Penerapan Teknologi Petani Dan Kelembagaan Di Tingkat Petani

Saptana, et.al. 2003. Selain apa yang telah dijelaskan di atas, hasil kajian di tempat penelitian menunjukkan peran kelompok tani yang cukup besar dalam mendukung para petani anggotanya dalam memperoleh akses terhadap permodalan dan lahan, serta mempermudah distribusi saprotan yang dilakukan secara terkoordinir. Kelompok tani juga menjadi wadah yang efektif bagi para petani dalam memecahkan masalah bersama serta dalam berkomunikasi dengan pihak luar terutama dengan LPS. Seperti yang dilakukan oleh kelompok tani Tunas Mekar yang memotong sebagian penghasilan anggota kelompoknya untuk membantu pengembalian modal anggota kelompok lain yang gagal panen akibat gangguan alam. Bahkan kelompok tani peserta program P3S, LPS di Desa Muara Jaya dan Ciderum, Kecamatan Caringin, telah mampu mengelola permodalan bersama secara baik. Hal itu ditunjukkan dengan kemampuan mereka memanajemen “tabungan tani” dari anggotanya dalam satu tahun, sehingga jatah tabungan untuk sewa lahan mereka mengalami surplus dan dapakai untuk menambah lahan sewaan yang kemudian diberikan kepada petani lain yang belum memiliki lahan garapan. Hal itu menunjukkan prestasi kelembagaan kelompok tani tersebut dalam mewujudkan masyarakat komonitas dengan mengutamakan hubungan personal pada pola ekonomi partikularistik. Yaitu lebih melihat manusia dengan hubungan sosialnnya daripada barang, jasa atau uangnya gemeinschaft. Sementara itu, kelembagaan tenaga kerja yang berlangsung di lokasi penelitian adalah kelembagaan upahan harian dan borongan. Upahan untuk tenaga kerja tambahan pengolahan lahan, penanaman dan penyiangan. Sedangkan sistem borongan berlaku untuk pemanenan dan khusus di kelompok tani Tunas Mekar pembajakan menggunakan traktor juga memakai sistem borongan. Tidak ada kelembagaan bawon di sini. Adapun aplikasi teknologi yang dilaksanakan oleh petani dapat dijadikan parameter dalam mengkaji pengaruh faktor kelembagaan, baik kelembagaan kelompok tani maupun kelembagaan lain yang ada terutama kelembagaan pendampingan dan penyuluhan. Untuk menggambarkan kinerja kelembagaan kelompok tani maka dapat dilakukan perbandingan antar kelompok dalam aplikasi teknologi yang dilaksanakan oleh petani anggotanya. Dalam penelitian ini tidak diuraikan secara detail semua proses budidaya yang dilaksanakan oleh petani, namun hanya pada penerapan teknologi yang menggambarkan adanya peran faktor kelembagaan. Persemaian Persemaian dilakukan sekitar 25 hari sebelum masa tanam, persemaian dilakukan pada lahan yang sama atau berdekatan dengan petakan sawah yang akan ditanami, hal ini dilakukan agar bibit yang sudah siap dipindah, waktu dicabut dan akan ditanam mudah diangkut dan tetap segar. Bila lokasi jauh maka bibit yang diangkut dapat stress bahkan jika terlalu lama menunggu akan mati. Benih yang dibutuhkan untuk ditanam pada lahan seluas satu hektar menurut anjuran LPS sebanyak 8-15 Kg, namun petani mamakai rata-rata hampir tiga kali lipatnya, antara 33-41 kgha. Sedangkan bila dirata-rata per kelompok berkisar antara 34,9-41 kgha. Kelompok dengan rata-rata pemakaian benih tertinggi adalah kelompok Harapan Maju. Sedangkan benih yang digunakan ada tujuh varietas yaitu Pandan Wangi, Cibogo, IR64, Banjar, Gilirang, Situbagendit Dan Bandayadha. Tabel 11. Teknologi Pembenihan yang Diterapkan di Setiap Kelompok Tani Kelompok Tani Aktivitas pembenihan Silih Asih Manung- gal jaya Lisung Kiwari Harapan Maju Maju Jaya Tunas Mekar Jumlah rata-rata benih per ha kg 33.51 35.44 34.90 40.38 41.19 37.34 Varetas benih Banjar 17 - - - - - Bandayudha - - - 50 67 - Cibogo 33 - - - - - Gilirang - - 20 - - - IR64 17 - - - - - Pandan Wangi 33 20 - - - - Situbagendit - 80 80 50 33 100 Asal benih Petani 17 - 20 25 - - Kelompok tani - - - - - 100 Koperasi Gapoktan 83 100 80 75 100 - Sumber : diolah dari data primer Hampir semua petani dari lima kelompok tani memakai benih yang disediakan oleh koperasi gapoktan Lisung Kiwari yang berada di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, hanya 10 persen yang memakai dari petani sendiri atau petani lain. Adapun khusus kelompok tani Tunas Mekar di Desa Ciderum, Kecamatan Caringin, melakukan penangkaran bibit unggul dari varietas Situbagendit sendiri untuk kebutuhan anggota kelompoknya. Pangolahan lahan Dalam pengolahan lahan tidak ada perbedaan nyata antar petani binaan, mereka semua menerapkan teknologi olah lahan yang relatif sama. Pengolahan lahan dimulai dari tahap pemopokan, yaitu memperbaiki galengan dan parit, sebelum lahan dibajak. Pembajakan sendiri mencakup pembajakan --pembalikan tanah-- dan penggaruan dengan bantuan alat traktor atau bajak tenaga ternak. Secara umum petani sebenarnya memilih memakai traktor dalam proses bembajakan karena efisiensi biaya. Biaya pembajakan menggunakan traktor rata- rata perhari kerja sebesar seratus duapuluh lima ribu rupiah yang kurang lebih setara dengan tiga hari kerja bajak ternak. Sementara ongkos bajak ternak sendiri adalah limapuluh ribu rupiah per hari. Di tambah lagi petani juga harus mengeluarkan minimal rokok dan kopi setiap hari kerjanya. Namun, kendala yang dihadapi petani dalam memanfaatkan traktor adalah keterbatasan jumlah traktor yang tidak mampu memenuhi semua permintaan petani dan kendala kondisi lahan. Ada lahan-lahan tertentu yang dari lokasi atau kondisi tanahnya tidak bisa di bajak dengan traktor. Khusus untuk petani di Kelompok Maju Jaya, baru mulai musim tanam 2008 mereka atau di lokasi mereka memiliki traktor, sebelumnya mereka memakai ternak. Pada saat pembajakan lahan, harus disertai dengan pencangkulan dilanjutkan dengan penyorongan guna meratakan tanah dan memastikan jerami kering, atau yang sudah dibusukkan, masuk ke dalam tanah. Lama proses pencangkulan biasanya mengikuti lamanya pembajakan. Proses selanjutnya adalah penggarukan atau pembuatan alur tanam. Teknologi penggarukan ini adalah teknologi baru yang didapatkan oleh petani dari pembinaan LPS. Sebelum dibina oleh LPS mereka tidak melakukan penggarukan, hasilnya, tanaman mereka tidak teratur. Peggarukan ini bertujuan mengatur jarak tanam dan merapikan tanaman. Manfaat dari teknologi baru ini selain memudahkan dalam proses penanaman dan penyiangan, jumlah anakan vegetatif dari bibit yang ditanam juga semakin banyak. Penanaman dan Pemeliharaan Satu paket dengan penggarukan, teknologi baru yang di dapat petani dari proses pembinaan LPS adalah dalam pengaturan jarak tanam memakai sistem legowo dan jumlah bibit perlubang yang ditanam. Sistem legowo adalah pemberian jarak antar beberapa baris tanaman, tujuannya untuk mengatur pengairan, memaksimalkan pertumbuhan anakan vegetatif bibit padi dan mempermudah penanggulangan gulma dan hama lainnya. Teknologi ini tidak semuanya dapat deterapkan oleh petani karena kendala petakan lahan yang kecil atau kondisi pengairan yang tidak mendukung. Menurut ketua kelompok tani Tunas Mekar, kelompokknya tidak menerapkan sistem legowo ini karena kondisi pengairan mereka yang tidak besar, sehingga tanpa sistem legowo pun, pengairan mereka sudah terjaga, atau istilah mereka macak- macak, tidak tergenang. Selain itu, penerapan sistem ini menambah tenaga kerja. Untuk mengganti itu, mereka memakai sistem jarak tanam caplak dengan jarak baris tanam yang diperlebar. Dilihat dari hasilnya, menurut dia, penggantian teknonogi itu cukup efisien. Kendala lain adalah dalam