan yang keluar dari mulut Ayub “Mengapa aku tidak mati waktu aku lahir, atau binasa waktu aku keluar dari kandungan ?”(Ayub 3 : 11). Sungguh memilukan nasib Ayub, seorang saleh dan patuh pada perintah Allah. Dia harus mengalami penderitaan yang begitu berat. Sebenarnya apa yang ingin Allah tunjukan kepada manusia terutama melalui kisah Ayub?
Belajar dari Kitab Ayub, kita dituntut semakin peka untuk lebih peduli dan bersikap solider terhadap sesama yang menderita. Setidaknya solidaritas tersebut dapat penulis wujudkan melalui jawaban yang tepat dari pertanyaan mengenai makna sebuah penderitaan yang terjadi menimpa hidup manusia. Dalam bukunya, Krispurwana Cahyadi (2011: 3) memaparkan pemikiran dari Paus Yohanes Paulus II, demikian: “membela martabat dan hak asasi manusia merupakan salah satu tugas Gereja”, beliau memandang manusia sebagai pribadi berharga dihadapan Allah dan diciptakan secitra dengan-Nya. Dengan menghargai martabat manusia kita mewujudkan sikap iman terhadap Allah. Pertanyaannya: “Apakah kita cukup beriman untuk mewujudkan tugas tersebut?”.
Saat berada di kayu Salib, Yesus pernah mengatakan, “Eloi, Eloi, Lama Sabakhtani!” yang artinya “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan
(33)
Aku?”. Bahkan, Yesus pun merasa Bapa-Nya telah meninggalkan Dia. Apakah memang demikian? Apakah Allah tidak peduli terhadap manusia yang menderita? Fenomena di atas menunjukan bahwa orang seringkali tertutup oleh nuansa penderitaan sehingga tidak ada tempat bagi Allah untuk memperjelas maksudnya, Allah selalu bertindak sesuai dengan maksud-Nya sendiri (Atkinson, 2002: 55).
Dalam penderitaan-Nya, Yesus tidak diam dan meratapi sengsara-Nya. Ia memberi contoh bagaimana kita harus bersikap ketika berada dalam penderitaan. Ungkapan “Eloi, Eloi Lama Sabakhtani” adalah usaha untuk terus-menerus mencari Allah meski penderitaan dialami begitu berat. Allah yang kita imani adalah Allah yang dekat, yang mau hadir ketika penderitaan terjadi. Hanya saja kita tidak menyadarinya. Begitu juga Allah hadir saat Yesus di salib dan wafat, jika Allah tidak hadir maka Yesus tidak mungkin bangkit (Haryatno, 2011: 335). Kita tidak boleh melupakan bahwa Allah tetap menyertai umatnya dalam situasi apapun, terutama dalam pengalaman penderitaan, sebab Allah sendiri juga mengalami penderitaan yang ditanggung oleh Yesus Kristus Putera-Nya (Robini, 1998: 15).
Penderitaan Yesus adalah demi dan untuk umat yang dikasihi-Nya, demi kita semua, manusia. Karena itu, kita juga dipanggil untuk menderita bersama Dia, seperti yang dilakukan oleh Paulus untuk Yesus Kristus yang tertulis dalam Kitab Suci, II Tim: 10-12 sbb :
Tetapi engkau telah mengikuti ajaranku, cara hidupku, pendirianku, imanku, kesabaranku, kasihku dan ketekunanku. Engkau telah ikut menderita penganiayaan dan sengsara seperti yang telah kuderita di Antiokhia dan Ikonium dan Listra. Semua penganiayaan itu kuderita dan Tuhan telah melepaskan aku daripada-Nya. Memang setiap orang yang mau hidup beribadah di dalam Kristus Yesus akan menderita aniaya.
(34)
Sanggupkah kita menderita bersama Kristus seperti yang dilakukan Paulus? Selama ini kita mempercayai penderitaan adalah ganjaran atas perbuatan dosa, namun kisah Ayub memberi kita wajah lain dari penderitaan, yaitu penderitaan tanpa dosa. Itulah sebabnya mengapa kisah Ayub penting untuk memahami arti dan makna penderitaan orang benar, yaitu karena penderitaan Ayub adalah penderitaan yang tidak biasa, penderitaan tanpa melakukan perbuatan dosa.
Menurut Bapa Suci Paus Yohanes Paulus II: “…Penderitaan Ayub adalah penderitaan dari seseorang yang tidak bersalah; hal itu harus diterima sebagai suatu misteri, yang tak dapat ditembus oleh manusia secara penuh berdasarkan akal budinya…” (SD art. 11). Kalau bukan hukuman atas dosa, lantas apa maksud Allah dibalik penderitaan orang benar? Memang benar bahwa penderitaan mempunyai suatu makna sebagai hukuman, bila dihubungkan dengan suatu kesalahan, tapi tidak benarlah bahwa segala penderitaan merupakan akibat dari dan bentuk dari dosa.
Manusia yang menderita, harus dibebaskan. Gereja harus memerangi ketidakadilan yang terjadi di dunia, apa yang harus dilakukan oleh Gereja dalam menanggapi penderitaan sesama? Sejak dahulu sudah diusahakan suatu pembebasan bagi kaum miskin, namun sampai sekarang belum tuntas juga. Negara Indonesia ini memang banyak menyimpan sejarah hidup, penderitaan dan perjuangan manusia. Ada juga manusia yang pasrah pada nasib, dan ada juga yang terdorong untuk menuntut keadilan. Seperti yang dilakukan oleh Marsinah, seorang buruh yang memperjuangkan keadilan, namun akhirnya ditemukan tewas mengenaskan akibat penganiayaan yang dilakukan oleh pihak yang merasa terusik dengan aksi nekat yang dilakukannya (Majalah Tempo, XXIII. Oktober, 1993).
(35)
Menyadari hal di atas, penulis mengupayakan suatu bentuk pendekatan reflektif kritis guna memberi gambaran baru sebagai usaha untuk membantu orang benar zaman sekarang menemukan makna dibalik penderitaannya. Selain itu, beranjak dari situasi di mana seringkali terjadi vonis semena-mena atas penderitaan orang lain, maka penderitaan harus dimaknai sungguh-sungguh sehingga dapat menjauhkan kita dari penilaian subjektif yang malah semakin menambah penderitaan bagi mereka yang mengalaminya. Lalu bagaimana usaha kita dalam menemukan makna dibalik penderitaan yang menimpa orang benar? Dan apa yang harus kita lakukan sebagai usaha membantu mereka yang menderita dapat memaknai penderitaannya?
Beranjak dari latar belakang yang telah penulis paparkan di atas, akhirnya dengan penuh kerendahan hati penulis ingin mengajak kita semua belajar bersama untuk merefleksikan penderitaan yang terjadi di dalam hidup kita khususnya belajar bersama Kitab Ayub, melalui kacamata iman Kristiani menemukan bersama makna dibalik penderitaan orang benar serta penerapannya melalui katekese pembebasan. Maka dari itu, penulis tertarik menulis skripsi ini dengan
judul : BELAJAR DARI KITAB AYUB: MENEMUKAN MAKNA DIBALIK
PENDERITAAN MANUSIA DAN APLIKASINYA MELALUI KATEKESE
PEMBEBASAN MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP)
B. Rumusan Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah-masalah yang akan dibahas dalam karya tulis ini dapat dirumuskan sbb:
(36)
2. Bagaimana orang benar jaman sekarang memaknai penderitaann yang dihadapinya?
3. Apakah katekese pembebasan Model Shared Christian Praxis (SCP) dapat
membantu umat Kristiani dalam menyikapi penderitaan yang terjadi dalam hidup secara konkret?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengungkapkan bagaimana penderitaan orang benar dimaknai dalam Kitab
Ayub sehingga dapat menjadi inspirasi bagi umat kristiani dalam menyikapi penderitaan hidup.
