perawatan keluarga diharapkan terlibat dalam penanganan penderita. Hasil penelitian Wurtiningsih 2010 pada pasien stroke di ruang B1 Saraf RSUP Dr. Kariadi
Semarang menguraikan bentuk dukungan instrumental yang diberikan keluarga kepada penderita stroke antara lain; membantu penderita melakukan latihan gerak
sendi, memberi makan melalui selang dan membantu mengontrol minum obat jika habis. Hasil penelitian Kurniasari 2011 menunjukkan bahwa ada hubungan antara
keteraturan minum obat p=0,005 dan keteraturan kontrol p=0,000 dengan kejadian stroke berulang. Hasil penelitian Siswanto 2005 dengan desain penelitian case
control juga mengungkapkan bahwa ketidakteraturan minum obat merupakan faktor risiko terjadinya stroke berulang dengan OR: 4,39 95 CI: 1,623-11,886. Untuk itu
diharapkan kepada keluarga untuk membantu penderita stroke minum obat dengan teratur sesuai petunjuk dokter saat melakukan kontrol pengobatan rawat jalan di
rumah sakit, sehingga terjadinya stroke berulang dapat dihindari.
5.6. Pengaruh Dukungan Emosional terhadap Kejadian Stroke Berulang di
RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun 2011
Caplan dalam Friedman 1998 mengungkapkan bahwa dukungan emosional yang diberikan keluarga dapat berupa tempat yang aman dan damai untuk istirahat
dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Lebih jelasnya, Sarafino 2006 menguraikan bahwa dukungan emosional emotional support mencakup
ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan. Dukungan emosional merupakan ekspresi dari afeksi, kepercayaan, perhatian, dan
perasaan didengarkan. Kesediaan untuk mendengarkan keluhan seseorang akan
Universitas Sumatera Utara
memberikan dampak positif sebagai sarana pelepasan emosi, mengurangi kecemasan, membuat individu merasa nyaman, tenteram, diperhatikan, serta dicintai saat
menghadapi berbagai tekanan dalam hidup mereka. Penderita pasca stroke sangat memerlukan adanya dukungan keluarga untuk
berusaha membantu penderita pasca stroke dalam hal menstabilkan kembali emosinya, meredakan kembali kemarahan dan kecemasannya juga untuk
menumbuhkan kembali rasa percaya dirinya agar tetap semangat menjalani kehidupannya.
Menurut Kim JS, dkk dalam Silaen 2008 mengungkapkan bahwa pasien dengan stroke sering menjadi mudah terangsang, impulsif dan marah atau agresif
terhadap orang lain. Kim et al tahun 2002 meneliti faktor-faktor yang berhubungan dengan Inability to Control Anger or Aggression ICAA pasca stroke dan
melaporkan bahwa ICAA berhubungan erat dengan disfungsi motorik, disartria, keadaan emosi, dan lesi yang mengenai area frontal-lenticulocapsular-pontin. Oleh
karena itu, dukungan emosional dari keluarga dan orang-orang terdekat memainkan peran yang besar untuk memotivasi penderita di masa depan.
Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian Astuti, S.I 2010 tentang hubungan antara dukungan keluarga dengan kestabilan emosi pada penderita pasca stroke di
RSUD UNDATA Surakarta bahwa diperoleh nilai korelasi r sebesar 0,461 ; p0 0,002 p≤ 0,01, yang berarti adanya hubungan positif yang sangat signifikan antara
dukungan keluarga dengan kestabilan emosi pada penderita stroke. Semakin tinggi
Universitas Sumatera Utara
dukungan keluarga yang diperoleh penderita maka akan semakin tinggi kestabilan emosi begitu pula sebaliknya.
