Sapaan dalam bahasa Manggarai Kabupaten Manggarai Provinsi Nusa Tenggara Timur

(1)

SAPAAN DALAM BAHASA MANGGARAI

KABUPATEN MANGGARAI

PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Maria Angelina Sartika NIM: 134114004

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

Mei 2017


(2)

SAPAAN DALAM BAHASA MANGGARAI

KABUPATEN MANGGARAI

PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Maria Angelina Sartika NIM: 134114004

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

Mei 2017


(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yesus Kristus karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat mencapai derajat Sarjana Sastra Indonesia pada Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang dengan caranya masing-masing telah membantu penulis dalam menyusun skripsi ini:

1. Bapak Prof. I. Praptomo Baryadi, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan masukan yang sangat berarti dalam penyempurnaan penulisan skripsi ini.

2. Bapak Dr. Paulus Ari Subagyo, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

3. Ibu S.E. Peni Adji, S.S., M.Hum., selaku Ketua Program Studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

4. Bapak Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum., selaku dosen Pembimbing Akademik angkatan 2013 Program Studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

5. Para dosen Program Studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Bapak Drs. F. X. Santoso, M.S., Bapak Drs. B. Rahmanto, M.Hum., Bapak (+) Drs. A. Herry Antono, M.Hum., Ibu Dra. Fransisca Tjandrasih Adji, M.Hum., Bapak Sony Christian Sudarsono, S.S., M.A., dan Ibu Maria Magdalena Sinta Wardani, S.S., M.A.


(8)

Miki, dan Adik Diana yang selalu mendukung penulis dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini.

7. Nana Ireneus Gratia Sandur yang selalu memotivasi dan memberi semangat bagi penulis dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini.

8. Semua pihak yang turut membantu penulis baik secara langsung maupun secara tidak langsung membantu penulis dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari semua pihak.

Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua orang yang membacanya.

Yogyakarta, 31 Mei 2017 Penulis


(9)

Skripsi ini, saya persembahkan untuk Tuhan Yesus dan orang-orang tercinta.

1)Bapa Silvester Mat dan Mama Sisilia Gamut

2)Nana Ireneus Gratia Sandur, S.T

3) Kakak Ipi, Kakak Ivon, Kakak Jho, Kakak Ratin, Adik

Miky, Adik Dian

4)Teman-teman seperjuangan Sastra Indonesia 2013

5)Semua orang yang turut membantu

“Terkadang aku berpikir, apakah aku akan mampu menjalani

dan melewatinya dengan segala keterbatasan yang aku punya. Tetapi keyakinan selalu ada dalam diriku hingga detik ini karena

dorongan dari-Nya.”

“...dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan” (Roma, 5: 4)


(10)

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUPUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... v

KATA PENGANTAR ... vi

HALAMAN PERSEMBAHAN ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

ABSTRAK ... xiii

ABSTRACT ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 5

1.4. Manfaat Penelitian ... 6

1.5. Tinjauan Pustaka ... 6

1.6. Landasan Teori ... 12

1.7. Metode Penelitian ... 15

1.8. Sistematika Penyajian ... 19

BAB II DESKRIPSI KEADAAN BAHASA MASYARAKAT MANGGARAI ... 21

2.1. Sejarah Masyarakat Manggarai ... 21

2.2. Letak Geografis ... 23

2.3. Penduduk ... 24

2.4. Pendidikan ... 26


(11)

BAB III JENIS-JENIS SAPAAN DALAM BAHASA MANGGARAI

BERDASAKAN REFERENNYA ... 32

3.1. Pengantar ... 32

3.2. Sapaan Berdasarkan Hubungan Kekerabatan ... 32

3.3. Sapaan Berdasarkan Profesi ... 48

3.4. Sapaan Berdasarkan Jabatan ... 50

3.5. Sapaan dengan Menyebut Nama ... 52

3.6. Sapaan Berdasarkan Kata Ganti ... 56

3.7. Sapaan Gabungan ... 57

BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGGUNAAN SAPAAN DALAM BAHASA MANGGARAI ... 62

4.1. Pengantar ... 62

4.2. Faktor Hubungan Peran ... 62

4.3. Faktor Status Sosial ... 64

4.4. Faktor Perbedaan Jenis Kelamin ... 65

4.5. Faktor Perbedaan Keakraban ... 70

4.6. Faktor Perbedaan Umur/Usia ... 74

4.7. Faktor Hubungan Kekerabatan ... 76

4.8. Sapaan yang Dipengaruhi Lebih dari Satu Faktor ... 84

BAB V PENUTUP ... 92

5.1. Kesimpulan ... 92

5.2. Saran untuk Penelitian Selanjutnya ... 94

DAFTAR PUSTAKA ... 95

LAMPIRAN I DAFTAR ISTILAH-ISTILAH BAHASA MANGGARAI MENURUT KAMUS MANGGARAI II INDONESIA-MANGGARAI OLEH A.J. VIERHEIJEN, SVD ... 98

LAMPIRAN II DAFTAR SAPAAN BAHASA MANGGARAI ... 100


(12)

Tabel 1.1. Contoh Jenis Sapaan Berdasarkan Referen ... 14 Tabel 1.2. Contoh Sapaan dalam Bahasa Manggarai

Berdasarkan Referen ... 18 Tabel 2.1. Batas Wilayah Kabupaten Manggarai ... 23 Tabel 2.2. Luas Panen, Produktifitas, dan Produksi Tanaman

Pangan di Manggarai ... 25 Tabel 2.3. Jumlah Penduduk Kabupaten Manggarai Menurut

Kecamatan Tahun 2016 ... 26 Tabel 2.4. Banyaknya Sekolah, Guru dan Murid menurut

Tingkat Pendidikan di Kabupaten Manggarai ... 27 Tabel 3.1. Beberapa Sapaan dengan Menyebut Nama Ejekan ... 55 Tabel 4.1. Pemilihan Sapaan Berdasarkan Faktor Hubungan

Peran dalam Masyarakat ... 63 Tabel 4.2. Pemilihan Sapaan Berdasarkan Jenis Kelamin

Laki-laki ... 67 Tabel 4.3. Pemilihan Sapaan Berdasarkan Jenis Kelamin

Perempuan ... 69 Tabel 4.4. Pemilihan Sapaan Berdasarkan Umur/Usia ... 75 Tabel 4.5. Sapaan yang Dipengaruhi oleh Beberapa Faktor ... 85


(13)

Gambar 2.1. Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Manggarai .. 24

Gambar 2.2. Peta Pembagian Dialek Kabupaten Manggarai ... 31

Gambar 4.1. Bagan Keluarga Terbatas ... 77

Gambar 4.2. Bagan Keluarga Luas I Ayah ... 80

Gambar 4.3. Bagan Keluarga Luas I Ibu ... 81


(14)

Sartika, Maria Angelina. 2017. “Sapaan dalam Bahasa Manggarai Kabupaten Manggarai Provinsi Nusa Tenggara Timur”. Skripsi.

Yogyakarta: Program studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Tugas akhir ini membahas sapaan dalam bahasa Manggarai, dengan fokus penelitian adalah masyarakat di Kabupaten Manggarai Provinsi Nusa Tenggara Timur. Melalui penelitian ini, sapaan yang digunakan oleh masyarakat Manggarai akan dikelompokkan berdasarkan jenisnya dan dianalisis faktor yang mempengaruhi adanya pemilihan sapaan tersebut dalam bahasa Manggarai. Berdasarkan hal tersebut, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, mendeskripsikan keadaan bahasa masyarakat Manggarai. Kedua, mendeskripsikan jenis sapaan dalam bahasa Manggarai berdasarkan referen. Ketiga, mendeskripsikan faktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan dalam bahasa Manggarai.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode cakap dan metode simak. Metode analisis data yang digunakan adalah metode padan referensial dan metode padan pragmatis. Metode penyajian hasil analisis data yang digunakan adalah metode formal dan informal.

Hasil penelitian adalah sebagai berikut. Pertama, bahasa Manggarai digunakan oleh sebagian besar masyarakat yang berada di wilayah kabupaten Manggarai yang tersebar di 12 kecamatan dengan dialek yang cenderung berbeda, antara lain: dialek Reo, dialek Cibal, dialek Rahong, dialek Ruteng, dialek Lelak dan dialek Satarmese. Kedua, jenis sapaan dalam bahasa Manggarai berdasarkan referen dapat dibedakan atas sapaan jenis sapaan berdasarkan hubungan kekerabatan, jenis sapaan berdasarkan profesi, jenis sapaan berdasarkan jabatan, jenis sapaan dengan menyebut nama, jenis sapaan berdasarkan kata ganti, dan jenis sapaan gabungan. Ketiga, faktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan yaitu faktor hubungan peran dalam masyarakat, faktor status sosial, faktor perbedaan jenis kelamin, faktor perbedaan keakraban, faktor perbedaan usia/umur, dan faktor kekerabatan.

Kata kunci; jenis sapaan, jenis sapaan berdasarkan referen, faktor penggunaan


(15)

Sartika, Maria Angelina. 2017. “Sapaan dalam Bahasa Manggarai Kabupaten Manggarai Provinsi Nusa Tenggara Timur”. Thesis.

Yogyakarta: Department of Indonesian Literature, Faculty of Literature, Sanata Dharma University.

This final project is about greeting in Manggarai language, with a research focus is the community in Manggarai regency of East Nusa Tenggara province. Through this study, the greeting used by the Manggarai community will be grouped based on the kind and analyzed the factor that influence the election of the greeting in Manggarai language. Based on this, the aim of this study is as follows. First, describe the state of the Manggarai community language. Second, describe the kind of greeting in the Manggarai language based referents. Third, describe the factor that influence the use of greeting in Manggarai language.

The method used in this research is descriptive method with data collection methods used are Cakap and Simak. Data analysis method used are

Padan Referensial and Padan Pragmatis. Presentation of the results of data analysis methods used are formal and informal methods.

The results of the study are as follows. First, Manggarai language used by the majority of the people residing in the district of Manggarai spread over 12 districts with rather different dialects, among others: Reo dialect, Cibal dialect, Rahong dialect, Ruteng dialect, Lelak dialect, and Satarmese dialect. Second, the kind of greeting in the language Manggarai based referents can be distinguished on the greeting types of greeting based on kinship, the type of greeting based on profession, type of greeting based on position, type of greeting by name, type of greeting based on pronouns, and the type of greeting combined. Third, the factors that affect the use of the greeting that the role of the relationship in the community factors, social status factor, the factor of gender differences, differences in familiarity factor, the factor of the difference in age, and kinship factor.

Keys words; kind of greeting, kind of greeting based referents, the greeting usage factor, greeting usage factor, the Manggarai community


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hal yang dibahas dalam tugas akhir ini adalah sapaan dalam bahasa Manggarai di Kabupaten Manggarai Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sapaan adalah kata atau ungkapan yang digunakan seseorang untuk menyapa dan juga cara seseorang untuk berinteraksi yang dilakukan secara langsung (Gusthia dkk., 2014). Sapaan yang dipakai oleh seseorang kepada mitra bicara berkaitan erat dengan tanggapan atau persepsinya atas hubungan pembicara dengan mitra bicara. Berikut ini contoh sapaan dalam bahasa Manggarai:

(1) Ema kut ngo nia ite?

„Ayah/Bapak mau kemana?‟

(2) Kut ngo le uma ite ko?

