Factors Establishing the Entrepreneurial Intentions and Its Effects to Behavior and Performance of the Street Vendros in Bogor City

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMBENTUK INTENSI BERWIRAUSAHA

SERTA PENGARUHNYA TERHADAP PERILAKU DAN KINERJA PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA BOGOR

MUMUH MULYANA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

(3)

iii

PERNYATAAN

MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan bahwa Tesis yang berjudul Faktor-faktor yang Membentuk Intensi

Berwirausaha serta Pengaruhnya Terhadap Perilaku dan Kinerja Pedagang Kaki Lima

di Kota Bogor adalah sebagai hasil karya dengan arahan dari Komisi Pembimbing

dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.

Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini.

Bogor, Juli 2012


(4)

(5)

v

ABSTRACT

MUMUH MULYANA, Factors Establishing the Entrepreneurial Intentions and Its Effects to Behavior and Performance of the Street Vendros in Bogor City. Thesis. Management Department, Economic and Management Faculty, Bogor Agricultural University. Supervised by MA’MUN SARMA and WILSON HALOMOAN LIMBONG.

Street Vendors are a form of informal sector in people economy. The rapid growth of street vendors gives a contribution to the region economy such as labour opportunity. The objectives of this study takes are: to identify the street vendors’ characteristics, to analyze relation between street vendors’ characteristics and entrepreneurial intention, to identify and to analyze factors that establishing the entrepreneurial intention, to analyze the relation between entrepreneurial intention and street vendors’ performance, and to analyze the relation between entrepreneurial intention and street vendors’ entrepreneurial behavior.

The data were obtained from the questionnaire distributed to 122 respondents. The data were analyzed using partial least square with SmartPLS Software. In the analysis of the initial model, it was obtained eleven indicators which less than 0,50. The repairs of the model carried out by executing the eleven indicators. The result of the analysis are (1) the majority of the Street Vendors are male, aged under 40 years, junior high school graduated, came from Bogor, member of family less than 4 peoples, never worked, untrained, capital less than IDR 3 milion, experienced more than 10 years, operating for 6.5-9 hours per day, his own business, and brutto’s income between IDR 250,000 to IDR 500,000; (2) the Street Vendors’ Characteristics unrelated with the Entrepreneurial Intention; (3) Demography factor and External Environmental are have insignificant positive effect to Entrepreneurial Intention, but Personality factor is have significant positive effect to entrepreneurial intention; (4) the Entrepreneurial Intention is have insignificant positive effect to entrepreneurial performance but significant positive to entrepreneurial behavior. Furthermore, in order to evaluate the goodness of fit of the model, further research both productivity and market share using the model should be conducted.

Keywords: entrepreneurial intention, entrepreneurial performance, entrepreneurial behavior, street vendors, partial least squares.


(6)

vi

RINGKASAN

MUMUH MULYANA, Faktor-faktor yang Membentuk Intensi Berwirausaha serta Pengaruhnya Terhadap Perilaku dan Kinerja Pedagang Kaki Lima di Kota Bogor. Tesis. Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan MA’MUN SARMA dan WILSON HALOMOAN LIMBONG)

Kawasan Jalan Suryakencana Kota Bogor, sebagai sebuah kawasan yang padat dengan Pedagang Kaki Lima (PKL) telah memberikan kontribusi nyata terhadap geliat perkembangan perekonomian Kota Bogor. Lebih dari seratus pedagang kaki lima beroperasi di kawasan ini setiap harinya selama 24 jam secara bergantian. Mereka tampil dan berbisnis dengan kondisi seadanya. Maka tidak jarang usaha mereka banyak yang tidak berkembang dengan pesat walaupun telah memulai usaha sejak 10 tahun yang lalu. Walau demikian, tidak sedikit pelaku usaha kecil mampu meraih kesuksesan sekalipun usaha dijalankan dengan kemampuan dan sumber daya yang relatif seadanya.

Kesuksesan usaha para PKL sangat dipengaruhi oleh adanya intensi berwirausaha (entrepreneurial intention). Para PKL yang tidak memiliki kekuatan intensi berwirausaha, tidak akan termotivasi untuk terus berwirausaha dan mengembangkan usahanya. Mengingat tantangan dan hambatan yang dihadapi dalam berwirausaha tidaklah mudah. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi terbentuknya intensi berwirausaha para pedagang kaki lima. Tujuan penelitian ini ingin mencoba menguraikan tentang karakteristik individu PKL, menganalisis hubungan karakteristik PKL dengan intensi berwirausaha, menganalisis faktor-faktor yang dominan membentuk intensi berwirausaha, menganalisis pengaruh intensi berwirausaha terhadap kinerja kewirausahaan, serta menganalisis pengaruh intensi berwirausaha terhadap perilaku berwirausaha.

Penelitian ini dilakukan di Kota Bogor yang memiliki 12.000 PKL di tahun 2010. Peneliti menetapkan responden PKL yang berada di sepanjang Jalan Suryakencana Kota Bogor. Lokasi penelitian ini dipilih secara sengaja dengan


(7)

vii pertimbangan bahwa Kawasan Suryakencana merupakan kawasan yang memiliki potensi tinggi untuk berwirausaha dan telah banyak pedagang kaki lima yang berwirausaha di kawasan ini dengan rata-rata masa usaha melebihi sepuluh tahun. Data yang dikumpulkan meliputi data primer yang diperoleh secara langsung dari sumber data yaitu para PKL dengan metode wawancara menggunakan kuesioner dan data sekunder yang diperoleh melalui studi dokumentasi dengan mempelajari data-data yang berasal dari BPS, Pemerintah Kota Bogor, instansi terkait dan websitenya. Populasi penelitian ini adalah seluruh PKL di Sepanjang Jalan Suryakencana Kota Bogor yang berjumlah 122 pedagang sampai dengan tanggal 20 Mei 2012. PKL dimaksud merupakan pedagang makanan, pedagang minuman, pedagang buah, pedagang lukisan, pedagang perabot dan pedagang mainan. Desain penelitian yang dilakukan adalah metode survey. Untuk menganalisis data digunakan pendekatan

Partial Least Square (PLS) dengan menggunakan software SMARTPLS versi 2.0 M. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik PKL di Jalan Suryakencana mayoritas adalah laki-laki, berusia di bawah 40 tahun, berpendidikan SMP, berasal dari Kota Bogor, memiliki jumlah tanggungan keluarga kurang dari 4 orang, tidak pernah bekerja sebelumnya, tidak pernah mengikuti Pelatihan Kewirausahaan, bermodal awal kurang dari Rp 3 juta, sudah berwirausaha lebih dari 10 tahun, beroperasi selama 6,5 – 9 jam per harinya, menjalani usaha milik sendiri, dan beromset antara Rp 250 ribu sampai dengan Rp 500 ribu. Semua unsur-unsur dalam Karakteristik Individu dan Karakteristik Usaha PKL tidak memiliki hubungan dengan Intensi Berwirausaha, kecuali Lamanya Berwirausaha. Faktor demografi dan Lingkungan Eksternal berpengaruh tidak nyata terhadap Intensi Berwirausaha PKL. Faktor Kepribadian cukup berpengaruh terhadap Intensi Berwirausaha. Intensi Berwirausaha berpengaruh tidak nyata terhadap Kinerja Kewirausahaan namun cukup berpengaruh terhadap Perilaku Berwirausaha Pedagang Kaki Lima.

Kata Kunci: intensi berwirausaha, kinerja kewirausahaan, perilaku berwirausaha, pedagang kaki lima, partial least square


(8)

viii

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(9)

ix FAKTOR-FAKTOR YANG MEMBENTUK

INTENSI BERWIRAUSAHA

SERTA PENGARUHNYA TERHADAP PERILAKU DAN KINERJA PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA BOGOR

MUMUH MULYANA

TESIS

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

Pada Program Studi Ilmu Manajemen Departemen Manajemen

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(10)

x


(11)

xi Judul Tesis : Faktor-Faktor Yang Membentuk Intensi

Berwirausaha Serta Pengaruhnya Terhadap Perilaku Dan Kinerja Pedagang Kaki Lima Di Kota Bogor

N a m a : Mumuh Mulyana

N R P : H251100061

Program Studi : Ilmu Manajemen

Disetujui :

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Ma’mun Sarma, M.S., M.Ec. Prof. Dr. Ir. Wilson H. Limbong, M.S.

Ketua Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Manajemen

Dr. Ir. Abdul Kohar Irwanto, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.


(12)

(13)

xiii

PRAKATA

Dengan memanjatkan puji dan syukur ke Hadirat Allah SWT, tesis penelitian yang berjudul Faktor-faktor Yang Membentuk Intensi Berwirausaha serta Pengaruhnya terhadap Perilaku dan Kinerja Pedagang Kaki Lima di Kota Bogor dapat diselesaikan.

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan utama mengidentifikasi dan menganalisa faktor-faktor yang berhubungan dan membentuk intense berwirausaha para Pedagang Kaki Lima. Di samping itu, untuk menganalisis sejauh mana implikasinya terhadap kinerja kewirausahaan dan perilaku berwirausaha. Hal ini penting untuk diukur dan dicermati, mengingat peran UKM atau pedagang kecil begitu besar dalam pengembangan perekonomian nasional.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat Bapak Dr. Ir. Ma’mun Sarma, M.S., M.Ec. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Prof. Dr. Ir. Wilson Halomoan Limbong, M.S. selaku Anggota Komisi Pembimbing yang selama ini tidak pernah bosan untuk senantiasa membimbing, mengarahkan dan memotivasi Penulis untuk dapat menyelesaikan tesis penelitian ini.

Rasa terima kasih pun penulis sampaikan kepada orang-orang yang Penulis cintai, sayangi dan hormati yang telah memberi dukungan dan membantu Penulis dalam menyelesaikan tesis penelitian ini, yaitu sebagai berikut :

1. Bapak dan Ibu kandung yang selalu memberikan dukungan moril dan spiritual kepada Penulis

2. Bapak dan Ibu Mertua yang telah banyak memberikan dorongan moril dan material dalam penyelesaian tesis penelitian ini

3. Istri dan anakku yang tiada henti-hentinya memberikan dukungan dalam suka dan duka, yang senantiasa membangkitkan semangat dan menghibur di kala mengalami kesulitan


(14)

xiv

4. Adik-adik Penulis (Emis Misdiwanti dan Deni, Asep Wahyudi dan Santi, Endah dan Idris, Arif Hamzah dan Erti, serta Aditya Hamzah) yang selalu memberikan dukungan agar terus bersemangat dalam menyelesaikan studi di Institut Pertanian Bogor

5. Bapak Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr. selaku Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah banyak membantu Penulis

6. Bapak Dr. Ir. Abdul Kohar Irwanto, M.Sc. selaku Ketua Program Studi Ilmu Manajemen yang selalu memonitoring studi Penulis agar cepat selesai

7. Bapak Dr. Ir. Muhamad Syamsun, M.Sc. yang telah memberi arahan perbaikan tesis ini.

8. Seluruh Staf Pengajar pada Program Studi Ilmu Manajemen yang telah banyak memberikan ilmu-ilmu kepada Penulis

9. Para Pedagang Kaki Lima di sepanjang Jalan Suryakencana Bogor yang telah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini

10. Bapak Budi Setiawan, SE., M.Si. yang senantiasa memberi dukungan dan mendampingi dalam setiap proses penyelesaian studi.

11. Bapak Hermawan, SE. dan Bapak Ujang, SE. yang selalu siap “direpotkan”. 12. Teman-teman seangkatan (Manajemen 2010) yang selalu kompak.

13. Serta berbagai pihak yang telah membantu dan mendukung Penulis.

Semoga Tesis ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang Ilmu Manajemen.

