ANALISIS FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN PEDAGANG BARANG ANTIK DI PASAR WINDUJENAR SURAKARTA

(1)

commit to user

i

 

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN PEDAGANG BARANG ANTIK

DI PASAR WINDUJENAR SURAKARTA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan

Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh :

Turis Harningsih F0107090

FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2011


(2)

commit to user

ii

 

HALAMAN PERSETUJUAN Skripsi dengan judul:


(3)

commit to user

iii


(4)

commit to user

iv

 

MOTTO

“ Nobody knows what they can do until they try ’’

“ Smile and the world smiles with you ’’


(5)

commit to user

v

 

HALAMAN PERSEMBAHAN

Penulis persembahkan karya kecil ini kepada:

ƒ Allah SWT

ƒ Orang Tua, Sahabat-Sahabatku, Adik dan Kakak Yang Aku

Sayangi

ƒ Teman-Teman Keluarga Besar Ekonomi Pembangunan

Angkatan 2007


(6)

commit to user

vi

 

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME yang telah melimpahkan berkat serta rahmat-Nya, sehingga dengan bimbingan, pertolongan, izin dan kasih karunia-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi dengan judul :

“Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Pedagang Barang Antik Di Pasar Windujenar Surakarta”. Sebuah kebahagian tersendiri bagi penulis dapat menyusun karya kecil ini sebagai upaya untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada Fakultas Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Sebelas Maret.

Skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan dari banyak pihak yang berupa bantuan, bimbingan, dukungan, doa serta motivasi. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis ingin menghaturkan terima kasih kepada:

1. Ibu Izza Mafruhah, S.E., M.Si selaku Dosen Pembimbing yang dengan

penuh kesabaran membimbing, membantu dan meluangkan waktu bagi penulis dalam proses penulisan skripsi.

2. Bapak Drs. Sutanto, M.Si selaku Dosen Pembimbing Akademik

3. Bapak Drs. Kresno Sarosa Pribadi, M.Si selaku Ketua Jurusan Ekonomi

Pembangunan.

4. Bapak dan Ibu tercinta yang senantiasa memberikan motivasi, kasih

sayang, kesabaran dan doa kepada penulis.


(7)

commit to user

vii

 

6. Seluruh pedagang dan pengelola Pasar Windujenar Surakarta yang telah

membantu tersedianya data dan informasi yang dibutuhkan dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Sahabat-sahabatku Ari, Dewi, Aris, Rita, Ryan, Thomas, Yunita, Nastiti,

Rurit, Sutarni, Faya, Indri, Septiana, Sungmin, Key, Onew dan Siwon atas segala bantuan dan kebersamaannya.

8. Semua teman-teman Ekonomi Pembangunan angkatan 2007 yang tidak

dapat penulis sebutkan satu persatu.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya atas kekuarangan-kekurangan tersebut. Semoga karya kecil ini dapat memberikan manfaat bagi diri penulis dan pembaca semua.

Surakarta, 15 Maret 2011

Penulis


(8)

commit to user

viii

 

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ………... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN MOTTO... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ………... v

KATA PENGANTAR ……….. vi

DAFTAR ISI ………... viii

DAFTAR TABEL ………. xii

DAFTAR GAMBAR ……….... xiv

DAFTAR LAMPIRAN... xv

ABSTRAKSI ……….... xvi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……….... 1

B. Rumusan Masalah ………. 7

C. Tujuan Penelitian ………...…... 8

D. Manfaat Penelitian ………...………. 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori...……….. 10

1. Pasar... 10

a. Pengertian Pasar... 10


(9)

commit to user

ix

 

c. Pasar Tradisional... 15

2. Sektor Informal... 16

3. Penyebab Timbulnya Sektor Informal... 16

4. Teori Permintaan dan Penawaran... 17

a. Permintaan... 17

b. Penawaran... 21

5. Teori Laba... 24

6. Pengertian Pedagang... 27

a. Keberhasilan Usaha Pedagang... 29

b. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Pedagang Barang Antik Di Pasar Windujenar Surakarta.. 30

1) Modal Dagang... 30

2) Tingkat Pendidikan Pedagang... 30

3) Pengalaman Berdagang... 31

4) Waktu Usaha... 32

c. Hambatan Yang Dihadapi Pedagang Setelah Revitalisasi Pasar Windujenar Surakarta... 32

1) Pengunjung Pasar Yang Sepi... 32

2) Kurang Adanya Dukungan Promosi Dari Pemkot Surakarta... 33

3) Terbatasnya Modal Pedagang... 33

4) Tingkat Persaingan Yang Tinggi... 34

B. Penelitian Terdahulu... 34

C. Kerangka Pemikiran... 37

D. Hipotesis... 38

BAB III METODE PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian ……….... 39

B. Jenis dan Sumber Data ………... 39

C. Metode Pengumpulan Data ………... 40

D. Definisi Operasional Variabel ... 40


(10)

commit to user

x

 

1. Regresi Linier Berganda... 42

a. Uji Statistik ………... 42

1) Uji t ………. 43

2) Uji F ………... 44

3) Koefisien Determinan R2... 46

4) Koefisien Korelasi (r)... 46

b. Uji Asumsi Klasik ………... 47

1) Multikolinearitas ………..……... 47

2) Heterokesdatisitas ………... 47

3) Autokorelasi ……….. 48

2. Analisis Deskriptif... 49

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Kota Surakarta ………... 50

1. Aspek Geografis ……….. 50

2. Aspek Demografis ……….. 52

3. Kondisi Perekonomian Kota Surakarta……….... 58

4. Pasar Windujenar Surakarta..………... 62

B. Karakteristik Pedagang ……….. 64

C. Hasil Analisis dan Pembahasan 1. Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan………. 73

a. Pemilihan Model... 74

1) Mac Kinnon, White and Davidson Test (MWD Test).. 74

2) Metode Zarembaka... 76

b. Regresi Variabel Independen terhadap Variabel Dependen.. 78

1) Uji Statistik ………... 78

a) Uji t ………...………. 78

b) Uji F ………...……… 83

c) Koefisien Determinasi ( R²) ……….. 84

d) Koefisien Korelasi... 85

2) Uji Asumsi Klasik ………. 85


(11)

commit to user

xi

 

b) Uji Heteroskedastisitas ………... 86

c) Uji Autokorelasi ………. 87

3) Interpretasi Hasil Secara Ekonomi ……… 88

2. Analisis Deskriptif Hambatan Pedagang Pasar Windujenar.. 90

a. Pengunjung Pasar Yang Sepi... 92

b. Kurang Adanya Dukungan Promosi Dari Pemkot Surakarta.. 94

c. Terbatasnya Modal... 95 d. Tingkat Persaingan Yang Tinggi... 98 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ………... 100

B. Saran ………. 101

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(12)

commit to user

xii

 

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Distribusi PDRB Kota Surakarta Menurut Lapangan Usaha

Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2008-2009... 3

Tabel 1.2 Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas Yang Bekerja Menurut

Lapangan Pekerjaan Utama Di Kota Surakarta Tahun 2008 Dan 2009... 4

Tabel 2.1 Perbedaan Karakteristik Sektor Informal dan Sektor

Formal... 16

Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Kota Surakarta Tahun 2000-2009... 53

Tabel 4.2 Penduduk Surakarta Menurut Kelompok Umur dan Jenis

Kelamin Tahun 2009 (jiwa)... 54

Tabel 4.3 Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, Rasio Jenis Kelamin dan

Tingkat Kepadatan Tiap Kecamatan Di Kota Surakarta Tahun 2009 ………...………... 56

Tabel 4.4 Penduduk Usia 15 Tahun Ke atas Yang Bekerja Menurut

Lapangan Usaha Di Kota Surakarta Tahun 2009 ……….... 57

Tabel 4.5 Produk Domestik Regional Bruto Menurut Lapangan Usaha

Atas Dasar Harga Berlaku Di Kota Surakarta

Tahun 2005 – 2009 ………...………... 59

Tabel 4.6 Produk Domestik Regional Bruto Menurut Lapangan Usaha

Atas Dasar Harga Konstan 2000 Di Kota Surakarta

Tahun 2005 – 2009 ………..………... 60

Tabel 4.7 Karakteristik Responden Menurut Jenis kelamin... 65

Tabel 4.8 Karakteristik Responden Menurut Status Perkawinan ….... 65

Tabel 4.9 Karakteristik responden Menurut Modal Usaha …………... 67

Tabel 4.10 Karakteristik Responden Menurut Pengalaman Berdagang . 68


(13)

commit to user

xiii

 

Tabel 4.12 Karakteristik Responden Menurut Rata – Rata

Pendapatan Per Bulan ……….….... 69

Tabel 4.13 Karakteristik Responden Menurut Tingkat Pendidikan ….. 70

Tabel 4.14 Karakteristik Responden Menurut Pengunjung Pasar Yang Sepi... 68

Tabel 4.15 Karakteristik Responden Menurut Kurang Adanya Dukungan Dari Pemkot Surakarta... 72

Tabel 4.16 Karakteristik Responden Menurut Terbatasnya Modal... 72

Tabel 4.17 Karakteristik Responden Menurut Tingkat Persaingan Yang Tinggi... 73

Tabel 4.18 Hasil Uji MWD Linier ... 75

Tabel 4.19 Hasil Uji MWD Log-Linier... 76

Tabel 4.20 Hasil Regresi Model... 78

Tabel 4.21 Hasil Uji Korelasi Parsial... 86

Tabel 4.22 Hasil Uji LM ARCH... 87

Tabel 4.23 Hasil Uji Breusch-Godfrey... 87

Tabel 4.24 Jenis Hambatan yang Dikeluhkan Pedagang Pasar Windujenar... 91

Tabel 4.25 Karakteristik Responden Menurut Hambatan Pengunjung Pasar Yang Sepi... 93

Tabel 4.26 Karakteristik Responden Menurut Hambatan Kurang Adanya Dukungan Dari Pemkot Surakarta... 94

Tabel 4.27 Karakteristik Responden Menurut Hambatan Terbatasnya Modal... 97

Tabel 4.28 Karakteristik Responden Menurut Hambatan Tingkat Persaingan Yang Tinggi... 99


(14)

commit to user

xiv

 

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kurva Permintaan... 18

Gambar 2.2 Kurva Penawaran... 22

Gambar 2.3 Grafik Pergerakan Titik-Titik di Sepanjang Kurva Penawaran dan Pergeseran Kurva Penawaran... 23

Gambar 2.4 Kerangka Pemikiran... 37

Gambar 3.1 Daerah Kritis Uji t... 44

Gambar 3.2 Daerah Kritis Uji F... 45

Gambar 4.1 Peta Kota Surakarta... 51

Gambar 4.2 Uji t untuk variabel modal ………... 80

Gambar 4.3 Uji t untuk variabel pendidikan...………... 81

Gambar 4.4 Uji t untuk variabel pengalaman berdagang ...………… 82

Gambar 4.5 Uji t untuk variabel waktu usaha...……… 83


(15)

commit to user

xv

 

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A Data Nama Pedagang, Laba, Modal, Tingkat

Pendidikan, Pengalaman Berdagang, dan Waktu Usaha... 104 Lampiran B Hasil Regresi Utama Pengaruh Modal, Tingkat

Pendidikan, Pengalaman Berdagang, dan Waktu Usaha Terhadap Keberhasilan Pedagang Barang Antik Di Pasar Windujenar Surakarta ... 107 Lampiran C Uji Asumsi Klasik Pengaruh Modal, Tingkat

Pendidikan, Pengalaman Berdagang, dan Waktu Usaha Terhadap Keberhasilan Pedagang Barang Antik Di Pasar Windujenar Surakarta ... 109


(16)

commit to user

xvi


(17)

commit to user

 

ABSTRAKSI

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN PEDAGANG BARANG ANTIK

DI PASAR WINDUJENAR SURAKARTA Turis Harningsih

(NIM. F0107090)

  Lokasi yang dipilih dalam penelitian ini adalah kota Surakarta dengan

ruang lingkup penelitian adalah pedagang barang antik di Pasar Windujenar. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dan menjelaskan seberapa besar pengaruh modal, tingkat pendidikan, pengalaman berdagang, dan waktu usaha terhadap keberhasilan pedagang barang antik di Pasar Windujenar Surakarta yang diukur lewat laba yang didapat. Selain itu juga untuk mengetahui ada tidaknya dan jenis hambatan yang dikeluhkan padagang untuk mencapai keberhasilan.

