PENGURANGAN KADAR SIANIDA DAN TANNIN DALAM PROSES PEMBUATAN TEPUNG MANGROVE Avicenna marinna.

(1)

Avicenna marinna

SKRIPSI

   

             

Oleh :

SIDHARTA RENDRA RIYADI NPM : 0633010007

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JATIM

SURABAYA

2010

 


(2)

Alhamdulillahirobbil alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya selama pelaksanaan penyusunan skripsi dengan judul “ Pengurangan Kadar Sianida dan Tannin Dalam Proses Pembuatan Tepung Mangrove Avicenna Marinna ” hingga terselesaikannya pembuatan laporan skripsi ini. Skripsi ini merupakan tugas akhir sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pangan.

Kemudahan dan kelancaran pelaksanaan skripsi serta penyusunan laporan ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini dengan penuh rasa hormat dan rendah hati, penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih kepada :

1. Bapak Ir. Sutiyono, MT selaku Dekan Fakultas Teknologi Industri UPN “Veteran” Jatim.

2. Ibu Ir. Sudaryati HP, MP selaku Ketua Jurusan Teknologi Pangan UPN “Veteran” Jatim.

3. Ibu Ir. Ulya Sarofah , MM.,selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan pengarahan dan bimbingan serta memberikan saran dalam penulisan skripsi ini.

4. Ibu Dra. Jariyah, MP selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan pengarahan dan bimbingan serta memberikan saran dalam penulisan skripsi ini.


(3)

pengarahan dan bimbingan serta memberikan saran dalam penulisan skripsi ini.

6. Seluruh Dosen dan Staf di Jurusan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Industri UPN “Veteran” Jatim.

7. Keluargaku Tercinta Abib ku dan Mama ku, Leonard ku, dan seluruh keluarga atas segala dorongan, kesabaran, dukungan material dan spiritual yang diberikan hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

8. Buat teman-teman seperjuangan mas. Nanda, mas. Okik, bu. Patokah, bu. Yatno, pak sonny , pak. Sandi, (specialy thank’s to atika who becoming my

inspiration), dan angkatan 2006, 2005, 2004,2007, terimakasih atas semangat

yang diberikan selama ini.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi rekan-rekan mahasiswa di Jurusan Teknologi Pangan pada khususnya dan bagi pihak-pihak yang memerlukan pada umumnya. Skripsi ini masihlah jauh dari sempurna serta banyak kekurangannya, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat obyektif dan membangun guna kesempurnaan skripsi ini.

Penulis


(4)

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

INTISARI………vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 4

C. Manfaat Peneltian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Mangrove Api-api (Avicenna Marinna) ... 5

B. Penepungan Biji-bijian ... 6

C. Absorbsi ………. 8

C. Komponen racun biji-bijian ... 9

a. Enzim Lipoksigenase ………...9

b. Sianida ……….11

c. Senyawa Alkaloid ………12

d. Tannin ……….17

e. Soda abu (abu dapur/abu sekam padi) ……….18

f. Blancing ………...21

g. Proses pembuatan tepung mangrove Avicenna marinna …….22

D. Analisis Keputusan ... 29

E. Analisa Finansial ... 29

F. Landasan Teori ... 33

G. Hipotesa………36

BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 31


(5)

D. Metode Penelitian ... 32

E. Peubah tetap yang digunakan ... 35

F. Parameter yang diamati ………... 35

G. Prosedur Penelitian……….. 36

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik biji mangrove Avicenna Marinna ... 39

B. Hasil pengamatan bahan baku terhadap sianida dan tannin selama proses perendaman dan blancing ... 40

C. Hasil pengamatan terhadap tepung mangrove Avicenna Marinna.43 1. Kadar Air ... 43

2. Kadar Sianida ... 45

3. Kadar Tannin ... 47

D. Kadar Pati ………... 50

E. Rendemen ……… ... 51

F. Derajat Putih ... 54

G. Hasil pengamatan terhadap uji organoleptik tepung mangrove Avicenna Marinna ... 56

H. Analisa keputusan………..60

J. Analisis Finansial………61

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 66

B. Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(6)

Halaman Tabel 1. Nilai kandungan mineral abu sekam padi ... 20 Tabel 2. Perbandingan karakteristik kimia biji mangrove Avicenna, sp dengan

burguera, sp... 39

Tabel 3. Perbandingan penurunan sianida pada mangrove Avicenna marinna selama proses perendaman dan blancing ... 40 Tabel 4. Perbandingan penurunan tannin pada mangrove Avicenna marinna

selama proses perendaman dan blancing ... 42 Tabel 5. Nilai rata-rata penurunan kadar air tepung mangrove Avicenna Marinna

dari perlakuan konsentrasi abu sekam dengan lama pemeraman ... 43 Tabel 6. Nilai rata-rata penurunan sianida tepung mangrove Avicenna Marinna

dari perlakuan konsentrasi abu sekam dengan lama pemeraman ... 45 Tabel 7. Nilai rata-rata penurunan tannin tepung mangrove Avicenna Marinna

dari perlakuan konsentrasi abu sekam dengan lama pemeraman ... 48 Tabel 8. Nilai rata-rata kadar pati tepung mangrove Avicenna Marinna dari

perlakuan konsentrasi abu sekam ... 50 Tabel 9. Nilai rata-rata kadar pati tepung mangrove Avicenna Marinna dari

perlakuan lama pemeraman... 51 Tabel 10. Nilai rata-rata rendemen tepung mangrove Avicenna Marinna dari

perlakuan konsentrasi abu sekam dengan lama

pemeraman...………….. 52 Tabel 11. Nilai rata-rata derajat putih tepung mangrove Avicenna Marinna dari

perlakuan konsentrasi abu sekam dengan lama pemeraman...54 Tabel 12. Nilai rata-rata uji organoleptik aroma tepung mangrove Avicenna

Marinna dari perlakuan konsentrasi abu sekam dengan lama

pemeraman...………... 56


(7)

Tabel 14. Hasil analisis keseluruhan pada produk tepung mangrove Avicenna

marinna………...……….……. 61


(8)

vii

Halaman

Gambar 1. Avicenna, sp………... 6

Gambar 2. Struktur senyawa dioskorin... 14

Gambar 3. Struktur senyawa dioscein………... 16

Gambar 4. Sttruktur senyawa diosgenin ... 16

Gambar 5. Struktur Tannin... 17

Gambar 6. Struktur kimia abu dapur... 21

Gambar 7. Diagram alir proses pembuatan tepung mangrove Avicenna, sp………... 38

Gambar 8. Hubungan antara proses perlakuan konsentrasi abu sekam dengan pemeraman terhadap penurunan kadar air pada tepung mangrove Avicenna marinna………... 44

Gambar 9. Hubungan antara proses perlakuan konsentrasi abu sekam dengan pemeraman terhadap penurunan kadar sianida pada tepung mangrove Avicenna marinna... 46

Gambar 10. Hubungan antara proses perlakuan konsentrasi abu sekam dengan pemeraman terhadap penurunan kadar tannin pada tepung mangrove Avicenna marinna...………. 49

Gambar 11. Hubungan antara proses perlakuan konsentrasi abu sekam dengan pemeraman terhadap rendemen pada tepung mangrove Avicenna marinna...……….…. 53

Gambar 12. Hubungan antara proses perlakuan konsentrasi abu sekam dengan pemeraman terhadap derajat putih pada tepung mangrove Avicenna marinna...…. 55


(9)

SIDHARTA RENDRA RIYADI NPM: 0633010007

INTISARI

Tanaman mangrove mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi sumber pangan yang potensial, oleh karena adanya racun pada biji dan belum ada penelitian terhadap cara penghilangan atau pengurangan racun dari bahan ini maka perlu dilakukan penelitian yang dapat meningkatkan potensi dari tanaman mangrove tersebut. Diduga racun yang ada adalah tanin dan sianida. Penggunaan abu sekam padi dapat mengikat racun dengan jalan absorbsi. Absorbsi terhadap zat alkaloid dioskorin yang sebagai pre-kursor sianida akan sangat menekan terbentuknya racun sianida dan juga tannin.

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola factorial yang terdiri dari 2 faktor dengan 3 kali ulangan, faktor I adalah konsentrasi abu sekam padi (25, 50 dan 75 gr b/b) dan faktor II adalah lama pemeraman abu sekam padi (2,5; 5; dan 7,5 menit)

Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi abu sekam padi 75gr (v/v) dengan lama pemeraman 5 menit menghasilkan tepung mangrove Avicenna

marinna dengan kadar sianida 1,313ppm, kadar tannin 0,133%, kadar pati

70,4565%, kadar air 5,8115%, rendemen 17,41 %, derajat putih 53,455. Hasil analisis financial menyimpulkan perusahaan tepung mangrove Avicenna, sp dengan perlakuan konsentrasi abu sekam 50 gr (b/b) dan lama pemeraman 7,5 menit layak diproduksi karena memiliki Break Even Point Rp. 178.401.315,8 atau 31.200 bungkus/tahun atau 41,91%. Net Present Value sebesar Rp. 242.998.527. Net B/C sebesar 1,15. Dan IRR sebesar 26,69 % lebih besar dari tingkat suku bunga bank.


(10)

A. Latar belakang

Ada beberapa jenis biji mangrove, yang dapat dimakan atau sudah dikonsumsi oleh masyarakat, termasuk jenis Avicenna, sp. Menurut informasi, masyarakat pantai Cilincing Jakarta Utara masih ada yang memanfaatkan daun tumbuhan Avicenna, sp yang masih muda sebagai bahan sayur urap, demikian pula masyarakat pantai di Jawa Timur (Anonymus, 2009).

Avicennia ( buah berbentuk seperti kacang ), aegiceras ( buah silindris )

dan nypa membentuk tipe buah yang dikenal sebagai kriptovivipari, dimana biji telah berkecambah tetapi tidak terlindungi oleh kulit buah ( perikarp ) sebelum lepas dari pohon induk. Zona Avicenna sp, merupakan zona yang letaknya diluar hutan bakau, memiliki tanah yang berlumpur, lembek dan sedikit mengandung humus (Badrudin, 1993). Daerah penyebaran hutan mangrove pada batas pantai yang mengarah ke laut didominasi oleh Avicenna sp, yaitu jenis bakau yang mempunyai akar gantung (aerial root), selanjutnya pohon bakau merah

Rhyzophora (Hutabarat dan Evans, 1985).

Pada saat ini peningkatan dan pengembangan sumber-sumber pangan potensial selain beras dan juga gandum perlu diupayakan. Tanaman mangrove mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi sumber pangan yang potensial. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang dapat meningkatkan nilai ekonomi dari tanaman mangrove tersebut.


(11)

Semakin meningkatnya keanekaragaman hayati, terutama pengolahan makanan yang dalam hal ini dititik beratkan pada pengolahan tumbuhan mangrove. Maka perlu dilakukan pengidentifikasian terhadap sifat kimia dan fisik bahan yaitu dari jenis Avicenna marina. Pada dasarnya pengidentifikasian ini dilakukan dengan meneliti kandungan dan juga karakteristik dari bahan ini yang sebelumnya akan dijadikan tepung terlebih dahulu. Hal tersebut dilakukan supaya dapat digunakan menjadi acuan untuk pengembangan produk olahan yang berbahan dasar mangrove Avicenna marinna.

Kendala yang dihadapi dalam pembuatan tepung mangrove Avicenna

marinna ini adalah terdapatnya racun yang ada pada biji mangrove Avicenna marinna tersebebut. Racun yang terdapat pada bahan tersebut dapat menyebabkan

rasa pahit pada bahan dan dapat menyebabkan keracunan seperti pusing, mual dan muntah. Diduga racun yang ada adalah tanin dan sianida. Selain itu terdapatnya bau langu yang terdapat pada pembuatan tepung ini disebabkan karena enzim lipoksigenase yang terdapat pada bahan (Mohson, 2006).

Pengolahan dengan menggunakan perendaman abu gosok atau abu dapur (

soda ash ) adalah salah satu cara yang dapat dilakukan. Karena abu gosok tersebut

dapat menghambat laju oksidasi racun dan menetralkan asam yang bersifat karsinogenik pada bahan tersebut yang terbukti pada gadung (Pembayun, 2000).

