PERBEDAAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA KMS DAN NON KMS DI SMK NEGERI 7 YOGYAKARTA TAHUN 2013/2014.

(1)

i

PERBEDAAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA KMS DAN NON KMS DI SMK NEGERI 7 YOGYAKARTA

TAHUN AJARAN 2013/2014

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh Fitri Sulistyowati NIM 08104244024

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

v MOTTO

“orang-orang yang berhasil tidak hanya keras hati, mereka juga seorang pekerja

keras yang percaya pada kemampuan dirinya”


(6)

vi

PERSEMBAHAN

Seiring ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT, saya persembahkan karya ini kepada:

Bapak dan Ibuku tercinta atas do’a, kasih sayang, serta pengorbanannya yang tiada henti.

Teman-teman dan sahabatku yang selalu membantu dan memberi semangat. Almamaterku, Nusa, Bangsa dan Agama.


(7)

vii

PERBEDAAN KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA KMS DAN NON KMS DI SMK NEGERI 7 YOGYAKARTA

TAHUN 2013/2014 Oleh

Fitri Sulistyowati NIM 08104244024

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kemandirian belajar siswa KMS dan non KMS di SMK Negeri 7 Yogyakarta Tahun 2013/2014.

Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan jenis penelitian komparasi. Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa-siswi SMK kelas X, XI SMK Negeri 7 Yogyakarta yang berjumlah 366 orang. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 51 orang siswa KMS dan 100 orang siswa Non KMS. Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner. Teknik analisis data menggunakan uji t, melalui uji prasyarat normalitas dan homogenitas.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kemandirian belajar siswa KMS dan Non KMS di SMK Negeri 7 Yogyakarta Tahun 2013/2014. Hal ini dapat diketahui bahwa t hitung = 2,024 lebih besar dari t(0,05)(20) = 1,64 pada taraf signifikansi 5%, sehingga menyatakan bahwa hipotesis nol ditolak. Siswa Non KMS memiliki kemandirian belajar lebih tinggi daripada siswa KMS ditunjukkan dengan nilai rata-rata (mean) siswa Non KMS lebih besar daripada siswa KMS. Hal ini dikarenakan faktor latar belakang ekonomi siswa Non KMS yang lebih mampu menyebabkan adanya dukungan beik berupa finansial, sosial dari lingkungan serta pengawasan dari orang tua sehingga siswa Non KMS lebih baik dalam membentuk sikap berorientasi untuk sukses, berorientasi ke depan, lebih menyukai tantangan dan lebih tangguh dalam mencapai kemandirian belajarnya dibandingkan dengan siswa KMS.


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbal’alamiin, puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Allah SWT, yang dengan segala kasih dan sayang-Nya skripsi ini dapat diselesaikan.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak sedikit hambatan dan kesulitan yang dihadapi, namun berkat bantuan dan motivasi yang tak ternilai dari berbagai pihak, akhirnya skripsi ini dapat selesai. Peneliti menyampaikan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini, khususnya kepada yang terhormat:

1. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan yang telah memberikan ijinselama proses penelitian.

2. Fathur Rahman, M. Si. Ketua Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan sekaligus pembimbing skripsi yang telah bersedia dengan tulus memberikan bimbingan, petunjuk, dan saran kepada peneliti selama menyelesaikan skripsi. 3. Rosita Endang Kusmaryani, M. Si. Selaku Penasihat Akademik yang telah

memberikan arahan selama menempuh perkuliahan.

4. Seluruh dosen Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan yang telah memberikan ilmu selama ini.

5. Kepala sekolah beserta Bapak dan Ibu guru SMK Negeri 7 Yogyakarta yang telah bersedia memberikan waktu untuk pengambilan data.

6. Siswa dan siswi kelas X dan XI SMK Negeri 7 Yogyakarta yang telah membantu memberikan sumbangan terbesar pada penelitian ini.


(9)

ix

7. Ayahku Sigit Susanto, ibuku Suharini, adikku Surani Kusumawati, dan seluruh keluarga terimakasih atas semua do’a, pengorbanan serta dukungan baik moral dan materil selama ini.

8. Septian Angga Wicaksana, terimakasih atas dukungan dan semangatnya selama penulisan skripsi.

9. Semua teman-temanku tercinta Dia, Nia, Nesti, Intan, Yulia, Anggita, dan Tya yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

Semoga segala pengorbanan yang sudah dibserikan mendapat balasan dari Allah SWT. Semoga skripsi ini dapat berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Yogyakarta, 11 Agustus 2015 Penulis,

Fitri Sulistyowati NIM 08104244024


(10)

x DAFTAR ISI

hal

HALAMAN JUDUL………... .... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

SURAT PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

MOTTO... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Batasan Masalah ... 7

D. Rumusan Masalah ... 7

E. Tujuan Penelitian ... 7

F. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II KAJIAN TEORI A. Belajar ... 9

1. Pengertian Belajar ... 9

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belajar ... 11

3. Tujuan Belajar ... 16

4. Sumber Belajar... 17

B. Kemandirian Belajar ... 20

1. Pengertian Kemandirian Belajar ... 20


(11)

xi

3. Ciri-ciri Kemandirian Belajar ... 22

4. Sumber-sumber dari Sistem Belajar Mandiri... 24

5. Dimensi Kemandirian Belajar ... 24

6. Tujuan Kemandirian Belajar ... 26

7. Bentuk Kemandirian Belajar ... 26

8. Karakteristik Kemandirian Belajar ... 28

9. Aspek-aspek Kemandirian Belajar ... 29

10. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Belajar ... 30

11. Indikator Kemandirian Belajar ... 31

12. Pengukuran Kemandirian Belajar ... 33

C. Program Kartu Menuju Sejahtera ... 39

1. Pengertian Kartu Menuju Sejahtera ... 39

2. Tujuan Kartu Menuju Sejahtera ... 40

3. Sayarat Penerima Kartu Menuju Sejahtera ... 41

4. Karakteristik Siswa KMS (Kartu Menuju Sejahtera) ... 44

5. Karakteristik Siswa Non KMS (Kartu Menuju Sejahtera)... 47

6. Dampak Kebijakan KMS (Kartu Menuju Sejahtera)... 50

D. Kerangka Pikir... 51

E. Penelitian yang Relevan... 54

F. Hipotesis Penelitian ... 58

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ... 59

B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 59

C. Subyek Penelitian ... 60

D. Teknik Pengumpulan Data ... 61

E. Instrumen Penelitian ... 62

F. Teknik Analisis Data ... 66

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 69

1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 69


(12)

xii

B. Hasil Analisis Data ... 71

C. Pembahasan ... 75

D. Keterbatasan Penelitian ... 77

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 79

B. Implikasi ... 80

C. Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 82


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

hal Tabel 1. Data Siswa SMKN 7 Yogyakarta ……….……… Tabel 2. Skor Jawaban Instrumen ……….. Tabel 3. Kisi-kisi Kuesioner Kemandirian Belajar ……… Tabel 4. Hasil Uji Reliabilitas …..……….……..…….…….. Tabel 5. Kategorisasi Skor Kelompok KMS……….……..…….…….. Tabel 6. Kategorisasi Skor Kelompok Non KMS……….……..…….… Tabel 7. Hasil Uji Normalitas ………..…..……… Tabel 8. Hasil Uji Homogenitas ………..…..………….

Tabel 9. Hasil Uji-t……….…………..

60 63 64 66 70 70 72 73 74


(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

hal Lampiran 1. Instrumen Penelitian ………...………. 84 Lampiran 2. Hasil Uji Validitas Data Skala Kemandirian Belajar...……… 87 Lampiran 3. Hasil Uji Normalitas Skala Kemandirian Belajar...……... 88 Lampiran 4. Hasil Uji Homogenitas Skala Kemandirian Belajar...………. 89 Lampiran 5. Hasil Uji-t... 90 Lampiran 6. Surat Ijin Penelitian... 91


(15)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Salah satu aspek penting bagi seorang siswa adalah kemandirian. Di dalam menjalani kehidupan ini, siswa tidak lepas dari cobaan dan tantangan. Siswa yang memiliki kemandirian tinggi relatif mampu menghadapi segala permasalahan karena tidak bergantung pada orang lain dan berusaha untuk menghadapi dan memecahkan permasalahan yang ada. Mandiri merupakan kemampuan seseorang untuk tidak bergantung kepada orang lain serta bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya. Kemandirian dalam juga dapat diartikan sebagai keadaan dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada orang lain. Salah satu tujuan yang diharapkan dari proses pembelajaran adalah kemandirian siswa di dalam belajar. Kemandirian siswa dapat diartikan sebagai kemampuan siswa dalam mewujudkan kehendak atau keinginannya secara nyata tanpa bergantung kepada orang lain, dalam hal ini siswa mampu melakukan belajar sendiri, dapat menentukan belajar yang efektif dan mampu melakukan aktifitas belajar secara mandiri.

Dalam proses pembelajaran setiap siswa akan diarahkan untuk menjadi peserta didik yang mandiri. Seorang siswa harus dapat belajar sehingga dapat dicapai suatu kemandirian belajar. Keadaan mandiri akan muncul apabila seseorang belajar, dan sebaliknya kemandirian tidak akan muncul dengan sendirinya apabila seseorang tidak mau belajar. Kemandirian belajar didorong oleh kemauan, pilihan dan tanggung jawab sendiri tanpa bantuan orang lain serta mampu mempertanggungjawabkan tindakannya. Siswa yang mempunyai


(16)

2

kemandirian belajar mampu berpikir kritis, kreatif, inovatif, tidak mudah terpengaruh oleh pendapat orang lain, tidak merasa rendah diri, terus belajar dengan penuh ketekunan dan kedisiplinan serta mampu mempertanggung jawabkan tindakannya.

Di dalam perkembangannya kemandirian muncul sebagai hasil proses belajar dan pengalaman itu sendiri yang di pengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah faktor intern dan ekstern. Faktor intern terdiri dari psikologis dan fisiologis sedangkan faktor ekstern dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Kemandirian belajar merupakan faktor intern dalam mencapai keberhasilan belajar. Hal tersebut akan mempengaruhi belajar siswa dan tentunya akan berakibat pada hasil belajar siswa. Kemandirian belajar merupakan syarat mutlak bagi siswa guna mencapai hasil yang memuaskan, hal ini dapat dimengerti karena kegiatan belajar merupakan tanggung jawab dari siswa itu sendiri.

Namun demikian, dalam lembaga pendidikan di sekolah seringkali siswa mengalami ketidakmampuan di dalam kemandirian belajar. Masalah-masalah yang di alami siswa antara lain: rendahnya kemandirian belajar siswa yang ditandai dengan siswa mengalami kesulitan dalam metode yang tepat bagi dirinya dan kesulitan dalam mengatur waktu belajar serta siswa sulit dalam membangkitkan minat belajar sendiri atau mandiri; siswa merasa minder pada saat pelajaran karena tidak mampu pada pelajaran tertentu; siswa mengeluh apabila mendapatkan tugas dari guru dan enggan mengerjakannya sehingga siswa lebih suka mencontek; keadaan ekonomi siswa yang mempengaruhi


(17)

3

terhadap belajar, siswa yang mempunyai ekonomi lemah akan menjadi masalah di dalam belajar disamping siswa merasa minder juga harus berpikir bagaimana cara untuk mencari uang untuk tambahan biaya sekolahnya bahkan mungkin juga siswa harus bekerja, sehingga waktu dan pikirannya harus dibagi untuk belajar dan bekerja.