Bogor, Juli 2012


(15)

xv

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 17 Juni 1976 sebagai anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan A. Suminta dan Nuryati. Pendidikan Sarjana ditempuh di Program Studi Manajemen Pemasaran STIE Kesatuan Bogor, lulus tahun 2003. Pada tahun 2004, Penulis menikah dengan Sofie Kurnia Asih, SE. kemudian di tahun 2005 dikaruniai seorang putri (Hanan Fakhira Sa’diyyah)

Karir di bidang pekerjaan, Penulis mulai dari tahun 1998 sebagai Tenaga Administrasi pada Lembaga Pendidikan Al Qur’an dan Bahasa Arab el-BAIT sekaligus menjadi Desainer Percetakan dan Penerbitan Al Iqtishodiyyah. Di bulan April 2000, Penulis bergabung pada Akademi Manajemen Kesatuan sebagai Tenaga Administrasi Akademik. Sejak itulah, Penulis bersentuhan dan berkecimpung lebih banyak dalam pendidikan tinggi. Di pertengahan tahun 2005, diamanati tugas menjadi asisten dosen untuk melaksanakan program pengajaran pada Program Diploma 3 Manajemen Pemasaran. Bidang kajian yang menjadi tanggungjawab Penulis adalah Pemasaran dan Perilaku Konsumen. Tahun 2006 sampai dengan 2009 menjabat sebagai Ketua Program Studi Manajemen Pemasaran Diploma 3. Mulai Agustus 2009 sampai dengan sekarang, dipromosikan untuk mengemban amanat sebagai Sekretaris Jurusan Manajemen yang bertanggungjawab atas tiga program studi. Mulai pertengahan tahun 2010, Penulis melaksanakan tugas belajar di Institut Pertanian Bogor melalui mekanisme pendanaan Beasiswa Pendidikan Program Pascasarjana (BPPS) Departemen Pendidikan Nasional.

Beberapa karya tulis yang telah Penulis hasilkan antara lain: 1) berupa buku ajar: Modul Kewirausahaan, Ekonomi Kreatif dan Praktek Pemasaran, Perilaku Konsumen, dan Modul Pemasaran Ritel, 2) berupa hasil penelitian yang dipublikasi dalam Jurnal Ilmiah Kesatuan ISSN 1411-08X, Jurnal Ilmiah Akuntansi dan Manajemen Ranggagading ISSN 1411-9552 dan Jurnal Manajemen Universitas Ibn Khaldun ISSN 2086-7840.


(16)

(17)

xvii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRACT ... v

RINGKASAN ... vi

HALAMAN JUDUL ... ix

LEMBAR PENGESAHAN ... xi

PRAKATA... xiii

RIWAYAT HIDUP ... xv

DAFTAR ISI ... xvii

DAFTAR TABEL ... xx

DAFTAR GAMBAR ... xxii

DAFTAR LAMPIRAN ... xxiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Penelitian ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

1.5 Batasan Masalah ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Tinjauan Teori ... 9

2.1.1 Kewirausahaan dan Wirausaha ... 9

2.1.2 Kepribadian ... 10

2.1.3 Kebutuhan Akan Prestasi ... 12

2.1.4 Efikasi Diri ... 15

2.1.5 Demografi ... 16


(18)

xviii

2.1.7 Ketersediaan Informasi Kewirausahaan ... 22

2.1.8 Akses kepada Modal ... 23

2.1.9 Kepemilikan Jaringan Sosial ... 24

2.1.10 Intensi Berwirausaha ... 26

2.1.11 Perilaku Berwirausaha ... 29

2.1.12 Kinerja Kewirausahaan ... 29

2.1.13 Pedagang Kaki Lima ... 31

2.1.14 Partial Least Square ... 32

2.1.15 Analisis Faktor Konfirmatori ... 35

2.2 Hasil Penelitian Terdahulu ... 36

2.3 Kerangka Pemikiran ... 43

2.4 Hipotesis Penelitian ... 45

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 46

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 46

3.2 Jenis dan Sumber Data ... 46

3.3 Populasi Penelitian ... 47

3.4 Desain Penelitian ... 47

3.5 Metode Pengumpulan Data ... 47

3.6 Operasionalisasi Variabel ... 48

3.7 Uji Instrumen Penelitian ... 49

3.7.1 Uji Validitas ... 49

3.7.2 Uji Reliabilitas ... 51

3.8 Pengolahan dan Analisis Data ... 53

3.8.1 Model Struktural atau Inner Model ... 55

3.8.2 Model Pengukuran atau Outer Model ... 55

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 57

4.1 Deskripsi Daerah Penelitian ... 57

4.2 Karakteristik Pedagang Kaki Lima ... 59

4.2.1 Karakteristik Individu ... 60


(19)

xix 4.3 Hubungan Karakteristik Pedagang Kaki Lima dengan Intensi

Berwirausaha ... 70

4.3.1 Hubungan Karakteristik Individu dengan Intensi Berwirausaha ... 71

4.3.2 Hubungan Karakteristik Usaha dengan Intensi Berwirausaha ... 72

4.4 Faktor-faktor yang Membentuk Intensi Berwirausaha Pedagang Kaki Lima ... 73

4.4.1 Model Intensi Berwirausaha terhadap Perilaku dan Kinerja Berwirausaha ... 73

4.4.2 Evaluasi Measurement (Outer) Model ... 75

4.4.3 Evaluasi Structural (Inner) Model ... 81

4.5 Hubungan Intensi Berwirausaha dengan Kinerja Kewirausahaan Pedagang Kaki Lima ... 88

4.6 Hubungan Intensi Berwirausaha dengan Perilaku Berwirausaha Pedagang Kaki Lima ... 89

4.7 Implikasi Manajerial ... 90

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 92

5.1 Kesimpulan ... 92

5.2 Saran ... 93

DAFTAR PUSTAKA ... 95


(20)

xx

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Perbandingan antara PLS dan SEM ... 33

2. Hasil Penelitian Terdahulu dan Perbedaannya dengan Penelitian ini ... 41

3. Variabel-variabel Yang Digunakan Dalam Penelitian Intensi Berwirausaha .. 48

4. Hasil Pengujian Validitas Kuesioner ... 50

5. Hasil Pengujian Reliabilitas Kuesioner ... 52

6. Distribusi Pedagang Kaki Lima Berdasarkan Jenis Produk ... 59

7. Distribusi Pedagang Kaki Lima Berdasarkan Jenis Kelamin ... 61

8. Distribusi Pedagang Kaki Lima Berdasarkan Usia ... 62

9. Distribusi Pedagang Kaki Lima Berdasarkan Pendidikan ... 62

10. Distribusi Pedagang Kaki Lima Berdasarkan Asal Daerah ... 63

11. Distribusi Pedagang Kaki Lima Berdasarkan Jumlah Tanggungan Keluarga . 64 12. Distribusi Pedagang Kaki Lima Berdasarkan Pengalaman Kerja ... 65

13. Distribusi Pedagang Kaki Lima Berdasarkan Keikutsertaan dalam Pelatihan Kewirausahaan ... 66

14. Distribusi Pedagang Kaki Lima Berdasarkan Modal Awal Usaha ... 67

15. Distribusi Pedagang Kaki Lima Berdasarkan Lamanya Berwirausaha ... 67

16. Distribusi Pedagang Kaki Lima Berdasarkan Jam Operasional Harian ... 68

17. Distribusi Pedagang Kaki Lima Berdasarkan Kepemilikan ... 69

18. Distribusi Pedagang Kaki Lima Berdasarkan Omset Penjualan ... 70

19. Hubungan Karakteristik Individu dengan Intensi Berwirausaha ... 71

20. Hubungan Karakteristik Usaha dengan Intensi Berwirausaha ... 73

21. Nilai Composite Reliability Variabel Laten dalam Model Intensi Berwirausaha PKL Kota Bogor ... 79

22. Korelasi Antar Konstruk Laten Dalam Model Intensi Berwirausaha Pedagang Kaki Lima Kota Bogor ... 80

23. AVE dan Akar AVE Variabel-variabel dalam Model Intensi Berwirausaha PKL Kota Bogor ... 81


(21)

xxi 24. Nilai R2 Konstruk Intensi Berwirausaha PKL Kota Bogor ... 82 25. Hasil Perhitungan Nilai Effect Size f2 Variabel-variabel laten eksogen

terhadap Intensi Berwirausaha ... 84 26. Nilai Q2 hasil penelitian yang dihitung dengan prosedur blindfolding atas

varaibel-variabel dalam Model Intensi Berwirausaha PKL Kota Bogor ... 84 27. Nilai Hasil Bootstrap Koefisien Path Terhadap Konstruk Intensi

Berwirausaha ... 84 28. Indikator-indikator Pembentuk Intensi Berwirausaha Menurut Karakteristik

Pedagang Kaki Lima Kota Bogor ... 86 29. Nilai Hasil Bootstrap Koefisien Path Konstruk Intensi Berwirausaha

terhadap Kinerja Kewirausahaan ... 89 30. Nilai Hasil Bootstrap Koefisien Path Konstruk Intensi Berwirausaha


(22)

xxii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka Pemikiran yang Digunakan dalam Penelitian Intensi Berwirausaha ini ... 45 2. Model Awal Intensi Berwirausaha Pedagang Kaki Lima di Kota Bogor ... 74 3. Tampilan Hasil PLS Algorithm pada Model Awal Intensi Berwirausaha

Pedagang Kaki Lima di Kota Bogor ... 75 4. Tampilan Hasil PLS Algorithm pada Model Final Intensi Berwirausaha


(23)

xxiii DAFTAR LAMPIRAN

1. Kuesioner Penelitian untuk Pedagang Kaki Lima ... 101 2. Kuesioner In-depth Interview untuk Konsumen ... 106 3. Nilai Cross Loading pada Model Awal ... 107 4. Hasil Uji Chi Square Karakteristik Individu dengan Intensi Berwirausaha ... 109 5. Hasil Uji Chi Square Karakteristik Usaha dengan Intensi Berwirausaha ... 112 6. Hasil Uji Korelasi Rank Spearman Karakteristik Individu dengan Intensi

Berwirausaha ... 113 7. Hasil Uji Korelasi Rank Spearman Karakteristik Usaha dengan Intensi

Berwirausaha ... 114 8. Nilai Cross Loading pada Model Final ... 115 9. Hasil Bootstraping ... 117 10. Photo Para Pedagang Kaki Lima di Jalan Suryakencana Bogor ... 118 11. Model Final Intensi Berwirausaha PKL Laki-laki di Kota Bogor ... 119 12. Model Final Intensi Berwirausaha PKL Wanita di Kota Bogor ... 120 13. Model Final Intensi Berwirausaha PKL Asal Kota Bogor di Kota Bogor ... 121 14. Model Final Intensi Berwirausaha PKL Asal Luar Kota Bogor di Kota

Bogor ... 122 15. Model Final Intensi Berwirausaha PKL Makanan dan Minuma di Kota

Bogor ... 123 16. Model Final Intensi Berwirausaha PKL Non Makanan dan Minuman di

Kota Bogor ... 124 17. Model Final Intensi Berwirausaha PKL Milik Sendiri di Kota Bogor ... 125 18. Model Final Intensi Berwirausaha PKL Bukan Milik Sendiri di Kota Bogor . 126 19. Model Final Intensi Berwirausaha PKL Pernah Bekerja Kota Bogor ... 127 20. Model Final Intensi Berwirausaha PKL Belum Pernah Bekerja di Kota

Bogor ... 128 21. Model Final Intensi Berwirausaha PKL Pernah Pelatihan di Kota Bogor ... 129


(24)

xxiv

22. Model Final Intensi Berwirausaha PKL Belum Pernah Pelatihan di Kota Bogor ... 130 23. Model Final Intensi Berwirausaha PKL Berpendidikan SD dan Tidak

Sekolah di Kota Bogor ... 131 24. Model Final Intensi Berwirausaha PKL Berpendidikan SMP di Kota Bogor 132 25. Model Final Intensi Berwirausaha PKL Berpendidikan SMA danSarjana di

Kota Bogor ... 133 26. Model Final Intensi Berwirausaha PKL Berpengalaman Kurang dari 5

Tahun di Kota Bogor ... 134 27. Model Final Intensi Berwirausaha PKL Berpengalaman 5 – 10 tahun di