Semakin berkembangnya teknologi pangan, maka salah satu cara dalam mengatasi kendala tersebut adalah menjadikan biji tanaman mangrove ( Avicenna

marinna ) menjadi tepung. Tepung mangrove ( Avicenna marinna ) sebagai salah


(12)

diaplikasikan sebagai bahan substitusi pada pengolahan produk-produk seperti biskuit, crackers dan produk pangan lainnya sehingga dapat meningkatkan penganekaragaman pangan.

Pengolahan untuk menghilangkan racun selama ini dilakukan adalah dengan melakukan beberapa metode seperti pemanasan, perendaman dengan larutan garam dan penggunaan abu dapur. Pemanasan dengan 30 menit dan perendaman dalam larutan garam dengan konsentrasi 8% selama 3 hari mampu menurunkan kadar sianida dengan residu yang terbentuk 10 ppm pada gadung (Pembayun, 2000). Pemakaian abu khususnya abu sekam dapat menurunkan sianida pada bahan karena abu sekam mempunyai kemampuan menyerap cairan sel dalam jaringan bahan keluar dari umbi sehingga mempermudah keluarnya alkaloid dioskorin pada bahan gadung (Mulyani,1990).

B. Tujuan penelitian

1. Mempelajari penurunan kadar racun pada pengolahan tepung mangrove

Avicenna marinna.

2. Mengetahui karakteristik kimia dan fisik tepung Avicenna marinna.

C. Manfaat penelitian

1. Diharapkan dapat memberikan informasi penurunan kadar racun sianida dan tannin pada tepung mangrove Avicenna Marinna.

2. Dapat memberikan informasi tingkat kualitas dari tepung mangrove


(13)

4    A. Mangrove Api – api (Avicenna, sp)

Hutan mangrove memiliki persyaratan tumbuh yang berbeda dengan tanah kering. Berdasarkan tempat tumbuhnya hutan mangrove dapat dibedakan pada empat zone, salah satunya adalah zona Avicenna sp, merupakan zona yang letaknya diluar hutan bakau, memiliki tanah yang berlumpur, lembek dan sedikit mengandung humus (Badrudin, 1993). Daerah penyebaran hutan mangrove pada batas pantai yang mengarah ke laut didominasi oleh Avicenna sp, yaitu jenis

bakau yang mempunyai akar gantung (aerial root), selanjutnya pohon bakau

merah Rhyzophora (Hutabarat dan Evans, 1985). Morfologi buah mangrove terdiri dari silinder, bola (bulat), kacang-kacangan, bentuk lain (Mohson, 2006).

Hutan mangrove saat ini mengalami perkembangan yang sangat meningkat. Hal tersebut sangat terbukti dengan di selenggarakan penanaman seribu pohon yang dititik beratkan untuk tanaman tepi pantai. Peningkatan ekosistem mangrove yang melimpah akan memberikan peranan penting untuk peningkatan manfaat penanamanya, baik untuk penangkalan arus laut tetapi juga untuk peningkatan sumber daya alam untuk pangan manusia (Mohson, 2006).

Potensi mangrove sangat tinggi untuk meningkatkan diversivikasi pangan untuk masyarakat. Mengingat saat ini banyak sekali potonsi mangrove seperti


(14)

Sebagai contoh untuk Burguera, sp yang sudah digunakan untuk bahan pengganti beras oleh masyarakat pesisir pantai (Murni, 2008).

Mangrove di Indonesia mempunyai keragaman jenis yang tinggi yaitu mempunyai 89 jenis tumbuhan yang terdiri dari 35 pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis efifit, dan 5 jenis parasit ( Nontji, 1987).

Ada beberapa jenis biji mangrove, yang dapat dimakan atau sudah dikonsumsi oleh masyarakat, termasuk jenis Avicenna, sp.

Menurut informasi, masyarakat pantai Cilincing Jakarta Utara masih ada

yang memanfaatkan daun tumbuhan Avicenna, sp yang masih muda sebagai bahan

sayur urap, demikian pula masyarakat pantai di Jawa Timur (Anonymus, 2009).

Avicennia ( buah berbentuk seperti kacang ), aegiceras ( buah silindris ) dan nypa membentuk tipe buah yang dikenal sebagai kriptovivipari, dimana biji telah berkecambah tetapi tidak terlindungi oleh kulit buah ( perikarp ) sebelum lepas dari pohon induk. Zona Avicenna sp, merupakan zona yang letaknya diluar hutan bakau, memiliki tanah yang berlumpur, lembek dan sedikit mengandung humus (Badrudin, 1993). Daerah penyebaran hutan mangrove pada batas pantai

yang mengarah ke laut didominasi oleh Avicenna sp, yaitu jenis bakau yang

mempunyai akar gantung (aerial root), selanjutnya pohon bakau merah

Rhyzophora (Hutabarat dan Evans, 1985).

Pada saat ini peningkatan dan pengembangan sumber-sumber pangan potensial selain beras dan juga gandum perlu diupayakan. Tanaman mangrove mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi sumber pangan yang potensial.


(15)

Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang dapat meningkatkan nilai ekonomi dari tanaman mangrove tersebut.

Jenis tanaman api – api atau Avicenna, sp yang telah dijadikan /

dimanfaatkan sebagai sumber bahan makanan adalah Avicenna marinna dan

Avicenna afficinalis. Jenis tanaman ini tersebar disebagian besar pantai di Indonesia termasuk mangrove sejati ( pada zona terdepan ) cepat dan mudah tumbuh serta permulaan alminya sangat cepat, tanaman ini berumur 18-24 bulan sudah berbuah ( Mohson, 2006 ).

Menurut informasi, masyarakat pantai Cilincing Jakarta Utara masih ada yang memanfaatkan daun tumbuhan api-api yang masih muda sebagai bahan sayur urap, demikian pula masyarakat pantai di Jawa Timur (Anonymus, 2009).

Gambar 1: Avicenna sp. ( sumber: Mohson, 2006 )

Bentuk fisik biji Avicenna, sp adalah mempunyai bentuk ujung agak bulat dan secara keseluruhan biji berbentuk oval.

Buah mangrove jenis lindur (Bruquiera gymnorrhiza) yang secara

tradisional diolah menjadi kue, cake, dicampur dengan nasi atau dimakan langsung dengan bumbu kelapa (Sadana, 2007) mengandung energi dan


(16)

karbohidrat yang cukup tinggi, bahkan melampaui berbagai jenis pangan sumber karbohidrat yang biasa dikonsumsi masyarakat seperti beras, jagung singkong atau sagu. Buah Lindur mempunyai rata-rata panjang 27 cm dengan rata-rata berat 45 g. Hasil analisis kimia buah lindur adalah kadar air 73.756%, kadar lemak 1.246%, protein 1.128%, karbohidrat 23.528% dan kadar abu sebesar 0.342%. Sedangkan kandungan anti gizinya HCN sebesar 6.8559 mg dan tannin sebesar 34.105 mg. Buah Lindur mempunyai rata-rata panjang 27 cm dengan rata-rata berat 45 g. Hasil analisis kimia buah lindur adalah kadar air 73.756%, kadar lemak 1.246%, protein 1.128%, karbohidrat 23.528% dan kadar abu sebesar 0.342%. Sedangkan kandungan anti gizinya HCN sebesar 6.8559 mg dan tannin sebesar 34.105 mg.

B. Penepungan Biji - bijian

Pengolahan produk setengah jadi merupakan salah satu cara pengawetan hasil panen, terutama untuk komoditas yang berkadar air tinggi, seperti aneka umbi dan buah. Keuntungan lain dari pengolahan produk setengah jadi yaitu, sebagai bahan baku yang fleksibel untuk industri pengolahan lanjutan, aman dalam distribusi, serta menghemat nuangan dan biaya penyimpanan. Teknologi ini mencakup teknik pembuatan sawut/chip/granula/grits, teknik pembuatan tepung, teknik separasi atau ekstraksi, dan pembuatan pati.

Tepung digolongkan menjadi dua, yaitu tepung tunggal adalah tepung yang dibuat dari satu jenis bahan pangan, misalnya tepung beras, tepung kasava, tepung ubi jalar dsb, dan tepung komposit yaitu tepung yang dibuat dari dua atau lebih bahan pangan ( Anonymus, 2009 ).


(17)

Pada dasarnya pengolahan tepung adalah mengeringkan seluruh bahan yang hendak ditepungkan, diayak sehingga diperoleh bubuk. Langkah pertama yang biasa dilakukan adalah blanching atau pengukusan, tujuanya adalah untuk inaktivasi enzim, dan melunakan bahan sehingga mudah pada waktu pengecilan ukuran. Pengecilan ukuran ini tujuanya adalah untuk memperluas permukaan sehingga mempercepat proses pengeringanya ( Uliyanti, 2010 ).

Dehidrasi akan menurunkan tingkat aktivitas air (water activity / aw) yaitu jumlah air yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhan dan perkembangbiakannya, berat dan volume pangan. Prinsip utama dari dehidrasi adalah penurunan kadar air untuk mencegah aktivitas mikroorganisme. Pada banyak produk, seperti sayuran, terlebih dahulu dilakukan proses pengecilan ukuran (misalnya diiris) sebelum dikeringkan. Pengecilan ukuran akan meningkatkan luas permukaan bahan sehingga akan mempercepat proses pengeluaran air. Sebelum dikeringkan, bahan pangan sebaiknya diblancing untuk menginaktifkan enzim yang dapat menyebabkan perubahan warna pangan menjadi coklat (Anonimous, 2006).

Pengeringan dengan cara penjemuran dibawah sinar matahari merupakan suatu metode pengeringan tertua. Proses penguapan air berjalan lambat, sehingga pengeringan dengan cara penjemuran hanya dilakukan didaerah yang iklimnya panas dan kering. Bahan yang dijemur mudah terkontaminasi melalui polusi dan binatang seperti tikus dan lalat. Metode pengeringan lainnya telah dikembangkan oleh industri pangan, dan biasanya cocok untuk digunakan pada produk pangan tertentu. Contohnya adalah pengeringan umbi-umbian ( Anonymus, 2008).


(18)

Tepung mangrove adalah produk olahan mangrove yang terbuat dari biji mangrove yang telah dikeringkan terlebih dahulu. Sifat fisik tepung mangrove sangat dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia bahan. Sebagai contoh mangrove

jenis Soneratia, sp yang mempunyai sifat kimia yang mempunyai warna coklat

yaitu tannin tetapi tidak beracun ( Mohson, 2006 ). Sedangkan untuk mangrove

jenis Burguera, sp dan Avicennia, sp mempunyai kandungan racun yang akan

berbahaya jika dikonsumsi secara berlebihan ( Anonymus, 2009 ).

C. Absorbsi

Absorbsi atau penyerapan dalam kimia adalah suatu fenomena fisik atau kimiawi atau proses sewaktu atom, molekul, atau ion memasuki suatu fase limbak ( bulk ) lain yang bisa berupa gas, cairan, ataupun padatan. Proses ini berbeda dengan adsorbsi karena pengikatan molekul dilakukan melalui volume dan bukan permukaan ( Anonimous, 2009). Adsorbsi atau penyerapan adalah suatu proses yang terjadi ketika suatu fluida, cairan, maupun gas, terikat dengan suatu padatan atau cairan (zat penyerap, adsorben) dan akhirnya membentuk suatu lapisan tipis atau film (zat terserap, adsorbat) pada permukaanya. Berbeda dengan adsorbsi yang merupakan penyerapan fluida oleh fluida lainya yang membentuk suatu larutan (Anonimous, 2010).

Adsorbsi di bedakan menjadi dua jenis, yaitu adsorbs kimia fisika (disebabkan oleh gaya Van Der Waals (penyebab terjadinya kondensasi gas untuk membentuk cairan) yang ada pada permukaan adsorben) dan adsorbsi kimia (terjadi reaksi kimia antara zat yang diserap dengan adsorben, banyaknya zat yang


(19)

teradsorbsi tergantung pada sifat khas zat padatnya yang merupakan fungsi tekanan atau suhu (Atkins, 1997).

Adsorben yang paling banyak dipakai untuk menyerap zat – zat dalam larutan adalah arang. Zat ini banyak dipakai di pabrik untuk menghilangkan zat warna dalam larutan. Penyerapan yang bersifat sselektif, yang diserap hanya zat terlarut atau pelarut sangat mirip dengan penyerapan gas oleh padatan (Brady, 1999).

