PELAKSANAAN PEMBELAJARAN MEMBACA PERMULAAN DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA BABA BAGI SISWA TUNAGRAHITA RINGAN KELAS D II SEKOLAH LUAR BIASA DHARMA RENA RING PUTRA 2 YOGYAKARTA.

(1)

PELAKSANAAN PEMBELAJARAN MEMBACA PERMULAAN

DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA BABA BAGI SISWA

TUNAGRAHITA RINGAN KELAS D II SEKOLAH

LUAR BIASA DHARMA RENA RING PUTRA 2

YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Seti Nevi Arnesta Tondang NIM 08103244035

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN LUAR BIASA JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

i

PELAKSANAAN PEMBELAJARAN MEMBACA PERMULAAN

DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA BABA BAGI SISWA

TUNAGRAHITA RINGAN KELAS D II SEKOLAH

LUAR BIASA DHARMA RENA RING PUTRA 2

YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Seti Nevi Arnesta Tondang NIM 08103244035

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN LUAR BIASA JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(3)

(4)

(5)

(6)

v

MOTTO


(7)

vi

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan kepada:

1. Tuhan Yang Maha Kuasa, sumber segala kebijaksanaan

2. Kedua orangtuaku: Ayah, Ibu yang dalam setiap untaian doanya namaku disebutkan

3. Saudari-saudariku di Kongregasi Suster Fransiskus Dina (SFD) yang selalu menyemangati, dan mendukungku


(8)

vii

PELAKSANAAN PEMBELAJARAN MEMBACA PERMULAAN DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA BABA BAGI SISWA TUNAGRAHITA RINGAN

KELAS D II SLB DHARMA RENA RING PUTRA 2 YOGYAKARTA Oleh

Seti Nevi Arnesta Tondang NIM. 08103244035

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan pelaksanaan metode pembelajaran membaca permulaan dengan menggunakan media Baba di kelas Dasar II SLB Dharma Rena Ring Putra 2 Yogyakarta.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Subjek penelitian ini adalah guru mata pelajaran Bahasa Indonesia dan dua orang siswa tunagrahita ringan di kelas II Dharma Rena Ring Putra 2 Yogyakarta. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara, dokumentasi, dan tes hasil belajar. Data dianalisis dengan analisis deskriptif kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa persiapan dan pelaksanaan metode membaca permulaan dengan menggunakan media Baba di kelas Dasar II SLB Dharma Rena Ring Putra 2 Yogyakarta dilaksanakan dengan baik dan sesuai dengan tahapan-tahapan yang direncanakan. Guru memiliki kemampuan yang baik dalam menggunakan media Baba melalui persiapan dan metode yang sesuai yakni tanya jawab, demonstrasi dan penugasan. Siswa juga memiliki keterampilan menggunakan media Baba yang baik. Kemampuan membaca permulaan para siswa yang mencakup: pelafalan, intonasi, dan kelancaran tergolong baik. Subjek penelitian baik ALK maupun JLS memiliki kemampuan membaca permulaan yang sangat baik. Hasil observasi, wawancara, dan hasil tes menunjukkan Siswa ALK dalam pelafalan memiliki skor 3, intonasi dan kelancaran skor 4, dengan rata-rata sebesar 91.66. Sementara Siswa JLS dalam pelafalan dan kelancaran memiliki skor 3, intonasi dengan skor 4, dengan rata-rata sebesar 83.33.

Kata kunci: anak tunagrahita ringan, pelaksanaan pembelajaran, membaca permulaan, media Baba.


(9)

viii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta.

Rasa hormat, terima kasih, dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada:

1. Dr. Mumpuniarti, M.Pd., selaku pembimbing I yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan, masukan-masukan, serta dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Pujaningsih, M.Pd., selaku pembimbing II yang penuh kesabaran, kearifan, dan bijaksana telah memberikan bimbingan, arahan, dan dorongan yang tidak henti-hentinya di sela-sela kesibukannya.

3. Drs. Edy Dwiyanta, selaku Kepala Sekolah SLB Dharma Rena Ring Putra 2 Yogyakarta yang telah memberikan izin kepada peneliti untuk melakukan penelitian.

4. Dra. Suryani, selaku Guru SLB Dharma Rena Ring Yogyakarta yang telah meluangkan waktunya dan bersedia menjadi responden penelitian.

5. Kedua orang siswa yang telah bersedia menjadi subjek penelitian ini.

6. Kedua orangtuaku tercinta dan saudara-saudariku tersayang yang senantiasa memberikan dukungan, semangat dan selalu memanjatkan doa-doa kepada Tuhan demi keberhasilan penulis.


(10)

ix

7. Pimpinan Kongregasi SFD yang telah memberikan perhatian, dukungan dan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan penulisan skripsi ini.

8. Seluruh suster-suster anggota komunitas Rajawali Yogyakarta yang telah memberikan dukungan, semangat, dan dorongan kepada penulis selama penulisan skripsi ini berlangsung.

9. Ucapan terima kasih pula disampaiakan kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu demi satu yang telah memberikan dukungan moral, bantuan, dan dorongan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini belumlah sempurna. Sehubungan dengan itu, masukan dan kritik yang membangun sangat dinantikan demi menyempurnakan skripsi ini.

