PEMANFAATAN KULIT BUAH KOPI FERMENTASI TERHADAP PERFORMANS DAN KUALITAS KARKAS AYAM BURAS
PEMANFAATAN KULIT BUAH KOPI
FERMENTASI TERHADAP PERFORMANS
DAN KUALITAS KARKAS AYAM BURAS
Pusat Kajian Peternakan, Perikanan,
Sumberdaya Pesisir dan Laut
Fakultas Peternakan
UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN
MEDAN
(2)
PEMANFAATAN KULIT BUAH KOPI FERMENTASI
TERHADAP PERFORMANS DAN KUALITAS
KARKAS AYAM BURAS
Oleh
Henri Hutabarat
Cetakan pertama, Agustus 2007
Hak Cipta © 2007
Pusat Kajian Peternakan, Perikanan, Sumberdaya Pesisir
dan Laut
Fakultas Peternakan Universitas HKBP Nommensen
Jalan Sutomo No 4 A Medan
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang. Tidak diperkenankan
memperbanyak penerbitan ini dalam bentuk cetak, stensil, offset,
fotocopi, mikrofis atau bentuk lain tanpa izin tertulis dari penerbit
Hutabarat, Henri
Pemanfaatan Kulit Buah Kopi Fermentasi Terhadap Performans Dan Kualitas Karkas Ayam Buras : Pusat Kajian Peternakan, Perikanan, Sumberdaya Pesisir dan Laut Fakultas Peternakan Universitas HKBP Nommensen, 2012.
(3)
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI iv
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR TABEL viii
BAB I PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1 1.2. Tujuan Studi 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 1.1. Identifikasi ayam buras 5 1.2. Konsumsi ransum 6 1.3. Pertumbuhan dan perkembangan ayam buras 7 1.4. Pertambahan bobot badan 10 1.5. Konversi ransum 12 1.6. Karkas dan daging ayam buras 13 1.7. Kualitas karkas dan daging 16 1.8. Limbah buah kopi fermentasi 18 BAB III : BAHAN DAN METODE 23 3.1. Lokasi penelitian 23 3.2. Bahan dan Alat 23 3.2.1 Ternak 23
3.2.2. Ransum 23
3.2.3. Alat 23
3.3. Metode Penelitian 24
3.3.1. Rancangan percobaan 24
(4)
3.3.2.1. Persiapan 26
3.3.2.2. Penyembelihan 26
3.3.2.3. Scalding 26
3.3.2.4. Defeathering 26
3.3.2.5. Evisceration 26
3.4. Parameter yang diukur 27
3.5. Analisa data 30
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 32
4.1. Konsumsi ransum 32
4.2. Pertambahan bobot badan 34
4.3. Konversi ransum 36
4.4. Kualitas karkas 38
4.4.1. Berat hidup 40
4.4.2. Berat karkas 41
4.4.3. Persentase karkas 42
4.4.4. Berat potongan primal karkas 43
4.4.4.1. Leg 43
4.4.4.2. Drumstick 44
4.4.4.3. Paha gending 45
4.4.4.4. Berat dada 46
4.4.4.5. Berat punggung 47
4.4.4.6. Berat sayap 48
(5)
4.4.4.8. pH daging 50
4.4.4.9. Warna daging 51
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 52
5.1. Kesimpulan 52
5.2. Saran 53
DAFTAR PUSTAKA 54
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Jumlah produksi kopi tahun 2010 di daerah Sumatera Utara 20Tabel 2. Komposisi zat gizi buah kopi sebelum dan setelah fermentasi 22
Tabel 3. Kandungan nutrisi bahan makanan penelitian 24 Tabel 4. Susunan dan kandungan zat-zat makanan selama penelitian 25
(6)
Tabel 5. Skala Hedonik warna daging ayam 29 Tabel 6. Rataan konsumsi ransum ayam buras selama penelitian 32 Tabel 7. Rataan pertambahan bobot badan ayam buras selama
penelitian 34
Tabel 8. Rataan konversi ransum ayam buras selama penelitian 36 Tabel 9. Pengaruh kulit buah kopi fermentasi dengan Aspergilus
Niger terhadap berat hidup, bera t karkas, persentase
karkas, berat potongan primal karkas, persentase lemak
abdominal, pH daging dan warna daging 39
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Bagian karkas ayam 15
(7)
KATA PENGANTAR
Kulit buah kopi merupakan limbah tanaman perkebunan yang produk utamanya biji kopi belum banyak dimanfaatkan secara optimal sebagai bahan pakan ransum unggas. Untuk meningkatkan kualitas dari kulit kopi tersebut dapat dilakukan dengan proses fermentasi menggunakan Aspergilus niger. Melalui fermentasi dapat memperbaiki kandungan nutrisi dan menurunkan kandungan serat kasar dan zat-zat anti nutrisi yang terkandung didalamnya.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Lembaga Penelitian Universitas HKBP Nommensen atas bantuan yang telah diberikan
(8)
ampai selesainya tulisan ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dra. Antetti Tampubolon, MSi., Apt, Naomi dan Paulus selaku istri dan anak-anak saya yang turut membantu hingga selesai penyusunan buku ini.
Buku ini tidak terlepas dari kekurangannya, untuk itu penulis masih mengharapkan adanya saran-saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan tulisan ini.
Medan, Agustus 2012
Henri Hutabarat
1.1. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut :
1. Berapa besar manfaat fermentasi kulit buah kopi terhadap kualitas karkas yang meliputi bobot potong, bobot karkas, persentase karkas, bobot potongan primal karkas, persentase lemak abdominal, pH dan warna daging.
2. Pada pemberian level berapa fermentasi kulit buah kopi yang memberikan manfaat terbaik terhadap bobot potong, bobot karkas, persentase karkas, bobot potongan primal karkas, persentase lemak abdominal, pH dan warna daging.
1.2. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui seberapa besar manfaat terhadap kualitas karkas yang meliputi, bobot potong, bobot karkas, bobot potongan karkas, persentase lemak abdominal, pH dan warna daging.
(9)
2. Untuk mengetahui pada pemberian level berapa fermentasi kulit buah kopi yang memberikan manfaat terbaik terhadap bobot potong, bobot karkas, bobot potongan karkas, persentase lemak abdominal, pH dan warna daging.
1.3. Kegunaan Penelitian
Sebagai sumber ilmu pengetahuan dalam penyusunan ransum tentang manfaat fermentasi limbah kulit buah kopi yang mempengaruhi kualitas karkas.
1.4. Kerangka Pemikiran
Pertumbuhan adalah Pertambahan jumlah sel dan penambahan ukurannya. Pada awalnya pertumbuhan unggas lambat dan diikuti dengan satu priode pertumbuhan yang cepat dan akhirnya menjadi lambat(Anggorodi, 1985), dan pada masa pertumbahan ayam harus memperoleh makanan yang banyak mengandung protein, zat ini berfungsi sebagai pembangun, pengganti sel yang rusak dan berguna untuk pembentukan telur.(Wahyu, 2005)
Dari beberapa faktor produksi, pakan merupakan salah satu penyumbang biaya operasional terbesar. Oleh karena itu untuk meminimalkannya dilakukan dengan mencari bahan pakan yang lebih murah dan berkualitas berasal dari hasil ikutan pertanian. Salah satu contoh hasil ikutan pertanian tersebut ialah kulit buah kopi, karena dapat diperoleh dengan mudah dan dengan biaya yang murah dipedesaan yang memiliki kebun kopi, dimana berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Utara (Sumatera Utara Dalam Angka 2011) bahwa produksi kopi sebesar 55376,40 ton dengan produksi kulit buah kopi mencapai 35994,66 ton. Hal ini merupakan suatu peluang untuk memanfaatkan kopi sebagai bahan pakan ternak unggas. Namun untuk meningkatkan kualitas dari bahan pakan yang berasal dari kulit buah kopi.
(10)
Fermentasi adalah suatu proses bioteknologi dengan memanfaatkan bakteri untuk mengawetkan pakan dan tidak mengurangi kandungan zat nutrient pakan dan bahkan dapat meningkatkan kualitas dan daya tahan pakan itu sendiri.(Soeharsono et al., 2010)
Menurut Pujaningsih (2005) bahwa untuk meningkatkan kualitas bahan pakan dilakukan proses fermentasi terlebih dahulu, karena dengan melakukan fermentasi akan menghasilkan suatu produk (bahan pakan) yang mempunyai kandungan nutrisi, tekstur,
biological avialability yang lebih baik dan juga menurunkan zat anti nutrisinya. Hal tersebut juga diterangkan Prayitno (2001) bahwa dari hasil fermentasi buah kulit kopi
dengan Aspergilus niger kandungan anti nutrisi yang ada di kulit buah kopi (polifenol,
tannin dan kafein) dapat diturunkan, namun tingkat penurunannya belum dijelaskan. Sehubungan semakin baik kandungan nutrisi dan menurunnya zat anti nutrisi kulit kopi yang difermentasi tersebut maka akan meningkatkan kertersediaan nutrisi dan dapat meningkatkan pertambahan bobot badannya. Pertambahan bobot badan ini disebabkan bertambahnya volume tubuh ayam buras tersebut yang merupakan pengaruh dari kuantitas dan kualitas karkas yang bertumbuh dan berkembang. Dengan adanya pengaruh tersebut sehingga untuk mengetahui seberapa besar kuantitas dan kualitas karkas yang buras tersebut, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
1.5. Hipotesa
Pemanfaatan kulit buah kopi fermentasi mempengaruhi konsumsi ransum, Pertumbuhan berat badan, dan kualitas karkas ayam buras.
1.6. Defenisi Operasional
1. Ransum adalah campuran dari beberapa bahan pakan yang diberikan pada ternak dalam jangka waktu 24 jam.
2. Konsumsi Ransum harian adalah Hasil selisih antara jumlah pakan yang diberikan dengan sisa pakan dalam satu hari.
(11)
3. Pertambahan berat badan harian adalah selisih antara bobot badan akhir dengan berat badan awal tertimbang dibagi dengan waktu lama pengamatan.
4. Konversi ransum adalah banyaknya ransum yang dikonsumsi dibagi dengan pertambahan bobot badan yang diperoleh.
5. Kulit buah kopi adalah kulit/hasil ikutan yang diperoleh dari pengupasan buah kopi segar atau baru panen.
6. Kulit buah kopi fermentasi adalah kulit buah kopi yang telah difermentasikan
dengan jamur Aspergilus niger.
7. Bobot potong adalah bobot ayam buras yang diperoleh sebelum dipotong setelah ayam buras dipuasakan lebih dari 3 jam.
8. Karkas adalah Berat tubuh dari ternak potong setelah pemotongan dengan mengeluarkan kepala, darah serta organ-organ internal, dan serta kulit. Untuk ayam, paru-paru dan ginjal termasuk didalamnya.
9. Bobot karkas adalah bobot yang diperoleh dengan menimbang karkas ayam buras. 10. Persentase karkas dihitung dengan cara membagi bobot karkas dengan bobot
potong ayam buras yang bersangkutan kemudiaan dikalikan 100%
11. Kualitas karkas adalah nilai karkas yang dihasilkan oleh ternak relatif terhadap suatu kondisi pemasaran. Faktor yang menentukan nilai karkas meliputi berat karkas, jumlah daging yang dihasilkan dan kualitas daging dari karkas yang bersangkutan.
12. Daging adalah semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahannya yang sesuai untuk dimakan dan tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya.
13. Bobot potongan primal karkas adalah bobot yang didapat dengan menimbang bagian-bagian potongan primal karkas ayam buras, yaitu (a) Kaki (leg), (b) paha (drumstick), (c) paha’gending’ (thigh), (d)Dada dengan rusuk, (e) Punggung dan (f) sayap.
14. Persentase lemak abdominal diperoleh dari perbandingan antara bobot lemak abdominal dengan bobot potong kemudian dialikan 100 persen.
(12)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Identifikasi Ayam Buras
Ayam peliharaan yang ada pada dewasa ini (Gallus domesticus) Merupakan keturunan ayam hutan. Manusia telah memelihara ayam sejak 5000 tahun yang lalu. Dengan adanya identifikasi domestikasi yang telah berlangsung cukup lama, telah banyak penemuan-penemuan mutakhir yang mengakibatkan jenis-jenis ayam banyak mengalami perubahan.