Jenis Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif dengan metode survey, dimana obyek penilitian berjumlah 70 pedagang benda antik di Pasar Windujenar Surakarta. Dalam menganalisis permasalahan pertama digunakan regresi linear berganda yang sebelumnya dilakukan uji pemilihan model dengan MWD test dan Metode Zarembaka. Sedangkan untuk menganalisis permasalahan kedua digunakan analisis deskriptif.

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa variabel modal, pengalaman berdagang dan waktu usaha mempunyai pengaruh secara signifikan terhadap besarnya laba yang diperoleh pedagang barang antik, sedangkan variabel tingkat pendidikan tidak mempunyai pengaruh yang signifikan meskipun mempunyai koefisien regresi yang positif. Dari hasil uji F menunjukkan bahwa secara bersama-sama keempat variabel bebas yaitu modal, tingkat pendidikan, pengalaman berdagang dan waktu usaha berpengaruh terhadap tingkat

keberhasilan pedagang. Nilai Adj R Square yang diperoleh dari regresi linier

adalah sebesar 0.410681. Ini artinya sekitar 41,0681% variasi variabel dependen (perubahan tingkat laba) dapat dijelaskan oleh variasi independen yang dimasukan dalam model yaitu modal, pendidikan, pengalaman berdagang dan waktu usaha. Sisanya sebanyak 58,9319% dijelaskan oleh variasi variabel lain yang tidak dimasukan dalam model. Sedangkan dari hasil analisis deskriptif disimpulkan bahwa masih terdapat hambatan yang dialami pedagang setelah revitalisasi pasar, dimana hambatan terbesar yang dikeluhkan adalah pengunjung pasar yang sepi.

Kata Kunci : pedagang barang antik, sektor informal, regresi linear berganda, analisis deskriptif.

   


(18)

commit to user

 

ABSTRACT

AN ANALYSIS ON THE FACTORS AFFECTING THE ANTIQUE GOODS MERCHANTS SUCCESS

IN WINDUJENAR MARKET OF SURAKARTA Turis Harningsih

(NIM. F0107090)

The location selected in this research is Surakarta city with antique goods merchants in Windujenar Market as the research scope. The objective of research is to find out and to explain how much the effect of capital, education level, trading experience and business time length is on the antique goods merchants’ success in Windujenar Market of Surakarta measured using the profit gained. In addition, it also aims to find out whether or not there is the obstacle and the type of obstacles claimed by the merchants to achieve their success.

This study belongs to a descriptive quantitative using survey method, the object of which is 70 antique goods merchants in Windujenar Market of Surakarta. In analyzing the first problem, a multiple linear regression was used that was tested for model selection previously using test MWD and Zarembaka method. Meanwhile, to analyze the second problem, a descriptive analysis was used.

The result of calculation shows that the capital variable, trading experience and business time length affect significantly the size of profit gained by the antique goods merchants, while the education level variable does not affect significantly despite positive regression coefficient. The result of F test shows that the four independent variables of capital, education level, trading experience and business time length simultaneously affect the merchants’ success level. Adjusted R Square value obtained from the linear regression is 0,410681. It means that about 41,0681% dependent variable variation (the profit level change) can be explained by the dependent variation included in the model namely capital, education level, trading experience and business time length. The rest of 58,9319% is explained by other variable variation excluded from the model. Meanwhile, from the result of descriptive analysis result, it can be concluded that there are obstacles the merchants still face after the market revitalization, the largest of which is the small number of visitors.

Keywords: antique goods merchants, informal sector, multiple linear regression, descriptive analysis.


(19)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut (Arsyad, 1999). Pembangunan merupakan salah satu cara untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Adanya pembangunan selain memberikan dampak positif juga memberi dampak negatif terutama ditunjukkan oleh berbagai masalah tenaga kerja dan kesempatan kerja. Hal ini menjadi masalah yang sangat serius bagi bangsa Indonesia, mengingat jumlah penduduk yang tinggi akan menyebabkan penawaran tenaga kerja yang berlebihan, sedangkan permintaan tenaga kerja di pasar tenaga kerja sangat terbatas.

Pada banyak negara dunia ketiga, yang umumnya memiliki tingkat kesejahteraan rakyat yang relatif masih rendah, mempertinggi tingkat pertumbuhan ekonomi memang sangat mutlak diperlukan untuk mengejar ketertinggalan di bidang ekonomi dari negara-negara industri maju. Oleh karena masih relatif lemahnya kemampuan partisipasi swasta domestik dalam pembangunan ekonomi, mengharuskan baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk mengambil peran sebagai motor penggerak


(20)

pembangunan ekonomi nasional, salah satunya adalah pembangunan ekonomi kerakyatan melalui penguatan pada sektor informal (Suparmoko, 1986 : 120).

Pada umumnya lapangan kerja pada sektor formal menjadi prioritas bagi para tenaga kerja. Akan tetapi adanya ketidakseimbangan antara jumlah permintaan dan penawaran dalam sektor ketenagakerjaan dan ditambah dengan krisis ekonomi yang melanda Indonesia, banyak terjadi Putus Hubungan Kerja (PHK) pada sektor formal tersebut. Untuk itu perlu dikembangkan lapangan kerja pada sektor informal yang pada kenyataannya sektor ini bisa menjadi penyelamat bagi masalah ketenagakerjaan yang kita hadapi. Banyak bidang informal yang berpotensi untuk diangkat dan digali menjadi salah satu bidang usaha yang menghasilkan keuntungan dan pendapatan keluarga sekaligus dapat menyerap tenga kerja. Salah satu bidang usaha informal yang banyak menyerap tenaga kerja tersebut adalah usaha berdagang.

Sektor perdagangan merupakan bagian dari sektor informal yang mempunyai kedudukan dan peranan yang strategis dalam mewujudkan tujuan pembangunan nasional, karena sektor ini merupakan salah satu penyumbang terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi di negara kita. Di Kota Surakarta sendiri kontribusi sektor perdagangan baik di tahun 2008 maupun 2009 menempati urutan pertama dalam pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Surakarta dengan nilai masing-masing mencapai 25,12% dan 25,04%. Hal ini dapat kita lihat pada tabel dibawah ini:


(21)

Tabel 1.1 Distribusi PDRB Kota Surakarta menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2008-2009

No Lapangan Usaha

Tahun 2008

Tahun 2009

1 Pertanian 0.06 0.06

2 Pertambangan dan Penggalian 0.04 0.03

3 Industri Pengolahan 23.27 21.98

4 Listrik, Gas dan Air Bersih 2.57 2.57

5 Bangunan 14.44 14.80

6 Perdagangan 25.12 25.04

7 Pengangkutan dan Komunikasi 11.20 11.11

8 Keuangandan Jasa Perusahaan 10.93 10.99

9 Jasa – jasa 12.38 13.42

Sumber: BPS (2010). Surakarta Dalam Angka 2009

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa pada tahun 2009 sektor perdagangan menghasilkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebesar 2.223.561 juta atau sekitar 25,04% dari seluruh Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Surakarta. Sektor yang menduduki urutan kedua adalah sektor industri pengolahan yang menghasilkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebesar 1.592.356 juta atau sekitar 21,98%. Sedangkan sektor yang menghasilkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) terendah pada tahun 2009 adalah sektor pertanian. Sektor tersebut hanya menyumbang sebesar 0,06% dari total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Surakarta atau sekitar 5.007 juta.

Selain sebagai penyumbang terbesar dalam pertumbuhan ekonomi yang terwujud melalui data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), sektor perdagangan juga dapat dikatakan sebagai salah satu sektor yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang tinggi. Di Kota Surakarta sendiri, sektor perdagangan merupakan sektor yang paling banyak menyerap jumlah tenaga kerja. Pada tahun 2008 sektor ini mampu menyerap tenaga kerja


(22)

sebanyak 108.870 orang, kemudian diikuti oleh sektor jasa dengan serapan tenaga kerja mencapai 61.562 orang. Pada tahun 2009 keadaannya tidak jauh berbeda, dimana jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor perdagangan berkurang menjadi 106.426 orang dan jumlah ini diikuti oleh jasa dengan jumlah tenaga kerja sebesar 59.780 orang. Hal tersebut dapat diperjelas dalam tabel di bawah ini:

Tabel 1.2 Penduduk 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja menurut Lapangan Pekerjaan Utama Di Kota Surakarta Tahun 2008 dan 2009

No Lapangan Usaha

Tahun 2008

Tahun 2009

1 Pertanian 1.743 2.608

2 Pertambangan dan Penggalian - -

3 Industri Pengolahan 44.222 42.065

4 Listrik, Gas dan Air Bersih 604 700

5 Bangunan 7.134 9.217

6 Perdagangan 108.870 106.426

7 Pengangkutan dan Komunikasi 18.221 16.815

8 Keuangan dan Jasa Perusahaan 8.745 9.157

9 Jasa – jasa 61.562 59.780

Sumber: BPS (2010). Surakarta Dalam Angka 2009

Tingginya sumbangan sektor perdagangan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Surakarta dan banyaknya penyerapan tenaga kerja di sektor tersebut disebabkan oleh secara geografis Kota Surakarta tidak memungkinkan untuk meningkatkan taraf perekonomian di sektor agraris, mengingat sebagian wilayah Kota Surakarta merupakan daerah yang kurang subur. Oleh karena itu Surakarta lebih berperan sebagai kota transit barang atau produk dagangan yang berasal dari daerah sekitarnya seperti Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sragen, Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Klaten. Banyaknya barang-barang dagangan yang masuk ke dalam wilayah Kota Surakarta dengan sendirinya membuat sektor


(23)

perdagangan menjadi sektor unggulan penyangga perekonomian. Salah satu bagian yang terpenting atau instrumen dari sektor perdagangan adalah pasar.

Pengertian pasar secara umum adalah sekumpulan pembeli dan penjual dari sebuah barang atau jasa tertentu. Para pembeli sebagai sebuah kelompok yang menentukan permintaan terhadap produk dan para penjual sebagai kelompok yang menentukan penawaran terhadap produk (Mankiw, 2007 : 75). Sedangkan yang dimaksud sebagai pasar tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Swasta, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) termasuk kerjasama dengan swasta dengan tempat usaha berupa toko, kios, los dan tenda yang dimiliki/dikelola pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat atau koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil, dan dengan proses jual beli barang dagangan melalui tawar menawar (Leksono, 2009 : 119).