Kartu Menuju Sejahtera (KMS) adalah Identitas bahwa keluarga dan anggota keluarga yang tercantum di dalamnya merupakan keluarga dan penduduk miskin. Mekanisme KMS tidak diminta atau diajukan tetapi akan diberikan pada keluarga miskin yang telah ditetapkan sebagai hasil pendatang serta memenuhi kriteria parameter pendataan keluarga miskin. Bagi keluarga yang memenuhi kriteria miskin akan diberikan kartu menuju sejahtera (KMS) yang berlaku selama 1 tahun. Dengan demikian siswa KMS adalah siswa yang berasal dari keluarga miskin yang telah diukur dan disimpulkan melalui keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 417/KEP/2009 tentang penetapan parameter pendataan keluarga miskin Kota Yogyakarta. Kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam upaya memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengakses pendidikan adalah melalui pemberian bantuan pendidikan bagi anak-anak yang kurang mampu.

Hal ini disambut positif oleh pemerintah Kota Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk memperoleh layanan pendidikan yang bermutu dalam rangka penuntasan wajib belajar 12 tahun, melalui peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2008. Melalui bantuan biaya pendidikan yang diberikan pada keluarga miskin


(18)

4

yang memiliki kartu menuju sejahtera yang dikeluarkan oleh pemerintah Daerah Yogyakarta hal ini sebagai sebuah kebijakan positif yang bertujuan diantaranya: 1) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia kota yogyakarta khususnya pada peserta didik yang berdomisili di Kota Yogyakarta sehingga kompetitif memasuki sekolah yang berkualitas; 2) Menuntaskan wajib belajar 12 tahun; 3) Menekan kesenjangan output antar sekolah di Kota Yogyakarta; 4) Memperluas akses bagi penduduk miskin di Kota Yogyakarta dalam bidang pendidikan.

Sesuai dengan tujuan di atas diharapkan dengan pemberian bantuan pendidikan bagi siswa dengan demikian siswa memiliki kesempatan untuk bersekolah di sekolah negeri agar memiliki prestasi akademik yang baik tanpa memikirkan biaya. Namun fenomena yang terjadi prestasi siswa KMS belum menunjukan hasil yang maksimal. Pada tingkat Sekolah Menengah Kejuruan baik di sekolah negeri dan swasta di Kota Yogyakarta dan juga bagi siswa KMS yang bersekolah di luar Kota Yogyakarta memberikan kesempatan untuk seluruh siswa KMS yang akan mendaftar sebagai siswa.

Dengan adanya program dibebaskannya biaya pendidikan bagi siswa KMS diharapkan bisa memfasilitasi siswa untuk mendapatkan hak yang sama dalam meraih prestasi akademik di sekolah, tetapi fenomena yang ada menunjukan bahwa jumlah siswa KMS yang diterima di setiap sekolah memiliki jumlah yang bervariasi, kemungkinan hal ini dipengaruhi pada proses penerimaan siswa baru baik dari jalur KMS maupun dari jalur non KMS


(19)

5

yang memiliki nilai statistik berbeda pada Nilai Ujian Nasional (NUN) di setiap sekolah.

Pada hasil seleksi nilai ujian nasional menunjukan bahwa pada masing-masing sekolah memiliki standar nilai yang berbeda. Perbedaan yang terjadi terkait dengan jumlah siswa KMS di setiap sekolah, hal ini disebabkan karena nilai ujian nasional siswa yang mendaftar ke sekolah sangat bervariasi, nilai tertinggi dari siswa KMS berada pada tataran nilai terendah pada siswa non KMS, dengan demikian penulis dapat menyimpulkan bahwa sekolah yang memiliki siswa KMS paling sedikit dikarenakan memiliki standar nilai yang tinggi.

Hasil observasi yang penulis lakukan di SMK Negeri 7 Kota Yogyakarta menunjukan bahwa prestasi siswa KMS masih banyak yang tertinggal dengan siswa non KMS, sedangkan dari hasil wawancara dengan guru BK SMK menunjukan bahwa beberapa siswa KMS mengalami permasalahan dalam capaian prestasi akademik, hal ini mungkin disebabkan dari kemandirian belajar, dukungan orang tua, dan dukungan dari teman sehingga siswa merasa memiliki harga diri yang rendah sehingga mereka membatasi diri bergaul hanya dengan sesama siswa KMS, salah satu guru juga mengatakan kepada penulis bahwa kebanyakan siswa KMS megalami kelambatan dalam memahami materi yang disampaikan di kelas sehingga mereka mendapatkan nilai yang kurang maksimal. Sedangkan siswa dinyatakan naik kelas jika memenuhi KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) dari sekolah. Jadi jika ada siswa yang memiliki nilai dibawah KKM lebih dari


(20)

6

empat mata pelajaran maka akan dinyatakan tidak naik kelas. Peneliti juga melakukan pra survey dan wawancara menunjukan bahwa siswa KMS ada juga yang berprestasi dan mendapatkan peringkat di kelasnya masing-masing, tetapi ada juga siswa yang harus tinggal kelas atau mengulang.

Dalam hal interaksi sosial di sekolah siswa KMS kebanyakan memiliki rasa kurang percaya diri, sedangkan dalam cara berpakaian siswa KMS terlihat kurang rapih, serta ada juga beberapa siswa yang melanggar aturan sekolah seperti membolos pada jam les tambahan di sekolah, dengan alasan karena membantu orang tua bekerja atau dengan kata lain kemandirian belajar siswa masih sangat rendah sekali. Hasil wawancara di atas mengungkap bahwa siswa KMS dan non KMS ada yang memiliki kemandirian belajar meskipun hanya beberapa siswa, hal ini menunjukan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi prestasi akademik baik dari faktor internal (diri sendiri), dan juga faktor eksternal (lingkungan sekolah, dan lingkungan rumah atau keluarga, dalam hal keterlibatan orang tua dipandang penting yang akan berdampak pada perilaku siswa di sekolah.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat diidentifikasikan beberapa masalah sebagai berikut:

1. Masih rendahnya kemandirian belajar siswa KMS dan siswa non KMS. 2. Prestasi belajar siswa KMS dan siswa non KMS yang berbeda-beda.


(21)

7

3. Belum diketahuinya perbedaan kemandirian belajar siswa KMS dan siswa non KMS.

C. Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah di atas, perlu diadakan pembatasan masalah. Hal ini dimaksudkan untuk memperjelas permasalahan yang ingin diteliti dan lebih memfokuskan pada masalah yang diteliti. Peneliti hanya membatasi masalah pada perbedaan kemandirian belajar siswa KMS dan siswa non KMS SMK Negeri 7 Yogyakarta tahun 2013/2014.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan di atas, maka dapat diambil dan dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut, yaitu: Apakah terdapat perbedaan kemandirian belajar siswa KMS dan non KMS siswa SMK Negeri 7 Yogyakarta tahun 2013/2014?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kemandirian belajar siswa KMS dan non KMS di SMK Negeri 7 Yogyakarta.


(22)

8 F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, baik secara teoritis maupun praktis.

1. Secara Teoritis

Dapat dijadikan bukti secara ilmiah perbedaan kemandirian belajar siswa KMS dan siswa non KMS siswa SMK Negeri 7 Yogyakarta tahun 2013/2014, sehingga dapat dijadikan dasar dalam mengembangkan program pendidikan dalam meningkatkan kemandirian belajar dan prestasi belajar siswa.

2. Secara praktis

a. Bagi pendidik: sebagai kontribusi untuk mengembangkan dunia pendidikan khususnya untuk pendidikan dalam rangkaian meningkatkan kemandirian belajar dan prestasi belajar siswa.

b. Bagi peneliti: sebagai sarana untuk mengembangkan khasanah pengetahuan dan teknik berpikir untuk pengembangan diri.


(23)

9 BAB II KAJIAN TEORI A. Kemandirian Belajar

1. Pengertian Belajar

Bagi seorang siswa belajar merupakan suatu kewajiban. Berhasil atau tidaknya seorang siswa dalam pendidikan tergantung pada proses belajar yang dialami oleh siswa tersebut. Menurut Logan (dalam Tjundjing Sia, 2001: 70) belajar dapat diartikan sebagai perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan latihan. Senada dengan hal tersebut, Winkel (1997: 193) berpendapat bahwa belajar pada manusia dapat dirumuskan sebagai suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat relatif konstan dan berbekas.

Belajar tidak hanya dapat dilakukan di sekolah saja, namun dapat dilakukan di mana-mana, seperti di rumah ataupun dilingkungan masyarakat. Irwanto (1997: 105) berpendapat bahwa belajar merupakan proses perubahan dari belum mampu menjadi sudah mampu dan terjadi dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan menurut Ahmad Mudzakir (1997: 34) belajar adalah suatu usaha atau kegiatan yang bertujuan mengadakan perubahan di dalam diri seseorang, mencakup perubahan tingkah laku, sikap, kebiasaan, ilmu pengetahuan, keterampilan dan sebagainya.

Di dalam belajar, siswa mengalami sendiri proses dari tidak tahu menjadi tahu, karena itu menurut Cronbach (Sumadi Suryabrata, 1998: 231)


(24)

10

“Belajar yang sebaik-baiknya adalah dengan mengalami dan dalam mengalami itu belajar mempergunakan pancainderanya. Pancaindera tidak terbatas hanya indera pengelihatan saja, tetapi juga berlaku bagi indera yang lain”. Belajar dapat dikatakan berhasil jika terjadi perubahan dalam diri siswa, namun tidak semua perubahan perilaku dapat dikatakan belajar karena perubahan tingkah laku akibat belajar memiliki ciri-ciri perwujudan yang khas (Muhibin Syah, 2000: 116) antara lain:

a. Perubahan intensional

Perubahan dalam proses berlajar adalah karena pengalaman atau praktek yang dilakukan secara sengaja dan disadari. Pada ciri ini siswa menyadari bahwa ada perubahan dalam dirinya, seperti penambahan pengetahuan, kebiasaan dan keterampilan.

b. Perubahan positif dan aktif

Positif berarti perubahan tersebut baik dan bermanfaat bagi kehidupan serta sesuai dengan harapan karena memperoleh sesuatu yang baru, yang lebih baik dari sebelumnya. Sedangkan aktif artinya perubahan tersebut terjadi karena adanya usaha dari siswa yang bersangkutan.

c. Perubahan efektif dan fungsional

Perubahan dikatakan efektif apabila membawa pengaruh dan manfaat tertentu bagi siswa. Sedangkan perubahan yang fungsional artinya perubahan dalam diri siswa tersebut relatif menetap dan apabila dibutuhkan perubahan tersebut dapat direproduksi dan dimanfaatkan lagi.