„Apakah Anda mau ke kebun?‟

(3) Tuang Guru, kole nia mai ite? „Pak Guru, Anda pulang darimana?‟

Sapaan pada contoh (1), (2), dan (3) adalah sapaan dalam bahasa Manggarai yang digunakan oleh masyarakat Manggarai Kabupaten Manggarai Provinsi NTT. Sapaan ema pada contoh (1) merupakan sapaan yang digunakan untuk menyapa ayah penutur. Sapaan tersebut termasuk jenis sapaan berdasarkan hubungan kekerabatan. Adapun kata sapaan kekerabatan lainnya yaitu ende, amang, inang, dan sebagainya. Sapaan ende pemakaiannya digunakan untuk


(17)

menyapa ibu penutur. Sapaan amang pemakaiannya digunakan untuk menyapa om/paman penutur. Sapaan inang pemakaiannya digunakan untuk menyapa tante/bibi penutur.

Sapaan ite pada contoh (2), adalah jenis sapaan berdasarkan kata ganti. Sapaan ite merupakan sapaan kata ganti orang kedua tunggal. Sapaan ite dalam bahasa Indonesia artinya Anda. Sapaan tersebut biasa digunakan sebagai ungkapan rasa hormat kepada mitra tutur, baik orang yang usianya lebih tua dari penutur, sebaya dengan penutur, ataupun lebih muda dari penutur. Adapun jenis sapaan kata ganti lainnya yaitu, hau dan meu. Sapaan hau adalah sapaan orang kedua tunggal yang artinya kamu/kau. Sapaan meu adalah sapaan orang kedua jamak yang artinya kalian.

Sapaan Tuang Guru pada contoh (3), adalah jenis sapaan berdasarkan profesi. Sapaan Tuang Guru merupakan sapaan yang digunakan untuk menyapa seorang guru. Adapun jenis sapaan berdasarkan profesi lainnya yaitu, tuang, pa, bu, dan sebagainya. Sapaan-sapaan ini digunakan untuk menyapa seseorang yang memiliki profesi tertentu.

Hal pertama yang dibahas dalam tugas akhir ini adalah deskripsi keadaan masyarakat Manggarai. Hal ini berkaitan dengan keadaan penduduk, adat istiadat, dan keadaan bahasa masyarakat Manggarai. Manggarai adalah sebuah daerah kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Manggarai merupakan salah satu daerah yang sangat kaya akan adat istiadat termasuk di dalamnya adalah bahasa. Adanya sapaan dalam bahasa Manggarai menjadi pemersatu dan perekat hubungan kekerabatan antar orang Manggarai itu sendiri dan digunakan dalam


(18)

percakapan sehari-hari.

Hal kedua yang dibahas dalam tugas akhir ini adalah pembagian sapaan berdasarkan referennya dalam bahasa Manggarai. Penggunaan sapaan dalam suatu komunikasi dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti siapa yang menyapa, siapa yang disapa, dan hubungan antara menyapa dan disapa. Berikut ini contoh beberapa pembagian sapaan dalam bahasa Manggarai:

a) Beberapa sapaan berdasarkan hubungan kekerabatan antara lain:

ema, ende, inang, amang, kae, ase, dan sebagainya. Sapaan ema

digunakan untuk menyapa ayah penutur, sapaan ende digunakan untuk menyapa ibu penutur, sapaan inang digunakan untuk menyapa tante/bibi penutur, sapaan amang digunakan untuk menyapa om/paman penutur, sapaan kae digunakan untuk menyapa kakak penutur, sapaan ase digunakan untuk menyapa adik penutur.

b) Beberapa sapaan berdasarkan jabatan antara lain: kraeng, tuang, ende/ema diikuti nama jabatan, pa dan bu. Sapaan-sapaan ini digunakan untuk menyapa seseorang yang memiliki jabatan tertentu dalam masyarakat, seperti lurah, camat, dan bupati.

Pada bagian ketiga yang dibahas dalam tulisan ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan dalam bahasa Manggarai. Penggunaan sapaan dalam bahasa Manggarai pada dasarnya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut yang menyebabkan adanya perbedaan pemilihan sapaan untuk mitra tutur. Faktor-faktor tersebut bergantung dari keadaan dan posisi mitra


(19)

tutur itu sendiri. Bahasa yang digunakan oleh penutur dapat merefleksikan posisi penutur bahasa itu, utamanya terkait dengan siapa penyapanya, orang yang disapa, dan bagaimana relasi antara penyapa dan pesapa. Sapaan yang digunakan oleh penyapa pada gilirannya mampu memperlihatkan urutan usia, kelahiran, gender, tingkat pendidikan, kedekatan relasi, lokasi, profesi, agama, jabatan, tren, lapisan masyarakat, dan pewarisan dalam relasi kekerabatan penyapa (Wibowo dan Retnaningsih, 2015). Beberapa faktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan dalam bahasa Manggarai adalah usia/umur, keakraban, jenis kelamin, hubungan peran dalam masyarakat, status sosial, dan kekerabatan. Berikut contoh (4) melukiskan penutur yang menyampaikan bahwa sirih pinang yang dipesan oleh tante/bibi kandungnya sudah dibelikan.

(4) Penutur : Inang, poli laku weli cepa latang ite bo ga!

„Tante/Bibi, saya sudah belikan sirih pinang untuk Anda!‟

Mitra tutur : Iyo nana, di’a eme nggitu ga, terima kasih! „Iya nana, baiklah kalau begitu, terima kasih!‟

Pada contoh (4) diatas, sapaan inang dan nana dalam penggunaannya dipengaruhi oleh faktor jenis kelamin, kekerabatan, dan umur/usia. Sapaan inang

dipengaruhi oleh faktor jenis kelamin dan kekerabatan karena digunakan untuk menyapa adik/kakak perempuan dari ayah penutur. Sapaan inang dipengaruhi oleh faktor usia/umur karena digunakan untuk menyapa orang dewasa yang sebaya dengan ibu penutur. Sapaan nana dipengaruhi oleh faktor jenis kelamin, kekerabatan dan umur/usia karena digunakan untuk menyapa anak laki-laki.


(20)

Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk melakukan pembahasan lebih lanjut terkait sapaan dalam bahasa Manggarai. Oleh karena itu, hal yang dibahas dalam tugas akhir ini adalah sapaan dalam bahasa Manggarai, dengan fokus penelitian adalah masyarakat di Kabupaten Manggarai Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pemilihan topik penelitian ini karena belum pernah dilakukan penelitian berkaitan dengan sapaan dalam bahasa Manggarai. Penelitian ini memberikan manfaat bagi masyarakat penuturnya agar berbagai sapaan dalam bahasa Manggarai ini tidak dilupakan oleh generasi berikutnya ditengah pengaruh mobilisasi sosial budaya yang cukup deras.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan umum yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana penggunaan sapaan dalam bahasa Manggarai Kabupaten Manggarai Provinsi Nusa Tenggara Timur. Secara khusus, permasalahan dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimana keadaan bahasa masyarakat Manggarai?

b. Apa saja jenis sapaan dalam bahasa Manggarai berdasarkan referennya?

b. Apa saja faktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan dalam bahasa Manggarai?

1.3. Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini mendeskripsikan penggunaan sapaan dalam bahasa Manggarai di Kabupaten Manggarai Provinsi Nusa Tenggara


(21)

Timur. Secara khusus, tujuan yang dicapai pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Mendeskripsikan keadaan bahasa masyarakat Manggarai.

b. Mendeskripsikan jenis-jenis sapaan dalam bahasa Manggarai berdasarkan referennya.

c. Mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan dalam bahasa Manggarai.

1.4. Manfaat Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini adalah deskripsi jenis-jenis sapaan dalam bahasa Manggarai berdasarkan referennya dan faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan dalam bahasa Manggarai. Manfaat teoretis dari hasil penelitian ini adalah menambah kajian sosiolinguistis, terutama menunjukkan kekhasan penggunaan sapaan dalam bahasa Manggarai. Manfaat praktis dari hasil penelitian ini adalah dapat dijadikan referensi untuk penelitian selanjutnya sekaligus memperlihatkan kekhasan sistem kekerabatan dalam masyarakat Manggarai.

1.5. Tinjauan Pustaka

Peneliti-peneliti terdahulu telah banyak melakukan penelitian berkaitan dengan sapaan dalam bahasa daerah tertentu, di antaranya dilakukan oleh Sari, Ermanto dan M. Ismail Nst. (2013) yang melakukan penelitian berkaitan dengan sistem kata sapaan kekerabatan dalam bahasa Melayu di Kepenghuluan Bangko Kiri Kecamatan Bangko Pusako Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau. Tujuan


(22)

dari penulisan ini adalah untuk mendeskripsikan bentuk dan pemakaian kata sapaan berdasarkan garis keturunan dan berdasarkan garis perkawinan di Kepenghuluan Bangko Kiri Kecamatan Bangko Pusako Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif dan sumber data adalah tuturan dari masyarakat Bangko Kiri Kecamatan Bangko Pusako Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau. Hasil penelitian ini adalah bentuk kata sapaan berdasarkan keturunan patrilineal di Kepenghuluan Bangko Pusako Kecamatan Bangko Kiri Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau adalah Ayah, Abah, Atuk, Ata, Unyang, Ino, Andung, Atuk, Ata, Ibu, Uwak, Pak Cik, Om, panggil nama, Andak, Sulung, Udo, Utih, dan Kakak. Selanjutnya, kata sapaan dalam kekerabatan berdasarkan garis perkawinan di Bangko Kiri adalah Ibu, Uwak, Mamak, Ino, Andung, Atuk, Ata, Pak Cik, Uwak, Om, Mak Cik, Incik, Apak, panggil nama, Abang, Andak, Ongah, Alang, Ucu, Ocik, Utih, Udo, dan Ulung. Namun, bentuk kata sapaan tersebut pemakaiannya digunakan terhadap ego yang berbeda dalam kerabat berdasarkan perkawinan atau kerabat berdasarkan keturunan.

Mona Gusthia, Yetty Morelent dan Gusnetti (2014) melakukan penelitian kata sapaan bahasa Minangkabau di Kanagarian Lubuk Ulang Aling Selatan Kecamatan Sangir Batang Hari Kabupaten Solok Selatan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bentuk kata sapaan kekerabatan yang ada di Kanagarian Lubuk Ulang Aling Selatan Kecamatan Sangir Batang Hari Kabupaten Solok Selatan. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode yang digunakan adalah metode deskriptif. Entry yang diteliti adalah


(23)

bentuk kata sapaan kekerabatan inti dan kata sapaan yang diperluas yang digunakan oleh masyarakat di Kanagarian Lubuk Ulang Aling Selatan Kecamatan Sangir Batang Hari Kabupaten Solok Selatan. Penelitian ini dilakukan dengan mengadakan observasi dan wawancara langsung dengan informan. Informan yang diteli adalah masyarakat Kanagarian Lubuk Ulang Aling Selatan Kecamatan Sangir Batang Hari Kabupaten Solok Selatan. Hasil penelitian mendeskripsikan penggunaan kata sapaan kekerabatan inti dan kekerabatan yang diperluas dalam bahasa Minang di Kanagarian Lubuk Ulang Aling Selatan Kecamatan Sangir Batang Hari Kabupaten Solok Selatan. Berdasarkan analisis data, maka dapat disimpulkan bahwa kata sapaan yang terdapat di Kanagarian Lubuk Ulang Aling Selatan Kecamatan Sangir Batang Hari Kabupaten Solok Selatan terdapat dua bentuk kata sapaan, yaitu: (1) kata sapaan kekerabatan inti, yaitu ayah, amak, uda, kak tuo, uni, awak. (2) kata sapaan kekerabatan yang diperluas, yaitu inyiak antan, inyiak atuak, inyiak ino, inyiak adi, antan, atuak, ino, adi, antan gaek, atuak gaek, ino gaek, adi gaek, pak tuo, mak tuo, pak etek, pak osu, etek, osu, mamak, ongku, maktuo, mak etek, mok su, apak, amak, ongah, uni, uda, yuang, piak, cucuang, dan sebagainya.