Kota Bogor ... 135 28. Model Final Intensi Berwirausaha PKL Berpengalaman Lebih dari 10 tahun

di Kota Bogor ... 136 29. Model Final Intensi Berwirausaha PKL Beroperasi Kurang dari 6,5 jam

perhari di Kota Bogor ... 137 30. Model Final Intensi Berwirausaha PKL Beroperasi 6,5 jam – 9 jam perhari

di Kota Bogor ... 138 31. Model Final Intensi Berwirausaha PKL Beroperasi Lebih dari 9 Jam perhari


(25)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Intensi berwirausaha (entrepreneurial intentions) menurut Katz dan Gartner (Indarti & Rostiani, 2008) yaitu proses pencarian informasi yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pembentukan suatu usaha. Seseorang dengan intensi untuk memulai usaha akan memiliki keyakinan diri (efikasi diri), kesiapan dan kemajuan yang lebih baik dalam usaha yang dijalankan dibandingkan seseorang tanpa intensi untuk memulai usaha. Intensi telah terbukti menjadi prediktor yang terbaik bagi perilaku kewirausahaan. Oleh karena itu, intensi dapat dijadikan sebagai pendekatan dasar yang masuk akal untuk memahami siapa-siapa yang akan menjadi wirausaha (Choo dan Wong dalam Indarti & Rostiani, 2008). Wijaya (2008), memberikan gambaran yang jelas dalam hasil penelitiannya, bahwa intensi berwirausaha berkontribusi nyata terhadap perilaku berwirausaha para pedagang kecil / UKM. Intensi merupakan sumber motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan apa yang ingin dilakukan bila seseorang bebas memilih. Ketika seseorang menilai bahwa sesuatu akan bermanfaat, maka akan terbentuk intensi yang kemudian hal tersebut akan mendatangkan kepuasan. Ketika kepuasan menurun maka intensinya juga akan menurun sehingga intensi tidak bersifat permanen, tetapi bersifat sementara atau dapat berubah-ubah.

Individu yang mempunyai intensi pada suatu kegiatan akan melakukannya dengan giat daripada kegiatan yang tidak diminatinya. Minat tinggi berarti kesadaran bahwa wirausaha melekat pada dirinya sehingga individu lebih banyak perhatian dan lebih senang melakukan kegiatan wirausaha. Tumbuhnya minat dipengaruhi oleh masuknya


(26)

2

informasi secara memadai tentang objek yang diminati. Informasi keberhasilan sebuah usaha memunculkan pemahaman kepada pemirsanya bahwa wirausaha memiliki prospek keberhasilan yang sudah terbukti.

Pedagang Kaki Lima (PKL) sebagai salah satu bentuk wirausaha kecil, dari hari ke hari terus bermunculan akibat sulitnya lapangan pekerjaan. Mereka menjalankan usaha sebagai upaya mereka mempertahankan hidup. Kota Bogor sebagai kota satelit yang terakses langsung dengan ibukota negara, memiliki banyak Pedagang Kaki Lima. Keberadaan PKL di Kota Bogor didukung oleh Peraturan Daerah No 13 tahun 2005 tentang penataan Pedagang Kaki Lima. Dalam PERDA disebutkan bahwa keberadaan PKL di Kota Bogor pada dasarnya adalah hak masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup dan PKL merupakan usaha ekonomi kerakyatan yang perlu pembinaan dan penataan dalam melaksanakan usahanya.

Pertumbuhan PKL di kota Bogor semakin meningkat setelah terjadinya krisis ekonomi mulai pertengahan tahun 1997. Hasil pendataan oleh Pemerintah Derah, pada tahun 1996 tercatat Pedagang Kaki Lima di titik-titik pusat keramaian berjumlah 2.140 pedagang, kemudian pada akhir tahun 1999 berdasarkan hasil survei Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (Pinbuk) Kota Bogor jumlahnya hampir tiga kali lipat menjadi 6.340 pedagang. Pada akhir tahun 2002 berdasarkan hasil pendataan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor jumlah PKL meningkat lagi menjadi 10.350 Pedagang, yang tersebar di 51 titik PKL, dimana 82% dari para pedagang tersebut berasal dari luar Kota Bogor. Tahun 2004 terdapat 50 lokasi PKL dengan

jumlah pedagang sekitar 12.000 PKL (Renstra Kota Bogor 2005-2009). Pola sebaran

Pedagang Kaki Lima tidak merata, dimana terdapat 6 titik konsentrasi PKL terbanyak, yaitu Jl Dewi Sartika (depan Sartika Plaza), Jalan MA Salmun, Jalan Suryakencana,


(27)

3

Jalan Lawang Saketeng, Jl. Jambu Dua (Pasar), dan Jl. Jambu Dua (Jl. Pajajaran Ujung Utara). Hal ini menunjukkan bahwa wilayah pusat perekonomian berada di Kota Bogor.

Kawasan Jalan Suryakencana Bogor, sebagai sebuah kawasan yang padat dengan Pedagang Kaki Lima telah memberikan kontribusi nyata terhadap geliat perkembangan perekonomian Kota Bogor. Bermilyar-milyar rupiah transaksi bisnis berputar di kawasan ini. Pedagang Besar dan Menengah yang sebagian besar dikuasai oleh Pedagang WNI Keturunan telah banyak memberi peran besar pada perputaran perekonomian di kawasan ini. Kondisi ini memberi daya tarik tersendiri dan keuntungan bagi Pedagang Kaki Lima. Sehingga lebih dari seratus lima puluh Pedagang Kaki Lima beroperasi di kawasan ini setiap harinya selama 24 jam secara bergantian. Mereka tampil dan berbisnis dengan kondisi seadanya. Operasionalisasi usaha mereka cenderung tidak tersentuh dengan manajemen dan tata kelola usaha yang semestinya. Maka tidak jarang usaha mereka banyak yang tidak berkembang dengan pesat walaupun telah memulai usaha sejak 10 tahun yang lalu.

Usaha PKL biasanya dijalankan hanya dengan mengandalkan intuisi dan peluang bisnis yang ada. Bahkan tidak jarang, usaha mandiri tersebut dijalankan sebagai kelanjutan dari bisnis yang sebelumnya telah dijalankan orangtua atau keluarganya. Sehingga hampir tidak terdapat “sentuhan” manajerial yang mumpuni dalam operasionalisasinya. Usaha mandiri dijalankan seolah penuh dengan ketidaksengajaan dan tidak adanya rencana. Bahkan sebagian pedagang menyatakan pilihan mereka untuk berwirausaha adalah untuk menghindari status pengangguran dan tidak memiliki penghasilan. Walau demikian, tidak sedikit pelaku usaha kecil mampu meraih kesuksesan sekalipun usaha dijalankan dengan kemampuan dan sumber daya yang relatif seadanya. Berjalannya dan atau berhasilnya usaha para Pedagang Kaki Lima di


(28)

4

kawasan tersebut sangat dipengaruhi oleh adanya intensi berwirausaha (entrepreneurial intention) untuk menjalankan usaha masing-masing Pedagang Kaki Lima. Para Pedagang Kaki Lima yang tidak memiliki kekuatan intensi berwirausaha, tidak akan termotivasi untuk terus berwirausaha dan mengembangkan usahanya. Mengingat tantangan dan hambatan yang dihadapi dalam berwirausaha tidaklah mudah. Untuk berwirausaha tidak cukup hanya bermodalkan keyakinan, rasa percaya diri, sifat prestatif dan mandiri yang kuat, namun dibutuhkan pula minat pada usaha yang ingin ditekuninya.

Ringkasnya, Pedagang Kaki Lima tidak akan bertahan untuk tetap berwirausaha, jika tidak memiliki intensi berwirausaha, mengingat hambatan dan tantangannya yang begitu besar. Pedagang Kaki Lima yang memiliki intensi berwirausaha yang kuat, jika memiliki kegagalan pada satu jenis usaha tertentu maka ia tidak menyerah dan berhenti begitu saja, namun ia akan tetap berwirausaha dengan mencoba dan berusaha pada jenis usaha yang lainnya. Tentu sikap ulet seperti ini menjadi suatu hal yang sangat penting, terutama jika dikaitkan dengan angka pengangguran yang terus meningkat.

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi terbentuknya intensi berwirausaha para Pedagang Kaki Lima. Penelitian ini ingin mencoba menguraikan dan mengukur tingkat hubungan di antara faktor-faktor tersebut dengan intensi berwirausaha. Di samping itu, akan dianalisis pula keterkaitan intensi berwirausaha dengan kinerja kewirausahaan dan perilaku berwirausaha Pedagang Kaki Lima.

1.2 Perumusan Masalah

Pedagang Kaki Lima telah menjadi bagian dari perilaku konsumen dalam berbelanja untuk memenuhi keinginan dan kebutuhannya. Terdapat banyak potensi dan


(29)

5

alasan yang mendasari Pedagang Kaki Lima untuk tetap bertahan dan berwirausaha sebagai Pedagang Kaki Lima. Walaupun pada sisi lain, Pedagang Kaki Lima tidak lepas dari permasalahan dan hambatan yang harus dihadapinya. Mulai dari permasalahan keuangan sampai dengan masalah penertiban oleh pemerintah kota dan ancaman dari orang-orang yang hendak mengambil keuntungan pribadi seperti pemalak. Masalah dan hambatan tersebut tidak melunturkan semangat dan intensi para Pedagang Kaki Lima untuk tetap berwirausaha dan meningkatkan kinerja kewirausahaannya.

Fakta menunjukkan bahwa sebagian Pedagang Kaki Lima di Kawasan Jalan Suryakencana Bogor merupakan Pedagang Kaki Lima yang telah berwirausaha lebih dari sepuluh tahun dengan jenis usaha/dagangan yang sama sejak awal berdirinya sampai dengan sekarang. Sebagian lagi merupakan Pedagang Kaki Lima yang sudah lama berwirausaha namun mengalami perubahan produk yang dijualnya akibat mengalami kegagalan dengan produk yang awal. Sebagian lagi merupakan pedagang baru yang mencoba dan berusaha untuk meraup keuntungan dan kesuksesan dengan berwirausaha di kawasan Jalan Suryakencana. Beberapa Pedagang Kaki Lima yang biasanya ditemui oleh pelanggannya, sekarang sudah tidak beroperasi lagi.

Satu faktor yang membuat bertahannya para Pedagang Kaki Lima dengan usahanya di kawasan Jalan Suryakencana lebih banyak didasari adanya intensi berwirausaha yang kuat pada diri mereka. Lemahnya Intensi Berwirausaha membuat para Pedagang Kaki Lima tidak mempertahankan usahanya, bahkan tidak mau berganti kepada produk lainnya. Sehingga menjadi penting, untuk mengetahui faktor-faktor yang membentuk intensi berwirausaha di kalangan Pedagang Kaki Lima dan mengidentifikasi faktor yang dominan mempengaruhinya. Faktor-faktor yang diperkirakan berpengaruh terhadap intensi berwirausaha para Pedagang Kaki Lima


(30)

6

adalah aspek demografis, kepribadian dan lingkungan eksternal. Sejalan dengan yang telah dikemukakan pada latar belakang, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana karakteristik individu Pedagang Kaki Lima ?

2. Bagaimana hubungan karakteristik Individu Pedagang Kaki Lima dengan intensi

berwirausaha?

3. Faktor-faktor apa saja yang dominan membentuk intensi berwirausaha para

Pedagang Kaki Lima?

4. Bagaimana pengaruh intensi berwirausaha terhadap kinerja kewirausahaan para

Pedagang Kaki Lima?

5. Bagaimana pengaruh intensi berwirausaha terhadap perilaku berwirausaha para

Pedagang Kaki Lima?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi karakteristik individu para Pedagang Kaki Lima

2. Menganalisa hubungannya karakteristik individu dengan intensi berwirausaha

Pedagang Kaki Lima.

