1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Memperoleh pendidikan merupakan hak setiap manusia, tidak terkecuali bagi anak berkebutuhan khusus ABK. Anak berkebutuhan khusus memiliki
kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan di sekolah. Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus tidak hanya melalui pendidikan yang
diselenggarakans ecara terpisah di Sekolah Luar Biasa SLB. Namun, anak berkebutuhan khusus juga dapat menempuh pendidikan di sekolah reguler
bersama anak normal lainnya melalui pendidikan inklusi. Pendidikan inklusi merujuk pada layanan pendidikan untuk semua tanpa
terkecuali. Pendidikan untuk semua didasarkan atas deklarasi universal tentang Hak Asasi Manusia tahun 1948, yang menyatakan bahwa pendidikan dasar
wajib bagi setiap anak. Konvensi Hak Anak yang diadopsi dari dewan Umum PBB pada tanggal 20 November 1989 antara lain di bagian 2 yang berisi
artikel tentang nondiskriminasi dan di bagian 3 yang berisi tentang kepentingan terbaik bagi anak. Abin Syamsudin menyatakan bahwa semua
hak-hak berlaku bagi semua anak tanpa pengecualian. Ini merupakan kewajiban negara untuk melindungi anak dari bentuk diskriminasi apa pun,
termasuk diskriminasi dalam bidang pendidikan Tarmansyah, 2007. Staub dan Peck dalam Tarmansyah, 2007:83 dan Apriyanto, 2012:62
menyatakan bahwa pendidikan inklusi adalah penempatan anak berkelainan ringan, sedang, hingga berat secara penuh di kelas reguler. Hal ini
2 menunjukkan bahwa anak-anak berkelainan, apapun jenis dan bentuk
kelainannya, dapat belajar di kelas reguler bersama dengan anak-anak lainnya. Freiberg dalam Tarmansyah, 2007:83 juga mengemukakan bahwa melalui
pendidikan inklusi, anak berkelainan dididik bersama-sama anak-anak lainnya yang normal untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.
Proses pembelajaran pada kelas yang menyelenggarakan pendidikan inklusif seharusnya dapat menciptakan suasana kelas yang kooperatif, saling
bekerja sama, dan demokratis. Siswa dan guru dapat menjalin hubungan yang hangat tanpa memandang perbedaan yang ada pada beberapa anak yang diberi
label khusus di kelas, termasuk anak tunagrahita kategori ringan. Anak tunagrahita ketegori ringan, atau yang dapat disebut dengan anak
mampu didik, mempunyai IQ antara 5055-7075. Anak tunagrahita yang termasuk kategori ini tidak mampu untuk mengikuti program di sekolah biasa
tetapi masih mempunyai kemampuan yang dapat dikembangkan melalui pendidikan walaupun tidak maksimal dalam bidang-bidang akademis, sosial,
dan pekerjaan Efendi, 2006:90. Wardani Apriyanto, 2012:36 menyatakan bahwa walaupun anak
tunagrahita kategori ringan tidak dapat menyamai anak normal seusianya, mereka masih dapat belajar membaca, menulis, dan berhitung sederhana.