Nuraidar Agus (2014) melakukan penelitian mengenai bentuk sapaan bahasa Bugis dalam konteks pragmatik gender. Penelitian yang dilakukan ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang penggunaan bentuk sapaan dalam komunikasi interaktif antar penutur bahasa Bugis berdasarkan jenis kelamin. Analisis yang digunakan adalah berdasarkan metode deskriptif kualitatif melalui pengumpulan data pada penutur Bugis secara triangulasi; pengamatan,


(24)

wawancara, dan pencatatan. Berdasarkan fenomena bertutur pada penutur wanita dan pria, ditemukan bahwa sesungguhnya kedua kelompok tersebut, sering menggunakan bentuk sapaan pragmatik yang berbeda. Hasil analisis menggambarkan bahwa ada empat bentuk sapaan pragmatik yang sangat umum digunakan oleh penutur wanita dan pria dalam berbahasa Bugis, yaitu (1) kata sapaan kekerabatan vertical keluarga dan kekerabatan vertical sosial (2) kata sapaan profesi, dan (3) sapaan solidaritas. Fenomena penggunaan bentuk sapaan bahasa Bugis tersebut berbeda antar penyapa wanita dan pria. Ciri pembedanya lebih dipengaruhi oleh tujuan, situasi, dan pristiwa tutur yang malatari pembicaraan.

Musnawati (2014) melakukan penelitian kata sapaan pada masyarakat Batuang tinjauan sosiolinguistik. Penelitian ini menjelaskan jenis kata sapaan yang digunakan masyarakat Ujuang Batuang dan bagaimana kata sapaan itu digunakan oleh masyarakat Ujuang Batuang. Dalam penelitian ini teori yang digunakan untuk memecahkan permasalahan tersebut adalah menggunakan teori sosiolinguistik. Pada penelitian yang dilakukan Musnawati ini metode yang digunakan ada tiga tahap, yaitu : (1) tahap penyediaan data, (2) tahap analisis data, dan (3) tahap penyajian hasil analisis data. Metode penyajian data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak, teknik dasar yang digunakan adalah teknik sadap, sedangkan teknik lanjutan yang digunakan adalah teknik simak libat cakap (SLC) dan teknik simak bebas libat cakap (SBLC), dilanjutkan dengan teknik catat. Dalam penyajian data hasil analisis diterapkan metode formal dan informal. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini ditemukan tiga golongan kata


(25)

sapaan yang digunakan masyarakat Ujuang Batuang, yaitu : (1) kata sapaan umum, (2) kata sapaan adat, dan (3) kata sapaan agama. Selanjutnya bagaimana kata sapaan itu digunakan oleh masyarakat Ujuang Batuang.

Lisniarti, Hasnah Faizah AR. dan Auzar (2015) melakukan penelitian berkaitan dengan sistem sapaan bahasa Melayu Riau Subdialek Inuman Kabupaten Kuantan Singingi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan deskripsi mengenai sistem sapaan yang terdapat dalam bahasa Melayu Riau Subdilek Inuman. Sistem sapaan itu terdiri atas sapaan kekerabatan dan nonkekerabatan. Selain itu, penelitian ini juga membahas perubahan sapaan dan faktor-faktor penyebab perubahan sapaan itu. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Hasil penelitian berupa klasifikasi sistem sapaan kekerabatan dan nonkekerabatan dalam masyarakat Inuman Kabupaten Kuantan Singingi, perubahan sistem sapaan yang terdapat dalam Bahasa Melayu Riau Subdialek Inuman, serta faktor-faktor penyebab perubahan sapaan tersebut. Hasil penelitian ini merupakan suatu bentuk pendokumentasian sapaan yang terdapat dalam masyarakat Inuman di Kabupaten Kuantan Singingi.

Ridha M. Wibowo dan Agustin Retnaningsih (2015) meneliti mengenai dinamika bentuk-bentuk sapaan sebagai refleksi sikap berbahasa masyarakat Indonesia. Tujuannya adalah mendeskripsikan bentuk sapaan yang digunakan oleh masyarakat, menguraikan sikap dan struktur logika pemakaian bentuk sapaan, dan menguraikan aktualisasi dan dinamika pemakaian bentuk-bentuk sapaan dalam masyarakat . Untuk memperoleh data yang variatif diterapkan populasi data yang diperoleh dari sejumlah pembahan, khususnya mahasiswa, dengan asumsi bahwa


(26)

selain mereka termasuk tingkat usia yang amat produktif dalam menggunakan sapaan, juga dimungkinkan mereka memiliki kekayaan bentuk sapaan dan atau penyapaan. Pendekatan yang digunakan adalah sosiolinguistik mengenai tindak tutur, data diperoleh dengan metode simak dalam bentuk kuesioner dan kartu data. Hasil klasifikasi data dianalisis dengan metode instropeksi, komparasi, dan padan refrensial, serta disajikan dalam penyajian secara formal dan informal. Dari sejumlah kuesioner semi tertutup yang berisi daftar pertanyaan mengenai sikap dan pilihan sapaan yang mereka gunakan diperoleh hasil berupa pemetaan bentuk-bentuk sapaan yang umum digunakan oleh masyarakat, latar belakang pemakaian bentuk sapaan dalam masyarakat, serta aktualisasi dan dinamika penggunaan bentuk-bentuk sapaan dalam bahasa Indonesia.

Penelitian-penelitian terdahulu tersebut menggunakan metode penelitian yang sama yakni metode deskriptif dengan sumber data adalah dari tuturan masyarakat penutur. Metode pengumpulan data yang digunakan antara lain melalui obeservasi dan wawancara, melalui metode simak dan cakap. Metode penyajian data yang digunakan adalah formal dan informal. Penelitian-penelitian terdahulu digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini. Kekurangan dari penelitian-penelitian terdahulu tersebut adalah pemetaan sapaan tidak berdasarkan referen dan tidak dianalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan itu sendiri.

Pada penelitian ini, sapaan-sapaan dalam bahasa Manggarai akan dianalisis berdasarkan referen sehingga dapat dikelompokan jenis-jenis sapaan tersebut. Sapaan-sapaan tersebut juga akan dianalisis mitra tuturnya sehingga


(27)

dapat dikelompokan faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan tersebut.

1.6. Landasan Teori

Pada landasan teori ini dijelaskan pengertian sapaan, sapaan berdasarkan referen dan faktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan.

a. Pengertian Sapaan

Menurut Crystal dalam Syafyahya dkk. (2000: 3) sapaan adalah cara mengacu seseorang di dalam interaksi linguistik yang dilakukan secara langsung. Crystal dalam bukunya yang berjudul A Dictionary of Linguistics and Phonectics

memberikan batasan mengenai istilah sapaan. Dalam bukunya itu juga dianalisis tipe-tipe partisipan yang dibedakan berdasarkan situasi sosial dan kaidah-kaidah yang dikemukakan untuk menjelaskan penulisan penggunaan istilah yang dilakukan oleh si pembicara, seperti penggunaan nama pertama, gelar, dan pronomina. Menurut Kridalaksana dalam Syafyahya dkk. (2000: 3), semua bahasa mempunyai bahasa tutur sapa, yakni sistem yang mempertahukan seperangkat kata-kata atau ungkapan yang dipakai untuk menyapa para pelaku dalam suatu peristiwa.

Sapaan dapat diukur dari jarak dan hubungan penyapa dan pesapa, ada yang hubungan vertikal dan ada hubungan horisontal. Hubungan vertikal menunjukan berapa jauh hubungan penyapa dengan pesapa sebagai lawan bicara, hubungan horisontal menunjukan tingkat keakraban penyapa dan pesapa. Kedua


(28)

dimensi tersebut mengakibatkan banyaknya variasi sapaan yang dijumpai dalam pemakaiannya pada suatu masyarakat tertentu (Nasution dkk., 1994: 7).

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan teori sosiolinguistik. Menurut Hudson dalam Baryadi (2015: 58) sosiolinguistik adalah studi tentang bahasa dalam kaitannya dengan masyarakat. Sosiolinguistik mengkaji keterkaitan bahasa dengan masyarakat dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang struktur bahasa dan fungsi bahasa dalam komunikasi (Baryadi, 2015: 58). Menurut Koentjaraningrat dalam Sulaiman, dkk. (1990: 3) bahwa dalam setiap bahasa terdapat istilah kekerabatan yang terdiri atas dua macam sistem istilah, yaitu istilah sapaan (term of address) dan istilah acuan (term of reference). Berdasarkan pendapat Koentjaraningrat tersebut, istilah kekerabatan dalam penelitian ini termasuk dalam istilah sapaan (term of address). Pendekatan teori sosiolinguistik yang dipakai untuk meneliti sapaan memandang sapaan dari perspektif kebahasaan dan kemasyarakatan. Perspektif kebahasaan diteliti lebih dahulu karena menunjukan ciri-ciri dan distribusi yang relatif mudah di amati (Suhardi dkk., 1985: 8-9). Perspektif kemasyarakatan diteliti setelah dideskripsikan perspektif kebahasaan. Menurut Kartomihardjo dalam Suhardi dkk. (1985: 8-9) perspektif kemasyarakatan berupa sejumlah faktor kemasyarakatan dan faktor alami, yaitu faktor situasi, etnik, kekerabatan, keintiman status sosial, umur, jenis kelamin, status perkawinan, dan asal dari kota atau luar kota.


(29)

Perspektif kebahasaan sebagaimana yang dikemukakan Suhardi dkk. (1985: 8-9) tersebut di atas pada penelitian ini digunakan untuk mendapatkan gambaran mengenai jenis-jenis sapaan berdasarkan referennya.

b. Jenis Sapaan Berdasarkan Referen

Referen adalah sesuatu yang diacu oleh konsep bentuk bahasa yang bersangkutan. Referen dapat dikatakan sesuatu atau hal yang ada di luar bahasa (Wijana dan Rohmadi, 2011: 4-5). Jenis sapaan berdasarkan referen dapat diartikan sebagai penggolonggan sapaan berdasarkan hal yang diacu sapaan tersebut. Sebagai contoh dapat diamati melalui tabel berikut (Wibowo dan Retnaningsih, 2015).

Tabel 1.1. Contoh Jenis Sapaan Berdasarkan Referen

Sapaan Referen

Kakek Orang tua laki-laki ayah, Orang tua laki-laki ibu Nenek Orang tua perempuan ayah,

Orang tua perempuani ibu

Pada tabel 1.1 di atas sapaan kakek merupakan sapaan yang menunjuk orang tua laki-laki ayah dan orang tua laki-laki ibu sebagai referen. Sapaan nenek

merupakan sapaan yang menunjuk orang tua perempuan ayah dan orang tua perempuan ibu sebagai referen sapaan tersebut. Berdasarkan contoh di atas, sapaan kakek dan nenek dapat digolongkan sebagai jenis sapaan kekerabatan karena referen atau hal yang diacu oleh sapaan tersebut menunjukkan hubungan kekerabatan.


(30)

Pada penelitian ini pengelompokkan jenis-jenis sapaan didasarkan pada hal yang diacu (referen) oleh sapaan tersebut sebagaimana dijelaskan pada contoh tabel 1.1. Pengelompokan tersebut dapat berupa jenis sapaan berdasarkan hubungan kekerabatan, profesi, jabatan dan sebagainya.

c. Faktor Penggunaan Sapaan

Menurut Brown dan Gilman dalam Mahmud dkk. (2003: 4-5) pemilihan sapaan dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut.

1) Perbedaan kerabat, yakni apakah kawan bicara masih mempunyai hubungan darah dengan pembicara.