Pada saat ini keberadaan pasar tradisional yang dahulu merupakan pusat perekonomian telah sedikit demi sedikit ditinggalkan oleh para konsumennya dengan alasan yang beragam mulai dari alasan ketersediaan sarana dalam pasar, kebersihan pasar sampai alasan keamanan pasar. Salah satu alasan yang membuat orang masih berbelanja di pasar tradisional adalah adanya proses tawar menawar yang menimbulkan kedekatan personal dan emosional antara penjual dan pembeli. Hal ini yang tidak mungkin didapatkan ketika berbelanja dipasar modern (Smeru, 2007: 10).

Pemerintah Kota Surakarta seharusnya menyadari bahwa keberadaan pasar tradisional sebagai pusat kegiatan ekonomi masih sangat dibutuhkan


(24)

oleh masyarakat luas. Perhatian Pemerintah Kota Surakarta tersebut dapat dibuktikan dengan melakukan revitalisasi pasar tradisional diberbagai tempat. Target yang dituju sangat sederhana dan menyentuh hal yang sangat mendasar. Selama ini pasar tradisional selalu identik dengan tempat belanja yang kumuh, kotor serta berbau tidak enak, dan karenanya hanya didatangi oleh kelompok masyarakat kelas bawah. Gambaran pasar seperti di atas harus diubah menjadi tempat yang bersih dan nyaman bagi pengunjung. Dengan demikian, masyarakat dari semua kalangan akan tertarik untuk datang dan melakukan transaksi jual beli di pasar tradisional.

Salah satu pasar tradisional yang telah mengalami revitalisasi adalah Pasar Windujenar. Pasar Windujenar atau yang dulu lebih dikenal dengan nama Pasar Triwindu merupakan salah satu objek wisata belanja selain Pasar Klewer. Pasar Windujenar memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan pasar-pasar tradisional yang lain, hal ini dikarenakan pasar ini adalah pusat jual beli barang antik yang mempunyai nilai histori tinggi. Berbagai macam barang antik tersebut antara lain adalah koin, alat musik, topeng,

furniture, kerajinan tangan, bahkan juga terdapat barang-barang asli

peninggalan keraton yang juga diperjualbelikan disini. Kelebihan dan keunikan yang terdapat di dalamnya membuat Pasar Windujenar tidak hanya sering dikunjungi oleh kolektor barang antik dari dalam negeri akan tetapi juga berasal dari luar negeri.

Para pedagang barang antik yang berada di Pasar Windujenar sering dihadapkan pada persoalan tentang bagaimana mencapai keberhasilan usaha melalui optimalisasi peningkatan pendapatan yang dituangkan dalam


(25)

pemilihan kombinasi dari beberapa variabel keputusan. Banyak faktor-faktor yang diduga mempengaruhi tingkat keberhasilan pedagang, termasuk diantaranya adalah modal dagang, waktu usaha, pengalaman berdagang, usia pedagang, tingkat pendidikan pedagang dan letak kios pedagang. Variabel-variabel tersebut selanjutnya akan mempengaruhi besar kecilnya permintaan yang didapat dari konsumen. Seperti yang kita ketahui bersama semakin besar permintaan yang didapat oleh pedagang maka akan semakin besar pula laba yang akan di dapat. Namun dari semua variabel yang telah disebutkan tadi, terdapat beberapa variabel yang diduga paling kuat berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan pedagang yaitu variabel modal, tingkat pendidikan pedagang, pengalaman berdagang dan waktu usaha. Untuk itulah dengan diketahuinya pengaruh dari keempat variabel tersebut terhadap tingkat keberhasilan pedagang, diharapkan mereka dapat mengembangkan usahanya dengan mengambil kebijaksanaan yang tepat.

Maka atas dasar permasalahan di atas, penelitian ini mengambil judul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Pedagang Barang Antik di Pasar Windujenar Surakarta”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka penulis memberikan perumusan masalah sebagai berikut:

1. Apakah variabel modal dagang, tingkat pendidikan, pengalaman berdagang, dan waktu usaha berpengaruh secara signifikan terhadap keberhasilan pedagang barang antik di Pasar Windujenar Surakarta.


(26)

2. Apakah kendala dan hambatan yang dihadapi oleh pedagang barang antik di Pasar Windujenar Surakarta dalam mencapai keberhasilan setelah Pasar Windujenar mengalami revitalisasi.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengaruh variabel modal dagang, tingkat pendidikan, pengalaman berdagang, dan waktu usaha terhadap keberhasilan pedagang barang antik di Pasar Windujenar Surakarta.

2. Untuk mengetahui kendala dan hambatan yang dihadapi oleh pedagang barang antik di Pasar Windujenar Surakarta dalam mencapai keberhasilan setelah Pasar Windujenar mengalami revitalisasi.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang ingin dicapai melalui studi Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Pedagang Barang Antik di Pasar Windujenar Surakarta adalah sebagai berikut:

1. Bagi Pengembangan Ilmu, dapat digunakan untuk menambah khasanah pengetahuan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pedagang Barang Antik di Pasar Windujenar Surakarta.

2. Bagi Pedagang Barang Antik di Pasar Windujenar Surakarta, dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk mengambil keputusan dalam upaya peningkatan keuntungan.


(27)

3. Bagi Pihak Lain, dapat memberikan informasi tambahan khususnya bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam melakukan penelitian berikutnya, khususnya jika akan diterapkan untuk studi-studi di daerah lain.


(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Pasar

a. Pengertian Pasar

Pembangunan ekonomi pada umumnya didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita penduduk suatu negara meningkat dalam jangka panjang (Arsyad, 1999). Dari definisi tersebut pembangunan ekonomi mempunyai 3 (tiga) sifat penting yaitu: (i) suatu proses yang berarti perubahan yang terjadi secara terus-menerus, (ii) usaha untuk menaikkan pendapatan perkapita, dan (iii) kenaikan pendapatan perkapita itu harus berlangsung dalam jangka panjang. Pembangunan ekonomi (economic deveolopment) mempunyai pengertian yang berbeda dengan pertumbuhan ekonomi

(economic growth), pembangunan ekonomi sebagai (Arsyad, 1999) :

1) Peningkatan pendapatan perkapita masyarakat yaitu tingkat pertambahan Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic

Product (GDP) pada suatu tahun tertentu adalah melebihi tingkat

pertambahan penduduk, atau

2) Perkembangan Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross

Domestic Product (GDP) yang terjadi dalam suatu negara diikuti


(29)

Sedangkan pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP) tanpa memandangapakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhanpenduduk, atau apakah terjadi perubahan struktur ekonomi atau tidak.

Pasar adalah sekumpulan pembeli dan penjual dari sebuah barang atau jasa tertentu. Para pembeli sebagai sebuah kelompok yang menentukan permintaan terhadap produk dan para penjual sebagai kelompok yang menentukan penawaran terhadap produk (Mankiw, 2007 : 75). Pasar dalam pengertian teori ekonomi adalah suatu situasi dimana pembeli (konsumen) dan penjual (produsen dan pedagang) melakukan transaksi setelah kedua pihak telah mengambil kata sepakat tentang harga terhadap sejumlah (kuantitas) barang dengan kuantitas tertentu yang menjadi objek transaksi. Kedua pihak, pembeli dan penjual, mendapatkan manfaat dari adanya transaksi atau pasar. Pihak pembeli mendapatkan barang yang diinginkan untuk memenuhi dan memuaskan kebutuhannya sedangkan penjual mendapatkan imbalan pendapatan untuk selanjutnya digunakan untuk membiayai aktivitasnya sebagai pelaku ekonomi produksi atau pedagang.

Pasar dapat terbentuk dengan adanya syarat-syarat sebagai berikut:

1) adanya penjual 2) adanya pembeli


(30)

4) terjadinya kesepakatan antara penjual dan pembeli.

Pasar sebagai tempat transaksi jual beli antara penjual (pedagang) dan pembeli (konsumen) memiliki peran dan fungsi penting dalam kegiatan ekonomi masyarakat. Adapun fungsi pasar ada tiga macam, yaitu (Sadono, 1994: 220) :

1) Fungsi Distribusi

Dalam kegiatan distribusi, pasar berfungsi mendekatkan jarak antara konsumen dengan produsen dalam melaksanakan transaksi. Pasar memiliki fungsi distribusi menyalurkan barang-barang hasil produksi kepada konsumen. Melalui transaksi jual beli, produsen dapat memasarkan barang hasil produksinya baik secara langsung maupun tidak langsung kepada konsumen atau kepada pedagang perantara lainnya. Melalui transaksi jual beli itu pula, konsumen dapat memperoleh barang dan jasa yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhannya secara mudah dan cepat.

2) Fungsi Pembentukan Harga

Sebelum terjadi transaksi jual beli terlebih dahulu dilakukan tawar menawar, sehingga diperoleh kesepakatan harga antara penjual dan pembeli. Dalam proses tawar menawar itulah keinginan kedua belah pihak (antara pembeli dan penjual) digabungkan untuk menentukan kesepakatan harga, atau disebut harga pasar.


(31)

3) Fungsi Promosi

Pasar merupakan sarana paling tepat untuk ajang promosi, karena di pasar banyak dikunjungi para pembeli. Pelaksanaan promosi dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya memasang spanduk, membagikan brosur penawaran, membagikan sampel atau contoh produk kepada calon pembeli, dan sebagainya.

b. Jenis-Jenis Pasar

Dalam perekonomian, bentuk-bentuk pasar dapat dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu: (i) pasar persaingan sempurna, (ii) monopoli, (iii) persaingan monopolistis, dan (iv) oligopoli (Sadono, 1994: 227).

1) Pasar Persaingan Sempurna

Pasar persaingan sempurna di dalam teori ekonomi mikro pada umumnya adalah suatu pasar yang ditandai oleh tidak adanya sama sekali persaingan yang bersifat pribadi (rivaly) di antara perusahaan-perusahaan individu yang ada didalamnya. Berikut adalah ciri-ciri pasar persaingan sempurna:

a) Jumlah penjual dan pembeli masing-masing banyak dan mereka masing-masing bertindak sebagai penerima harga. b) Jenis barang yang diperjualbelikan bersifat homogen (sama). c) Adanya kebebasan bagi penjual dan pembeli untuk keluar

masuk pada bidang usaha atau pasar barang yang bersangkutan.


(32)

d) Setiap pembeli dan penjual memiliki pengetahuan yang sempurna tentang keadaan pasar.

e) Adanya mobilitas sumber daya yang ada secara sempurna, artinya pembeli mudah untuk mendapatkan barang dan penjual mudah untuk mendapatkan sumber daya produksi.

2) Pasar Monopoli

Pasar monopoli adalah suatu pasar yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

a) Hanya ada satu penjual.

b) Tidak ada penjual lain yang menjual output yang dapat mengganti secara baik (close subtitute) output yang dijual monopolis.

c) Ada halangan (baik alami maupun buatan) bagi perusahaan lain untuk memasuki pasar.

3) Pasar Persaingan Monopolistis

Model pasar persaingan monopolistis dibandingkan dengan model pasar persaingan sempurna atau monopoli relatif masih baru. Ciri-cirinya adalah :

a) Di pasar banyak terdapat penjual dan juga pembeli.

b) Produk yang dihasilkan produsen dibedakan (diusahakan mempunyai ciri yang berbeda-beda antara produk yang satu dengan produk yang lain), tetapi diantara mereka terdapat kemampuan untuk saling mengganti secara cukup besar.