Penulis


(11)

x

DAFTAR ISI

hal

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR BAGAN ... xv

DAFTAR LAMPIRAN... . xvi

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Identifikasi Masalah ... 8

C.Fokus Penelitian ... 9

D.Perumusan Masalah ... 9

E. Tujuan Penelitian ... 9

F. Manfaat Penelitian ... 9

G.Definisi Operasional... 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Anak Tunagrahita Ringan ... 12

1. Pengertian Tunagrahita Ringan ... 12

2. Karakteristik Anak Tunagrahita Ringan ... 14

B. Membaca Permulaan ... 18


(12)

xi

2. Tujuan Pembelajaran Membaca Permulaan ... 20

3. Kemampuan Membaca Anak Tunagrahita Ringan ... 22

4. Metode Membaca Permulaan ... 25

5. Faktor yang mempengaruhi Kemampuan Membaca Anak Tunagrahita Ringan ... 28

C. Metode dan Media Pembelajaran ... 30

1. Pengertian Metode Pembelajaran ... 30

2. Jenis-jenis Metode Pembelajaran ... 33

3. Media Pembelajaran ... 37

D. Media Baba sebagai Media Pembelajaran Membaca Permulaan.. 42

1. Pengertian dan Perlengkapan Media Baba ... 42

2. Penggunaan Media Baba dalam Membaca Permulaan siswa Tunagrahita... 47

3. Langkah-langkah Penggunaan Media Baba dalam Membaca Permulaan ... 48

4. Kelebihan dan Kelemahan Media Baba ... 49

5. Hal-hal Teknis dalam Penggunaan Media Baba ... 50

E. Evaluasi Hasil Belajar ... 52

1. Pengertian Evaluasi Pembelajaran ... 52

2. Teknik-teknik Hasil Evaluasi Belajar ... 54

3. Evaluasi Hasil Belajar Siswa Tunagrahita Ringan dalam Pembelajaran Membaca Permulaan ... 57

F. Penelitian yang Relevan ... 58

G. Kerangka Pikir... 60

H. Pertanyaan Penelitian ... 62

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ... 64

B. Tempat Penelitian ... 65

C. Waktu Penelitian ... 65

D. Subjek Penelitian ... 66


(13)

xii

F. Teknik Pengumpulan Data ... 68

G. Instrumen Penelitian ... 71

H. Teknik Keabsahan Data ... 75

I. Analisis Data ... 75

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 77

B. Deskripsi Subjek Penelitian ... 78

C. Hasil Penelitian ... 81

D. Pembahasan ... 122

E. Limitasi Penelitian... 132

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 134

B. Saran ... 136

DAFTAR PUSTAKA ... 138


(14)

xiii

DAFTAR TABEL

hal

Tabel 1 Observasi pada Pembelajaran Bahasa Indonesia ... 4

Tabel 2 Wawancara dengan Guru di Kelas D II SLB C Darma Rena Ring Yogyakarta ... 5

Tabel 3 Kisi-kisi Lembar Observasi Naratif ... 72

Tabel 4 Kisi-kisi Pedoman Wawancara ... 73

Tabel 5 Kisi-kisi Lembar Tes Membaca Permulaan ... 74

Tabel 6 Tahapan-tahapan Pelaksanaan Metode Pembelajaran dengan Menggunakan Media Baba bagi Siswa Tunagrhita Ringan ... 87

Tabel 7 Observasi Penerapan Penggunaan Media Baba pada Guru Bahasa Indonesia Kelas DII SLB C Darma Rena ... 99

Tabel 8 Metode Pelaksanaan Pembelajaran dengan Menggunakan Media Baba bagi Siswa Tunagrahita Ringan Kelas DII SLB C Darma Rena Ring Putra 2 ...101

Tabel 9 Observasi Mengenai Keterampilan Siswa dalam Pelaksanaan Pembelajaran Menggunakan Media Baba ... 107

Tabel 10 Observasi Mengenai Respon Siswa saat Pelaksanaan Pembelajaran Dengan Menggunakan Media Baba ... 109

Tabel 11 Kemampuan Membaca Permulaan Siswa Tunagrahita Ringan Melalui Media Baba ... 118

Tabel 12 Hasil Tes Kemampuan Membaca Permulaan Siswa Kelas DII SLB C Dharma Rena Ring ... ... 121


(15)

xiv

DAFTAR GAMBAR

hal

Gambar 1. Kotak Abjad Baba ... 44

Gambar 2. Buku Penyerta 1 & 2 ... 45

Gambar 3. Almari Abjad Baba... 46

Gambar 4. Gambar-gambar Peraga Baba... 46

Gambar 5. Komponen dalam Analisis Data (Interactive Model) ... 76

Gambar 6. Kotak Abjad Baba ... 82

Gambar 7. Gambar-gambar Peraga ... 83

Gambar 8. Peletakan Media Almari Baba... 85

Gambar 9. Perencanaan Meja Belajar Bagi Siswa Tunagrahita untuk Mem- Peraktikkan Pengetahuan Secara Individual ... 86

Gambar 10. Penyediaan Peraga Nama-nama Binatang... 90

Gambar 11. Siswa Bergantian Menyusun Huruf yang telah di sediakan di Almari Abjad Baba ... 92

Gambar 12. Siswa Menyusun Abjad dan Kemudian Menulis di buku Tulis Masing-masing ... 95

Gambar 13. Guru Mendampingi Siswa saat Menyusun Abjad Menggunakan Media Baba ... 96

Gambar 14. Penugasan Siswa untuk Mengerjakan Tugas yang diberikan Guru Dengan Menyusun Huruf-huruf pada Kotak Abjad Baba ... 105


(16)

xv

DAFTAR BAGAN

hal Bagan 1. Kerangka Berpikir Penelitian ... 62


(17)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

hal Lampiran 1. Lembar Observasi Pra Penelitian Pelaksanaan Pembelajaran

Menggunakan Media Baba di SLB/ C Dharma Rena Ring ... 143

Lampiran 2. Pedoman Wawancara dengan Guru Pra Penelitian ... 144

Lampiran 3. Lembar Observasi Persipan dan Tahapan Pelaksanaan Pembelajaran dengan Menggunakan Media Baba ... 145