2) Perbedaan umur, yakni apakah umur kawan bicara lebih tua, sebaya, atau lebih muda daripada pembicara.

3) Perbedaan jabatan, yakni apakah jabatan kawan bicara lebih tinggi, sama, atau lebih rendah daripada pembicara.

4) Perbedaan situasi, yakni situasi yang ada pada saat terjadinya peristiwa tutur, baik sangat formal maupun tidak formal.

5) Perbedaan status sosial, yakni perbedaan tingkat sosial partisipan tutur.

6) Hubungan keakraban, yaitu apakah pembicara telah mengenal dengan baik kawan bicarannya, baik yang bersifat akrab maupun tidak akrab.

7) Tujuan pembicaraan, yakni maksud atau kehendak pembicara melakukan pembicaraan dengan kawan bicara.


(31)

Berdasarkan paparan Brown dan Gilman di atas, faktor-faktor kemasyarakatan yang diteliti pada penelitian ini berkaitan dengan faktor penggunaan sapaan yakni faktor perbedaan umur, faktor jenis kelamin, faktor hubungan kekerabatan, faktor perbedaan keakraban, dan faktor perbedaan hubungan peran dalam masyarakat.

1.7. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif adalah salah satu jenis penelitian yang tujuannya untuk menyajikan gambaran lengkap mengenai setting sosial atau hubungan antara fenomena yang di uji. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah menghasilkan gambaran akurat tentang sebuah kelompok, menggambarkan mekanisme sebuah proses atau hubungan, menciptakan seperangkat kategori dan mengklasifikasikan subjek penelitian, menjelaskan seperangkat tahapan atau proses, serta untuk menyimpan informasi bersifat kontradiktif mengenai subjek penelitian (Faizah dkk., 2015).

Metode deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan dan menginterpretasikan bentuk sapaan dalam bahasa Manggarai, berdasarkan perumusan masalah yaitu jenis-jenis sapaan berdasarkan referen dan faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan. Metode ini dinilai relevan untuk digunakan dalam ilmu tingkah laku (behavioral sciences) (Supryanto dkk., 1986: 11).


(32)

a. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data menggunakan metode cakap dan metode simak. Menurut Sudaryanto dalam Mastoyo (2007: 41) pada metode cakap diterapkan pertama-tama dengan pemancingan. Maksudnya, peneliti pertama-tama harus dengan segenap kecerdikan dan kemauannya memancing informan agar berbicara.

Pada metode simak, peneliti menggunakan teknik simak libat cakap dan teknik simak bebas libat cakap. Menurut Sudaryanto dalam Mastoyo (2007: 44) Kegiatan menyadap penggunaan bahasa seseorang atau beberapa orang dapat dilakukan dengan ikut terlibat atau berpartisipasi (sambil menyimak), entah secara aktif atau reseptif, dalam pembicaraan. Kegiatan penyadapan data dengan cara demikian disebut teknik simak libat cakap.

Menurut Sudaryanto dalam Mastoyo (2007: 44) pada teknik simak bebas libat cakap peneliti tidak dilibatkan langsung untuk ikut menentukan pembentukan dan pemunculan calon data kecuali hanya sebagai pemerhati-pemerhati terhadap calon data yang terbentuk dan muncul dari peristiwa kebahasaan yang berada di luar dirinya. Teknik ini digunakan dengan dasar pemikiran bahwa prilaku berbahasa hanya dapat benar-benar dipahami jika peristiwa berbahasa itu berlangsung dalam sistem yang sebenarnya yang berada dalam konteks yang lengkap (Mashun, 2006: 219).

b. Metode Analisis Data

Metode untuk menganalisis data pada penelitian ini digunakan metode padan referensial dan metode padan pragmatis. Menurut Kridalaksana dalam


(33)

Mastoyo (2007: 48) metode padan referensial adalah metode padan yang alat penentunya berupa referen bahasa. Referen bahasa adalah kenyataan atau unsur di luar bahasa yang ditunjuk satuan kebahasaan. Metode padan referensial itu digunakan untuk menentukan identitas satuan kebahasaan menurut referen yang ditunjuk (Mastoyo, 2007: 48). Tabel berikut menjelaskan contoh sapaan dalam bahasa Manggarai berdasarkan referennya.

Tabel 1.2. Contoh Sapaan dalam Bahasa Manggarai Berdasarkan Referen

No. Sapaan Referen

1. Weta Saudara perempuan

2. Ema Koe Adik laki-laki dari ayah penutur atau suami dari adik perempuan ibu 3. Ende Koe Adik perempuan dari ibu penutur atau

istri dari adik laki-laki ayah 4. To‟a Keponakan laki-laki atau perempuan

Metode padan pragmatis adalah metode padan yang alat penentunya mitra bicara. Metode ini digunakan untuk mengidentifikasi, misalnya, satuan kebahasaan menurut reaksi atau akibat yang terjadi atau timbul pada lawan atau mitra bicaranya ketika satuan kebahasaannya itu dituturkan oleh pembicara (Mastoyo, 2007: 49). Berikut contoh (5) melukiskan seorang ibu meminta obat demam pada seorang bidan yang bernama Selvi untuk anaknya.

(5) Penutur : Bidan Selvi, cala manga obat demam sili mbaru? Ai toe manga sehat daku hi nana!

„Bidan Selvi, apakah ada obat demam di rumah? Karena anak (laki-laki) saya sedang demam!‟


(34)

Mitra Tutur : E ga, aku ngo ba rewos eta mbaru tong!

„Baiklah, saya akan antarkan obatnya ke rumah!‟

Pada contoh (5) sapaan Bidan Selvi dipengaruhi oleh adanya faktor keakraban dan hubungan peran dalam masyarakat.

Pada penelitian ini metode padan referensial digunakan untuk menentukan jenis-jenis referen yang ditunjuk. Metode padan pragmatis digunakan untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan.

c. Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Hasil analisis data berupa hasil temuan dari objek yang diteliti. Hasil analisis data akan disajikan dengan metode formal dan informal. Menurut Kridalaksana dalam Mastoyo (2007: 73) metode formal adalah penyajian hasil analisis data dengan menggunakan kaidah. Kaidah itu dapat berbentuk rumus, bagan/diagram, tabel, dan gambar.

Menurut Sudaryanto dalam Mastoyo (2007: 71) metode informal adalah penyajian hasil analisis data dengan menggunakan kata-kata biasa. Dalam penyajian ini, rumus (-rumus) atau kaidah (-kaidah) disampaikan dengan menggunakan kata-kata biasa, kata-kata yang apabila dibaca dengan serta merta dapat langsung dipahami.

1.8. Sistematika Penyajian

Tugas akhir ini terdiri dari lima bab. Pada bab I diuraikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, dan metodologi penelitian. Bab II berupa deskripsi masyarakat Manggarai. Pada bab II


(35)

ini diuraikan sejarah, letak geografis, penduduk, pendidikan, keadaan budaya atau tradisi, dan keadaan bahasa. Bab III berupa kata sapaan dalam bahasa Manggarai. Pada bagian ini berisi paparan tentang jenis-jenis sapaan berdasarkan referen dalam bahasa Manggarai. Bab IV berupa analisis faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan bahasa Manggarai. Pada bab V berupa penutup. Bab ini berisi kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang dilakukan.


(36)

DESKRIPSI KEADAAN BAHASA MASYARAKAT MANGGARAI

2.1. Sejarah Masyarakat Manggarai

Banyak cerita orang Manggarai mengenai asal usul mereka. Ada yang mengatakan keturunan Turki yang lalu bermukim di Mandosawu, keturunan dari Bima di Sumbawa, Bugis Luwu di Sulawesi, Melayu Malaka dan Minangkabau. Kenyataannya tidak ada satu suku Manggarai tetapi orang Manggarai terdiri dari berbagai kelompok suku, subsuku atau klan.

Masing-masing gelombang pendatang menempati wilayah tertentu dan dalam perkembangannya mengembangkan pusat kekuasaan dengan adat tersendiri. Asal keturunan Bugis Luwu yang tiba dalam beberapa gelombang misalnya menumbuhkan suku (adak) Bajo di bagian selatan sampai barat. Keturunan Turki bermukim pegunungan di dekat puncak gunung Mandosawu tetapi kemudian pindah ke tempat Mano sekarang di kaki pegunungan bagian utara. Salah satu tokoh suku yang dikenal sebagai Suku Kuleng bernama Rendong Mataleso diakui sebagai nenek moyang aliansi adak Cibal, Lambaleda, dan Poka.

Pendatang dari Minangkabau konon tiba di Flores di dekat Labuan Bajo di tempat yang namanya Waraloka. Orang-orang Minangkabau ini, di bawah pimpinan Kraeng Mashur, membangun adak Todo. Mereka bermukim di daerah Todo dan Pongkor sekarang. Di situlah, konon mereka bertemu dengan orang-orang asli yang menurut cerita bertubuh kecil, berbulu, dan tidak mengenal pakaian atau api. Demikian suku-suku yang lain bercampur baur menjadi Suku Manggarai yang tidak lagi dapat dipisahkan.


(37)

Sumbawa dan Kesultanan Gowa di Sulawesi untuk memperoleh monopoli perdagangan. Meskipun secara nyata kekuasaan asing dirasakan hanya di pesisir, kedua penguasa ini meninggalkan pengaruh dalam bentuk struktur kekuasaan dan gelar. Di Reok dan Pota, di pantai utara ditempatkanlah perwakilan Sultan Bima. Suku-suku yang sementara itu sudah mulai terorganisasi dalam aliansi suku menjadi kedaluan yang dikepalai seorang dalu yang terutama bertanggungjawab untuk mengumpulkan upeti bagi Sultan Bima. Di bawah Dalu ditempatkan gelarang yang menguasai satu atau lebih wilayah tuan tanah (tu’a teno). Dalu maupun gelarang kebanyakan dipilih di antara toko adat, kemudian dalam perkembangannya menjadi gelar turun-temurun.

Letusan gunung Tambora tahun 1815 mematahkan kekuasaan Bima. Kesempatan ini dimanfaatkan beberapa Dalu besar untuk mencoba memperbesar kekuasaan. Terjadilah perebutan kekuasaan antara Todo dan Cibal yang dimenangkan oleh Todo.

Ketika Belanda datang di Manggarai pada awal abad 20 dan mengambil alih penguasaan atas Manggarai dari Bima, mereka menemukan dan meneruskan struktur administrasi pemerintahan tersebut. Sementara itu, masyarakat biasa kebanyakan masih hidup dalam kampung-kampung kecil yang terisolasi, yang umumnya terdiri dari beberapa rumah khas berbentuk bundar dengan atap kerucut.

Orang Manggarai pada dasarnya petani ladang meskipun di tempat-tempat yang memungkinkan banyak juga yang beralih ke sawah. Kehidupan dan penghidupan terbentuk dari cara penguasaan dan pengelolaan lahan, yang umumnya pola ladang gilir.


(38)

mempersatukan kedaluan menjadi satu kerajaan. Aleksander Baruk dari Todo dipilih dan dipersiapkan menjadi Raja. Pada 1929, ia dinobatkan sebagai pemimpin Manggarai dengan ibu kota adalah Ruteng (Sisipan National Geogaphic Indonesia, 2008).