pengaturan jumlah bibit per lubangnya. Anjuran dari LPS adalah satu sampai dua bibit per lubang. Namun dalam praktiknya jumlah bibit yang mereka tanam menurut penuturan petani berkisar antara dua sampai tiga per lubang. Hal itu dilakukan dengan karena mereka menghadapi serangan hama keong mas yang memakan bibit anakan mereka. Sehingga lebih aman kalau mereka melebihkan bibit yang mereka tanam. Namun apabila dilihat dari pemakaian binih per satuan luas yang mereka pakai, jumlah itu masih belum setara dengan banyaknya benih. Ada satu alasan yang dalam penelitian ini belum bisa ditelusuri secara langsung yaitu, jumlah bibit sebenarnya yang ditanam oleh buruh tanam. Sistem penanaman yang di pakai oleh petani binaan LPS adalah sistem tapin atau tanam pindah, tidak ada petani yang memakai sistem tanam benih langsung atau tabela. Kelembagaan kerja penanaman pada lokasi penelitain adalah memakai buruh tanam wanita secara upahan. Kemungkinan terjadi kesalahan informasi antara buruh tanam dengan penyuluh dari LPS dan petani sangat besar. Hal itu dikarenakan para buruh tanam tidak mendapatkan penyuluhan dari LPS dan dari fakta di lapangan, petani binaan LPS juga kurang memperhatikan pemahaman buruh tanam mereka tentang jumlah ideal bibit per lubang. Hal ini mungkin bisa menjadi perhatian khusus bagi LPS ataupun pateni agar teknologi baru yang diperkenalkan LPS kepeda petani efektif terlaksana. Penyiangan dilakukan petani sebanyak dua kali salama satu musim tanam, hanya tiga persen petani yang melakukannya sekali. Penyiangan pertama dilaksanakan pada kisaran umur 20 sampai 30 hari sementara penyiangan kedua pada umur 35 sampai 60 hari. Seperti dalam penanaman, tenaga penyiangan pada umumnya adalah wanita dengan sistem upahan. Waktu penyiangan sangat bervariasi antar petani, bukan antar kelompok. Begitu pula dalam pelaksanaan pemupukan, terutama pupuk kimia. Ada kesamaan dalam frekuensi pemupukannya, yaitu dua kali setelah penanaman, namun waktu pelaksanaannya bervariasi antar petani. Sementara dalam hal pemakaian jenis pupuk, perbedaan nyata terjadi antar kelompok. Semua responden dari tiga kelompok tani di Desa Ciburuy, kecamatan Cigombong hanya memakai pupuk kemia berupa Urea dan SP 36 saja, hanya dua orang petani dari kelompok tani Manunggal Jaya yang memakai tambahan KCl. Berbeda dengan kelompok tani Harapan Maju, Desa Pasir Jaya, Kecamatan Cigombong, mereka memakai ketiga jenis pupuk tersebut, hanya satu orang petani yang tidak memakai KCl. Dinamika antar kelompok tani semakin terlihat jelas apabila kita membandingkan pula pemakaian pupuk kimia di dua kelompok lainnya di Kecamatan Caringin. Kelompok tani Maju Jaya, Desa Muara Jaya, semua anggota kolompuknya yang tersurvei serempak memakai pupuk Urea, SP 36 dan Phonska yang mengandung unsur NPK. Sedangkan kelompok tani Tunas Mekar, Desa Ciderum, sebagian besar anggotanya memakai semua jenis pupuk kimia berupa Urea, SP 36, KCl dan Phonska. Namun apabila dilihat dari pengaturan dosis pemupukan, takarannya sangat bervariasi antar petani. Tabel 12. Teknologi Pengolahan Lahan yang Diterapkan di Setiap Kelompok Tani Kelompok Tani Aplikasi Teknologi Silih Asih Manung- gal jaya Lisung Kiwari Harapan Maju Maju Jaya Tunas Mekar Alat Pembajakan Traktor 50 100 60 - - 83 Ternak 50 - 40 100 100 17 Sistem Jarak Tanam Legowo 33 80 60 75 33 - Caplak 67 20 40 25 67 100 Jarak tanam 20 x 20 cm 33 20 20 75 60 - 25 x 12,5 cm 50 60 20 - - - 25 x 20 cm - 20 20 25 20 100 30 x 15 cm 17 - 40 - 20 - Pemakaian Input Urea 100 100 100 100 100 100 SP 36 100 100 100 100 100 67 KCl 40 75 100 Phonska 100 83 P Organik 100 100 100 100 100 100 Pestisida Nabati 17 40 75 100 100 Yang termasuk sebagai pupuk organik adalah pupuk