(25)

11

Berdasarkan dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan siswa untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, secara sengaja, disadari dan perubahan tersebut relatif menetap serta membawa pengaruh dan manfaat yang positif bagi siswa dalam berinteraksi dengan lingkungannya.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belajar

Untuk meraih prestasi belajar yang baik, banyak sekali faktor yang perlu diperhatikan, karena di dalam dunia pendidikan tidak sedikit siswa yang mengalami kegagalan. Kadang ada siswa yang memiliki dorongan yang kuat untuk berprestasi dan kesempatan untuk meningkatkan prestasi, tapi dalam kenyataannya prestasi yang dihasilkan di bawah kemampuannya. Menurut Sumadi Suryabrata (1998: 233) secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi belajar dan prestasi belajar dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu faktor internal dan faktor eksternal:

a. Faktor internal, merupakan faktor yang berasal dari dalam diri siswa yang dapat mempengaruhi prestasi belajar. Faktor ini dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu:

1) Faktor fisiologis, dalam hal ini, faktor fisiologis yang dimaksud adalah faktor yang berhubungan dengan kesehatan dan pancaindera. a) Kesehatan jasmani, untuk dapat menempuh studi yang baik siswa

perlu memperhatikan dan memelihara kesehatan tubuhnya. Keadaan fisik yang lemah dapat menjadi penghalang bagi siswa


(26)

12

dalam menyelesaikan program studinya. Dalam upaya memelihara kesehatan fisiknya, siswa perlu memperhatikan pola makan dan pola tidur, untuk memperlancar metabolisme dalam tubuhnya. Selain itu, juga untuk memelihara kesehatan bahkan juga dapat meningkatkan ketangkasan fisik dibutuhkan olahraga yang teratur. b) Panca indera, berfungsinya pancaindera merupakan syarat supaya

belajar itu berlangsung dengan baik. Dalam sistem pendidikan dewasa ini di antara pancaindera itu yang paling memegang peranan dalam belajar adalah mata dan telinga. Hal ini penting, karena sebagian besar hal-hal yang dipelajari oleh manusia dipelajari melalui penglihatan dan pendengaran. Dengan demikian, seorang anak yang memiliki cacat fisik atau bahkan cacat mental akan menghambat dirinya didalam menangkap pelajaran, sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi prestasi belajarnya di sekolah. 2) Faktor psikologis, ada banyak faktor psikologis yang dapat

mempengaruhi prestasi belajar siswa, antara lain adalah:

a) Inteligensi, pada umumnya prestasi belajar yang ditampilkan siswa mempunyai kaitan yang erat dengan tingkat kecerdasan yang dimiliki siswa. Menurut Binet (dalam Winkel, 1997: 529) hakikat inteligensi adalah kemampuan untuk menetapkan dan mempertahankan suatu tujuan, untuk mengadakan suatu penyesuaian dalam rangka mencapai tujuan itu dan untuk menilai keadaan diri secara kritis dan objektif. Taraf inteligensi ini sangat


(27)

13

mempengaruhi prestasi belajar seorang siswa, di mana siswa yang memiliki taraf inteligensi tinggi mempunyai peluang lebih besar untuk mencapai prestasi belajar yang lebih tinggi. Sebaliknya, siswa yang memiliki taraf inteligensi yang rendah diperkirakan juga akan memiliki prestasi belajar yang rendah. Namun bukanlah suatu yang tidak mungkin jika siswa dengan taraf inteligensi rendah memiliki prestasi belajar yang tinggi, juga sebaliknya. b) Sikap, sikap yang pasif, rendah diri dan kurang percaya diri dapat

merupakan faktor yang menghambat siswa dalam menampilkan prestasi belajarnya. Menurut Sarlito Wirawan (1997: 233) sikap adalah kesiapan seseorang untuk bertindak secara tertentu terhadap hal-hal tertentu. Sikap siswa yang positif terhadap mata pelajaran di sekolah merupakan langkah awal yang baik dalam proses belajar mengajar di sekolah.

c) Motivasi, menurut Irwanto (1997: 193) motivasi adalah penggerak perilaku. Motivasi belajar adalah pendorong seseorang untuk belajar. Motivasi timbul karena adanya keinginan atau kebutuhan-kebutuhan dalam diri seseorang. Seseorang berhasil dalam belajar karena ingin belajar. Menurut Winkel (1997: 39) motivasi belajar adalah keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan yang memberikan arah pada kegiatan belajar itu; maka tujuan yang dikehendaki oleh siswa tercapai. Motivasi


(28)

14

belajar merupakan faktor psikis yang bersifat non intelektual. Peranannya yang khas ialah dalam hal gairah atau semangat belajar, siswa yang termotivasi kuat akan mempunyai banyak energi untuk melakukan kegiatan belajar.

b. Faktor eksternal, selain faktor-faktor yang ada dalam diri siswa, ada hal-hal lain diluar diri yang dapat mempengaruhi prestasi belajar yang akan diraih, antara lain adalah:

1) Faktor lingkungan keluarga

a) Sosial ekonomi keluarga, dengan sosial ekonomi yang memadai, seseorang lebih berkesempatan mendapatkan fasilitas belajar yang lebih baik, mulai dari buku, alat tulis hingga pemilihan sekolah. b) Pendidikan orang tua, orang tua yang telah menempuh jenjang

pendidikan tinggi cenderung lebih memperhatikan dan memahami pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya, dibandingkan dengan yang mempunyai jenjang pendidikan yang lebih rendah.

c) Perhatian orang tua dan suasana hubungan antara anggota keluarga, dukungan dari keluarga merupakan suatu pemacu semangat berprestasi bagi seseorang. Dukungan dalam hal ini bisa secara langsung, berupa pujian atau nasihat; maupun secara tidak langsung, seperti hubugan keluarga yang harmonis.

2) Faktor lingkungan sekolah

a) Sarana dan prasarana, kelengkapan fasilitas sekolah, seperti papan tulis, OHP akan membantu kelancaran proses belajar mengajar di


(29)

15

sekolah; selain bentuk ruangan, sirkulasi udara dan lingkungan sekitar sekolah juga dapat mempengaruhi proses belajar mengajar b) Kompetensi guru dan siswa, kualitas guru dan siswa sangat penting

dalam meraih prestasi, kelengkapan sarana dan prasarana tanpa disertai kinerja yang baik dari para penggunanya akan sia-sia belaka. Bila seorang siswa merasa kebutuhannya untuk berprestasi dengan baik di sekolah terpenuhi, misalnya dengan tersedianya fasilitas dan tenaga pendidik yang berkualitas, yang dapat memenihi rasa ingintahuannya, hubungan dengan guru dan teman-temannya berlangsung harmonis, maka siswa akan memperoleh iklim belajar yang menyenangkan. Dengan demikian, siswa akan terdorong untuk terus-menerus meningkatkan prestasi belajarnya. c) Kurikulum dan metode mengajar, hal ini meliputi materi dan

bagaimana cara memberikan materi tersebut kepada siswa. Metode pembelajaran yang lebih interaktif sangat diperlukan untuk menumbuhkan minat dan peran serta siswa dalam kegiatan pembelajaran. Sarlito Wirawan (1994: 122) mengatakan bahwa faktor yang paling penting adalah faktor guru. Jika guru mengajar dengan arif bijaksana, tegas, memiliki disiplin tinggi, luwes dan mampu membuat siswa menjadi senang akan pelajaran, maka prestasi belajar siswa akan cenderung tinggi, paling tidak siswa tersebut tidak bosan dalam mengikuti pelajaran.


(30)

16 3) Faktor lingkungan masyarakat

Sosial budaya, pandangan masyarakat tentang pentingnya pendidikan akan mempengaruhi kesungguhan pendidik dan peserta didik. Masyarakat yang masih memandang rendah pendidikan akan enggan mengirimkan anaknya ke sekolah dan cenderung memandang rendah pekerjaan guru/pengajar.

3. Tujuan Belajar

Tujuan belajar adalah untuk memperoleh pengetahuan dengan suatu cara yang dapat melatih kemempuan intelektual dan merangsang keingintahuan serta memotivasi kemampuan siswa (Dahar, 1996: 106). Tujuan belajar dibagi menjadi tiga kategori yaitu: kognitif (kemampuan intelektual), afektif (perkembangan moral), dan psikomotorik (keterampilan). Hal ini diperkuat dengan pendapat Blomm (dalam Nasution, 1998: 25) membagi tiga kategori dalam tujuan pembelajaran yaitu: 1) Kognitif, 2) Afektif, 3) Psikomotorik.

Tujuan kognitif berkenaan dengan kemampuan individu mengenal dunia sekitarnya yang meliputi perkembangan intelektual. Tujuan afektif mengenai perkembangan sikap, perasaan, nilai-nilai yang disebut juga perkembangan moral. Sedangkan tujuan psikomotorik adalah menyangkut perkembangan keterampilan yang mengandung unsur-unsur motorik sehingga siswa mengalami perkembangan yang maju dan positif.

Tujuan belajar di dalamnya terdapat rumusan tingkah laku dan kemampuan yang harus dicapai dan dimiliki siswa atau peserta didik setelah


(31)

17

menyelesaikan kegiatan belajar dalam proses pengajaran. Oleh karena itu tujuan belajar harus bermanfaat dan sesuai dengan karakteristik siswa supaya tujuan dapat tercapai secara optimal.

Berdasarkan penjelasan tentang tujuan belajar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan pembelajaran adalah sebagai upaya membekali diri siswa dengan kemampuan-kemampuan yang bersifat pengalaman, pemahaman moral dan keterampilan sehingga mengalami perkembangan positif.

4. Sumber Belajar

Dalam pelaksanaan pembelajaran sering guru merupakan satu-satunya sumber dalam belajar. Namun jika dilihat keragaman siswa dalam satu kelas atau sekolah dengan pola pikir dan sikap yang berbeda, maka mestinya guru dapat memberikan berbagai sumber belajar semaksimal mungkin, karena menentukan sumber belajar yang baik akan mempengaruhi kebermaknaan dalam proses belajar peserta didik. Oleh karena itu hasil belajar siswa-siswa dengan minat dan kebebasan masing-masing untuk melaksanakan kegiatan belajar baik mandiri maupun belajar kelompok dengan kesempatan untuk mempertanggungjawabkan sendiri proses dan hasil pekerjaannya.

Sumber belajar dapat dikembangkan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh siswa, sehingga dalam belajar boleh memilih kegiatan yang disukai dan dapat dilakukannya. Di samping itu dalam proses belajar, siswa dapat memilih waktu dan teman yang cocok untuk melakukan kegiatan belajar. Sumber belajar pada hakekatnya adalah:


(32)

18

“...all of the resources (data, people, and things) which may be used by the learner in isolation or in combination, usually in a formal manner, to faacilitate learning, they include messages, people,

materials, devices, techniques, and settings”, (AECT, 1977: 8).