2.2. Letak Geografis

Secara geografis wilayah Kabupaten Manggarai terletak diantara 8º LU - 8º.30 LS dan 119,30º - 12,30º BT. Merupakan salah satu dari 21 Kabupaten/Kota yang terdapat di Provinsi Nusa Tenggara Timur, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:

Tabel 2.1. Batas Wilayah Kabupaten Manggarai Sebelah Barat Kabupaten Manggarai Barat

Sebelah Utara Laut Flores

Sebelah Timur Kabupaten Manggarai Timur Sebelah Selatan Laut Sawu

Wilayah Kabupaten Manggarai terdiri dari 12 kecamatan yakni Kecamatan Satar Mese, Kecamatan Satar Mese Utara, Kecamatan Satar Mese Barat, Kecamatan Langke Rembong, Kecamatan Ruteng, Kecamatan Wae Rii, Kecamatan Lelak, Kecamatan Rahong Utara, Kecamatan Cibal, Kecamatan Cibal Barat, Kecamatan Reok dan Kecamatan Reok Barat. Secara jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.1. Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Manggarai.


(39)

Sumber : Buku Putih Sanitasi Kabupaten Manggarai 2012

Gambar 2.1. Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Manggarai 2.3. Penduduk

a.Mata Pencaharian

Mata pencaharian mayoritas penduduk di kabupaten Manggarai adalah bercocok tanam di ladang dan di sawah. Hal ini terbukti dari luas wilayah pertanian dan jumlah produksi sektor pertanian di kabupaten Manggarai sebagaimana ditunjukkan tabel 2.2.


(40)

di Manggarai

No Tanaman Pangan Luas Panen (ha) Produktifitas

(kw/ha)

Produksi (ton)

1. Padi Sawah 19 795 40.37 79 907

2. Padi Ladang 2 171 40.86 8 871

3. Jangung 3 000 26.35 7 906

4. Kedele 614 8.36 513

5. Kacang Tanah 217 6.14 133

6. Kacang Hijau 125 11.92 149

7. Ubi Kayu 1 159 97.29 11 276

8. Ubi Jalar 773 62.38 4 822

Sumber : BPS Kabupaten Manggrai 2015

b. Jumlah Penduduk

Adapun jumlah penduduk di kabupaten Manggarai yang tersebar di 12 kecamatan dapat diamati pada tabel 2.3. berikut ini.


(41)

Tahun 2016

No Kecamatan Laki-laki Perempuan Laki-laki + Perempuan

1. Satar Mese 16,264 17,122 33,386

2. Satar Mese Barat 9,028 9,543 18,571 3. Satar Mese Utara 6,099 6,680 12,779 4. Langke Rembong 38,481 40,669 79,150

5. Ruteng 20,339 21,297 41,636

6. Wae Rii 14,737 14,903 29,640

7. Lelak 5,508 5,688 11,196

8. Rahong Utara 10,994 11,623 22,617

9. Cibal 12,578 13,387 25,965

10. Cibal Barat 6,784 7,244 14,028

11. Reok 10,161 10,081 20,242

12. Reok Barat 7,405 7,399 14,804

JUMLAH 158,378 165,636 324,014

Sumber : BPS Kabupaten Manggrai 2016

2.4. Pendidikan

Jumlah sekolah, guru dan murid di kabupaten Manggarai dapat dilihat pada tabel 2.4. berikut.


(42)

Pendidikan di Kabupaten Manggarai.

Tingkat Pendidikan Sekolah Guru Murid

Education School Teacher Pupil

1. Taman Kanak-Kanak NA NA NA

2. SD/MI 243 2 668 56 107

Primary School

3. SLTP/MTs/SMPLB 67 1 206 23 220

Junior High School

4. SMU/MA 28 808 12 946

Senior High School

5. SMK

Vocational Senior High

School 10 270 4 927

Sumber : BPS Kabupaten Manggrai 2015

2.5. Keadaan Budaya atau Tradisi

Masyarakat Manggarai merupakan masyarakat yang kaya akan budaya atau tradisi turun-temurun yang diwariskan oleh nenek moyang. Masyarakat Manggarai terkenal dengan banyak tradisi yang dilakukanya untuk membangun solidaritas dan keharmonisan dalam masyarakatnya. Beberapa diantara warisan itu sudah menjadi Budaya Nasional Indonesia dan dunia serta diakui UNESCO (Makur, 2016). Ditetapkan menjadi budaya nasional dan dunia karena dalam ritus dan warisan yang ada terkandung banyak cerita dan falsafah hidup masyarakat Manggarai Raya dan masih hidup di tengah-tengah arus budaya global. Beberapa budaya dan tradisi Manggarai tersebut antara lain:


(43)

Tarian Caci merupakan tarian tradisional Manggarai seperti olahraga tradisional yang dijadikan tradisi ritual menempa diri. Keunikan dari tarian ini adalah menari-nari sambil melantunkan nyanyian lokal. Permainan caci adalah permainan satu lawan satu yang dilakukan oleh pria. Permainan yang dilakukan tak lain dari pertarungan saling pukul dan tangkis dengan menggunakan cemeti dan tameng. Ada dua pasang yang saling memukul dan menangkis. Lawan memukul dengan cemeti sedang yang satu menangkis dengan menggunakan tameng berbentuk bulat yang terbuat dari kulit kamping, kerbau dan sapi.

Tarian Caci diyakini bisa menjaga jiwa sportivitas antar pemain. Pertunjukan ini biasa dilakukan di lapangan atau halaman kampung yang dalam bahasa Manggarai biasa di sebut natas. Pertunjukan Caci diawali dengan pentas tarian Danding.

Tarian ini juga mengungkapkan sebuah kegembiraan dari orang Manggarai terhadap ritual adat, seperti perkawinan, syukuran atas tahbisan imam, peresmian rumah adat. Bahkan warisan ini selalu ditampilkan pada perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia di wilayah Kabupaten Manggarai.

b. Ritual Adat Penti

Penti dapat diartikan dengan syukuran. Penti dilaksanakan sekali setahun. Syukuran atas keberhasilan panen dan lain sebagainya. Satu kampung berkumpul dalam satu rumah adat yang disebut Mbaru Gendang untuk mengucapkan rasa syukur atas keberhasilan selama setahun.


(44)

sangat terasa. Seperti halnya upacara-upacara adat Manggarai yang lain, pesta Penti mampunyai norma yang mengatur hubungan antara Sang Pencipta (Jari Agu Dedek) dengan ciptaannya. Memiliki norma yang mengatur hubungan antara sesama manusia dan antara manusia dengan lingkungannya (Ngare, 2014).

c. Lodok

Lodok merupakan sebuah sistem pembagian tanah yang sangat adil. Lodok sering disebut dengan pembagian tanah seperti jaring laba-laba. Sebelum mengenal pembagian tanah secara nasional, leluhur orang Manggarai memiliki sistem tersendiri dalam membagi tanah.

d. Arsitektur Rumah Gendang

Rumah Gendang yang berbentuk kerucut menjadi daya tarik bagi arsitektur Indonesia dan dunia untuk meneliti bentuk warisan leluhur orang Manggarai dalam membangun rumah. Rumah adat Gendang orang Manggarai yang disebut Mbaru Niang selalu mengerucut ke langit. Orang Manggarai tidak mengenal seng melainkan mengenal Wunut atau Ijuk. Jadi, orang Manggarai sering menyebut rumah adatnya dengan sebutan Mbaru Wunut.

2.6. Keadaan Bahasa

Bahasa yang digunakan di kabupaten Manggarai adalah bahasa Manggarai. Bahasa Manggarai digunakan oleh sebagian besar masyarakat yang berada di wilayah kabupaten Manggarai yang tersebar di 12 kecamatan yakni Kecamatan Satar Mese, Kecamatan Satar Mese Utara, Kecamatan Satar Mese Barat, Kecamatan Langke Rembong, Kecamatan Ruteng, Kecamatan Wae Rii,


(45)

Barat, Kecamatan Reok dan Kecamatan Reok Barat. Bahasa Manggarai ini sangat umum digunakan oleh masyarakat Manggarai dalam berkomunikasi antar sesama masyarakat Manggarai. Penggunaan bahasa Manggarai oleh masyarakat Manggarai selain untuk berkomunikasi, juga untuk mempererat hubungan antar sesama masyarakat Manggarai. Selain bahasa Manggarai, terdapat juga penggunaan bahasa Indonesia dalam sistem sapaan masyarakat Manggarai.

Dalam percakapan sehari-hari masyarakat Manggarai juga terdapat beberapa dialek bahasa Manggarai yang menjadi ciri khas dari suatu wilayah tertentu di kabupaten Manggarai. Dialek tersebut cenderung berbeda di setiap kecamatan hal itu dipengaruhi oleh unsur kebahasaan yang disebut unsur

suprasegmental. Menurut Wijana dan Rohmadi (2011: 2) unsur-unsur

suprasegmental terdiri atas keras lemahnya suara (tekanan), tinggi rendahnya suara (nada), panjang-pendeknya ucapan (durasi), dan jarak waktu pengucapan (jeda). Adapun dialek yang terdapat di kabupaten Manggarai adalah dialek Reo, dialek Cibal, dialek Rahong, dialek Ruteng, dialek Lelak dan dialek Satarmese. Gambar 2.2. berikut merupakan peta pembagian dialek yang terdapat di kabupaten Manggarai.


(46)

1

2

3

4

5

6

DIALEK REO

DIALEK CIBAL

DIALEK RAHONG

DIALEK RUTENG

DIALEK LELAK

DIALEK SATARMESE


(47)

JENIS-JENIS SAPAAN DALAM BAHASA MANGGARAI BERDASAKAN REFERENNYA

3.1. Pengantar

Bahasa Manggarai mengenal berbagai jenis sapaan yang biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari. Jenis sapaan dalam bahasa Manggarai dibedakan berdasarkan referennya, yakni sapaan berdasarkan hubungan kekerabatan, sapaan berdasarkan profesi, sapaan berdasarkan jabatan, sapaan dengan menyebut nama, sapaan berdasarkan kata ganti, dan sapaan gabungan.

3.2. Sapaan Berdasarkan Hubungan Kekerabatan

Sapaan kekerabatan di daerah Manggarai adalah jenis sapaan yang paling banyak ditemui. Sapaan kekerabatan adalah sapaan yang digunakan untuk menyapa seseorang yang memiliki hubungan pertalian kekerabatan. Dalam penggunaannya jenis sapaan ini tidak hanya digunakan untuk menyapa mitra tutur yang memiliki hubungan pertalian kekerabatan tetapi juga untuk menyapa mitra tutur yang bahkan tidak mempunyai hubungan pertalian kekerabatan apa-apa. Sapaan yang berasal dari pertalian kekerabatan itu adalah ende, mama, oma, ema, bapa, opa, inang, tanta, amang, om, kae, ase, ende koe, mama koe, ema koe, bapa

koe, ende tu’a, mama tua, ema tu’a, bapa tua, enu, nana, nara, weta, empo, kesa, ipar, koa, wote, to’a. Berikut ini akan diuraikan sapaan-sapaan kekerabatan itu satu per satu.


(48)

Sapaan ema dalam bahasa Indonesia artinya ayah/bapak. Sapaan ema

adalah sapaan yang digunakan untuk menyapa ayah kandung penutur, bisa juga digunakan untuk menyapa ayah kandung dari suami atau istri penutur. Contoh kalimat (6) berikut ini melukiskan bagaimana seorang anak mengajak ayahnya untuk makan siang.

(6) Ema, mai hang leso ga!

„Ayah/Bapak, ayo kita makan siang!„

Pada perkembangannya sapaan ema jarang digunakan lagi untuk menyapa seorang ayah karena masyarakat Manggarai lebih banyak menggunakan sapaan

bapa. Contoh (7) berikut melukiskan anak penutur menawarkan minuman kopi dan teh kepada ayahnya yang baru pulang dari ladang.

(7) Bapa, ngoeng inung apa mane ho’o? Ngoeng kopi ko teh? „Ayah/Bapak, mau minum apa sore ini? Mau kopi atau teh?‟

Sapaan ema juga mengalami perluasan penggunaan yaitu ema bisa juga digunakan oleh penutur untuk menyapa kakek kandungnya. Contoh (8) melukiskan seorang anak bertanya pada kakeknya dimana letak sarung yang hendak diambil.

