Hubungan Stereotype dengan Komunikasi Antarbudaya Pengertian Etnik Semiologi

kelompok lain sebagai kelompok yang lebih rendah, sifat memusuhi kelompok lain pada saat tertentu namun menjaga jarak pada saat lain. Yang pada akhirnya menjadi kekeliruan persepsi dan hambatan bagi suatu kegiatan komunikasi karena adanya pertentangan atau sikap curiga.

2.8 Hubungan Stereotype dengan Komunikasi Antarbudaya

Ketika individu berbeda budaya berkomunikasi, salah penafsiran atas pesan yang disampaikan merupakan hal yang lazim. Perbedaan faktor budaya seperti bahasa, system komunikasi non verbal, norma, nilai, kepercayaan yang berakar dalam system budaya secara keseluruhan, yang sering menimbulkan kesalahpahaman antarbudaya yang berbeda. Hal ini disebabkan karena persepsi yang berbeda dari individu berbeda budaya. Jika komunikasi diantara individu yang berbeda budaya didahului oleh persepsi yang negative, akan menimbulkan stereotype negatif. hal itu akan mempengaruhi efektifitas komunikasi dalam interaksinya. Efektifitas komunikasi tergantung atas pengertian bersama antarpribadi sebagai orientasi persepsi serta system kepercayaanStereotype. William, 1966 dan Samovar 1976.

2.9 Pengertian Etnik

Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. Etnik ethnic berasal dari bahasa Yunani “etnicos” yang diasumsikan sebagai kelompok yang fanatic terhadap ideologinya. Para ahli ilmu sosial menganalogikan kelompok etnik sebagai kelompok penduduk yang mempunyai kesamaan sifat-sifat budaya misalnya bahasa, adat istiadat, perilaku budaya, karakteristik budaya serta sejarah budaya. Konsep yang terkait dengan etnik adalah etnosentrisme yang merupakan sikap untuk menilai unsure-unsur kebudayaan lainnya dengan mempergunakan ukuran- ukuran kebudayaan sendiri tanpa mau mengerti atau memahami nilai-nilai kebudayaan kelompok lainnya.Hariyono,1998:56.

2.10 Semiologi

Semiologi atau semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika, dan poetika. Akarnya adalah “semeion”, nampaknya diturunkan dari kedokteran hipokraktik atau asklepiadik dengan perhatiannya pada simptomatologi dan diagnostic inferensialSinha, 1988:3 dalam Kurniawan,2001:49. Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalh perngkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, ditengah-tengah manusia dan bersama-sama manusiasobur, 2004:15. Semiologi adalah ilmu tentang bentuk-bentuk, karena hal itu mempelajari pertandaan terlepas dari kandungannya Barthes, 2007:299. Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. Sejak kemunculan Saussure dan Peirce, maka semiologi menitikberatkan dirinya pada studi tentang tanda dan segala yang berkaitan tentang tanda. Meskipun semiotika Pierce masih ada kecenderungan meneruskan tradisi skolastik yang mengarah pada inferensi pemikiran logis dan Saussure menekankan pada Linguistik, kenyataannya semiologi juga membahas signifikasi dan komunikasi yang terdapat dalam system tanda non linguistic. Sementara itu, bagi Barthes 1988:179 semiologi hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan humanitymemakai hal-hal things. Kurniawan 2001:53. Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembacathe reader. Konotasi, walupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai system pemaknaan tataran kedua, yang dibangun di atas system lain yang telah ada sebelumnya. Sastra merupakan contoh paling jelas system pemaknaan tataran kedua yang dibangun diatas bahasa sebagai system pertama. System kedua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang didalam Mythologiesnya secara tegas dibedakan dari denotative atau system tataran pertama. Melanjutkan studi Hjelmslev, Barthes menciptakan peta tentang bagaiman tanda bekerja CobleyJanz,1999. Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. Gamba r 2.1.4 Peta Tanda Roland Barthes Sobur, 2003 : 69 1. Signifier Penanda 2.Signified Petanda 3. Denotative sign Tanda Denotativ 4. CONOTATIVE SIGNIFIER PENANDA KONOTATIF 5. CONNOTATIVE SIGNIFIED PETANDA KONOTATIF 6. CONNOTATIVE SIGN TANDA KONOTATIF Dalam Konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaanya. Konotasi identik dengan operasi ideology, yang disebutnya sebagai”mitos”dan berfungsi untuk mengungkapkan dan meberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominasi yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Barthes memfokuskan ulang lensa arsenal teoritisnya pada konsep- konsep yang berkaitan dengan pengolahan hasrat manusia. Jadi penekanan pembacaan diarahkan pada representasi tubuh, kenikmatan, cinta, nafsu, Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. keterasingan, interobjektivitas, budaya perbedaan, memori dan tulisan Trifonas, 2003 : 12. Lima kode Barthes adalah : 1. Kode Hermeneutic atau kode teka-teki adalah satuan-satuan sengan berbagai cara berfungsi untuk mengartikulasi suatu persoalan, penyelesaiannya serta aneka peristiwa yang dapat diformulasi persoalan tersebut, atau bahkan yang menyusun semacam teka-teki enigma dan sekedar memberi isyarat bagi penyelesaiannya. Pada dasarnya kode ini adalah sebuah kode “penceritaan”, yang dengannya sebuah narasi dapat mempertajam permasalahan, menciptakan ketegangan dan misteri, sebelum memberikan pemecahan atau jawaban Budiman, 2004 : 55. 2. Kode Semik atau kode konotatif banyak menawarkan banyak isi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema sutu teks. Barthes melihat bahwa dikelompokkan dengan konotasi, kita menemukan suatu tema di dalam cerita. 3. Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas, karena bersifat struktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi psikoseksual yang melalui proses ataupun pada taraf pemisahan dunia secara kultural dan primitiv menjadi kekuatan dan mitologis dapat dikodekan Sobur, 2004 : 66. Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. 4. Kode Proaretik atau kode tindakan. Kode ini didasarkan pada konsep proairesis, yakni kemampuan untuk menentukan hasil atau akibat dari suatu tindakan secara rasional yang mengimplikasikan suatu logika prilaku manusia : tindakan-tindakan membuahkan dampak-dampak dan masing-masing dampak memiliki tema generik tersendiri, semacam judul bagi yang bersangkutan. 5. Kode Gnomic atau kode kultural banyak jumlahnya. Kode ini berwujud sebagai suara kolektif yang anonim dan ototatif ; bersumber dari pengalaman manusia yang mewakili atau berbicara tentang esuatu yang hendak dikukuhkan sebagai pengetahuan atau kebijaksanaan yang diterima secara umum. Kode ini yang bisa berupa kode-kode pengetahuan atau kearifan yang terus-menerus dirujuk oleh teks, atau yang menyediakan semacam dasar autoritas dan ilmiah bagi suatu wacana Budiman, 2004 : 56. Tujuan analisis Barthes ini, menurut Lechte 2001 : 196 bukan hanya untuk membangun siatu sistem klasifikasi unsur-unsur narasi yang sangat formal, namun lebih banyak untuk menunjukkan bahwa tindakan yang paling masuk akal dan rincian yang paling menarik merupakan produk buatan dan bukan tiruan dari yang nyata. Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. Semiologi sejauh ini tetaplah sebuah metode untuk mendekati kebuadayaan dalam beragam bentuk.

2.11 Kerangka Berpikir