S adalah untuk semiotic relation hubungan semiotik; s untuk sign tanda; i untuk interpreter penafsir, e untuk effect pengaruh. Misalnya suatu disposisi pada i akan
bereaksi dengan cara tertentu terhadap r pada kondisi-kondisi tertentu c karena s.r untuk reference rujukan; dan c untuk context konteks atau condition kondisi
Sobur, 2004:17 Awal mulanya konsep semiotika diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure
melalui dikotomi sistem tanda signified dan signifier atau signified dan significant yang bersifat atomistis. Kajian semiotika sampai sekarang telah membedakan dua
jenis semiotika, yakni semiotika komunikasi dan semiotika signifikasi. Yang pertama menekankan pada teori tentang produksi tanda yang salah satu diantaranya
mengasumsikan adanya enak faktor dalam komunikasi, yaitu pengirin komunikator, penerima kode sistem tanda, pesan, saluran komunikasi dan acuan hal yang
dibicarakan. Yang kedua memberikan tekanan pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu konteks tertentu, lebih mengutamakan segi pemahaman suatu tanda
sehingga proses kognisinya pada penerima tanda lebih diperhatikan daripada proses
komunikasinya Sobur, 2004:15.
2.8 Semiologi Roland Barthes
Rolland barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktekkan model linguistic dan semiologi saussere. Ia juga intelektual dan
kritikus sastra perancis yang ternama. Eksponen penerapan strukturalisme dan
semiatika pada studi sastra. Barthes 2001:208 mnyebutkannya sebagai tokoh yang
memainkan peranan sentral dalam strukturalisme tahun 1960 sampai 1970an
Sobur,2001:63 .
Barthes mengatakan suatu karya atau teks merupakan sebuah bentuk konstruksi belaka. Maka seseorang harus melakukan rekonstruksi dari bahan-bahan
yang tersedia, yang tidak lain adalah teks itu sendiri apabila ingin menemukan makna didalamnya. Yang dilakukan Barthes dalam proyek rekonstruksi, paling awal adalah
teks atau wacana naratif yang terdiri atas penanda-penanda tersebut dipilah-pilah terlebih dahulu menjadi serangkaian fragmen ringkas dan beruntun yang disebut
dengan leksia, yaitu satuan bacaan dengan panjang pendek bervariasi. Sebuah leksia dapat berupa satu strip dua kata, kelompok kata, beberapa kalimat atau beberapa
paragraph kurniawan, 2001:93.
Dalam suatu naskah atau teks, terdapat lima kode yang ditinjau dan dieksplisitkan oleh Barthes untuk menilai suatu naskah realis. Lima kode yang
ditinjau oleh Barthes adalah kode Hermeneutik kode teka teki, kode Semik makna konotatif, kode Simbolik, kode Proaretik Logika Tindakan, dan kode Gnomic
kultural yang membangkitkan suatu badan pengetahuan tertentu Sobur, 2006:65.
Kode Hermeneutik atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca untuk
mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur sruktur yang utama dalam narasi tradisional. Didalam narasi ada
sesuatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan
penyelesaiannya didalam cerita Sobur,2006:65. Kode ini adalah satuan-satuan
dengan berbagai cara berfungsi untuk mengartikulasi suatu persoalan, penyelesaian,
serta aneka peristiwa yang dapat memformulasikan persoalan tersebut, atau bahkan yang menyusun semacam teka-teki enigma dan sekedar memberi isyarat bagi
penyelesaiannya. Kode ini merupakan sebuah kode “penceritaan”, yang dengannya sebuah narasi dapat mempertajampermasalahan, menciptakan ketegangan dan misteri,
sebelum memberikan pemecahan atau jawaban Budiman, 2003:55.
Kode Semik atau kode konotatif menawarkan banyak sisi. Dalam proses
pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi, kita menemukan suatu
tema didalam cerita. Jika sejumlah konotasi melekat pada suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu tokoh dengan atribut tertentu. Perlu dicatat bahwa Barthes
menganggap denotasi sebagai konotasi yang paling kuat dan paling “akhir” Sobur, 2006:65-66
. Kode ini memanfaatkan isyarat, petunjuk atau “kiasan makna” yang
ditimbulkan oleh penanda-penanda tertentu Budiman, 2003:56.
Kode Simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat
struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pasca struktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan baik
dalam taraf bunyi menjadi fenomena dalam proses produksi wicara, maupun taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses. Dalam suatu teks verbal, perlawanan yang
bersifat simbolik seperti ini dapat dikodekan melalui istilah-istilah retoris seperti
antitesis, yang merupakan hal yang istimewa dalam sistem symbol Barthes Sobur, 2006:66
. Kode ini merupakan konfigurasi yang gampang dikenali karena
kemunculannya yang berulang-ulang secara teratur melalui berbagai macam cara dan
saran tekstual Budiman, 2003:56.