2. Memaparkan bagaimana keteguhan iman, membantu orang benar jaman
sekarang menanggapi penderitaan hidup sehingga dapat semakin didewasakan dalam iman
3. Memaparkan bagaimana katekese pembebasan dengan model Shared
Christian Praxis masih sangat relevan digunakan sebagai alternative dalam membantu peserta untuk mendalami dan menemukan makna dari pengalaman hidupnya.
4. Memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar Sarjana Strata-1 Program
Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
D. Manfaat Penulisan
1. Bagi penulis sendiri, penulis semakin peka dan termotivasi untuk menanggapi penderitaan orang lain, serta penulis dapat semakin bertumbuh dewasa dalam menyikapi penderitaan yang terjadi dalam hidup.
(37)
2. Bagi pembaca, pembaca menemukan makna penderitaan sebagai inspirasi mereka terutama dalam menanggapi/menyikapi permasalahan yang mereka alami.
3. Memberi gambaran kepada semua orang, sejauhmana iman, pengharapan dan
kasih pada Allah dapat membebaskan manusia dari belenggu penderitaan yang terjadi dalam hidupnya, serta tidak melihat penderitaan sebagai sesuatu yang mengerikan, melainkan dapat menyikapinya secara tepat dengan iman yang dewasa.
E. Metode Penulisan
Metode penulisan yang akan digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah analisis deskriptif terhadap kisah Ayub. Kisah Ayub menjadi sumber pokok dalam penulisan karya ini. Penulis akan memaparkan hasil refleksi kritis terhadap kisah Ayub dan diperkaya dengan studi pustaka.
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini dibagi dalam lima bab yang akan diuraikan sebagai berikut:
Bab I merupakan pendahuluan yang menguraikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.
Bab II membahas tentang Identitas dari Kitab Ayub, struktur penulisan, sistematika penulisan, gaya penulisan kitab Ayub dan sikap Ayub dalam menghadapi penderitaan. Hal ini bertujuan supaya pembaca dapat benar-benar mengenal dan memahami jalan pikiran Kitab Ayub, dengan maksud untuk
(38)
mendasari usaha pemaknaan atas penderitaan yang terungkap dalam Kitab Ayub, yang akan dibahas pada bab selanjutnya.
Bab III merupakan usaha memahami penderitaan secara umum, mulai dari pengertian penderitaan, beberapa contoh penderitaan, dan cara mengatasinya. Selanjutnya penulis akan membahas tentang relevansi penderitaan Ayub bagi penderitaan manusia, umat Kristiani di zaman sekarang. Dalam bagian ini, penulis akan menguraikannya seperti: makna penderitaan manusia menurut iman Kristiani, makna penderitaan Ayub, dan relevansi penderitaan Ayub bagi penderitaan kita
Sebagai hasil dari usaha pemaknaan atas penderitaan itu, Pada Bab IV, penulis akan menunjukan aplikasinya dalam katekese pembebasan model Shared Christian Praxis (SCP) sebagai wujud praktis dari usaha menemukan makna dibalik penderitaan orang benar zaman sekarang. Sebelumnya penulis akan memaparkan panggilan dan pergulatan orang berimann dalam menghadapi penderitaan, kemudian dilanjutkan dengan pokok-pokok gagasan berkatekese bagi orang Kristiani yang menderita di Zaman sekarang.
Akhirnya Bab V merupakan penutup dari rangkaian penulisan skripsi ini, penulis akan mengungkapkan kembali inti pokok dari seluruh rangkaian pembahasan karya tulis ini, yang berisi kesimpulan dan saran yang dapat semakin meneguhkan iman pembaca. Terutama dalam memotivasi dan memberikan inspirasi kepada mereka, sehingga mampu menanggapi pengalaman penderitaan yang terjadi dalam hidupnya.
(39)
BAB II
BELAJAR DAN MENGENAL KITAB AYUB
Keistimewaan Kitab Ayub semakin jelas bila kita mendapat penjelasan lebih lanjut mengenai Kitab tersebut. Pada bab ini, penulis mengajak kita untuk belajar memahami Kitab Ayub seperti: identitas Kitab Ayub, struktur penulisan Kitab Ayub, genre Kitab Ayub, gambaran singkat kisah Ayub si penderita dan maksud penderitaan Ayub.
A. Identitas Kitab Ayub
Kita diharapkan dapat memahami identitas Kitab Ayub secara menyeluruh. Hal ini sebagai suatu usaha untuk memudahkan kita menemukan makna di balik penderitaan orang benar yang di kisahkan dalam kitab tersebut. Ini juga menjadi acuan kita dalam menanggapi pengalaman penderitaan yang terjadi dalam kehidupan umat kristiani di zaman sekarang.
1. Asal-Usul Kitab Ayub
Konon pada abad-abad yang silam, para sarjana yakin bahwa pernah ada sejenis cerita rakyat berjenis fabel berisi ajaran-ajaran moral yang bertujuan memperkuat perasaan religious masyarakat. Cerita ini lebih merupakan kisah “konon di suatu masa” tentang seorang tokoh yang menderita. Tokoh tersebut bernama Ayub yang memiliki pribadi yang baik dan begitu sempurna (Kushner, 1987: 46).
Sepanjang sejarah kehidupan di bumi, umat manusia tak lepas dari pergulatan dengan masalah kematian dan penderitaan. Pada hakikinya manusia
(40)
menyadari bahwa penderitaan adalah akibat dari adanya kejahatan ataupun dosa si penderita. Namun, yang menjadi persoalannya adalah mengapa masih ada orang yang menderita bukan karena dosanya? (Robini, 1998: 38).
Beranjak dari pertanyaan itu, maka menjadi penting bagi kita untuk membahas Kitab Ayub. Perlu diketahui bahwa Kitab Ayub merupakan hasil dari refleksi mengenai problem penderitaan, terutama penderitaan orang saleh yang takut akan Allah. Dalam pembahasan kita ini, kita akan menemukan komprehensif kitab tersebut, perihal pengalaman penderitaan orang benar yang hendak kita bahas dalam terang iman Kristiani. (Robini, 1998: 19).
Pada abad ke-6 sebelum masehi, pada zaman Nabi Yehezkiel Ayub dikenal sebagai tokoh yang amat saleh dan juga baik, dapat dilihat dalam Yeh 14 : 14,20 selain Nuh dan Daniel. Pada abad ke-5 dan ke-4 sebelum Masehi seorang penyair anonim yang berbakat dan juga memiliki kemampuan intelektual yang sangat baik, mencoba mengkritisi pandangan para ahli dan guru kebijaksanaan mengenai hubungan mutlak antara perbuatan manusia dan nasibnya (Weiden, 1995: 104-105).
Mempelajari Kitab Ayub sama halnya dengan menyingkap pengalaman manusia, terutama dalam peristiwa penderitaan. Sepertinya si pengarang Kitab Ayub ingin mencari jawaban atas penderitaan Ayub. Oleh sebab itu, tema penderitaan Ayub merupakan hal yang sangat dekat dengan manusia.
2. Pengarang Kitab Ayub
Heavenor menuliskan bahwa pengarang Kitab Ayub belum diketahui (1999: 67). Tampaknya pernyataan ini menjadi permulaan yang membuat kita pesimis untuk mengetahui identitas lengkap pengarang kitab tersebut. Namun kita harus
(41)
mengakui bahwa si pengarang adalah orang beriman yang mungkin memiliki pengalaman yang sama dengan Ayub (tokoh dalam tulisannya).
Kushner menuliskan bahwa pengaramg kitab Ayub adalah seorang pria yang hidup sekitar tahun 600-400 SM dan tidak ada satu tulisan sejarahpun yang mengetahui nama pria tersebut. Sejak saat itu, pria tanpa kejelasan nama atau identitas jelas ini telah menyuguhkan karya yang luar biasa bagi kehidupan umat manusia (Kushner, 1987 : 45).
Banyak ahli melihat bahwa pengarang Kitab Ayub bukanlah orang Yahudi. Hal ini dapat dilihat dari tokoh-tokoh yang berperan dalam keseluruhan kisah. Seluruh kisah dan tokoh-tokoh dalam cerita tidak terikat pada suatu budaya Yahudi semata-mata. Para ahli mengambil kesimpulan bahwa kitab ini bukan ditulis seorang Yahudi. Meskipun pernyataan di atas dapat diterima bahwa kitab tersebut banyak terdapat unsur non-Yahudi, namun kitab ini telah diterima secara umum ditulis oleh orang Yahudi dalam bahasa Ibrani (Robini, 1998: 28).
Pengarang kitab Ayub hanya kita kenal melalui karya unggul yang dihasilkannya. Ia pasti seorang Israel yang sering merenungkan tulisan para nabi dan ajaran para bijaksana. Mungkin sekali ia bertempat tinggal di Palestina. Tetapi dia pasti membuat perjalanan-perjalanan atau malahan tinggal di luar negeri, khususnya di negeri Mesir. Kita hanya dapat menerka-nerka di zaman mana pengarang hidup. Bagian-bagian prosa sangat serupa dengan ceritera-ceritera mengenai para bapa bangsa. Kesamaan itu menyebabkan orang di zaman dahulu yakin, bahwa kitab Ayub sama seperti kitab Kejadian ditulis oleh Musa. Tetapi dugaan itu paling-paling berlaku untuk rangka kitab Ayub saja. Kitab Ayub pasti dikarang sesudah zaman nabi Yeremia dan Yehezkiel. Sebab di dalamnya terdapat
(42)
persamaan ungkapan dan gagasan dengan nabi-nabi itu. Bahasa yang dipakai kitab sehabis masa pembuangan di Babel (Guinan, 2002: 403)
Kitab Ayub dipilih berdasarkan refleksi mengenai problem penderitaan, terlebih hal yang menyangkut penderitaan orang benar (Robini, 1998: 18). Pengarang Ayub merenungkan nasib orang benar yang menderita. Menurut pendapat tentang pembalasan di bumi yang beredar di kalangan umum, nasib semacam itu sangat absurd. Inilah yang pengarang refleksikan. Pengarang sepertinya mempunyai kepekaan yang sangat besar terhadap penderitaan kaum lemah miskin, tersingkir dan difabel yang ada di jamannya. Mungkin yang menjadi pertanyaannya saat itu, mengapa orang yang sudah susah hidupnya harus semakin menderita oleh penyakit dan akhirnya binasa, sedangkan orang congkak dengan bebasnya menikmati hidup berkelimpahan harta dan uang? Ternyata para cendekia dan orang yang dianggap cerdas berusaha memberikan kejelasan mengenai realitas ini, tidak membuat hati si pengarang merasa puas (Kushner, 1987 : 45).
Dikarenakan ketidakpuasannya tersebut si pengarang yang mempunyai kemampuan intelektual dan jiwa seni yang hebat ini akhirnya menulis sebuah sajak filosofis yang panjang sesuai dengan pergulatan hatinya sendiri mengenai persoalan mengapa Allah membiarkan hal-hal buruk menimpa orang-orang benar. Sajak yang reflektif ini muncul dalam Alkitab bernama Kitab Ayub (Kushner, 1987 : 45).
Pengarang yang hidup antara abad ke-6 dan ke-4 sebelum M., bermaksud untuk memperlihatkan kekeliruan kepercayaan tradisional, bahwa dalam dunia inilah segala kebaikan dan kejahataan sudah mendapat ganjaran dari Allah (Heuken, 2004: 166).
(43)
3. Waktu Penulisan
Sangat sulit menentukan kapan pastinya Kitab Ayub muncul. Beberapa ahli menempatkannya dalam konteks pembuangan di Babel, ada juga ahli yang mengaitkannya dengan peperangan dan kekacauan yang menimbulkan kehancuran Yehuda dan Yerusalem sekitar tahun 587 SM. Ada yang mengatakan bahwa kitab Ayub ditulis sekitar masa-masa Yesaya dan Yeremia hidup. Pada umumnya, buku ini diakui telah ditulis sekitar tahun 600-400 SM. Pendapat inilah yang sering dijadikan suatu acuan, tetapi kepastiannya tidak ada (Robini, 1998: 29).
B. Struktur Penulisan Kitab Ayub
Struktur menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti cara sesuatu disusun atau dibangun, atau berarti juga susunan atau bangunan yang dapat memberikan petunjuk bagi kita untuk lebih dalam mempelajari keberadaan sesuatu. Dalam hal ini penulis akan mengajak kita untuk melihat struktur kisah dalam Kitab Ayub. Jadi pertanyaannya adalah seperti apakah struktur Kitab Ayub?
Dapat dikatakan struktur kitab adalah kerangka dari seluruh rangkaian yang ada dalam kitab tersebut. Maka dengan melihat struktur kitab, setidaknya keutuhan isi dapat diketahui. Mengenai struktur penulisan Kitab Ayub, Weiden menuliskan bahwa prolog-epilog Ayub bukan suatu cerita rakyat saja, melainkan hasil karya seorang pengarang yang melalui skematisasi itu ingin memberikan kesan “luar biasa” kepada kisahnya. Ke-luar-biasa-an yang dimaksud adalah menunjukan bagaimana Allah berkarya dalam diri Ayub atau peristiwa hidup manusia terutama peristiwa penderitaan, dan ini diperlihatkan secara menyeluruh oleh Kitab Ayub (Weiden, 1995 : 109).
(44)
Secara garis besar, Kitab Ayub terbagi dalam tiga bagian utama. Bagian pertama yakni prolog (Ayb 1-2), bagian kedua adalah bagian dialog yang memaparkan pembicaraan antara Ayub dan teman-temannya, termasuk Ellihu. Dapat dikatakan ini merupakan bagian puisi yang didramakan (Ayb 3-42:7). Sedangkan bagian ketiga dari kitab ini adalah bagian epilog ( Ayb 42: 8-17) yang berbentuk prosa sama seperti pada prolog (Robini, 1998: 23). Penulis membuat gambarnya, sbb:
Secara lebih mendetail, untuk semakin memberi kejelasan pada pembaca, penulis memaparkan pemikiran Marvin H. Pope dalam buku yang disusun oleh Robini.M., dan H. J. Suhendra, di mana dia membagi Kitab Ayub dalam 5 bagian utama, berikut gambar dan uraiannya:
1. Prolog
Pada bagian prolog, tokoh Ayub diperkenalkan. Bisa jadi bagian ini adalah bagian yang paling diketahui banyak orang dibandingkan dengan bagian-bagian yang lain. Pada bagian prolog Ayub dikenal sebagai orang yang jujur, benar dan takut akan Allah, dan ia menjauhkan diri dari segala hal yang tidak baik (Ayb 1: 10).
Kitab Ayub mengisahkan seorang yang bernama Ayub. Ia berasal dari Uz. Ayub adalah seorang konglomerat pada zamannya, dia ayah dari tujuh anak
laki-Prolog Dialog Epilog
Kitab Ayub
Prolog 1-2
Dialog
3-31 38:1-42:6 Yahwe 42:7-17 Prolog Elihu
(45)
laki, dan tiga anak perempuan; angka-angka yang menggambarkan kesempurnaan (Atkinson, 1974: 19). Ia adalah sosok orang yang setia, taat, saleh, jujur, benar, takut akan Allah, sekaligus menjauh dari larangan Allah (Ayb 1: 1; 2: 3). Dia sangat terkenal paling kaya diantara semua orang di sebelah timur (Ayb 1: 3). Tiba-tiba ia dicobai iblis dengan sepengetahuan atau izin dari Allah (Ayb 1:12) (Weiden: 199: 72). Percobaan tersebut menerpa dirinya satu demi satu. Hartanya musnah tak berbekas, anak-anaknya diambil oleh Allah dari dirinya (Ayb 1: 15-19).
a. Allah di Awal Penderitaan Ayub
Karakter Ayub pada bagian prolog adalah gambaran Ayub sebagai orang saleh yang sabar dan bijaksana, cara hidup dan penghayatan imannya mendapat perhatian khusus dari dewan surgawi dan Allah juga memuji kesalehan Ayub (Ayb 1: 8). Ada tiga percobaan yang dialami oleh Ayub. Percobaan pertama: Iblis yang datang bersama-sama dengan dewan-dewan surgawi menantang iman Ayub di hadapan Allah (Ayb 1: 9), “Apakah dia menyesali perbuatan baik yang telah dia lakukan sebelumnya? Bagaimana motivasi Ayub menjadi hamba Allah? apakah ada motif ingin mendapatkan timbal balik dari Allah? dan bagaimana sikap Ayub dalam menanggapi penderitaan yang ditimpakan pada dirinya dan orang lain, bila menurutnya kenyataan tidak sesuai dengan paradigmanya? Apakah Ayub cukup sabar dengan penderitaan yang menimpa dirinya dan orang lain secara tidak adil?.
Percobaan kedua: atas sepengetahuan dan izin dari Allah, Iblis menimpakan penderitaan pada Ayub dengan tujuan untuk menguji kesetiaan Ayub (Ayb 1: 12). Kedua: Ayub yang telah kehilangan seluruh harta dan anak-anak yang dikasihinya, tetap menunjukan kesetiaannya kepada Allah (Ayb 1: 20). Percobaan ketiga: iblis mempengaruhi Allah supaya memberi izin untuk mencobai Ayub
(46)
kembali (Ayb 2:5), dan Allah pun meng-iya-kan. Namun demikian, Allah masih berbelaskasih pada Ayub, Ia tidak mengizinkan Iblis mengambil nyawa Ayub (Ayb 2:6).
Pada bagian ini kita diajak untuk melihat bagaimana sikap Ayub dalam menanggapi cobaan atas dirinya. Tiga bentuk cobaan di atas, sekaligus menjadi pertanyaan untuk mengantar kita untuk melihat lebih jelas bagaimana Ayub menghadapi penderitaan yang menimpanya.
Ayub telah membuat penilaian bahwa Allah memberikan sejahtera pada orang jahat dan menimpakan penderitaan pada orang yang benar seperti dirinya, yang berkeyakinan kuat tidak melakukan perbuatan yang sekiranya dapat membuat Allah murka, menghujat Allahpun Ayub tidak pernah. Ayub tidak pernah menyesali bahwa dia dulu adalah hamba Tuhan yang saleh dan berbelas kasih kepada sesama terutama kaum miskin, lemah, dan tersingkir yang hidup disekitarnya. Sehubungan dengan cobaan Ayub yang pertama, hal ini menunjukan keberhasilan Ayub mengatasinya dengan baik (Robini, 1998: 49).
Sama halnya dengan cobaan yang kedua, Ayub juga berhasil mengatasinya. Awalnya iblis beranggapan bahwa Ayub berbuat baik semata-mata hanya untuk mendapatkan ganjaran yang baik dari Allah. Setan meragukan Ayub adalah hamba Allah yang setia, karena menurutnya Ayub akan meninggalkan Allah dan mengutuk-Nya apabila Ayub tidak diberkati dan mendapatkan kelimpahan harta dan kebahagiaan. Dan hal itu diperjelaskan oleh doktrin ortodoks “siapa yang berbuat baik akan diberi ganjaran dari Tuhan”. Namun dalam kisah Ayub, dia tetaplah orang benar, jujur, takut akan Allah dan menjauhi larangan Allah. Ayub tetap menjadi anak Allah meskipun berbagai penderitaan seperti kehilangan
(47)
anaknya, harta musnah dan kesehatan memburuk, Ayub tidak pernah berpikir untuk meninggalkan Allah (Ayb 1: 21-22).
Dalam dialog, Ayub tidak pernah berkata seperti ini: “Baiklah sebab seseorang yang mengabdi kepada Tuhan tidak akan memperoleh apa-apa, maka aku akan mengutuk Allah. Sekaligus tidak bersedia menjadi hamba-Nya lagi.” Namun yang terjadi adalah sebaliknya, tetap berpegang teguh pada imannya akan Allah (Robini, 1998: 50).
b. Peran Iblis yang Tersembunyi
Penulis akan membagi penderitaan akibat iblis menjadi dua bagian. Pembagian ini lebih dikarenakan oleh serangan iblis terhadap diri Ayub; maksudnya karena Ayub diserang Iblis dua kali. Dari situ kita langsung dapat mengatakan bahwa ada dua jenis musibah yang terjadi dan akan diuraikan secara lebih jelas dalam pembahasan berikut:
1) Musibah yang Pertama
Musibah pertama adalah musibah yang menimpa Ayub pertama kali dikarenakan oleh serangan Iblis (Ayb 1: 13 - 19). Dalam musibah ini, Ayub mengalami peristiwa mengerikan yang menimpa hidupnya. Peristiwa-peristiwa itu adalah: serangan orang syeba yang merampas lembu, sapi, keledai-keledai dan membunuh penjaganya dengan mata pedang (Ayb 1: 14 - 15); api turun dari langit membakar habis kambing domba dan penjaga-penjaganya (Ayb 1: 16 ); serbuan orang-orang Kasdim yang membentuk tiga pasukan terhadap unta-unta dan merampas serta memukul penjaganya dengan mata pedang (Ayb 1: 17); dan tiupan angin ribut dari seberang padang gurun ke rumah tempat anak-anak Ayub berkumpul dalam pesta hingga rumah itu roboh menimpa mereka (Ayb 1: 18 - 19).
(48)
Bila kita perhatikan, peristiwa-peristiwa yang terjadi di atas, tidak secara langsung menimpa diri Ayub secara pribadi. Dalam serangan ini Ayub hanya mendengar berita dari para penjaga atau pembantunya saja. Dengan demikian penderitaan Ayub akibat serangan Iblis ini menimpa Ayub tidak secara langsung. Maksudnya, derita itu tidak terkena langsung pada diri Ayub namun tetap saja ia merasa sedih karena mendengar berita tersebut.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi di atas berlangsung secara berturut-turut. Tidak ada jeda waktu di antara peristiwa yang satu dan yang lain. Hal ini dinyatakan dengan ungkapan penjaga atau pembantunya. Seperti yang dituliskan di sana: “Sementara orang itu berbicara, datanglah orang lain dan berkata:…”, yang diulang tiga kali (Ayb 1: 16-18). Dengan demikian menjadi jelas bahwa peristiwa itu terjadi sangat singkat. Peristiwa ini menggambarkan bagaimana Ayub seakan-akan tidak sempat menarik nafas sebelum peristiwa baru didengarkannya.