Besar kecilnya absorbsi dipengaruhi macam absorben, macam zat yang terabsorbsi, konsentrasi absorben dan zat, luas permukaan, temperature dan tekanan zat yang terabsorbsi. Fungsi dari absorbsi adalah untuk meningkatkan nilai guna dari suatu zat dengan cara merubah fasenya (Atkins, 1997).

Absorbsi kimia dapat juga berlangsung di daerah yang hampir stagnan disamping penangkapan dinamik. Pemilihan penyerap biasanya didasarkan pada efektivitas penyerapannya, mudahnya penyerap diregenerasi, dan faktor lain seperti toksisitas dan korosifitas

( Anonimous, 2009).

D. Komponen Racun Pada Biji - bijian

a. Enzim Lipoksigenase

Rasa langu ( beany flavor ) disebabkan oleh kerja enzim lipoksigenase yang terdapat pada biji buah tersebut. Enzim tersebut bereaksi dengan lemak sewaktu dinding sel pecah oleh penggilingan terutama jika penggilingan dilakukan secara basah dengan suhu dingin. Enzim lipoksigenase mudah rusak oleh panas. Oleh karena itu, untuk menghilangkan bau dan rasa langu dilakukan


(20)

dengan cara menggunakan air panas dengan suhu 800 – 1000 C saat penggilingan dengan blancing (Koeswara, 1995).

Dalam suhu tinggi enzim lipoksigenase menjadi tidak aktif. Enzim lipoksigenase merupakan salah satu senyawa yang dapat memicu reaksi oksidasi lemak atau minyak. Terjadinya oksidasi lemak atau minyak dapat merusak protein atau menimbulkan bau dan cita rasa yang tidak disukai ( santosa dkk, 1986 ). Enzim dapat menyebabkan bau langu (beany flavor) pada pengolahan produk mangrove yang timbul terutama pada waktu pengolahan yaitu setelah tercampurnya lipoksigenase dengan lemak dalam biji suatu dinding sel pecah oleh suatu penggilingan. Bau langu ini dihasilkan dari reaksi oksidasi asam linoleat dimana oksidasi yang menimbulkan bau tersebut adalah Cis dan Tran -2-U- penthenyl foran ( Astanto dkk, 1993 ). Hasil reaksi tersebut menghasilkan paling sedikit delapan senyawa folatil ( mudah menguap ) dimana senyawa yang paling banyak menghasilkan rasa dan bau langu adalah etil – fenil – keton ( Koswara, 1995 ).

Disamping itu menurut Santosa, dkk (1986) rasa dan bau langu, factor penyebab off flavor yang lain rasa pahit & rasa kapur yang disebabkan oleh adanya senyawa – senyawa glikosida dalam biji. Senyawa glikosida tersebut dapat dihilangkan dengan perendaman, pengupasan kulit, perlakuan panas, dan pengaturan pH ( kurang dari 3,5 atau lebih dari 9,0 ).

b. Sianida

Kandungan senyawa sianida pada suatu bahan pangan dapat dibedakan menjadi 3 jenis yaitu potensial sianogenik, sianida bebas dan total sianida.


(21)

Potensial sianogenik merupakan senyawa yang berpotensi menghasilkan sianida, terbagi menjadi glikosidik sianogenik dan non glikosidik sianogenik. Glikosidik sianogenik merupakan senyawa yang berpotensi menghasilkan senyawa sianida dan memiliki ikatan glikosidik misalnya linamarin dan liostraulin yang terdapat pada ubi kayu. Sedangkan non glikosidik sianogenik merupakan senyawa yang tidak berikatan glukosidik tetapi berpotensi menghasilkan sianida. Senyawa ini dapat diukur dengan metode analisa tanpa adanya tahapan perlakuan secara enzimatis maupun penambahan asam kuat. Sianida merupakan produk akhir dari pemecahan senyawa potensial sianida diatas, biasanya disebut dengan asam sianida (HCN). Sedangkan total sianida merupakan jumlah keseluruhan jenis sianida yang terkandung dalam suatu bahan baik itu berupa potensial sianida maupun sianida bebasnya (Dawson et al, 2006). Bila dilihat dari jenisnya sianida yang ada, maka pada bahan senyawa dioskorin berarti merupakan non-glikosidik sianogenik karena bila terpecah sempurna bisa berpotensi menghilangkan sianida bebas (HCN).

Detoksifikasi pada varietas misalnya ubi kayu dapat tercapai melalui proses degradasi secara enzimatis terhadap glukosida sianogenik dan sianohidrin. Enzim linamarase terletak pada dinding sel dari bahan, enzim ini mengkatalisasi pemecahan awal dari sitoplasma glikosida sianogenik berupa linamarin dan lotaustralin, dan hasilnya merupakan tesbebasnya sianohidrin. Sianohidrin ini relative stabil pada pH rendah, tetapi terdekomposisi pada kondisi dengan suhu tinggi dan pH tinggi (pH > 5) menghilngkan keton dan HCN. Proses penghancuran senyawa glikosida ini utamanya fenomena endogenus yang terjadi


(22)

pada bahan, dimana enzim β- glukosiodase terbuksi membukti linamarase selama degradasi pada proses fermentasi (Roffle, 2007).

HCN yang telah dibebaskan dapat dihilangkan dengan evaporasi (penguapan).proses degradasi secara sempurna terhadap sianohidrin dan kombinasi aktifitas linamarase dan enzim pemecah sianohidrin, diikuti dengan proses penguapan HCN yang terbentuk, menyebabkan keengganan masyarakan dalam pengolahan bahan yang termasuk varietas pahit, dikarenakan bahaya yang dapat ditimbulkan atau tingkat HCN yang menguap selama proses memanggang rasa pemasakan dengan suhu tinggi (Roffle, 2007).

Buah Lindur mempunyai rata-rata panjang 27 cm dengan rata-rata berat 45 g. Hasil analisis kimia buah lindur adalah kadar air 73.756%, kadar lemak 1.246%, protein 1.128%, karbohidrat 23.528% dan kadar abu sebesar 0.342%. Sedangkan kandungan anti gizinya HCN sebesar 6.8559 mg dan tannin sebesar 34.105 mg. Selain cara diatas penurunan kadar sianida juga bisa dilakukan dengan fermentasi dan Perendaman. Beberapa cara telah diterapkan untuk mengurangi senyawa racun itu, seperti perebusan, pemanasan, pengukusan, pencucian, dan pengeringan. Cara pencucian tergolong efektif untuk mengurangi racun sianida karena asam sianida mudah terlepas ke dalam air rendaman. Sementara cara pengeringan dapat menguapkan senyawa itu. Hal terpenting untuk diperhatikan dalam menghidangkan aneka macam makanan dari bahan singkong yang aman dari racun ini adalah memilih umbi singkong dari jenis singkong manis dan melakukan proses pencucian seperti yang dianjurkan. Kadar asam sianida yang rendah di bawah 40 mg/kg umbi segar relatif aman, tidak membahayakan


(23)

kesehatan, dan berasa manis. Sedikit saja singkong memiliki rasa pahit, maka singkong tersebut telah mengandung kadar asam sianida di atas 50 mg/kg umbi segar atau 50–80 mg/kg umbi segar. Sementara itu, singkong menjadi membahayakan kesehatan bahkan dapat mematikan bila kandungan asam sianidanya lebih dari 100 mg/kg umbi segar. Selain cara diatas penurunan kadar sianida juga bisa dilakukan dengan fermentasi dan perendaman.

Beberapa cara telah diterapkan untuk mengurangi senyawa racun itu, seperti perebusan, pemanasan, pengukusan, pencucian, dan pengeringan. Cara pencucian tergolong efektif untuk mengurangi racun sianida karena asam sianida mudah terlepas ke dalam air rendaman. Sementara cara pengeringan dapat menguapkan senyawa itu. Hal terpenting untuk diperhatikan dalam menghidangkan aneka macam makanan dari bahan singkong yang aman dari racun ini adalah memilih umbi singkong dari jenis singkong manis dan melakukan proses pencucian seperti yang dianjurkan. Kadar asam sianida yang rendah di bawah 40 mg/kg umbi segar relatif aman, tidak membahayakan kesehatan, dan berasa manis. Sedikit saja singkong memiliki rasa pahit, maka singkong tersebut telah mengandung kadar asam sianida di atas 50 mg/kg umbi segar atau 50–80 mg/kg umbi segar. Sementara itu, singkong menjadi membahayakan kesehatan bahkan dapat mematikan bila kandungan asam sianidanya lebih dari 100 mg/kg umbi segar (Anonymous, 2008)

c. Senyawa Alkaloid

Kandungan senyawa alkaloid (dioskorin), saponin (dioscein), sapogenin (diosgenin). Dioskorin yang terkandung berperan sebagai prekursor sianida pada


(24)

bahan, sehingga bila pecah secara sempurna dapat menghasilkan sianida bebas yang menimbulkan efek toksisitas yang cukup berbahaya. Menurut FAO dalam winarno (1995), kandungan sianida 50 mg/kg (ppm) bahan masih aman untuk dikonsumsi.

1. Dioskorin

Sianogenat yaitu dioskorin dan diosgenin, kedua senyawa itu sangat mudah larut dalam air dan mudah terdekomposisi oleh pemanasan, sehingga mudah dihilangkan. Dibandingkan dengan sianida kedua senyawa tadi sifat toksiknya jauh lebih rendah sehingga tingkat bahaya yang ditimbulkan manusia menjadi lebih berkurang secara alami, kedua senyawa koloid berada pada vakuola sedang enzim dalam sitoplasma keduanya tidak akan bertemu kecuali jaringan biji dirusak, dikupas dan di iris. Dengan perlakuan itu, kedua senyawa tadi akan saling kontak dan mengalami reaksi enzimatis membentuk glukosa dan senyawa aglikon (Nok dan Ikediobi, 1990).

Senyawa aglikon selanjutnya akan dengan cepat akan mengalami pemecahan oleh enzim liase menjadi asam sianida dan senyawa aldehid dan keton.

Reaksi selengkapnya dapat dilihat gambar berikut (pambayun, 2000).

Glikosida sianogenat β-glikosidase glukosa + aglikon

aglikon hidroksinitril HCN + aldehid dan keton

liase

proses pembentukan HCN dalam Pengolahan bahan sumber : Pembayun ( 2000 )


(25)

proses pemecahan linamarin yang terdapat pada umbi kayu oleh enzim linamarase (β – glikosidase ) menjadi senyawa aseton sianohidril ( aglikon ) dan kemudian melepaskan HCN dan aseton menjadi secara spontan pada pH > 5 dan suhu > 350C (Siritunga and Sayre, 2003).

Menurut Wildolz (1976) dalam Budiono (1998), rumus kimia dioskorin adalah C13H19O2N dan berat molekul dioskorin ialah 221,19. Dioskorin berupa

Kristal yang berbentuk prisma yang berwarna kuning kehijau-hijauan, mempunyai titik uap 54-550 C. dioskorin dapat larut dalam air, alcohol, kloroform, aseton dan sedikit larut dalam eter, benzene dan petroleum eter.

Gambar 2 . struktur senyawa dioskorin Sumber: Dweck (2002)

Dioskorin merupakan salah satu senyawa psikoaktif yang terdapat pada bahan pangan. Dioskorin yang ditemukan pada beberapa spesies tanaman merupakan senyawa tropan alkaloid yang bersifat sebagai depressant dan convulsant. Pada manusia dioskorin menimbulkan sensasi terbakar pada mulut dan tenggorokan, mual, diare,dan dapat menyebabkan kematian (Despande, 2002).

Berat molekul dioskorin 221,19. Racun dioskorin mengalami proses penurunan secara baik secara enzimatis maupun pemanasan, sehingga terbentuk sianida. Analisis kandungan senyawa dioskorin dapat dinyatakan sebagai kadar


(26)

sianida yang terbentuk dari hasil penguraian baik secara enzimatis maupun pemanasan (Arifah, 2003).