Berdasarkan pengertian di atas dapat dipahami bahwa sumber belajar pada hakekatnya adalah semua sumber yang terdiri dari pesan, manusia, material, peralatan, teknik dan lingkungan yang digunakan secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk memfasilitasi terjadinya kegiatan belajar. Sumber belajar pada hakekatnya merupakan suatu sistem yang terdiri dari sekumpulan bahan atau situasi yang diciptakan dengan sengaja dan dibuat agar memungkinkan siswa belajar secara individual (Fred Pervival & Ellington, 1988: 125). Menurutnya agar sesuatu dapat berfungsi sebagai sumber belajar syaratnya adalah: 1) Dapat tersedia dengan cepat, 2) Memungkinkan siswa untuk memacu diri, 3) bersifat individual, dapat memenuhi berbagai kebutuhan para siswa dalam belajar mandiri.

Sumber belajar adalah segala daya yang dapat dimanfaatkan guna memberi kemudahan pada seseorang dalam belajarnya. Dalam perkembangannya sumber belajar dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu:

a. Resources by design-those resources which have been specially

developed as “Instructional system coponent” in order to facilitate

purposive formal learning.

b. Resources by utilization-those resources which have not specifically been designed for instruction but which can be discovered, applied and used for learning purposes. (AECT, 1977: 8).

Sumber belajar yang dirancang secara sengaja dibuat atau dipergunakan untuk membantu belajar mengajar dan merupakan komponen


(33)

19

dalam sistem pengajaran untuk digunakan sebagai fasilitas dalam mencapai tujuan belajar, misalnya: buku teks, brosur, ensiklopedia, film, video, tape, slides, film, sejarah, proyektor. Adapun sumber belajar yang kedua adalah sumber belajar yang tidak dirancang secara khusus dalam pengajaran. Sumber belajar yang digunakan untuk memberi kemudahan kepada seseorang dalam belajar berupa segala macam sumber belajar yang ada di sekeliling masyarakat, misalnya: pasar, toko, museum, tokoh masyarakat. Ke dua macam sumber belajar tersebut sama-sama dapat digunakan dalam kegiatan instruksional karena dapat memberikan kemudahan kepada siswa.

Ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian secara seksama dalam merencanakan sumber belajar yaitu: maksud dan tujuan pengadaan sumber belajar, tingkat perkembangan siswa, konsep dan keterampilan yang akan dikembangkan serta kegiatan dan metode belajar yang akan diterapkan. Dengan memperhatikan beberapa aspek tersebut, maka pemanfaatan sumber belajar akan dapat berjalan sesuai dengan tujuan dari kemandirian belajar.

Penggunaan sumber belajar sebagai faktor penunjang dari keberhasilan pengajaran, bahkan dapat merupakan salah satu komponen dari kegiatan belajar mengajar, perlu memperhatikan manfaat yang diperoleh. Adapun manfaat sumber belajar menurut Karti Soeharto dkk, (1995: 77), diantaranya: 1) Dapat memberikan pengalaman belajar yang lebih konkrit dan langsung kepada siswa, misalnya karyawisata ke museum, pabrik, kraton; 2) Dapat menyajikan sesuatu yang tidak mungkin diadakan,


(34)

20

dikunjungi atau dilihat secara langsung, misalnya foto, film, model; 3) Dapat memperluas cakrawala sajian pelajaran di dalam kelas, misalnya buku teks, nara sumber; 4) Dapat memberikan informasi yang lebih akurat dan terbaru; 5) Dapat membantu memecahkan masalah pendidikan secara mikro maupun makro; 6) Mampu memberikan motivasi yang positif bagi siswa untuk belajar; 7) Dapat merangsang siswa untuk berpikir kritis dan positif terhadap materi pelajaran.

Pemahaman terhadap manfaat dan ciri-ciri pokok sumber belajar sangatlah penting bagi siswa. Dengan memahami sumber belajar diharapkan proses kegiatan belajar akan lebih efektif sehingga kemandirian belajar dapat tercapai.

B. Kemandirian Belajar

1. Pengertian Kemandirian Belajar

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia mandiri adalah berdiri sendiri. Kemandirian belajar adalah belajar mandiri, tidak menggantungkan diri kepada orang lain, siswa dituntut untuk memiliki keaktifan dan inisiatif sendiri dalam belajar, bersikap, berbangsa maupun bernegara (Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, 2001:13). Menurut Brookfield (2000: 130-133) mengemukakan bahwa kemandirian belajar merupakan kesadaran diri, digerakkan oleh diri sendiri, kemampuan belajar untuk mencapai tujuannya. Desi Susilawati, (2009:7-8) mendiskripsikan kemandirian belajar sebagai berikut:


(35)

21

a. Siswa berusaha untuk meningkatkan tanggung jawab dalam mengambil berbagai keputusan.

b. Kemandirian dipandang sebagai suatu sifat yang sudah ada pada setiap orang dan situasi pembelajaran.

c. Kemandirian bukan berarti memisahkan diri dari orang lain.

d. Pembelajaran mandiri dapat mentransfer hasil belajarnya yang berupa pengetahuan dan keterampilan dalam berbagai situasi.

e. Siswa yang belajar mandiri dapat melibatkan berbagai sumber daya dan aktivitas seperti membaca sendiri, belajar kelompok, latihan dan kegiatan korespondensi.

f. Peran efektif guru dalam belajar mandiri masih dimungkinkan seperti berdialog dengan siswa, mencari sumber, mengevaluasi hasil dan mengembangkan berfikir kritis.

g. Beberapa institusi pendidikan menemukan cara untuk mengembangkan belajar mandiri melalui program pembelajaran terbuka.

Kemandirian belajar adalah kondisi aktifitas belajar yang mandiri tidak tergantung pada orang lain, memiliki kemauan serta bertanggung jawab sendiri dalam menyelesaikan masalah belajarnya. Kemandirian belajar akan terwujud apabila siswa aktif mengontrol sendiri segala sesuatu yang dikerjakan, mengevaluasi dan selanjutnya merencanakan sesuatu yang lebih dalam pembelajaran yang dilalui dan siswa juga mau aktif dalam proses pembelajaran.


(36)

22 2. Konsep Kemandirian dalam Belajar

Menurut Umar Tirtadihardja dan La Sulo (2005: 50) konsep kemandirian dalam belajar betumpu pada prinsip bahwa individu yang belajar hanya akan sampai pada perolehan hasil belajar mulai keterampilan, pengembangan penalaran, pembentukan sikap sampai pada penemuan diri sendiri apabila mengalami sendiri dalam proses perolehan hasil belajar tersebut. Menurut Conny Semiawan, dkk. yang dikutip oleh Umar Tirtadihardja dan La Sulo (2005: 50) mengemukakan bahwa ada beberapa alasan yang memperkuat konsep kemandirian dalam belajar yaitu:

a. Perkembangan IPTEK berlangsung semakin pesat sehingga mungkin lagi para pendidik (khususnya guru) mengajarkan semua konsep dan fakta kepada peserta didik.

b. Penemuan IPTEK tidak mutlak benar 100%, sifatnya relatif. Suatu teori mungkin bertolak dan gugur setelah ditemukan data baru yang sanggup membuktikan kekeliruan teori tersebut.

c. Para ahli psikologi umumnya sependapat, bahwa peserta didik mudah memahami konsep-konsep dan abstrak jika disertai contoh-contoh konkrit dan wajar sesuai dengan situasi yang dihadapi dengan mengalami atau mempraktekkan sendiri.

d. Dalam proses pendidikan dan pembelajaran pengembangan konsep seyogyanya tidak dilepaskan dari pengembangan sikap dan nilai-nilai ke dalam diri peserta didik. Kemandirian belajar membuka kemungkinan terhadap lainnya calon-calon insan pemikir yang manusiawi serta menyatu dalam pribadi yang serasi dan berimbang.

Jadi konsep dasar kemandirian dalam belajar sebagaimana dikemukakan di atas membawa dampak kepada konsep pembelajaran. Dalam hal ini adalah peranan guru dan peranan siswa.

3. Ciri-ciri Kemandirian Belajar

Anak yang mempunyai kemandirian belajar dapat dilihat dari kegiatan belajarnya, dia tidak perlu disuruh bila belajar dan kegiatan belajar


(37)

23

dilaksanakan atas inisiatif dirinya sendiri. Untuk mengetahui apakah siswa itu mempunyai kemandirian belajar maka perlu diketahui ciri-ciri kemandirian belajar. Anton Sukarno (1989:64) menyebutkan ciri-ciri kemandirian belajar sebagai berikut:

a. Siswa merencanakan dan memilih kegiatan belajar sendiri.

b. Siswa berinisiatif dan memacu diri untuk belajar secara terus menerus. c. Siswa dituntut bertanggung jawab dalam belajar.

d. Siswa belajar secara kritis, logis, dan penuh keterbukaan. e. Siswa belajar dengan penuh percaya diri.

Menurut Sardiman (dalam Ida Farida Achmad, 2008:45) menyebutkan bahwa ciri-ciri kemandirian belajar yaitu meliputi:

a. Adanya kecenderungan untuk berpendapat, berperilaku dan bertindak atas kehendaknya sendiri.

b. Memiliki keinginan yang kuat untuk mencapai tujuan.

c. Membuat perencanaan dan berusaha dengan ulet dan tekun untuk mewujudkan harapan.

d. Mampu untuk berfikir dan bertindak secara kreatif, penuh inisiatif dan tidak sekedar meniru.

e. Memiliki kecenderungan untuk mencapai kemajuan, yaitu untuk meningkatkan prestasi belajar.

f. Mampu menemukan sendiri tentang sesuatu yang harus dilakukan tanpa mengharapkan bimbingan dan tanpa pengarahan orang lain.


(38)

24

Kesimpulan dari uraian diatas, bahwa kemandirian belajar adalah sikap mengarah pada kesadaran belajar sendiri dan segala keputusan, pertimbangan yang berhubungan dengan kegiatan belajar diusahakan sendiri sehingga bertanggung jawab sepenuhnya dalam proses belajar tersebut. 4. Sumber-sumber dari Sistem Belajar Mandiri

Menurut Brockett dan Hiemstra (1991) ada berbagai sumber-sumber pembelajaran yang termasuk dalam belajar mandiri. Sumber-sumber tersebut seperti:

a. Sumber mediasi (Mediated Resources).