3. Mengidentifikasi dan menganalisa faktor-faktor yang membentuk intensi berwirausaha Pedagang Kaki Lima.

4. Menganalisa pengaruh intensi berwirausaha terhadap kinerja Pedagang Kaki Lima. 5. Menganalisa pengaruh intensi berwirausaha dengan perilaku berwirausaha


(31)

7 1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada pihak-pihak berikut: 1. Sebagai masukan bagi pimpinan Perguruan Tinggi atau Sekolah agar dapat

membuat kebijakan dan kurikulum yang mendorong dan meningkatkan intensi berwirausaha bagi para mahasiswa sehingga para mahasiswa dapat menjadi pencipta lapangan pekerjaan selama atau setelah lulus kuliah.

2. Sebagai masukan bagi pemerintah dalam membuat kebijakan dan program yang tepat untuk meningkatkan intensi berwirausaha para Pedagang Kaki Lima sehingga dapat membantu pemerintah menciptakan lapangan pekerjaan, mengurangi angka pengangguran masyarakat, menggerakkan perekonomian dan lain-lain.

3. Sebagai masukan bagi para mahasiswa atau pelajar sehingga bisa tertarik menjadi wirausaha dan dapat mempersiapkan diri dengan baik dan memadai sebelum terjun menjadi wirausaha.

4. Sebagai kontribusi terhadap ilmu pengetahuan dalam penelitian di bidang kewirausahaan.

5. Sebagai referensi bagi peneliti selanjutnya dalam melakukan penelitian yang sama di masa mendatang.

1.5 Batasan Masalah

Penelitian ini difokuskan pada analisis dan pengujian atas faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya intensi berwirausaha, perilaku dan kinerja kewirausahaan di kalangan Pedagang Kaki Lima. Responden yang diteliti adalah para Pedagang Kaki Lima di sepanjang Jalan Suryakencana. Kawasan ini termasuk kawasan yang memiliki perputaran uang terbesar di Kota Bogor. Wisatawan Domestik dan Asing menjadikan


(32)

8

kawasan Suryakencana sebagai destinasi utama saat melakukan perjalanan ke Bogor dan sekitarnya. Walaupun omset masing-masing pedagang kecil cenderung stabil, namun mereka dalam jangka waktu lama tidak banyak yang meraih kesuksesan melebihi kondisi saat pertama kali bisnisnya dijalankan. Hal ini menjadi menarik untuk dicermati secara mendalam, faktor-faktor yang mempengaruhi intensi berwirausaha para Pedagang Kaki Lima yang berhubungan dengan perilaku dan kinerja kewirausahaan. Analisis yang dilakukan adalah analisis data menggunakan pendekatan partial least square (PLS). PLS adalah model persamaan Structural Equation Modeling yang berbasis komponen atau varian.


(33)

9 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teori

2.1.1 Kewirausahaan dan Wirausaha

Wirausaha merupakan kata yang tidak asing di telinga masyarakat umum. Wirausaha adalah seseorang yang bebas dan memiliki kemampuan untuk hidup mandiri dalam menjalankan kegiatan usahanya atau bisnisnya atau hidupnya. Ia bebas merancang, menentukan mengelola, mengendalikan semua usahanya. Kewirausahaan merupakan sikap mental dan jiwa yang selalu aktif atau kreatif berdaya, bercipta, berkarsa dan bersahaja dalam berusaha dalam rangka meningkatkan pendapatan dalam kegiatan usahanya. Wirausaha (enterpreneur) adalah seseorang yang membayar harga tertentu untuk produk tertentu, untuk kemudian dijualnya dengan harga yang tidak pasti, sambil membuat keputusan tentang upaya mencapai dan memanfaatkan sumber-sumber daya, dan menerima risiko.

Kewirausahaan merupakan harmonisasi antara kreativitas yang menciptakan ide-ide dengan pertimbangan peluang maupun resiko dan inovasi dalam menerapkan ide-ide-ide-ide kreatif menjadi suatu bentuk barang dan jasa yang mempunyai nilai jual bagi wirausahawan. Membangun kewirausahaan berarti membangun atau menciptakan sesuatu yang baru. Kehidupan wirausaha adalah kehidupan yang sangat ditentukan oleh pasar karena pasar merupakan tempat pertemuan antara wirausaha dan masyarakat untuk berinteraksi saling memperkenalkan dan menjual barang dan jasa dan untuk saling menemukan kebutuhan akan produk (barang dan atau jasa) oleh masyarakat pembeli.


(34)

10

Seorang wirausahawan dituntut untuk selalu kreatif dan inovatif, karena popularitas produk yang mungkin sukses dijualnya belum tentu bertahan lama. Kewirausahaan mempelajari tentang nilai, kemampuan, dan perilaku seseorang dalam berkreasi dan berinovasi, oleh sebab itu objek studi kewirausahaan adalah nilai-nilai dan kemampuan (ability) seseorang yang diwujudkan dalam bentuk prilaku (Suryana, 2006). Dengan sendirinya kreativitas dan inovasi merupakan suatu hal yang esensial bagi setiap pelaku dalam kewirausahaan di mana setiap proses perkembangan usaha mulai dari tahap awal sampai pada tahap penurunan dibutuhkan pemikiran kreatif dan inovatif terhadap produk yang dihasilkan. Tujuannya agar suatu usaha dapat terus menghasilkan keuntungan sehingga dapat bersaing dengan mengikuti selera pasar (konsumen) untuk perkembangan suatu usaha terutama di bidang usaha kecil dan menengah yang mempunyai kapital kecil.

Oleh karena itu, wirausaha memerlukan ide-ide kreatif dan inovatif agar dapat efisien dan efektif dalam setiap tahapan. Tujuannya guna menekan penggunaan biaya yang bermuara kepada penekanan biaya produksi sehingga produk dapat dijual di pasar dengan harga terjangkau oleh konsumen.

2.1.2 Kepribadian

Banyak ahli yang mengungkapkan definisi kepribadian. Fromm dalam Alma

(2005) menyatakan bahwa kepribadian adalah keseluruhan kualitas psikis seseorang yang diwarisinya dan membuat orang tersebut menjadi unik dan berbeda dengan yang lainnya. Keunikan inilah yang menjadikan kepribadian sebagai variabel yang sering digunakan untuk menggambarkan diri individu yang berbeda dengan individu lainnya.


(35)

11

Zimmerer dan Scarborough (2004) mengemukakan delapan karakteristik kepribadian dari seorang wirausaha sukses yakni:

1. Desire for responsibility yakni memiliki rasa tanggung jawab.

2. Preference for moderate risk yakni memilih resiko yang moderat dan tidak mengambil resiko yang terlalu rendah atau terlalu tinggi.

3. Confidence in their ability to succees yakni percaya bahwa dirinya bisa meraih kesuksesan yang diinginkannya.

4. Desire for immediate feedback yakni memiliki keinginan untuk mendapatkan umpan balik.

5. High level of energy yakni memiliki semangat yang tinggi untuk bekerja keras. 6. Future orientation yakni berorientasi pada masa depan.

7. Skill of organizing yakni mempunyai ketrampilan mengorganisir sumber-sumber daya.

8. Value of achievement over money yakni lebih menghargai prestasi dibandingkan uang.

Harris (Suryana, 2006) menyatakan bahwa wirausaha yang sukses pada umumnya adalah mereka yang memiliki kompetensi yaitu memiliki ilmu pengetahuan, ketrampilan dan kualitas individu yang meliputi sikap, motivasi, nilai-nilai pribadi serta tingkah laku yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan.

Cuningham (Riyanti, 2003) yang melakukan wawancara terhadap 178 wirausaha dan manajer profesional Singapura menyatakan bahwa kepribadian merupakan salah satu faktor penyebab keberhasilan usaha. Pentingnya kepribadian bagi seorang wirausaha juga didukung oleh Miner (Riyanti, 2003) yang menyatakan bahwa tipe


(36)

12

kepribadian sangat menentukan bidang usaha apa yang bakal mendatangkan kesuksesan dalam kewirausahaan.

Stoltz (Riyanti, 2003) menyatakan ada tiga tipe kepribadian yakni the climber, the champer dan the quitter. The climber adalah orang yang memiliki ketahanan tinggi dalam menghadapi rintangan, ia tidak mudah menyerah dan terus bertahan meskipun

gagal berkali-kali. The champer adalah orang yang mendaki pada ketinggian tertentu

dan berhenti karena ia merasa sudah puas dengan apa yang dicapainya dan ia tidak mau berusaha lagi agar bisa lebih berhasil. Tipe quitter adalah orang yang mudah menyerah bila menghadapi kegagalan, ia penakut dan tidak mau mengambil resiko untuk mulai berusaha lagi. Rintangan membuatnya tidak mau mencoba lagi.

2.1.3 Kebutuhan Akan Prestasi

McClelland (1987) adalah yang pertama kali mengenalkan Konsep kebutuhan akan prestasi. Kebutuhan akan prestasi merujuk pada keinginan seseorang terhadap prestasi yang tinggi, penguasaan keahlian, pengendalian atau standar yang tinggi. McClelland (1987) menyatakan bahwa ada tiga motif sosial yang mempengaruhi tingkah laku seseorang jika ia berhubungan dengan orang lain di dalam suatu lingkungan yakni:

1) Motif afiliasi (affiliation motive). Keinginan untuk bergaul dengan orang lain secara harmonis, penuh keakraban, dan disenangi. Orang ini akan berbahagia jika ia bisa diterima lingkungannya dan mampu membina hubungan yang harmonis dengan lingkungannya. Orang seperti ini biasanya merupakan teman yang baik dan menyenangkan.


(37)

13

2) Motif kekuasaan (power motive). Orang yang memiliki motivasi berkuasa tinggi suka menguasai dan mempengaruhi orang lain, ia mau orang lain melakukan apa yang diminta/diperintahkannya, ia cenderung tidak mempedulikan perasaan orang lain, baginya keharmonisan bukanlah hal yang utama, ia memberikan bantuan kepada orang lain bukan atas dasar belas kasihan akan tetapi supaya orang yang dibantunya menghormati dan kagum kepadanya sehingga ia bisa menunjukkan kelebihannya kepada orang lain dan agar orang lain mau terpengaruh oleh mereka sehingga bisa diperintah dan diaturnya.

3) Motif berprestasi (achievement motive). Orang yang memiliki motif berprestasi fokus pada cara-cara untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi. McClelland (1987) melakukan penelitian terhadap mahasiswa Harvard University dan membuktikan adanya korelasi antara tinggi rendahnya kebutuhan berprestasi pada mahasiswa yang diukur semasa kuliah dengan pemilihan karier/pekerjaan setelah mereka lulus kuliah dan terjun ke masyarakat.

Dari hasil penelitian itu ditunjukkan bahwa mereka yang memiliki motif berprestasi tinggi sekitar 66% memilih karier sebagai pengusaha, sementara 34% lainnya memilih pekerjaan di bidang lain. Pada mahasiswa yang memiliki motif berprestasi rendah, hanya 10% yang memiliki pekerjaan sebagai pengusaha dan 90% memilih pekerjaan di bidang lain.

Oosterbeek (2008) menemukan bahwa wirausaha yang sukses memiliki nilai/skor yang tinggi pada uji terhadap kebutuhan akan prestasi karena mereka akan berjuang untuk memperoleh prestasi yang tinggi, mereka mendirikan perusahaannya secara profesional dan menentukan target yang tinggi dan berusaha mencapai target tersebut. Oosterbeek juga menemukan bahwa wirausaha yang sukses memiliki kebutuhan akan


(38)

14

kekuasaan/the need of power yang tinggi untuk mengendalikan orang lain yang mengindikasikan bahwa mereka tahu apa yang mereka inginkan dan cara mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuannya. McClelland (1987) pun menyatakan bahwa orang yang memiliki kebutuhan prestasi yang tinggi berbeda dengan para penjudi/gamblers atau pengambil resiko/risk takers. Orang-orang dengan kebutuhan prestasi yang tinggi menetapkan tujuan yang bisa dicapai yang dapat mereka pengaruhi dengan usahanya sendiri.

Faisol (Mudjiarto, 2006) menyatakan bahwa orang-orang yang berprestasi tinggi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1) Berani mengambil resiko. 2) Kreatif dan inovatif. 3) Mempunyai visi.