Menurut Kordylas (1991) untuk menghilangkan racun dioskorin dapat dilakukan dengan pencucian atau perendeman, baik dalam keadaan diam maupun air yang mengalir, misalnya di sungai, pancuran, atau di pantai pada pasang surut. Hal ini dimaksudkan sebagai penghematan tenaga kerja dan efisiensi kerja. Agar supaya air dapat masuk kedalam sel-sel bahan dimana dioskorin berada maka umbi harus dirajang atau diiris. Perlakuan pemanasan perlu untuk mematikan dan merusak vitalitas sel, sehingga mempermudah keluarnya cairan sel dalam umbi. Lama perendaman 3-4 hari dipandang cukup. Dalam proses penghilangan racun dioskorin juga digunakan abu atau garam dapur dengan maksud menyerap cairan sel keluar dari dalam bahan.

Perendaman air selama beberapa hari dapat membantu pelarutan dioskorin, karena dioskorin larut dalam air. Sebagaimana yang dikatakan oleh Pembayun (2000), proses perendaman menyebakan air berdifusi kedalam dinding sel bahan melalui membrane yang sangat permeable. Air perendaman ini kontak dengan partikel yang akan dilarutkan. Oleh karena itu perendaman yang semakin lama akan semakin banyak pula zat-zat yang dilarutkan sampai pada titik kesetimbangan (Kordylas, 1991).

Hasil penelitian Muljoharjo, Harjadi dan Pujimulyani (1984) menunjukkan pengaruh perendaman bisulfit 2% memberikan pengaruh pada dioskorin sebesar 99,11%, proses perlakuan dengn pengukusan mengurangi


(27)

dioskorin sebesar 93,48%, perendaman dengan larutan NaOH 0,25% memberikan pengaruh dioskorin sebesar 89,48% yang dilakukan pada umbi gadung.

Pengolahan untuk menghilangkan racun selama ini dilakukan adalah dengan melakukan beberapa metode seperti pemanasan, perendaman dengan larutan garam dan penggunaan abu dapur. Pemanasan dengan 30 menit dan perendaman dalam larutan garam dengan konsentrasi 8% selama 3 hari mampu menurunkan kadar sianida dengan residu yang terbentuk 10 ppm (pembayun, 2000).

2. Dioscein

Dioscein merupakan saponin, apabila dihidrolisa dengan H2SO4 5% atau

HCl 12% akan menghasilkan aglikon, yaitu diosgenin (C27H42O3) dan aglikon.

Senyawa dioscein seperti yang terlihat pada gambar berikut :

Gambar 3. struktur kimia senyawa dioscein Sumber: Dweck (2002)

3. Diosgenin

Diosgenin (C27H42O3) adalah suatu sapogenin hasil hidrolisis dioskorin,

berbentuk kristal berupa jarum pipih yang tidak berbau, rasanya pahit, mudah larut dalam alcohol, bensol dan pelarut lainya(takeda, 1972 dalam effendi,2001). Senyawa diosgenin seperti yang terlihat pada gambar berikut :


(28)

Gambar 4. Struktur kimia senyawa diosgenin Sumber : dweck (2002)

d. Tannin

Tannin adalah zat, pahit polyphenol tanaman yang baik dan cepat

mengikat atau mengecilkan protein. Zat dari tannin menyebabkan perasaan kering pada mulut dengan konsumsi anggur merah, teh pekat, atau buah yang tidak tumbuh. Istilah tannin merujuk pada Penggunaan tannin dalam penyamakan hewan yang tersembunyi pada kulit. Namun, istilah ini secara luas dirujukan untuk setiap polyphenolic besar kompleks yang mengandung cukup hydroxyl dan

lainnya sesuai kelompok (seperti carboxyl) kuat untuk membentuk kompleks

dengan protein dan lainnya macromolecule. Tannin memiliki berat molekul dari 500 hingga 3,000. Tannin bertentangan dengan basa, gelatin, logam berat, besi, air kapur, garam logam, zat oksidasi yang kuat dan sulfat seng. Salah satu cara untuk menurunkan kadar tannin dalam kehijauan adalah dengan perendaman dengan menggunakan larutan alkali seperti NH4OH, NaOH, K2CO3, atau CaO. Dengan

perendaman senyawa polifenol akan larut dalam air daan basa seingga ikatan antara protein dan tannin akan terlepas. Namun demikian pemakaian ammonia, alkali, atau kombinasi perendaman yang lainya dapat juga menurunkan kualitas


(29)

nutrisi kehujauan yang disebabkan terbentuknya ikatan antara kalsium dengan kandungan nutrisi yang penting (Butler & Jon, 1992). Zat Tanin diketahui sebagai zat yang menghambat pertumbuhan tanaman. Untuk menghilangkan zat Tanin yang berlebihan, maka bisa dilakukan dengan cara merendam bahan di dalam air bersih selama beberapa jam, lalu diaduk sampai air berbusa putih. Selanjutnya buang air dan diganti dengan air bersih yang baru. Demikian dilakukan beberapa kali sampai busa tidak keluar lagi.

Untuk menghilangkan rasa sepat tannin maka diberikan zat kimia tertentu sedemikian rupa sehingga terjadi pengurangan rasa sepat. Adapun cara – cara yang digunakan biasanya di kombinasikan dengan perlakuan kimia antara lain dengan ditambahkan larutan garam 3 % selama 3 – 5 menit. Dalam hubungan penambahan zat kimia dalam proses pengurangan rasa sepat tannin maka mekanisme penghilanganya adalah karena terjadi proses pengendapan tannin atau karena terjadi polimerisasi atau kondensasi dari tannin sehingga menjadi tannin yang tidak larut. Cara fisika yang dapat digunakan untuk mengurangi rasa sepat karena tannin yaitu dengan cara pemanasan, cara pemanasan yang dapat digunakan adalah dengan cara memanaskan buah selama 5 – 15 menit. terjadi pengurangan rasa sepat pada bahan terutama setelah dipanaskan karena akibat adanya proses pengendapan senyawa tannin (Upe, dkk, 1996).


(30)

Gambar 5. Struktur Tannin ( Anonimus, 2009 )

e. Soda abu (abu dapur).

Pemakian abu khususnya abu sekam dapat menurunkan sianida pada bahan karena abu sekam mempunyai kemampuan menyerap cairan sel dalam jaringan bahan keluar dari umbi sehingga mempermudah keluarnya alkaloid dioskorin pada bahan (Mulyani,1990).

Perendaman dalam air selama beberapa hari dapat membantu mempercepat pelarutan dioskorin karena dioskorin larut dalam air (Mulyoharjo, 1990). Proses perendaman menyebabkan air berdifisi ke dalam sel-sel bahan melalui membrane yang sangat permiabel. Air perendaman ini kontak dengan partikel yang akan dilarutkan. Oleh karena itu perendaman yang semakin lama akan semakin banyak pula zat-zat yang dilarutkan sampai pada titik kesetimbangan (Pembayun, 2000).


(31)

perendaman irisan bahan dalam larutan garam 8% selama 3 hari mampu mngurangi racun sianida dalam residu yang terbentuk relative rendah yitu 10 mg/kg bahan. Sedangkan pemanasan irisan bahan sebesar 2 mm dalam air mendidih selama 30 menit ternyata lebih efektif menurunkan kadar sianida yaitu mencapai 4,12 mg/kg pada bahan gadung (Pembayun, 2000).

Abu dapur banyak digunakan untuk mengurangi kadar sianida pada bahan, karena abu dapur mempunyai kemampuan menyerap cairan sel dalam jaringan bahan keluar dari irisan segingga mempermudah keluarnya alkaloid dioskorin dari dalam bahan dengan begitu sianida yang terlarut dalam air akan ikut terserap oleh abu. Dalam hal ini abu berfungsi sebagai absorben (Mulyani, 1990).

Abu adalah zat organik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik kandungan abu, dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara pengabuan. Kadar abu suatu bahan ada hubunganya dengan mineral dalam bahan tersebut. Mineral yang terdapat pada suatu bahan dapat merupakan dua macam garam yaitu garam organik dan garam anorganik. Sifat abu juga ditentukan oleh dominan atau tidaknya mineral senyawa basa (Na, Mg, K dan Ca)dan mineral pembentuk asam (P, S, dan Cu) berdasarkan ukuran pH larutan abu jerami bersifat basa (Sudarmadji, 1994 dalam Rahmawati, 1993).

Abu dapur merupakan abu hasil pembakaran kayu atau bahan lain pada saat memasak. Abu dapur dapat dikatakan sebagai abu campuran karena kandungan dari abu tersebut tergantung pada kayu atau bahan-bahan yang digunakan pada saat memasak, dengan demikian komposisi dari abu dapur tidak


(32)

dapat diketahui secara pasti kecuali jika dilakukan analisa mengenai komponen kimia dari abu dapur tersebut, terutama kandungan mineral-mineral penyusun abu. Abu dari kayu bakar biasanya mempunyai kandungan potassium yang tinggi tetapi mudah larut dan dihilangkan dengan oleh air hujan (Anonymus, 2005). Adapun kandungan mineral dari abu dapur yang dianalogkan dengan abu sekam padi dapat dilihat pada Table 1:

Tabel 1. Nilai kandungan mineral abu sekam padi

Mineral Jumlah (% b/b)

SiC2 Al2O3 K2o Na2O CaO MgO Fe2O3 LOI

90,43 % 0,02 % 3,72 % 0,04 % 0,43 % 0,16 % 0,09 % 5,11 % Sumber: Zubaidah, (2003)

Menurut Houston, (1972) dalam Rahmawati (1993), abu pada umumnya bersifat porous sehingga mudah menyerap air disekelilingnya, dan karena pengaruh porositas dari abu inilah maka kadar sianida dalam bahan dapat menurun.

Adapun mekanisme penurunan kadar racun sianida menurut Rahmawati (1993) adalah karena pengaruh porositas dan terkontaminasinya garam-garam anorganik pada abu yang menyebabkan penarikan air sel. Semakin besar konsentrasi abu maka semakin banyak pula air sel yang keluar sehingga semakin banyak asam sianida yang hilang.


(33)

Selain karena porositas, abu juga dapat melarutkan sianida dengan cara membentuk garam netral yang larut air. Asam sianida membentuk garam netral dengan logam alkali (Na, K), yang larut dalam air (5-25%). Sementara itu dengan logam alkali tanah termasuk Mg atau logam berat, mempunyai kelarutan yang sangat kecil dalam air (Noor, 1992).

Struktur abu dapur seperti yang terlihat pada gambar berikut:

Gambar 6. Struktur abu dapur (Anonymous, 2009)

f. Blanching

Blanching adalah proses pemanasan bahan pangan dengan uap air panas

secara langsung pada suhu 71o C dan kurang dari 100o C selama 5 menit.

Meskipun bukan untuk tujuan pengawetan, proses thermal ini merupakan suatu tahap proses yang sering dilakukan pada bahan pangan sebelum bahan pangan tersebut dikeringkan, dikalengkan, atau dibekukan (Suksmadji, 1988).

Tujuan blanching dapat berbeda-beda, didalam proses pengeringan

blanching bertujuan untuk menginaktifkan enzim yang tidak diinginkan yang mungkin dapat merubah warna, tekstur, cita rasa, maupun nilai nutrisinya selama penyimpanan (Muchtadi, 1989).

Susanto dan Saneto (1994) menyatakan bahwa penggunaan suhu tinggi selama waktu tertentu dapat menginaktifkan fenolase dan semua enzim yang ada dalam bahan pangan.


(34)

Didalam bahan mentah yang akan diolah juga terdapat enzim. Sebagaimana diketahui bahwa enzim adalah suatu biokatalisator yang bertanggung jawab terhadap proses-proses oksidasi maupun hidrolisa didalam bahan mentah. Adanya proses-proses tersebut maka akan menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan, baik yang dapat merusak maupun tidak.

Perubahan-perubahan yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan jelas tidak dikehendaki, sebab akan menyebabkan turunnya kualitas produk akhir. Pada pengolahan enzim ini harus diinaktifkan. Perlu diketahui bahwa sistem enzim ini sangat kompleks dan bervariasi, sesuai dengan macam dan jenis komoditi bahan mentahnya.