Musibah pertama oleh serangan Iblis ini sangat dahsyat; dalam waktu yang singkat Iblis berhasil menghancurkan seluruh harta dan anak-anak yang dikasihinya. Mengenai hal ini, Weiden mengatakannya sebagai kemalangan yang tidak memberikan waktu untuk refleksi” (1995: 110). Dengan waktu singkat seperti itu, dapat dibayangkan bagaimana Ayub diam terpaku memandang kosong. Dia tidak menyangka bahwa peristiwa tragis tersebut menimpa keluarganya dengan waktu yang singkat tanpa jeda sedikitpun. Mungkin saja hal tersebut dapat dihubungkan dengan reaksi spontan Ayub yang mengoyak pakaiannya dan mencukur kepalanya, dst (Ayb. 1 : 20).
Dari seluruh peristiwa mengerikan karena serangan Iblis, Ayub mampu bertahan pada keyakinannya akan kuasa Allah. Hal ini terlihat dalam ungkapan berikut: “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang
(49)
pula aku akan kembali ke dalamnya. Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan” (Ayb 1: 21). Itu artinya Ayub tetap berpasrah diri terhadap Allah. Seperti yang dituliskan dalam Ayub 1: 22: “Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah berbuat yang kurang patut”. Penulis melihat bahwa dalam penderitaan tersebut Ayub tetap setia kepada Dia [Allah].
2) Musibah Kedua
Musibah yang kedua adalah musibah yang terjadi pada Ayub karena serangan kedua dari Iblis. Musibah yang kedua ini secara langsung menimpa diri Ayub yaitu serangan terhadap fisiknya. Di sana dituliskan bahwa setelah Iblis pergi dari hadapan Tuhan Allah, maka dia menimpakan barah yang busuk dari telapak kaki Ayub hingga batu kepalanya (Ayb 2: 7). Sejak saat itu, setelah digaruknya dengan sekeping beling, Ayub mengalami penderitaan secara fisik (Ayb. 2: 8).
Penderitaan fisik tersebut menyebabkan Ayub tidak dikenal lagi oleh para sahabatnya karena penderitaan fisik Ayub sangat mengerikan dan mengubah bentuk fisik dirinya (Ayb. 2: 12). Penderitaan fisik ini merupakan awal dari penderitaan yang secara langsung berhubungan dengan diri Ayub sendiri. Lengkap sudah penderitaan Ayub. Penderitaan tidak hanya menyerang harta dan keluarganya, namun penderitaan akibat serangan Iblis tersebut telah melekat pada dirinya. Sejak awal memang Ayub sasaran utama serangan dari Iblis, dan itu atas sepengetahuan dan izin Allah.
Akibat serangan-serangan iblis itu, Ayub mengalami kesedihan karena kehilangan seluruh harta dan anak-anaknya. Inilah penderitaan jiwa Ayub yang teramat dalam. Serangan iblis tidak hanya menyerang harta dan anak-anak yang
(50)
dikasihinya , tetapi juga melukai diri Ayub. Penderitaan semakin melekat pada diri Ayub.
2. Dialog
Bagian dialog merupakan bagian terbesar dari Kitab Ayub, dan bagian ini dapat terbagi menjadi tiga bagian lagi. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Wilcox. Perlu kita ketahui bahwa dialog yang dimaksud dalam kitab ini mempunyai pengertian yang berbeda dari yang kita pahami saat ini. Pada kitab ini, yang dimaksud “dialog” tidak terdapat proses saling menanggapi satu sama lain. Maksudnya, setelah seorang berbicara tidak ada lagi yang memberi tanggapan, namun setelah seseorang berbicara maka yang lainnya serta merta beralih pada pembicaraan lain. Sepaham dengan Wilcox, Robini (1998: 24) membagi bagian dialog menjadi tiga lingkaran.
a. Lingkaran Pertama
Lingkaran pertama terdiri dari Ayb 3-14. Pada bab ini ingin diperlihatkan bagaimana bagian puisi dari kitab ini memiliki karakteristik dan bentuk “Mazmur” yang berisi tentang pujian yang diiringi oleh keluh kesah. Dialog dimulai pada bab 3 yaitu pada saat Ayub mulai meratapi hari kelahirannya (Ayb 3: 1-16). Ayb 3: 20-26 Pada bagian puisi ini Ayub mulai meratapi nasibnya sehingga ia merasa bahwa Allah tidak adil kepadanya (Robini, 1998: 25).
Berikut dinamika argumentasi Ayub melawan sahabt-sahabatnya:
• Ayb 3 keluh kesah Ayub, dia menyesali hari kelahirannya.
• Ayb 4-5 Elifas memberanikan diri berbicara untuk menanggapi ratapan
(51)
supaya lebih berpengharapan (4:6). Bukankah orang tidak bersalah dan jujur dilindungi oleh Allah? (4:7). Elifas memberi penghiburan pada Ayub sesuai dengan keyakinannya, bahwa pada akhirnya orang yang tidak bersalah, tidak akan binasa. Maksud Elifas yakni kita akan menuai apa yang kita tabur (4: 7-9). Pada bagian ini, Elifas mengingatkan Ayub, ia hidup di dunia yang diatur secara moral, sehingga kesalehan akan mendapatkan upah yang baik “pemikiran tradisional: prinsip pembalasan di Bumi” (Atkinson, 2002: 53).
Pada bab 5, Elifas menyarankan Ayub supaya berhenti mengeluh karena penderitaan yang dihadapinya, dan ia harus mengaku bersalah kepada Allah yang transenden. Elifas tidak terbuka pada kemungkinan lain yang terjadi pada masalah Ayub. Elifas terlalu berpegang pada keyakinan tentang pemahaman tradisional mengenai prinsip pembalasan di bumi (Atkinson., 2002: 57).
• Ayb 6 Ayub kecewa pada sahabat-sahabatnya, menurut Ayub mereka
terlalu skeptis dalam menanggapi kasus penderitaan yang menimpa dirinya.
• Ayb 7 hidup itu berat. Pada bagian ini, Ayub meratapi nasibnya yang
malang, begitu berat dan mengerikan untuk disadari. Ratapan Ayub seolah mengarah langsung pada Allah, dan berharap Allah akan mendengarkan dan menjawab ratapan yang keluar dari mulutnya.
• Ayb 8 Bildad membela keadilan hukuman Allah. Bildad adalah model
(52)
pembicaraannya dengan nada kesal: “Berapa lamakah lagi engkau akan berbicara begitu, dan perkataan mulutmu seperti angin yang menderu?” (8:2). Bildad seperti mempunyai argumentasi bahwa anak-anak Ayub meninggal karena kesalahan mereka sendiri (8:4). Jika Elifas memuliakan ke-Mahakudusan Allah. Maka bildad lebih menekankan kekuatan dan keadilan Allah (lih Ayb 8:3), disitu Bildad seperti bertanya tetapi ingin menegaskan keyakinannya.
• Ayb 9 Jawab Ayub: tidak seorangpun dapat bertahan di hadapan Allah.
Pada bagian ini Ayub mau mengakui bahwa Allah mempunyai kuasa penuh atas dunia dan seisinya, termasuk penderitaan yang menimpa dirinya. Meski Ayub sangat menyadari bahwa dirinya tidak bersalah, dan menurutnya tidak ada alasan yang tepat jika Allah menimpakan penderitaan pada dirinya. Tetapi Ayub mengakui, betapa kuat Allah dibanding dirinya yang tidak berdaya karena tertimpa penderitaan, Ayub hanya bias pasrah kendati hatinya bergumul akan keadilan Allah (9: 19-20).