4) Mempunyai tujuan yang berkelanjutan. 5) Percaya diri.

6) Mandiri.

7) Aktif, enerjik dan menghargai waktu. 8) Memiliki konsep diri yang positif. 9) Berpikir positif.

10) Bertanggung jawab secara pribadi.

11) Selalu belajar dan menggunakan umpan balik.

Penelitian Scapinello (Indarti, 2008) menunjukkan bahwa seseorang dengan tingkat kebutuhan akan prestasi yang tinggi kurang dapat menerima kegagalan daripada mereka dengan kebutuhan akan prestasi yang rendah. Sengupta dan Debnath (Indarti,


(39)

15

2008) dalam penelitiannya di India menemukan bahwa kebutuhan akan prestasi berpengaruh besar terhadap tingkat kesuksesan seorang wirausaha.

2.1.4 Efikasi Diri

Bandura (1977) menyatakan bahwa efikasi diri adalah keyakinan seseorang terhadap kemampuan dirinya untuk melakukan sesuatu pekerjaan dan mendapatkan prestasi tertentu. Bandura (1977) pun menyatakan bahwa efikasi diri akan menentukan cara seseorang untuk berpikir, bertindak dan memotivasi diri mereka menghadapi kesulitan dan permasalahan. Sukses atau gagalnya seseorang ketika melakukan tugas tertentu ditentukan oleh efikasi dirinya. Orang yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan bisa menghadapi kegagalan dan hambatan yang mereka hadapi, stabil emosinya, bersikap dan memiliki internal locus of control yang tinggi.

Cromie (Indarti, 2008) menjelaskan bahwa efikasi diri mempengaruhi kepercayaan seseorang pada tercapai atau tidaknya tujuan yang sudah ditetapkan. Lebih lanjut Cromie (Indarti, 2008) menyatakan bahwa efikasi diri yang positif adalah keyakinan seseorang bahwa ia mampu mencapai pekerjaan atau prestasi yang diinginkannya. Tanpa adanya efikasi diri seseorang tidak akan memiliki keinginan untuk melakukan perilaku tertentu. Betz dan Hacket (Indarti, 2008) menyatakan bahwa efikasi diri akan karir seseorang dapat menjadi faktor penting dalam penentuan apakah minat kewirausahaan seseorang sudah terbentuk pada tahapan awal seseorang memulai karirnya. Lebih lanjut Betz dan Hacket menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat efikasi diri seseorang pada kewirausahaan di masa-masa awal seseorang dalam berkarir, semakin kuat minat kewirausahaan yang dimilikinya. Oosterbeek (2008) menyatakan bahwa efikasi diri merupakan keyakinan seseorang akan kemampuan dirinya.


(40)

16

Wirausaha sukses selalu yakin bahwa mereka mampu membuat semua kegiatannya menjadi berhasil. Mereka juga merasa mampu mengendalikan kesuksesan mereka yang tidak tergantung kepada orang lain.

Wirausaha sukses memiliki ketahanan yang tinggi, kemampuan mengambil resiko dan menanggung kerugian dan menangani ketidakpastian. Bandura menjelaskan bahwa ada empat cara untuk mencapai efikasi diri yakni:

1) Pengalaman sukses atau kegagalan yang terjadi berulang kali. Pengalaman sukses

akan memperkuat kepercayaan seseorang bahwa dirinya memang mempunyai kemampuan untuk mencapai prestasi yang baik, sebaliknya pengalaman gagal berulang kali dapat membuat seseorang meragukan kemampuan dirinya sehingga menurunkan kepercayaan pada dirinya sendiri.

2) Melihat orang lain melakukan perilaku tersebut dan kemudian mencontoh atau

belajar dari pengalaman tersebut. Jadi ada suatu model yang menjadi panutan seseorang, model ini memiliki kemampuan yang mirip dengan dirinya. Melihat model bisa sukses dengan melakukan usaha tertentu, maka seseorang menjadi yakin ia juga bisa berhasil sama seperti model tersebut.

3) Persuasi verbal yakni memberikan semangat atau menjatuhkan performa

seseorang agar seseorang berperilaku tertentu.

4) Apa perasaan seseorang tentang perilaku yang dimaksud (reaksi emosional).

2.1.5 Demografi

Demografi menjadi bagian tidak terpisahkan dalam pembahasan tentang pemasaran. Bogue menyatakan bahwa demografi adalah ilmu yang mempelajari secara statistika dan matematika tentang besar, komposisi, dan distribusi penduduk serta


(41)

17

perubahan-perubahannya sepanjang masa melalui bekerjanya lima komponen demografi yaitu kelahiran, kematian, perkawinan, migrasi dan mobilitas social.

Barclay menyatakan bahwa demografi adalah ilmu yang memberikan gambaran yang menarik dari penduduk yang digambarkan secara statistika. Demografi mempelajari tingkah laku keseluruhan dan bukan tingkah laku perorangan (Yasin, 2007). Riyanti (2003) menyatakan bahwa demografi sangat penting dikaji karena demografi adalah faktor yang melekat pada wirausaha dan mempengaruhi keberhasilan seorang wirausaha. Shapero menyatakan bahwa minat terhadap kewirausahaan tergantung pada faktor-faktor eksogen seperti demografi, karakter, ketrampilan, budaya, sosial dan dukungan keuangan (Basu, 2009).

Mazzarol (Indarti, 2008) menyatakan bahwa faktor-faktor demografi seperti jender, umur, pendidikan dan pengalaman bekerja seseorang berpengaruh terhadap

keinginan seseorang untuk menjadi seorang wirausaha. Crant dalam Saud dkk (2009)

menyatakan bahwa sikap kewirausahaan dipengaruhi oleh jender, tingkat pendidikan dan orang tua yang memiliki bisnis. Penelitian oleh Mazzarol (Saud, 2009) menemukan bahwa faktor demografi (etnisitas, status perkawinan, tingkat pendidikan, ukuran keluarga, status dan pengalaman kerja, usia, jender, status sosio-ekonomi, agama dan sifat kepribadian) mempengaruhi minat mendirikan usaha. Studi di India oleh Sinha (Indarti, 2008) membuktikan bahwa latar belakang pendidikan menjadi salah satu penentu penting minat kewirausahaan dan kesuksesan usaha yang dijalankan.

Jones (2009) lebih spesifik menekankan pentingnya pendidikan kewirausahaan. Jones lebih lanjut menyatakan bahwa pendidikan kewirausahaan adalah proses menyiapkan individu dengan kemampuan untuk mengenali kesempatan komersial, meningkatkan penghargaan diri, pengetahuan dan ketrampilan untuk bertindak terhadap


(42)

18

kesempatan komersial tersebut. Kourilsky dalam Jones (2009) mendefinisikan

pendidikan kewirausahaan sebagai kesempatan untuk mengenali, menyusun sumber-sumber daya dengan kehadiran resiko, dan membangun sebuah perusahaan bisnis. Bechard and Toulouse (Jones, 2009) mendefinisikan pendidikan kewirausahaan sebagai kumpulan dari pengajaran formal yang memberikan informasi, melatih dan mendidik siapapun yang tertarik untuk mendirikan bisnis atau mengembangkan bisnis kecil.

Charney (2000) pada penelitiannya terhadap lulusan Universitas Arizona tahun 1985–1999 dengan membandingkan para lulusan yang mendapatkan pendidikan kewirausahaan dengan para lulusan yang tidak mendapatkan pendidikan kewirausahaan menyimpulkan beberapa hal penting berikut ini:

(1) Pendidikan kewirausahaan terbukti meningkatkan minat pendirian perusahaan baru. Lulusan yang mendapatkan pendidikan kewirausahaan tiga kali lebih banyak yang mendirikan perusahaan baru dibandingkan para lulusan yang tidak mendapatkan pendidikan kewirausahaan.

(2) Pendidikan kewirausahaan meningkatkan minat para lulusan tiga kali lebih besar untuk menjadi pekerja mandiri (self - employed) dibandingkan para lulusan yang tidak mendapatkan pendidikan kewirausahaan.

(3) Pendidikan kewirausahaan meningkatkan pendapatan para lulusan yang mendapatkan pendidikan kewirausahaan sebanyak 27 persen lebih tinggi.

(4) Pendidikan kewirausahaan meningkatkan pertumbuhan perusahaan terutama pada perusahaan kecil, pada perusahaan besar pengaruh pendidikan kewirausahaan lebih sulit diukur. Tetapi perusahaan besar memberikan gaji yang lebih besar kepada para lulusan yang memiliki pendidikan kewirausahaan. Perusahaan yang didirikan para lulusan yang memiliki pendidikan kewirausahaan juga lebih besar.


(43)

19

(5) Pendidikan kewirausahaan mempromosikan perpindahan teknologi dari universitas kepada sektor swasta dan mempromosikan perusahaan dan produk berbasis teknologi. Para lulusan dengan pendidikan kewirausahaan lebih cenderung bekerja para perusahaan dengan teknologi yang lebih tinggi.

Bandura, Hollenbeck dan Hall, Wilson menemukan bahwa pendidikan kewirausahaan dapat meningkatkan tingkat efikasi diri seseorang (Basu, 2009). Noel menemukan bahwa pendidikan kewirausahaan mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan minat kewirausahaan terutama untuk mahasiswi (Basu, 2009). Wilson menyatakan bahwa pendidikan kewirausahaan meningkatkan minat mahasiswa terhadap kewirausahan sebagai karier (Basu, 2009).

Pengalaman kerja menyatakan jenis dan jumlah pekerjaan, lamanya bekerja di sebuah atau beberapa bidang yang dialami oleh seseorang di dalam karirnya. Setiap orang mempunyai pengalaman kerja yang berbeda-beda yang akan mempengaruhi kehidupan dan karirnya selama hidupnya. Drennan menyatakan bahwa pandangan yang positif tehadap pengalaman bisnis keluarga dan pengalaman langsung memulai bisnis baru akan mempengaruhi sikap dan persepsi tentang kewirausahaan sebagai karier (Basu, 2009).

Timmons (Din, 1992) menyatakan bahwa ada bukti yang semakin meningkat bahwa wirausaha sukses berasal dari kombinasi pengalaman kerja, studi dan pengembangan ketrampilan yang sesuai. Din (1992) dalam penelitiannya pada populasi mahasiswa sekolah bisnis di Malaysia menemukan bahwa mahasiswa yang memiliki pengalaman kerja tetap yang lebih banyak memiliki kecenderungan melakukan kegiatan kewirausahaan yang lebih besar dibandingkan mereka yang pengalaman kerjanya lebih


(44)

20

sedikit, hal ini berlaku untuk pengalaman kerja di perusahaan bisnis yang besar dan tidak berlaku untuk pengalaman kerja di sektor publik.

Penelitian Reitan dalam Frazier (2009) menemukan bahwa pengalaman kerja pada bisnis keluarga mempunyai pengaruh positif pada minat kewirausahaan. Penelitian yang dilakukan Indarti dkk (2008) membuktikan bahwa mahasiswa Norwegia yang memiliki pengalaman kerja akan memiliki minat kewirausahaan yang lebih tinggi dibandingkan yang tidak, akan tetapi pendapat ini tidak berlaku untuk mahasiswa Indonesia dan Jepang. Demografi dalam penelitian ini hanya meneliti variabel latar belakang pendidikan kewirausahaan, etnisitas, usia, jender, dan pengalaman kerja yang mempengaruhi minat berwirausaha.

2.1.6 Lingkungan Eksternal

Perhatian (attention) seseorang terhadap suatu obyek tertentu bisa menjadi awal dari Minat seseorang. Minat tidak dibawa sejak lahir, melainkan tumbuh dan berkembang sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Minat dapat berubah-ubah tergantung dari faktor-faktor yang mempengaruhinya di antaranya adalah faktor lingkungan. Menurut Lupiyoadi (2007) faktor lingkungan yang mempengaruhi minat meliputi lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan dan lingkungan masyarakat.