Menurut Suksmadji (1988), semua komoditi yang akan dikeringkan harus dilakukan blanching, atau perlakuan panas yang lain selama dalam proses pengolahan. Bahan mentah yang akan diolah bilamana masih dalam keadaan mentah, sifat-sifatnya adalah teksturnya masih keras dan tegar, poreus, voluminous, dan tidak permeable terhadap air. Memberikan flavour, bau dan aroma yang masih mentah. Memberikan kenampakan yang bersifat segar. Sehingga dalam keadaan yang demikian tidak dapat langsung diawetkan. Dalam

hubungannya dengan pengolahan maka dengan diberikan perlakuan blanching

justru akan memperbaiki sifat-sifatnya.

Untuk bahan pangan yang akan dikeringkan, blanching akan

mempercepat proses pengeringan karena membuat membran sel permeabel terhadap perpindahan air. Disamping itu blanching dapat dianggap sebagai usaha


(35)

“pemasakan” untuk produk kering yang langsung dikonsumsi (Muchtadi dan Sugiyono, 1992).

g. Proses pembuatan tepung mangrove Avicenna, sp

Menurut Mohson (2006), Pembuatan tepung pada umumnya meliputi : proses sortasi, perendaman, pengupasan biji, blancing, pencampuran dengan abu gosok, pencucian, pengeringan, pemotongan menjadi ukuran lebih kecil, pengeringan, penghancuran dan pengayakan serta pengemasan.

1. Sortasi

Sortasi bertujuan untuk memperoleh biji avicenna yang segar dengan tingkat yang baik.

2. Perendaman

Perendaman dilakukan dengan merendam bahan dalam air selama 48 jam kemudian setiap 24 jam air perendaman harus diganti. Tujuan perendaman adalah untuk melunakkan kulit biji sehingga mudah untuk dikupas.

3. Pengupasan

Pengupasan bertujuan antara lain untuk menghilangkan kulit yang merupakan bagian yang terkontaminasi mikroba serta bagian-bagian dari bahan yang tidak dikehendaki yang berupa serbuk putih yang terdapat pada bagian tengah biji dan sekaligus dapat memberikan kenampakan yang lebih baik. Pengupasan dilakukan seefisien mungkin dan jangan sampai banyak bagian yang terbuang.


(36)

4. Blanching

Blanching merupakan suatu proses yang sering dilakukan pada bahan pangan sebelum bahan pangan tersebut dikeringkan. Tujuan dari blanching tersebut adalah untuk menginaktifkan enzim yang dapat merubah warna, tekstur serta citarasa yang ada dalam biji tersebut yang juga sangat dipengaruhi pula oleh suhu dan waktu blancing.

5. Pencampuran dengan soda abu

Soda abu dicampurkan dengan cara diaduk kedalam bahan selama 5 menit. tujuanya adalah untuk mengurangi dan juga menghilangkan racun yang terkandung didalamnya. Pencampuran ini tidak perlu terlalu lama karena dapat merusak sifat fisik dan kimiawi bahan tersebut.

6. Pencucian

Pencucian dilakukan dengan pengulenan bahan yang telah dicampurkan dengan soda abu dengan menggunakan air bersih yang mengalir. Pencucian ini dilakukan untuk menghilangkan residu soda abu yang tertinggal pada bahan. 7. Pengeringan

Pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air bahan sehingga memperpanjang masa simpan produk dan menampung kelebihan hasil selama panen. Pengeringan adalah perpindahan cairan dari padatan oleh alat pemanas (Desrosier, 1988).

Pada pembuatan tepung, pengeringan dapat dilakukan dengan mempergunakan dua cara yaitu pengeringan dengan sinar matahari dan dengan mempergunakan alat pengering (cabinet dryer). Kadar air yang harus dicapai pada


(37)

proses pengeringan ini adalah 4 – 6 %, yakni kadar air ideal untuk berbagai jenis tepung (Desrosier, 1988). Jika proses pengeringan sudah selesai segera dilakukan proses penepungan. Pengeringan untuk tepung dilakukan pada suhu 50 o C selama 12 jam. Hal ini bertujuan untuk mengurangi kadar air pada tepung sehingga tepung lebih tahan lama.

8. Penggilingan dan Pengayakan

Tujuan penggilingan dan penepungan adalah membuat bahan menjadi ukuran tertentu baik untuk keperluan konsumen ataupun untuk proses berikutnya, adanya tepung maka dapat menghemat tempat penyimpanan bahan dan tahan lama serta lebih praktis dalam penggunaannya. Pengayakan tepung bertujuan agar tepung yang dihasilkan mempunyai ukuran yang seragam.

9. Pengemasan

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam proses pengemasan adalah terjaganya tepung dari peningkatan kadar air sebab jika kadar airnya meningkat maka memungkinkan jamur untuk tumbuh. Penyimpanan yan optimum juga diperlukan untuk menjaga kualitas tepung sampai jangka waktu yang lama (Moeljaningsih, 1991 dalam Setyaningrum 2003).

h. Analisis Finansial

Analisis kelayakan adalah analisa yang ditunjukkan untuk meneliti suatu proyek layak atau tidak layak untuk proses tersebut harus dikaji, diteliti dari beberapa aspek tertentu sehingga memenuhi syarat untuk dapat berkembang atau tidak (Samsudin, 1987)


(38)

Analisa finansial yang dilakukan meliputi : analisa nilai uang dengan metode Net Present Value (NPV), Rate of Return dengan metode Internal Rate of Return (IRR), Break Event Point (BEP) dan Playback Periode.

1. Break Even Point (BEP)

Break Even Point (BEP) adalah suatu keadaan dimana pada tingkat penjualan tertentu perusahaan tidak memperoleh keuntungan atau mengalami kerugian. BEP dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :

BEP =

VC P

FC

 Keterangan :

Po = Produk pulang/pokok FC= Biaya tetap

VC= Biaya tidak tetap persatuan produk (Rp)

Rumus untuk mencari titik impas adalah sebagai berikut : a. Biaya titik impas

biaya tetap

BEP = 1 – ( biaya tidak tetap / pendapatan)

b. Presentase titik impas :

BEP (%) = BEP (Rp) x 100 % Pendapatan


(39)

Kapasitas titik impas adalah jumlah produksi yang harus dilakukan untuk mencapai titik impas. Rumus kapasitas titik impas adalah sebagai berikut :

Kapasitas Titik Impas = persen titik impas x pendapatan 2. Net Present value (NPV)

Net Present value merupakan selisih antara present value dari benefit dan present

value dari pada biaya. Rumus perhitungan NPV adalah sebagai berikut :

NPV =

  

n

t i t

Ct Bt

1 (1 )

Keterangan :

Bt = Benefit sosial kotor sehubungan dengan suatu proyek pada tahun t Ct = Biaya sosial kotor sehubungan dengan proyek pada tahun t

t = 1,2,3,……..,n

n = Umur ekonomis dari pada proyek

i = Sosial discaount rate

3. Payback Periode

Metode ini mencoba mengukur seberapa cepat suatu inventasi bisa kembali. Karena itu satuan hasilnya bukan presentase, tapi satuan waktu seperti tahun, bulan. Rumus Payback periode adalah sebagai berikut :

PP =

Ab

1

Keterangan :


(40)

Ab = benefit bersih yang dapat diperoleh pada setiap tahunnya

4. Rate of Return

Rate of Return dengan metode Internal Rate of Return adalah nilai discount rate I dengan NPV dari proyek sama dengan nol. IRR dapat juga dianggap sebagai tingkat keuntungan atas investasi bersih dalam suatu proyek, asal setiap benefit bersih yang diwujudkan secara otomatis ditanam kembali dalam tahun berikutnya.

Rumus perhitungan IRR adalah sebagai berikut :

IRR = ( '' ')

'' '

1 i i

NPV NPV

NPV

 

Keterangan :

NPV’ = NPV positif hasil percobaan nilai NPV’’ = NPV negatif hasil percobaan nilai i = Tingkat bunga

5. Gross Benefit Cost Ratio (Gross B/C Ratio)

Merupakan perbandingan antara penerimaan kotor dengan biaya kotor yang telah di prensent valuekan (dirupiahkan sekarang)

Pendapatan Nilai B/C Ratio =


(41)

i. Landasan teori

Jenis tanaman mangrove Avicenna, sp yang telah dijadikan /

dimanfaatkan sebagai sumber bahan makanan adalah Avicenna marinna dan

Avicenna afficinalis. Jenis tanaman ini tersebar disebagian besar pantai di Indonesia termasuk mangrove sejati ( pada zona terdepan ) cepat dan mudah tumbuh serta permulaan alminya sangat cepat, tanaman ini berumur 18-24 bulan sudah berbuah ( Mohson, 2006 ).

Pembuatan tepung pada umumnya meliputi : proses sortasi, perendaman,

pengupasan biji, blanching, pencampuran dengan abu sekam padi, pencucian,

pengeringan, pemotongan menjadi ukuran lebih kecil, pengeringan, penghancuran dan pengayakan serta pengemasan ( Mohson, 2006 ).

Perlakuan blancing pada bahan adalah untuk menghilangkan bau langu

pada bahan, yaitu dengan menginaktifkan enzim lipoksigenase Enzim

lipoksigenase mudah rusak oleh panas. Oleh karena itu, untuk menghilangkan bau dan rasa langu dilakukan dengan cara menggunakan air panas dengan suhu 800 –

1000 C saat penggilingan dengan blancing (Koeswara, 1995). Pengukusan akan

menurunkan kadar sianida pada bahan sebesar 93,48% Muljoharjo, Harjadi dan Pujimulyani (1984), karena proses pembebasan dan penghilangan sianida dengan pengukusan akan menguapkan sianisda (Roffle, 2007).. Proses pemanasan kandungan tannin yang terikat pada protein bahan akan terlepas dan kandungan tannin tannin itu akan hilang oleh pemanasan dengan suhu yang tinggi karena akibat adanya proses pengendapan senyawa tannin (Winarno, 1997).

Tepung mangrove adalah produk olahan mangrove yang terbuat dari biji mangrove yang telah dikeringkan terlebih dahulu. Sifat fisik tepung mangrove


(42)

sangat dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia bahan. Sebagai contoh mangrove jenis sineratia, sp yang mempunyai sifat kimia yang mempunyai warna coklat yaitu tannin tetapi tidak beracun ( Mohson, 2006 ). Sedangkan untuk mangrove

jenis burguera, sp dan Avicennia, sp mempunyai kandungan racun yang akan

berbahaya jika dikonsumsi secara berlebihan ( Anonymus, 2009 ).

Abu dapur banyak digunakan untuk mengurangi kadar sianida pada bahan, karena abu dapur mempunyai kemampuan menyerap cairan sel dalam jaringan bahan keluar dari irisan segingga mempermudah keluarnya alkaloid dioskorin dari dalam bahan dengan begitu sianida yang terlarut dalam air akan ikut terserap oleh abu. Dalam hal ini abu berfungsi sebagai absorben (Mulyani, 1990).

Salah satu cara untuk menurunkan kadar tannin dalam kehijauan adalah

dengan perendaman dengan menggunakan larutan alkali seperti NH4OH, NaOH,

K2CO3, atau CaO. Dengan perendaman senyawa polifenol akan larut dalam air

daan basa seingga ikatan antara protein dan tannin akan terlepas. Namun demikian pemakaian ammonia, alkali, atau kombinasi perendaman yang lainya dapat juga menurunkan kualitas nutrisi kehujauan yang disebabkan terbentuknya ikatan antara kalsium dengan kandungan nutrisi yang penting (Butler & Jon, 1992).

Abu adalah zat organik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik kandungan abu, dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara pengabuan. Kadar abu suatu bahan ada hubunganya dengan mineral dalam bahan tersebut. Mineral yang terdapat pada suatu bahan dapat merupakan dua macam


(43)

garam yaitu garam organik dan garam anorganik (Sudarmadji, 1994 dalam Rahmawati, 1993).

Absorbsi atau penyerapan dalam kimia adalah suatu fenomena fisik atau kimiawi atau proses sewaktu atom, molekul, atau ion memasuki suatu fase limbak ( bulk ) lain yang bisa berupa gas, cairan, ataupun padatan. Absorbsi atau penyerapan dalam kimia adalah suatu fenomena fisik atau kimiawi atau proses sewaktu atom, molekul, atau ion memasuki suatu fase limbak ( bulk ) lain yang bisa berupa gas, cairan, ataupun padatan (Anonymous, 2010).