Lampiran 4. Lembar Observasi Kemampuan Guru dalam Pelaksanaan Pembelajaran Menggunakan Media Baba ... 146

Lampiran 5. Lembar Observasi Metode dalam Pelaksanaan Pembelajaran Dengan Menggunakan Media Baba ... 147

Lampiran 6. Lembar Observasi Mengenai Keterampilan Siswa dalam Pelaksanaan Pembelajaran Membaca dengan Media Baba ... 148

Lampiran 7. Lembar Observasi Respon Siswa saat Pelaksanaan Pembelajaran Membaca dengan Menggunakan Media Baba ... 149

Lampiran 8. Lembar Observasi Membaca Permulaan Siswa dengan Menggunakan Media Baba ... 150

Lampiran 9. Hasil Tes Evaluasi Belajar Membaca Permulaan Siswa ... 151

Lampiran 10. Pedoman Wawancara dengan Guru ... 152

Lampiran 11. Pedoman Wawancara dengan Orangtua Siswa ... 155

Lampiran 12. Catatan Lapangan ... 156

Lampiran 13. Gambar Kegiatan Penelitian Pelaksanaan Pembelajaran Membaca Permulaan dengan Menggunakan Media Baba ... 163

Lampiran 14. Profil Sekolah SLB/C Dharma Rena Ring Putra 2 ... 165

Lampiran 15. Data Siswa ... 172


(18)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Berdasarkan laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2014, jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia mencapai angka 48.100.548 orang dan sebanyak 2% di antaranya merupakan anak tunagrahita. Tunagrahita merupakan istilah yang diambil dari kata tuna dan grahita. Tuna berarti merugi sedangkan grahita berarti pikiran.

Istilah tunagrahita semula disebut juga dengan retardasi mental (mental retardation) atau kondisi kemampuan intelektual yang berada di bawah rata-rata anak-anak normal. Tetapi saat ini, istilah tersebut telah diganti oleh American Association on Intellectual Developmental Disorder (AAIDD) dengan istilah intellectual disability (disabilitas intelektual atau hambatan intelektual) atau intellectual developmental disorder (gangguan perkembangan intelektual). Menurut AAIDD, disabilitas intelektual atau tunagrahita adalah suatu disabilitas yang diderita sejak periode perkembangan yang ditandai dengan ketidakmampuan fungsi intelektual dan ketidakmampuan fungsi adaptif baik pada domain konseptual, sosial maupun praktis (American Psychiatric Association, 2013: 33).

Anak-anak yang tergolong tunagrahita pada dasarnya mengalami keterlambatan baik dalam perkembangan sosial maupun kecerdasannya. Karena itu, sekalipun tergolong anak tunagrahita ringan, anak-anak tersebut tentu tidak mampu mengikuti pada program sekolah biasa, namun masih


(19)

2

dapat dimungkinkan untuk memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan melalui pendidikan tertentu walaupun hasilnya kurang maksimal. Untuk itu, dibutuhkan sekolah khusus bagi anak-anak yang terlahir dengan tunagrahita. Salah satunya pendidikan khusus tersebut adalah Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) untuk anak-anak yang menyandang tunagrahita baik tunagrahita mampu latih maupun mampu didik (ringan). Di Daerah Istimewa Yogyakarta salah satu sekolah yang secara khusus menangani anak-anak tunagrahita adalah SLB/C Dharma Rena Ring Putra 2 Yogyakarta.

Salah satu mata pelajaran yang diajarkan di SLB ini adalah mata pelajaran bahasa Indonesia. Berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran bahasa Indonesia untuk SDLB, pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia. Ruang lingkup mata pelajaran bahasa Indonesia mencakup komponen berbahasa dan kemampuan bersastra yang meliputi empat aspek, yaitu: mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis (BSNP, 2006: 66). Dari empat aspek tersebut, aspek membaca merupakan salah satu sasaran yang diajarkan di SDLB khususnya bagi anak-anak tunagrahita mampu didik.

Aspek membaca mencakup membaca permulaan dan membaca lanjut (Amin, 1995: 206). Membaca permulaan merupakan komponen dari komunikasi tulisan. Dalam komunikasi tulisan, lambang-lambang bunyi


(20)

3

bahasa atau huruf alpabet menjadi lambang-lambang bunyi bahasa diubah menjadi lambang-lambang tulisan atau huruf alphabet. Pada tingkat membaca permulaan di SDLB C, proses pengubahan inilah yang terutama dibina dan dikuasai oleh siswa tunagrahita ringan pada tahun permulaan di sekolah.

Keterbatasan kecerdasan membuat siswa tunagrahita ringan kurang mampu memusatkan perhatian, mengikuti petunjuk, dan kurang mampu untuk menghindari diri dari bahaya. Siswa cepat lupa, cenderung pemalu, kurang kreatif dan inisiatif, perbendaharaan katanya terbatas, dan memerlukan waktu belajar yang relatif lama sehingga siswa sulit mengikuti dan memahami keterampilan membaca permulaan. Padahal, bagi siswa tunagrahita, kemampuan membaca sangat diperlukan bukan saja untuk dapat mempelajari hal-hal akademis tetapi juga agar dapat membantu siswa mengenali sejumlah petunjuk tertulis yang penting dalam kehidupan sehari-hari.