Menurut Suprijatna et al.,(2005) ayam buras adalah ayam lokal atau juga disebut
ayam bukan ras yang berkembang di beberapa daerah dengan memiliki karakteristik yang relatif homogen, baik tubuh maupun warna bulu. Jika dilihat berdasarkan klasifikasi taksonimi zoology ayam buras, sama dengan ayam ras yaitu :
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Aves
Sub kelas : Neornithes
Ordo : Galliformes
Genus : Galus
Spesies : Gallus domesticus
Ayam buras dari sudut berkembangnya, merupakan hasil produksi dan seleksi alam lingkungan. Oleh sebab itu interaksi antara ayam buras dengan alam lingkungan, sudah ada keterpaduan yang sangat dominan dan tidak dapat terpisahkan.
Ayam buras merupakan ayam local yang belum mengalami perubahan genetis. Ayam ini memiliki keunggulan yang diantaranya adalah daya tahan tubuhnya dan adaptasi terhadap lingkungan relatif tinggi dan baik, daging dan telurnya memiliki rasa khas yaitu gurih dan disukai oleh masyarakat. Selain itu ayam buras memiliki keistimewaan lainnya
(13)
yaitu tahan terhadap pengolahan dan lingkungan yang buruk, tidak peka terhadap kadar amoniak tinggi, dapat diberi pakan yang berkualitas jelek, modal tidak besar, dan tidak mudah stress bila memperoleh perlakuan kasar. (Murtidjo, 1992)
Berdasarkan hal tersebut pengembangan ayam buras ini memiliki peluang yang menjanjikan, baik dalam usaha ayam potong, penghasil telur, dan ayam bibit dan bahkan penyedia pakan untuk ayam buras.
2.2. Konsumsi Ransum
Ransum merupakan kumpulan bahan makanan yang layak dimakan oleh ayam dan telah disusun mengikuti aturan tertentu yang meliputi nilai kebutuhan gizi bagi ayam dan nilai kandungan gizi dari bahan makanan yang digunakan (Rasyaf, 1999).
Pakan yang dikonsumsi sebagian dicerna dan diserap tubuh. Sebagian yang tidak dicerna diekskresikan dalam bentuk feses. Zat-zat makanan (nutrien) dari pakan yang dicerna digunakan untuk sejumlah proses di dalam tubuh. Penggunaannya secara pasti bervariasi, tergantung spesies, umur, dan produktivitas unggas. Sebagian besar unggas menggunakan zat-zat makanan yang diserap untuk fungsi esensial, seperti metabolisme tubuh, memelihara panas tubuh, serta mengganti dan memperbarui sel-sel tubuh dan jaringan. Penggunaan pakan untuk pertumbuhan, penggemukan, atau produksi telur dikenal sebagai kebutuhan produksi (Suprijatna, 2005).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi konsumsi pakan antara lain besar dan berat badan, kondisi fisiologis ternak serta gerak laju dari makanan tersebut di dalam alat pencernaan ternak. Laju makanan dalam alat pencernan dapat mempengaruhi jumlah makanan yang dikonsumsi, yakni makin cepat aliran makanan dalam alat pencernaan makin banyak pula jumlah makanan yang dikonsumsi. Selain itu, faktor yang mempengaruhi konsumsi adalah palatabilitas dan selera. Palatabilitas dipengaruhi oleh
(14)
bau, rasa, tekstur, dan suhu makanan yang diberikan. Selera merupakan faktor internal yang merangsang rasa lapar. Faktor lain yang juga mempengaruhi konsumsi adalah ternak, lingkungan, dan stres karena penyakit (Wahyu, 1978).
2.3. Pertumbuhan dan Perkembangan Ternak Ayam Buras
Pertumbuhan adalah suatu proses yang sangat kompleks meliputi pertumbuhan bobot badan dan semua bagian tubuh secara merata dan serentak seperti tulang, otot, jantung otak dan semua jaringan tubuh kecuali lemak. (Maynard dan Loosli, 1979)
Ada empat faktor yang mempengaruhi pertumbuhan yaitu besar tubuh unggas berdasarkan jenis (strain), jumlah makanan yang dikonsumsi, macam makanan serta cara pemeliharaannya.
Menurut Hammond, 1960 yang disitasi oleh Soeparno, (2005) bahwa jaringan tubuh mencapai petumbuhan maksimal dengan urutan dari jaringan syaraf, tulang, tendo, otot, lemak intramuscular, lemak subkutan dan lemak abdominal. Sedangkan untuk urutan
perkembangan kedewasaan lemak adalah interamuskular, perirenal atau canel, lemak
ginjal, subkutan, dan omental atau caul (Kirton et al., 1972; Wood et al.,1980). Lemak omental adalah lemak yang menyelimuti retikulum, rumen, omasum dan abomasum.
Dalam pertumbuhan terjadi masa cepat tumbuh dan masa lambat bahkan berhenti tumbuh. Masa cepat pertumbuhan terjadi pada masa setelah lahir sampai pubertas. Sedangkan masa lambat tumbuh terjadi setelah dewasa dicapai, kemudian masa pertumbuhan tidak terjadi lagi karena tulang dan daging tidak bertambah lagi, yang terjadi adalah penambahan bobot badan karena bertambahnya lemak.(Berg dan Butter field, 1976)
Pembentukan lemak tubuh pada ayam terjadi karena adanya kelebihan energi yang dikonsumsi. Energi yang digunakan tubuh umumnya berasal dari karbohidrat dan cadangan lemak. Sumber karbohidrat dalam tubuh mampu memproduksi lemak tubuh
(15)
yang disimpan disekeliling jeroan dibawah kulit dan rongga perut(Kubena et al.,1974; Anggorodi, 1995).
Berdasarkan penelitian Iskandar (2009), bahwa rata-rata bobot badan (BB) Doc (Day Old Chick) atau anak ayam baru menetas sampai umur sehari berkisar antara 29-36 g dengan lingkar dada(LD) 5 cm, Panjang tubuh (PT) 4 cm dan tinggi keseluruhan pada posisi normal sampai ujung kepala mencapai (TN = tinggi normal) 10 cm. Tubuh tertutup dengan bulu halus seperti kapas. Pada pemeliharaan intensif yang baik, anak ayam tersebut akan tumbuh sampai umur 4 minggu mencapai BB 100-200 g, dengan LD 13 cm, PT 11 cm dan TN 20 cm. Pada umur 8 minggu mencapai BB 300-500 g, LD 17 cm, PT 14 cm dan TN 25 cm. Pada umur 12 minggu mencapai BB 700-1100g, LD 23 cm, PT 27 cm dan TN 40 cm. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan tulang yang merupakan melekatnya otot akan berkembang, ditandai dengan bertambahnya lingkar dada, tinggi normal dan panjang tubuh selama proses pertumbuhan dan perkembangan tubuh ayam buras tersebut.
Seperti yang telah disebutkan bahwa strain (genotipe) ternak juga mempengaruhi laju pertumbuhan dimana perbedaan laju petumbuhan diantara bangsa dan individu ternak didalam suatu bangsa disebabkan oleh perbedaan ukuran tubuh dewasa. Bangsa ternak yang memiliki proporsi tubuh besar, akan lebih berat, tumbuh lebih cepat dan lebih berat pada saat mendapai kedewasaan dari pada bangsa ternak kecil. ( Tulloh 1978; Williams, 1982, yang disitasi oleh Soeparno, 2005). Oleh karena itu laju pertumbuhan ayam buras sangat rendah bila dibandingkan dengan ayam ras pedaging. Untuk mendapatkan bobot badan 900 sampai dengan 1100 gram dibutuhkan waktu pemeliharaan selama 90 hari (12 minggu) dengan pemberian pakan yang mengandung protein kasar 14 % dan energi metabolis 2800 Kkal/Kg. Dengan karkas yang meliputi punggung 11 %, sayap 15,81 %,
(16)
Dada 24,20%, paha atas 19 % dan paha bawaah 18 % (Muryanto, 2002), dan pada pemeliharaan 14 minggu berat yang didapat mencapai 1.289-1448 gram, dengan persentase karkas 60,68% dengan dada 16,76-18,12%, punggung 14,96-17,41%, paha 22,35-24,08% sayap 9,15-10,64% (Ruza,2004 yang disitasi oleh Kusmayadi 2004) sedangkan pada pemeliharaan 20 minggu berat ayam buras dapat mencapai 1380-1600 gram dengan persentase karkas 50-70% dengan dada 16-21%, punggung 15-19%, paha
22-24,5% sayap 9-11% (Abubakar etal., 2004).
Jenis kelamin dapat juga menyebabkan perbedaan laju pertumbuhan. Dibandingkan ternak betina, ternak jantan biasanya tumbuh lebih cepat dan pada umur yang sama lebih
berat (Chaniago dan Boyes, 1980 ; Hammond et al ., 1984). Perbedaan laju pertumbuhan
antara kedua jenis kelamin tersebut dapat menjadi lebih besar sesuai dengan bertambahnya umur. (Crouse et al., 1978).
2.4. Pertambahan Bobot Badan
Pertumbuhan murni menurut Anggorodi (1985) adalah pertambahan dalam bentuk dan bobot jaringan-jaringan tubuh seperti urat daging, tulang, jantung, otak, dan semua jaringan tubuh lainnya (kecuali lemak). Kemampuan ternak mengubah zat-zat nutrisi ditunjukkan dengan pertambahan bobot badan. Pertambahan bobot badan merupakan salah satu kriteria yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan.
Pertambahan bobot badan diperoleh melalui pengukuran kenaikan bobot badan dengan melakukan penimbangan berulang-ulang dalam waktu tiap hari, tiap minggu atau tiap bulan (Tillman dkk., 1991). Kecepatan pertumbuhan mempunyai variasi yang cukup besar, keadaan ini bergantung pada tipe ayam, jenis kelamin, galur, tata laksana, temperatur lingkungan, tempat ayam tersebut dipelihara serta kualitas, dan kuantitas makanan (Anggorodi, 1980).
(17)
Pada masa pertumbuhan, ayam harus memperoleh makanan yang banyak mengandung protein, zat ini berfungsi sebagai pembangun, pengganti sel yang rusak dan berguna untuk pembentukan telur. Kebutuhan protein perhari ayam sedang bertumbuh dibagi menjadi tiga bentuk kebutuhan yaitu protein yang dibutuhkan untuk pertumbuhan jaringan, protein untuk hidup pokok dan protein untuk pertumbuhan bulu (Wahju, 2004).
Anggorodi (1985) menjelaskan bahwa Keseimbangan zat-zat nutrisi, terutama imbangan energi dan protein penting karena nyata mempengaruhi pertumbuhan dimana pertumbuhan berlangsung secara perlahan-lahan pada awalnya, kemudian cepat dan pada tahap terakhir perlahan-lahan kembali dan kemudian berhenti sama sekali. Dijelaskan lebih lanjut dalam beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ayam broiler antara lain faktor nutrisi yang meliputi energi, protein, vitamin, mineral dan kalsium. Pertumbuhan ternak unggas dipengaruhi oleh faktor genetik, dimana masing-masing ternak mempunyai kemampuan tumbuh yang berbeda-beda (Suprijatna dkk., 2005). Menurut Tillman dkk., (1991) pertumbuhan dapat dilihat pada kenaikan bobot badan yang diperoleh dengan cara menimbang ayam buras secara harian, mingguan ataupun menurut periode waktu tertentu. Pertumbuhan erat kaitannya dengan konsumsi ransum yang mencerminkan pula gizinya, sehingga untuk mencapai pertumbuhan yang optimal dibutuhkan sejumlah zat-zat makanan yang bermutu, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
2.5. Konversi Ransum
Konversi ransum (Ration Convertion) adalah perbandingan jumlah konsumsi ransum pada satu minggu dengan pertambahan bobot badan yang dicapai pada minggu itu, bila rasio kecil berarti pertambahan bobot badan ayam memuaskan atau ayam makan
(18)
dengan efisien. Hal ini dipengaruhi oleh besar badan dan bangsa ayam, tahap produksi, kadar energi dalam ransum, dan temperatur lingkungan (Rasyaf, 2000).
ransum merupakan suatu ukuran yang dapat digunkan untuk menilai efisiensi penggunaan dan kualitas ransum. Konversi ransum adalah perbandingan antara jumlah ransum yang dikonsumsi dengan pertambahan bobot badan dalam jangka waktu tertentu. Salah satu ukuran efisiensi adalah dengan membandingkan antara jumlah ransum yang diberikan (input) dengan hasil yang diperoleh baik itu daging atau telur (output) (Rasyaf, 1995).