Indarti dkk (2008) menyatakan ada tiga faktor lingkungan yang mempengaruhi

wirausaha sukses yakni ketersediaan informasi, akses kepada modal dan kepemilikan jaringan sosial. Dewanti (2008) menyatakan bahwa kewirausahaan dipicu oleh faktor pribadi, lingkungan dan sosiologi. Faktor lingkungan yang berpengaruh menurut Dewanti adalah peluang yaitu situasi yang menguntungkan, model peranan, aktivitas, pesaing dengan industri yang sama, inkubator sebagai sumber ide, sumber daya alam


(45)

21

dan manusia, teknologi dan kebijakan pemerintah. Penelitian oleh Mazzarol dkk dalam Saud dkk (2009) menemukan bahwa faktor lingkungan (faktor sosial, ekonomi, politik dan perkembangan infrastruktur) mempengaruhi dorongan untuk mendirikan usaha. Zimmerer (2004) menyatakan bahwa faktor lingkungan seperti faktor ekonomi dan kependudukan, pergeseran dari ekonomi industri ke ekonomi jasa, kemajuan teknologi,

perkembangan e-Commerce dan the world wide web, terbuka lebarnya peluang

internasional dan perubahan gaya hidup masyarakat mempengaruhi minat kewirausahaan.

Dari pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa minat kewirausahaan secara garis besar dipengaruhi oleh dua faktor yakni faktor personal dan faktor lingkungan (eksternal). Faktor personal sebagai faktor internal adalah faktor yang timbul karena pengaruh dari dalam diri individu itu sendiri seperti kebutuhan akan pendapatan, harga diri, perasaan senang, dan lain-lain temasuk riwayat pendidikan dan pengalaman. Faktor eksternal adalah faktor yang mempengaruhi individu karena pengaruh dari luar dirinya sendiri yang meliputi lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, lingkungan internasional, perubahan teknologi, kondisi ekonomi, budaya dan sosial.

Jadi pengertian lingkungan dalam penelitian ini adalah faktor luar/eksternal yang menimbulkan dan mendorong minat kewirausahaan seseorang yang meliputi Lingkungan Sekeliling, Lingkungan Keluarga, Dukungan Teman-teman, Lingkungan Pergaulan Usaha, Lingkungan Masyarakat, Kondisi Perekonomian, dan Kebijakan Pemerintah. Beberapa penelitian menyatakan bahwa lingkungan yang baik dan mendukung minat kewirausahaan akan sangat dipengaruhi kepemilikan jaringan sosial, akses kepada modal dan ketersediaan informasi kewirausahaan.


(46)

22

2.1.7 Ketersediaan Informasi Kewirausahaan

Informasi merupakan data yang telah diolah dan dibentuk ke dalam format yang bermanfaat bagi manusia. Informasi mempunyai peranan yang sangat penting di dalam kewirausahaan sebagaimana pentingnya informasi dalam bidang-bidang lainnya. Minat kewirausahaan bisa muncul dan berkembang jika terdapat informasi yang memadai yakni keberhasilan sebuah usaha, peluang usaha, pasar yang tersedia, dukungan pemerintah dan badan-badan yang berhubungan dengan kewirausahaan, dukungan dari perguruan tinggi berupa pelatihan dan pendidikan tentang kewirausahaan.

Mujianto (2009) menyatakan bahwa informasi dan ide untuk melakukan kegiatan kewirausahaan dapat berasal dari berbagai sumber seperti pekerjaan dan ketrampilan yang dimiliki saat ini, minat dan hobi, pengalaman kerja, pengamatan terhadap lingkungan, informasi dari media massa, melalui berbagai pameran, dan jejaring sosial dengan orang lain. Muhyi (2007) menyatakan ada banyak cara untuk mendapatkan informasi untuk memulai kegiatan kewirausahaan, yakni:

a. Melalui pendidikan formal.

b. Melalui seminar-seminar kewirausahaan. c. Melalui pelatihan.

d. Otodidak.

Pengertian ketersediaan informasi kewirausahaan dalam penelitian ini adalah tersedianya informasi yang dibutuhkan dan mendukung kegiatan kewirausahaan secara memadai yang meliputi akses terhadap informasi kewirausahaan, informasi tentang peluang pasar, kemungkinan perolehan informasi kewirausahaan dan diperoleh informasi yang memadai.


(47)

23 2.1.8 Akses Kepada Modal

Usaha membutuhkan modal. Modal merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk memulai usaha. Kristiansen dalam Indarti dkk (2008) menyatakan bahwa akses kepada modal menjadi salah satu penentu kesuksesan suatu usaha. Menurut

Indarti dkk (2008) akses kepada modal merupakan hambatan klasik terutama dalam

memulai usaha-usaha baru, setidaknya terjadi di negara-negara berkembang dengan dukungan lembaga-lembaga penyedia keuangan yang tidak begitu kuat.

Kasmir (2007) menyatakan bahwa ada dua jenis modal yang dibutuhkan seorang wirausaha, yakni:

1. Modal investasi. Modal investasi bersifat jangka panjang dan dapat digunakan secara berulang-ulang dan umumnya berumur lebih dari satu tahun. Modal investasi dipakai untuk membeli aktiva tetap seperti tanah, gedung, mesin-mesin, peralatan, kendaraan, dan lain-lain. Modal ini biasanya diperoleh dari perbankan selain modal sendiri.

2. Modal kerja. Modal kerja merupakan modal yang dipakai untuk membiayai operasional perusahaan pada saat perusahaan beroperasi. Modal ini bersifat jangka pendek dan biasanya hanya dipakai sekali atau beberapa kali dalam proses produksi, membeli bahan baku, membayar gaji karyawan, biaya pemeliharaan, dan lain-lain.

Manurung (2008) menyatakan bahwa modal usaha adalah dana yang digunakan untuk menjalankan usaha agar dapat berlangsungnya usaha tersebut. Menurut Manurung beberapa sumber modal, yakni:

1. Dana milik sendiri.


(48)

24

3. Meminjam dari lembaga formal atau non-formal. 4. Menggunakan modal dari pemasok.

5. Bermitra dengan mitra kerja agar modal kerja yang dibutuhkan dapat dibagi bersama.

6. Melakukan pinjaman dari bank.

7. Mendapatkan modal dari pasar modal dengan menerbitkan obligasi, saham, dll. 8. Mendapatkan bantuan dari pemerintah, perusahaan baik swasta maupun BUMN,

universitas, dan lain-lain.

Akses kepada modal dalam penelitian ini adalah kemampuan wirausaha dalam memiliki modal dan mendapatkan modal untuk menjalankan usahanya.

2.1.9 Kepemilikan Jaringan Sosial

Jaringan Sosial menjadi hal tak terpisahkan dalam proses berwirausaha. Membentuk jaringan sosial dapat diartikan sebagai proses dua arah di mana dua orang atau lebih melakukan proses pertukaran informasi dan sumber daya untuk saling mendukung kegiatan masing-masing. Dengan membentuk jaringan sosial maka semua kesempatan bisnis yang ada, permasalahan modal kerja, teknologi produksi, informasi bisnis, investasi, perubahan kebijakan dan peraturan, dan lain-lain dapat dibagi sehingga usaha akan lebih efektif dan efisien dan mengurangi resiko usaha.

Mazzarol (Indarti, 2008) menyatakan bahwa jaringan sosial mempengaruhi minat

kewirausahaan. Gregoire dkk dalam Gadar dan Yunus (2009) menyatakan jaringan

sosial merupakan faktor yang paling berpengaruh pada wirausaha wanita. Penelitian oleh Gadar dan Yunus (2009) menemukan bahwa jaringan sosial merupakan faktor kelima terpenting pada wirausaha wanita di Malaysia. Gadar dan Yunus (2009) juga


(49)

25

menemukan bahwa hubungan dengan elit politik yang kuat dan dengan pemimpin bisnis, dukungan suami merupakan faktor yang mendukung para wirausaha wanita di

Malaysia. Kristiansen dalam Indarti dkk (2008) menjelaskan bahwa jaringan sosial

terdiri dari hubungan formal dan informal antara pelaku utama dan pendukung dalam satu lingkaran terkait dan menggambarkan jalur bagi wirausaha untuk mendapatkan akses kepada sumber daya yang diperlukan dalam pendirian, perkembangan dan kesuksesan usaha.

Menurut Rosenblatt dalam Greve (2003) anggota keluarga memainkan peranan yang penting ketika seorang calon wirausaha merencanakan dan mendirikan usaha karena anggota keluarga dan jaringannya selalu dilibatkan untuk dimintai bantuan dan

dukungan. Penelitian yang dilakukan oleh McClelland dalam Muhandri (2002) di

Amerika Serikat menunjukkan bahwa 50% pengusaha yang menjadi sampel yang diambil secara acak dalam penelitiannya berasal dari keluarga pengusaha dan faktor lingkungan keluarga mempengaruhi minat kewirausahaan. Penelitian McClelland

didukung oleh penelitian Crant dalam Saud dkk (2009) yang menemukan fakta bahwa

minat kewirausahaan dipengaruhi oleh faktor kepemilikan bisnis oleh orang tua. Mathews dan Moser dalam Cotleur (2009) juga menyatakan bahwa pengaruh keluarga sangat signifikan dalam mengembangkan minat kewirausahaan, hal ini terutama berlaku untuk laki-laki. Adanya model peran/role model juga merupakan faktor yang menentukan minat kewirausahaan seseorang.

Davidsson and Honig dalam Marshall (2005) menemukan hubungan yang kuat

antara kewirausahaan dan kepemilikan orang tua yang mempunyai bisnis. Dalam studi itu ditemukan bahwa dukungan teman dekat atau tetangga di dalam usaha juga mempunyai pengaruh positif pada minat kewirausahaan seseorang. Staw dalam Riyanti


(50)

26

(2003: 38) menemukan bukti kuat adanya hubungan antara minat kewirausahaan dengan profesi orang tua yang bekerja mandiri atau sebagai wirausaha.

Kemandirian dan fleksibilitas dapat ditularkan oleh orang tua kepada anaknya sejak dini dan menjadi sifat yang melekat kepada anak-anaknya. Pendapat Staw

didukung oleh Duchesneau dalam Riyanti (2003) yang menemukan bahwa wirausaha

yang berhasil adalah mereka yang dibesarkan oleh orang tua yang juga wirausaha.

Aldrich dan Zimmerer dalam Greve (2003) menyatakan bahwa wirausaha

membutuhkan jaringan sosial yang kuat selain informasi, modal, ketrampilan, tenaga

kerja untuk memulai usaha. Menurut Hansen dalam Greve (2003) jaringan sosial ini

bisa berupa jaringan profesional, teman-teman, rekan-rekan kerja sebelumnya mulai dari dalam organisasi, kumpulan perusahaan, atau orang-orang yang membantu menjalankan dan mendirikan usaha.

Chrisman dalam Marshall (2005) menyatakan bahwa pengaruh keluarga pada

pembentukan usaha baru lebih penting dibandingkan faktor budaya yang lain. Dalam penelitian ini hal-hal yang menjadi indikator dalam kepemilikan jaringan social adalah kepemilikan pergaulan, kecenderungan bergaul dan berteman, keaktifan dalam komunitas dan kepemilikan jaringan sosial.

2.1.10 Intensi Berwirausaha

Tarmudji (2006) menyatakan bahwa minat/intensi adalah perasaan tertarik atau berkaitan pada sesuatu hal atau aktivitas tanpa ada yang meminta/menyuruh. Tarmudji menyatakan bahwa minat seseorang dapat diekspresikan melalui pernyataan yang menunjukkan seorang lebih tertarik pada suatu obyek lain dan melalui partisipasi dalam suatu aktivitas. Hurlock dalam Riyanti (2003) menjelaskan bahwa minat adalah sumber


(51)

27

motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan apa yang ingin dilakukan bila seseorang bebas memilih. Ketika seseorang menilai bahwa sesuatu akan bermanfaat, maka akan terbentuk minat yang kemudian hal tersebut akan mendatangkan kepuasan. Ketika kepuasan menurun maka minatnya juga akan menurun sehingga minat tidak bersifat permanen, tetapi bersifat sementara atau dapat berubah-ubah.

