kesenjangan di kalangan kaum Tionghoa itu sendiri, karena akan menimbulkan pemikiran lain yang beranggapa orang-orang Cina yang lahir di Indonesia tidak
mengenal dengan baik budaya Cina budaya asli keturunan Tionghoa.
4. Kode Proaretik
Leksia 7 halaman 126
“Lagian, kalau aku meletakkan jabatanku sebagai pastor,apakah kamu yakin kita direstui menikah oleh papamu?Dari warna kulit saja kita sudah berbeda,
apakah papa dan keluarga besarmu menerimaku?. Antonius Jawa dan Indah Cina”.halaman 126
Leksia diatas digolongkan kedalam kode pembacaan proaretik atau kode narasi yang merupakan kode “tindakan” action. Kode ini didasarkan
atas konsep “kemampuan untuk menentukan hasil atau akibat dari suatu tindakan secara rasional yang mengaplikasikan logika manusia.
Dari pernyataan diatas, dapat diketahui bahwa pernyataan itu menuai sebuah dampak maupun tindakan-tindakan yang diakibatkan oleh sebuah
pemikiran yang salah. Faktor-faktor itu muncul menurut logika pelaku pada etnis dan ras yang jauh berbeda, tidak boleh saling mencintai. Terutama yang
terjadi pada wanita kaum Tionghoa yang mencintai pria jawa ataupun sebaliknya, hal inipun menjadi budaya dalam pola pikir masyarakat. Dapat
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
disimpulkan bahwa adanya stereotype yang timbul pada individu etnis Jawa dan individu Cina. Yang dilihat dari faktor pada masa Orde Baru, etnis Jawa
dan etnis Cina yang selalu bermasalah, dibudayakannya asumsi hingga kini, bahwa Cina dan Jawa sulit bersatu.
Leksia 9 halaman 235
“ Amoy Ngapain nyanyi keras-keras…lu bukan orang Indonesia…Amoy, am-AAWWW” halaman 235
Leksia di atas digolongkan dalam kode pembacaan proaretik atau kode narasi yang merupakan kode “tindakan” action. Kode ini didasarkan atas
konsep “kemampuan untuk menentukan hasil atau akibat dari suatu tindakan secara rasional yang mengaplikasikan logika manusia”
Dari pernyataan di atas, dapat dilihat bahwa tokoh dalam novel ini mendapatkan penghinaan. Kaum Tionghoa di Indonesia tidak dianggap
sebagai orang Indonesia meski dirinya hanya seorang keturunan. Semestinya sebagai sebuah bangsa yang berbudaya, kita harus saling menghormati dan
menghargai sesama. Selain itu, sebagai sebuah bangsa yang menjaga kerukunannya, tidak sepantasnya perbedaan menjadi sebuah jurang kesetaraan
sosial.
Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.
PENANDA : “Amoy Ngapain nyanyi keras-keras…lu bukan orang
Indonesia…Amoy, am-AAWWW” PETANDA : amoy sebutan yang
ditujukan pada keturunan Tionghoa.
TANDA DENOTATIF : pada leksia ini menjelaskan bahwa adanya anggapan bahwa orang-orang tionghoa di Indonesia buka warga Negara Indonesia.
PENANDA KONOTATIF : “lu bukan orang Indonesia”
PETANDA KONOTATIF: bahwa secara tidak langsung terjadi pelecehan
yang ditujukan pada kaum Tionghoa TANDA KONOTATIF : dari leksia diatas dapat disimpulkan bahwa kaum
Tionghoa di Indonesia sering mendapatkan pelecehan baik secara verbal maupun non verbal. Ketidakberdayaan kaum minoritas sering dijadikan peluang bagi
orang-orang tak bertanggung jawab untuk melakukan tindakan-tindakan semena- mena. Terutama apa yang terjadi pada keturunan Tionghoa.
5. Kode Gnomic