Sumber mediasi seperti jurnal, majalah dan modul-modul belajar. b. Sumber dari individu (Individual Resources)

Merupakan sumber yang berasal dari individu itu sendiri, seperti dari observasi ataupun kepribadian personal.

c. Sumber dari grup ataupun agen (Agency or Group Resources) Sumber dari grup seperti perpustakaan, museum dan galeri-galeri. d. Sumber dari mentor (Mentored Resources)

Sumber ini seperti partner dalam belajar, teman sebaya, dan sebagainya. 5. Dimensi dari Kemandirian Belajar

Menurut Candy (1991) kemandirian belajar memiliki empat dimensi, yaitu:

a. Otonomi pribadi (personal autonomy)

Dimensi otonomi pribadi menunjukkan karakteristik individual dari orang yang mampu belajar mandiri. Individu yang memiliki kemandirian


(39)

25

adalah individu yang bebas dari tekanan baik eksternal maupun internal, memiliki sekumpulan nilai-nilai dan kepercayaan pribadi yang memberikan konsistensi dalam kehidupannya. Hal ini berarti orang tersebut mampu membuat rencana atau tujuan hidup, bebas dalam membuat pilihan, menggunakan kapasitas dirinya untuk refleksi secara rasional, mempunyai kekuatan kemauan, berdisiplin diri dan melihat dirinya sendiri sebagai orang yang mandiri.

b. Manajemen diri dalam belajar (self-management in learning)

Dimensi manajemen diri menjelaskan adanya kemauan dan kapasitas dalam diri seseorang untuk mengelola dirinya. Kapasitas tersebut ditunjukkan dengan adanya keterampilan atau kompetensi dalam diri orang yang mandiri.

c. Meraih kebebasan untuk belajar (the independent pursuit of learning) Dimensi meraih kebebasan dalam belajar menggambarkan tentang adanya kebutuhan individu untuk memperoleh kesempatan belajar. Dimensi ini menjelaskan bahwa orang dewasa memiliki kebutuhan untuk meningkatkan diri melalui belajar berbagai hal dalam kehidupan.

d. Kendali/penguasaan pebelajar terhadap pembelajaran (learner-control of instruction).

Dimensi kontrol pebelajar terhadap pembelajaran, menjelaskan tentang peran siswa pada situasi belajar formal yang melibatkan cara mengorganisasi tujuan pembelajaran. Penjelasan dimensi ini dihubungkan dengan hal-hal yang dianggap menjadi porsi pengawasan


(40)

26

guru, yaitu pengorganisasian tujuan belajar, materi belajar, kecepatan belajar, langkah-langkah belajar, metodologi belajar serta evaluasi belajar.

6. Tujuan Kemandirian Belajar

Menurut Baumgartner (2003) ada 3 tujuan utama dari belajar secara mandiri. Tujuan tersebut terdiri dari:

a. Meningkatkan kemampuan dari pelajar untuk menjadi siswa yang dapat belajar secara mandiri.

b. Mengembangkan sistem belajar tranformasional sebagai komponen utama dalam kemandirian belajar.

c. Mengarahkan pembelajaran emansipatoris dan perilaku sosial sebagai bagian intergral dari kemandirian belajar.

7. Bentuk Kemandirian Belajar

Menurut Valente (2005), ada tiga bentuk kemandirian belajar. Bentuk-bentuk kemandirian belajar adalah:

a. Linear

Pada tahap ini, menurut Tough dan Knowles (1971), siswa belajar dengan membuat tahap-tahap untuk meraih tujuan dari pembelajaran secara mandiri. Pelajar memilih apa yang akan mereka pelajari, dimana mereka akan belajar dan bagaimana proses pembelajaran akan terjadi. Tahap pertama adalah memutuskan pengetahuan dan ketrampilan yang akan dipelajari, dan memutuskan aktifitas spesifik, metode, sumber, atau peralatan yang akan digunakan dalam belajar. Setelah keputusan


(41)

27

pertama dilakukan, pelajar memutuskan dimana mereka akan melakukan proses pembelajaran, mengatur waktu dan target, dan bagaimana memulai belajar. Ketika proses pembelajaran dimulai, pelajar berhati-hati dalam menganalisis proses untuk melihat faktor-faktor seperti mengadaptasi ruangan untuk pembelajaran yang efektif, tahap penyesuain juga penting dan melihat sumber yang dibutuhkan untuk belajar. Menurut Knowles (1975), karakteristik dari proses kemandirian belajar dapat dilihat dari enam tahap seperti mengatur tempat atau lingkungan, mendiagnosa kebutuhan dalam belajar, melihat tujuan pembelajaran, mengidentifikasi sumber materi untuk belajar, memilih dan mengimplementasikan strategi belajar dan mengevaluasi hasil belajar.

b. Interaktif

Di dalam bentuk interaktif, terdapat beberapa faktor pembentuk seperti kesempatan dalam menemukan lingkungan yang tepat, karakteristik kepribadian dari pelajar, proses kognitif, dan kontek belajar seperti interaksi kolektif dalam membentuk kemandirian belajar.

c. Instruksional

Adanya instruktor dari lingkungan formal digunakan dalam model kemandirian belajar ini yang berarti mengintegrasikan metode kemandirian belajar ke dalam program dan aktifitas-aktifitas. Pada model ini, terdapat kontrol pembelajaran dan adanya kemandirian dalam lingkungan formal.


(42)

28 8. Karakteristik Kemandirian Belajar

Menurut Brockett & Hiemstra (1991), beberapa karakteristik yang dihubungkan dengan kemandirian belajar pada siswa adalah:

a. Independence

Siswa yang belajar secara mandiri bertanggung jawab secara mandiri terhadap analisa, rencana, pelaksanaan, dan mengevaluasi sendiri aktivitas pembelajarannya.

b. Self Management

Siswa yang belajar secara mandiri dapat mengidentifikasikan apa yang mereka butuhkan selama proses pembelajaran, mengatur tujuan belajar, mengontrol waktu mereka sendiri dan berusaha untuk belajar dan membuat ataupun mengatur feedback dari pekerjaan mereka.

c. Desire for learning

Untuk dapat mencapai tujuan pembelajaran dan mendapatkan pengetahuan, siswa yang belajar secara mandiri harus memiliki motivasi yang kuat.

d. Problem-solving

Untuk mencapai hasil belajar yang terbaik, pelajar menggunakan sumber pembelajaran dari lingkungan eksternal dan menggunakan strategi belajar yang memungkinkan yang terjadi selama proses pembelajaran


(43)

29 9. Aspek-aspek Kemandirian

Steinberg (2002: 273-299), mengemukakan bahwa aspek-aspek kemandirian meliputi:

a. Kemandirian Emosi (Emotional Autonomy)

Aspek emosional mengarah pada kemampuan remaja untuk mulai melepaskan diri secara emosi dengan orangtua dan mengalihkannya pada hubungan dengan teman sebaya. Tetapi bukan memutuskan hubungan dengan orangtua. Remaja yang mandiri secara emosional tidak membebankan pikiran orangtua meski dalam masalah. Remaja yang mandiri secara emosional tidak melihat orangtua mereka sebagai orang yang tahu atau menguasai segalanya. Remaja yang mandiri secara emosi dapat melihat serta berinteraksi dengan orangtua mereka sebagai orang-orang yang dapat mereka ajak untuk bertukar pikiran.

b. Kemandirian Perilaku(Behavioral Autonomy)

Aspek kemandirian perilaku merupakan kemampuan remaja untuk mandiri dalam membuat keputusanya sendiri dengan mempertimbangkan berbagai sudut pandang. Mereka mengatahui kepada siapa harus meminta nasehat dalam situasi yang berbeda-beda. Remaja mandiri tidak mudah dipengaruhi dan mampu mempertimbangkan terlebih dahulu nasehat yang diterima. Remaja yang mandiri secara perilaku akan terlihat lebih percaya diri dan memiliki harga diri yang lebih baik. Mereka yang mandiri secara perilaku tidak akan menunjukkan perilaku yang buruk atau semena-mena yang dapat menjatuhkan harga diri mereka.


(44)

30 c. Kemandirian Nilai (Value Autonomy)

Remaja yang mandiri dalam nilai akan mampu berpikir lebih abstrak mengenai masalah yang terkait dengan isu moral, politik, dan agama untuk menyatakan benar atau salah berdasarkan keyakinan-keyakinan yang dimilikinya. Remaja dapat memberi penilaian benar atau salah berdasarkan keyakinannya dan tidak dipengaruhi aturan yang ada pada masyarakat. Remaja yang mandiri dalam nilai akan lebih berprinsip. Prinsip yang terkait dengan hak seseorang dalam kebebasan untuk berpendapat atau persamaan sosial.

10. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Belajar

Menurut Muhammad Nur Syam (1999: 10), ada dua faktor yang mempengaruhi, kemandirian belajar yaitu sebagai berikut: Pertama, faktor internal dengan indikator tumbuhnya kemandirian belajar yang terpancar dalam fenomena antara lain:

a. Sikap bertanggung jawab untuk melaksanakan apa yang dipercayakan dan ditugaskan.

b. Kesadaran hak dan kewajiban siswa disiplin moral yaitu budi pekerti yang menjadi tingkah laku.

c. Kedewasaan diri mulai konsep diri, motivasi sampai berkembangnya pikiran, karsa, cipta dan karya (secara berangsur).

d. Kesadaran mengembangkan kesehatan dan kekuatan jasmani, rohani dengan makanan yang sehat, kebersihan dan olahraga.


(45)

31

e. Disiplin diri dengan mematuhi tata tertib yang berlaku, sadar hak dan kewajiban, keselamatan lalu lintas, menghormati orang lain, dan melaksanakan kewajiban.

Kedua, faktor eksternal sebagai pendorong kedewasaan dan kemandirian belajar meliputi: potensi jasmani rohani yaitu tubuh yang sehat dan kuat, lingkungan hidup, dan sumber daya alam, sosial ekonomi, keamanan dan ketertiban yang mandiri, kondisi dan suasana keharmonisan dalam dinamika positif atau negatif sebagai peluang dan tantangan meliputi tatanan budaya dan sebagainya secara komulatif.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa dipengaruhi kemandirian belajar adalah faktor internal siswa itu sendiri yang terdiri dari lima aspek yaitu disiplin, percaya diri, motivasi, inisiatif, dan tanggung jawab, sehingga dapat di ambil kesimpulan bahwa seseorang memiliki kemandirian belajar apabila memiliki sifat Percaya diri, motivasi, inisiatif, disiplin dan tanggung jawab. Keseluruhan aspek dalam penelitian ini dapat dilihat selama berlangsungnya kegiatan belajar mengajar.

11. Indikator Kemandirian Belajar

Menurut Danuari (dalam Romi Kurniawan, 2011: 15) mengemukakan indikator kemandirian belajar adalah adanya kecenderungan untuk berperilaku bebas dalam berinisiatif atau bersikap atau berpendapat, adanya kecenderungan percaya diri, adanya sifat original (keaslian), memiliki perencanaan dalam belajar, tidak mengharapkan pengarahan orang lain, dan adanya kecenderungan untuk mencoba sendiri.


(46)

32

Sedangkan menurut menurut Robert Ronger (dalam Kana Hidayati dan Endang Listyani, 2007: 4) seseorang dikatakan mandiri jika:

a. Dapat bekerja sendiri secara fisik. b. Dapat berpikir sendiri.

c. Dapat menyusun ekspresi atau gagasan yang dimengerti orang lain. d. Kegiatan yang dilakukan disahkan sendiri secara emosional.