Nilai suatu ransum selain ditentukan oleh nilai konsumsi ransum dan tingkat pertumbuhan bobot badan juga ditentukan oleh tingkat konversi ransum, dimana konversi ransum menggambarkan banyaknya jumlah ransum yang digunakan untuk pertumbuhannya (Wiradisastra, 1986). Semakin rendah angka konversi ransum berarti kualitas ransum semakin baik. Anggorodi (1980) menyatakan bahwa nilai konversi ransum dapat dipenuhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah suhu lingkungan, laju perjalanan ransum melalui alat pencernaan, bentuk fisik, dan konsumsi ransum.
2.6. Karkas dan Daging Ayam Buras
Sebelum Ternak disembelih ayam buras harus di istirahatkan selama lebih dari 3 jam dimana tanpa diberikan pakan, Tujuan ternak diistirahatkan sebelum disembelih adalah agar ternak tidak mengalami stress, agar pada saat disembelih darah dapat keluar sedapat
mungkin serta agar cukup tersedia energi, sehingga proses kekakuan karkas (rigormortis)
berlangsung secara sempurna (Hafid dan Rugayah 2009).
Karkas unggas ketika dipasarkan ke konsumen dapat berupa karkas utuh, belahan karkas kiri kanan, seperempat karkas atau potongan-potongan karkas yang lebih kecil. Bagian belahan karkas kanan dan kiri dapat dibagi menjadi dua bagian dengan memotong
(19)
mengikuti ujung posterior terakhir dan dilanjutkan melalui veterbral coloumn. Sayap
dipisahkan melalui sendi bahu dan dapat dibagi dengan memotong bagian distal terhadap
tulang radius dan ulna. Bagian dada terdiri dari sternum dan otot terkait yang bisa berupa bentuk utuh atau dibelah menjadi dua bagian (dada kiri dan dada kanan). Paha dipisahkan pada acetabulum dengan otot pelvic tanpa tulang pelvic. Paha dapat dibagi dua dengan memotong pada persendian antara femur dengan tibia, bagian proximal disebut thigh
(paha gending) dan distal disebut drumstick. Sisa bagiannya berupa punggung utuh yang
meliputi tulang pelvic, scapula bagian dorsal dari rusuk dan vertebrae dari bagian
posterior leher sampai ekor(Swatland, 1984 yang disitasi oleh Soeparno 2005).
Karkas ayam buras terdiri dari bagian, yaitu dua buah sayap, satu bagian dada, satu
bagian punggung dan dua bagian paha yang terdiri dari dua bagian thigh dan dua bagian
drumstick (Judge et al., 1989). Menurut Swatland yang disitasi oleh Soeparno (2005) sayap adalah bagian yang terdiri dari daging pada tulang radius, ulna dan humerus
dengan tulang-tulang tersebut. Dada terdiri dari tulang-tulang sternum dan daging yang
melekat padanya. Paha terdiri dari daging yang melekat pada pelvis tanpa tulang pelvis
ditambah daging dan tulang pada paha. Thigh terdiri dari daging yang melekat pada
tulang femur sampai pertemuan tulang femur dengan tulang tibia dengan tulangnya.
Drumstick terdiri dari daging yang melekat pada tulang tibia dan tulang fibula pada paha dengan tulangnya. Punggung adalah bagian yang memanjang dari pangkal leher
sampai pada bagian pelvis dengan daging dan tulang yang ada padanya. ( Gambar 1)
Daging didefinisikan sebagai jaringan dari hewan baik yang berupa bagian dari karkas, organ dan kelenjar dan semua produk hasil dari pengolahan jaringan tersebut yang dapat dimakan dan tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya ( Judge et al., 1989). Daging sebagian besar tersusun atas otot, selain itu juga terdapat
(20)
jaringan ikat, epitel, syaraf, pembuluh darah, lemak (Soeparno, 2005), ligamentum dan tendon (Romans dan Zigler, 1974 yang disitasi oleh Nuhriwangsa, 2003)
Drumstick Dada
Paha gending( thigh) Punggung
(sayap)
Gambar 1 Bagian karkas dari ayam (Judge et al., 1989)
Daging dada (Gambar 2) merupakan otot yang terbesar pada karkas dengan berat sekitar 8% dari berat tubuh, terdiri dari otot Pectoralis superficialis dan supracoricoideus
(Soeparno, 2005). Otot dada ini sering digunakan untuk sampel guna menilai kualitas
daging unggas secara keseluruhan (Cahaner et al., 1986 yang disitasi oleh Nuhriwangsa,
(21)
Gambar 2 Bagian otot dada (Swatland, 1984 yang disitasi oleh Soeparno(2005))
2.3. Kualitas Karkas dan Daging
Menurut Soeparno, (2005) Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur dan pakan termasuk bahan aditif (hormon, antibiotik dan mineral) dan stress. Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara lain meliputi metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH, karkas dan daging, bahan tambahan termasuk enzim pengempuk daging, hormon, antibiotik, lemak intramuskular, atau marbling, metode penyimpanan preservasi, macam otot daging dan lokasi pada suatu otot daging.
Menurut Winarno (1993) bahwa Ternak sebelum dipotong sebaiknya diistirahatkan dalam waktu maksimal dimana dapat menghasilkan daging yang bermutu tinggi. Hal ini sangat berhubungan erat dengan tinggi rendahnya cadangan glikogen dalam otot, yang mana pada saat penyembelihan berbagai reaksi biokimia yang dikatalisa oleh
(22)
enzim-enzim mengubah glikogen menjadi asam laktat dalam otot sehingga sangat akan menentukan pH otot. Apabila ternak saat akan dipotong tenang dan cukup waktu istirahatnya, maka kadar glikogen otot akan tetap tinggi sehingga kadar asam laktat terbentuk dengan baik dan menghasilkan pH 5,1-6,1 yang secara kualitas baik. Selain hal tersebut, perlakuan istirahat terhadap ternak sesaat dipotong juga berguna untuk memudahkan pengeluaran kotoran dari jeroan.(Buckle et al., 1985)
Warna merah pada urat daging disebabkan oleh mioglobin yaitu pigmen yang mempunyai sifat mirip dengan haemoglobin darah. Kandungan mioglobin tergantung pada jenis dan jenis urat daging ternak tersebut.
Berdasarkan pandangan tersebut, pakan juga memberikan kontribusi terhadap baik-buruknya kualitas karkas dari ayam buras, karena dengan zat-zat makanan yang diserap oleh tubuh menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan menjadi optimal. Optimalnya pertumbuhan dan perkembangan tubuh akan menunjang produksi karkas, dimana perkembangan dari volume tubuh menyebabkan pertambahan bobot badan menjadi tinggi pada masa-masa pertumbuhan, sehingga memberikan dampak yang positif terhadap bobot potong dan tentunya bobot karkas (Murtidjo, 2005).
Pada dasarnya, kualitas karkas adalah nilai karkas yang dihasilkan oleh ternak relatif terhadap suatu kondisi pemasaran. Faktor yang menentukan nilai karkas meliputi berat karkas, jumlah daging yang dihasilkan dan kualitas dari karkas yang bersangkutan. Nilai karkas dapat diukur secara objektif yaitu absolut, misalnya berat karkas dan daging dan secara subjektif, misalnya dengan pengujian organoletik, yaitu estimasi jumlah daging yang dihasilkan dari suatu karkas.(Soeparno, 2005)
2.4. Pakan Limbah Buah Kopi Fermentasi
Untuk dapat tumbuh dan berkembang, dan berproduksi ternak memerlukan zat-zat makanan sebagai bahan untuk pembentukan jaringan tubuh dan produk. Sumber zat-zat makanan tersebut terkandung di dalam pakan yang dikonsumsinya. Oleh karena itu,
(23)
untuk tercapainya pertumbuhan dan produksi yang maksimal maka zat-zat makanan yang terkandung didalam pakan yang dikonsumsi harus memadai,. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (2005) yang menyatakan bahwa peningkatan atau penurunan konsumsi pakan berhubungan dengan kualitas pakan yang tersedia sehingga dapat mempengaruhi karakteristik atau kualitas karkas. Berdasarkan pandangan Hammond (1932) yang disitasi oleh Lawrie, (2003) bahwa pertumbuhan dan produksi merupakan sifat genetis, yaitu sifat yang diturunkan dari leluhurnya, namun untuk menunjang pertumbuhan dengan kualitas karkas yang baik haruslah disesuaikan dengan kebutuhan pakan dimana apabila suatu ternak dengan potensi genetis baik, tetapi kebutuhan nutrisi sebagai bahan utamanya tidak terpenuhi, maka ternak tersebut akan tidak dapat mengekspresikan potensi genetisnya secara penuh. Menurut Supriyatna, et al.,(2005), bahwa perhitungan kebutuhan zat-zat makanan hanya didasarkan pada kebutuhan energy dan protein sedangkan kebutuhan zat-zat makanan lainnya disesuaikan, yang mana apabila menunjukkan gejala kekurangan maka ditambahkan dengan pemberian suplemen, terutama vitamin dan mineral.
Berdasarkan Anonimous (2009) bahwa dilihat dari data dari luas daerah dan produksi kopi yang ada, limbah kopi yaitu kulit buah kopi sangat berpotensi menjadi bahan pakan ternak. Dan juga di dukung berdasarkan data Statistik (Badan Pusat Statistik) bahwa di wilayah Sumatera Utara, Produksi kopi yang berasal dari Perkebunan Rakyat tahun 2010 sebesar 55376.40 ton, dan untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Jumlah produksi kopi tahun 2010 di daerah Sumatera Utara
No Kabupaten Produksi (ton) buah kopi kulit buah kopi
1 Nias 48.30 16.91 31.40
2 Mandailing Natal 748.21 261.87 486.34 3 Tapanuli selatan 545.95 191.08 354.87
(24)
4 Tapanuli tengah 65.90 23.07 42.84 5 Tapanuli utara 10472.79 3665.48 6807.31 6 Toba samosir 2318.33 811.42 1506.92 7 Labuhan batu
-8 Asahan 9.40 3.29 6.11
9 Simalungun 9436.44 3302.75 6133.69 10 Dairi 13337.71 4668.20 8669.51 11 Karo 7514.70 2630.15 4884.56 12 Deliserdang 664.57 232.60 431.97
13 Langkat 74.65 26.13 48.52
14 Nias Selatan - -
-15 Humbang Hasundutan 5680.10 1988.04 3692.07 16 Phakphak Barat 1525.10 533.79 991.32 17 Samosir 2467.00 863.45 1603.55
18 serdang Bedagai - -
-19 Batubara - -
-20 Padang lawas utara 307.20 107.52 199.68 21 Padang lawas 160.05 56.02 104.03
22 Labuhan batu utara - -
-23 Labuhan batu selatan - -
-24 Nias utara - -
-25 Nias barat - -
-Total 55376.40 19381.74 35994.66
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera Utara (Sumatera Utara dalam angka 2011)
Hal ini mengindikasikan bahwa potensi bahan pakan yang berasal dari limbah kulit buah kopi cukup besar, yaitu 35994,66 ton.
Dalam proses tersebut menghasilkan 65% biji kopi dan 35% limbah kulit kopi dan kulit kopi ini belum dimanfaatkan secara optimal, hal ini tampak dari menumpuknya limbah kulit kopi baik yang berasal dari perkebunan rakyat. Bila dilihat dari zat gizi yang terkandung didalamnya masih bisa dimanfaatkan sebagai pakan ternak unggas karena masih memiliki protein 8,80% dan serat kasar 18,20%(Guntoro dan Yasa, 2003)
sedangkan Muryanto et al., (2004) kandungan protein kasarnya 10,4% dan kandungan
energy metabolisnya sebesar 3,356 Kkal/kg, selanjutnya dilaporkan bahwa kulit kopi dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak ayam dengan kandungan kulit kopi sebanyak 5
(25)
% namun, tidak berpengaruh nyata terhadap produktifitas ayam serta sampai penelitian dilaporkan belum diketahui pengaruh penggunaan dengan persentase yang lebih tinggi dan zat antinutrisi yang terdapat pada kulit buah kopi.