Mengingat pentingnya kemampuan membaca bagi siswa tunagrahita tetapi tidak mudah bagi mereka untuk menguasai kemampuan tersebut, maka sangat diperlukan adanya penerapan metode pembelajaran yang sesuai dengan kondisi angka kecerdasan yang dimiliki siswa berkebutuhan khusus tersebut. Metode pembelajaran membaca permulaan yang sesuai, dapat mempermudah siswa tunagrahita dalam membaca permulaan. Salah satu metode yang sesuai adalah penggunaan media pembelajaran yang menarik, mudah dikuasai dan efektif membantu siswa menguasai kemampuan yang diperlukan. Dengan menggunakan media pembelajaran yang sesuai, maka siswa akan memperoleh layanan pendidikan yang sesuai dengan


(21)

4

karakteristiknya sebagai siswa tunagrahita. Oleh karena itu, guru dalam menyampaikan materi perlu menggunakan media pembelajaran yang bervariasi sehingga akan tercipta kegiatan belajar mangajar yang ramah dan menyenangkan, dan dapat meningkatkan kemampuan membaca siswa tunagrahita ringan.

Di SLB/C Dharma Rena Ring Putra 2 Yogyakarta, sebagaimana hasil observasi peneliti pada tanggal 20 Maret 2012, dapat diketahui bahwa dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia pada siswa tunagrahita ringan kelas dasar II di SLB/C Dharma Rena Ring Putra 2 Yogyakarta, ditemukan minimnya media pembelajaran yang digunakan guru saat kegiatan pembelajaran berlangsung. Berikut ini adalah tabel yang memperlihatkan beberapa hal terkait dengan metode pembelajaran yang digunakan guru dalam mengajar siswa tunagrahita.

Tabel 1. Observasi Pada Pembelajaran Bahasa Indonesia

Topik/Kom-petensi Metode Pembelajaran Hasil

Pelajaran Bahasa Indonesia: membaca permulaan

-guru menggunakan metode ceramah tanpa media/alat peraga

-guru meminta siswa untuk menirukan ucapan guru sesuai dengan tulisan kata yang ada di papan tulis

-guru menutup pelajaran dengan meminta siswa untuk mencatat kata di buku tulis masing-masing -guru memeriksa tulisan siswa

-guru membawa siswa keliling sekolah dari kelas yang satu ke kelas yang lain dan meminta siswa membaca dengan nyaring tulisan yang ada pada papan kelas dengan cara bergantian dengan menirukan ucapan guru

- Siswa terlihat kesulitan dalam mengikuti pembelajaran - siswa pasif/tidak kreatif

Sumber: Hasil Observasi Maret 2012

Hasil observasi tersebut memperlihatkan bahwa guru dalam mengajar siswa tunagrahita masih menerapkan metode pembelajaran yang tidak jauh


(22)

5

beda dengan pembelajaran pada siswa dengan kondisi normal, misalnya menggunakan kapur tulis dan papan tulis. Metode yang demikian terlihat kurang menarik minat siswa tunagrahita. Ketika pembelajaran membaca sedang berlangsung di kelas, tampak siswa kurang antusias dalam mengikutinya. Siswa tampak sibuk sendiri hal ini ditunjukkan dengan sikap mempermaikan pensil dengan memukulkannya pada meja, posisi duduk cenderung memperlihatkan sikap bermalas-malasan seperti meletakkan kepala di atas meja, perhatian mudah teralih dengan sistuasi di luar kelas. Para siswa menjadi kurang aktif, karena hanya melakukan apa yang diperintahkan oleh guru saat pembelajaran. Hal ini dapat berdampak cepat atau lambatnya kemampuan siswa menguasai keterampilan membaca permulaan.

Selain hasil observasi, hasil wawancara dengan guru juga menyatakan bahwa dengan penerapan metode pembelajaran yang kurang sesuai dengan kondisi siswa tunagrahita berdampak pada kemampuan siswa yang lambat dalam memahami keterampilan membaca permulaan. Rincian hasil wawancara tersebut tampak dalam tabel berikut:

Tabel 2. Wawancara dengan Guru di Kelas II SLB C Dharma Rena Ring Putra 2 Yogyakarta

Topik/

Kompetensi Hasil wawancara

Pelajaran Bahasa Indonesia: membaca permulaan

-Kemampuan siswa membaca permulaan masih rendah -Sebagian siswa belum mengenal huruf

-kesulitan dalam membaca yang terdiri dari lima huruf -membaca dengan mengeja suku kata dengan jeda lama yang

terdiri dari dua suku kata

-Siswa cepat lupa dengan apa yang diajarkan terutama setelah libur sekolah


(23)

6

Hasil wawancara tersebut memperlihatkan bahwa dengan metode pembelajaran tanpa didukung media pembelajaran yang sesuai dengan kondisi siswa tunagrahita tersebut menyebabkan: kemampuan siswa dalam membaca permulaan masih rendah, sebagian siswa belum mengenal semua huruf dan kesulitan dalam membaca yang terdiri dari lima huruf, membaca dengan mengeja suku kata dengan jeda lama yang terdiri dari dua suku kata, dan siswa cepat lupa dengan apa yang diajarkan terutama setelah libur sekolah.

Kondisi pembelajaran seperti yang terjadi di SLB/C Dharma Rena Ring Putra 2 Yogyakarta jelas membutuhkan adanya metode pembelajaran yang menggunakan media yang lebih menarik minat siswa dan membuat mereka aktif selama proses pembelajaran sehingga dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa. Salah satu alternatif untuk mengoptimalkan kegiatan belajar mengajar siswa tunagarahita ringan kelas Dasar II di SLB/C Dharma Rena Ring Putra 2 Yogyakarta, dalam proses pembelajaran membaca adalah dengan media Baba. Media pembelajaran ini sebenarnya sudah dikenal oleh beberapa guru terutama guru Bahasa Indonesia di SLB ini. Sekalipun demikian, media tersebut jarang digunakan dalam proses belajar mengajar terutama dalam melatih kemampuan membaca para siswa.