(8)Nia na’an towe dite ema?

„Kakek, di mana kakek menyimpan sarung?„

Selain itu, sapaan ema juga bisa dipakai untuk menyapa kakek yang sudah tua tanpa adanya pertalian darah atau kekerabatan. Contoh berikut (9) adalah


(49)

hendak menyeberangi jalan.

(9) Ema de di’a lako, jaga oto!

„Kakek hati-hati, ada mobil lewat!„

Jadi sapaan ema bila diartikan kedalam bahasa Indonesia adalah ayah/bapak namun karena adanya perluasan penggunaan maka sapaan tersebut dapat pula digunakan untuk menyatakan kakek tergantung keadaannya.

Dalam perkembangannya sapaan ema untuk menyatakan kakek seringkali jarang digunakan khususnya di daerah perkotaan. Hal ini dikarenakan sapaan ema

erat kaitannya dengan sapaan untuk kakek yang sudah tua. Masyarakat Manggarai pada zaman ini khususnya di perkotaan lebih sering menggunakan sapaan opa

untuk menyapa seorang kakek baik kandung maupun tidak namun memiliki hubungan pertalian kekerabatan dengan penutur. Kaitannya dengan hal tersebut yang perlu digaris bawahi adalah adanya hubungan pertalian kekerabatan. Seorang kakek yang tidak memiliki hubungan pertalian kekerabatan dengan penutur tidak dapat dipanggil dengan sapaan opa. Contoh (10) berikut melukiskan seorang anak meminta dibelikan jajan pada kakeknya.

(10) Opa, weli bombon koe aku!

„Opa, belikan saya permen!„

Sapaan ema yang menyatakan kakek dalam perkembangannya digunakan di perkotaan hanya untuk menyapa seorang kakek yang sudah tua dan tidak memiliki hubungan pertalian kekerabatan dengan penutur. Sapaan ema untuk menyatakan kakek lebih sering digunakan di pedesaan untuk menyapa kakek


(50)

hubungan pertalian kekerabatan dengan penutur.

b. Sapaan Ende

Sapaan ende dalam bahasa Indonesia artinya ibu/mama. Sapaan ende

adalah sapaan yang digunakan untuk menyapa ibu kandung penutur. Sapaan ini juga bisa digunakan untuk menyapa ibu kandung dari suami atau istri penutur. Contoh kalimat (11) melukiskan bagaimana seorang anak berpamitan dengan ibunya ketika hendak berangkat ke sekolah.

(11) Ende, aku ngo sekola di e!

„Ibu, saya berangkat ke sekolah dulu ya!‟

Dalam perkembangannya sapaan ende jarang digunakan lagi untuk menyapa seorang ibu karena masyarakat Manggarai lebih banyak menggunakan sapaan mama. Contoh (12) berikut melukiskan bagaimana seorang anak meminta doa dari ibunya agar berhasil dalam ujian sekolah.

(12) Mama, ngaji latang aku, ai diang aku ujian!

„Ibu, doakan saya karena besok saya akan mengikuti ujian!‟

Sapaan ende dalam perkembangannya juga mengalami perluasan penggunaan. Sapaan ende bisa dipergunakan oleh penutur untuk menyapa nenek kandungnya. Contoh kalimat (13) bagaimana seorang anak menyuruh neneknya yang sedang berkebun untuk beristirahat.

(13) Ende, emo ciwal ga, istirahat koe di!


(51)

sudah tua meskipun tidak memiliki hubungan darah. Contoh berikut (14) melukiskan bagaimana penutur mengajak seorang nenek yang kehujanan ketika pulang dari kebun untuk mampir ke rumahnya.

(14) Ende, iling ce mbaru di gereng meti usang!

„Nenek, mampirlah di rumah ini dulu sampai hujannya berhenti!„

Jadi sapaan ende bila diartikan kedalam bahasa Indonesia adalah ibu/mama namun karena mengalami perluasan penggunaan sebagaimana yang dialami sapaan ema, maka sapaan ende dapat pula digunakan untuk menyatakan nenek tergantung keadaan.

Sapaan ende untuk menyatakan nenek kandung dalam perkembangannya juga seringkali jarang digunakan khususnya di daerah perkotaan. Hal ini dikarenakan juga sapaan ende erat kaitannya dengan sapaan untuk nenek yang sudah tua. Masyarakat perkotaan di Manggarai lebih sering menggunakan kata sapaan oma untuk menyapa seorang nenek baik kandung maupun tidak, namun memiliki hubungan pertalian kekerabatan dengan penutur dan jarang menggunakan sapaan ende. Kaitannya dengan hal tersebut yang perlu digaris bawahi adalah adanya hubungan pertalian kekerabatan. Seorang nenek yang tidak memiliki hubungan pertalian dengan penutur tidak dapat di panggil dengan sapaan

oma. Contoh (15) berikut melukiskan seorang anak meminta makan pada neneknya.

(15) Oma, darem aku! emi koe hang ta oma!


(52)

hanya untuk menyapa seorang nenek yang sudah tua dan tidak memiliki hubungan pertalian kekerabatan dengan penutur. Sapaan ende sendiri untuk menyatakan nenek lebih sering digunakan di pedesaan untuk menyapa nenek kandung maupun untuk menyapa seorang nenek meskipun tidak memiliki hubungan pertalian kekerabatan dengan penutur.

c. Sapaan Amang

Sapaan amang adalah sapaan yang digunakan untuk menyapa saudara (laki-laki) kandung ibu penutur dan bisa juga untuk menyapa suami dari saudari (perempuan) kandung ayah penutur. Sapaan amang bila diartikan kedalam bahasa Indonesia menjadi om atau paman. Berikut contoh (16) melukiskan bagaimana seorang anak meminta uang kepada om atau pamannya yang datang mengunjungnya.

(16) Amang tegi seng pe!

„Om/paman minta uang!„

Pada penggunaannya sapaan amang dalam masyarakat Manggarai dapat digantikan dengan sapaan om. Contoh (17) berikut melukiskan seorang anak yang menelepon om atau pamannya yang berada dikampung untuk membawa buah mangga ketika om atau pamannya hendak berkunjung kerumahnya.

(17) Om, ba koe pau latang aku eme mai ce’e e!

„Om/paman, bawakan saya buah mangga kalau datang ya!‟

Sapaan amang juga bisa digunakan oleh penutur untuk menyapa ayah/bapak kandung dari wanita/pria yang disukainya. Berikut contoh (18)


(53)

menitipkan salam untuk anak gadisnya.

(18) Amang, lako mane bo? Salam daku latang enu!

„Lagi jalan-jalan sore Om/paman? Sampaikan salamku untuk nona!„ Sapaan amang juga digunakan untuk menyapa seorang pria dewasa yang tidak memiliki hubungan darah dengan penutur. Contoh (19) melukiskan seorang penutur yang menanyakan harga sayur pada seorang pria dewasa yang menjual sayur.

(19) Pisa harga ute so amang?

„Berapa harga sayuran ini om/paman?„

d. Sapaan Inang

Sapaan inang adalah sapaan yang digunakan untuk menyapa saudari (perempuan) kandung ayah penutur dan bisa juga untuk menyapa istri dari saudara (laki-laki) kandung ibu penutur. Sapaan inang bila diartikan ke dalam bahasa Indonesia menjadi bibi/tante. Sapaan inang dapat juga diganti dengan sapaan

tanta,perhatikan contoh (21). Berikut contoh (20) melukiskan bagaimana seorang anak meminta oleh-oleh kepada bibinya yang hendak pulang berlibur ke kampung. Contoh (21) melukiskan seorang penutur mengajak bibinya untuk bersama-sama membuatkan kue ulang tahun.

(20) Inang, aku pede baju di’a e! neka hemong weli le inang!

„Bibi/tante, saya pesan baju yang bagus! Bibi/tante jangan lupa untuk membelinya!„


(54)

ulang tahun daku!

„Bibi/tante, besok datang ke rumah untuk bersama-sama membuat kue, karena besok acara ulang tahun saya!‟

Sapaan inang juga bisa digunakan oleh seorang penutur untuk menyapa ibu kandung dari wanita/pria yang disukainya. Berikut contoh (22) melukiskan seorang pemuda yang menanyakan gadis yang disukainya pada ibu kandung dari gadis tersebut.

(22) Inang, cala manga enu?

„Bibi/tante, apa nona-nya ada?„

Sapaan inang juga digunakan untuk menyapa seorang wanita dewasa yang tidak memiliki hubungan darah dengan penutur. Contoh (23) melukiskan seorang penutur yang menanyakan harga kacang tanah pada seorang wanita dewasa yang menjual kacang tanah.

(23) Inang, pisa harga koja so ca kilo?

„Bibi/tante, berapakah harga kacang tanah ini satu kilo?„

e. Sapaan Ka’e

Sapaan ka’e dalam bahasa Indonesia berarti kakak. Sapaan kae merupakan sapaan yang digunakan untuk menyapa seorang kakak (laki-laki dan perempuan) oleh adiknya baik yang memiliki hubungan pertalian kekerabatan (kandung) ataupun tidak memiliki hubungan pertalian kekerabatan. Contoh (24) berikut melukiskan seorang penutur yang meminta dipinjamkan sepatu pada saudara


(55)

yang meminta bahan ujian pada kakak tingkatnya.

(24)Ka’e, nganceng celong koe sepatu dite laku? Ai bete daku spatu ga.

„Kakak, bolehkah saya meminjam sepatumu? Karena sepatu saya sudah usang.‟

(25) Ka’e, nganceng tegi koe laku bahan kut ujian diang?

„Kakak, bolehkah saya meminta bahan untuk ujian besok?‟

f. Sapaan Ase

Sapaan ase dalam bahasa Indonesia berarti adik. Sapaan ase merupakan sapaan yang digunakan untuk menyapa seorang adik (laki-laki dan perempuan) oleh kakaknya baik yang memiliki hubungan pertalian kekerabatan (kandung) ataupun tidak memiliki hubungan pertalian kekerabatan. Contoh (26) berikut melukiskan seorang penutur yang menyuruh saudarinya yang lebih muda untuk bersama-sama membantu ibu memasak. Contoh (27) melukiskan penutur mengajak rekannya yang memiliki usia lebih muda darinya untuk sejenak mampir kerumahnya.

(26) Ase mai ce! Mai campe koe ende cama-cama teneng!

„Adik, kemarilah! Mari bersama-sama membantu ibu memasak!„

(27) Ase, reme usang ho’o e! Mai cenggo cekoen ce mbaru di kesep meti usang!

„Adik, sekarang lagi hujan! Mari singgalah sejenak di rumah hingga hujan berhenti!‟


(56)

Sapaan ema koe dalam bahasa Indonesia artinya bapak kecil. Sapaan ema koe digunakan untuk menyapa adik laki-laki dari ayah penutur dan juga untuk menyapa suami dari adik perempuan dari ibu penutur. Sapaan ema koe dapat juga diganti dengan sapaan bapa koe, perhatikan contoh (29). Contoh (28) berikut melukiskan seorang penutur yang menanyakan waktu kedatangan adik laki-laki dari ayah kandung penutur atau suami dari adik perempuan (kandung) ibu penutur untuk dijemput di bandara. Contoh (29) melukiskan seorang penutur menanyakan kabar dari adik laki-laki dari ayah kandung penutur yang merantau di Pulau Jawa.

(28) Ema koe, jam pisa cai ce Ruteng tong? Kut jemput lami tong!