• Ayb 10 Apakah maksud Allah dengan penderitaan? Ayub menyatakan
bahwa dirinya tidak mengerti dengan maksud Allah membiarkan penderitaan terjadi pada dirinya. Padahal dia tidak pernah melakukan kesalahan yang membuat Allah murka. Tetapi mengapa penderitaan itu harus dialaminya? (Robini, 1998: 25, 43).
• Ayb 11 Anjuran Zofar supaya Ayub merendahkan diri di hadapan Allah.
(53)
hikmat Allah. Zofar sangat marah karena Ayub belum berhenti mengeluh, dan menurut Zofar Ayub terlalu banyak bicara (11: 2-3). Zofar mengandalkan hikmat Allah yang tidak terselami. Zofar yakin bahwa di dunia ini terdapat banyak hal yang tidak kita pahami. Namun Allah tetap adil. Allah menghukum yang jahat dan memberikan ganjaran bagi yang berbuat baik. Zofar menyarankan supaya Ayub bertobat dan mengaku salah. Bagaimana mungkin Ayub mengaku salah jika dirinya sungguh benar atau tidak melakukan kesalahan sedikitpun. Zofar memang mempunyai jalan pikir yang sama dengan kedua sahabat Ayub lainnya yakni Bildad dan Elifas. Mereka sama-sama berpegang pada penadangan tradisional (Atkinson, 2002: 74).
• Ayb 12 Ayub mengakui kekuasaan dan hikmat Allah, tetapi Ayub tidak
merasa bersalah. Ayub tetap bersikeras berpegang teguh pada keyakinan bahwa dirinya benar.
• Ayb 13 Ayub membela perkaranya di hadapan Allah. Ayub menuntut
keadilan Allah (13:15). Ayub jujur mengatakan bahwa dia benar (13:18)
• Ayb 14 setelah mati tidak ada harapan lagi
Pada bagian puisi Ayub menunjukkan karakter yang jauh berbeda dari sebelumnya yakni pada bagian prosa (Ayb 1-2). Pada bagian puisi, Ayub menjadi pemarah. Dalam kemarahan jiwanya yang mendalam, Ayub menyatakan kebenarannya. Bagian puisi dalam Kitab Ayub merupakan perjuangan hebat pengarang untuk menggali makna sesungguhnya dari hidup manusia, khususnya ketika dilanda penderitaan dan ketidakadilan, apalagi tanpa alasan yang jelas.
(54)
Dalam keadaan kecewa, Ayub memberontak kepada Allah. Ia mulai mempertanyakan keadilan Allah. Ia berseru: “Di mana keadilan Allah?” Diri Ayub merasa saleh dan benar, tidaklah pantas untuk menderita. Ayub berkeluh kesah dan mengutuk hari kelahirannya (Ayb 3).
Melihat kondisi Ayub yang menderita, Elifas teman Ayub berbicara seakan penderitaan yang diterima Ayub adalah karena perbuatan dosa (Ayb 4: 8). Teman-teman Ayub bersikap skeptis, mereka masih percaya pada pendapat tradisional tentang adanya pembalasan di bumi: “Allah akan memberi ganjaran pada orang yang saleh dengan kebahagiaan, melindungi orang yang lemah, dan hukuman kepada orang jahat” (Robini, 1998: 51). Ayub merasa dirinya orang benar, tiddak pantas menderita, dan ia tidak terima mendapat tuduhan telah melakukan kesalahan yang membuat Allah murka.
b. Lingkaran Kedua
Lingkaran kedua terdiri atas bab 15-21. Bagian ini memuat struktur yang sama dengan lingkaran pertama, yaitu Ayub berbicara dan kemudian ditanggapi oleh sahabat-sahabatnya (Robini: 1998: 25).
Ayb 15 Pendapat Elifas bahwa orang fasik akan binasa
Ayb 16-17 Ayub mengeluh tentang perlakuan Allah
Ayb 18 pendapat Bildad, bahwa orang fasik pasti akan binasa
Ayb 19 Keyakinan Ayub, bahwa Allah tetap akan memihak kepadanya
Ayb 20 Pendapat Zofar, bahwa sesudah kemujuran sebentar, orang fasik
akan binasa
(55)
c. Lingkaran Ketiga
Lingkaran ketiga dimulai dari Ayub 22-31. Pada lingkaran ketiga ini ada sedikit kejanggalan. Zofar tidak berbicara dan Ayub menginterupsi pembicaraan tanpa memberi kesempatan pada Zofar untuk menyampaikan argumentasinya. Pada lingkaran ini, bagian dialog yang seharusnya diisi oleh zofar dan diakhiri dengan sebuah himne tentang kebijaksanaan Allah justru dilihat oleh para ahli tafsir tidak sesuai, karena hal ini berhubungan dengan konteks makro dari kisah, apabila diletakkan pada mulut Ayub (Robini, 1998: 25).
Ayub berharap kedatangan sahabat-sahabatnya dapat memberi penghiburan bagi dirinya namun ternyata para sahabatnya justru membuatnya semakin menderita. Bagi mereka, penderitaan yang dialami Ayub merupakan akibat kesalahan yang diperbuatnya sendiri (Robini, 1998:25).
3. Ellihu Masuk Dalam Pembicaraan
Ellihu adalah seorang pemuda yang hadir selama dialog berlangsung, namun dia berdiam diri karena ingin menghormati orang-orang yang lebih tua. Dengan bahasa yang cukup angguh dan sombong Ia mencoba menanggapi beberapa argumen yang telah muncul dalam dialog anatara Ayub dan ketiga sahabatnya. Kedatangan Elihu adalah untuk memperkuat pernyataan sahabat-sahabat Ayub bahwa Allah sangat adil terhadap Ayub, dan ini sekaligus ingin mempertahankan pendapat tradisional mengenai derita sebagai hukuman (Weiden, 1995: 103).
Sangat disadari adanya kejanggalan yang ditemukan pada bagian ini. Pada akhir pembicaraan kita tidak menemukan bagaimana dan dari mana Elihu berasal (Robini, 199: 26). Dengan sengsara Ia menyelamatkan orang sengsara, dengan penindasan Ia membuka telinga mereka (Ayb 36: 15).
(56)
4. Ayub Ingin Allah Bicara Dan Jawaban Dari Allah
Pada Ayb 38, harapan Ayub supaya Allah mau berbicara dengannya akan dikabulkan. Namun, Allah tidak mempertanggungjawabkan nasib Ayub. tetapi Allah hanya memberikan kesempatan kepada Ayub untuk menemukan kesadaran baru dan amat penting: manusia dalam kekecilan dan keterbatasannya tidak bisa menilai, apalagi menghakimi Allah dan tindakannya (Weiden, 1995: 103).
a. Ayub ingin Allah Bicara Padanya
Ayub menolak untuk menyerah kepada ketidakadilan. Artinya dia sangat menuntut keadilan dari Allah. Karena selama ini dia menginterprestasikan bahwa Allah akan membalas kebaikan seseorang dan memberikan hukuman kepada orang jahat.
Teman-teman Ayub memiliki keyakinan bahwa tidak ada orang yang 100% benar dihadapan Allah, sedangkan Ayub yakin bahwa dirinya secara keseluruhan adalah benar dihadapan Allah. Teman-teman Ayub terlalu skeptic dalam menanggapi keyakinan Ayub. Mereka sudah terlalu yakin pada pandangan tradisonal, bahwa penderitaan adalah akibat dari dosa. Bagi mereka, orang yang menderita adalah karena kesalahan mereka sendiri. Namun Ayub tetap bersikeras mengatakan bahwa dirinya tidak pantas menderita karena dia tidak pernah melakukan perbuatan yang tidak dikehendaki Allah (Robini, 1998: 19).