Crow & Crow dalam Yuwono dkk (2008) menyebutkan ada tiga aspek minat pada diri seseorang, yaitu:

a. Dorongan dari dalam untuk memenuhi kebutuhan diri sebagai sumber penggerak untuk melakukan sesuatu.

b. Kebutuhan untuk berhubungan dengan lingkungan sosialnya yang akan menentukan posisi individu dalam lingkungannya.

c. Perasaan individu terhadap suatu pekerjaan yang dilakukannya.

Masrun dalam Yuwono dkk (2008) menyatakan bahwa banyak lulusan perguruan

tinggi belum mampu berwirausaha. Mahasiswa cenderung berpikir bagaimana caranya mereka bisa diterima bekerja sesuai dengan gelar kesarjanaannya dan dengan gaji yang sesuai ketika menyelesaikan kuliahnya. Mereka berpendapat lebih baik menganggur daripada mendapat pekerjaan yang tidak sesuai dengan keahliannya. Lebih lanjut Masrun menyatakan bahwa penduduk yang mempunyai pendidikan tinggi justru kurang berminat menjadi wirausaha, tercatat hanya 10% yang berminat menjadi wirausaha. Mereka yang pendidikannya rendah justru 49% yang berminat menjadi wirausaha.

Dalam Enterpreneur.s Handbook seperti yang dikutip oleh Wirasasmita dalam

Suryana (2006) dikemukakan beberapa alasan yang menumbuhkan intensi seseorang menjadi wirausaha yakni:


(52)

28

1. Alasan keuangan. Untuk mencari nafkah, menjadi kaya, mencari pendapatan tambahan dan sebagai jaminan stabilitas keuangan.

2. Alasan sosial. Memperoleh gengsi/status agar dikenal dan dihormati banyak orang, menjadi teladan untuk ditiru orang lain dan agar dapat bertemu banyak orang.

3. Alasan pelayanan. Agar bisa membuka lapangan pekerjaan dan membantu meningkatkan perekonomian masyarakat.

4. Alasan pemenuhan diri. Untuk bisa menjadi seorang atasan, mencapai sesuatu yang diinginkan, menghindari ketergantungan kepada orang lain, menjadi lebih produktif dan menggunakan potensi pribadi secara maksimum.

Mudjiarto dkk (2005) menyatakan bahwa bahwa umumnya orang berminat

membuka usaha sendiri karena beberapa alasan berikut ini: 1. Mempunyai kesempatan untuk memperoleh keuntungan. 2. Memenuhi minat dan keinginan pribadi.

3. Membuka diri untuk berkesempatan menjadi bos bagi diri sendiri. 4. Adanya kebebasan dalam manajemen.

Zimmerer (2004) menyatakan bahwa ada 8 faktor yang menjadi pendorong pertumbuhan intensi kewirausahaan, yakni:

1. Pendapat bahwa wirausaha adalah seorang pahlawan. 2. Pendidikan kewirausahaan.

3. Faktor ekonomi dan kependudukan.

4. Pergeseran dari ekonomi industri ke ekonomi jasa. 5. Kemajuan teknologi.

6. Gaya hidup bebas.


(53)

29

8. Terbukanya peluang bisnis internasional.

Dalam penelitian ini yang dimaksudkan dengan intensi berwirausaha adalah kecenderungan atau ketertarikan seseorang untuk melakukan kegiatan kewirausahaan dengan senang hati dan dengan keberanian mengambil resiko.

2.1.11 Perilaku Berwirausaha

Intensi menjadi wirausaha yang cukup tinggi, tidak selalu diikuti oleh perilaku wirausaha dalam bentuk mendirikan, mengelola, dan mengembangkan usaha. Perilaku merupakan tindakan yang tampak atau pernyataan lisan mengenai perilaku (terobservasi). Perilaku yang dimaksud dalam bidang kewirausahaan adalah keputusan berwirausaha. Perilaku berwirausaha yaitu tindakan individu yang ditunjukkan dengan keputusan berwirausaha. Perilaku berwirausaha diukur dengan skala perilaku berwirausaha yang diadaptasi dari model perilaku Azjen (2008) dengan indikator tindakan nyata telah menjalankan usaha, keputusan berwirausaha, dan penyataan dukungan pengembangan usaha yang ada. Perilaku Berwirausaha mencakup tiga hal yaitu pengetahuan, sikap mental dan keterampilan serta sikap kewaspadaan yang merupakan perpaduan unsur pengetahuan dan sikap mental terhadap masa yang akan datang (Wijandi, 1988).

Menurut Buchari Alma (2005), Perilaku kewirausahaan adalah proses menciptakan sesuatu yang lain dengan menggunakan waktu dan kegiatan disertai modal dan resiko serta menerima balas jasa dan kepuasan serta kebebasan pribadi.

2.1.12 Kinerja Kewirausahaan

Kinerja perusahaan menurut Ferdinand (2000) merupakan konstruk yang umum digunakan untuk mengukur dampak dari strategi perusahaan. Masalah pengukuran


(54)

30

kinerja menjadi permasalahan dan perdebatan klasik. Hal ini bisa dipahami karena sebagai sebuah konstruk, kinerja bersifat multidimensi dimana di dalamnya termuat beragam tujuan dan tipe organisasi. Madura (2001) menjelaskan bahwa kinerja bisnis dilihat dari sudut pemilik usaha yang menanamkan modalnya pada suatu perusahaan memusatkan diri pada dua kriteria untuk mengukur kinerja perusahaan: 1) imbalan atas penanaman modalnya dan 2) risiko dari penanaman modal mereka. Karena strategi bisnis yang harus dilaksanakan oleh manajer harus ditujukan untuk memuaskan pemilik bisnis. Para manajer harus menentukan bagaimana strategi bisnis yang bermacam-macam akan mempengaruhi imbalan atas penanaman modal perusahaan dan resikonya. Mulyadi (1997) menjelaskan bahwa organisasi pada dasarnya dijalankan oleh manusia, maka penilaian kinerja sesungguhnya merupakan penilaian atas perilaku manusia dalam menjalankan peran yang mereka mainkan di dalam organisasi. Menurut Wibisono (2006) evaluasi kinerja merupakan penilaian kinerja yang diperbandingkan dengan rencana atau standar-standar yang telah disepakati. Marconi & Siegel (dalam Mulyadi, 1997) berpendapat penilaian kinerja adalah penentuan secara periodik efektivitas operasional suatu organisasi, bagian organisasi, dan karyawannya berdasarkan sasaran, standard, dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.

Kinerja Kewirausahaan didefinisikan sebagai usaha pengukuran tingkat kinerja terhadap kinerja strategi yang dihasilkan dengan keseluruhan kinerja yang diharapkan, penjualan dan keuntungan (Menon, Bharadwaj dan Howell, 1996). Meskipun pengukuran objek akan menjadi lebih ideal, perhatian penelitian saat ini adalah penentuan managerial terhadap keuangan dan kinerja kewirausahaan adalah konsisten dengan pengukuran kinerja objek (Hart and Banbury, 1994; Naman and Slevin, 1993).


(55)

31

Ferdinand (2000) menyatakan bahwa kinerja kewirausahaan yang baik dinyatakan dalam tiga besaran utama nilai: penjualan, pertumbuhan penjualan dan porsi pasar yang pada akhirnya bermuara pada keuntungan usaha. Nilai penjualan menunjukkan berapa rupiah/berapa unit produk yang terjual, sedangkan pertumbuhan penjualan menunjukkan berapa besar kenaikan penjualan produk yang sama dibandingkan satuan waktu tertentu. Porsi pasar menunjukkan seberapa besar kontribusi produk yang ditangani menguasai pasar produk sejenis dibanding para pesaingnya. Oleh karena itu, dalam penelitian ini kinerja kewirausahaan diukur dengan menggunakan indikator kinerja yaitu : tingkat penjualan, pertumbuhan penjualan dan porsi pasar.

2.1.13 Pedagang Kaki Lima

Pedagang Kaki Lima yang sering disingkat PKL merupakan sebuah istilah/akronim untuk menyebut penjaja dagangan yang menggunakan gerobak. Istilah ini sering diterjemahkan karena pedagang tersebut merupakan pedagang dengan jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga roda atau dua roda dan satu kaki gerobaknya. Saat ini istilah PKL digunakan untuk pedagang di jalanan pada umumnya. Sebenarnya istilah kaki lima berasal dari masa penjajahan Belanda. Peraturan Pemerintah saat itu menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya menyediakan sarana untuk pejalan kaki. Lebar ruas untuk pejalan kaki adalah lima kaki atau sekitar satu setengah meter (Ruhiyana, 2010).

Di dalam ketentuan umum Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 13 Tahun 2005, Pedagang Kaki Lima didefinisikan sebagai Penjual Barang dan atau Jasa yang secara perorangan dan atau kelompok berusaha dalam kegiatan ekonomi yang tergolong dalam skala usaha kecil yang menggunakan fasilitas umum dan bersifat sementara atau tidak


(56)

32

menetap dengan menggunakan peralatan bergerak maupun tidak bergerak dan atau menggunakan sarana berdagang yang mudah dipindahkan.

2.1.14 Partial Least Square

Partial Least Square (selanjutnya disebut PLS) menurut Wold merupakan metode analisis yang powerful oleh karena tidak didasarkan banyak asumsi. Metode PLS mempunyai keunggulan tersendiri diantaranya : data tidak harus berdistribusi normal multivariate (indikator dengan skala kategori, ordinal, interval sampai rasio dapat digunakan pada model yang sama) dan ukuran sampel tidak harus besar. Walaupun PLS digunakan untuk menkonfirmasi teori, tetapi dapat juga digunakan untuk menjelaskan ada atau tidaknya hubungan antara variabel laten. PLS dapat menganalisis sekaligus konstruk yang dibentuk dengan indikator refleksif dan indikator formatif dan hal ini tidak mungkin dijalankan dalam SEM karena akan terjadi unidentified model.

Asumsi pada PLS hanya terkait dengan permodelan persamaan struktural, dan tidak terkait dengan pengujian hipotesis yaitu hubungan antar variabel laten dalam inner model adalah linier dan aditif dan model struktural bersifat rekursif. Secara umum, ukuran sampel normal dalam analisis SEM adalah lebih besar dari 100 (Hair dkk, 1995). Sedangkan ukuran normal dalam PLS adalah sepuluh kali jumlah indikator formatif (mengabaikan indikator refleksif) atau sepuluh kali jumlah jalur struktural pada innder model (Chin, 1998 dalam Ghozali 2008). Untuk sampel kecil, PLS dapat menangani kasus dengan jumlah sampel kurang dari 100 bahkan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Chin dan Newsted dengan simulasi Monte Carlo, PLS dapat menangani kasus dengan jumlah kurang dari 30 pengamatan (Ghozali 2008). Hal ini karena algoritma PLS bekerja dengan metode ordinary least square (OLS).


(57)

33

Tabel 1 Perbandingan antara PLS dan SEM

Kriteria PLS SEM

Tujuan Orientasi prediksi Orientasi parameter

Pendekatan Berdasarkan variance Berdasarkan covariance

Asumsi Spesifikasi prediktor (non

parametrik)

Multivariate normal distribution, independence observation (parametrik)

Estimasi parameter Konsisten sebagai

indikator dan jumlah sampel meningkat

Konsisten

Skore variabel laten Secara eksplisit di estimasi Indeterminate

Hubungan variabel laten – indikatornya

Dapat dalam bentuk reflective maupun formative indikator

Hanya dengan reflective indikator

Implikasi Optimal untuk ketepatan

prediksi

Optimal untuk ketepatan parameter

Kompleksitas model Kompleksitas besar (100

konstruk dan 1000 indikator)

Kompleksitas kecil sampai menengah (kurang dari 100 indikator)

Besar sample Kekuatan analisis

didasarkan pada porsi dari model yang memiliki jumlah prediktor terbesar. Minimal

direkomendasikan berkisar dari 30 sampai 100 kasus

Kekuatan analisis didasarkan pada model spesifikasi. Minimal direkomendasikan berkisar dari 200 sampai 800 kasus

Sumber : Ghazali, 2008.