Mereka dapat bergaul dan mempelajari pekerjaan yang hanya memerlukan semi-skilled
. Jadi, dapat disimpulkan bahwa walaupun anak tunagrahita ringan tidak dapat mengikuti pembelajaran yang diberikan pada anak normal, anak-
anak dalam kategori ini masih dapat diajarkan untuk membaca, menulis,
3 berhitung sederhana, dan bidang pekerjaan yang tidak memerlukan keahlian
khusus. Penjabaran di atas menunjukkan bahwa hambatan yang esensial dari
anak-anak tunagrahita kategori ringan adalah keterbatasannya dalam kecerdasan, yang selanjutnya hal
ini dapat menimbulkan berbagai permasalahan. Masalah belajar merupakan masalah yang nyata bagi anak-anak
tunagrahita, termasuk yang berkategori ringan. Hal ini disebabkan keterbatasan dalam ranah berpikir. Kesulitan ini akan semakin tampak nyata bila anak-anak
ini dihadapkan pada bidang pelajaran akademik seperti membaca, berhitung, atau pelajaran lain yang membutuhkan penalaran. Demi mengatasi kesulitan
belajar ini, guru harus kreatif menciptakan kondisi pembelajaran supaya anak mau belajar. Selain itu, materi pembelajaran harus aplikatif dalam kehidupan
anak. Guru harus menggunakan prinsip-prinsip pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan belajar anak-anak tunagrahita ringan. Hal
ini mencakup metode mengajar yang bervariasi, media yang konkrit nyata atau dengan alat peraga, materi yang dekat dengan kehidupan anak, dan tujuan
pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individual anak. Berdasarkan observasi yang dilakukan oleh peneliti di SD Inklusi
Bangunrejo II Yogyakarta pada bulan September 2014, diperoleh data bahwa terdapat lima anak tunagrahita kategori ringan yang duduk di kelas III. Pada
pembelajaran di kelas, kelima anak ini tetap belajar bersama dengan anak-anak lain yang beragam karakteristiknya.
4 Pelaksanaan pembelajaran dimulai dengan guru menyiapkan siswa agar
siap di tempat duduk masing-masing untuk berdoa bersama dan menerima pelajaran. Guru tidak memberi perlakuan yang berbeda secara sosial maupun
akademik terhadap kelima anak tersebut. Hal ini berarti bahwa metode, media, materi, dan evaluasi pembelajaran yang digunakan dan diberikan kepada
kelima anak tersebut sama dengan yang diberikan kepada siswa lainnya di dalam kelas.
Siswa tunagrahita kategori ringan tidak diajar dengan metode atau strategi pembelajaran yang khusus demi meningkatkan pemahaman mereka
terhadap materi pelajaran yang diberikan. Guru juga menggunakan media atau sumber belajar yang sama untuk semua siswa. Hal ini berlaku pula pada
pembelajaran bagi kelima siswa tunagrahita kategori ringan yang berada dalam kelas tersebut. Guru tidak menggunakan sumber belajar pendamping yang
sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan belajarnya. Persamaan media atau sumber belajar yang digunakan guru dalam
pembelajaran di kelas bagi semua siswa berakibat pada materi yang diberikan guru pada kelima anak tunagrahita kategori ringan tersebut tidak berbeda
dengan yang diajarkan pada siswa-siswa lain. Hal ini bertolak belakang dengan kemampuan dan kebutuhan belajar yang dimiliki oleh kelima anak tersebut.
Pada akhir pembelajaran, guru memberikan penguatan materi yang telah diberikan dan penilaian. Penilaian pembelajaran yang dilakukan oleh guru juga
dipandang belum sesuai dengan karakteristik dan kemampuan yang dimiliki oleh kelima anak tersebut. Hal ini dikarenakan bentuk tugas reguler tersruktur
5 dan soal-soal ulangan harian disamaratakan dengan siswa-siswa lain di dalam
kelas. Dalam artian, guru tidak memberikan tes khusus kepada kelima anak tersebut.
Hal-hal tersebut di atas berakibat pada nilai-nilai akademis anak-anak tunagrahita kategori ringan yang berada dalam kelas tersebut berada jauh di
bawah nilai rata-rata kelas karena kurangnya pemahaman terhadap materi pembelajaran. Padahal, jika mereka dididik dengan metode, media, materi, dan
evaluasi yang sesuai, bukan tidak mungkin mereka dapat berprestasi di sekolah sesuai kemampuan mereka. Hal inilah yang menarik minat peneliti untuk
meneliti pelaksanaan pembelajaran bagi siswa tunagrahita tingkat ringan kelas III di SD Inklusi Bangunrejo II Yogyakarta.
B. Identifikasi Masalah