Media Baba yang dimaksud adalah sarana atau alat bantu untuk pembelajaran membaca permulaan, yang diterbitkan oleh Kanisius dan diciptakan oleh Br. Ewald Merkx, MTB, yang sudah mendapat pengesahan SK Dirjen Dikdesmen Depdikbud SK No. 250/C.C6/Kep/LK/2000 dan


(24)

7

merupakan alat bantu untuk pembelajaran membaca di taman Kanak-Kanak tingkat B sampai kelas satu sekolah dasar. Media ini juga berguna untuk Remedial Teaching atau Sekolah Luar Biasa.

Berdasarkan beberapa penelitian yang pernah dilakukan oleh beberapa peneliti, melalui media Baba ini siswa dapat belajar sesuai dengan kompetensinya secara aktif. Media ini juga melibatkan keaktifan siswa baik fisik maupun psikis dalam pembelajaran membaca, adanya unsur bermain sambil belajar yang tidak memberatkan kognitif siswa. Media Baba dirancang secara khusus sesuai karakterestik siswa untuk digunakan pada membaca permulaan siswa. Menurut Merkx (2000:3), penggunaan media ini akan menampakkan hasil yang optimal jika digunakan selama 30 menit pada setiap hari.

Melihat efektivitas dari penerapan metode pembelajaran pada beberapa penelitian sebelumnya yang menggunakan media pembelajaran Baba ini, maka hal yang sama juga telah diterapkan atau dipraktikkan di kelas Dasar II SLB/C Dharma Rena Ring Putra 2 Yogyakrata. Penerapan metode pembelajaran dengan media Baba ini didasarkan pada kondisi kemampuan pemahaman siswa tunagrahita ringan mengenai keterampilan membaca permulaan pada pembelajaran bahasa Indonesia yang masih rendah, kemampuan berpikir abstrak siswa tunagrahita ringan yang juga masih rendah.

Untuk mengetahui lebih jauh mengenai pelaksanaan metode pembelajaran dengan menggunakan media Baba ini, peneliti tertarik untuk


(25)

8

melakukan kajian secara lebih mendalam tentang pelaksanaan pembelajaran membaca permulaan dengan menggunakan Media Baba pada siswa tunagrahita ringan kelas D II SLB/C Dharma Rena Ring Putra 2 Yogyakarta.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Keterbatasan-keterbatasan siswa tunagrahita yang kompleks membawa konsekuensi pada kesulitan siswa dalam mengikuti pelajaran-pelajaran akademik yang antara lain mengalami kesulitan dalam memahami keterampilan membaca permulaan.

2. Penggunaan media dalam pembelajaran membaca masih terbatas. Akibatnya, pembelajaran menjadi kurang menarik minat siswa sehingga dapat berpengaruh pula pada partisipasi aktif dalam pembelajaran membaca serta cepat atau lambatnya penguasaan siswa atas kemampuan membaca permulaan.

3. Media Baba dalam pembelajaran membaca permulaan belum digunakan secar secara rutin dalam pembelajaran membaca permulaan bagi siswa tunagrahita ringan. Selain itu, pelaksanaan pembelajaran membaca permulaan dengan media Baba belum dikaji dan dievaluasi secara menyeluruh dalam pembelajaran membaca permulaan.


(26)

9

C. Fokus Penelitian

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, fokus penelitian ini adalah pelaksanaan pembelajaran membaca permulaan dengan menggunakan media Baba di kelas Dasar II SLB C Dharma Rena Ring Putra 2 Yogyakarta.

D. Rumusan Masalah

Rumusan permasalahan dari penelitian ini adalah “Bagaimanakah pelaksanaan pembelajaran membaca permulaan dengan menggunakan media Baba di kelas Dasar II SLB/C Dharma Rena Ring Putra 2 Yogyakart?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan pelaksanaan pembelajaran membaca permulaan dengan menggunakan media Baba di kelas Dasar II SLB/C Dharma Rena Ring Putra 2 Yogyakarta.

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis bagi siswa tunagarahita ringan. Manfaat tersebut antara lain:


(27)

10

1. Manfaat Praktis

a. Bagi siswa, hasil penelitian ini dapat memberikan variasi metode pembelajaran membaca permulaan yang menyenangkan sehingga diharapkan dapat meningkatkan kemampuan membaca mereka.

b. Bagi guru, penelitian ini dapat menjadi salah satu sarana alternatif untuk dapat menguasai metode pembelajaran membaca dengan media Baba sehingga dapat membantu meningkatkan kemampuan membaca permulaan siswa tunagrahita ringan.

c. Bagi sekolah, sebagai bahan pertimbangan penetapan kebijakan pelaksanaan kurikulum sekolah dengan menggunakan media Baba dalam pembelajaran membaca pemulaan.

2. Manfaat Teoretis

Secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan penjelasan ilmiah tentang penggunaan media Baba dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia membantu siswa tunagrahita ringan untuk dapat menguasai kemampuan membaca permulaan.

G. Definisi Operasional

1. Anak tunagrahita menurut American Association of Intellectual Disability Disorder (AAIDD) adalah suatu disabilitas yang diderita sejak periode perkembangan yang ditandai dengan ketidakmampuan fungsi intelektual dan ketidakmampuan fungsi adaptif baik pada domain konseptual, sosial maupun praktis.


