Cara orang lain berperilaku atau bertindak terhadap individu merupakan sumber pedoman yang terus berkembang untuk individu yang bersangkutan dalam
melihat dirinya. Pedoman ini makin lama makin teroganisir dengan semakin tersosialisasinya seseorang. Pada masa kanak-kanak, seseorang belum mempunyai
pedoman cukup teroganisasi untuk melihat identitas dan ciri-ciri dirinya. Jati diri seseorang berkembang melalui proses interaksi dengan orang lain. Melalui proses
interaksi ini ia akan mengetahui tempat dalam kelompok dan masyarakat. Jati diri terkait dengan status dan peranan yang dimiliki seseorang dan
kelompok dan masyarakatnya. Dalam hal ini, terjadi internalisasi dan pendefinisian kembali secara terus-menerus. Perubahan status dan peranan yang dimiliki seseorang
akan berpengaruh terhadap cara orang itu melihat identitas ciri-cirinya. Berdasarkan pendapat para ahli di atas akan konsep jati diri menurut penulis
adalah pemahaman seseorang tentang identitas dan ciri-ciri dirinya. Beberapa aspek yang mempengaruhi, yaitu aspek religi, aspek adat istiadat, aspek bahasa, dan aspek
kepribadian berupa penglihatan seseorang terhadap identitas dan ciri-ciri dirinya. Yang berguna melestarikan dan memelihara kebudayaan selaras dengan jati diri
masyarakat yang menjadi pendukung suatu kebudayaan. Hal ini juga bermanfaat untuk mengungkap nilai-nilai yang sudah terlupakan oleh masyarakat Indonesia.
2.2 Konsep Pencarian Jati Diri
Kata pencarian berasal dari kata dasar cari, yang berarti ingin menemukan sesuatu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pencarian mengandung definisi
proses, cara, atau perbuatan mencari, dan juga bisa berarti pekerjaan yang menjadi pokok penghidupan. Dan arti kata mencari dalam KBBI berarti berusaha
mendapatkan memperoleh, menemukan, dan memilih. Pencarian jati diri berhubungan dengan tahap perkembangan anak khususnya
tahap pencarian identitas dalam Ilmu Psikologi. Dalam teori Psikososial Erikson
Sharani, 2004:35 perkembangan manusia lebih menjurus kepada perkembangan
identitas yang berlaku secara berterusan sehingga ke akhir hayat. Setiap tahap perkembangan mempunyai krisis, jika bisa menangani krisis tersebut maka orang
tersebut bisa membentuk identitas dan personalitas yang baik. Sedangkan jika gagal maka akan berhadapan dengan konflik identitas.
Tahap-tahap perkembangan manusia oleh Erik Erikson biasa disebut dengan
Erikson’s Eight Life-span stages 1968. Ada delapan tahapan perkembangan yang
diungkapkan oleh Erikson. Menurut Erikson pada usia 1 hingga 30 tahun penghayatan seseorang akan dirinya sangat ditentukan oleh perlakuan-perlakuan yang
diterima oleh lingkungan sekitarnya. Faktor akan kebingungan jati diri akibat pemberian identitas secara paksa oleh orang tua, atau kurang terkuatkan sisi industri
seperti menjadi kurang produktif dalam pekerjaannya, dan adanya rasa bersalah serta malu terhadap diri sendiri merupakan ancama bagi seseorang dalam menjalin relasi
yang intim. Dalam tahapannya, Erikson membagi 2 tahap perkembangan anak yang
berhubungan dengan identitas. Usia 7-12 tahun, identitas yang kokoh lahir dari kemahiran akademik dan cara bersosial melalui keterlibatan aktif dalam berbagai
aktivitas. Usia 12-18 tahun merupakan konflik identitas diri dengan kebingungan peran. Seseorang mulai mampu membentuk individu yang nyaman dan yakin pada
keupayaan diri mengatasi perasaan yang berhubungan pada identitas diri. Pada umur ini anak memperoleh kesadaran pada diri mereka sebagai individu. Ini adalah tahap
dimana seorang individu bertanya “siapa aku”, dan untuk menjawabnya seseorang perlu mengintegrasikan penyelesaian pada semua konflik sebelumnya,
mengembangkan naluri asas kepercayaan, berdikari, kecakapan, dan rasa dapat mengawal diri. Individu yang berhasil menangani konflik sebelumnya sudah siap
menghadapi krisis identitas Azizi dan Jaafar, 2005:32.
Menurut Hurlock
1992 usia tersebut adalah masa mencari identitas diri yang
dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya dan apa peranannya dalam masyarakat. Juga dimana seseorang mengalami kebingungan atau kesulitan
didalam usaha meninggalkan kebiasaan pada usia sebelumnya. Sedangkan menurut
Havighurts Gunarsa, 1986 tugas perkembangan anak usia 6-12 tahun adalah
menggunakan kemampuan fisiknya, belajar sosial, bergaul, dan termasuk memperoleh kebebasan pribadi. Individu ingin selalu menunjukan identitas diri.
Ketika sudah dapat memantapkan identitas dirinya, individu mulai memantapkan tujuan hidupnya dan lebih mandiri.
Pencarian jati diri atau identitas ini dilandasi oleh beberapa faktor, contohnya
faktor pembawaan sejak lahir. Arthur Schopenhauer 1788-1800 seorang filsof
Jerman mengatakan bahwa perkembangan manusia hingga tahap pencarian jati diri
ditentukan oleh pembawaannya, sedangkan pengalaman dan pendidikan tidak berpengaruh apa-apa.
Ada juga faktor lingkungan yang mempengaruhi. Menurut John Locke, faktor pembawaan tidak ada pengaruhnya. Saat dilahirkan, anak masih suci bersih. Sehingga
karena faktor lingkungan seorang anak tersebut bisa berkembang dan mulai mencari jati dirinya. Faktor lain yang mempengaruhi pencarian jati diri adalah pendidikan
seseorang tersebut, peran orang tua dan orang-orang terdekat, faktor pengetahuan, dan terutama faktor yang paling terpenting adalah dari sudut pandang si individu itu
sendiri atau keinginan dan niatnya.
2.3 Novel Sebagai Media Komunikasi Massa