Sedangkan menurut Goodman and Smart (dalam Kana Hidayati dan Endang Listyani, 2007: 4) menyatakan bahwa kemandirian mencakup tiga aspek yaitu:

a. Independent (ketidak tergantungan) yang didefinisikan sebagai perilaku yang aktifitasnya diarahkan pada diri sendiri, tidak mengharapkan pengarahan orang lain, dan bahkan mencoba serta menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa minta bantuan orang lain.

b. Autonomi (menetapkan hak mengurus sendiri) atau disebut juga kecenderungan berperilaku bebas dan original.

c. Self Reliance merupakan perilaku yang didasarkan pada kepercayaan diri sendiri

Dari berbagai pendapat di atas dapatlah ditarik kesimpulan mengenai indikator dari kemandirian belajar yaitu kesadaran untuk belajar mandiri, percaya diri, sifat original, tidak mengharapkan pengarahan orang lain, dan mencoba sendiri, memiliki perencanaan dan tujuan belajar, serta memiliki sikap disiplin. Jadi indikator yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu adanya kesadaran untuk belajar mandiri, adanya kecenderungan


(47)

33

percaya diri, adanya sifat original (keaslian) yaitu bukan sekedar meniru orang lain, kerja keras, adanya kecenderungan untuk mencoba sendiri, memiliki perencanaan dan tujuan belajar serta memiliki sikap disiplin. 12. Pengukuran Kemandirian Belajar

Pengukuran mengandung pengertian suatu keadaan dimana seseorang memiliki hasrat bersaing untuk maju demi kebaikan dirinya, mampu mengambil keputusan dan inisiatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi, memiliki kepercayaan diri dalam mengerjakan tugas-tugasnya dan bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya. Pengukuran kemandirian belajar pada penelitian ini berdasarkan pada faktor internal (dari dalam diri) siswa yaitu percaya diri, disiplin, motivasi, inisiatif dan tanggung jawab.

a. Percaya diri

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (2005: 85) menyebutkan bahwa percaya kepada diri sendiri berarti yakin benar atau memastikan akan kemampuan atau kelebihan seseorang atau sesuatu (bahwa akan dapat memenuhi harapan-harapannya). Menurut Thursan Hakim (2002: 6). rasa percaya diri juga dapat diartikan sebagai suatu keyakinan seseorang terhadap segala aspek kelebihan yang dimilikinya dan keyakinan tersebut membuatnya merasa mampu untuk bisa mencapai berbagai tujuan di dalam hidupnya. Sedangkan menurut Thursan Hakim (2002: 5-6) terdapat beberapa ciri-ciri tertentu dari orang-orang yang mempunyai rasa percaya diri yang tinggi, yaitu:


(48)

34

1) Bersikap tenang didalam mengerjakan segala sesuatu. 2) Mempunyai potensi dan kemampuan yang memadai.

3) Mampu menetralisai ketegangan yang muncul di dalam berbagai situasi.

4) Mampu menyesuaikan diri dan berkomunikasi di berbagai situasi. 5) Memiliki kondisi mental dan fisik yang cukup menunjang

penampilannya.

6) Memiliki kecerdasan yang cukup.

7) Memiliki tingkat pendidikan formal yang cukup.

8) Memiliki keterampilan dan keahlian yang menunjang kehidupannya, misalnya keterampilan berbahasa asing.

9) Memiliki kemampuan bersosialisasi.

10) Memiliki latar belakang pendidikan keluarga yang baik.

11) Memiliki pengalaman hidup yang menempa mentalnya menjadi kuat dan tahan didalam menghadapi berbagai cobaan hidup.

12) Selalu bereaksi positif didalam menghadapi berbagai masalah, misalnya dengan tetap tegar, sabar dan tabah dalam menghadapi persoalan hidup.

Para ahli berpendapat bahwa rasa percaya diri erat kaitannya dengan konsep diri, maka jika seseorang memiliki konsep diri yang negatif terhadap dirinya, maka akan menyebabkan seseorang tersebut memilki rasa tidak percaya terhadap dirinya sendiri. Rasa percaya diri yang rendah akan berakibat pada tindakan yang tidak efektif. Tindakan


(49)

35

yang tidak efektif tentu akan memberikan hasil yang jelek. Hasil yang jelek akan semakin membenarkan bahwa diri tidak memiliki kompetensi dan akan berakibat pada rasa percaya diri yang semakin rendah. Seseorang yang yakin terhadap dirinya, segala kegiatan yang dilakukannya penuh dengan rasa optimis adalah seseorang yang memiliki percaya diri. Rasa percaya diri yang tinggi sebenarnya hanya merujuk pada adanya beberapa aspek dari kehidupan individu tersebut di mana ia merasa memiliki kompetensi, yakin, mampu, dan percaya bahwa bisa karena didukung oleh pengalaman, potensi aktual, prestasi serta harapan yang realistik terhadap diri sendiri. b. Disiplin

Disiplin merupakan sesuatu yang berkenaan dengan pengendalian diri atau kepatuhan seseorang untuk mengikuti bentuk-bentuk aturan atas kesadaran pribadinya, disiplin dalam belajar merupakan kemauan untuk belajar yang didorong oleh diri siswa sendiri.

c. Inisiatif

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (2005: 395) “Inisiatif adalah kemampuan untuk mencipta atau daya cipta”. Menurut Wollfock dalam Mardiyanto (2008: 23) “Inisiatif adalah kemampuan individu dalam menghasilkan sesuatu yang baru atau asli atau suatu pemecahan masalah”. Menurut Suryana (2006:2) mengungkapkan bahwa “Inisiatif adalah kemampuan mengembangkan ide dan cara-cara baru dalam memecahkan masalah dan menemukan ide dan cara-cara baru dalam


(50)

36

memecahkan masalah dan menemukan peluang (thinking new things). Menurut Utami Munandar (1990: 48) mengungkapkan bahwa “Inisiatif adalah kemampuan berdasarkan data atau informasi yang tersedia, menemukan banyak kemungkinan jawaban dari suatu masalah, di mana penekananya adalah pada kuantitas, ketepatgunaan, dan keragaman jawaban”.

Ciri-ciri orang yang inisiatif menurut Sund dalam Slameto (2003: 147) adalah sebagai berikut:

1) Hasrat keingintahuan yang besar.

2) Bersikap terbuka dalam pengalaman baru. 3) Panjang akal.

4) Keinginan untuk menemukan dan meneliti. 5) Cenderung menyukai tugas yang berat dan sulit.

6) Cenderung mencari jawaban yang luas dan memuaskan.

7) Memiliki dedikasi bergairah secara aktif dalam melaksanakan tugas. 8) Berfikir fleksibel.

9) Menanggapi pertanyaan yang diajukan serta cenderung memberi jawaban yang lebih banyak.

Sedangkan menurut Guilford dalam Mardiyanto (2008: 24) adalah sebagai berikut:

1) Kelancaran (fluency), kemampuan untuk menghasilkan banyak gagasan.


(51)

37

2) Keluwesan (fleksibilitas), kemampuan untuk mengemukakan bermacam-macam.

Berkaitan dengan definisi beberapa ahli diatas maka pengertian Inisiatif adalah kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru baik berupa gagasan maupun karya nyata yang relatif berbeda dengan apa yang telah ada sebelumnya dalam usaha memecahkan suatu masalah.

d. Tanggung jawab

Menurut Zimmerer dalam Ikaputera Waspada (2004: 6) mengungkapkan ciri-ciri orang yang memiliki sifat tanggung jawab sebagai berikut:

1) Memiliki komitmen yang tinggi terhadap tugas atau pekerjaannya 2) Mau bertanggung jawab

3) Energik

4) Berorientasi ke masa depan 5) Kemampuan memimpin 6) Mau belajar dari kegagalan 7) Yakin pada dirinya

8) Obsesi untuk mencapai prestasi yang tinggi. e. Motivasi

Menurut Suryana (2006: 40) “Seseorang selalu mengutamakan tugas dan hasil adalah orang yang mengutamakan nilai-nilai motivasi, berorientasi pada ketekunan dan ketabahan, tekad kerja keras,


(52)

38

mempunyai energik dan berinisiatif”. Menurut Suryana (2006: 52)” Seseorang memiliki motivasi tinggi apabila orang tersebut memiliki hasrat untuk mencapai hasil yang terbaik guna mencapai kepuasan pribadi. Faktor dasarnya adalah adanya kebutuhan yang harus dipenuhi”. Menurut Suryana (2006: 53)” Seseorang yang memiliki motivasi yang tinggi pada umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Ingin mengatasi sendiri kesulitan-kesulitan dan permasalahan yang

timbul pada dirinya.

2) Selalu memerlukan umpan balik yang segera untuk melihat keberhasilan dan kegagalan.

3) Memiliki tanggung jawab personal yang tinggi. 4) Berani menghadapi resiko dengan penuh tantangan. 5) Menyukai dan melihat tantangan secara seimbang.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang yang memiliki motivasi yang tinggi adalah seseorang yang selalu melakukan sesuatu yang lebih baik dan efisien dibanding sebelumnya. Dalam penelitian ini siswa yang memiliki motivasi tinggi dapat diamati selama proses pembelajaran berlangsung. Indikator yang digunakan untuk mengamati siswa dengan motivasi tinggi diantaranya: 1) Bertanggung jawab terhadap tugas yang diberikan.

2) Semangat dan antusias saat proses pembelajaran berlangsung. 3) Komitmen yang tinggi terhadap tugas.


(53)

39 5) Kemampuan memimpin.

C. Program Kartu Menuju Sejahtera

a. Pengertian Kartu Menuju Sejahtera (KMS)

Berdasarkan pedoman peraturan Pemerintah Kota Yogyakarta, Kartu Menuju Sejahtera (KMS) adalah identitas penduduk Kota Yogyakarta yang telah di data sebagai keluarga miskin berdasarkan parameter keluarga miskin yang ditetapkan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta. Kartu Menuju Sejahtera (KMS) berfungsi sebagai identitas layanan bagi program jaminan pendidikan dan kesehatan. KMS bisa digunakan untuk penyaluran beasiswa bagi siswa tidak mampu dan layanan jaminan kesehatan (askeskin), serta berfungsi memudahkan pembagian beras (raskin).

Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial Kota Yogyakarta, mengatakan bahwa sesuai dengan kebijakan Pemerintah Kota Yogyakarta yang tercantum dalam pedoman Peraturan Pemerintah Kota Yogyakarta, KMS diperuntukkan bagi keluarga miskin (gakin) ber-KTP Kota Yogyakarta sesuai dengan daftar keluarga miskin (gakin) hasil verifikasi dan updating data keluarga miskin (gakin) tahun 2007. Proses verifikasi data keluarga miskin (gakin) di lapangan untuk mengetahui keluarga masuk dalam suatu kategori, diantaranya: kategori fakir miskin (keluarga menuju sejahtera 1), miskin (keluarga menuju sejahtera 2), hampir miskin (keluarga sejahtera 3) dan tidak miskin (keluarga sejahtera), kesemua kategori tersebut merupakan kelompok masyarakat yang digolongkan miskin dan ditetapkan layak


(54)

40

sebagai penerima berbagai jaminan, terutama jaminan kesehatan dan jaminan pendidikan.