(33)

c) Terdapat kebebasan bagi perusahaan untuk masuk dan keluar dari pasar.

4) Pasar Oligopoli

Pasar oligopoli yaitu pasar yang terdiri dari beberapa produsen saja, namun ada kalanya pasar oligopoli terdiri dari dua perusahaan saja, yang dinamakan duopoli (Sadono, 1994: 311). Dalam pasar oligopoli tidak terdapat keseragaman dalam sifat-sifat berbagai industri. Sebagian perusahaan menghasilkan barang yang sangat bersamaan (identical), tetapi ada pula perusahaan-perusahaan yang menghasilkan barang yang berbeda corak. Biasanya struktur industri dalam pasar oligopoli terdapat beberapa perusahaan raksasa yang menguasai sebagian besar pasar oligopoli, antara 70% sampai 80% dari seluruh nilai penjualan.

c. Pasar Tradisional

Menurut Leksono yang dimaksud sebagai pasar tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Swasta, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) termasuk kerjasama dengan swasta dengan tempat usaha berupa toko, kios, los dan tenda yang dimiliki/dikelola pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat atau koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil, dan dengan proses jual beli barang dagangan melalui tawar menawar.


(34)

2. Sektor Informal

Sektor informal digambarkan sebagai suatu kegiatan usaha berskala kecil yang dikelola oleh individu-individu dengan tingkat kebebasan yang tinggi dalam mengatur cara bagaimana dan dimana usaha tersebut dijalankan. Sektor informal juga didefinisikan sebagai sektor yang tidak menerima bantuan dari pemerintah atau sektor yang belum menggunakan bantuan ekonomi dari pemerintah meskipun bantuan itu telah tersedia atau sektor yang telah menerima bantuan ekonomi dari pemerintah namun belum sanggup berdikari (Soetjipto, 1985: 5).

Sektor ini mempunyai karakteristik yang amat berbeda dengan sektor formal. Hal ini seperti yang ditunjukkan oleh tabel berikut :

Tabel 2.1 Perbedaan Karakteristik Sektor Informal dan Sektor Formal

No. Karakteristik Formal Informal

1 Modal Relatif mudah diperoleh Sukar diperoleh

2 Teknologi Padat modal Padat karya

3 Organisasi Birokrasi Mempunyai organisasi,

keluarga

4 Kredit Lembaga keuangan resmi Lembaga keuangan

tidak resmi

5 Serikat pekerja Sangat berperan Tidak berperan

6 Sifat wiraswasta Tergantung pemerintah Berdikari

7 Persediaan barang Jumlah besar kualitas baik Jumlah kecil kualitas berubah

8 Hubungan majikan

dan pekerjaan Hubungan kontrak kerja

Berdasarkan saling kepercayaan

Sumber: Tulus Haryono

3. Penyebab timbulnya sektor informal

Dijelaskan oleh Subri (2003: 85-87), munculnya dilema ekonomi informal di Indonesia adalah sebagai dampak dari makin kuatnya proses modernisasi yang bergerak bias menuju sifat-sifat yang dualistis. Bias


(35)

pembangunan secara makro akan menghasilkan sistem ekonomi lain, yaitu sektor informal yang banyak terjadi di negara-negara sedang berkembang. Fenomena dualisme ekonomi yang melahirkan sektor informal ini menunjukkan bukti adanya keterpisahan secara sistematis-empiris antara sektor formal dengan sektor informal dari sebuah sistem ekonomi nasional.

Hal ini memberi legitimasi ekonomi dan politik bahwa perekonomian suatu negara mengalami stagnasi dengan tingkat pengangguran yang sangat tinggi dan ketimpangan sosial ekonomi yang cukup besar. Kegiatan sektor informal yang menonjol biasanya terjadi dikawasan yang sangat padat penduduknya, dimana pengangguran

(unemployment) maupun pengangguran terselubung (disquised

unemployment) merupakan masalah yang utama. Adanya jumlah tenaga

kerja yang tidak sebanding dengan kesempatan kerja tersebut pada akhirnya akan tertampung dalam sektor informal, akan tetapi tertampungnya tenaga kerja dalam sektor informal masih dipandang sebagai penyelesaian sementara karena di dalam sektor informal sendiri terdapat persoalan yang sangat rumit.

4. Teori Permintaan dan Penawaran

a. Permintaan

Permintaan dalam ekonomi adalah kombinasi harga dan jumlah suatu barang yang ingin dibeli oleh konsumen pada berbagai tingkat harga suatu periode tertentu. Permintaan suatu barang sangat dipengaruhi oleh pendapatan dan harga barang tersebut. Apabila harga barang naik sedang pendapatan tidak berubah maka permintaan


(36)

barang tersebut akan turun. Sebaliknya, jika harga barang turun, sedang pendapatan tidak berubah maka permintaan barang akan mengalami kenaikan atau bertambah (Soekirno, 1985).

Dalam analisis permintaan hanya ada satu faktor yang berpengaruh terhadap jumlah barang yang diminta yaitu harga produk, sedangkan faktor-faktor lain seperti selera, pendapatan dan faktor diluar itu dianggap sebagai ceteris paribus (tidak berubah). Dengan demikian dapat diketahui hubungan antara jumlah barang yang diminta dengan tingkat harga tersebut (Sudarsono, 1983).

Hukum permintaan menyatakan bahwa, bila harga suatu barang naik sedangkan faktor-faktor lain dianggap ceteris paribus maka jumlah barang yang diminta konsumen akan mengalami penurunan. Hukum tersebut membentuk suatu kurva seperti pada gambar 2.1, dimana sumbu horizontal menunjukkan jumlah barang yang diminta dan sumbu vertikal menunjukkan tingkat harga. Dari kurva tersebut terlihat bahwa pada tingkat harga tinggi (P0), jumlah barang yang diminta rendah (Q0), dan apabila pada tingkat harga yang lebih rendah (P1), jumlah barang yang diminta akan meningkat (Q1).

P

P0 P1

Permintaan (D)

Q0 Q1 Q


(37)

Fungsi permintaan menunjukkan hubungan antara variabel tidak bebas dan semua variabel yang dapat mempengaruhi besarnya variabel tidak bebas. Fungsi permintaan dapat ditulis sebagai berikut (Suparmoko, 1990):

Qa = f ( PA, PB-Z, I, T, A, N ) Keterangan :

Qa = Jumlah barang yang diminta PA = Harga barang A

PB-Z = Harga barang lain

I = Tingkat pendapatan konsumen T = Selera

A = Pengeluaran perusahaan untuk advertensi N = Jumlah penduduk

Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan menurut Faried Wijaya (1991) selain harga barang itu sendiri adalah :

1) Selera konsumen

Perubahan selera konsumen yang lebih menyukai barang berarti akan lebih banyak barang yang diminta pada setiap tingkat harga. Jadi permintaan akan naik atau kurva permintaan akan bergeser ke kanan. Sebaliknya berkurangnya selera konsumen akan barang tersebut menyebabkan permintaan turun yang berarti kurva permintaan bergeser ke kiri.


(38)

2) Banyaknya konsumen pembeli

Bila volume pembelian oleh masing-masing konsumen adalah sama, maka kenaikan jumlah konsumen di pasar akan menyebabkan kenaikan permintaan, sehingga kurvanya bergeser ke kanan. Penurunan jumlah atau banyaknya konsumen akan menyebabkan penurunan permintaan.

3) Pendapatan konsumen

Pengaruh perubahan pendapatan terhadap permintaan barang mempunyai dua kemungkinan. Pada umumnya pengaruh pendapatan terhadap permintaan adalah positif dalam arti bahwa kenaikan pendapatan akan menaikkan permintaan. Hal ini terjadi apabila barang tersebut merupakan barang superior atau normal. Akan tetapi pada jenis barang inferior, maka kenaikkan pendapatan justru menurunkan permintaan.

4) Harga barang-barang lain yang bersangkutan

Barang-barang lain yang bersangkutan biasanya merupakan barang subsitusi atau barang komplementer. Kenaikan harga barang subsitusi akan membuat harga barang tersebut turun secara relatif meskipun pada kenyataannya harganya tetap. Permintaan suatu barang akan naik apabila harga barang penggantinya turun. Hal ini karena harga barang tersebut terlihat lebih murah dibandingkan dengan harga barang penggantinya. Kenaikan harga barang pelengkap suatu barang tertentu akan


(39)

menyebabkan permintaan akan barang tersebut turun, dan sebaliknya.

5) Ekspektasi

Ekspektasi para konsumen terhadap harga-harga juga akan mempengaruhi permintaan suatu barang. Apabila harga suatu barang diperkirakan mengalami kenaikan di masa yang akan depan maka tingkat permintaan terhadap barang tersebut secara otomatis akan mengalami kenaikan. Hal ini dilakukan oleh masyarakat untuk memperoleh harga yang lebih rendah. Sebaliknya, apabila masyarakat memperkirakan harga suatu barang turun di masa yang akan datang maka tingkat permintaan barang tersebut akan mengalami penurunan. Hal ini terjadi karena masyarakat lebih menunda membeli atau menggunakan agar uang yang dia keluarkan tidak setinggi harga barang tersebut pada saat ini. Hal ini juga akan terjadi apabila masyarakat memperkirakan pendapatannya akan turun pada masa yang akan datang.

b. Penawaran

Penawaran adalah hubungan antara harga dan jumlah barang yang ditawarkan. Secara lebih spesifik, penawaran menunjukkan seberapa banyak produsen mau dan mampu menawarkan suatu barang per periode pada berbagai kemungkinan tingkat harga, dengan asumsi

ceteris paribus. Hukum penawaran menyatakan bahwa jumlah barang

yang ditawarkan secara langsung berhubungan dengan tingkat harganya, hal lain diasumsikan konstan. Jadi semakin rendah tingkat


(40)

harganya, maka jumlah yang barang ditawarkan juga semakin sedikit dan sebaliknya semakin tinggi harganya maka semakin tinggi juga jumlah yang ditawarkan.

Kurva penawaran menunjukkan hubungan antara harga suatu barang dengan jumlah yang ditawarkan, hal lain diasumsikan konstan. Pada umumnya kurva penawaran menaik dari kiri bawah ke kanan atas. Bentuk kurva penawaran bersifat demikian karena terdapat hubungan yang positif diantara tingkat harga dan jumlah barang yang ditawarkan dimana semakin tinggi tingkat harga, maka semakin banyak jumlah yang ditawarkan (Sukirno, 2003 : 88-89).

P

P0 Penawaran (S) P1

Q0 Q1 Q

Gambar 2.2 Kurva Penawaran

Perubahan jumlah yang ditawarkan adalah reaksi produsen terhadap perubahan harga barang yang dicerminkan dengan gerakan sepanjang kurva penawaran. Perubahan penawaran adalah reaksi produsen terhadap perubahan faktor-faktor yang mempengaruhinya selain harga barang yang bersangkutan, dicerminkan dengan pergeseran kurva penawaran (McEachern, 2000 : 50).