Keyakinan Ayub mengenai kesalehannya mendorong dia untuk berusaha supaya ia dapat berbicara dengan Allah “yang tidak memberi keadilan” kepadadanya. Ayub memiliki keyakinan bahwa dalam suatu pembicaraan yang jujur dan terbuka perselisihannya dengan Allah bias diselesaikan, sama seperti suatu perkara antarmanusia seringkali bias diselesaikan secara damai. Namun,
(1)
a. Setelah selesai merenungkan niat-niat, marilah kita memandang salib yang ada di tengah-tengah kita yang menunjukan sikap Yesus sendiri: mau membagi hidup-nya bagi manusia. Yesus telah memberikan bukti nyata sekaligus teladan bagaimana kita mengikuti Allah. lilin bernyala sebagai symbol yang menerangi langkah hidup kita, dan membimbing kita dengan terang kasih-Nya. Berikut, kita dipersilahkan untuk saling mengungkapkan doa pribadi secara spontan, dan juga dapat mendoakan satu sama lain
b. Doa umat secara spontan c. Doa Penutup :
Allah Bapa yang Mahabaik, kami bersyukur atas rahmat penyertaan-Mu dari awal hingga akhir pertemuaan ini. Terimakasih Bapa, karena kami dapat mengungkapkan pengalaman pribadi kami secara terbuka dihadapan-Mu, dan bahkan kami boleh merenungkan Sabda-Mu melalui Kitab Ayub. Melalui pertemuan ini, kami memperoleh peneguhan, kekuatan dan keyakinan dalam menjalankan hidup kami baik suka maupun duka. Kami bersyukur boleh menemukan makna atas pengalaman penderitaan hidupku yang berharga, kamipun semakin dituntut untuk dapat semakin setia kepada-Mu tanpa batas. Melalui Yesus Kristus, kami Engkau tebus, dan dengan penderitaan-Nya yang mulia, kami Engkau selamatkan dari dosa.akhirnya ya Bapa, kami mohon, semoga apa yang kami harapkan dan cita-citakan demi kemuliaan nama-Mu dapat terlaksana dengan baik sesuai kehendak-Mu. Demi Kristus Tuhan dan pengantara kami. Amin
d. Doa ini diakhiri dan dipersatujan dalam doa yang diajarkan oleh Yesus Kristus “Doa Bapa Kami”
(2)
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Untuk mengakhiri penulisan skripsi ini, penulis akan merumuskan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Penderitaan merupakan realitas yang paling dekat dengan manusia, manusia tidak dapat mengelak dari pengalaman tersebut. Sebagai makhluk yang reflektif, dengan adanya pengalaman penderitaan yang terjadi sepanjang sejarah hidup manusia, akhirnya manusiapun terdorong untuk mencari cara menyikapi hal tersebut seperti memaknainya.
Berkaitan dengan Kitab Ayub: Kitab Ayub merupakan kitab paling besar berbicara tentang penderitaan manusia. Dalam kitab ini, dikisahkan seorang tokoh bernama Ayub. Ayub adalah orang yang saleh dan takut akan Allah, tetapi tiba-tiba saja Ayub dicobai iblis atas persetujuan Allah. Mengapa? Karena Iblis meragukan ketulusan Ayub taat kepada Allah. Penderitaan Ayub menjadi topic yang menarik dibahas karena menurut pandangan tradisional penderitaan adalah akibat dari kesalahan manusia, sedangkan dalam Kitab Ayub, penderitaan justru dialami orang yang saleh.
Berdasarkan hasil belajar dari Kitab Ayub, secara khusus dalam rangka memaknai penderitaan, penulis menyimpulkan bahwa penderitaan yang terjadi pada diri Ayub bukanlah karena dosa, ataupun hukuman atas dosa. Cara pandang ketiga sahabat Ayub berhubungan dengan penderitaan yang dialaminya adalah keliru. Mereka berpegang pada keyakinan mengenai pendapat tradisonal tentang pembalasan di bumi. Inilah permasalahan yang ada pada Kitab Ayub.
(3)
Melalui penderitaan, Allah hendak mendidik manusia supaya semakin dewasa dalam iman, sehingga mempunyai kepekaan pada permasalahan dan pengalaman penderitaan yang terjadi pada sesama, serta ikut ambil bagian dalam menghadapi dan mengatasi penderitaan tersebut.
Pada akhir cerita, kehidupan Ayub dipulihkan kembali oleh Allah. Allah melipatgandakan segala kepunyaan Ayub sebelum ia dicobai iblis. Ini semua adalah buah dari ketaatan Ayub akan Allah, meski menderita, Ayub tetap menyimpan harapan pada Allah serta setia dan takut akan Allah, walaupun sebelumnya Ayub sempat mengeluh pada keadilan Allah, dan tidak mempunyai pengetahuan yang cukup tentang misteri rencana Allah.
Berkaitan dengan usaha untuk menemukan makna dibalik penderitaan manusia, Katekese pembebasan dengan model Shared Christian Praxis (SCP) menjadi salah satu alternative yang dapat digunakan untuk mengaktualisasikan usaha dalam menemukan makna-makna penderitaan, sehingga umat kristiani dapat bersikap bijaksana dan lebih baik lagi dalam menyikapi penderitaannya. Dengan begitu, penderitaan tidak dilihat sebagai peristiwa yang sangat menakutkan. Singkatnya, katekese pembebasan dapat menjadi tempat bagi makna-makna penderitaan diungkapkan dan disadari umat beriman demi tumbuhnya harapa baru atas pembebasan diri dari belenggu penderitaan.
(4)
B. Saran
Berikut ini adalah saran-saran yang dapat diungkapkan kepada siapa saja yang membaca atau menggunakan skripsi ini, juga yang hendak melanjutkan usaha memaknai penderitaan dan katekese pembebasan model Shared Christian Praxis (SCP).
Kitab Ayub memberi gambaran kepada kita bahwa tidak semua penderitaan diakibatkan oleh dosa, misalnya saja Ayub. Dia adalah orang beriman tetapi mengalami penderitaan. Penderitaan memang sesuatu yang misteri, tidak dapat dipahami dengan nalar kita, karena rencana Allah penuh misteri dan selalu indah pada waktunya. Oleh sebab itu, kita disarankan untuk tidak melihat dan menilai penderitaan yang menimpa orang lain sebagai akibat dari dosanya.
Dalam usaha mencari dan menemukan makna hidup ini, kita tidak boleh berhenti, karena hidup ini terus berjalan dan berkembang, maka sebagai makhluk reflektif dan juga beriman kita sebaiknya kita berusaha untuk memaknai dan menyikapi pengalaman-pengalaman hidup secara terus-menerus dan lebih tepat lagi.
Katekese pembebasan dengan model Shared Christian Praxis (SCP) dapat menjadi salah satu alternative bagi para katekis. Untuk itu, dalam rangka menerapkan ataupun mengembangkan katekese ini, terkebih dahulu katekis harus memahami duduk permasalahan dari adanya penderitaan. Hal ini sangat berguna untuk membantu umat yang sedang mengalami penderitaan, supaya dapat menemukan harapan baru untuk membebaskan diri dari belenggu penderitaan, serta semakin membantu katekis untuk semakin bertindak bijaksana. Singkatnya, kepekaan dan kesadaran akan realitas sangat membantu dalam mengembangkan katekese pembebasan model Shared Christian Praxis (SCP).