kandang ataupun jerami yang dimasukkan kembali ke lahan saat pengolahan lahan, baik yang dikompos atau tanpa pengolahan. Sumber : diolah dari data primer Dalam penentuan dosis pemupukan di setiap kelompok sangat beragam. Selain dalam masalah pengukuran jumlah benih, dalam hal pemupukan juga terlihat belum adanya keseragaman antar anggota dan antar kelompok. Begitu pula dalam pemberian pestisida nabati. Secara umum sebenarnya tanaman petani tidak ada serangan hama. Oleh karena itu sebagian petani dari kelompok tani di desa Ciburuy tidak memberikan pestisida pada tanaman padi mereka. Namun, di kelompok lain, seperti masih menjadi kebiasaan tanpa melihat kebutuhan akan pemakaian pestisida tersebut, apakah perlu atau tidak. Hal itu mungkin dikarenakan petani dapat membuat sendiri pestisida nabati tanpa pengeluaran biaya yang berarti. Akan tetapi, apabila dilihat dari sisi efisiensi, hal itu merugikan. Tabel 13. Dosis Rata-Rata Pemakaian Pupuk dan Pestisida Nabati Kelompok Tani Kelompok Tani Urea kg SP 36 kg KCl kg Phonska kg P.ORG kg PASTI L Silih Asih 142.03 119.42 0.00 0.0 2910.38 0.67 Manunggal Jaya 164.71 72.82 12.09 0.0 2724.67 0.00 Lisung Kiwari 144.62 96.68 0.00 0.0 2551.62 1.22 Harapan Maju 204.62 70.77 41.02 0.0 3123.08 2.42 Maju Jaya 155.95 57.65 0.00 43.47 3324.15 3.84 Tunas Mekar 155.87 32.67 34.84 55.40 3081.75 3.88 Ketetangan : P.ORG = pupuk organik, PASTI = pestisida nabati Sumber : diolah dari data primer

6.4. Pemanenan Dan Kelembagaan Borongan Panen

Dalam menentukan masa panen, petani di semua kelompok sudah mengerti bahwa hasil padi yang bagus saat dipanen adalah ketika padi sudah menguning dan merunduk sementara daunnya masih hijau. Waktu pemanenan di kelompok-kelompok tani binaan LPS tidak serempak dikarenakan waktu tanam yang berbeda pula, hal itu sengaja dilakukan untuk mengurangi risiko fluktuasi harga gabah dan menjaga pasokan gabah untuk bahan baku beras SAE kontinu. Sistem pemanenan di lokasi penelitian ini tidak memakai sistem bawon seperti yang dilaksanakan di daerah lain, tetapi memakai sistem borongan. Panen tidak dilakukan sendiri melainkan oleh pemborong yang memang berprofesi kerja seperti itu. Jumlah pemborong tergantung luas lahan dan berasal dari petani padi lain atau memang sekedar buruh borong panen. Penghitungan nilai borongan yang berlaku sekarang adalah 150 rupiah per kilogram gabah kering panen dan ditambah biaya angkut ke jalan atau tempat penggilingan sebasar 50 rupiah per kilogram untuk lahan yang jaraknya jauh dari jalan atau penggilingan. Tabel 14. Perlakuan dan Sistem Pemanenan yang Dilaksanakan Petani Perlakuan Panen Penerapan Penentuan panen Gabah kuning, daun masih hijau Cara panen Poto ng bawah Alat panen yang digunakan Sabit biasa Sistem panen Borongan Besar borongan Rp. 150,-kg GKP Cara perontokan Digebot tanpa tirai Jumlah bantingan 5 – 7 kali Besar genggaman Satu genggaman – lebih besar Penampian Tidak dilakukan Sumber : diolah dari data primer Kelemahan dari sistem borongan ini adalah “kejar cepat” selesai, sehingga petani juga tidak bisa menjamin penggebotan dilakukan dengan sempurna agar semua gabah rontok dari tangkainya. Risiko dari sistem ini tentunya nilai rendemen gabah yang berkurang apabila perontokan tidak sempurna. Karena sistem borongan ini pula sehingga tidak dapat didapat informasi yang valid dari petani tentang jumlah bantingan dan besar genggaman dalam setiap penggebotan. Padahal besar kecilnya genggaman dan jumlah bantingan menentukan besar kecilnya rendemen. Ketidak-valid-an informasi ini menggambarkan bahwa petani belum memperhatikan faktor ini, dan disarankan kedepannya petani mengontrol aktivitas pemanenan ini agar diperoleh rendemen yang lebih besar.