(28)

11

2. Kemampuan membaca permulaan anak tunagrahita ringan adalah keterampilan mengubah simbol-simbol tertulis berupa huruf atau kata menjadi sistem bunyi.

3. Media Baba adalah alat peraga pembelajaran bahasa Indonesia untuk

membantu pelajaran membaca permulaan dengan menyusun huruf menjadi kata yang bermakna, dengan tepat dan lancar yang dilakukan oleh siswa kelas Dasar II anak tunagrahita ringan. Media ini menggunakan empat komponen penting yakni: kotak abjad Baba, buku penyerta, almari Baba dan gambar-gambar peraga Baba. Kotak abjad Baba digunakan secara individual sedangkan almari Baba sebagai sarana pembelajaran klasikal.


(29)

12

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Bab ini berisi kajian kepustakaan tentang beberapa pokok gagasan yang menjadi kerangka teori penelitian ini. Beberapa konsep teoritis tersebut antara lain tentang pengertian dan karakteristik anak tunagrahita ringan, kemampuan membaca permulaan anak tunagrahita, metode pembelajaran membaca permulaan, pengertian serta penggunaan media Baba sebagai media pembelajaran membaca permulaan bagi anak tunagrahita ringan dan evaluasi hasil belajar membaca permulaan dengan media Baba.

A. Anak Tunagrahita Ringan

1. Pengertian Anak Tunagrahita Ringan

Anak tunagarahita ringan merupakan salah satu kategori anak tunagrahita dan sering disebut pula sebagai anak yang mampu didik. Dalam kategori terbaru oleh AAIDD, tunagrahita ringan tergolong dalam disabilitas intelektual dengan level keparahan menengah (mild level of severity). Penggolongan tersebut berdasarkan fungsi adaptif anak bukan skor IQ karena fungsi adaptif inilah yang menentukan tingkat dukungan seperti apa yang dibutuhkan dari anak tunagrahita (dalam American Psychiatric Associaton, 2013: 33).

Jauh sebelum definisi terbaru di atas, AAMD atau American Association on Mental Deficiency (dalam Mumpuniarti 2007: 9) menyebut tunagrahita ringan dengan istilah mild mentally retarded dengan


(30)

13

pengertian, “Mental retardation refers to significantly subaverage general intellectually functioning existing concurrently with deficits in adaptive behavior, and manifested during the developmental period.” Artinya, retardasi mental merupakan keadaan fungsi intelektual umum di bawah rata-rata normal, dan terjadi bersamaan dengan kekurangan pada perilaku adaptif, kondisi ini ditampilkan selama periode perkembangan”.

Wantah (2007: 10) mengemukakan bahwa “berdasarkan data menunjukkan kira-kira 85% dari anak reterdasi mental tergolong mental ringan, memiliki IQ antara 50-75, dapat mempelajari keterampilan, dan akademik sampai kelas enam Sekolah Dasar”. Efendi (2006: 90) mendefinisikan bahwa anak tunagrahita yang tidak mampu mengikuti pada program sekolah biasa, namun masih dapat dimungkinkan untuk memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan melalui pendidikan walaupun hasilnya kurang maksimal.

Menurut Amin (dalam Wantah, 2007: 10) “anak tunagrahita ringan memiliki kemampuan berbicara, tetapi perbendaharaan kata-katanya sangat kurang”. Kurangnya perbendaharaan kata mengakibatkan anak tunagrahita ringan kesulitan untuk berpikir abstrak, tetapi dapat mengikuti pendidikan dengan baik di SD, maupun di SLB-C. Selanjutnya Sutjihati

Somantri (2006: 106) menyatakan bahwa “Kelompok ini memiliki IQ

antara 68-52, sedangkan menurut skala Weschler (WISC) anak tunagrahita ringan memiliki IQ antara 69-55”. Anak masih dapat belajar membaca, menulis, dan berhitung sederhana serta dapat memperoleh penghasilan


(31)

14

untuk dirinya sendiri dengan bimbingan dan pendidikan yang baik. Menurut Bratanata (dalam Efendi, 2006: 110) Anak tunagrahita adalah anak yang memiliki taraf kecerdasan yang sangat rendah sehingga dalam perkembangan akademik sangat membutuhkan layanan pendidikan dan bimbingan secara khusus.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa anak tunagrahita ringan adalah anak tunagrahita yang memiliki kemampuan adaptif yang paling baik dengan IQ berkisar antara 50-75. Tingkat kecerdasan yang sedemikian rendahnya menyebabkan kesulitan berpikir abstrak dan keterbatasan di bidang kognitif sehingga untuk meniti tugas perkembangannya memerlukan bantuan atau layanan secara spesifik, termasuk dalam program pendidikannya membutuhkan bimbingan khusus. Implikasi pada penelitian ini yaitu adanya penggunaan media pembelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan dalam bidang pelajaran akademik (membaca permulaan) sesuai dengan kebutuhan anak tunagrahita yakni memperkenalkan kosakata sederhana (nama-nama hewan dan buah-buahan) dalam pembelajaran bahasa Indonesia sehingga bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari.

2. Karakteristik Anak Tunagrahita Ringan

Sebagaimana anak disabilitas intelektual umumnya, tunagrahita ringan memiliki kekurangan pada fungsi adaptif baik pada domain konseptual, sosial maupun praktis. Menurut AAIDD (dalam APA, 2013:


(32)

15

34), karakteristik anak tungrahita ringan (mild level severity) pada masing-masing domain antara lain:

a. Domain konseptual: pada anak pra-sekolah belum ada perbedaan konseptual yang jelas. Pada anak usia sekolah dan dewasa, terdapat kesulitan dalam mempelajari keahlian akademik seperti membaca, menulis, berhitung, baik waktu maupun uang. Pada usia dewasa, tidak dapat berpikir abstrak apalagi untuk fungsi-fungsi eksekutif seperti merencanakan, menyusun strategi, menyusun prioritas maupun fleksibilitas kognitif; dan memiliki daya ingat yang singkat.

b. Domain sosial: tidak matang dalam interaksi sosial seperti kesulitan berkomunikasi dengan teman sebaya, berkomunikasi hanya untuk hal konkrit, sulit mengatur emosi dan perilaku yang sesuai usianya, dan memiliki pemahaman yang terbatas tentang resiko situasi sosial dan mudah dibohongi oleh orang lain.

c. Domain praktis: ketika dewasa, individu mungkin memiliki kemampuan merawat dirinya secara baik tetapi membutuhkan bantuan untuk tugas sehari-hari yang kompleks seperti berbelanja, bepergian, merawat anak dan rumah, memperhatikan asupan gizi dan pengaturan keuangan. Individu juga tidak bisa terlibat dalam persaingan pencarian pekerjaan dan harus dibantu dalam pengambilan keputusan atas kesehatannya dan atas persoalan hukum.


(33)

16

Selain itu, Lumbantobing (2001: 7) mengemukakan bahwa, individu dengan reterdasi mental ringan dapat menggunakan bahasa dalam keperluan sehari-hari, dapat mengurus diri sendiri, namun dalam bidang akademik mengalami kesulitan khususnya dalam hal membaca dan menulis. Akan tetapi, mereka dapat ditolong dengan pendidikan yang disusun secara khusus untuk meningkatkan kecakapannya dan mengkompensasikan (mengalihkan) hambatannya.

Anak tunagrahita ringan juga memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda dengan anak normal. Secara fisik anak tunagrahita sama seperti dengan anak normal pada umumnya. Perbedaannya adalah anak tunagrahita ringan memiliki kesulitan berfikir abstrak dan keterbatasan di bidang kognitif. Hal ini berimplikasi pada aspek kemampuan lainnya yaitu perhatian, ingatan, dan kemampuan generalisasi, yang digunakan dalam proses belajar. Karena itu, anak tunagrahita ringan mengalami kesulitan di bidang akademik, miskin perbendaharaan bahasa, serta perhatian dan ingatan yang lemah (Mumpuniarti, 2007: 16-17).

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Somantri (2007: 106-107) bahwa karakteristik anak tunagarahita ringan antara lain: keterbatasan dalam penguasaan bahasa, pemusatan perhatian, dan akademiknya yang kurang. Selain itu, dibantu dengan memberikan semangat, juga mengulang perbendaharaan kata-kata hingga pengulangan tugas dari yang sederhana ke arah yang lebih sulit, dengan menggunakan pendekatan yang konkret. Walaupun demikian, mereka masih dapat belajar membaca, menulis dan


(34)

17

berhitung sederhana dengan bimbingan dan pendidikan yang baik, anak tunagrahita ringan pada saatnya akan dapat memperoleh penghasilan untuk dirinya sendiri.

Efendi (2006: 98) mengemukakan beberapa karakteristik anak tunagrahita ringan sebagai berikut.

a. Cenderung memiliki kemampuan berpikir konkret dan sukar berpikir. b. Mengalami kesulitan dalam konsentrasi.

c. Kemampuan sosialisasinya terbatas.

d. Tidak mampu menyimpan instruksi yang sulit.

e. Kurang mampu menganalisis dan menilai kejadian yang dihadapi. f. Pada tunagrahita mampu didik, prestasi tertinggi bidang baca, tulis,

hitung tidak lebih dari anak normal setingkat kelas III-IV SD.

James dan Pages (dalam Mumpuniarti, 2003:24) menguraikan karakteristik anak tunagrahita ringan sebagai berikut:

a. Ciri Kecerdasan

Kapasitas belajar sangat terbatas terutama untuk hal-hal yang abstrak, anak lebih banyak belajar dengan cara membeo bukan pengertian. b. Ciri Fungsi Mental

Anak tunagrahita mengalami kesukaran dalam memusatkan perhatian, jangkauan perhatian sangat sempit dan cepat beralih sehingga kurang tangguh dalam menghadapi tugas, pelupa dan mengalami kesukaran mengungkap kembali ingatan, kurang mampu membuat asosiasi, serta sukar membuat kreasi baru. Sehingga dalam proses pembelajaran, pelajaran yang diberikan harus berulang-ulang hingga mencapai tujuan pembelajaran.


(35)

18

Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa anak tunagarahita ringan mempunyai karakteristik sebagai berikut: (1) IQ anak berkisar antara 55-70, (2) pada umumnya secara fisik tidak jauh berbeda dengan anak normal, (3) kurang mampu berpikir abstrak, maka dibutuhkan benda konkret dalam pembelajaran, (4) kesulitan di bidang akademik (membaca dan menulis), miskin perbendaharaan bahasa, serta perhatian dan ingatan yang lemah sehingga mengalami hambatan dalam pelajaran di sekolah, (5) dapat mencapai kemampuan akademik tidak lebih dari anak normal setingkat kelas III-IV SD.