(5)
DAFTAR PUSTAKA
Adisusanto, FX.,. (2000). Katekese Sebagai Pelayan Sabda (Seri Puskat No. 371). Yogyakarta: Lembaga Pengembangan Kateketik Puskat
Alkitab. (1997). Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia
Atkinson, David. (1974). The Message Of Job. Penerjemah: Gwyneth Jones. Edisi 1.-1996; 2.-2002 (No. D 720/9, Seri Pemahaman dan Penerapan Amanat Alkitab Masa Kini (PPAAMK) “Ayub” Dalam Kasih Allah Rahasia Penderitaan, Tujuan, dan kekuatannya ditemukan). ISBN: 979-8976-00-2. Jakarta: yayasan Komunikasi Bina Kasih, Anggota IKAPI DKI Jakarta. Banawiratma, J.B., (1987). Kemiskinan dan Pembebasa. Yogyakarta: Kanisius. Bria, Emanuel. (2007). Jika Ada Tuhan Mengapa Ada Kejahatan? (Percikan
Filsafat Whitehead). Yogyakarta: Kanisius.
Carretto, Carlo. (1989). Mengapa Ya Tuhan: Makna Derita Yang Mendalam. (diterjemahkan oleh A. Soenarja, SJ). Yogyakarta: Kanisius.
Cookz, Bernard. (1972). Iman dan Katekis (Seri Puskat No. 110). Yogyakarta: Lembaga Pengembangan Kateketik Puskat
Dokumen Konsili Vatikan II. (1995). (R. Hardawiryana, SJ., penerjemah). Jakarta: Obor
Dreher, Bruno. (1973). Pembebasan Manusia. diterjemahkan dan disesuaikan oleh Alex Beding. Ende: Nusa Indah
Egan, Eilen & Egan, Kathleen. (2001). Suffering Into Joy: Mengubah Penderitaan Menjadi Kegembiraan (A. Rahartati Bambang Haryo, Penerjemah). Batam: Santo Press.
Fore, Wiliam F. (2000). Para Pembuat Mitos: Injil, Kebudayaan dan Media. (Wenas Kalngit, Penerjemah). Jakarta: Gunung Mulia.
Groenen, C., OFM. (1979). Panggilan Kristen. Yogyakarta: Kanisius.
Groome, Thomas H. (1997). Shared Christian Praxis: Suatu Model Berkatekese. (F.X. Heryatno Wono Wulung, Penyadur). Yogyakarta: Lembaga Pengembangan Kateketik Puskat. (Buku asli diterbitkan th 1991).
Guinan, Michael D. “Ayub”. Dalam Dianne Bergant dan Robert J. Karris, Tafsir Kitab Perjanjian Lama: Ayub (Lembaga Biblika Indonesia). Yogyakarta: Kanisius.
Hardiwikarta, J., Pr. (1985). Instruksi mengenai segi-segi tertentu “Teologi Pembebasan”. Jakarta: Obor
Haryanto. (2011). “Memaknai Pengalaman Penderitaan”. (Dalam Dahsyatnya Merapi Tak Sedahsyat Cinta-Mu (hal. 334). Yogyakarta: Seminari Tinggi St. Paulus.
Nouwen, Henry J.M. (1998). Mencari Makna Kehidupan. Yogyakarta: Kanisius. Heryatno Wono Wulung, FX., SJ. (1997). Shared Christian Praxis: Suatu Model
Berkatekese (Seri PuskatcNo. 356). (saduran bebas dari Thomas H. Groome, Sharing Faith: A Comprehensive Approach to Religious Education and Pastoral Ministry, New York: Harper Collins, 1990, hal. 133-297). Yogyakarta: Lembaga Pengembangan Kateketik Puskat.
Huber, Th., SJ,. (1979). Arah Katekese Di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius, Ende: Nusa Indah
. (1981). “Pertemuan Kateketik Antar Keuskupan se- II: 26 Juni-5 Juli 1980”. Dalam Katekese Umat. Indonesia. Yogyakarta: Puskat
(6)
Keating, Thomas. (1999). Krisis Iman Krisis Kasih. Yogyakarta: Kanisius.
Kleden, Budi. (2006). Membongkar Derita; Teodice: Kegelisahan Filsafat dan Teologi. Cet. 1. Maumere: Seminari Tinggi Ledalero.
Krispurwana Cahyadi, T. SJ,. (2011). Yohanes Paulus II tentang Keadilan dan Perdamaian. Jakarta: Fidei Press
Kushner, Harold. (1987). Derita Kutuk Atau Rahmat. Yogyakarta: Kanisius. . (1988). Ketika Penderitaan Melanda Hidup Orang-orang Baik. Judul asli
“When Bad Things Happen To Good People”, (diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Tim Editor Mitra Utama, copyright 1981, Cetakan I 1988). Jakarta: Mitra Utama.
KWI. (1996). Iman Katolik. Yogyakarta: Kanisius
Magnis Suseno. (1987). Keadilan dan Analisis Sosial: Segi-Segi Etis. Dalam Banawiratma (Ed.). Kemiskinan dan Pembebasan (hal. 37-38). Yogyakarta: Kanisius.
Mardi Prasetya. (1992). Psikologi Hidup Rohani. Yogyakarta: Kanisius. Michael Polanyi. (2011). Kajian Tentang Manusia. Yogyakarta: Kanisius.
Robini M, Johanes dan H. J. Suhendra, (2002). Penderitaan dan Problem Ketuhanan: Suatu Telaah Filosofis Kitab Ayub. Yogyakarta: Kanisius. Surip Stanislaus. (2008). Tragedi Kemanusiaan: Kejatuhan, Peradaban Jahat, dan
Penderitaan Manusia. Yogyakarta: Kanisius.
Telaumbanua, Marianus. (1999). Ilmu Kateketik: Hakekat, Metode dan Peran Katekese Gerejawi. Jakarta: Obor.
Timotheus, M. ed. (1970). Penderitaan Tapa dan Puasa. Yogyakarta: Kanisius. Van der Horst, Step. (1973). Teologi dan Katekese. Seri Puskat No. 21.
Yogyakarta: Puskat
Van Der Weiden, Wim. (1995). Seni Hidup: “Sastra Kebijaksanaan Perjanjian Lama”. Yogyakarta: Kanisius.
. (2011). Setia Kendati Lemah. Yogyakarta : Kanisius.
Wahono Nitiprawiro. (1987). Teologi Pembebasan “Sejarah, Metode, Praksis dan Isinya”. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Wibowo Ardhi, FX. (1993). Arti Gereja. Yogyakarta: Kanisius.
Yewangoe, A.A. (1993). Thelogia Crucis di Asia (Stephen Sulleman, Penerjemah). Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Yohanes Paulus II, Paus. (1992). Catechesi Tradebdae (Penyelenggaraan Katekese): Anjuran Apostolik Sri Paus Yohanes Paulus II Kepada Para Uskup, Klerus dan Segenap Umat Beriman tentang Katekese Masa Kini (16 Oktober 1979). (Seri Dokumen Gerejawi No. 28). Diterjemahkan oleh Robert Hardawiryana SJ. Jakarta: Departemen Dokumen dan Penerangan KWI.
. (1993). Salvifici Doloris (Penderitaan yang Menyelamatkan). Seri Dokemen Gerejawi No. 29. Surat Apostolik Paus Johanes Paulus II. (J. Hadiwikarta, Pr., Penerjemah). Jakarta: Departemen Dokumen dan Penerangan KWI