Sesuai dengan penelitian yang sebelumnya untuk meningkatkan kualitas dari kulit
kopi tersebut dapat dilakukan dengan proses fermentasi menggunakan Aspergilus niger.
Karena sesuai dengan yang diutarakan sebelumnya dengan perlakuan fermentasi pada bahan pakan dapat memperbaiki kandungan nutrisi dan menurunkan kandungan serat kasar dan zat-zat anti nutrisi yang terkandung didalamnya (Pujaningsih, 2005). Dan hal
ini sesuai dengan pendapat Buckle et al., (1987) dengan melakukan fermentasi pada
bahan yang tidak dapat memecah bahan yang tidak dapat dicerna seperti selulosa,
hemiselulosa menjadi gula sederhana, alkohol, asam dan CO2 dan dengan pH berkisar
2-8,8sehingga tingkat daya cerna terhadap bahan tersebut akan semakin tinggi terutama
pada ternak non-ruminansia.
Berdasarkan serat kasar yang terkandung didalam kulit buah kopi, dapat disimpulkan bahwa hasil akhir dari fermentasi kulit buah kopi adalah glukosa, alcohol,
uap Air dan CO2, sehingga secara visual pelepasan molekul air dapat terlihat dengan
adanya air pada plastik yang digunakan sebagai wadah/tempat bahan fermentasi tersebut.
(Dithauki, 2011; Soeharsono, et al.,2010) sedangkan perubahan warna kulit buah kopi
yang terbentuk hasil fermentasi yaitu warna cokelat gelap hingga hitam, (Noorhamdani dan Hidayat, 2007) dan pH yang terbentuk adalah 4 berdasarkan tinjauan lapangan.
Hasil analisa proses fermentasi kulit buah kopi dengan Aspergilus niger
menunjukkan bahwa dapat meningkatkan kandungan gizi (protein dan energy) limbah sedangkan kandungan serat kasar dapat ditekan secara nyata dan berat keringnyapun berkurang(Guntoro dan Yasa, 2003). Untuk lebih jelas komposisi zat gizi kulit buah kopi sebelum dan sesudah fermentasi dapat dilihat pada tabel 2 berikut :
(26)
Tabel 2. Komposisi Zat Gizi Buah Kopi Sebelum Sesudah Fermentasi
No Bahan Kandungan Nutrisi
Protein Kasar
Serat Kasar
Lemak Kalsium Phosfor
1 Non
fermentasi 8, 80 18,20 1,07 0,23 0,02
2 Fermentasi 12,43 11,05 1,05 0,34 0,07
Sumber :Guntoro dan Yasa, (2003)
Sedangkan menurut pengujian yang dilakukan oleh Loka Penelitian Kambing Potong Sumatera Utara, Setelah kulit kopi difermentasi kandungan energinya menjadi 3.748 Kkal/kg.
Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa kandungan protein kasar dan energi limbah kulit buah kopi fermentasi meningkat, sedangkan kandungan serat kasarnya menurun sehingga akan meningkatkan kualitas dan daya cerna dari bahan pakan tersebut, sehubungan dengan hal tersebut, Santoso (1986) berpendapat bahwa dengan dilakukannya fermentasi terhadap suatu bahan pakan, maka bahan pakan tersebut dapat dipecah oleh enzim tertentu dari suatu komponen yang kompleks menjadi lebih sederhana sehingga lebih mudah dicerna dan disintesa menjadi vitamin. Sehingga dengan meningkatnya daya cerna, juga akan meningkatkan daya serap tubuh akan pakan tersebut, sehingga akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan bobot badan dan tentunya bobot karkas. Dengan naiknya bobot karkas, maka persentase karkas juga akan semakin meningkat pula. Mugiyono et al., (1991)yang disitasi oleh Silalahi (2001)
Pengaruh konsumsi pakan terhadap pH dari daging dapat terlihat pada saat
postmortem, dimana ternak yang mengkonsumsi pakan yang bereenergi rendah akan menghasilkam pH yang lebih tinggi dibandingkan ternak yang mengkonsumsi pakan yang berenergi tinggi. Jika ditelaah berdasarkan pernyataan diatas bahwa dengan dilakukannya fermentasi terhadap limbah kulit buah kopi akan mengefisienkan jumlah
(27)
pakan yang diberikan, sehingga akan meningkatkan daya serap tubuh terhadap sari-sari makanan dan akan meningkatkan cadangan glikogen otot. Jumlah post mortem berlangsung lebih lambat pada konsumsi pakan dengan konsentrat rendah, sehingga menghasilkan pH yang tinggi dan lebih cepat apabila pakan yang dikonsumsi mengandung konsentrat yang tinggi dengan menghasilkan pH yang rendah.(Lawrie, 2003)
Sedangkan pengaruh konsumsi pakan terhadap warna daging yaitu berhubungan dengan konsentrasi mioglobin didalam otot, yang mana juga dipengaruhi kadar glikogen didalam otot. Menurut Soeparno (2005) bahwa dengan daging yang mengandung glikogen lebih tinggi bisanya berwarna putih sedangkan daging yang mengandung glikogen rendah akan menghasilkan warna daging lebih merah.
BAB III
MATERI DAN METODE PENELITIAN 3.1. Materi Penelitian
3.1.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan Universitas HKBP Nommensen Fakultas Peternakan di Porlak Simalingkar, Desa Simalingkar A, Kota Medan, dengan waktu observasi data 7 minggu.
3.1.2. Ternak Penelitian
Ternak yang digunakan adalah ayam buras yang sebelumnya telah dipelihara hingga 20 minggu di porlak Simalingkar sebagai ternak penelitian yang jumlahnya 100 ekor yang telah diteliti performansnya hingga 12 minggu dan dilanjutkan untuk diteliti performansnya hingga 20 minggu dan di sembelih pada umur 14 minggu berjumlah 20 ekor, dan 20 ekor lainnya pada umur 20 minggu untuk diteliti kualitas karkasnya.
(28)
Ransum yang diberikan pada ternak penelitian yang sesuai penelitian terdahulu yaitu campuran dari kulit buah kopi fermentasi (KBKF), jagung, dedak, tepung ikan, pakan komersil dan mineral, yang disusun dengan metode coba-coba. Adapun kandungan nutrisi bahan pakan yang disusun dapat dilihat pada tabel 3 berikut :
Tabel 3. Kandungan Nutrisi Bahan Makanan Penelitian
Bahan Pakan
Kandungan Nutrisi (%) Harga/Kg**
* Protein (%) Energi (Kkal/K g) Lema k (%) Serat Kasa r (%) Calciu m (%) Posfor(% ) Pakan Komersil *
22,00 2.800 5,00 5,00 1,00 0,90 6.000
KBKF** 12,43 3.748 1,05 11,05 0,34 0,07 1.620
Jagung 9,00 3.168 3,50 2,90 0,01 0,25 3.000
Bungkil Kelapa
22,00 2.500 6,00 12,0
0
0,11 0,60 3.000
Dedak 11,00 2.200 8,00 4,00 0,04 1,40 2.000
Tepung Ikan
61,00 2.400 1,00 1,00 7,00 3,50 5.700
Mineral - - - - 49,00 14,00 10.000
Premiks - - - - 0,06 - 12.000
Sumber : Parakkasi, (1990)
*Brosur Kandungan Gizi Pakan Ayam Pedaging Produksi PT. Mabar Feed Indonesia (2010)
**Guntoro dan Yasa. (2003) ***Data Poultry Shop(2011)
Sesuai dengan data bahan pakan diatas maka pada tiap perlakuan disusun komposisi bahan pakan dengan susunan 100%, seperti pada tabel 3 berikut :
Tabel.4. Susunan dan Kandungan Zat Gizi Ransum Penelitian Untuk Ayam Buras Umur 4-20 minggu
Bahan Pakan Susunan Ransum Penelitian (%)
T0 T1 T2 T3
Pakan Komersil 20,0 20,0 20,0 20,0
KBKF 0,0 5,0 10,0 15,0
(29)
Bungkil Kelapa 11,5 12,0 9,5 5,5
Dedak 10,0 13,0 17,5 22,5
Tepung Ikan 9,5 9,0 9,0 9,5
Mineral 0,5 0,5 0,5 0,5
Premiks 1,0 1,0 1,0 1,0
Jumlah 100,0 100,0 100,0 100,0
Protein (%) 18,1 18,1 18,1 18,1
Energi (Kkal/kg)
2806.0 2806.2 2808,3 2812,0
Serat Kasar(%)
4,3 4,7 5,0 5,1
Calcium (%) 1,1 1,1 1,1 1,2
Posfor(%) 0,9 0,9 1,0 1,0
Harga/kg 3.882,00 3769,00 3.655,00 3.550,00
Ket : KBKF : Kulit Buah Kopi Fermentasi
3.1.3. Peralatan
Peralatan yang dibutuhkan adalah antara lain : Pisau yang tajam yang kecil dan yang besar, Cutter, timbangan digital dan timbangan niaga, alat tulis, selotip, pH Meter, kantong Plastik, termos pendingin dan alat pendukung lainnya.
3.2. Metode Penelitian
3.2.1. Metode Pemeliharaan Ayam Buras
Pada pelaksanaan penelitian ini, ayam buras telah dipelihara sebagi ternak penelitian yang berjumlah 100 ekor di Kebun Percobaan Fakultas Peternakan Universitas HKBP Nommensen Porlak Simalingkar, untuk diamati performansnya dengan pemberian
pakan kulit buah kopi yang difermentasi dengan Aspergilus niger pada umur 4-20
minggu.
Ternak akan disembelih untuk mendapatkan karkas utuh beserta potongan-potongannya. Sebelum disembelih bobot hidup harus ditimbang dan dicatat dalam Kg/ekor. Dan untuk menguji kualitas karkas, ternak harus disembelih dengan menggunakan pisau yang tajam untuk mengharapkan exudasi cairan yang sempurna.
3.2.2. Rancangan Percobaan
Rancangan Percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 5 ulangan dimana tiap ulangan memiliki 5 ekor ayam buras untuk diteliti Konsumsi, PBB, Konversi ransum, dengan pemberian kulit
(30)
buah kopi fermentasi dengan Aspergilus niger, dan apabila parameter tersebut memberikan pengaruh yang nyata akan dilanjutkan pengujian dengan menggunakan uji
jarak Duncansedangkan pengaruh umur terhadap kualitas karkas ayam buras pada umur
14 minggu dan 20 minggu dilakukan dengan pengujian secara uji T, yang tiap perlakuan dipilih 5 ekor sampel ayam buras secara acak. Perlakuan ini adalah pemberian kulit buah kopi fermentasi dengan level yaitu :
R0 = Ransum tanpa pemberian kulit buah kopi fermentasi (0%) R1 = Pemberian 5 % kulit buah kopi fermentasi dari total ransum. R2 = Pemberian 10 % kulit buah kopi fermentasi dari total ransum. R3 = Pemberian 15 % kulit buah kopi fermentasi dari total ransum.
Tiap Perlakuan terdiri dari 25 ekor, kemudian untuk dilakukan pengujian karkas diambil sampel 5 ekor secara undi tanpa memperhatikan berat badan dari ayam buras tersebut. Dimana, jadwal pemotongan ini dilakukan 2 kali pada umur 14 minggu, dan pada umur 20 minggu yang keseluruhannya akan berjumlah 40 ekor. Kemudian disembelih bardasarkan prosedur yang telah ditetapkan, yang dijelaskan dibawah ini.
3.2.3. Pengambilan Sampel Ternak
Dari 100 ekor ternak penelitian ayam buras tersebut, diambil 40 ekor sample ternak yang akan disembelih dengan 2 kali waktu pemotongan dimana waktu pemotongan I pada umur 14 minggu berjumlah 20 ekor, dan pemotongan II pada umur 20 minggu berjumlah 20 ekor yang pengambilannya secara acak dan ditentukan secara undi untuk mempermudah pengambilan data, setelah itu dilakukan penyembelihan untuk tujuan pengambilan data kualitas karkasnya.