„Ema koe, tiba di Ruteng jam berapa? Nanti kami yang akan jemput!„

(29) Bapa Koe, co kreba? Cepisa mai ce Manggarai? Bapa Koe, apa kabar? Kapan pulang ke Manggarai?

h. Sapaan Ende Koe

Sapaan ende koe berarti mama kecil. Sapaan ende koe digunakan untuk menyapa adik perempuan dari ibu penutur dan juga untuk menyapa istri dari adik laki-laki dari ayah penutur. Sapaan ende koe dapat juga diganti dengan sapaan

mama koe, perhatikan contoh (31). Contoh (30) berikut melukiskan seorang penutur yang mengabarkan kedatangannya ke rumah adik perempuan dari ibu penutur atau istri dari adik laki-laki ayah penutur. Contoh (31) melukiskan seorang penutur memberitahu adik perempuan dari ibu penutur atau istri dari adik laki-laki ayah penutur yang tinggal di kampung bahwa ia akan berlibur.


(57)

„Ende koe, kami akan kerumah besok ! Jangan lupa masak yang enak ya?„

(31) Mama Koe, minggu musi aku ngo libur sale beo!

Mama Koe, minggu depan saya akan berlibur di kampung!‟ i. Sapaan Ema Tu’a

Sapaan ema tu’a dalam bahasa Indonesia artinya bapak tua. Sapaan ema

tu’a digunakan oleh penutur untuk menyapa kakak laki-laki dari ayah kandung penutur dan juga untuk menyapa suami dari kakak perempuan dari ibu kandung penutur. Pada penggunaannya sapaan ema tu’a dapat juga diganti dengan sapaan

bapa tua, perhatikan contoh (33). Contoh (32) berikut melukiskan seorang penutur yang meminta agar dirinya diperbolehkan untuk ikut berburu babi hutan bersama kakak laki-laki dari ayah penutur. Contoh (33) berikut melukiskan seorang penutur memberitahukan adanya undangan pertemuan di rumah adat kepada kakak laki-laki dari ayah penutur.

(32) Ema tu’a, nganceng lut aku ngo tembak motang?

Ema tu’a, bolehkah saya ikut pergi berburu babi hutan?„

(33) Bapa tua, manga undangan bo kut diang wie neki ca eta mbaru gendang.

„Bapa tua, ada undangan agar besok malam ikut pertemuan di rumah adat.‟


(58)

Sapaan ende tu’a artinya ibu/mama tua. Sapaan ende tu’a digunakan untuk menyapa kakak perempuan dari ibu kandung penutur dan digunakan juga untuk menyapa istri dari kakak laki-laki dari ayah kandung penutur. Pada penggunaannya sapaan ende tu’a dapat juga diganti dengan sapaan mama tua,

perhatikan contoh (35). Contoh (34) berikut melukiskan seorang penutur yang meminta agar dirinya diperbolehkan untuk ikut berbelanja di pasar bersama kakak perempuan dari ibu penutur. Contoh (35) berikut melukiskan seorang penutur memberitahukan kepada istri dari kakak ayahnya bahwa penutur hendak membawa sayur ke rumah mitra tutur.

(34) Ende tu’a, nganceng lut aku ngo sale pasar?

Ende tu’a, bolehkah saya ikut pergi ke pasar?„ (35) Mama tua, aku ngo ba ute eta mbaru tong!

„Mama tua, nanti saya akan kerumah untuk membawa sayur!‟

k. Sapaan Enu

Sapaan enu adalah sapaan yang digunakan untuk menyapa anak perempuan, baik yang memiliki hubungan pertalian kekerabatan maupun tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan penutur. Sapaan enu dalam penggunaannya dapat juga digunakan untuk menyapa perempuan pada umumnya. Sapaan enu dapat juga disingkat menjadi nu. Contoh kalimat berikut (36) melukiskan bagaimana seorang ibu menyuruh anak perempuannya membeli garam di warung.


(59)

„Enu/nu, tolong belikan garam di warung!‟

l. Sapaan Nana

Sapaan nana adalah sapaan yang digunakan untuk menyapa anak laki-laki baik yang memiliki hubungan pertalian kekerabatan maupun tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan penutur. Sapaan nana dalam penggunaannya dapat juga digunakan untuk menyapa laki-laki pada umumnya. Sapaan nana dapat juga disingkat menjadi na. Contoh kalimat (37) melukiskan bagaimana seorang ibu menegur anaknya yang hendak bermain ke sungai.

(37) Nana/na, neka labar wa ngali! Nana/na, jangan bermain di sungai!

m. Sapaan Nara

Sapaan nara digunakan oleh penutur wanita untuk menyapa adik atau kakak laki-laki kandung. Berikut ini (38) contoh seorang wanita yang menasihati adik laki-lakinya yang merantau.

(38) Nara, Lami di’a weki agu neka hemong ngaji kut kamping le Mori.

„Nara, jagalah kesehatan dan janganlah lupa berdoa agar Tuhan selalu menyertaimu.‟

Sapaan nara juga bisa digunakan oleh penutur wanita untuk menyapa saudara laki-laki meskipun tidak mempunyai hubungan darah (kandung) atau pertalian kekerabatan. Berikut ini (39) contoh seorang wanita yang menawarkan minuman pada seorang pria yang memiliki hubungan kekerabatan dengannya (bukan kandung).


(60)

„Nara, mau minum apa? Kopi atau teh?‟

n. Sapaan Weta

Sapaan weta digunakan oleh penutur pria untuk menyapa adik atau kakak perempuan kandung. Berikut ini (40) contoh seorang pria yang meminta adik perempuannya untuk dibuatkan kopi.

(40) Weta, pande koe kopi lantang aku ta de!

„Weta, buatkan saya secangkir kopi!‟

Sapaan weta juga bisa digunakan oleh penutur pria untuk menyapa saudari perempuan meskipun tidak mempunyai hubungan darah kandung atau pertalian kekerabatan. Berikut ini (41) contoh seorang pria yang menanyakan keberadaan paman dan bibi-nya, pada anak perempuan om-nya (sepupu penutur).

(41) Weta, co tara sepi keta mbaru? Ngo nia ise amang agu inang?

„Weta, mengapa rumah sepi sekali? Paman dan bibi kemana?‟

o. Sapaan Empo

Sapaan empo jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia adalah cucu. Sapaan empo digunakan oleh seorang kakek dan nenek untuk manyapa cucu kandung maupun bukan cucu kandung (tidak memiliki hubungan pertalian kekerabatan). Sapaan empo umum digunakan untuk menyapa cucu wanita atau pria. Contoh kalimat berikut (42) melukiskan bagaimana seorang nenek menyapa cucunya yang baru datang mengunjunginya di kampung.

(42) Empo, co tara ho’o di maim? Nuk le ende!


(61)

(kakek, nenek, opa, oma) lebih memilih menyapa cucu-cucu mereka dengan sapaan nana, enu atau dengan menyebut nama.

p. Sapaan Ipar

Sapaan ipar adalah sapaan yang digunakan untuk menyapa istri dari saudara kandung ataupun bukan saudara kandung tetapi memiliki hubungan kekerabatan. Sapaan ipar juga bisa digunakan untuk menyapa saudari dari suami. Contoh berikut (43) melukiskan bagaimana seorang wanita mengajak istri dari adik laki-lakinya untuk ke pasar.

(43) Ipar ngo cama wa pasar de?

„Ipar, kita sama-sama ke pasar ya?‟

q. Sapaan Kesa

Sapaan kesa adalah sapaan yang digunakan oleh penutur pria untuk menyapa saudara laki-laki dari istrinya baik saudara kandung maupun tidak tetapi memiliki hubungan pertalian kekerabatan. Contoh (44) berikut melukiskan seorang pria menawarkan arak khas Manggarai kepada saudara laki-laki dari istrinya.

(44) Kesa, cala ngoeng inung tuak?

„Kesa, apakah mau minum arak?‟

Sapaan kesa bisa juga digunakan oleh seorang pria untuk menyapa suami dari saudarinya baik saudari kandung maupun tidak tetapi memiliki hubungan pertalian kekerabatan. Contoh (45) berikut melukiskan seorang pria menawarkan rokok kepada suami dari saudarinya.


(62)

„Kesa, apakah anda ingin merokok?‟

r. Sapaan Wote

Sapaan wote adalah sapaan yang digunakan untuk menyapa menantu perempuan. Contoh berikut (46) melukiskan bagaimana seorang ibu menyuruh menantunya (perempuan) untuk pergi arisan mewakilinya.

(46) Wote, tegi campe lut arisan ai toe manga danga sehat ende!

„Wote tolong gantikan ibu untuk ikut arisan karena ibu tidak enak badan.

Pada perkembangaannya, sapaan wote bisa digantikan dengan sapaan enu

atau dengan sapaan mama diikuti nama anak sulung dari mantunya (apabila sudah memiliki anak) dan di awali kata mama. Contoh (47) berikut melukiskan bagaimana seorang ibu menyuruh menantunya (perempuan) untuk mengambilkan sirih pinang.

(47) Mama Ando, emi koe cepa de ende!

„Mama Ando, ambilkan sirih pinang ibu!‟

(Ando adalah nama anak sulung dari mitra tutur, dalam hal ini anak mantu).

s. Sapaan Koa

Sapaan koa adalah sapaan yang digunakan untuk menyapa menantu laki-laki. Contoh berikut (48) melukiskan bagaimana seorang bapak mengajak menantuya untuk pergi berkebun.


(63)

(48) Koa, mai ga ngo weri tete lau uma!

„Koa, mari kita ke kebun untuk menanam ubi!‟

Pada perkembangannya, sapaan koa bisa digantikan dengan sapaan nana atau dengan menyebut nama anak sulung dari mantunya (apabila sudah memiliki anak) dan di awali kata bapa. Contoh (49) berikut melukiskan bagaimana seorang bapak menyuruh anak mantunya untuk bersama-saama mencari kayu.

(49) Bapa verenmai ga ngo kawe haju le poco!

„Bapa verenmari kita ke gunung mencari kayu!‟

(Veren adalah nama anak sulung dari mitra tutur, dalam hal ini anak mantu).

t. Sapaan To’a

Sapaan to’a adalah sapaan yang biasa digunakan untuk menyapa keponakan (baik laki-laki maupun perempuan). Berikut (50) contoh bagaimana om/paman mengajak keponakannya untuk bermain sepak bola.

(50) To’a, mai main bola!

To’a, mari kita bermain sepak bola!‟

3.3. Sapaan Berdasarkan Profesi

Jenis sapaan dalam bahasa Manggarai dibedakan juga berdasarkan profesi seseorang. Beberapa bentuk sapaan dalam bahasa Manggarai berdasarkan profesi antara lain: tuang, pa, bu, atau dengan menyebut langsung nama profesi dari mitra tutur.


(64)

digunakan untuk menyapa seseorang (laki-laki) yang memiliki profesi tertentu. Misalnya untuk menyapa seorang guru, dan sebagainya atau seseorang yang berprofesi sebagai dokter, mantri dan sebagainya. Contoh (51) melukiskan bagaimana seorang bapak menyapa guru dari anaknya ketika bertemu di jalan depan rumah penutur.

(51) Tuang, kut ngo nia? Cengo ce mbaru di!

„Tuang, mau kemana? Mampirlah ke rumah ini dulu!„

Sapaan tuang merupakan jenis sapaan untuk menghormati seseorang dengan profesi tertentu. Sapaan tuang dapat juga disandingkan dengan nama profesi tertentu. Contoh (52) merupakan penggunaan sapaan tuang apabila disandingkan dengan nama profesi tertentu. Pada contoh ini dilukiskan seorang murid yang memberi salam pada gurunya saat berpapasan.