Berdasarkan jawaban responden diketahui dukungan emosional yang “Selalu” diberikan keluarga pada kelompok kasus adalah berusaha menjaga perasaan penderita
stroke agar tidak merasa tersinggung karena perkataan maupun perbuatan yaitu dengan persentase 35 14 orang, sedangkan pada kelompok kontrol keluarga
“Selalu” mendengarkan keluhan-keluhan penderita stroke dan juga menjaga perasaan penderita masing-masing sebesar 47,5 19 orang. Dukungan emosional yang
”Sering” diberikan keluarga pada kelompok kasus adalah mendengarkan keluhan- keluhan penderita sebesar 67,5 27 orang, sedangkan pada kelompok kontrol
dukungan emosional yang “Sering” diberikan keluarga adalah mengungkapkan rasa kasih sayang kepada penderita sebesar 55,0 22 orang. Dukungan emosional yang
“Kadang-kadang” diberikan keluarga pada kelompok kasus adalah membiarkan saja penderita dalam keadaan stress dan tertekan akibat penyakit stroke yang diderita
sebesar 40 16 orang, se dangkan pada kelompok kontrol keluarga “Kadang-
kadang” menunjukkan rasa empati kepada penderita stroke melalui sentuhan tanganpelukan. Dari semua bentuk dukungan emosional tersebut masih ada beberapa
tindakan yang kurang mendukung penderita stroke. Hal ini diasumsikan karena keluarga juga mengalami kejenuhan hingga stress dalam menghadapi penderita stroke
selama bertahun-tahun. Dennis dalam Silaen 2008 pernah meneliti outcome emosional stroke pada
pengasuh di Scotlandia. Gangguan emosional yang berat dan depresi sering dijumpai
Universitas Sumatera Utara
pada pengasuh. Pengasuh sepertinya lebih mudah depresif jika pasien stroke bergantung atau mengalami gangguan emosional. Pengasuh wanita untuk pasien pria
lebih ansietas dan depresi daripada pengasuh pria. Pengasuh yang lebih tua lebih depresi daripada yang lebih muda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh antara dukungan emosional keluarga terhadap kejadian stroke berulang dengan nilai p0,05 dan OR :
1,222 95 CI : 0,508-2,943. Tidak adanya hubungan antara dukungan emosional dengan kejadian stroke berulang tersebut diasumsikan karena sebagian besar
responden memberikan dukungan emosional yang baik kepada penderita stroke. Berdasarkan data karakteristik responden, sebagian besar 52,5 responden pada
kelompok kasus maupun kontrol adalah anak dari penderita stroke, sehingga diasumsikan mereka memiliki hubungan emosional yang dekaterat dengan penderita.
Kuntjoro 2002 mengemukakan bahwa keeratan emosional merupakan salah satu komponen dukungan sosial. Keberadaan dukungan sosial yang adekuat terbukti
berhubungan dengan menurunnya mortalitas, lebih mudah sembuh dari sakit, fungsi kognitif, fisik dan kesehatan emosi. Disamping itu, pengaruh positif dari dukungan
sosial keluarga adalah kemampuan penyesuaian terhadap permasalahan-permasalahan dalam kehidupan yang penuh dengan stress.
Terkait dengan permasalahan stress tersebut, pada artikel kesehatan online spesialis.info diungkapkan bahwa ada perbedaan antara pria dan wanita dalam
menghadapi stress. Dimana pria cenderung lebih memilih jalan yang tidak sehat untuk mengatasi stres dibandingkan wanita. Berdasarkan hasil penelitian dari UCLA
Universitas Sumatera Utara
pada tahun 2002 UCLA Study On Friendship Among Women, diketahui bahwa pada saat menghadapi stres, pria lebih sering merespon dengan cara fight-or-flight
sedangkan wanita merespon dengan cara tend-and-befriend. Respon Fight artinya pada saat seseorang mengalami stres, maka dia akan menanggapi dengan melakukan
tindakan agresif, baik melalui kata-kata ataupun tindakan sedangkan respon flight berarti bahwa saat menghadapi stres, individu tersebut cenderung untuk menyendiri
atau melarikan diri dari masalah tersebut, sedangkan pada wanita apabila mengalami stress, mereka cenderung untuk lebih menyibukkan diri merawatmengasuh keluarga
tend dan bercerita kepada teman ataupun keluarga perihal masalahnya tersebut befriend.
Faktor stress ini penting untuk diperhatikan oleh keluarga dan penderita stroke. Dalam artikel Bethesda Stroke Centre tahun 2012 disebutkan bahwa stress
emosional akan meningkatkan risiko stroke 1,5-2 kali lipat. Sutanto 2010 juga mengungkapkan bahwa stress dapat menyumbang hingga 20 penyebab stroke,
selain itu juga menimbulkan hipertensi atau darah tinggi. Stress yang tidak terkendali akan memicu naiknya tekanan darah dan beresiko terkena serangan jantung. Stress
dapat pula menaikkan kadar kolesterol dalam darah. Kondisi tersebut nantinya dapat membuat pembuluh darah tersumbat sehingga penderita rentan terhadap stroke
termasuk stroke berulang.
Universitas Sumatera Utara
5.7. Pengaruh Dukungan Sosial Keluarga terhadap Kejadian Stroke Berulang di RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun 2011
Berdasarkan hasil analisis bivariat diketahui bahwa variabel dukungan informasional dan dukungan penilaian memiliki pengaruh terhadap kejadian stroke
berulang di RSUD dr. Pirngadi Medan Tahun 2011 dengan nilai p0,05. Oleh karena itu variabel-variabel tersebut dapat dilanjutkan ke dalam analisis multivariat. Hasil uji
regresi logistik berganda menunjukkan bahwa dukungan penilaian adalah variabel yang dominan berpengaruh terhadap kejadian stroke berulang di RSUD dr. Pirngadi
Medan dengan nilai p 0,05. Pengaruh yang terjadi antara variabel dukungan sosial keluarga berbalik
dengan kejadian stoke berulang dengan nilai konstanta negatif -4,222. Artinya, semakin baik dukungan sosial yang diberikan keluarga maka semakin kecil
kemungkinan penderita untuk mengalami stroke berulang. Hal ini didukung oleh nilai OR1 yang menunjukkan bahwa dukungan penilaian merupakan faktor risiko
terjadinya stroke berulang. Dukungan penilaian yang positif membuat penderita stroke merasa tetap dihargai dan tetap dibutuhkan dalam keluarganya.