3.2.4. Prosedur Pelaksaan Pemotongan Ternak A. Persiapan
(31)
Ayam buras yang akan dipotong dipuasakan selam 3 jam untuk memudahkan pembersihan perut dan exudasi cairan, kemudian ditimbang dan dicatat bobot potongnya dalam gram/ekor, kemudian dilanjutkan ketahap penyembelihan.
B. Penyembelihan
Ternak disembelih menggunakan pisau yang tajam pada bagian leher tepatnya
pada bagian arteri karotis, vena jungularis dan esofagus, gunanya agar tidak memberikan
efek stress kepada ternak sehingga proses exudasi cairan keluar secara keseluruhan dengan lancar secara sempurna. Kemudian darah ditampung dan ditimbang.
C. Scalding (Perendaman)
Setelah pengeluaran cairan secara sempurna, maka tahap selanjutnya adalah merendam ternak ayam buras yang disembelih kedalam air panas yang suhunya ±
50,55-0C – 530C selama 1-2 menit. Hal ini dilakukan untuk mencegah rusaknya kulit akibat
panas yang dapat menurunkan kualitas karkas.
D. Defeathering (Pencabutan Bulu)
Kemudian tahap selanjutnya pencabutan bulu dilakukan secara manual untuk mencegah kerusakan kulit. Kemudian karkas dicuci.
E. Evisceration ( Pengeluaran jeroan)
Setelah dicuci kemudian dilanjutkan ke proses pengeluaran jeroan yang caranya adalah sebagai berikut.
1. Dimulai dari pemisahan tembolok dan trakea serta kelenjar minyak dibagian
ekor.
2. Kemudian pembukaan rongga badan dengan membuat irisan dari kloaka
(32)
3. Kloaka dan visera atau jeroan dikeluarkan dan ditimbang.
4. Kemudian pemisahan organ-organ yaitu hati dan empedu, empedal dan jantung,
kemudian dipisahkan dan ditimbang
5. Paru-paru, ginjal, testes(pada ayam jantan)atau ovarium pada betina dapat
dipisahkan dari bawah columna vertebralis.
6. Kemudian dilanjutkan pemisahan kepala, kaki, dan leher dan ditimbang.
7. Kemudian karkas ditimbang (catt: paru-paru dan ginjal masuk kedalam karkas).
3.2.5. Parameter yang diukur
a. Konsumsi ransum dihitung dengan menimbang jumlah ransum yang diberikan dikurangi dengan jumlah ransum yang tersisa.
b. Pertambahan bobot badan diukur dengan penimbangan bobot badan, kemudian bobot badan akhir yang didapat dikurangi dengan bobot badan awal dibagi dengan lama pemeliraan.
c. Konversi ransum dihitung dengan membagi pakan yang dikonsumsi/lama pemeliharaan dengan pertambahan berat badan/lama pemeliharaan. d. Bobot Potong.
Bobot potong diketahui dengan menimbang ayam buras sebelum dipotong setelah ayam buras dipuasakan dahulu selama lebih 3 jam. Bobot potong dinyatakan dalam gram/ekor.
e. Bobot Karkas
Berat Karkas diketahui dengan menimbang karkas ayam buras. Karkas adalah berat bagian tubuh setelah pemotongan, dengan mengeluarkan kulit, kepala, darah, serta organ internal. (Soeparno, 2005). ( catt: paru-paru dan ginjal masuk kedalam karkas).
f. Presentase Karkas
(33)
ayam buras yang bersangkutan kemudian dikalikan 100% (Soeparno,1994). g. Bobot Potongan primal karkas ayam buras
Bobot potongan primal karkas dengan menimbang bagian-bagian potongan primal karkas ayam buras, yaitu(a) kaki(leg), (b)paha ( drumsick), (c)paha gending' (thigh), (d)Dada dengan rusuk,(e) punggung, dan (f) sayap.
h. Persentase lemak abdominal
Persentase lemak abdominal diperoleh dari perbandingan antara bobot lemak abdominal dengan bobot potong kemudian dikalikan 100 persen (Abubakar dan Notoamidjojo, 1997 yang disitasi oleh Prayogi 2008).
i. PH Daging
Menurut Soeparno (2005) PH daging tidak dapat diukur segera setelah pemotongan, biasanya dilakukan dalam waktu 45 menit. Sampel daging bagian dada ditimbang seberat 5 gram dihaluskan dan dicampur dengan 25 ml akuades, kemudian dikocok sampai homogen. Kemudian kertas lakmus dicelupkan, dan dicocokkan dengan tabel yang ada di bungkus tersebut.
j. Warna daging
Warna daging diperoleh dengan pengamatan visual, dengan bantuan panelis yang berjumlah 20 orang dimana akan memberikan penilaian tentang warna daging yang disembelih. Berdasarkan Skala Hedonic Menurut Fernando, 2007, bahwa warna daging adalah 1. Merah Pudar 2. Merah muda 3. Merah cerah 4. Merah 5. Merah tua. Kemudian dari 20 sampel yang disembelih dilakukan pengkodean dengan angka (1,2,3………… sampai 20) dimana para panelis yang berjumlah 20 orang telah ditentukan tidak mengetahui dari Perlakuan dan ulangan mana asal daging yang akan diuji warnanya.
(34)
Kemudian para panelis akan melihat secara visual warna daging tersebut dan diterjemahkan kedalam nilai yang telah ditentukan sebagai berikut :
Tabel 5. Skala Hedonik warna daging ayam penelitian
Warna Nilai dalam
Angka
Merah pudar 1
Merah muda 2
Merah cerah 3
Merah 4
Merah tua 5
Sumber: Fernando, 2007
3.2.6. Analisa Data
Untuk mengetahui manfaat kulit buah kopi fermentasi terhadap performans ayam buras umur 13-20 minggu selama penelitian, maka dalam menganalisis data dari penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan model matematika yang dikemukakan oleh Sastrosupadi(1999) yaitu
Yij= µ + Ti+ ϵij
i = 1,2 ...t (perlakuan) j = 1,2...n (ulangan)
Yij= Nilai Pengamatan pada perlakuan ke i dan ulangan ke j
µ = Nilai tengah umum Ti = Pengaruh Perlakuan i
ϵij = Pengaruh galat Percobaan dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j.
Jika hasil analisa menunjukkan perbedaan yang nyata atau sangat nyata akan dilanjutkan dengan Uji Duncan.
Sedangkan untuk melihat pengaruh umur terhadap kualitas karkas dilakukan dengan menggunakan uji T (t-test) (Sudjana, 1989).
(35)
S=
-Sgabungan =
t =
Ket : S = keragaman T= Perlakuan n= jumlah sampel
= Rata-rata dari perlakuan t= t-hitung
STB-TA= keragaman gabungan
Keterangan
S2 = Standar Deviasi Gabungan
t = Uji Bebas yang dihitung n = Jumlah Sample
S = Standar Deviasi dari Perlakuan = Jumlah rata-rata dari perlakuan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Konsumsi Ransum
Pengaruh Pemanfaatan kulit buah kopi fermentasi dengan Aspergilus niger
terhadap Konsumsi ransum dapat tersaji pada tabel 6
(36)
Ulangan Perlakuan
T0 T1 T2 T3 Total Rataan
1 104,20 106,25 105,45 103,57 419,47 104,87
2 103,39 106,25 105,89 104,64 420,17 105,04
3 103,57 106,25 106,07 105,54 421,43 105,36
4 102,86 105,98 106,52 105,54 420,90 105,23
5 102,50 107,68 106,34 104,02 420,54 105,14
Total 516,52 532,41 530,27 523,31
Rataan 103,30C 106,48A 106,05A 104,66B 105,13
Keterangan : notasi yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata.
Dari tabel 6 dapat dilihat bahwa rata-rata konsumsi ransum selama penelitian adalah sebesar 105,13 gr/ek/hr. Dengan kisaran 102,50 hingga 107,68. Sedangkan rataan konsumsi ransum Terendah ayam buras terdapat pada perlakuan tanpa pemberian kulit
buah kopi fermentasi dengan Aspergilus niger yaitu 102,86 gram/ekor/hari dan tertinggi
pada pemberian taraf T1(5%) sebesar 106,48 gram/ekor/hari. Hal ini lebih tinggi dari
yang dikemukakan Murtidjo, (2005) bahwa rataan konsumsi pakan ayam buras 13-20 minggu adalah 64-67 gr/ekor/hari, namun apabila dibandingkan dengan pendapat
Supridjatna et al.,(2005) bahwa konsumsi ayam buras pada 13–20 minggu pada kisaran
95-120 gr/ek/hari, yang mengindikasikan bahwa konsumsi pakan ayam buras penelitian mendekati kisaran tersebut.
Hasil uji statistik terlihat bahwa pemberian kulit buah kopi fermentasi dengan
Aspergilus niger memberikan pengaruh yang sangat nyata (P>0,01) terhadap konsumsi ransum. Dimana hasil uji beda rataan berdasarkan Uji Jarak Duncan menunjukkan bahwa
perlakuan pemberian kulit buah kopi fermentasi dengan Aspergilus niger pada T1 (5%)
tidak berbeda nyata dengan perlakuan pemberian kulit buah kopi fermentasi dengan
Aspergilus niger pada T2 (10%), hal ini disebabkan karena rataan antara kedua perlakuan tidak memiliki perbedaan yang jauh. Dimana terlihat kedua perlakuan ini lebih tinggi dari perlakuan yang lain. Hal ini disebabkan bahwa dengan fermentasi dapat merubah rasa
(37)
dan aroma bahan pakan sehingga penampilan fisik dari pakan tersebut menjadi lebih menarik, sehingga dapat meningkatkan jumlah konsumsi. Soeharsono et al .,(2010);
Buckle et al.,(1985). Namun kedua perlakuan tersebut berbeda nyata dengan perlakuan
tanpa pemberian kulit buah kopi fermentasi T0(0%) dan pemberian kulit buah kopi fermentasi pada taraf T3(15%). Hal ini disebabkan semakin tinggi pemberian kulit buah kopi fermentasi dengan Aspergilus niger akan menyebabkan konsumsi ransum yang semakin berkurang, namun jika dibandingkan dengan perlakuan tanpa pemberian kulit buah kopi fermentasi, konsumsi ayam buras penelitian dengan pemberian kulit buah kopi
fermentasi dengan Aspergilus niger masih lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat
Wahyu(2005) yang menyatakan bahwa ransum yang mengandung serat kasar yang tinggi tidak mendapat mencapai volume yang lebih besar dari pada penampunganoleh tembolok sehingga usaha untuk meningkatkan konsumsi ransum sesuai dengan kebutuhan semakin terbatas.
Namun demikian pemberian kulit buah kopi masih dapat mengefesienkan bahan pakan, karena terlihat bahwa perlakuan pemberian pakan tanpa kulit buah kopi fermentasi
dengan Aspergilus niger masih lebih rendah dibandingkan Perlakuan pemberian pakan
kulit buah kopi fermentasi dengan Aspergilus niger. Selain itu Perbedaan tingkat konsumsi ransum ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain strain ayam, keadaan lingkungan, kualitas pakan, palatabilitas pakan, aktifitas ternak dan tingkat energi (Muslim,1990; Anggorodi, 1985).
4.2. Pertambahan Berat Badan
Pengaruh Pemanfaatan kulit buah kopi fermentasi dengan Aspergilus niger
(38)
Tabel 7. Rataan Pertambahan bobot badan ayam buras selama Penelitian
Ulangan Perlakuan
T0 T1 T2 T3 Total Rataan
1 13,04 13,21 11,16 10,63 48,04 12,01
2 13,48 13,57 12,50 11,88 51,43 12,86
3 14,11 12,77 12,95 12,32 52,15 13,04
4 13,21 11,96 11,70 10,36 47,23 11,81
5 13,66 13,84 13,93 10,71 52,14 13,04
Total 67,50 65,35 62,24 55,90
Rataan 13,50A 13,07A 12,45A 11,18B 12,55
Keterangan : notasi yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata.