(52) Tuang guru, tabe mane! kut ngo niatuang guru? „Selamat sore Pak guru! Pak guruhendak kemana?„

Sapaan tuang juga dapat diartikan dengan „Pastor/Imam/Romo‟ apabila

digunakan untuk menyapa seorang Biarawan dalam hal ini adalah Pastor/Imam/Romo. Berikut contoh (53) yang melukiskan seorang bapak yang meminta pada pastor untuk memimpin misa arwah di rumah duka.

(53) Tuang, cala nganceng pimpin koe misa arwah eta mbaru susah diang wie?


(65)

secara umum untuk menyapa bapak dan ibu dengan profesi khusus misalnya guru, dokter, dan sebagainya. Contoh (54) melukiskan sapaan seorang anak murid terhadap bapak dan ibu gurunya.

(54) Tabe gula pa! Tabe gula bu!

„Selamat pagi bapak! Selamat pagi ibu!‟

Selain beberapa jenis sapaan diatas, dalam percakapan masyarakat Manggarai dikenal juga sapaan yang hanya menyebutkan profesi dari seseorang misalnya sapaan untuk seorang guru adalah guru, sapaan untuk seorang dokter adalah dokter.

3.4. Sapaan Berdasarkan Jabatan

Beberapa bentuk sapaan berdasarkan jabatan antara lain: kraeng, tuang, ema/ende (diikuti nama jabatan), pa dan bu. Sapaan tuang dan kraeng memiliki arti yang sama dan mengandung makna untuk menghormati mitra tutur, namun dalam penggunaannya sedikit berbeda, karena sapaan kraeng memiliki nilai yang lebih tinggi terkait jabatan dibandingkan sapaan tuang.

Sapaan tuang dalam perkembangannya tidak hanya digunakan untuk menyapa seseorang dengan profesi tertentu tetapi juga dapat digunakan untuk menyapa seseorang dengan jabatan tertentu, misalnya bupati, camat, lurah dan sebagainya. Pada contoh (51) sebelumnya, dapat juga melukiskan seorang ibu menyapa seorang lurah yang bertemu di jalan dekat rumahnya.

Sejak zaman nenek moyang di Manggarai dikenal bentuk sapaan kraeng. Sama seperti sapaan tuang, sapaan kraeng secara harafiah artinya adalah tuan.


(66)

bangsawan, misalnya raja, kesatria, dan sebagainya. Berikut contoh (55) melukiskan penggunaan sapaan kraeng dimana seorang pelayan memberi kabar pada rajanya bahwa mereka kedatangan tamu kerajaan.

(55) Kraeng, manga meka lau mai kerajaan Bima!

„Kraeng, ada tamu yang datang dari kerajaan Bima!„

Seiring perkembangan zaman, sapaan kraeng memiliki pergeseran nilai yakni sapaan kraeng dan tuang memiliki kedudukan yang sama. Sapaan kraeng

tidak hanya ditujukan untuk turunan bangsawan, tetapi juga digunakan secara umum terhadap orang-orang yang memiliki kedudukan atau jabatan dalam masyarakat (seperti bupati, lurah, camat, dan sebagainya) sebagai bentuk penghormatan. Contoh (56) melukiskan penggunaan sapaan kraeng dimana seorang bapak bertemu dan menyapa seorang tokoh masyarakat seperti lurah atau camat, dan sebagainya.

(56) Kraeng, cepisa mulai dite kerja bakti?

„Kraeng, kapan akan dilaksanakan kerja bakti?„

Sapaan ema dan ende secara harafiah artinya ayah/ bapak (kandung) dan ibu (kandung), namun dapat digunakan pula sebagai bentuk penghormatan apabila disandingkan dengan jabatan tertentu dari mitra bicara. Sama halnya dengan sapaan kraeng, sapaan ema dan ende dalam kaitannya dengan jabatan hanya ditujukan untuk orang yang memiliki jabatan yang tinggi dalam lingkungan masyarakat. Sedikit berbeda dengan kraeng, sapaan ema dan ende dalam hal ini lebih pada sosok kebapaan atau seseorang yang dituakan dalam lingkungan


(1)

(19)Pisa harga ute so amang?

(20)Inang, aku pede baju di‟a e! neka hemong weli le inang!

(21)Tanta, mai ce mbaru diang kut cama-cama pande kue, ai diang acara ulang

tahun daku!

(22)Inang, cala manga enu?

(23)Inang, pisa harga koja so ca kilo?

(24)Ka‟e, nganceng celong koe sepatu dite laku? Ai bete daku spatu ga. (25)Ka‟e, nganceng tegi koe laku bahan kut ujian diang?

(26)Ase mai ce! Mai campe koe ende cama-cama teneng!

(27)Ase, reme usang ho e! Mai cenggo cekoen ce mbaru di kesep meti usang!

(28)Ema koe, jam pisa kira-kira cai ce Ruteng tong? Kut jemput lami tong!

(29)Bapa Koe, co kreba? Cepisa mai libur ce Manggarai?

(30)Ende koe, ami ngo one mbaru diang! Neka hemong teneng sot enak e?

(31)Mama Koe, minggu musi aku ngo libur sale beo!

(32)Ema tu‟a, nganceng lut aku ngo tembak motang?

(33)Bapa tua, manga undangan bo kut diang wie neki ca eta mbaru gendang.

(34)Ende tu‟a, nganceng lut aku ngo sale pasar?

(35)Mama tua, aku ngo ba ute eta mbaru tong!

(36)Enu, ngo koe weli ci‟e sina kios!

(37)Nana, neka labar wa ngali!

(38)Nara, Lami di‟a weki agu neka hemong ngaji kut kamping le Mori.

(39)Nara, ngoeng inung apa? Kopi ko teh?

(40)Weta, pande koe kopi lantang aku ta de!


(2)

(42)Empo, co tara ho‟o di maim? Nuk le ende! (43)Ipar ngo cama wa pasar de?

(44)Kesa, cala ngoeng inung tuak?

(45)Kesa, cala ngoeng rongko?

(46)Wote, tegi campe lut arisan ai toe manga danga sehat ende!

(47)Mama Ando, emi koe cepa de ende!

(48)Koa, mai ga ngo weri tete lau uma!

(49)Bapa veren mai ga ngo kawe haju le poco!

(50)To‟a, mai main bola!

(51)Tuang, kut ngo nia? Cengo ce mbaru di!

(52)Tuang guru, tabe mane! kut ngo nia tuang guru?

(53)Tuang, cala nganceng pimpin koe misa arwah eta mbaru susah diang wie?

(54)Tabe gula pa! Tabe gula bu!

(55)Kraeng, manga meka lau mai kerajaan Bima!

(56)Kraeng, cepisa mulai dite kerja bakti?

(57)Ata hormat keta lami, ema bupati!

(58)Ni, pande mati tv hitu, toko ga ai sekolah diang!

(59)Jo, poli de hau kerja tugas matek ke?

(60)Rober, mai ge ngo deko ikan sina ngali!

(61)Ipong ngo nonton maen voly de!

(62)Bapa Laras, tae mama laras neka hemong arisan tong mane.

(63)Rimpet, nia mama de hau? Kut manga perlu!

(64)Rebus, co koe kabar ge? One pisa lau mai?


(3)

(66)Pande apa ite?

(67)Ngo nia hau?

(68)Pande apa hau?

(69)Ngo nia meu?

(70)Hang apa meu?

(71)Poli ite hang amang?

(72)Ngo nia hau ase?

(73)Kole meu sekolas ge ko nana?

(74)Rin, pande apa hau?

(75)Rin, pande apa ite?

(76)Veren toe ngo le mbaru dise ema meu ko?

(77)Bu, co tara toe mai ce sekolah ite meseng?

(78)Tuang dokter, kut ngo nia ite? Cengo ce mbaru di!

(79)Ema Bupati, cala nganceng ite lut acara pembukaan pameran diang?

(80)Mama Ipong, neka hemong arisan jam 10 tong.

(81)Amang Laus, co tara toe ngo kantor ite leso ho bo?

(82)Bidan Sinta, nganceng tegi koe rewos beti sa‟i?

(83) Penutur : Pa guru, cala ngance belajar sina mbaru dite aku agu teman?

Mitra tutur : Toe manga co‟o, eme kut belajar ngo kat le mane yang penting manga niat.

(84) Penutur : Bu dokter, nia hi enu anak dite ga? Toe keta manga ita rangan.

Mitra tutur : Lau Jogja hia ho‟o ga, reme kuliah kedokteran. (85) Penutur : Tabe kraeng! Manga meka ata nanang cumang ite.


(4)

(86) Penutur : Tuang, campe koe rona daku sina mbaru, akit le kaka ta‟a

wa‟in du duat eta uma.

Mitra tutur : E ga, mai ta cama-camad kut campe ronam!

(87) Penutur : Kesa, ho‟o manga titipan surat latang ite bo. Mitra tutur : Nggitun ko, terima kasih ge!

(88) Penutur : Nara, eme poli lulus SMA, ngoeng lanjut nia ite ga?

Mitra tutur : Ngoeng daku lanjut ta weta one Yogyakarta, one Universitas

Sanata Dharma.

(89) Penutur : Mama, weli koe muku pe!

Mitra tutur : E ga, weli le mama tong.

(90) Penutur : Bu Lurah, aku kole di e, diang-diang po mai ce mbaru kole.

Mitra tutur : Eng ga, di‟a-di‟a lako!

(91) Penutur : Mpedal, mai ngo hang bakso!

Mitra tutur : Eng ga, laning hau ata bayar.

(92) Penutur : Ka‟e, ajar koe aku bahasa Inggris!

Mitra tutur : Iyo ase, ngo kat sina kos daku leso minggu mane!

(93) Penutur : Romo Ivan, cala ngance ite pimpin misa penutupan doa

rosario eta Waso hari minggu malam?

Mitra tutur : Coba hubungi romo Herman, ai aku manga pimpin misa arwah

kole du wie minggu hitu!

(94) Penutur : Ende, kut weli apa?

Mitra tutur : weli ci‟e nana.

(95) Penutur : Kut ngo nia enu? Ai rapi keta mane ho‟o. Mitra tutur : Kud ngo ulang tahun de teman mama.


(5)

(96) Penutur : Mama Alfan, ngo labar nias ise Alfan agu asen bo? Mane keta

ho ga, tapi toe di kole ise.

Mitra tutur : Ise Alfan ngo labar sale mbaru de inang de. Pasti manga kad

cai ise tong!

(97) Penutur : Weta, cuci koe baju daku!

Mitra tutur : Iyo nara, seterika laku tong.

(98) Penutur : Inang, nia hi amang? Co tara toe mai?

Mitra tutur : Reme manga sibuk kerja amang dite ta to‟a momang. Manga salam one mai amang kut hau.

(99) Penutur : Mama koe, wela hi nana ga. Retang hia!

Mitra tutur : Iyo enu! Terima kasih poli bantu jaga bo ge!

(100) Penutur : Pelan-pelan kat nana, tamat cai one mbaru!

Mitra Tutur : Iyo Bapa!

(101) Penutur : Ema/opa, eko aku!

Mitra tutur : Mai ga! labar agu ema/opa.

(102) Penutur : Bapa, jera kole hi Tian! Bao ngo labarn ga, mane mole tana

ga!

Mitra tutur : Ngo labar nia hia bo mama Tian? Kut ngo curu laku!

(103) Penutur : Kraeng lurah, ngo nia ite?

Mitra tutur : Kut ngo sili mbaru de pa RT amang!

(104) Penutur : Om Rober, aku ca ngo sale beo poli laku tae ise ende agu ema

ga!


(6)

(105) Penutur : Ema bupati, cepisa koe pande aspal salang ngo one beo dami?

Kut ngance koe lewat oto one beo dami.

Mitra tutur : Apa ngasang beo dite? manga kin proyek pande salang one