Menurut peraturan walikota Yogyakarta nomor 17 tahun 2010, Program beasiswa KMS bertujuan memberikan motivasi dan semangat peserta didik berprestasi dari keluarga pemegang KMS. Menurut Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan kota Yogyakarta Nomor: 188/adp/ 1550/2010 (pasal 13 ayat 2) calon peserta didik baru keluarga miskin mendapat kuota maksimal 5 % daya tampung keseluruhan.

b. Tujuan Kartu Menuju Sejahtera

Menurut peraturan Walikota Yogyakarta nomor 19 tahun 2010, Program Beasiswa KMS bertujuan memberi motivasi dan semangat peserta pendidik berprestasi dari keluarga pemegang KMS. Selain itu, Pemerintah juga menyatakan bahwa tujuan diberikannya KMS adalah agar tidak anak usia sekolah dari keluarga pemegang KMS yang tidak bersekolah karena alasan biaya.

Jaminan Pendidikan Daerah bagi penerima Keluarga Menuju Sejahtera (JPD KMS) merupakan program Pemerintah Kota yang bertujuan memberikan bantuan pendidikan bagi keluarga pemegang KMS, sehingga akses pendidikan dapat terjangkau tanpa terkecuali. Bantuan tersebut diberikan di semua jenjang sekolah (TK/RA, SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA dan SMK) baik negeri maupun swasta. Bantuan meliputi biaya operasional sekolah, investasi, serta pembelian seragam dan buku.


(55)

41

Selain mendapatkan jaminan berupa biaya pendidikan, penerima JPD juga mendapatkan beberapa keuntungan. Keuntungan yang diperoleh tersebut adalah: Pertama, penerima JPD KMS mendapatkan kuota KMS dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB), yaitu dengan memberikan kuota tertentu bagi peserta didik pemegang KMS dalam PPDB agar bisa mengakses sekolah yang favorit. Kuota KMS dalam PPDB merupakan

afffirmative action dari Pemerintah Daerah Kota Yogyakarta untuk memberikan peluang peningkatan kualitas pendidikan bagi peserta didik pemegang KMS.

Kedua, penerima JPD KMS diberikan kepada peserta didik di setiap jenjang pendidikan dari TK sampai SMA baik sekolah negeri, maupun swasta serta sekolah luar biasa. Ketiga, penerima JPD KMS tetap akan diberikan bagi peserta didik pemegang KMS baik yang sekolah di Kota Yogyakarta maupun luar Kota Yogyakarta.

c. Syarat Penerima Kartu Menuju Sejahtera

Menurut Peraturan Walikota Yogyakarta nomor 46 tahun 2009 tentang pedoman penerimaan peserta didik baru pada satuan pendidikan di Yogyakarta menyatakan bahwa calon peserta didik baru dari keluarga miskin mendapat kuota maksimal 10% dari daya tampung keseluruhan SMA negeri. Jaminan Pendidikan daerah diberikan kepada peserta didik penduduk daerah yang bersekolah di daerah dan luar daerah dalam Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.


(56)

42

Ketentuan penerima KMS adalah seperti: (1) anak kandung yang dibuktikan dengan akta kelahiran, (2) anak angkat yang dibuktikan dengan penetapan pengadilan negeri setempat atau akta pengangkatan anak, (3) anak tiri yang dibuktikan dengan akta kelahiran dan akta perkawinan/surat nikah orang tua, (4) peserta didik penghuni panti asuhan di Yogyakarta.

JPD KMS diberikan kepada peserta didik penduduk Kota Yogyakarta yang bersekolah di Kota Yogyakarta atau luar Kota Yogyakarta dalam Provinsi DIY dari anggota keluarga pemegang KMS dan sudah barang tentu peserta didik tersebut telah terdaftar dalam KMS yang memiliki, atau peserta didik penghuni panti asuhan di Kota Yogyakarta yang bersekolah di Kota Yogyakarta maupun di luar Kota Yogyakarta di Provinsi DIY.

Adapun syarat yang harus dipenuhi untuk mendapat JPD KMS yaitu: (1) foto kopi kartu menuju sejahtera (KMS), (2) foto kopi kartu keluarga atau C1, (3) foto kopi akta kelahiran peserta didik, (4) jika sekolah di luar Kota Yogyakarta ditambah surat keterangan dari sekolah bahwa anak benar-benar diterima atau sedang sekolah di sekolah tersebut.

Selain syarat-syarat tersebut, adapun prosedur dalam pemberian program JPD KMS berdasarkan keputusan Kepala Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta nomor: 188 tahun 2007 tentang petunjuk teknis pelaksanaan peraturan walikota yogyakarta no: 35 tahun 2007 tentang pedoman pemberian jaminan pendidikan daerah bahwa prosedur dalam pemberian JPD KMS adalah sebagai berikut:


(57)

43

a. Mekanisme pemberian JPD bagi peserta didik sekolah di Kota Yogyakarta adalah:

1. Kepala Dinas Pendidikan menerbitkan keputusan tentang peserta didik penerima JPD.

2. UPT pengelola JPD menyerahkan Pendidikan Daerah kepada Saruan Pendidikan.

3. Satuan pendidikan memberitahikan kepada orangtua peserta didik yang memperoleh JPD.

4. Peserta didik menyelesaikan administrasi penerimaan JPD di satuan pendidik tempat peserta didik sekolah.

b. Mekanisme pemberian JPD bagi peserta didik sekolah di luar Kota Yogykarta adalah:

1. Kepala Dinas Pendidikan menerbitkan keputusan tentang peserta didik penerima JPD.

2. UPT pengelola JPD menyerahkan Jaminan Pendidikan Daerah kepada peserta didik didampingi orangtua dan peserta didik menyelesaikan administrasi penerimaan JPD.

3. Dinas Pendidikan memberitahukan kepada satuan pendidik di luar Kota Yogyakarta melalui Dinas Pendidikan setempat bahwa peserta didik yang bersangkutan menerima JPD.

4. Orangtua peserta didik membayarakan JPD kepada satuan pendidikan tempat peserta didik bersekolah, selanjutnya wajib menyerahkan bukti pembayaran kepada UPT pengelola JPD, sebagai


(58)

44

syarat untuk mendapatkan JPD periode berikutnya pada tahun pelajaran berjalan.

Setelah melalui mekanisme tersebut kemudian bantuan JPD KMS ini diberikan kepada peserta didik disetiap sekolah dengan periode setiap satu tahun sekali.

d. Karateristik Siswa Kartu Menuju Sejahtera

Berdasarkan Peraturan Walikota Yogyakarta nomor 19 tahun 2010 yang menyatakan bahwa siswa yang menerima program bantuan KMS adalah siswa yang status sosial ekonominya berasal dari keluarga yang kurang mampuatau dapat digolongkan dalam keluarga miskin (gakin). Definisi tersebut diperkuat dengan pendapatan saifullah Syafii (2011: 122-123) yang dinyatakan bahwa:

“Familles with low economiec status not only lack Financial,

sosial, educational support from their siblings, peers or the community at largers, they may also be deprived of communal support around them at critical times in the life.”

Pertanyaan tersebut diperkuat bahwa keluarga dengan status sosial ekonomi rendah tidak hanya kekurangan dukungan finansial, sosial, dan pendidikan dari saudara mereka, rekan-rekan atau masyarakat keseluruhan, mereka juga dapat kehilangan dukungan dari komunal sekitar mereka pada waktu yang sangat penting dalam hidup mereka.

Hal senada didukung pula oleh Slameto (2003: 63-64) yang mengemukakan bahwa anak yang hidup dalam keluarga dengan status ekonomi miskin, kebutuhan anak kurang terpenuhi akibatnya kesehatan anak kurang sehingga belajar anak juga terganggu. Akibat yang lain adalah


(59)

45

anak yang dirundung kesedihan sehingga anak merasa minder dengan teman lain.

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa siswa KMS yang dibesarkan dalam keluarga yang miskin maka kebutuhannya kurang terpenuhi, sehingga berdampak pada kesehatan, anak dirundung kesedihan dan menjadi minder dengan teman lain serta mereka akan kurang mendapatkan dukungan finansial, sosial, dan komunal dari lingkungan sekitar mereka.

Selain itu sesuai Peraturan Walikota Yogyakarta nomor 19 tahun 2010 juga menyatakan bahwa siswa penerima KMS tersebut juga ada yang diasuh di sebuah panti asuhan. Siswa KMS yang kesehariannya diasuh di lingkungan pasti asuhannya juga memiliki pola pengasuhan yang berbeda. Mereka yang tinggal di panti asuhan berasal dari latar belakang yang berbeda serta usia yang berbeda-beda.

Menurut Restu Moses (2008), dalam panti asuhan, anak diasuh secara massal. Sebagai akibat dari pengasuhan secara massal tersebut adalah: a. Anak kurang memperoleh kasih sayang, perhatian dan pengawasan. b. Anak kurang memperoleh kesempatan melihat sendiri berbagai model

dari orang tua atau orang dewasa lainnya.

c. Anak kurang mempunyai kesempatan untuk berhubungan dengan orang tua yang dapat dijadikan identifikasi dalam pemahaman terhadap dirinya sendiri.


(60)

46

d. Pengasuh di panti asuhan biasanya kurang dapat berperan sebagai orang tua atau keluarga pengganti dalam menggantikan fungsi keluarga.

Dapat disimpukan bahwa, siswa KMS yang hidup di lingkungan panti asuhan kurang memperoleh perhatian, pengawasan dan kasih sayang, anak kurang ada kesempatan berinteraksi dengan orangtua, serta kurang adanya peran pengasuh di panti asuhan tersebut. Pola pengasuhan yang demikian, memberikan pengaruh pada kondisi siswa baik dilihat dari sisi psikologis, maupun dari segi sosial. Berdasarkan penuturan dari beberapa pihak sekolah, sebagian besar siswa KMS memiliki perasaan minder dengan siswa lain ketika berada di lingkungan sekolah (Olivia Lewi P, 2009)

Menurut Albinus Marsudi (2010), siswa KMS cenderung pasif dan pendiam ketika proses KBM berlangsung. Mereka melihat kurang semangat baik dalam kegiatan belajar mengajar maupun dalam hal belajarnya, sehingga tidak jarang dari siswa KMS mendapatkan nilai jelek ketika ujian. Kesulitan dalam menerima mata pelajaran yang disampaikan pun menjadi masalah yang sering dihadapi oleh siswa KMS. Mereka lebih lambat dalam menerima mata pelajaran yang disampaikan dibandingkan dengan siswa non KMS, sehingga terkadang guru mata pelajaran harus mengulang materi yang disampaikan kepada siswa. Hal ini dianggap oleh sebagian guru menghambat proses KBM. Disisi lain, keadaan tersebut menjadikan diri beberapa siswa KMS memutuskan untuk mengundurkan diri dari sekolah yang bersangkutan dengan alasan yang berbagai macam (Albinus Marsudi, 2010).


(61)

47

Olivia Lewi P (2009) menyatakan bahwa siswa KMS yang mengundurkan diri dari sekolah. Hal ini disebankan kurangnya minat siswa bersekolah dan tidak jarang sebagian dari mereka merasa kurang cocok dengan kondisi lingkungan sekolah serta jurusan yang diambil. Masalah lain yang dialami siswa KMS diantaranya sebagai dari mereka sering menunjukan perilaku yang kurang baik seperti terlambat sekolah, membolos, bahkan ada pula yang ikut tindakan kriminal.