M. Hipotesis

Diduga terdapat pengaruh antara konsentrasi abu dapur dengan lama pencampuran terhadap konsentrasi racun sianida dan tannin.


(44)

35   

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Agustus tahun 2010 di Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan, Analisa Pangan, Biokimia Pangan, Uji Indrawi, Jurusan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Industri Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, Laboratorium Pengujian mutu dan keamanan pangan Jurusan Teknologi Hasil Pertanian FTP – Universitas Muhaammadiyah Malang,.

B. Bahan yang digunakan

Bahan baku pembuatan tepung mangrove Avicenna, sp yaitu Biji avicenna yang diperoleh daerah Wilangon Gresik dan Wonorejo surabaya. Soda abu (Na2CO3) diperoleh ditoko bahan kimia di daerah Pasar Kembang Surabaya.

Bahan untuk analisa kimia mutu tepung mangrove adalah, asam sulfat pekat, NaOH 30%, asam borak, kalium sulfat, NaOH 45%, HCl 0,1 N, aquades, alkohol 95%, dan petroleum ether.

C. Peralatan yang digunakan

Alat yang digunakan untuk pembuatan tepung gayam dalam penelitian ini antara lain kabinet dryer, blender, timbangan, ayakan 80 mesh dan oven.

Peralatan untuk analisa yaitu labu takar, erlenmeyer, labu Kjeldahl, Brabender Amilogram, almari asam, buret penyangga dan penjepit, neraca


(45)

analitik, eksikator, muffle, pendingin balik, kertas saring, penangas air, spektrofotometri.

D. Metode Penelitian

Penelitian pendahuluan untuk mengetahui cara pembuatan tepung mangrove yang tepat sehingga diketahui kualitas warna yang baik. Penelitian pendahuluan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) yang disusun secara faktorial, terdiri dari 2 faktor, yaitu faktor pertama terdiri dari 3 level dan faktor kedua 3 level. Masing-masing level diulang 2 kali. Data yag diperoleh dianalisis ragam bila terdapat perbedaan yang nyata dilanjutkan dengan uji DMRT (Gaspersz, 1991).

Faktor I (P) : Konsentrasi abu dapur ( Untuk bahan 1 kg) P1 = 25 gr = 0,025 %

P2 = 50 gr = 0,05 % P3 = 75 gr = 0,075 % Faktor II (Q) : Lama Pemeraman

Q1 = 2,5 menit Q2 = 5 menit Q3 = 7,5 menit

Dari kedua faktor tersebut diatas didapat kombinasi perlakuan sebagai berikut:

P1Q1 P1Q2 P1Q3 P2Q1 P2Q2 P2Q3 P3Q1 P3Q2 P3Q3


(46)

Dari kombinasi perlakuan kedua factor tersebut didapat sembilan alternatif perlakuan pendahuluan, yaitu :

P1Q1 : Menggunakan konsentrasi soda abu 25 gr dengan lama waktu pemeraman 2,5 menit.

P1Q2 : Menggunakan konsentrasi soda abu 25 gr dengan lama waktu pemeraman 5 menit

P1Q3 : Menggunakan konsentrasi soda abu 25 gr dengan lama waktu pemeraman 7,5 menit

P2Q1 : Menggunakan konsentrasi soda abu 50 gr dengan lama waktu pemeraman 2,5 menit

P2Q2 : Menggunakan konsentrasi soda abu 50 gr dengan lama waktu pemeraman 5 menit

P2Q3 : Menggunakan konsentrasi soda abu 50 gr dengan lama waktu pemeraman 7,5 menit

P3Q1 : Menggunakan konsentrasi soda abu 75 gr dengan lama waktu pemeraman 2,5 menit

P3Q2 : Menggunakan konsentrasi soda abu 75 gr dengan lama waktu pemeraman 5 menit

P3Q3 : Menggunakan konsentrasi soda abu 75 gr dengan lama waktu pemeraman 7,5 menit

Menurut Gaspersz (1991), model statistika untuk perlakuan faktorial yang terdiri dari dua faktor dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) adalah sebagai berikut :


(47)

Yijk =  + i + j ()ij + ij Keterangan :

Yijk = Nilai Pengamatan pada satuan percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan i dan j (taraf ke-i dari faktor I dan taraf ke-j dari faktor II)

= Nilai tengah umum (rata-rata sesungguhnya)

I = Pengaruh perlakuan ke-i dari faktor I

j = Pengaruh perlakuan ke-j dari faktor II

() = Pengaruh interaksi faktor I ke-i dari faktor II ke-j i = 1,2,…,p

= Galat percobaan pada perlakuan ke-i pada faktor I dan perlakuan ke-j pada faktor II

j = 1,2,…,n k = 1,2,…,r

E. Faktor tetap

1. Lama pendaman 48 jam.

2. Bahan mangrove Avicenna Marinna yang digunakan 1 kg. 3. Air yang di gunakan untuk perendaman 1,5 liter.

4. Lama blancing 20 menit suhu 800C 5. Suhu pengeringan 600C selama 12 jam 6. Pengayakan menggunakan ayakan 80 mesh.


(48)

F. Parameter yang Diamati

Parameter yang diamati dalam penelitian ini yaitu : 1. Biji Avicenna

 Analisa Kimia

 Kadar pati (AOAC 1970, Sudarmadji, dkk, 1997)

Kadar Air Cara pemanasan (AOAC 1970, Sudarmadji, dkk 1997)

 Kadar Tannin (Spektrofotometri )

 Kadar sianida ( Destilasi Uap)

2. Tepung Avicenna

 Penelitian Kimia a. Analisa Kimia

 Kadar pati (AOAC 1970, Sudarmadji, dkk, 1997)

Kadar Air Cara pemanasan (AOAC 1970, Sudarmadji, dkk 1997)

 Kadar Sianida (Destilasi Uap)

 Kadar tannin ( Spektrofotometri ) b. Analisa Fisik

 Rendemen

 Warna

- Organoleptik

- Colour Rider (Minolta)

 Bau


(49)

G. Prosedur Penelitian

Proses pembuatan tepung Avicenna dalam Penelitian yaitu tahap pembuatan tepung Avicenna yang dilanjutkan tahap analisa karakteristik fisik dan kimianya.

Tahap pembuatan tepung Avicenna

Tahap pembuatan tepung Avicenna diawali dengan beberapa tahapan yaitu : proses sortasi, perendaman, pengupasan biji, blancing, pencampuran dengan abu gosok, pencucian, pengeringan, pemotongan menjadi ukuran lebih kecil, pengeringan, penghancuran dan pengayakan serta pengemasan

a. Sortasi bertujuan,untuk memperoleh biji avicenna yang segar dengan tingkat yang baik.

b. Perendaman adalah untuk melunakkan kulit biji sehingga mudah untuk dikupas.

c. Pengupasan bertujuan antara lain untuk menghilangkan kulit yang merupakan bagian yang terkontaminasi mikroba serta bagian-bagian dari bahan yang tidak dikehendaki yang berupa serbuk putih yang terdapat pada bagian tengah biji dan sekaligus dapat memberikan kenampakan yang lebih baik

d. Tujuan dari blanching adalah untuk menginaktifkan enzim yang dapat merubah warna, tekstur serta citarasa yang ada dalam biji tersebut yaitu enzim lipoksigenase.

e. Soda abu dicampurkan dengan cara diaduk kedalam bahan selama 5 menit. tujuanya adalah untuk mengurangi dan juga menghilangkan racun yang


(50)

terkandung didalamnya. Pencampuran ini tidak perlu terlalu lama karena dapat merusak sifat fisik dan kimiawi bahan tersebut.

f. Pencucian ini dilakukan untuk menghilangkan residu soda abu yang tertinggal pada bahan.

g. Pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air bahan sehingga memperpanjang masa simpan produk dan menampung kelebihan hasil selama panen. Pengeringan adalah perpindahan cairan dari padatan oleh alat pemanas.

h. Penggilingan dilakukan dengan menggunakan blender dengan kecepatan tinggi dan dilakukan pengayakan dengan menggunakan ayakan 80 mesh. i. Setelah tepung avicenna jadi, dilakukan analisa kimia antara lain kadar air,

kadar abu, kadar pati, kadar amilosa dan amilopektin, kadar protein, kadar lemak dan kadar serat kasar serta kadar racun. Sedangkan analisa fisik meliputi rendemen, warna, viskositas dan suhu gelatinisasi.

j. Perlakuan yang terakhir adalah pengemasan. Pengemasan tepung avicenna ini memiliki tujuan agar tepung avicenaa yang dihasilkan memiliki daya simpan yang lebih lama dan terhindar dari jamur.

Adapun diagram alir proses pembuatan tepung Avicenna pada penelitian pendahuluan ditunjukan pada gambar 7.


(51)

 

Mangrove Avicenna marina ( 1 kg ) 

Pengemasan

Gambar 7. Diagram alir proses pembuatan Tepung Avicenna, sp

sortasi

Analisa kimia:

 HCN

 Tanin

Perendaman (48 jam)

 Pati

 HCN

 Tannin

 Kadar air

Pengupasan kulit Analisa kimia:

 HCN

 Tanin

Biji Mangrove +/- 750 gr Blancing ( 20 menit )

Pencampuran dengan soda abu konsentrasi 25 gr selama 2,5:5:7,5 menit

Pencampuran dengan soda abu konsentrasi 50 gr selama 2,5:5:7,5 menit

Pencampuran dengan soda abu konsentrasi 75 gr selama 2,5:5:7,5 menit Pencucian

dengan air bersih

Penggilingan

Pengayakan (80 mesh)

 Analisa Kimia - Pati

- Kadar air - Kadar HCN - Kadar Tannin   

Pengeringan (cabinet Dryer) suhu 60 0 C, selama 12 jam

 Analisa Fisik : - Warna

- Rendemen - Bau    


(52)

Analisa yang dilakukan pada penelitian ini dimulai dari analisa bahan baku, bahan baku setelah direndam 48 jam, bahan baku setelah di blanching dan analisa produk tepung mangrove yang dihasilkan. Analisa dilanjutkan dengan analisa keputusan dan finansial yang didasarkan pada segi ekonomis apabila produk ini digunakan sebagai produk industri.

A. Hasil Karakteristik Biji Mangrove Avicenna marinna

Pada penelitian ini dilakukan analisa terhadap biji Avicenna marinna

yaitu untuk mengetahui karakteristik terhadap biji Avicenna marinna dengan

parameter yang diamati yaitu kadar pati, kadar air, kadar sianida, kadar tanin.

Analisa kimia yang dilakukan terhadap biji Avicenn marinna, hasil analisa

karakteristik kimia biji Avicenna marinna pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.

Karakteristik biji Avicenna marina per 1 kg bahan / berat kering.

Tabel 2. Perbandingan karakteristik kimia biji mangrove Avicenna, sp dengan

Burguera, sp.

Komposisi Biji Avicenna, sp Biji Burguera,sp

(*) Karbohidrat:

Pati (%)

-

50,51 23,528

Kadar. Air (%) 45,03 73,756

Sianida (HCN) (ppm) 150,82 31,68

Tanin (%) 1,38 0,341

*Sumber: Anonimous, 2010.


(53)

Perbandingan komposisi kimia biji Avicenna, sp pada penelitian ini terhadap biji Burguera, sp, menunjukkan bahwa biji Avicenna, sp mempunyai komposisi kimia yang lebih baik. Biji Avicenna, sp memiliki kandungan racun sianida dan tannin yang cukup tinggi, tetapi kandungan pati yang lebih tinggi dan kadar air yang lebih rendah dari yang dimiliki biji burguera, sp menurut table 2

terlihat kadar pati burguera, sp sebesar 23,52% dan kadar air 73,75%

(Anonymous, 2010)

B. Hasil Pengamatan Bahan Baku Terhadap Sianida Dan Tanin Selama Perendaman Dan Blanching

1. Sianida

Penentuan kadar sianida pada bahan ditentukan dengan menggunakan metode distilasi asam sianida.

Tabel 3. Perbandingan penurunan sianida pada mangrove Avicenna marinna

selama proses perendaman dan blanching.