Menurut Cobb yang dikutip oleh Rustiana 2006 menjelaskan bahwa dukungan penilaian membuat kita mempunyai perasaan bahwa kita ini bernilai, dan
masuk hitungan. Penghargaan diri adalah suatu bagian yang penting dari manajemen stress yang sukses. Terkait dengan dukungan penilaian tersebut, Hobfoll dan
Lieberman 1987 dalam penelitiannya juga mengungkapkan bahwa penghargaan diri yang tinggi penting untuk membatasi terjadinya depresi postpartum. Kita
Universitas Sumatera Utara
mendapatkan penghargaan dan dukungan-dukungan lain dari hubungan kita dengan seseorang yang akrab dan saling percaya. Hubungan ini memberi kita rasa tentram,
rasa bahwa kita dipedulikan. Pada hasil studi yang dilakukan oleh peneliti dari University of California Los
Angeles UCLA terhadap 291 orang pria penderita kanker prostat juga menunjukkan hasil yang serupa bahwa dengan adanya dukungan sosial dari keluarga dapat
mempercepat proses penyembuhan kanker prostat. Diantara subjek penelitian, 13 mendapat dukungan penuh dari pasangannya, dapat sembuh lebih cepat. Pasangannya
bertoleransi dengan penyakit itu dan mengatasinya sejak awal. Ini membuat kesehatan mereka tetap terjaga, sehingga mudah disembuhkan. Dukungan
membesarkan hati pasien, maka semangat untuk bertahan hidup tinggi. ini amat berpengaruh pada pertumbuhan sel kanker. Makin besar semangat hidup penderita,
sel kanker lebih mudah ditekan. Untuk pria yang membujang, mereka harus mendapat dukungan dari orang-orang terdekat, misalnya keluarga Rustiana, 2006.
5.8. Keterbatasan dan Kelemahan dalam Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, ada beberapa keterbatasan dan kelemahan antara lain :
1. Peneliti mengalami kesulitan saat mewawancarai responden di ruang tunggu Poli
Stroke karena suasana yang ricuh oleh keramaian sehingga mengganggu konsentrasi dan kelancaran wawancara. Hal ini disebabkan karena ruang tunggu
Universitas Sumatera Utara
tersebut bergabung dengan ruang tunggu Poli Gigi dan pasien lain yang menunggu antrian Apotik.
2. Peneliti harus memiliki beberapa cara untuk menghindari terjadinya “leading
questions ”, sehingga dibutuhkan keahlian dalam menyampaikan pertanyaan agar
responden dapat menjawab pertanyaan dengan benar. Ini merupakan salah satu kelemahan dari desain penelitian case control dimana validasi informasi kadang-
kadang sukar diperoleh. 3.
Peneliti memerlukan waktu untuk pendekatan terlebih dahulu dengan keluarga penderita stroke untuk menciptakan komunikasi yang baik antara peneliti dan
responden. Oleh sebab itu, waktu yang dibutuhkan untuk mewawancarai satu responden dengan yang lainnya berbeda. Proses wawancara bisa cepat selesai
jika responden memiliki karakteristik serupa dengan peneliti dari segi umur dan pendidikan.
4. Pada beberapa responden tidak dapat mengatakan dengan pasti kapan tepatnya
penderita pertama kali terkena serangan stroke, mereka mencoba mengingat dengan beberapa peristiwa lain yang terjadi pada saat terserang stroke, seperti
tahun suaminya meninggal dunia atau saat anaknya melahirkan cucu penderita. 5.
Pengambilan sampel pada penelitian ini tidak melalui matching karena keterbatasan waktu peneliti untuk mengidentifikasi dan mendapatkan sampel
yang diinginkan sehingga ditemui karakteristik dari kelompok kasus dan kontrol yang berbeda.
Universitas Sumatera Utara
6. Penelitian ini hanya dapat menjelaskan hasil secara kuantitatif karena peneliti
hanya mendapatkan informasi pada saat penelitian. Untuk mengetahui lebih dalam lagi perilaku penderita stroke di rumah sebaiknya didukung dengan riset
kualitatif dengan metode observer participant.
Universitas Sumatera Utara
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN