Kerangka Pemikiran TINJAUAN PUSTAKA

43

2.3 Kerangka Pemikiran

Jalal dalam Napitupulu 2009 mengatakan bahwa tingginya angka pengangguran pada lulusan perguruan tinggi menunjukkan proses pendidikan di perguruan tinggi kurang menyentuh persoalan-persoalan nyata di dalam masyarakat. Jalal merekomendasikan untuk mengatasi hal tersebut salah satunya adalah dengan pendidikan dan pelatihan kewirausahaan di kampus-kampus agar para sarjana tidak berpikir hanya menjadi pencari pekerjaan, tetapi mereka bisa menciptakan peluang usaha baik bagi diri sendiri maupun orang lain karena mereka sudah memperoleh pelatihan di kampus. Fakta lain menunjukkan bahwa para pelaku usaha kecil lebih banyak berasal dari lulusan sekolah menengah SMP dan SMA. Tidak sedikit pula bisnis mereka berjalan seadanya. Untuk itu, pentingnya pembinaan kewirausahaan ternyata tidak hanya perlu dilakukan di level perguruan tinggi, namun harus dimulai pula pada level sekolah menengah bahkan di luar sekolah. Pentingnya pengembangan kewirausahaan juga ditunjukkan oleh Chang 2009 yang menyatakan bahwa pemerintahan Inggris menerbitkan buku putih nasionalnya yang berjudul: Our Competitive Future: Building the Knowledge Driven Economy 1999, yang berisi alasan mengapa kewirausahaan begitu penting dan bahwa kewirausahaan dan inovasi merupakan insentif kritis untuk pertumbuhan dan pengembangan perekonomian, keduanya dapat meningkatkan produktivitas dan kesempatan kerja. Di Amerika Serikat para wirausaha berhasil menciptakan 34 juta kesempatan kerja baru. McClelland dalam Ciputra 2008 menyatakan bahwa agar suatu negara bisa menjadi makmur dibutuhkan minimum 2 jumlah wirausaha dari total jumlah penduduknya. Amerika Serikat pada tahun 2007 telah memiliki 11,5 44 jumlah wirausaha, Singapura telah memiliki 7,2 wirausaha sampai pada tahun 2005 sementara Indonesia diperkirakan hanya memiliki 0,18 wirausaha atau sekitar 440.000 orang dari yang seharusnya berjumlah 4,4 juta orang. Oswari 2005 menyatakan bahwa kurangnya jumlah wirausaha di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor yakni kurangnya pengetahuan tentang kewirausahaan, etos kerja yang kurang menghargai kerja keras, cepat merasa puas dengan hasil kerja yang telah dicapai, pengaruh penjajahan negara asing yang terlalu lama terhadap rakyat Indonesia dan kondisi ekonomi yang buruk. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk meneliti variabel-variabel yang bisa meningkatkan intensi kewirausahaan. Indarti dkk 2008 menyatakan bahwa intensi kewirausahaan dipengaruhi oleh sejumlah faktor yakni kepribadian, lingkungan atau kesiapan instrumen dan demografis. Scarborough dan Zimmerer 1993 menyatakan bahwa kepribadian merupakan salah satu hal yang dimiliki wirausaha sukses. Muhyi 2007 menyatakan bahwa kepribadian yang mempengaruhi kewirausahaan adalah motif berprestasi, komitmen, nilai-nilai kepribadian, pendidikan dan pengalaman. Crant dalam Saud dkk 2009 menemukan bahwa intensi kewirausahaan dipengaruhi oleh variabel demografis seperti jender, tingkat pendidikan dan orang tua yang memiliki bisnis. Pentingnya variabel demografis juga ditunjukkan oleh Mazzarol dkk yang menyatakan bahwa variabel jender, umur, pendidikan dan pengalaman bekerja seseorang berpengaruh terhadap keinginannya untuk menjadi seorang wirausaha. Muhyi 2007 menyatakan bahwa variabel lingkungan mempengaruhi intensi kewirausahaan, dari faktor lingkungan ini yang mempengaruhi faktor lingkungan adalah peluang, model peran dan aktivitas. 45 Pengaruh kepemilikan jaringan sosial terhadap intensi kewirausahaan ditunjukkan oleh Mazzarol dkk dalam Indarti dkk 2008. Dari berbagai hasil penelitian dan pendapat para ahli di atas terlihat bahwa intensi berwirausaha dipengaruhi oleh faktor personal dan lingkungan. Faktor Personal dimaksud meliputi faktor kepribadian dan faktor demografis. Gambar 1. Kerangka Pemikiran yang Digunakan dalam Penelitian Intensi Berwirausaha ini

2.4 Hipotesis Penelitian