PLS mempunyai dua model indikator dalam penggambarannya, yaitu model indikator refleksif dan model indikator formatif. Model analisis jalur semua variabel laten dalam PLS terdiri dari tiga set hubungan sebagai berikut

a. Inner model yang menspesifikasi hubungan antar variabel laten (structural model). Inner model menggambarkan hubungan antar variabel laten berdasarkan pada subtantive theory. Model persamaannya = 0+ +Γ + . PLS didesain untuk

model recursive, maka hubungan antar variabel laten sering disebut casual chain

system dari variabel laten dapat dispesifikasikan sebagai berikut = ∑ + ∑


(58)

34

b. Outer model yang mespesifikasi hubungan antara variabel laten dengan variabel indikatornya (measurement model). Outer model mendefinisikan bagaimana setiap blok indikator berhubungan dengan variabel latennya. Blok dengan indikator

refleksif dapat ditulis persamaan =Λ + dan =Λ + . Sedangkan Blok

dengan indikator formatif dapat ditulis persamaan = Πξx+δξ dan =Πηy+δη.

c. Weight relation dalam mana nilai kasus dari variabel laten dapat diestimasi. Inner model dan outer model memberikan spesdifikasi yang diikuti dalam algoritma PLS. Nilai kasus untuk setiap variabel laten diestimasi dalam PLS yaitu

= ∑kb

dan = ∑ki .

PLS tidak mengansumsikan adanya distribusi tertentu untuk estimasi parameter, maka teknik parametrik untuk menguji signifikansi tidak diperlukan. Model evaluasi PLS berdasarkan pada pengukuran prediksi yang mempunyai sifat nonparametrik.

Tanpa kehilangan generalisasi, dapat diasumsikan bahwa

variabel laten dan variabel indikator diskala zero means dan unit variance (nilai

standardized) sehingga parameter lokasi (parameter konstanta) dapat dihilangkan dalam model.

a. Outer Model. Ada tiga metode yang digunakan untuk mengevaluasi outer model dengan indikator refleksif yaitu convergent validity dari indikatornya dan composite reliability untuk blok indikator. Sedangkan outer model dengan indikator formatif

dievaluasi berdasarkan pada subtantive contentnya yaitu dengan membandingkan

besarnya bobot relatif dan melihat signifikansi dari ukuran bobot tersebut (Chin, 1998 dalam Ghozali 2011)

b. Inner Model. Model struktural atau inner model dievaluasi dengan melihat persentase variance yang dijelaskan oleh nilai R2 (R-square) untuk variabel endogen dengan menggunakan ukuran Stone-Geisser Q squares test (Stone,1974


(59)

35

dan Geisser,1975 dalam Ghozali, 2008) dan juga melihat besarnya koefisien jalur strukturalnya.

2.1.15 Analisis Faktor Konfirmatori

Analisis Faktor Konfirmatori (Confirmatory Factor Analysis – CFA) digunakan untuk mengetahui validitas dan reliabilitas dari indicator setiap variabel yang digunakan dalam membangun sebuah model. Analisis ini digunakan untuk mengkonfirmasi indikator dari suatu variabel secara bersama-sama. Konfirmasi tersebut dimaksudkan untuk mengetahui kecukupan, atau kuat tidaknya indicator-indikator mencerminkan dimensi suatu variabel. Kecukupan konfirmasi sebuah indikator

ditunjukkan oleh nilai loading factor atau koefisien lamda setiap indikator pada suatu

variabel. CFA merupakan sarana yang dapat digunakan untuk memeriksa unindimensionalitas dari sebuah konstruk.

Sekaran (2000) dan Malhotra (1996) menyarankan bahwa sebuah konstruk akan

dianggap handal (reliable) jika memiliki nilai koefisien reliabilitas Alpha Cronbach

sekurang-kurangnya 0.6. Ukuran kehandalan dengan reliabilitas composite reliability diharapkan dapat lebih dari 0.7 (Ferdinand, 2002). Sedangkan proporsi keragaman dari setiap indikator yang terdapat pada sebuah konstruk diharapkan akan dapat mencapai sekurang-kurangnya 0.5 (Hair et al, 1995). Pemeriksaan validitas akan didasarkan pada besarnya nilai loading factor yang diperoleh. Solimun (2002) merekomendasikan bahwa bobot faktor hendaknya di atas 0.5 telah menunjukkan adanya validasai yang cukup kuat dari sebuah indikator untuk mengukur suatu konstruk.


(60)

36

2.2 Hasil Penelitian Terdahulu

Konsep-konsep yang terdapat pada penelitian mengenai pengaruh faktor personal dan lingkungan terhadap intensi berwirausaha ini bersumber dari penelitian-penelitian sebelumnya. Pada sub bab ini akan dipaparkan jurnal penelitian terdahulu yang menjadi

rujukan untuk penelitian ini. Indarti dkk (2008) meneliti minat mahasiswa Indonesia,

Jepang dan Norwegia selama 2002 – 2006 dengan judul “Intensi Kewirausahaan Mahasiswa: Studi Perbandingan Antara Indonesia, Jepang dan Norwegia”. Sampel penelitian berjumlah 332 orang mahasiswa dengan rincian 130 orang mahasiswa Indonesia, 81 orang mahasiswa Jepang dan 121 orang mahasiswa Norwegia. Sampel penelitian ini adalah mahasiswa sarjana (S-1) dari Universitas Gadjah Mada-Indonesia, Agder University College-Norwegia dan Hiroshima University of Economics (HUE)-Jepang. Lebih dari 50% responden dari ketiga negara adalah laki-laki (66% responden Indonesia, 79% responden Jepang, 62,8% responden Norwegia). Dari segi usia, lebih dari 50% responden berusia di bawah 25 tahun (84% responden Indonesia, 97,5% responden Jepang, 50,4% responden Norwegia). Lebih dari 50% responden Indonesia belum pernah memiliki pengalaman kerja, 96,3% mahasiswa Jepang tidak memiliki pengalaman kerja, hanya 19,8% mahasiswa Norwegia yang belum pernah bekerja.

Sampel diambil dengan teknik judgement atau purposive sampling. Seluruh butir

pertanyaan diukur dengan menggunakan skala Likert 7-poin. Data dikumpulkan dengan wawancara dan daftar pertanyaan (kuesioner).

Morello dkk (2003) mengadakan studi di Ekuador dengan judul “Entrepreneurial

Intention of Undergraduates at ESPOL in Equador”. Dengan sampel berjumlah 852 orang mahasiswa. 61,4% responden adalah lelaki dan sisanya 38,6% adalah wanita, 75% responden adalah mahasiswa teknik, 10,9% adalah mahasiswa ekonomi dan


(61)

37

sisanya 14,10% adalah mahasiswa teknologi. 72% responden adalah mahasiswa yang sedang bekerja, 32,5% memiliki ibu yang memiliki bisnis, 48,6% memiliki ayah yang seorang pebisnis. Hasil penelitian mendapatkan fakta bahwa 1).mahasiswa yang memiliki orang tua sebagai pengusaha memiliki minat kewirausahaan yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak memiliki orang tua yang berprofesi sebagai pengusaha, 2) minat kewirausahaan mahasiswa ekonomi berbeda dengan minat kewirausahaan mahasiswa teknik dan teknologi, 3)mahasiswa teknik memiliki minat kewirausahaan yang jauh lebih tinggi dibandingkan mahasiswa ekonomi, 4) mahasiswa yang bekerja memiliki minat kewirausahaan yang lebih tinggi dibandingkan mahasiswa yang tidak bekerja, 5) usia akademi tidak mempunyai korelasi dengan minat kewirausahaan mahasiswa.

Setiyorini (2009) meneliti minat berwirausaha mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan judul “Pengaruh Faktor Personal dan Lingkungan terhadap Keinginan Berwirausaha” dengan jumlah responden 100 orang. Responden berusia di antara 20-23 tahun dengan usia mayoritas antara 21-22 tahun. 22 orang responden adalah laki-laki dan sisanya 78 orang responden adalah perempuan. 19 orang responden memiliki pengalaman kerja dan sisanya 81 orang responden tidak memiliki pengalaman kerja. Pengambilan sampel dilakukan secara proportional random sampling, data dikumpulkan dengan kuesioner skala Likert 4 poin. Metode analisis data yang digunakan adalah regresi berganda. Dari hasil penelitian Setiyorini ini didapat kesimpulan bahwa 1) efikasi diri mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta adalah moderat, 2) mahasiswa memiliki motivasi berprestasi yang tinggi dan locus of control yang moderat, 3) akses terhadap modal yang rendah, 4) kemampuan mengakses informasi yang moderat dan 5) kepemilikan hubungan sosial yang moderat. Dari uji R2


(62)

38

diperoleh kesimpulan bahwa faktor personal dan lingkungan dapat menjelaskan minat kewirausahaan mahasiswa Universitas Sebelas Maret sebesar 44%, sisanya sebesar 56% dijelaskan oleh faktor lain yang tidak diteliti. Secara umum minat kewirausahaan mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta yang diteliti adalah moderat.

Basu dkk (2009) meneliti minat mahasiswa terhadap kewirausahaan dengan judul

“Assessing Entrepreneurial Intentions Among Students: A Comparative Study” di

Universitas San Jose State terhadap mahasiswa dari berbagai fakultas. Sampel penelitian sebesar 122 orang dengan usia rata-rata responden sebesar 23,4 tahun, 12 orang mahasiswa (9,80%) telah pernah mengikuti mata kuliah kewirausahaan. Responden terdiri atas 77% mahasiswa jurusan manajemen, 8,9% mahasiswa jurusan teknik, 2,4% jurusan keuangan, 1,6% jurusan hukum dan sisanya 1,6% jurusan bisnis internasional. 65,6% responden adalah mahasiswa dan sisanya 34,4% adalah mahasiswi. 77% dari responden telah bekerja dan memiliki pengalaman kerja rata-rata empat tahun. 17% responden berasal dari keluarga pebisnis dan 26 orang mahasiswa telah memulai usahanya di masa lalu. 28% dari responden memiliki ayah yang bekerja sendiri (self employed) dan 21% ibu yang bekerja sendiri (self employed). Data dikumpulkan melalui kuesioner. Metode analisa data menggunakan regresi berganda. Dari penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa 1) pendidikan kewirausahaan mempunyai pengaruh positif terhadap minat kewirausahaan mahasiswa, 2) mahasiswa yang memiliki ayah yang bekerja sendiri (self employed) mempunyai sikap yang lebih positif terhadap kewirausahaan, 3) mahasiswa yang memiliki pengalaman berwirausaha memiliki sikap yang lebih positif terhadap kewirausahaan.

Riyanti (2004) melakukan penelitian terhadap 200 usaha kecil yang terletak di Jakarta dan Yogjakarta. Ada dua bagian dalam kuesioner, bagian pertama adalah daftar


(1)

134

Lampiran 26 Model Final Intensi Berwirausaha PKL Berpengalaman Kurang dari 5 Tahun di Kota Bogor


(2)

135 Lampiran 27 Model Final Intensi Berwirausaha PKL Berpengalaman 5 – 10 Tahun di Kota Bogor


(3)

136

Lampiran 28 Model Final Intensi Berwirausaha PKL Berpengalaman Lebih dari 10 Tahun di Kota Bogor


(4)

137 Lampiran 29 Model Final Intensi Berwirausaha PKL Beroperasi Kurang dari 6,5 jam Perhari di Kota Bogor


(5)

138

Lampiran 30 Model Final Intensi Berwirausaha PKL Beroperasi 6,5 jam – 9 Jam Perhari di Kota Bogor


(6)

139 Lampiran 31 Model Final Intensi Berwirausaha PKL Beroperasi Lebih dari 9 Jam Perhari di Kota Bogor