Kode Proaretik atau kode tindakan mengimplikasi suatu logika perilaku
manusia seperti tindakan-tindakan yang membuahkan dampak-dampak dimana masing-masing dampak, memiliki nama generic tersendiri, semacam “judul” bagi
sekuans yang bersangkutan Budiman, 2003:56. Kode ini didasarkan atas konsep
proairesis yakni kemampuan untuk menentukan hasil atau akibat dari suatu tindakan secara rasional, yang mengimplikasikan suatu logika perilaku manusia. Kode ini
dianggap Barthes sebagai perlengkapan utama sebagai teks yang dibaca orang; artinya, antara lain, semua teks yang bersifat naratif. Secara teoritis Barthes melihat
semua lakuan dapat di kodifikasi. Pada praktiknya, ia menerapkan beberapa prinsip
seleksi Sobur, 2006:66.
Kode Gnomic atau kode kultural banyak jumlahnya. Kode ini berwujud
sebagai semacam suara kolektif yang anonim dan otoritatif, bersumber dari pengalaman manusia, yang mewakili atau berbicara tentang sesuatu yang hendak
dikukuhkannya sebagai pengetahuan atau kebijaksanaan yang diterima umum. Kode ini dapat berupa kode-kode pengetahuan atau kearifan yang terus menerus di rujuk
oleh teks, atau yang menyediakan semacam dasar autoritas moral dan ilmiah bagi suatu wacana. Menurut Barthes, realisme tradisional di definisi oleh acuan ke apa
yang telah di ketahui. Rumusan suatu budaya atau sub budaya adalah hal-hal kecil
yang telah di kodifikasi yang di atasnya para penulis bertumpu Sobur, 2006:66.
Barthes secara panjang lebar sering mengulas tentang sistem pemaknaan tataran kedua, yang di bangun di atas sitem lain yang telah ada sebelumnya. Sastra
merupakan contoh paling jelas sistem pemaknaan tataran kedua yang di bangun di atas bahasa sebagai sistem yang pertama. Sistem kedua ini oleh Barthes di sebut
dengan konotatif, yang di dalam mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotative atau sistem pemaknaan tataran pertama. Melanjutkan studi Hjeelmslev,
Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja cobley dan Jansz dalam Sobur, 2004:69
.
Peta Tanda Rolland Barthes Sobur, 2004:69
Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotative 3 terdiri dari penanda 1 dan petanda 2. Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotative
adalah juga penanda konotatif 4. Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material : hanya jika anda mengenal tanda ‘singa’, barulah konotasi seperti harga diri,
kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin Sobur, 2004:69.
1.Signifier penanda
2.Signified petanda
3. Denotative sign tanda denotatif
4. CONOTATIVE SIGNIFIER PENANDA KONOTATIF
5. CONOTATIVE SIGNIFIED PETANDA KONOTATIF
6. CONOTATIVE SIGN TANDA KONOTATIF
Pada dasarnya ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang di mengerti oleh Barthes. Dalam
pengertian umum, denotasi biasanya di mengerti sebagai makna harfiah, makna yang “sesungguhnya”, bahkan kadang kala juga di rancukan dengan referensi atau acuan.
Proses signifikasi yang secara tradisional di sebut sebagai denotasi ini biasanya mengacu kepada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang
terucap. Akan tetapi, di dalam semiologi Rolland Barthes dan pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat
kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih di asosiasikan dengan ketertutupan makna dan dengan demikian sensor atau represi politis. Sebagai reaksi yang paling ekstrim
melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini. Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya yang ada hanyalah konotasi semata-mata.
Penolakan ini mungkin terasa berlebihan, namun ia tetap berguna sebagai sebuah koreksi atau kepercayaan bahwa makna “harfiah” merupakan sesuatu yang bersifat
alamiah Budiman, 1999:22.
Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideology, yang di sebutnya sebagai “mitos” dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan
pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu
Budiman, 2001:28 . Di dalam mitos terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda
dan tanda, namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos di bangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumya. Atau dengan kata lain, mitos adalah juga suatu
sistem pemaknaan tataran ke-2. Di dalam mitos pola sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda.
Dalam kritik kebudayaan dan sastranya, Barthes menggunakan konsep semiotik konotatif untuk mengungkapkan makna yang tersembunyi dalam teks.
Dalam mythologies-nya 1957:131, dia mendefinisikan sistem-sistem makna
sekunder semacam ini sebagai mitos, kemudian Barthes mendeskripsikan bidang konotasi ini sebagai ideology. Media masa menciptakan mitologi-mitologi atau
ideologi-ideologi sebagai sistem-sistem konotatif sekunder dengan berupaya memberikan landasan kepada pesan-pesan mereka dengan alam, yang dianggap
denotative primer. Pada tataran denotative, mereka mengekspresikan makna “alami” primer. Pada tataran konotatif, media massa mengungkapkan makna ideologis
sekunder. Gagasan lapisan denotasi primer yang secara ideologis tidak berdosa ini
kemudian ditinggalkan. Dalam sz, Barthes mendefinisikan denotasi kembali sebagai
hasil akhir proses konotatif, efek penutupan semiotik Noth, 2006:316.
Tujuan analisis Barthes ini bukan hanya untuk membangun suatu sistem klarifikasi unsur-unsur narasi yang sangat formal, namun lebih banyak untuk
menunjukan bahwa tindakan yang paling masuk akal, rincian yang paling menarik, merupaka produk buatan dan bukan tiruan dari yang nyata. Salah satu area Barthes
yang dirambah dalam studinya tentang tanda adalah agar peran pembaca dapat
berfungsi Lechte 2001:196.
2.9 Kerangka Berpikir