(41)

Harga

S2 S S3 P A2 A A3

P1 B S2

S S3

Q2 Q1 Q Q3 Jumlah Barang

Gambar 2.3 Grafik Pergerakan Titik-Titik di Sepanjang Kurva Penawaran dan Pergeseran Kurva Penawaran

Dimisalkan pada mulanya kurva penawaran adalah SS. Titik A menggambarkan bahwa pada waktu harga adalah P, jumlah barang yang ditawarkan adalah Q. Bila harga turun menjadi P1, hubungan di antara harga dan jumlah yang ditawarkan pindah ke titik B. Berarti sekarang jumlah yang ditawarkan hanya sebanyak Q1. Perubahan dalam jumlah yang ditawarkan terjadi akibat dari pergeseran kurva penawaran yang digambarkan dengan bergesernya kurva dari SS menjadi S2S2 atau S3S3. Pada gambar di atas pergeseran kurva penawaran dari SS menjadi S2S2, menyebabkan jumlah barang yang ditawarkan berkurang dari Q menjadi Q2 walaupun harga tetap sebesar P, seperti ditunjukkan oleh titik A2. Pergeseran SS menjadi S3S3 menggambarkan peningkatan penawaran, dimana jumlah barang yang ditawarkan meningkat dari Q menjadi Q3, sedangkan tingkat harga tetap sebesar P (Sukirno, 2003 : 90-91).


(42)

5. Teori Laba

Ada beberapa penjelasan mengenai mengapa laba itu terjadi  (Downey dan Steven, 1992). Pertama, laba merupakan imbalan atas keberanian resiko dalam bisnis. Kalau pemilik harta pribadi mempercayai sumber daya perorangan pada proyek bisnis, pengembalian atas modal yang ditanam (return on invesment) tidak dijamin. Selalu ada kemungkinan bahwa proyek akan gagal dan semua atau sebagian modal yang ditanam akan hilang. Makin besar resiko yang terlibat, maka besar laba yang bisa diperoleh jika usaha berhasil. Kenyataannya, pengharapan akan keuntungan yang lebih besar merupakan kekuatan motivasi di belakang usaha yang sangat beresiko.

Kedua, laba dihasilkan oleh pengendalian atas sumber daya yang langka. Di Amerika hampir semua harta dimiliki dan dikendalikan oleh masing-masing warga negara. Kalau seorang warga negara memiliki sumber daya yang diinginkan orang lain, maka pihak yang menginginkan akan menawarkan harga yang lebih tinggi sehingga pemilik akan mendapatkan laba. Makin besar permintaan akan sumber daya, makin tinggi harga dan makin besar laba bagi pemilik atau para pemilik.

Ketiga, laba bisa diperoleh karena orang-orang tertentu bisa mendapat informasi yang tidak tersebar luas. Pemilik sumber yang mempunyai pengetahuan khusus seperti cara pemprosesan yang bersifat rahasia, rumus-rumus dan resep, dapat menggunakan informasi ini secara eksklusif sehingga bisa sangat unggul dalam persaingan. Semua konsep mengenai hak paten dan hak cipta berkembang sebagai bagian dari usaha


(43)

formal untuk mendorong daya cipta dengan adanya jaminan bahwa pencipta akan mendapatkan laba atas gagasan-gagasannya.

Keempat, ada laba yang bisa diperoleh hanya karena beberapa bisnis dikelola lebih efektif daripada bisnis lain. Para manajer dari bisnis semacam itu seringkali merupakan perencana dan pemikir yang kreatif yang organisasinya sehari-hari berjalan dengan sangat efisien. Tambahan untuk pelaksanaan kerja yang lebih baik ini biasanya adalah laba.

Akuntan dan ekonom sama-sama berbicara tentang laba, akan tetapi keduanya mempunyai cara pandang yang berbeda. Akuntan memandang laba sebagai saldo penghasilan setelah semua biaya aktual yang dapat diukur dikurangkan. Akan tetapi, para ekonom menentukan laba dengan menguji penggunaan alternatif untuk sumber daya yang ada dalam badan usaha. Perbedaan pendapat antara akuntan dan ekonom tersebut sebenarnya disebabkan oleh adanya konsep biaya oportunitas. Biaya oportunitas sendiri adalah jumlah penerimaan yang dikorbankan bisnis karena tidak memilih serangkaian alternatif dalam penggunaan sumber daya.

Laba ekonomi didefinisikan sebagai laba akuntansi dikurangi biaya oportunitas. Sebelum menanamkan sejumlah uang dalam menentukan alternatif penggunaan sumber daya, manajer harus dapat memperkirakan biaya oportunitas. Perkiraan ini juga membantu para manajer untuk memutuskan apakah setiap penggunaan sumber daya yang berupa waktu dan uang merupakan peluang terbaik yang tersedia. Akan tetapi konsep laba ekonomi juga memiliki kelemahan, yaitu:


(44)

a. Banyak nilai yang terkandung yang ternyata sulit untuk diperhitungkan.

b. Pengukuran nilai penyesuaian ke dalam bentuk uang terkadang sulit dilakukan.

c. Perbedaan tipe penanaman modal mungkin sulit untuk dibandingkan langsung satu sama lain dengan satu cara yang benar-benar memenuhi konsep biaya oportunitas.

Di dalam kegiatan usaha, perusahaan akan selalu berusaha memaksimalkan laba yang diperoleh. Berikut adalah prinsip-prinsip pemaksimalan laba tersebut:

a. Biaya Marjinal / Pendapatan Marjinal

Biaya marjinal adalah tambahan biaya untuk memproduksi satu unit tambahan produksi, sedangkan pendapatan marjinal adalah tambahan penghasilan yang diperoleh dari penjualan satu unit tambahan produksi. Prinsip dasar ekonomi menyatakan bahwa laba akan dimaksimalisasi dengan meningkatkan produksi sampai biaya marjinal sama dengan pendapatan marjinal.

BM = PM

Prinsip ini mengandung gagasan bahwa masukan (input) hanya boleh ditambahkan pada proses produksi sampai pada titik di mana biaya-biayanya persis sama dengan tambahan pendapatan yang dihasilkan sebagai keluaran (output).


(45)

b. Tingkat Substitusi Marjinal / Rasio Kebalikan Harga

Pada bidang usaha tertentu seringkali ada kemungkinan untuk memproduksi jumlah keluaran yang sama dengan berbagai kombinasi masukan. Dengan demikian, produsen yang memaksimalkan laba akan mengusahakan kombinasi masukan dengan biaya terendah untuk menghasilkan jumlah keluaran yang sama. Atau dengan kata lain:

Tingkat subsitusi marjinal = rasio kebalikan harga TSM = RKH

c. Pengembalian Marjinal yang Sama

Kriteria penting lainnya dalam keputusan produksi berkaitan dengan apa yang harus diproduksi. Seringkali perusahaan dapat memproduksi banyak ragam produk tetapi keterbatasan masukan atau anggaran produksi akan menjadi kendala. Prinsip produksi akhir ini menyatakan bahwa produksi berbagai perusahaan harus dilaksanakan sampai pengembalian marginal dari produk-produk tersebut sama, atau masukan variabel harus digunakan pada pemanfaatan marjinal tertinggi sampai tercapai pengembalian yang sama.

6. Pengertian Pedagang

Pedagang merupakan orang yang berusaha di bidang produksi dan berjualan barang-barang untuk memenuhi kebutuhan kelompok konsumen tertentu di dalam masyarakat dalam suasana lingkungan informal. Mereka adalah orang yang menjalankan kegiatan dalam usaha memindahkan hak atas orang lain secara terus-menerus sebagai sumber penghidupannya (Irawan Basu Swastha, 1992: 289).


(46)

Pedagang kecil pada awalnya diartikan sebagai orang yang menjual barang-barang dan jasa langsung kepada konsumen akhir bagi pemanfaatan yang sifatnya perseorangan dan bukan untuk usaha. Arti sempit pedagang kecil atau pengecer adalah sebuah lembaga untuk melakukan suatu usaha menjual barang kepada konsumen akhir untuk keperluan pribadi atau non-bisnis (Irawan Basu Swastha, 1992: 291).

Menurut Forbes (dalam Marning dan Effendi, 1985: 335-358), struktur perdagangan sektor informal dapat dilihat secara tepat dengan menggolongkan para pedagang dalam tiga kategori, yaitu:

a. Penjual Borongan (Punggawa)

Punggawa adalah istilah umum yang digunakan di seluruh Sulawesi Selatan untuk menggambarkan pihak yang mempunyai cadangan atau penguasaan modal yang lebih besar dalam perekonomian dan digunakan secara luas di kota dan di desa. Istilah punggawa ini tidak mempunyai pengertian tepat, namun diantara pedagang sektor informal, istilah ini dapat digunakan untuk menggambarkan para wiraswasta yang memodali dan mengorganisir barang-barang dagangan.

b. Pengecer Besar

Pedagang besar adalah pedagang-pedagang besar yang mempunyai warung di pasar. Warung atau kios tersebut adalah tempat yang permanen, dalam artian bahwa bangunannya tidak berpindah-pindah, namun kekuatan penggunaan tempat tersebut tergantung pada persetujuan dan tata tertib pemerintah setempat.


(47)

c. Pengecer Kecil

Kategori pengecer kecil ini mencakup pedagang pasar yang berjualan di luar pasar, tepi jalan maupun mereka yang menempati kios-kios di pinggiran pasar. Perbedaan dari pengecer besar adalah mereka hanya membayar sedikit saja untuk menggunakan tempat-tempat tersebut, tidak seperti pedagang yang memperoleh tempat-tempat yang tetap dalam pasar yang resmi.

Seperti yang disebutkan sebelumnya pedagang merupakan orang yang berusaha di bidang produksi dan berjualan barang-barang untuk memenuhi kebutuhan kelompok konsumen tertentu di dalam masyarakat dalam suasana lingkungan informal. Tujuan dari kegiatan yang dilakukan tersebut adalah untuk memperoleh keuntungan yang maksimum.

a. Keberhasilan Usaha Pedagang

Tujuan pokok suatu perusahaan adalah untuk memperoleh laba maksimum. Disamping tujuan pokok tersebut, masih ada tujuan-tujuan lainnya, diantaranya adalah pertumbuhan skala usahanya dalam jangka panjang, kepentingan sosial dan sebagainya (Sudarsono, 1993: 191).

Untuk melihat keberhasilan dari suatu perusahaan dapat dilihat dari tercapai tidaknya tujuan tersebut dan untuk menilainya digunakan laba sebagai tolok ukurnya. Semakin cepat perusahaan tersebut dapat memutar uang, maka akan semakin besar pula labanya. Demikian pula pengukuran keberhasilan usaha pedagang tradisional yang tidak mempunyai konsep seperti marketing, planning, controlling juga


(48)

dapat dilihat dari labanya. Dalam penelitian ini untuk mengukur keberhasilan usaha pedagang hanya dibatasi pada tingkat laba yang diperoleh. Laba disini adalah balas jasa pada suatu sistem ekonomi yang dicapai oleh pemilik badan-badan usaha. Pedagang dalam hal ini juga berperan sebagai badan usaha, hanya saja mereka tidak mempunyai ijin secara resmi dari pemerintah. Laba yang diperoleh pedagang ini akan dihitung dari selisih pendapatan yang diperoleh dikurangi dengan total pengeluarannya.

b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Pedagang

Barang Antik di Pasar Windujenar Surakarta

1) Modal dagang

Modal merupakan faktor penting dalam kegiatan usaha, sebab modal merupakan urat nadi bagi kelangsungan usaha. Semakin besar modal kerja, maka semakin luas kesempatan untuk mengambangkan usaha. Modal dagang disini terdiri dari modal sendiri dan modal yang bukan milik sendiri yang biasanya berupa pinjaman. Modal tersebut digunakan untuk membiayai kegiatan usahanya sehari-hari, seperti untuk pembelian barang dagangan, pembayaran tenaga kerja, ongkos pengangkutan serta dapat berupa uang kas, tagihan dan persediaan barang dagangan.

2) Tingkat Pendidikan Pedagang

Secara umum dapat dikatakan bahwa pendidikan akan membentuk pengetahuan seseorang dan selanjutnya akan mempengaruhi perilaku dan proses pengambilan keputusan.


(49)

Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin tinggi ketrampilan dan keahlian yang dimilikinya. Keahlian ini akan memudahkan seseorang untuk menganalisa informasi yang diterima, menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan yang terjadi serta mampu membantu dalam pengambilan keputusan.

Hubungan pendidikan dengan produktivitas kerja dapat tercermin dalam tingkat penghasilan yang diperoleh. Pendidikan yang lebih tinggi akan mengakibatkan produktivitas kerja yang lebih tinggi dan akan memungkinkan perolehan penghasilan yang lebih tinggi pula (Payaman Simanjuntak, 1987: 66).

3) Pengalaman Berdagang

Pengalaman usaha berpengaruh positif terhadap tingkat keuntungan. Menurut Ross Steele (1980) dalam penelitian tentang mobilitas penghasilan migran di Surabaya menunjukkan adanya pengaruh usia pendatang dan jangka waktu bertempat tinggal di kota (Chris Manning dan Effendi, 1985: 397). Hal ini dimaksudkan bahwa makin lama seseorang menekuni pekerjaannya, maka makin banyak pula pengalaman dalam usahanya tersebut. Hal ini tentu saja akan meningkatkan keberhasilan usahanya, karena selain mereka mempunyai pengalaman dalam pengelolaannya mereka juga mengetahui celah-celah mana yang sekiranya dapat membuat barang dagangannya laku sehingga akan memperbesar omzet penjualan yang akhirnya akan meningkatkan laba. Dengan pengalaman


(50)

kerja yang lama, seseorang akan lebih terampil, cekatan dan cepat dalam melakukan pekerjaannya, sehingga pekerjaan yang dilakukan akan memberikan hasil yang baik.

4) Waktu Usaha

Waktu usaha adalah waktu yang dimanfaatkan seseorang untuk memproduksi barang atau jasa tertentu. Adapun waktu yang dimaksudkan disini adalah lamanya jam yang benar-benar digunakan seseorang untuk kegiatan produktif, semakin banyak waktu usaha yang digunakan maka semakin banyak produk dan pendapatan yang diperoleh. Jones dan Bondan telah membagi lama kerja seseorang dalam satu minggu menjadi tiga kategori (Aris & Hatmaji 1985 : 175).

a) Seseorang yang bekerja kurang dari 35 jam perminggu, maka ia dikategorikan bekerja dibawah jam normal.

b) Seseorang yang bekerja antara 35 sampai 45 jam perminggu, maka ia dikategorikan bekerja pada jam normal.

c) Seseorang yang bekerja diatas 45 jam peminggu, maka ia dikategorikan bekerja dengan jam panjang.

c. Hambatan yang dihadapi pedagang setelah revitalisasi Pasar

Windujenar Surakarta antara lain :

1) Pengunjung pasar masih sepi

Pasar Windujenar adalah pasar yang tidak menjual berbagai macam keperluan konsumsi seperti kebanyakan pasar lainnya. Para pedagang di pasar ini hanya menjual berbagai


(51)

macam barang antik. Pasar ini biasanya hanya dikunjungi orang-orang tertentu saja seperti para kolektor dan jarang dikunjungi oleh masyarakat secara umum. Oleh karena itu sehari-harinya pasar ini tidak terlalu ramai pengunjung yang pada akhirnya membuat transaksi dagang pun tidak terlalu banyak terjadi.

2) Kurang adanya dukungan promosi dari Pemkot Surakarta

Pasar Windujenar merupakan pasar yang menjual berbagai macam barang antik, hal ini menyebabkan pasar ini mempunyai potensi yang baik sebagai pasar tujuan wisata. Perhatian dari Pemerintah Kota Surakarta dalam upaya mempromosikan pasar ini diwujudkan melalui acara-acara yang diselenggarakan disekitar pasar. Walaupun sudah ada perhatian dari Pemkot Surakarta dalam masalah promosi akan tetapi kenyataannya pengunjung Pasar Windujenar tidak mengalami penambahan jumlah yang signifikan. Akibatnya transaksi dagang pun tidak terlalu banyak terjadi.

3) Terbatasnya modal pedagang

Modal merupakan faktor yang penting dalam kegiatan usaha. Semakin besar modal kerja, maka semakin luas kesempatan untuk mengambangkan usaha. Modal dagang disini terdiri dari modal sendiri dan modal yang bukan milik sendiri yang biasanya berupa pinjaman. Akan tetapi dalam memperoleh pinjaman modal terutama dari bank, para pedagang masih merasa


(52)

kesulitan. Hal inilah yang terkadang membuat pedagang sulit mengembangkan usahanya.

4) Tingkat persaingan yang tinggi antar pedagang

Tingkat persaingan dalam usaha juga merupakan hambatan dalam mencapai keberhasilan dari usaha yang dijalankan. Apabila banyak pedagang yang menjual barang dagangan yang jenisnya hampir sama maka pendapatan pedagang pun juga tidak akan sebesar bila jumlah pedagang yang menjual barang tersebut sedikit. Hal ini juga terjadi di Pasar Winujenar karena pedagang kebanyakan menjual barang antik dengan jenis yang hampir sama, sehingga persaingan antar pedagang pun semakin tinggi. Dengan tingginya tingkat persaingan maka kemungkinan pedagang untuk memperoleh pendapatan atau laba yang tinggi pun semakin kecil.

B. Penelitian Terdahulu

1. Wulaningsih

Wulaningsih (2005) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Usaha Pedagang Pasar Klewer Surakarta”. Masalah yang akan dicari jawabannya dalam penelitian ini adalah apakah variabel-variabel total penjualan, modal kerja, lama usaha, jumlah tenaga kerja, umur, jumlah pelanggan tetap, tingkat pendidikan, letak kios, status persaingan, dan jenis kelamin pedagang mempengaruhi keberhasilan usaha pedagang Pasar Klewer Surakarta. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan metode survey.


(53)

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pedagang Pasar Klewer Surakarta. Besarnya sampel ditentukan dengan rumus Slovin yaitu sebesar 100 responden.

Hasil analisis menunjukkan bahwa berdasarkan uji t, maka variabel yang positif dan signifikan mempengaruhi keberhasilan usaha pedagang Pasar Klewer Surakarta pada derajat signifikansi 10% adalah total penjualan dengan nilai t sebesar 5,235 dan probabilitas 0,000, modal kerja dengan nilai t sebesar 3,227 dan probabilitas 0,002, dan lama usaha dengan nilai t sebesar 2,791 dan probabilitas 0,006. Sedangkan variabel yang negatif dan signifikan mempengaruhi keberhasilan usaha pedagang Pasar Klewer Surakarta pada derajat signifikansi 10% adalah jumlah tenaga kerja dengan nilai t sebesar -3,285 dan probabilitas 0,001 dan umur pedagang dengan nilai t sebesar -2,443 dan probabilitas 0,017. Sedangkan variabel jumlah pelanggan tetap, tingkat pendidikan, letak kios, status persaingan dan jenis kelamin tidak signifikan mempengaruhi keberhasilan usaha pedagang Pasar Klewer Surakarta. Berdasarkan perhitungan terhadap uji F, diperoleh nilai F hitung yaitu sebesar 20,470 dengan probabilitas 0,000, maka disimpulkan bahwa secara bersama-sama faktor total penjualan, modal kerja, lama usaha, jumlah tenaga kerja, umur, jumlah pelanggan tetap, tingkat pendidikan, letak kios, status persaingan, dan jenis kelamin mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap keberhasilan usaha pedagang Pasar Klewer Surakarta pada tingkat signifikansi 10%, hal ini berarti hipotesis pertama terbukti kebenarannya. Berdasarkan nilai R-Square diperoleh nilai Adjusted


(54)

R-Square sebesar 0,684 atau 68,4%, yang berarti bahwa 68,4% variasi variabel keberhasilan usaha dapat dijelaskan oleh variasi variabel total penjualan, modal kerja, lama usaha, jumlah tenaga kerja, umur, jumlah pelanggan tetap, tingkat pendidikan, letak kios, status persaingan, dan jenis kelamin, sedangkan sisanya 31,6% dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Berdasarkan hasil regresi, nilai koefisien beta terbesar yaitu total penjualan, jadi hipotesis kedua tidak terbukti kebenarannya.

2. Muhammad Latief

Muhammad Latief (2004) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Usaha Pedagang Pasar Gede Surakarta”. Hipotesis dalam penelitian ini adalah diduga faktor modal kerja, pengalaman usaha, jam kerja, tingkat pendidikan dan pembukuan mempunyai pengaruh positif terhadap keberhasilan usaha pedagang, serta modal kerja merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap keberhasilan usaha pedagang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel modal kerja, pengalaman usaha, jam kerja, tingkat pendidikan, dan dummy pembukuan berpengaruh secara signifikan terhadap keberhasilan usaha pedagang Pasar Gede Surakarta. Berarti hipotesis yang telah dikemukakan terbukti.

Sedangkan faktor yang paling berpengaruh terhadap keberhasilan usaha pedagang adalah jam kerja pedagang. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis kedua bahwa modal usaha merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap keberhasilan usaha pedagang tidak terbukti. Nilai R2 yang dihasilkan pada model regresi sebesar 0,878 berarti sebesar


(55)

87,8% variasi variabel dependen (keberhasilan usaha) dapat dijelaskan oleh variabel independennya (modal kerja, pengalaman usaha, jam kerja, pendidikan dan dummy pembukuan). Sedangkan sisanya yaitu sebesar 12,2% dijelaskan variabel lain yang tidak ada dalam model. Variabel yang paling berpengaruh atau dominan dalam mempengaruhi keberhasilan usaha yang dinyatakan dalam jumlah perolehan keuntungan pedagang Pasar Gede Surakarta adalah jam kerja pedagang yang dibuktikan dengan nilai koefisien beta dari variabel jam kerja adalah yang paling besar, yaitu: 0,381 kemudian diikuti variabel tingkat pendidikan (0,159), urutan berikutnya adalah modal kerja, pengalaman usaha, dan keterlibatan proses pembukuan laporan keuangan.

C. Kerangka Pemikiran

Untuk lebih memudahkan dalam proses analisis permasalahan yang telah dikemukakan diatas, ada 8 (delapan) variabel bebas (independen) yang berpengaruh terhadap keberhasilan pedagang Barang Antik di Pasar Windujenar Surakarta (variabel dependen). Dimana 4 (empat) variabel dianalisis dengan alat analisis Regresi Linier Berganda dan 4 (empat) variabel lainnya akan dianalisis dengan analisis deskriptif. Berikut adalah kerangka pemikiran yang akan digunakan dalam penelitian ini:


(56)

Gambar 2.4 Kerangka Pemikiran D. Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian maka hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah:

1. Diduga variabel modal dagang, tingkat pendidikan, pengalaman berdagang dan waktu usaha berpengaruh positif terhadap keberhasilan pedagang barang antik di Pasar Windujenar Surakarta.

2. Diduga masih terdapat kendala dan hambatan yang dihadapi oleh pedagang barang antik di Pasar Windujenar Surakarta dalam mencapai keberhasilan setelah Pasar Windujenar mengalami revitalisasi.