Proses Kadar sianida (ppm)

Bahan baku (sebelum proses) 150,82 ppm

Perendaman (48 jam) 43,323 ppm

Blanching (pengukusan, 20 menit) 22,329 ppm

Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa kadar sianida pada biji

Avicenna marinna sebesar 150,82 ppm. Biji Avicenna marinna ini mengandung kadar sianida lebih tinggi dibandingkan dengan buah mangrove lain (Burguera,

sp) dengan kandungan sianida sebesar 31,68 ppm. Proses perendaman biji

Avicenna marinna selama 48 jam memberikan pengaruh sangat nyata terhadap penurunan kadar sianida pada bahan awal yaitu menjadi 43,323 ppm. Menurut FAO dalam Winarno (1995), kandungan sianida 50 mg/kg (ppm) bahan (umbi)


(54)

masih aman untuk dikonsumsi. Maka dapat dikatakan menurut hasil analisa pada proses ini biji mangrove Avicenna marinna sudah aman untuk dikonsumsi.

Penurunan kadar sianida pada bahan setelah di rendam adalah karena sifat dari sianida yang mudah larut dengan air. Sehingga bahan yang telah mengalami perendaman selama 48 jam kadar sianidanya akan terlepas oleh air rendaman yang diganti sitiap 24 jam. Hal tersebut sangat nyata jika dibandingkan dengan literatur yang menyebutkan terjadi penurunan kandungan sianida setelah dilakukan perendaman selama 2 hari. Karena Perendaman air selama beberapa hari dapat membantu pelarutan dioskorin, karena dioskorin larut dalam air. Sebagaimana yang dikatakan oleh Pembayun (2000), proses perendaman menyebabkan air berdifusi kedalam dinding sel bahan melalui membrane yang sangat permeable. Air perendaman ini kontak dengan partikel yang akan dilarutkan.

Penurunan sianida setelah proses blancing adalah disebabkan karena sifat dari sianida yang mudah mengalami evaporasi atau penguapan. Selama proses penguapan ini sianida akan terpecah menjadi uap yang dipengaruhi oleh suhu yang tinggi. Dengan tahap ini kandungan sianida yang terdapat pada bahan dapat

jauh menurun lagi dengan tingkat sianida menjadi 22,329 ppm. Proses blancing

pada prinsipnya adalah untuk menginaktifkan enzim, dalam hal ini pengaruh

blancing adalah untuk menginaktifkan enzim liase yang dapat memecah senyawa aglikol menjadi asam sianida dan senyawa aldehid dan keton (Pambayun, 2000). Enzim lainya yang di inaktifkan pada proses ini adalah enzim linamerase (β – glikosidase ) yaitu enzim yang dapat memecah linamarin menjadi senyawa aseton sianohidril ( aglikon ) dan kemudian melepaskan HCN dan aseton menjadi secara


(55)

spontan (Siritunga and Sayre, 2003). Hal ini didukung Muljoharjo, dkk., (1984) melaporkan bahwa proses perlakuan dengan pengukusan mengurangi dioskorin sebesar 93,48%.

2. Tanin

Penentuan kadar tanin pada bahan ditentukan dengan menggunakan metode spektrofotometri.

Tabel 4. Perbandingan penurunan tannin pada mangrove Avicenna marinna

selama proses perendaman dan blancing.

Proses Kadar tannin

Bahan baku (sebelum proses) 1,3735%

Perendaman (48 jam) 0,6335%

Blancing (pengukusan, 20 menit) 0,3655%

Bersdasarkan Tabel 4 diatas, kandungan tannin yang terdapat pada bahan mangrove Avicenna marinaa adalah sebesar 1,3735 %. Jika dibandingkan dengan

kandungan tannin pada buah mangrove jenis lain, misalnya Burguera, sp yang

memiliki kandungan tannin lebih rendah yaitu 0,341 kandungan tannin pada bahan Avicenna marinna termasuk yang lebih besar.

Kandungan tannin pada bahan yang setelah melalui perendaman selama 48 jam adalah mengalami penurunan menjadi 0,6335 %. Berkurangnya tannin adalah karena sifat dari tannin yang mudah larut dalam air. Tannin yang di rendam akan mengalami proses pencucian karena sifat tannin yang berikatan dengan air. Dengan terbukanya pori membrane yang sangat permeable akan melarutkan tannin pada bahan dengan air (Pembayun, 2000). Hasil ini sangat aman untuk kandungan tanin dalam bahan makanan karena nilai ADI tanin sebesar 560 mg/kg berat badan/hari.


(56)

Blanching adalah proses selanjutnya yang dilakukan pada bahan setelah proses perendaman. Kandungan tannin yang tersisa dari hasil pengukusan /

blanching adalah menjadi 0,3655%. Hal ini disebabkan karena dengan proses pemanasan kandungan tannin yang terikat pada protein bahan akan terlepas dan kandungan tannin itu akan hilang oleh pemanasan dengan suhu yang tinggi. Cara fisika yang dapat digunakan untuk mengurangi rasa sepat karena tannin yaitu dengan cara pemanasan, cara pemanasan yang dapat digunakan adalah dengan cara memanaskan buah selama 5 – 15 menit. terjadi pengurangan rasa sepat pada bahan terutama setelah dipanaskan karena akibat adanya proses pengendapan senyawa tannin (Upe, dkk, 1996).

C. Hasil Pengamatan Terhadap Tepung Mangrove Avicenna marinna 1. Kadar Air

Berdasarkan hasil analisis ragam kadar air (lampiran II) menunjukkan bahwa antara perlakuan konsentrasi abu sekam dengan lama pemeraman terdapat interaksi yang nyata (p≤0,05) dan masing-masing perlakuan berpengaruh nyata (p≤0,05) terhadap kadar air tepung mangrove Avicenna marinna.

Nilai rata-rata kadar air tepung mangrove Avicenna marinna dari

perlakuan konsentrasi abu sekam dengan lama pemeraman dapat di lihat pada Tabel 5.


(57)

Tabel 5. Nilai rata – rata penurunan kadar air tepung mangrove Avicenna marinna dari perlakuan konsentrasi abu sekam dengan lama pemeraman. Perlakuan Konsentrasi abu (b/b) Lama pemeraman (menit) Kadar air (%)

Notasi DMRT 5%

25 50 75 2,5 5 7,5 2,5 5 7,5 2,5 5 7,5 10.5197 7.8364 7.5503 7.1467 6.0337 5.8115 5.1235 5.0059 4.0365 i h g f e d c b a - 0,0730 0,0762 0,0777 0,0791 0,0798 0,0803 0,0803 0,0803 Tabel 5 menunjukkan bahwa nilai rata-rata kadar air tepung mangrove

Avicenna marinna dengan perlakuan konsentrasi abu sekam dengan lama

pemeraman adalah berkisar antara 4,0365– 10,51975 %. Perlakuan kadar abu sekam 25gr dan lama pemeraman 2,5 menit menunjukkan kadar air yang tersisa paling tinggi yaitu 10,51975 %, sedangkan perlakuan dengan menggunakan konsentrasi abu sekam sebanyak 75gr dan pemeraman selama 7,5 menit menghasilkan sisa kadar air yang paling rendah pada tepung mangrove Avicenna marinna ini yaitu sebesar 4,0365 %.

Hubungan antara perlakuan konsentrasi abu sekam dengan lama

pemeraman terhadap kadar air pada tepung mangrove Avicenna marinna dapat


(58)

Gambar 8. Hubungan antara pelakuan konsentrasi abu sekam dengan lama pemeraman terhadap penurunan kadar air pada tepung mangrove Avicenna marinna.

Gambar 8 menunjukkan seiring dengan meningkatnya konsentrasi abu sekam dengan lama pemeraman maka kadar air yang tersisa akan semakin menurun, Hal tersebut karena sifat dari abu sekam yang mengabsorb miniral – mineral pada bahan yaitu air. Menurut Mulyani (1990), Abu dapur mempunyai kemampuan menyerap cairan sel dalam jaringan bahan keluar dari irisan sehingga mempermudah keluarnya alkaloid dioskorin dari dalam bahan dengan begitu sianida yang terlarut dalam air akan ikut terserap oleh abu. Dalam hal ini abu berfungsi sebagai absorben. Sehingga dapat diketahui bahwa seiring dengan berkurangnya kadar sianida maka kadar air bahan juga akan berkurang juga karena air tersebut terabsorb oleh abu sekam.

2. Kadar Sianida

Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran III) menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi abu sekam dengan lama pemeraman terdapat interaksi yang


(59)

nyata (p≤0,05) dan masing-masing perlakuan berpengaruh nyata (p≤0,05)

terhadap penurunan kadar sianida tepung mangrove Avicenna marinna

Nilai rata – rata penurunan kadar sianida tepung mangrove Avicenna

marinna dari perlakuan konsentrasi abu sekam dengan lama pemeraman dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Nilai rata – rata penurunan kadar sianida tepung mangrove Avicenna marinna dari perlakuan konsentrasi abu sekam dengan lama pemeraman. Perlakuan Konsentrasi abu (b/b) Lama pemeraman (menit) Kadar sianida (ppm)

Notasi DMRT 5%

25 50 75 2,5 5,0 7,5 2,5 5,0 7,5 2,5 5,0 7,5 10.508 7.2180 1.9665 7.8765 3.2820 1.3130 5.9080 1.9685 1.3130 d bc a cd ab a b a a 1,7209 1,7209 1,6329 1,7209 1,6965 - 1,6329 1,6671 1,5645

Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai rata-rata kadar sianida tepung mangrove

Avicenna marinna dengan perlakuan konsentrasi abu sekam dengan lama

pemeraman adalah berkisar antara 1,313 – 10,508 ppm. Perlakuan kadar abu sekam 25gr dan lama pemeraman 2,5 menit menunjukkan kadar sianida yang tersisa paling tinggi yaitu 10,508 ppm, sedangkan perlakuan dengan menggunakan konsentrasi abu sekam sebanyak 75gr dan pemeraman selama 7,5 menit

menghasilkan sisa sianida yang paling rendah pada tepung mangrove Avicenna


(60)

Hubungan antara perlakuan konsentrasi abu sekam dengan lama

pemeraman terhadap kadar sianida pada tepung mangrove Avicenna marinna

dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Hubungan antara pelakuan konsentrasi abu sekam dengan lama pemeraman terhadap penurunan kadar sianida pada tepung mangrove Avicenna marinna.

Gambar 9 menunjukkan seiring dengan meningkatnya konsentrasi abu sekam dengan lama pemeraman maka kadar sianida yang tersisa akan semakin menurun, hal ini disebabkan karena penyerapan dari abu dapur. Menurut Mulyani (1990), abu dapur mempunyai kemampuan menyerap cairan sel dalam jaringan bahan keluar dari irisan segingga mempermudah keluarnya alkaloid dioskorin dari dalam bahan dengan begitu sianida yang terlarut dalam air akan ikut terserap oleh abu, dalam hal ini abu berfungsi sebagai absorben. Menurut Anonimous (2009), bahwa abu sekam merupakan selulosa dari padi yang bersifat absorben terhadap mineral-mineral sehingga mineral yang berikatan dengan selulosa dari abu tersebut akan ikut terserap kedalam partikel selulosa abu sekam.


(61)

3. Kadar Tanin

Berdasarkan hasil analisi ragam (Lampiran IV) menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi abu sekam dengan lama pemeraman terdapat interaksi yang

nyata (p≤0,05) dan masing-masing perlakuan berpengaruh nyata (p≤0,05)

terhadap penurunan kadar tannin tepung mangrove Avicenna marinna.

Nilai rata – rata penurunan kadar tannin tepung mangrove Avicenna

marinna dari perlakuan konsentrasi abu sekam dengan lama pemeraman dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Nilai rata – rata penurunan kadar tannin tepung mangrove Avicenna marinna dari perlakuan konsentrasi abu sekam dengan lama pemeraman. Perlakuan Konsentrasi abu (b/b) Lama pemeraman (menit) Kadar Tannin (%)

Notasi DMRT 5%

25 50 75 2,5 5,0 7,5 2,5 5,0 7,5 2,5 5,0 7,5 0.1720 0.1620 0.1520 0.1650 0.1420 0.1330 0.1470 0.1235 0.1095 cd c bc cd b b bc b a 0,0071 0,0071 0,0070 0,0071 0,0068 0,0067 0,0070 0,0064 -

Tabel 7 menunjukkan bahwa nilai rata-rata kadar tannin tepung mangrove

Avicenna marinna dengan perlakuan konsentrasi abu sekam dengan lama

pemeraman adalah berkisar antara 0,1095 – 0,172 %. Perlakuan kadar abu sekam 25gr dan lama pemeraman 2,5 menit menunjukkan kadar tannin yang tersisa paling tinggi yaitu 10,508 ppm, sedangkan perlakuan dengan menggunakan


(62)

konsentrasi abu sekam sebanyak 75gr dan pemeraman selama 7,5 menit

menghasilkan sisa tannin yang paling rendah pada tepung mangrove Avicenna

marinna ini yaitu sebesar 0,1095%.