Dari tabel 7 dapat dilihat bahwa rata-rata Pertambahan berat badan selama penelitian adalah sebesar 12,55 gr/ek/hr. Dengan kisaran 10,36 hingga 114,11. Sedangkan rataan Pertambahan berat badan Terendah ayam buras terdapat pada perlakuan dengan
pemberian kulit buah kopi fermentasi dengan Aspergilus niger taraf 15% yaitu 11,18
gr/ek/hr dan tertinggi pada pemberian tanpa kulit buah kopi fermentasi dengan
Aspergilus niger T0(0%)sebesar 106,48 gr/ekr/hr. Rataan hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan rataan pertambahan bobot badan yang dilaporkan Murtidjo (2005) yaitu 54,6 gr/ek/hr. Namun masih hasil penelitian ini masih lebih rendah dibandingkan penelitian US dan Sulistiyoningsih (2012) yang menyatakan bahwa rataan pertambahan berat badan ayam buras pada umur 8 minggu adalah 123 gr-243 gr.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa pemberian kulit buah kopi fermentasi terhadap pertambahan berat badan selama penelitian memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap pertambahan bobot badan. Dimana berdasarkan hasil Uji Jarak Duncan bahwa perlakuan pemberian ransum tanpa kulit buah kopi fermentasi T0(0%) tidak berbeda nyata dengan perlakuan pemberian ransum kulit buah kopi fermentasi dengan
Aspergilus niger dengan taraf T1(5%), T2(10%) namun memberikan pengaruh yang nyata terhadap perlakuan pemberian ransum dengan Aspergilus niger dengan taraf
(39)
T3(15%). Hal ini diakibatkan bahwa semakin tinggi taraf pemberian kulit buah kopi
fermentasi dengan Aspergilus niger akan menurunkan pertambahan berat badan, dimana
pada pemberian ransum kulit buah kopi fermentasi dengan Aspergilus niger taraf 15%
(T3), lebih rendah yaitu 11,18 gr/ek/hr.
Bila dilihat pada pemberian ransum kopi fermentasi pada ayam buras menunjukkan bahwa laju pertumbuhan berat badan ayam buras masih dibawah pemberian pakan tanpa kulit buah kopi fermentasi dengan Aspergilus niger dan bila dilihat dari pakan yang dikonsumsi dengan pertambahan berat badan ternak penelitian menunjukkan bahwa
semakin tinggi level pemberian kulit buah kopi fermentasi dengan Aspergilus niger maka
pertambahan berat badan ternak semakin menurun hal ini kemungkinan akibat efek kumulatif dari anti zat nutrisi, seperti tanin dan kafein yang dapat menyebabkan gangguan fungsional saluran pencernaan dan dapat meningkatkan aktivitas otot (Birk 1969 yang disitasi Krisnan (2005). Namun demikian, jika dicermati bahwa pemberian
kulit buah kopi fermentasi dengan Aspergilus niger pada taraf T2(10%) masih memiliki
rata-rata yang tidak jauh berbeda dengan T0(0%) sehingga dapat dimanfaatkan sebagai ransum alternatif.
4.1.3. Konversi Ransum
Pengaruh Pemanfaatan kulit buah kopi fermentasi dengan Aspergilus niger
terhadap konversi ransum dapat tersaji pada Tabel 8.
Tabel 8. Rataan konversi ransum ayam buras selama Penelitian
Ulangan Perlakuan total Rataan
T0 T1 T2 T3
1 7,95 8,04 9,45 9,73 35,17 8,79
2 7,64 7,83 8,47 8,80 32,74 8,19
3 7,30 8,32 8,19 8,54 32,35 8,09
(40)
5 7,46 7,78 7,63 9,71 32,58 8,15
Total 38,13 40,83 42,85 46,95 168,76
Rataan 7,63A 8,17B 8,57BC 9,39C 8,44
Keterangan : notasi yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata.
Dari tabel 8 dapat dilihat bahwa rata-rata konversi ransum selama penelitian adalah sebesar 8,44. Dengan kisaran 7,30 hingga 10,17. Rataan konversi ransum dari penelitian ini lebih tinggi dibandingkan rataan konversi ransum yang dilaporkan Suprijatna (2005) yaitu 6,56 dan menurut silitonga (2002) yang disitasi oleh Anonimous (1991) yaitu 5,25. Sedangkan rataan konversi ransum Terendah ayam buras terdapat pada perlakuan dengan
tanpa pemberian kulit buah kopi fermentasi dengan Aspergilus niger taraf 0%yaitu 7,63
dan tertinggi pada pemberian kulit buah kopi fermentasi dengan Aspergilus niger pada
tarafT3(15%) sebesar 9,39, yang mengindikasikan bahwa Konversi ransum akan terlihat
semakin tinggi, seiring bertambahnya taraf pemberian ransum kulit buah kopi fermentasi
dengan Aspergilus niger. Dari hasi tersebut, Kisaran yang diamati lebih tinggi dari yang
dikemukakan wahyu (2005) bahwa kisaran konversi ransum umur 13 minggu hingga 20 minggu yaitu 3,00 - 5,01 dengan ransum yang mengandung energi 3000 kkal/kg. Sedangkan Suprijatna (2005) mengatakan bahwa konversi ransum ayam buras adalah 6,56 dengan energi metabolis 2300 kkal/kg.
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa pemberian kulit buah kopi fermentasi memberikan pengaruh yang nyata (P>0,01) terhadap konversi ransum selama penelitian. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh tiap-tiap perlakuan dilakukan Uji Jarak Duncan dimana hasilnya menunjukkan bahwa perlakuan pemberian ransum kulit buah kopi fermentasi dengan Aspergilus niger taraf T1(5%) tidak berbeda nyata dengan
perlakuan pemberian kulit buah kopi fermentasi dengan Aspergilus niger dengan taraf
(41)
dengan Aspergilus niger T0(0%) dan T3(15%). Sedangkan perlakuan pemberian kulit
buah kopi fermentasi dengan Aspergilus niger pada taraf T2(10%) tidak berbeda nyata
dengn pemberian ransum pada taraf T3 (15%) namun berbeda nyata dengan perlakuan tanpa pemberian kulit buah kopi fermentasi dengan Aspergilus niger dan perlakuan pemberian kulit buah kopi fermentasi pada taraf T1(5%). Hal ini diakibatkan oleh perbandingan konsumsi ransum dengan pertambahan berat badan dari ternak penelitian semakin meningkat seiring bertambahnya taraf pemberian ransum kulit buah kopi
fermentasi dengan Aspergilus niger,dimana Semakin baik mutu ransum, semakin kecil
pula konversi pakannya. Baik tidaknya mutu ransum ditentukan oleh keseimbangan zat gizi pada ransum itu dengan yang diperlukan. Hal ini didukung oleh pendapat Anggorodi (1985) yang menyatakan bahwa tinggi rendahnya konversi ransum sangat ditentukan oleh keseimbangan antara energi metabolisme dengan zat-zat nutrisi terutama protein dan asam-asam amino. Selain itu faktor lain yang mempengaruhi konversi ransum adalah kesehatan ternak, ukuran ayam, suhu lingkungan (Sarwono,1996); (Sitorus 2008)
4.4.Kualitas Karkas
Kadar laju pertumbuhan, nutrisi, umur, dan berat tubuh adalah faktor-faktor yang mempunyai hubungan erat antara satu dengan yang lain, dan biasanya dapat secara individu atau kombinasi mempengaruhi komposisi tubuh atau karkas. Dengan bertambahnya umur pada ternak terjadi peningkatan pertumbuhan organ-organ dan terutama depot lemak serta persentase komponen lainnya seperti otot dan tulang dimana komponen – komponen tersebut merupakan yang menentukan baik-buruknya kualitas karkas. Soeparno (2005)
(42)
Tabel 9 menyajikan parameter yang diamati selama penelitiaan untuk memperlihatkan sifat kualitatif dan kuantitatif karkas pada umur 14 dan 20 minggu dimana menurut Murtidjo (2005) bahwa pada umur 14 minggu dan umur 20 minggu memiliki perbedaan yang mencolok pada beberapa komponen karkas.
Tabel 9. Pengaruh kulit buah kopi fermentasi dengan Aspergilus niger terhadap Berat
hidup, berat karkas, persentase karkas, berat potongan primal karkas, persentase lemak abdominal, pH daging, dan warna daging.
Parameter yang diamati Umur 14 Minggu Umur 20 Minggu
Berat Hidup(g) 980,20 ±126,80 a 1452,50 ± 195,87 a
Berat Karkas(g) 557,31±223,58 a 833,65±130,48 a
Persentase karkas(%) 57,21±2,52 a 57,38±3,63 a
Berat Leg(g) 190,65±33,88 a 257,90±45,88 a
Berat Drumstick(g) 97,60±16,86A 133,45±33,74B
Berat paha gending (g) 93,15±16,23A 136,20±23,68B
Dada(g) 144,25±18,47A 214,75±27,53B
Punggung(g) 146,90±24,08A 200,30±30,89B
Sayap(g) 80,70±16,98 a 97,15±18,25 a
Persentase Lemak Abdominal(%) 0,001±0,00133A 0,91±0,95B
pH daging 5,85±0,36 a 5,84±0,34 a
Warna daging 1,65±0,56 a 1,59±0,43 a
Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,01),
*Khusus warna daging :1)Merah Pudar , 2) Merah Muda, 3) Merah Cerah, 4) Merah, 5) Merah Tua
4.4.1. Berat hidup
Rataan berat hidup pada umur 14 minggu adalah sebesar 980,20 ±126,80. Rataan hasil penelitian ini hampir mendekati laporan Kusmayadi (2004) yang mengemukakan bahwa rataan berat hidup ayam pada saat umur 14 minggu adalah 1.221,67±41,93 gram, sedangkan rataan berat hidup ayam buras penelitian ini cukup rendah dari rataan berat ayam broiler pada umur 8 minggu dengan pakan yang berasal dari kulit buah markisa
fermentasi dengan Aspergilus niger oleh Sembiring (2005) yaitu 1793 gram. Hal ini
diduga akibat perbedaan genetic dan dengan perlakuan yang berbeda biarpun sebenarnya taraf pemberian dan mikroba yang digunakan hampir sama. Sedangkan dari Tabel 9 dapat
(43)
dilihat bahwa rata-rata berat hidup pada umur 20 minggu adalah sebesar 1452±195,87. Rataan hasil penelitian ini lebih tinggi dari laporan Murtidjo (2005) yang mengemukakan bahwa rataan berat ayam pada saat umur 20 minggu adalah 1.270 gram, sedangkan rataan berat hidup ayam buras penelitian ini hampir mendekati dari rataan berat ayam buras
pada umur 20 minggu yang dikemukakan oleh Astuti, et al.,(1978) yang disitasi oleh
Erwanto (1997) yaitu 1495 gr.
Berdasarkan hasil uji T tidak ada perbedaan berat hidup antara umur 14 minggu dengan umur 20 minggu, hal ini dipengaruhi oleh perbedaan rataan berat hidup antara umur 14 minggu dan 20 minggu yang kecil yaitu 472 gr/ekor atau 0,472 kg/ekor, hal ini sesuai dengan pendapat Murtidjo (2005) bahwa pada umur 14 minggu dan umur 20 minggu laju pertumbuhan ayam buras sudah rendah yang rataan berat hidup antara kedua umur tersebut hanya 200 g/ekor atau 0,2 kg/ekor.
4.4.2. Berat Karkas
Rataan berat karkas pada umur 14 minggu adalah sebesar 557,31±223,58 gr. Rataan hasil penelitian ini lebih rendah dari laporan kusmayadi (2004) yang mengemukakan bahwa rataan berat karkas ayam pada saat umur 14 minggu adalah 908,49±33,12 gr/ekor, dan juga lebih tinggi dari yang dikemukakan Hapsari (2004) dimana rataan berat karkas ayam umur 14 minggu adalah 722,95 gr. Sedangkan rata-rata berat karkas pada umur 20 minggu adalah sebesar 833,65 gr. Rataan hasil penelitian ini lebih rendah dari laporan Iskandar (2009) yang mengemukakan bahwa rataan berat karkas ayam pada saat umur 20 minggu adalah 1366 gr/ekor, dan juga lebih tinggi dari yang dikemukakan Murtidjo (2005) dimana rataan berat karkas ayam umur 20 minggu adalah 762 gr.