Modal Dagang

Tingkat Pendidikan Pedagang

Keberhasilan Pedagang Pengalaman

Berdagang

Waktu Usaha


(57)

BAB III

METODEPENELITIAN

A. Ruang Lingkup Penelitian

Lokasi yang dipilih dalam penelitian ini adalah kota Surakarta dengan ruang lingkup penelitian adalah pedagang barang antik di Pasar Windujenar. Penelitian ini berbentuk survey atas data primer dan data sekunder. Data primer diambil secara langsung melalui wawancara melalui instrumen quisioner dari pedagang barang antik yang merupakan populasi dari obyek penelitian. Data sekunder merupakan data statistik terkini yang diambil dari beberapa instansi terkait dan berbagai sumber kepustakaan yang lain yang mendukung data primer yang didapat.

B. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian dibagi menjadi data primer dan data sekunder.

1. Data Primer adalah data yang diperoleh melalui observasi dan wawancara secara langsung di lapangan yang dipandu dengan daftar pertanyaan (quisioner) atau angket yang dibuat sesuai dengan kebutuhan penelitian. Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan para pedagang pasar.

2. Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari literatur, buku, laporan penelitian maupun dari sumber tertulis lainnya.


(58)

C. Metode Pengumpulan Data

1. Observasi, yaitu pengamatan secara langsung terhadap obyek penelitian sehingga dapat mengetahui dan mencatat data yang diperlukan untuk proses penyelesaian penelitian ini.

2. Interview, yaitu wawancara secara langsung dengan pihak-pihak yang terkait penelitian ini.

3. Quesioner, yaitu berupa lembaran berisi daftar pertanyaan yang berhubungan dengan penelitian ini, yang diberikan kepada para pedagang di daerah penelitian.

4. Studi Pustaka, yaitu dengan cara mencari dan mengumpulkan data yang sudah ada, baik dibuku, majalah, koran, internet, atau data yang berasal dari pihak-pihak terkait.

D. Definisi Operasional Variabel

Untuk memperjelas dan memudahkan pemahaman terhadap variabel-variabel yang akan dianalisis dalam penelitian ini, maka perlu dirumuskan definisi operasional sebagai berikut:

1. Keberhasilan Usaha

Dalam penelitian ini keberhasilan usaha merupakan variabel dependen. Keberhasilan usaha diukur dengan laba yang dihitung dari selisih total penjualan produk dengan total biaya yang dikeluarkan. Variabel ini dinyatakan dalam satuan rupiah per bulan.

2. Modal Dagang

Modal dagang adalah modal awal seorang pedagang barang antik pada saat memulai usaha. Modal yang digunakan pedagang dalam


(59)

memulai aktivitas usahanya ada yang berasal dari modal sendiri dan ada yang berasal dari modal pinjaman. Modal sendiri diartikan sebagai modal yang berasal dari perorangan maupun modal keluarga yang telah dikumpulkan kemudian digunakan untuk berdagang dengan tujuan mendapatkan laba. Sedangkan modal pinjaman disini dapat diartikan sebagai modal yang dipinjam dari pihak lain, misalnya bank, perorangan dan lain sebagainya. Variabel ini dinyatakan dalam satuan rupiah.

3. Tingkat Pendidikan

Pendidikan adalah pendidikan terakhir yang ditamatkan oleh pedagang barang antik. Variabel ini dihitung berdasarkan tahun sukses dan dinyatakan dalam satuan tahun.

4. Pengalaman Berdagang

Pengalaman berdagang adalah lamanya seorang pedagang menekuni pekerjaannya yaitu berdagang barang antik di Pasar Windujenar. Atau bisa didefinisikan waktu yang telah dihabiskan oleh pedagang semenjak usaha itu berdiri dan sampai sekarang. Variabel ini dinyatakan dalam satuan tahun.

5. Waktu Usaha

Waktu usaha adalah lamanya pedagang barang antik berada dipasar untuk menjual barang dagangannya, artinya waktu yang digunakan oleh pedagang untuk berjualan di pasar dalam waktu satu bulan. Variabel ini dinyatakan dalam satuan jam per bulan.


(60)

E. Metode Analisis Data

1. Untuk menjawab permasalahan pertama dalam penelitian ini digunakan alat analisis Regresi Linier Berganda dengan metode Ordinary Least

Square (OLS) adapun model yang digunakan adalah sebagai berikut :

Li = α0 + α1 Mi + α2 Pi + α3 PBi + α4 WUi + εi...(3.1) Di mana:

L = Laba M = Modal P = Pendidikan

PB = Pengalaman Berdagang WU = Waktu Usaha

α0 = Konstanta

α1-α4 = Koefisien Regresi Linear  = Varian Pengganggu

a. Uji Statistik

Untuk memperoleh regresi yang terbaik secara statistik disebut BLUE (Best Linier Unbiased Estimator) harus dilakukan beberapa kriteria, yaitu: (i) Uji F, (ii) Uji T, (iii) Uji R2 (Gujarati, 2003). Untuk menguji hipotesis di dalam regresi sederhana dan regresi berganda dilakukan melalui pendekatan uji signifikan (test

significant). Uji signifikan secara umum merupakan prosedur untuk

mengetahui seberapa besar signifikansi kebenaran suatu hipotesis nol (H0) atau untuk menentukan apakah sample yang diamati berbeda secara nyata dari hasil-hasil yang diharapkan.

Perhitungan statistik dikatakan signifikan apabila nilai uji statistiknya berada dalam daerah kritis (daerah dimana H0 ditolak).


(61)

Sebaliknya disebut tidak signifikan apabila nilai uji statistiknya berada dalam daerah dimana H0 diterima. Dalam pengujian hipotesis ini dilakukan dengan cara-cara berikut ini:

1) Uji t

Dilakukan untuk melihat signifikasi dari pengaruh variabel independen secara individu terhadap variabel dependen. Uji t dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a) Menentukan hipotesis

H0 = β1 = 0 (variabel independen secara individu tidak berpengaruh terhadap variabel dependen)

H0 ≠ β1 ≠ 0 (variabel independen secara individu berpengaruh terhadap variabel dependen)

b) Menentukan nilai α

c) Melakukan perhitungan nilai t seperti berikut:

...(3.2)

Dimana: α = derajat signifikansi

N = banyaknya data yang digunakan

K = banyaknya parameter regresi plus konstanta

...(3.3)

Dimana: β1 = koefisien regresi variabel ke-1 Se = standar eror


(62)

Ho ditolak Ho ditolak Ho diterima

- t tabel t tabel

Gambar 3.1 Daerah Kritis Uji t Sumber: Gujarati (2003)

d) Kriteria Pengujian

H0 diterima apabila -tα/2 ≤ t ≤ tα/2 H0 ditolak apabila t < -tα/2 atau t > α/2 e) Kesimpulan

Jika t hitung < t tabel, maka H0 diterima Ha ditolak. Artinya koefisien regresi variabel independen tidak mempengaruhi variabel dependen secara signifikan.

Jika t hitung > t tabel, maka H0 ditolak Ha diterima. Artinya koefisien regresi variabel independen mempengaruhi variabel dependen secara signifikan.

2) Uji F

Uji ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah variabel independen yang ada secara bersama-sama mempengaruhi variabel dependennya. Langkah-langkah dalam melakukan uji F ini adalah:

a) Menentukan hipotesis

H0 = β1 = β2 = β3 = 0 (variabel independen secara bersama-sama tidak berpengaruh terhadap variabel dependen)


(63)

Ha ≠β1 ≠ β2 ≠β3 ≠ 0 (variabel independen secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel dependen)

b) Menentukan nilai α

c) Melakukan perhitungan nilai t seperti berikut:

...(3.4) Dimana: α = derajat signifikansi

N = banyaknya data yang digunakan

K = banyaknya parameter atau koefisien regresi plus konstanta

...(3.5)

Dimana: R2 = koefisien determinan berganda

K = banyaknya parameter total yang dipakai N = banyaknya observasi

H0 ditolak H0 diterima F tabel

Gambar 3.2 Daerah Kritis Uji F Sumber: Gujarati (2003)

d) Kriteria Pengujian

H0 diterima apabila F hitung ≤ F tabel H0 ditolak apabila F hitung > F tabel e) Kesimpulan

Jika F hitung < F tabel, maka H0 diterima Ha ditolak. Artinya koefisien regresi variabel independen secara


(64)

bersama-sama tidak mempengaruhi variabel dependen secara signifikan.

Jika F hitung > F tabel, maka H0 ditolak Ha diterima. Artinya koefisien regresi variabel independen secara bersama-sama mempengaruhi variabel dependen secara signifikan.

3) Koefisien Determinasi R2

Koefisien determinasi (R2), dapat digunakan untuk mengetahui berapa persen (%) variasi variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel independen. Ini bertujuan untuk mengetahui tingkat ketepatan yang paling baik dalam analisis regresi, yang ditujukan oleh besarnya koefisien determinasi R2

adjusted antara nol dan satu. Semakin koefisien determinasi

mendekati satu maka dapat diartikan variabel independen semakin berpengaruh terhadap variabel dependen.

Rumus Adjusted R2 adalah sebagai berikut :

...(3.6)

Dimana : R2= koefisien determinasi N = jumlah observasi

k = jumlah variabel

4) Koefisien Korelasi (r)

Untuk mengetahui keeratan dependen (kuat lemahnya) hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen.


(65)

a) Jika 0,7 ≤ r ≤ 1, maka hubungan antara variabel X dan Y adalah kuat (khusus untuk 0,9 ≤ r ≤ 1 hubungan tersebut sangat kuat)

b) Jika 0,5 ≤ r ≤ 0,7, maka hubungan antara variabel X dan Y dapat dikatakan sedang

c) Jika 0,1 ≤ r ≤ 0,5, maka hubungan antara variabel X dan Y dapat dikatakan lemah.

b. Uji Asumsi Klasik

1) Uji Multikolinieritas

Multikoliniaritas adalah masalah yang timbul berkaitan dengan adanya hubungan linier diantara variabel-variabel penjelas. Uji multikoliniearitas digunakan untuk mengetahui terjadi tidaknya korelasi diantara variabel independen dalam proses regresi. Jika dalam model terdapat multikoliniearitas maka model tersebut memiliki kesalahan standart yang besar sehingga koefisien tidak dapat ditaksir dengan ketepatan tinggi.

Untuk menguji masalah multikoliniearitas, dilakukan pengujian dengan metode klein, yaitu membandingkan nilai (r2) dengan nilai R2. Apabila nilai R2 > (r2), berarti tidak terjadi gejala multikoliniearitas, sedangkan apabila nilai R2 < (r2) berarti terjadi gejala multikoliniearitas.

2) Uji Heteroskedastisitas

Heteroskedastisitas adalah kondisi dimana sebaran atau varian faktor penganggu tidak konstan sepanjang observasi.


(66)

Heteroskedastisitas terjadi jika muncul gangguan dalam fungsi regresi yang tidak sama sehingga penaksir OLS tidak efisien baik dalam sampel kecil ataupun besar (tetapi masih tetap tidak bisa dan konsisten).

Salah satu cara untuk mendeteksi heteroskedastisitas adalah dengan Uji LM ARCH. Jika regresi tersebut menghasilkan probabilitas diatas 0,05 maka variabel bebas tersebut tidak signifikan pada tingkat α = 5%. Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa pada tingkat α = 5% semua koefisien regresi tidak signifikan yang berarti tidak terdapat masalah heteroskedastisitas.