Hubungan antara perlakuan konsentrasi abu sekam dengan lama pemeraman terhadap kadar tannin pada tepung mangrove Avicenna marinna dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Hubungan antara pelakuan konsentrasi abu sekam dengan lama pemeraman terhadap penurunan kadar tannin pada tepung mangrove Avicenna marinna.

Gambar 10 menunjukkan seiring dengan meningkatnya konsentrasi abu sekam dengan lama pemeraman maka kadar tannin yang tersisa akan semakin menurun. Hal ini disebabkan karena dalam abu sekam padi mempunyai

kandungan alkali seperti NH4OH, NaOH, K2CO3, atau CaO. Tannin yang

mempunyai sifat yang bertentangan dengan senyawa alkali akan terserap oleh unsur alkali yang ada pada abu sekam padi. Ikatan antara tannin dan protein yang ada pada bahan akan terserap oleh abu sekam padi. Dengan pemeraman senyawa


(63)

polifenol akan larut dalam air dan basa seingga ikatan antara protein dan tannin akan terlepas (Butler & Jon, 1992).

Seperti yang diketahui bahwa menurut Zubaidah (2003), kandungan K2O

sebesar 3,72%, kandungan Na2O sebesar 0,04 dan CaO sebesar 0,43%. Sehingga

dapat diketahui bahwa kandungan tannin yang berkurang adalah karena berikatan dengan unsure-unsure alkali diatas sehingga tannin yang ada pada bahan berkurang karena terserap oleh komponen abu sekam tersebut.

E. Kadar Pati

Berdasarkan hasil data analisis ragam yang terlampir pada (Lampiran V) menunjukkan tidak adanya interaksi antara perlakuan konsentrasi abu sekan dan

lama pemeraman terhadap kadar pati tepung mangrove Avicenna marinna.

Konsentrasi abu sekam dan lama pemeraman berpengaruh nyata (p≤0,05)

terhadap tepung mangrove Avicenna marinna.

Nilai rata-rata kadar pati tepung mangrove Avicenna marinna dari perlakuan konsentrasi abu sekam dapat dilihat pada Tabel 8 menunjukkan nilai rata-rata kadar pati dengan kisaran antara 65,732% - 70,2613%.

Tabel 8. Nilai rata-rata kadar pati tepung mangrove Avicenna marinna dari perlakuaan konsentrasi abu sekam

Konsentrasi abu (b/b)

Rata-rata Kadar Pati

(%)

Notasi DMRT 5%

25 50 75

65.732 68.4077 70.2617

a b bc

- 1.8461 1.9268


(1)

70

investasi (modal) awal dari suatu proyek sedang dikerjakan. IRR merupakan nilai discount rate yang membuat nilai NPV di proyek = 0. Bila nilai IRR suatu proyek lebih besar dari suku bunga yang berlaku maka proyek dinyatakan layak untuk dilaksanakan.

Berdasarkan lampiran 11. Diperoleh IRR sebesar 26,69 %. Berarti proyek ini dapat diterima karena nilai IRR lebih besar dari suku bunga yang dikehendaki yaitu 20% per tahun.


(2)

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Terdapat interaksi yang nyata antara perlakuan konsentrasi abu sekam padi dengan lama pemeraman terhadap kadar sianida, kadar tannin, kadar air, rendemen, dan derajat putih. Tidak terdapat interaksi yang nyata antara perlakuan konsentrasi abu sekamdan lama pemeraman terhadap kadar pati. 2. Terjadi penurunan kadar sianida menjadi 43,323 ppm setelah dilakukan perendaman selama 48 jam dari bahan awal yang memiliki kandungan sianida 150,323 ppm, dan setelah dilakukan proses blancing terjadi penurunan kadar sianida menjadi 22,329 ppm. Kadar tannin juga mengalami penurunan menjadi 0,6335% setelah dilakukan perendaman selama 48 jam dari bahan awal yang memiliki kadar tannin 1,373%, dan setelah dilakukan proses blancing mengalami penurunan kadar tannin menjadi 0,3655%.

3. Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi abu sekam padi 50gr (b/b) dengan lama pemeraman 7,5 menit menghasilkan tepung mangrove Avicenna, sp dengan kadar sianida 1,313ppm, kadar tannin 0,133%, kadar pati 70,4565%, kadar air 5,8115%, rendemen 17,41 %, derajat putih 53,455.


(3)

  72

4. Hasil analisis financial menyimpulkan perusahaan tepung mangrove Avicenna, sp dengan perlakuan konsentrasi abu sekam 50 gr (b/b) dan lama pemeraman 7,5 menit layak diproduksi karena memiliki Break Even Point Rp. 178.401.315,8 atau 31.200 bungkus/tahun atau 41,91%. Net Present Value sebesar Rp. 242.998.527. Net B/C sebesar 1,15. Dan IRR sebesar 26,69 % lebih besar dari tingkat suku bunga bank. Dalam proyek ini pertahunya mendapat nilai keuntungan bersih sebesar Rp. 65.824.640 /tahun. Dan kapisitas titik impas adalah 1.307.759 bungkus/tahun. Perusahaan ini melakukan pengembalian modal dalam jangka waktu sekitar 2,47 tahun.

B. Saran

Perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang mangrove Avicenna marinna dan tidak sebatas pada penurunan kadar racun saja. Tetapi seperti kandungan kimia lain yang terdapat pada mangrove Avicenna marinna sehingga


(4)

Anonimous, 2010 (Http://Wikipedia.com) tanggal akses 3 juli 2010 Anonimous, 2009 (Http://Wikipedia.com) tanggal akses 27 April 2009

Anonimous, 2009 (Http://Www.Tristarchemical.Com) Tanggal Akses 9 Januari 2010.

Anonimous, 2005. Amorphallus. Http://Amintro.Htm. Tanggal Akses 26 Maret 2010

Anonimous, 2008. Pengembangan Produk Pangan Pabrikasi. Pusat Studi Pangan Dan Gizi IPB Bogor.

Anonimous, 1996. Http://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Klorofil. Tanggal Akses 9 Januari 2010.

Apriyantono, Dkk. 1988. Analisis Pangan. IPB Press. Bogor.

Arifah. T. R. 2003. Perbandingan Keefektifan Berbagai Cara Untuk Mengurangi Racun Dioskorin Dalam Umbi Gadung. Fakultas MIPA. Universitas Negeri Malang.

Astono, Kusno, Achmad Winarto, Dan Suwandi, 1993. Kacang Tanah. Dept. Pertanian. Balai Penelitian, Pusat Dan Pengembangan Tanaman Pangan. Balai Penelitian Tanaman Pangan. Malang.

Atkins, P. W, 1997. Kimia Fisika jilid 2. Erlangga. Jakarta.

Badrudin. A. 1993. Sekilas Mengenai Hutan Bakau Di Propinsi Riau. Makalah Disampaikan Dalam Seminar Sehari Deforesasi Hutan Mangrove. 7 Januari 1993. Fakultas Perikaan Universitas Riau. Pekanbaru 10 Hal.

Bradbury, J. H And Hallowey. W. D. 2003. Chemistri Of Tropical Roots Corps. ACI. Canbera.

Brady, James. 1999. Kimia Untuk Universitas. Erlangga. Jakarta.

Budiono. S. 1998. Kombinasi Konsentrasi Abu Dan Garam Serta Lama Perendaman Terhadap Kualitas Kripik Gadung. Skripsi Teknologi Hasil Pertanian Universitas Brawijaya. Malang.

Day, R. A & A. L. Underwood. (1996). Analisa Kimia Kuantitatif. Erlangga. Jakarta.


(5)

  74

Dawson, ES, JA Lamptey, P.N.T Johnson, G A Annor And A. Budu. 2006. Effect Of Processing Method On The Chemical Composition And Rheological Properties Of Flour From Four New Cassava Variaties. Departement Of Nutrition And Food Science University Of Ghana. Ghana. Desrosier, N.W., 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Terjemahan

Mulyoharjo, M, Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Dweck, A. C. The Wild Yam A Review. Personal Care Magazine 3.

Http://Www.Google.Com. Tanggal Akses 9 Januari 2010.

Effendi, T. A. 2001. Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Umbi Gadung Terhadap Pertumbuhan Dan Mortalitas Larva Plutella Xy Latella. Dalam Proseding Seminar Nasional Hasil Penelitian. Bogor.

Gaspersz, V. 1991. Metode Perancangan Percobaan. Armico. Bandung.

Hutabarat, S. Dan Evans M.S. 1985. Pengantar Oceanografi. Universitas Indonesia Press Jakarta. 159 Hal.

Koeswara, S. 1995. Teknologi Pengolahan Kedelai Menjadi Makanan Bermutu. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

Kordylas. J. M. 1991. Processing And Preservation Of Tropical And Subtropical Food. Mac Millan Education. Hamshire.

Mohson, 2006. Hand Book: Mengenal Mangrove. Surabaya.

Muchtadi. S, Sugiono. 1992. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan Dan Gizi IPB. Bogor Muchtadi, T.R. 1989. Petunjuk Laboratorium Teknologi Proses Pengolahan

Pangan Pusat Antar Universitas Pangan Dan Gizi IPB. Bogor.

Muljohardjo, M, Haryadi Dan P, Pudjimulyani. 1984. Proses Penghilangan Racun Dioskorin Dalam Gadung. Tiara Wacana. Yogyakarta.

Mulyani. 1990. Pengolahan gadung sebagai hasil pertanian. IPB. Bogor. Murni, H. 2008. Potensi Mangrove Sebagai Tanaman Obat. Yogyakarta.


(6)

Nontji, 1987. The Uses Of Mangrove. AIMS Research. URL Http:// Www.Aims.Gov.Au/Australia Institute Of Marine Science.

Pembayun, R. 2000. Hydro Cyanic Acid And Organoleptic Test On Gadung Instan Rise From Various Method Of Detocsification. Proseding Seminar Nasional Industry Pangan CO-13. 97-107.

Rahmawati, E. 1993. Pembuatan Chip Kimpul Kajian Dari Cara Proses Serta Konsentrasi Garam Dan Abu. Jurusan Teknik Pertanian. Fakultas Teknik Pertanian Brawijaya. Malang.

Santoso, D R Dan H. M. Kusnadi, 1986. Analisis Regresi. Andi Offset. Yogyakarta.

Siritungan, D And R. T. Sayre. 2003. Generation Of Cianogen-Free Transgenic Cassava. Department Of Plant Biologi The Ohio State Of University. Ohio.

Sudarmadji, S., B. Haryono, Suhardi. 1997. Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan Dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta.

Suksmadji, B. 1988. Pengalengan Bahan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan Dan Gizi, UGM. Yogyakarta.

Susanto, T Dan Saneto. 1994. Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian. Bina Ilmu. Surabaya.

Takeda. K. 1972. The Steroidal Sapogenins Of The Dioscoreaceae. Shiomogo And L,Td. Osaka.

Ulul Hikmah, 2006. Pengaruh Jenis Dan Konsentrasi Larutan Perendaman (Garam Dapur Dan Abu Dapur) Terhadap Kadar Oksalat Dan Karakteristik Fisiko Kimia Tepung Umbi Suweg (Amorphophallus Campanulatus). Jurusan Teknologi Hasil Pertania. Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang.

Winarno, F. G. 1995. Kimia Pangan Dan Gizi. PT. Gramedia. Jakarta.

Wildolz, M. 1976. The Merek Index Ninety Idention Of Chemical And Drug. Merek And Co. New York.

Yuwono . S. S Dan T. Sutanto.1998. Pengujian Sifat Fisik Pangan. FTP. Unibraw. Malang.