(44)
Berdasarkan hasil uji T rerata berat karkas pada umur 14 minggu tidak berbeda nyata (P<0,05) dengan Berat karkas umur 20 minggu, hal ini dipengaruhi perbedaan berat karkas yang kecil antara umur 14 minggu dan 20 minggu. Selain itu tidak terjadi perbedaan yang nyata antara kedua umur akibat berat hidup yang juga memberikan pengaruh yang tidak nyata antara kedua umur tersebut, dimana hal ini sesuai dengan menurut Soeparno (2005) bahwa berat karkas juga dipengaruhi oleh berat hidup. Selain itu berat karkas pada umur 20 minggu rataan berat karkasnya tidak jauh berbeda dengan umur 14 minggu, hal ini sesuai dengan pendapat McMeekan, 1940 yang disitasi Soeparno (2005) bahwa perkembangan otot terhambat karena terbatasnya ukuran serabut otot pada umur yang berbeda. Keterbatasan ini tetap tidak dapat dilampaui karena pada umur tertentu pertumbuhan akan terhenti, meskipun ternak yang dipelihara mengkonsumsi pakan yang berkualitas tinggi.
4.4.3. Persentase Karkas
Rataan persentase karkas pada umur 14 minggu adalah sebesar 57,21±2,52 %. Hasil penelitian ini terlihat lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Kusumayadi (2004) yang menyatakan bahwa persentase karkas 14 minggu adalah 64,28±0,79%, perbedaan ini terjadi diyakini akibat perbedaan genetis dari ayam buras penelitian serta taraf pemberian kopi sebesar 0,4 % dengan energi metabolis ransum sebesar 2600 kkal/kg. Sedangkan persentase karkas pada umur 20 minggu adalah
sebesar 57,38±3,63 %. Hal ini lebih rendah dari yang dikemukakan oleh Iskandar et al.,
(1997): Triyantini et al,.(1997) dimana bahwa persentase karkas ayam buras adalah 62,89
(45)
Berdasarkan hasil uji T rerata persentase karkas pada umur 14 minggu tidak berbeda nyata (P<0,05) dengan persentase karkas umur 20 minggu, hal ini dipengaruhi perbedaan perbandingan berat karkas dengan berat hidup yang kecil antara umur 14 minggu dan 20 minggu. Hal ini sesuai dengan pendapat Sembiring (2005) yang menyatakan bahwa berat hidup dan berat karkas merupakan 2 hal yang menentukan persentase karkas dimana semakin tinggi berat hidup dan berat karkas, maka persentase karkas semakin tinggi pula. Faktor lain yang menyebabkan hal tersebut yaitu tidak adanya perbedaan yang nyata antara kedua umur terhadap berat hidup dan berat karkas yang juga memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap persentase karkas. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang diadakan Kusmayadi (2004) dan Abubakar (2004) bahwa persentase karkas pada umur 14 minggu dan 20 minggu tak jauh berbeda yaitu ±64%.
4.4.4. Berat Potongan Primal Karkas A. Leg
Rataan berat leg pada umur 14 minggu adalah190,65±33,88. Hal ini lebih rendah
dari yang dikemukakan oleh Kusmayadi(2004) bahwa rataan berat leg ayam buras berada pada kisaran 301,2 - 367,2 gr/ekor, namun kisaran ayam buras penelitian ini, hampir
mendekati berat leg yang dikemukakan oleh Nikolova (2009) yaitu 412, 86 gr. Kemudian
rata-rata berat leg pada umur 20 minggu adalah 257,90±45,88. Hal ini lebih tinggi dari
yang dikemukakan oleh Mansyoer(1985) yang disitasi Septriani (2004) bahwa rataan berat leg ayam buras yaitu 268,79 gr/ekor, namun kisaran ayam buras penelitian ini,
hampir mendekati berat leg yang dikemukakan oleh Iskandar (2003) yang disitasi oleh
(46)
Berdasarkan hasil uji T rerata Berat leg pada umur 14 minggu tidak berbeda
nyata (P<0,05) dengan Berat leg umur 20 minggu, hal ini dipengaruhi perbedaan berat
karkas yang kecil antara umur 14 minggu dan 20 minggu. Selain itu Hal ini juga dapat dipengaruhi oleh respon genetis dan nutrisi yang berhubungan dengan umur tidak sejalan karena biarpun genetis unggul apabila kandungan nutrisi tidak terserap sepenuhnya oleh
tubuh akan memberikan efek yang dapat menurunkan berat leg seiring bertambahnya
umur. Hal ini sesuai dengan pendapat Berg dan Butterfield (1976) Yang disitasi Soeparno (2005) bahwa bukan hanya nutrisi dan umur mempengaruhi pertumbuhan tubuh namun juga genetis dan lingkungan.
B. Drumstick
Rataan berat Drumstick pada umur 14 minggu adalah 97,60±16,86. Hal ini lebih
rendah dari yang dikemukakan oleh Septriani (2004) bahwa rataan berat Drumstick ayam
buras yaitu 224 gr/ekor, dan ayam buras penelitian ini, lebih rendah dari berat Drumstick
yang dikemukakan oleh Nikolova (2009) yaitu 211,59 gr. Sedangkan rata-rata berat
Drumstick pada umur 20 minggu adalah 133,45±33,74. Namun berat Drumstick ini
hampir mendekati berat Drumstick yang dikemukakan Hapsari yaitu 132,44.
Berdasarkan hasil uji T rerata Berat Drumstick pada umur 14 minggu berbeda
nyata (P<0,01) dengan Berat Drumstick umur 20 minggu, hal ini disebabkan karena
perkembangan tiap-tiap komponen utama karkas tiap individu berbeda-beda hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (2005) bahwa tiap-tiap individu ternak memiliki variasi pola pertumbuhan komponen utama karkasnya, dan komponen utama karkas sangat dipengaruhi oleh genetis, dan nutrisi, yang mana dengan manipulasi pakan yang
(47)
dilakukan dapat memaksimalkan sifat-sifat genetis yang dimiliki dan akan berkembang sesuai umur.
C. Paha Gending (Thigh)
Rataan berat paha gending pada umur 14 minggu adalah 93,15±16,23. Hal ini lebih rendah dari yang dikemukakan oleh Hapsari (2004) bahwa rataan berat paha gending umur 14 minggu ayam buras yaitu 130,93 gr/ekor, dan ayam buras penelitian
ini, juga lebih tinggi dari berat paha gendingyang dikemukakan oleh Kusumayadi (2004)
yaitu 161,213 gr/ekor. Sedangkan rata-rata berat paha gending pada umur 20 minggu
adalah 136,20±23,68 gr/ekor. Namun berat paha gending ini lebih tinggi berat paha gending yang dikemukakan Abubakar (2004) yaitu 184,51.
Berdasarkan hasil uji T rerata Berat Dada pada umur 14 minggu berbeda nyata (P<0,01) dengan Berat Dada umur 20 minggu, hal ini disebabkan karena perkembangan tiap-tiap komponen utama karkas tiap individu berbeda-beda hal ini sesuai dengan pendapat Lawrie (2003) bahwa perbandingan komposisi urat daging tiap-tiap individu akan bervariasi sesuai dengan meningkaaya umur, sehingga biarpun Berat leg tidak menunjukkan perbedaan yang nyata namun berat Dada menunjukkan perbedaan yang nyata antara umur 14 minggu dan 20 minggu.
D. Berat Dada
Rataan berat Dada pada umur 14 minggu adalah 144,25±18,47. Hal ini lebih rendah dari yang dikemukakan oleh Hapsari (2004) bahwa rataan berat Dada umur 14 minggu ayam buras yaitu 169,82 gr/ekor, dan ayam buras penelitian ini, juga lebih tinggi
dari berat Dadayang dikemukakan oleh Nikolova(2009) yaitu 430,71 gr/ekor. Sedangkan
(48)
lebih rendah dari berat Dada yang dikemukakan Abubakar (2004) yaitu 425,82 serta lebih rendah dari berat dada yang dikemukakan Soeparno (2005) yaitu 120 gr dengan berat hidup 1500 gr/ekor .
Berdasarkan hasil uji T rerata Berat Dada pada umur 14 minggu berbeda nyata (P<0,01) dengan Berat Dada umur 20 minggu, hal ini disebabkan karena perkembangan tiap-tiap komponen utama karkas tiap individu berbeda-beda. Selain itu hal tersebut juga disebabkan akibat perbedaan rataan berat dada antara kedua umur cukup jauh berbeda. Hal ini disebabkan terjadinya deposisi lemak disebagian urat daging dada yang memberikan pertambahan berat pada umur 20 minggu, sedangkan pada umur 14 minggu deposisi lemaknya masih kecil. Hal ini sesuai dengan pendapat Anggorodi (1979);Wahyu (2005) bahwa tingginya kandungan energi dalam pakan pada puncak pertumbuhan pada umur tertentu, akan menyebabkan penimbunan lemak pada tubuh. Selain itu, laju pertumbuhan dan tingkat kedewasaan dari spesies dalam bangsa ternak tertentu bervariasi, sehingga puncak dari pertumbuhannya akan berbeda-beda.
E. Berat Punggung
Rataan berat punggung pada umur 14 minggu adalah 146,90±24,08. Hal ini lebih rendah dari yang dikemukakan oleh Ruza (2004) bahwa rataan berat punggung umur 14 minggu ayam buras yaitu 169,82 gr/ekor, dan ayam buras penelitian ini, juga lebih tinggi
dari berat punggung yang dikemukakan oleh Kusumayadi (2004) yaitu 236,46 gr/ekor.
Sedangkan rata-rata berat punggung pada umur 20 minggu adalah 200,30±30,89 gr/ekor.
Berat punggung ini lebih rendah dari berat punggung yang dikemukakan Triyantini et al.,
(2004) yaitu 387,20 serta mendekati berat punggung yang dikemukakan Septriani (2004) yaitu 256,11.
(49)
Berdasarkan hasil uji T rerata berat punggung pada umur 14 minggu berbeda nyata (P<0,01) dengan Berat punggung umur 20 minggu. Selain perbedaan rataan berat punggung antara kedua umur cukup jauh berbeda, Hal ini juga disebabkan terjadinya deposisi lemak disebagian urat daging punggung serta bertambahnya ukuran dan berat tulang yang merupakan komponen utama karkas pada bagian punggung, sehingga memberikan perbedaan yang signifikan pada umur 14 minggu dan pada umur 20 minggu. Hal ini sesuai dengan pendapat Berg dan Butterfield, 1976 yang disitasi oleh Soeparno, 2005 bahwa selama terjadi pertumbuhan tulang akan tumbuh secara kontinu dengan kadar laju yang relatif lambat, sedangkan pertumbuhan otot relatif lebih cepat, sehingga rasio otot dan tulang meningkat selama pertumbuhan.
F. Berat Sayap
Rataan berat sayap pada umur 14 minggu adalah 80,70±16,98. Hal ini lebih rendah dari yang dikemukakan oleh Hapsari (2004) bahwa rataan berat sayap umur 14 minggu ayam buras yaitu 159,72 gr/ekor, dan ayam buras penelitian ini, juga lebih
rendah dari berat sayap yang dikemukakan oleh Kusumayadi (2004) yaitu 91,03 gr/ekor.
Sedangkan rata-rata berat sayap pada umur 20 minggu adalah 200,30±30,89 gr/ekor.
Berat sayap penelitian ini lebih rendah dari berat sayap yang dikemukakan Triyantini et
al., (2004) yaitu 387,20 serta lebih tinggi dari berat Sayap yang dikemukakan Septriani
(2004) yaitu 116.523.
Berdasarkan hasil uji T rerata berat sayap pada umur 14 minggu tidak berbeda nyata (P<0,05) dengan Berat sayap umur 20 minggu. Hal ini disebabkan berat sayap pada umur 20 minggu memiliki rataan berat sayap yang tidak jauh berbeda dengan umur
(50)
14 minggu, hal ini sesuai dengan pendapat McMeekan, 1940 yang disitasi Soeparno (2005) bahwa perkembangan otot terhambat karena terbatasnya ukuran serabut otot pada umur yang berbeda. Keterbatasan ini tetap tidak dapat dilampaui karena pada umur tertentu pertumbuhan akan terhenti, meskipun ternak yang dipelihara mengkonsumsi pakan yang berkualitas tinggi, Selain itu juga disebabkan kandungan tanin yang terkandung dalam kulit buah kopi fermentasi dapat menekan pertumbuhan bagian-bagian jaringan tubuh ternak (Krisnan, 2005).