3) Uji Autokorelasi

Autokorelasi adalah keadaan dimana terdapat trend di dalam variabel yang diteliti sehingga mengakibatkan e juga mengandung trend. Autokorelasi muncul karena observasi yang berurutan sepanjang waktu berkaitan satu sama lain. Autokorelasi terjadi karena adanya korelasi yang kuat antara et dengan series et-1.

Salah satu cara yang digunakan untuk mendeteksi autokorelasi adalah dengan uji Breusch & Godfrey Test (BG

test) (Siti Aisyah, 2007). Langkah-langkah pengujian ini adalah:

a) Estimasi persamaan regresi untuk mendapatkan nilai residual (ut).


(67)

c) Hitung (n-p) R2 – X2. Jika lebih besar dari tabel chi-square dengan df p, menolak hipotesa bahwa setidaknya ada satu koefisien autokorelasi yang berbeda dengan 0.

Apabila regresi dilakukan dengan menggunakan Eviews maka dapat dilihat dari nilai probabilitasnya. Apabila nilai probabilitasnya lebih besar dari 0,05 maka hipotesa yang menyatakan pada model tidak terdapat autokorelasi ditolak. Berarti model lolos dari masalah autokorelasi.

2. Untuk menjawab permasalahan kedua dalam penelitian ini digunakan alat analisis deskriptif. Analisis deskriptif adalah analisis yang dilakukan dengan cara menginterpretasikan (membaca, membandingkan) tabel, grafik ataupun data-data yang ada, kemudian melakukan pengumpulan atau penjabaran dan penafsiran dengan ataupun tanpa membandingkan indikator-indikator untuk menarik kesimpulan. 


(68)

BAB IV

ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Kota Surakarta

1. Aspek Geografis

Kota Surakarta adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Kota ini juga dikenal dengan nama Solo, Sala, dan Surakarta yang berada di dataran rendah dengan ketinggian ± 92 m dari permukaan laut. Kota Surakarta merupakan salah satu kota besar di Jawa Tengah yang menunjang kota-kota lainnya seperti Semarang dan Purwokerto. Kota Solo mempunyai slogan The Spirit Of Java.

a. Kondisi Geografis

Secara geografis wilayah Kota Surakarta berada antara 110º45'15 - 110º45 35 BT dan 7º36 00 - 7º56 00 LS dengan luas wilayah 44,06 km² dengan batas-batas sebagai berikut:

Batas Utara : Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali Batas Selatan : Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar Batas Timur : Kabupaten Sukoharjo


(69)

Gambar 4.1 Peta Kota Surakarta

b. Luas Daerah

Luas wilayah Kota Surakarta mencapai 44,06 km² yang terbagi dalam 5 kecamatan, yaitu: Kecamatan Laweyan, Serengan, Pasar Kliwon, Jebres dan Banjarsari. Sebagian lahan dipakai sebagai tempat pemukiman sebesar 61,68%. Sedangkan untuk kegiatan ekonomi juga memakan tempat yang cukup besar yaitu berkisar antara 20% dari luas lahan yang ada.

c. Keadaan Iklim

Suhu udara rata-rata di Kota Surakarta berkisar antara 24,9ºC sampai dengan 28,6ºC. Sedangkan kelembaban udara


(1)

pedagang dalam menjalankan usahanya baik pada saat memulai usaha, maupun pada saat pengembangan usaha. Modal dapat berbentuk uang (gold capital), maupun dalam bentuk barang (sach

capital), misalnya mesin, barang-barang dagangan, dan lain

sebagainya.

Modal yang digunakan oleh pedagang di Pasar Windujenar dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) macam, yaitu modal usaha dan modal kerja. Pengertian modal usaha atau yang disebut sebagai kapital yaitu semua bentuk kekayaan yang dapat digunakan langsung maupun tidak langsung dalam produksi untuk menambah output (Irawan dan Suparmoko, 1998: 75). Contohnya kios, produk dagangan/produk barang antik, dll. Disamping modal usaha, setiap perusahaan juga selalu membutuhkan modal kerja untuk membiayai kegiatannya sehari-hari, misalnya untuk membayar upah buruh, membayar retribusi, dan lain sebagainya, dimana uang atau dana yang telah dikeluarkan itu diharapkan akan dapat kembali lagi masuk dalam perusahaan dalam jangka waktu yang pendek melalui hasil penjualan produknya.

Modal yang digunakan oleh pedagang juga dapat dibagi berdasarkan asalnya, dimana modal terdiri dari modal sendiri dan modal bukan milik sendiri yang biasanya berupa pinjaman. Berikut adalah tabel yang menggambarkan karakteristik pedagang menurut hambatan terbatasnya modal:


(2)

Tabel 4.27 Karakteristik Responden Menurut Terbatasnya Modal

Hambatan Jumlah Persentase

Ada 36 51,43

Tidak Ada 34 48,57

Total 70 100

Sumber: Penelitian Lapangan 2011

Dari hasil penelitian di lapangan didapatkan hasil bahwa sebanyak 36 pedagang hanya menggunakan modal yang berasal dari diri sendiri atau dari lingkungan keluarga dekat, sementara itu pedagang yang sudah menggunakan modal dari luar sebanyak 34 pedagang. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pedagang masih mengalami kesulitan dalam mencari modal guna meningkatkan omzet penjualannya.

Salah satu jalan yang dapat dijadikan solusi untuk mengatasi masalah ini adalah menggiatkan koperasi yang ada di lingkungan Pasar Windujenar. Koperasi tersebut dapat berperan sebagai lembaga kredit yang mudah dan murah dalam menunjang kebutuhan modal para pedagang. Campur tangan dari pemerintah daerah juga sangat diperlukan. Pemerintah Daerah dapat memberi fasilitas Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan bunga ringan dan syarat mudah yang disalurkan lewat koperasi. Selain itu juga diperlukan dukungan dari para pedagang barang antik sendiri melalui paguyuban pedagang untuk berani melakukan intervensi terhadap kepengurusan koperasi tersebut. Apabila pengurus-pengurus koperasi dirasa kurang bisa mengembangkan koperasi menjadi alat yang dapat mempermudah pedagang dalam melakukan kegiatan usaha, maka sebaiknya


(3)

mengambil pengurus koperasi dari luar lingkungan pasar, sehingga koperasi dapat dikelola secara profesional. Pengurus koperasi dari luar tersebutlah yang diharapkan dapat melakukan negosiasi dengan pihak lembaga keuangan agar mau meminjamkan modal kepada para pedagang yang membutuhkan tambahan modal.

d. Tingkat persaingan yang tinggi

Persaingan merupakan salah satu faktor penentu tingkat keberhasilan pedagang dalam menjalankan usahanya. Tinggi rendahnya tingkat persaingan dapat dipengaruhi oleh karakteristik barang dan jasa yang diperjualbelikan di dalam pasar. Apabila barang dan jasa yang diperjualbelikan mempunyai karakteristik yang hampir sama atau bahkan sama maka penjual memiliki tingkat persaingan yang tinggi karena mereka akan terpengaruh dengan harga dan kualitas barang yang dijual pedagang lain. Akan tetapi jika barang yang diperjualbelikan mempunyai karakteristik yang berbeda antara satu penjual dengan penjual yang lain maka tingkat persaingan antar penjual itu dapat dikatakan rendah, karena mereka mempunyai ciri khas yang membuat konsumen tetap mengkonsumsi barang yang mereka jual tanpa terpengaruh harga dan kualitas barang yang dijual penjual lain.

Para pedagang di Pasar Windujenar sendiri dapat dikatakan banyak menjual barang yang hampir sama, karena barang-barang yang dijual merupakan barang baru yang sengaja diproduksi dengan desain tertentu agar terlihat antik. Hal inilah yang membuat antara


(4)

satu pedagang dengan pedagang yang lain menjual barang yang karakteristiknya sama yang pada akhirnya membuat tingkat persaingan tinggi di antara mereka. Menurut hasil wawancara pedagang yang mengaku mempunyai hambatan berupa tingkat persaingan yang tinggi sebanyak 44 orang atau 62,86% dari total responden. Sedangkan sisanya 26 orang atau sekitar 37,14% mengaku tidak mempunyai hambatan. Berikut adalah tabel yang menunjukkan hasil wawancara tersebut:

Tabel 4.28 Karakteristik Responden Menurut Tingkat Persaingan yang Tinggi

Hambatan Jumlah Persentase

Ada 44 62,86

Tidak Ada 26 37,14

Total 70 100,00

Sumber: Penelitian Lapangan 2011

Hasil tersebut menunjukkan bahwa para pedagang sangat terbebani dengan adanya hambatan tingkat persaingan yang tinggi. Salah satu alternatif solusi permasalahan ini adalah dengan cara memberikan diferensiasi barang dagangan antara satu penjual dengan penjual lain. Namun apabila pelaksanaan diferensiasi barang dagangan itu tidak bisa dilakukan maka alternatif solusi lainnya adalah memberikan suatu standar harga terendah suatu barang tertentu, sehingga seorang pembeli akan mendapatkan harga beli yang sama bila dia berbelanja di satu penjual dengan penjual lainnya. Dengan demikian posisi tawar harga pedagang dapat lebih kuat dan tingkat persaingan akan lebih dapat teratasi.


(5)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan analisis yang dilakukan pada bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Modal dagang berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap keberhasilan pedagang, artinya peningkatan modal dagang akan meningkatkan keberhasilan pedagang. Tingkat pendidikan berpengaruh secara positif tetapi tidak signifikan, artinya semakin tinggi tingkat pendidikan belum tentu akan meningkatkan keberhasilan pedagang. Pengalaman berdagang berpengaruh positif dan signifikan, artinya semakin lama pengalaman berdagang maka akan meningkatkan keberhasilan pedagang. Waktu usaha berpengaruh positif dan signifikan, artinya semakin lama waktu berdagang maka akan meningkatkan keberhasilan pedagang.

2. Para pedagang di Pasar Windujenar masih mengalami hambatan setelah adanya revitalisasi pasar. Hambatan-hambatan tersebut adalah (i) Pengunjung pasar masih sepi, (ii) Terbatasnya modal pedagang, dan (iii) Tingkat persaingan yang tinggi antar pedagang. Dari ke-3 (tiga) hambatan tersebut hambatan yang paling banyak dikeluhkan oleh pedagang barang antik di Pasar Windujenar adalah pengunjung pasar yang sepi.


(6)

B. Saran

Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan di atas, maka dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut:

1. Para pedagang barang antik di Pasar Windujenar hendaknya berusaha untuk menambah modal guna memperlancar usaha barang antik, mengingat modal merupakan faktor penting untuk menjalankan usahanya.

2. Para pedagang disarankan untuk memperluas jejaring kerja untuk menambah volume penjualan dan laba yang mereka peroleh.

3. Pemerintah Kota Surakarta hendaknya lebih memperhatikan perkembangan Pasar Windujenar, terutama masalah dukungan promosi Pasar Windujenar. Hal ini ditujukan untuk lebih mempopulerkan Pasar Windujenar baik di tingkat nasional maupun internasional.

4. Untuk meminimalisir masalah pengunjung pasar sepi, para pedagang hendaknya melakukan perbaikan internal diantaranya adalah melakukan standarisasi harga dan memperbaiki tata letak barang dagangan agar terlihat rapi supaya pembeli tertarik untuk membeli barang antik.