Ditinjau dari segi sosialnya terutama dalam hal pergaulan dengan teman sebaya, siswa KMS ini cenderung lebih terikat menyendiri atau mengobrol dalam satu kelompok. Hal ini dikarenakan mereka merasa minder dengan siswa lainnya, mereka merasa berasal dari latar belakang keluarga yang kurang mampu sehingga kurang dapat mengikuti pergaulan teman-teman lainnya (Albinus Marsudi, 2010).

e. Karateristik Siswa Non KMS (Kartu Menuju Sejahtera)

Berbeda dengan siswa KMS, siswa non KMS merupakan siswa yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang status sosialnya cukup tinggi. Syaifullah Safii (2011: 122) menyatakan bahwa:

“Famillies with high socioeconomic status often have more success

in preparing their young children for school because they typically have access to wider range of resources to promote, explore and

suport young children’s mental and physical develoment.“

Hal terebut berarti bahwa keluarga dengan status sosial ekonomi yang tinggi sering memiliki sukses lebih dalam persiapan anak-anak mereka untuk sekolah karena mereka biasanya memiliki akses lebih luas ke sumber


(62)

48

daya, untuk mempromosikan, mengeksplorasi dan mendukung mental anak-anak dan perkembangan fisik.

Pendapat senada dikemukakan oleh Slameto (2003: 54-60) yang menyatakan bahwa, faktor-faktor keluarga pada siswa yang tinggal di rumah akan menerima pengaruh dari keluarga berupa cara orang tua mendidik, relasi antara anggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, perhatian orang tua, dan latar budaya kebudayaan.

a. Cara Orangtua Mendidik

Cara orangtua mendidik anak di lingkungan rumah pada umumnya lebih memanjakan anak. Orangtua akan menuruti apa yang menjadi keinginan anak karena orangtua merasa mampu untuk memenuhinya. Hal ini akan menimbulkan sikap berbuat semaunya pada anak.

b. Relasi Antar anggota Keluarga

Relasi antar anggota keluarga yang terpenting adalah relasi orang tua dengan anaknya. Selain itu relasi anak dengan saudaranya atau dengan anggota keluarga yang lain pun turut mempengaruhi belajar anak. c. Suasana Rumah

Suasana rumah dimaksudkan sebagai situasi atau kejadian-kejadian yang sering terjadi di dalam keluarga di mana anak berada dan belajar. Suasana yang diciptakan di lingkunga rumah yang tenang dan tentram besar pengeruhnya kepada anak yang sedang belajar. Anak merasa nyaman dengan kondisi yang diciptakan oleh keluarganya.


(63)

49 d. Pengertian Orang Tua

Anak belajar perlu dorongan dan pengertian orang tua. Anak yang tinggal di rumah mereka lebih mendapatkan dorongan dan semangat dari keluarga. Mereka jarang diganggu ketika sedang belajar tetapi justru terkadang dibantu ketika mengalami kesulitan dalam belajar. Meskipun demikian masih saja ada siswa yang mendapatkan perhatian dari orangtua akan tetapi mereka justru lemah dan tidak serius dalam belajarnya.

e. Latar Belakang Kebudayaan

Tingkat pendidikan atau kebiasaan di dalam keluarga mempengeruhi sikap anak dalam belajar. Penciptaan pemahaman akan arti pentingnya pendidikan dari anggota keluarga dapat memberikan dorongan dan semangat.

Hal ini disampaikan oleh Saifullah (Riyana, 2012) bahwa keluarga dengan status sosial ekonomi yang lebih baik melakukan sebagian besar kegiatan bersama, kebersamaan mereka di rumah juga membantu dalam mengembangkan karateristik yang lebih baik. Peluang ini membantu orang tua dalam memahami emosional, mental, sosial, fisik, psikologi dan sebagian besar dari semua pertumbuhan kognitif atau perkembangan. Status sosial ekonomi yang lebih tinggi itu sendiri membangun kepercayaan individu untuk menghadapi berbagai tantangan dalam hidup dibandingkan dengan individu yang dilanda kemiskinan yang putus asa dalam memenuhi


(64)

50

tujuan dalam hidupnya, terutama tantangan yang dihadapi anak-anak sekolah.

Dengan demikian, dari berbagai pendapat yang telah disampaikan dapat disimpulkan bahwa siswa non KMS merupakan siswa yang tinggal dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang bestatus ekonomi cuku bahkan tinggi. Keluarga yang status ekonominya tinggi memiliki sukses lebih dalam mempersiapkan anak-anak mereka untuk sekolah. Status sosial ekonomi yang lebih tinggi itu sendiri membangun kepercayaan individu atau siswa untuk menghadapi berbagai tantangan dalam hidup. Hal tersebut menjadikan siswa non KMS akan terlihat mononjol dibandingkan dengan siswa KMS.

f. Dampak Kebijakan KMS (Kartu Menuju Sejahtera)

Berdasarkan Pedoman Peraturan Pemerintah Kota Yogyakarta mengenai kebijakan KMS, dampak positif dari kebijakan KMS secara selintas diantaranya adalah adanya pemberian kesempatan yang terbuka bagi siswa KMS untuk mengakses sekolah negeri yang tidak pernah terjadi sebelumnya, bahkan sekolah negeri yang favorit, adanya kesempatan yang luas bagi anak potensial khususnya anak-anak yang berprestasi untuk mengembangkan diri secara optimal, terciptanya sekolah inklusif yang dapat mengakomodir semua peserta didik, pemberian kesempatan bagi peserta mampu baik secara akadaemik maupun non akademik, terutama aspek ekonomi dan sebagainya.


(65)

51

Sebaliknya, setelah adanya kebijakan penggunaan KMS ternyata menimbulkan dampak negatif diantaranya muncul pro kontra pada masyarakat mengenai program JPD KMS karena dianggap memanjakan masyarakat miskin, terjadi kesenjangan sosial bagi warga miskin dan warga yang mengaku miskin/hampir miskin untuk bisa mengakses pendidikan melalui mekanisme KMS, terlebih ketika memiliki anak peserta didik yang menempuh jenjang pendidikan swasta dan SMA/SMALB/MA, dan SMK karena biaya pendidikan mahal, terjadi kesalahan pendataan KMS, terjadi manipulasi tentang perpindahan penduduk dari luar Kota Yogyakarta, sekolah dipaksa menerima peserta didik yang tidak mempunyai kualifikasi untuk belajar di sekolah unggulan, ada beberapa peserta didik KMS yang mengindikasikan memiliki kesulitan beradaptasi dengan teman-temannya (Ashari dan Dhenok Panuntun, 2012: 7).

D. Kerangka Pikir

Belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku, proses memperoleh pengetahuan, proses kemampuan bereaksi yang berupa kecakapan sikap, kebiasaan, kepandaian atau suatu pengertian yang terjadi secara relatif atau tetap karena adanya interaksi antara individu dengan lingkungannya. Pada proses belajar penting jika didukung dengan adanya kemandirian belajar, karena berperan sebagai penggerak.

Kemandirian belajar adalah kondisi aktifitas belajar yang mandiri tidak tergantung pada orang lain, memiliki kemauan serta bertanggung jawab sendiri


(1)

88

Lampiran 3. Hasil Uji Normalitas Skala Kemandirian Belajar

KMS

Observed N

Expected

N Residual

100 1 1.8 -.8

106 1 1.8 -.8

112 1 1.8 -.8

113 2 1.8 .2

114 1 1.8 -.8

115 1 1.8 -.8

117 1 1.8 -.8

119 1 1.8 -.8

121 1 1.8 -.8

123 3 1.8 1.2

124 2 1.8 .2

125 2 1.8 .2

126 3 1.8 1.2

127 2 1.8 .2

128 4 1.8 2.2

129 2 1.8 .2

130 2 1.8 .2

131 3 1.8 1.2

132 3 1.8 1.2

133 1 1.8 -.8

135 2 1.8 .2

136 2 1.8 .2

137 2 1.8 .2

138 2 1.8 .2

140 1 1.8 -.8

142 2 1.8 .2

143 1 1.8 -.8

146 1 1.8 -.8

151 1 1.8 -.8

Total 51

Test Statistics

KMS

NON KMS

Chi-Square

10.980

a

30.900

b

df

28

34

Asymp. Sig.

.998

.620

a. 29 cells (100.0%) have expected

frequencies less than 5. The minimum

expected cell frequency is 1.8.

b. 35 cells (100.0%) have expected

frequencies less than 5. The minimum

expected cell frequency is 2.9.

NON KMS

Observed N

Expected

N Residual

101 3 2.9 .1

103 3 2.9 .1

104 2 2.9 -.9

105 2 2.9 -.9

109 1 2.9 -1.9

112 1 2.9 -1.9

113 4 2.9 1.1

114 4 2.9 1.1

115 2 2.9 -.9

116 1 2.9 -1.9

117 2 2.9 -.9

118 4 2.9 1.1

119 6 2.9 3.1

120 3 2.9 .1

121 3 2.9 .1

122 1 2.9 -1.9

123 4 2.9 1.1

125 6 2.9 3.1

126 5 2.9 2.1

127 3 2.9 .1

128 4 2.9 1.1

129 4 2.9 1.1

131 3 2.9 .1

132 3 2.9 .1

133 3 2.9 .1

134 1 2.9 -1.9

135 7 2.9 4.1

136 4 2.9 1.1

137 3 2.9 .1

139 1 2.9 -1.9

140 1 2.9 -1.9

141 1 2.9 -1.9

147 1 2.9 -1.9

148 1 2.9 -1.9

149 3 2.9 .1


(2)

89

Lampiran 4. Hasil Uji Homogenitas Skala Kemandirian Belajar

Test of Homogeneity of Variances

SISWA

Levene Statistic

df1

df2

Sig.

2.036

1

149

.156

ANOVA

SISWA

Sum of Squares

df

Mean Square

F

Sig.

Between Groups

494.527

1

494.527

4.095

.045

Within Groups

17992.162

149

120.753


(3)

90

Lampiran 5. Hasil Uji-t

T-Test

Group Statistics

KELOMPOK

N

Mean

Std. Deviation

Std. Error Mean

SISWA

KMS

51

1.2818E2

10.03933

1.40579

NON KMS

100

1.2435E2

11.43835

1.14384

Independent Samples Test

Levene's Test

for Equality of

Variances

t-test for Equality of Means

F

Sig.

t

df

Sig.

(2-tailed)

Mean

Differen

ce

Std.

Error

Differe

nce

95%

Confidence

Interval of the

Difference

Lower Upper

SISW

A

Equal

variances

assumed

2.036

.156 2.024

149 .045 3.82647

1.8908

3

.09017

7.5627

7

Equal

variances

not

assumed

2.111

113.0

86

.037 3.82647

1.8123

5

.2359

2

7.4170

3


(4)

91

Lampiran 6. Surat Ijin Penelitian


(5)

(6)