4.4.5 Persentase Lemak Abdominal
Rataan persentase lemak abdominal pada umur 14 minggu adalah
0,001±0,00133. Hal ini lebih rendah dari yang dikemukakan oleh Dou et al.,(2009) yaitu
3,01 dan ayam buras penelitian ini, juga lebih rendah dari persentase lemak abdominal yang dikemukakan oleh Iskandar (1997) yaitu 0,82 . Perbedaan ini sangat jauh akibat perbedaan genetic dan lingkungan pada saat penelitian sehingga dapat memberikan perbedaaan rataan persentase lemak abdominal dari satuan percobaan(Soeparno, 2005),
Sedangkan rata-rata persentase lemak abdominal pada umur 20 minggu adalah
0,91±0,95. Persentase lemak abdominal penelitian ini lebih rendah dari persentase lemak abdominal yang dikemukakan Sembiring (2005) yaitu 8,97 serta juga lebih rendah dari
berat Sayap yang dikemukakan Dou et al.,(2009) yaitu 3,01.
Berdasarkan hasil uji T rerata persentase lemak abdominal umur 14 minggu berbeda nyata (P<0,01) dengan persentase lemak abdominal umur 20 minggu. Hal ini disebabkan terjadinya deposisi lemak disekitar abdomen dari ayam buras pada umur 20 minggu yang lebih besar daripada umur 14 minggu dimana terlihat dari besarnya rataan persentase lemak abdominal pada tabel 9. karena pada umur 14 minggu kandungan lemak
(51)
abdominal hanya sedikit menutupi bagian abdomen dari ayam buras penelitian, namun jika diperhatikan deposisi lemak terjadi disekitar jeroan dafermentasi dengan ginjal, hal ini sesuai dengan pendapat Callow, 1948;Andrews, 1958 yang disitasi oleh Soeparno 2005 bahwa pada ternak muda, deposisi lemak terjadi pada jerohan dan ginjal. Selain itu terlihat persentase lemak abdominal yang ada pada kedua umur terlihat lebih kecil hal ini disebabkan rendahnya daya serap tubuh terhadap zat-zat makanan dimana Hal ini menunjukkan bahwa peran kualitas pakan sejalan bertambahnya umur sangat menentukan deposisi lemak didalam didalam tubuh, dimana setelah pertumbuhan terhenti akan terjadi pembentukan lemak didalam jaringan tubuh(Soeparno,2005).
4.4.6 PH Daging Ayam Buras
Rataan angka hasil pengukuran pH daging dari ayam buras penelitian pada
pemotongan umur 14 minggu dan 20 minggu tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dimana hasil rataan pengukuran pH daging yang dilaksanakan pada umur pemotongan 14 minggu dan 20 minggu tersebut memiliki kisaran pH yang sama yaitu dari 5 – 6, dimana hal ini diakibatkan cadangan glikogen yang ada dalam daging hampir sama pada pemotongan 14 minggu dan 20 minggu. Kemudian hasil ini mendekati besar pH daging yang dikemukakan oleh Soeparno (2005) bahwa pH normal dari daging ayam buras adalah 5,1-6,1.
Berdasarkan hasil uji T rataan hasi pengukuran pH pada umur 14 minggu tidak berbeda nyata (P<0,01) dengan Berat punggung umur 20 minggu. Hal ini diduga karena penimbunan asam laktat yang ada pada daging ayam buras penelitian hampir sama tiap perlakuan dan hasil pengukuran yang dilaksanakan berada pada kisaran 5 - 6 selain itu jumlah enegi metabolis yang dikonsumsi ayam buras penelitian adalah sama yaitu 2800
(1)
4.4.4.6 Berat sayap
Rataan berat sayap pada umur 14 minggu adalah 80,70 ± 16,98 gr. Hal ini lebih rendah dari yang dikemukakan Hapsari (2004) bahwa rataan berat sayap umur 14 minggu ayam buras yaitu 159,72 gr dan penelitian ini juga lebih rendah dari berat sayap yang dikemukakan Kusumayadi (2004) sebesar 91,03 gr. Sedangkan rata-rata berat sayap pada umur 20 minggu sebesar 200,30 ± 30,89 gr. Berat sayap penelitian ini lebih rendah dari berat sayap yang dikemukakan Triyantini et al (2004) sebesar 387,20 gr serta lebih tinggi dari berat sayap yang dikemukakan Septriani (2004) sebesar 116.52 gr.
Berdasarkan hasil uji -t rerata berat sayap pada umur 14 minggu tidak berbeda nyata (P<0,05) dengan Berat sayap umur 20 minggu. Hal ini disebabkan berat sayap pada umur 20 minggu memiliki rataan berat sayap yang tidak jauh berbeda dengan umur 14 minggu hal ini sesuai dengan pendapat Mc Meekan (1940) yang disitasi Soeparno (2005) bahwa perkembangan otot terhambat karena terbatasnya ukuran serabut otot pada umur yang berbeda. Keterbatasan ini tetap tidak dapat dilampaui karena pada umur tertentu pertumbuhan akan terhenti, meskipun ternak yang dipelihara mengkonsumsi pakan yang berkualitas tinggi. Selain itu juga disebabkan kandungan tanin yang terkandung dalam kulit buah kopi fermentasi dapat menekan pertumbuhan bagian-bagian jaringan tubuh ternak (Krisnan, 2005).
(2)
4.4.4.7 Persentase lemak abdominal
Rataan persentase lemak abdominal pada umur 14 minggu adalah 0,001 ± 0,0013 %. Hal ini lebih rendah dari yang dikemukakan oleh Dou et al (2009) yaitu 3,01 % dan ayam buras penelitian ini juga lebih rendah dari persentase lemak abdominal yang dikemukakan oleh Iskandar (1997) yaitu 0,82%. Perbedaan ini sangat jauh akibat perbedaan genetik dan lingkungan pada saat penelitian sehingga dapat memberikan perbedaaan rataan persentase lemak abdominal dari satuan percobaan (Soeparno, 2005), Sedangkan rata-rata persentase lemak abdominal pada umur 20 minggu adalah 0,91 ± 0,95%. Persentase lemak abdominal penelitian ini lebih rendah dari persentase lemak abdominal yang dikemukakan Sembiring (2005) yaitu 8,97% serta juga lebih rendah dari berat Sayap yang dikemukakan Dou et al (2009) sebesar 3,01%.
Berdasarkan hasil uji –t rerata persentase lemak abdominal umur 14 minggu berbeda nyata (P<0,01) dengan persentase lemak abdominal umur 20 minggu. Hal ini disebabkan terjadinya deposisi lemak disekitar abdomen dari ayam buras pada umur 20 minggu yang lebih besar daripada umur 14 minggu dimana terlihat dari besarnya rataan persentase lemak abdominal. karena pada umur 14 minggu kandungan lemak abdominal hanya sedikit menutupi bagian abdomen dari ayam buras penelitian. Akan tetapi jika diperhatikan deposisi lemak terjadi disekitar jeroan dafermentasi dengan ginjal hal ini sesuai dengan pendapat Callow (1948) dan Andrews (1958) yang disitasi oleh Soeparno (2005) bahwa pada ternak muda deposisi lemak terjadi pada jerohan dan ginjal. Selain itu terlihat
(3)
persentase lemak abdominal yang ada pada kedua umur terlihat lebih kecil hal ini disebabkan rendahnya daya serap tubuh terhadap zat-zat makanan dimana Hal ini menunjukkan bahwa peran kualitas pakan sejalan bertambahnya umur sangat menentukan deposisi lemak didalam didalam tubuh, dimana setelah pertumbuhan terhenti akan terjadi pembentukan lemak didalam jaringan tubuh (Soeparno, 2005).
4.4.4.8 pH Daging
Rataan angka hasil pengukuran pH daging dari ayam buras penelitian pada pemotongan umur 14 minggu dan 20 minggu tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dimana hasil rataan pengukuran pH daging yang dilaksanakan pada umur pemotongan 14 minggu dan 20 minggu tersebut memiliki kisaran pH yang sama yaitu dari 5 – 6, dimana hal ini diakibatkan cadangan glikogen yang ada dalam daging hampir sama pada pemotongan 14 minggu dan 20 minggu. Kemudian hasil ini mendekati besar pH daging yang dikemukakan oleh Soeparno (2005) bahwa pH normal dari daging ayam buras adalah 5,1-6,1.
Berdasarkan hasil uji –t rataan hasi pengukuran pH pada umur 14 minggu tidak berbeda nyata (P<0,01) dengan berat punggung umur 20 minggu. Hal ini diduga karena penimbunan asam laktat yang ada pada daging ayam buras penelitian hampir sama tiap perlakuan dan hasil pengukuran yang dilaksanakan berada pada kisaran 5 - 6 selain itu jumlah enegi metabolis yang dikonsumsi ayam buras penelitian adalah sama yaitu 2800 kkal dimana hal ini juga mempengaruhi cadangan asam laktat yang ada di dalam daging ayam buras penelitian.
(4)
Solomon et al (1986) yang disitasi Soeparno (2005) dimana hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (2005) bahwa pH otot pasmortem tergantung pada jumlah cadangan glikogen otot pada saat pemotongan.
4.4.4.9 Warna daging
Rataan angka kualitatif dari warna daging dari ayam buras penelitian pada umur 14 minggu adalah 1,65 ± 0,56 dan umur 20 minggu adalah 1,59 ± 0,43 yang artinya warna dari daging ayam tersebut adalah sama yaitu merah pucat hingga merah muda. Warna normal daging unggas adalah merah pudar atau ungu (Fernando, 2007).
Berdasarkan hasil uji -t rataan angka kualitatif warna daging pada umur 14 minggu tidak berbeda nyata (P<0,01) dengan rataan angka kualitatif warna daging umur 20 minggu. Hal ini diakibatkan karena warna daging pada ayam buras penelitian tidak berubah atau relatif tetap yaitu warna daging ayam pada umumnya warna merah Pudar hingga warna merah muda. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (2005) bahwa banyak yang mempengaruhi warna daging, selain pakan, juga termasuk spesies, bangsa umur, jenis kelamin, stress (tingkat aktivitas dan tipe otot) dimana yang menjadi faktor utama penentu utama warna daging yaitu konsentrasi pigmen daging mioglobin.
(5)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat diambil beberapa kesimpulan dan saran sebagai berikut: 1. Secara umum semakin tinggi taraf kandungan kulit buah kopi fermentasi dengan
Aspergilus niger di dalam ransum akan menurunkan konsumsi ransum, pertambahan berat badan, berat hidup, berat karkas, Persentase karkas, berat leg, berat drumstick, berat dada, berat punggung, dan berat sayap. Hal ini diakibatkan karena semakin tinggi taraf kulit buah kopi fermentasi dengan Aspergilus niger, akan meningkatkan kandungan tanin dan serat kasar sehingga mempengaruhi konsumsi dan penyerapannya didalam tubuh.
2. Berdasarkan hasil uji statistik pemanfaatan kulit buah kopi fermentasi dengan
Aspergilus niger memberikan pengaruh yang sangat nyata (P>0,01) terhadap konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, dan konversi ransum.
3. Berdasarkan hasil uji T yang dilakukan bahwa berat hidup, berat karkas, persentase karkas, berat leg, berat sayap, pH daging, dan warna daging pada umur 14 minggu memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap berat hidup, berat karkas, persentase
(6)
karkas, berat leg, berat sayap, pH daging, dan warna daging pada umur 20 minggu, sedangkan Berat drumstick, berat Paha gending, berat dada, berat punggung pada umur 14 minggu memberikan pengaruh yang nyata terhadap Berat drumstick, berat Paha gending, berat dada, berat punggung pada umur 20 minggu.
4. Pemberian kulit buah kopi fermentasi dengan Aspergilus niger taraf 10% masih dapat diberikan kepada Ayam buras. Karena pada taraf 10 % kulit buah kopi fermentasi dengan Aspergilus niger, tidak menunjukkan perbedaan rataan yang cukup jauh pada parameter pertambahan berat badan, konsumsi ransum, dan konversi ransum.
5.2 Saran
Dari hasil yang diperoleh bahwa pemberian kulit buah kopi fermentasi dengan Aspergilus niger disarankan 10 % dari total ransum. Hal ini bertujuan untuk dapat memanfaatkan kulit buah kopi fermentasi sebagai pakan alternative.