B. Membaca Permulaan

1. Pengertian Membaca Permulaan

Membaca permulaan di Sekolah Dasar merupakan salah satu aspek yang sangat penting dan mendasar karena menjadi landasan untuk membekali pengetahuan pada jenjang selanjutnya. Membaca juga merupakan keterampilan berbahasa yang berhubungan dengan keterampilan berbahasa yang lain. Membaca merupakan proses aktif yang bertujuan dan memerlukan strategi. Sejumlah ahli memberikan definisi yang berbeda-beda. Hadgson (dalam Tarigan, 2008: 7) mengemukakan bahwa membaca ialah suatu proses yang dilakukan serta digunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan yang disampaikan penulis melalui media bahasa tulis. Selanjutnya Anderson (dalam Tarigan, 2008: 7) berpendapat bahwa membaca adalah suatu proses kegiatan mencocokkan huruf atau melafalkan lambang-lambang bahasa tulis.


(36)

19

Dari segi linguistik, membaca adalah suatu proses penyandian kembali dan pembacaan sandi (a recording and decoding process)”.

Menurut Ahmad dan Darmiyati (2001: 56) membaca merupakan kemampuan berbahasa tulis. Pendapat senada juga diungkapkan oleh Farida (2008: 2), bahwa membaca adalah suatu proses menerjemahkan simbol tulis (huruf) ke dalam kata-kata lisan. Ada tiga istilah yang sering digunakan dalam proses membaca, yaitu recoding, decoding, meaning. Recoding merujuk pada kata-kata dan kalimat, kemudian mengasosiasikannya dengan bunyi-bunyi sesuai dengan tulisan yang digunakan, sedang proses decoding (penyandian) merujuk pada proses penerjemahan rangkaian grafis ke dalam kata-kata. Hal ini berlangsung pada kelas awal (I, II, III). Sementara proses

meaning adalah keterampilan memahami makna yang lebih ditekankan pada

kelas tinggi di sekolah dasar.

Tony Buzan (dalam Hernowo 2003:19) mengemukakan bahwa membaca merupakan kegiatan mengenal simbol-simbol yang berbentuk abjad dalam buku. Lebih lanjut dikatakan Spodek dan Saracho (dalam Ahmad dan Darmiyati 2001: 31) bahwa membaca merupakan proses yang dilakukan untuk memperoleh makna dengan cara mengidentifikasi bunyi dalam kata dan menghubungkannya dengan makna.

Mengacu pada beberapa pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan membaca permulaan adalah kemampuan salah satu kegiatan berbahasa yang mengubah bahasa tulisan menjadi bersuara dengan melisankan suatu tulisan melalui media kata-kata dengan tujuan ingin


(37)

20

mengetahui isinya. Membaca permulaan dalam penelitian ini menitik beratkan pada pengenalan huruf-huruf atau simbol-simbol bahasa tulis dan terampil dalam mengubah huruf tersebut menjadi suara.

2. Tujuan Pembelajaran Membaca Permulaan

Pembelajaran membaca permulaan erat kaitanya dengan menulis permulaan, sebelum mengajarkan menulis guru terlebih dahulu mengenalkan bunyi suatu tulisan atau huruf yang terdapat pada kata-kata dalam kalimat. Kemampuan ini diajarkan di kelas-kelas rendah yang bertujuan menanamkan kemampuan merubah bahasa tulis (huruf) menjadi bahasa suara (bunyi). Berikut ini adalah beberapa pendapat tentang tujuan pembelajaran membaca permulaan.

Menurut Soejono (1983: 19), tujuan membaca permulaan secara singkat dipaparkan sebagai berikut.

a. Mengenalkan pada para siswa huruf-huruf abjad, sebagai tanda suara atau tanda bunyi.

b. Melatih keterampilan siswa untuk mengubah huruf-huruf dalam kata menjadi suara. Kata adalah lambang pengertian.

c. Pengetahuan huruf-huruf dalam abjad dan keterampilan menyuarakannya wajib dalam waktu singkat dapat dipraktekkan dalam membaca lanjut.

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Tarigan (2008: 12) bahwa dalam usaha menguasai kemampuan membaca permulaan adalah bersifat teknis yang secara garis besar dipaparkan sebagai berikut;

a. Pengenalan bentuk huruf

b. Pengenalan unsur-unsur linguistik (fonem/grafem, kata, frase, pola klausa, kalimat, dan lain-lain)


(38)

21

c. Pengenalan hubungan/korespondensi pola ejaan dan bunyi (kemampuan menyuarakan bahan tertulis atau “to bark at print”)

d. Kecepatan membaca ke taraf lambat

Selanjutnya Munawir (2005: 140-141), berpendapat bahwa tujuan membaca permulaan dalam membaca teknis adalah proses decoding atau mengubah simbol-simbol tertulis berupa huruf atau kata menjadi sistem bunyi. Secara lebih operasional membaca teknis atau pengenalan kata menuntut kemampuan sebagai berikut;

a. Mengenal huruf kecil dan huruf besar

b. Mengucapakan bunyi (bukan nama) huruf, terdiri atas;

1) konsonan tunggal (b, d, h, k…)

2) vokal (a, i, e, o)

3) konsonan ganda (kr, gr, tr…)

4) diftong (ai, au, oi);

c. Mengabungkan bunyi membentuk kata (s a y a, i b u);

d. Variasi bunyi (/u/ pada kata “pukul”, /o/ pada “toko” dan “pohon”);

e. Menerka kata menggunakan konteks;

f.Menggunakan analisis struktural untuk identifikasi kata (kata ulang, kata majemuk, imbuhan).

Berdasarkan beberapa tujuan membaca permulaan yang telah dikemukakan di atas, dapat dijelaskan bahwa membaca permulaan bagi anak tunagrahita adalah: 1) mengenalkan pada siswa tunagarahita huruf-huruf kecil, sebagai tanda suara atau bunyi; 2) memberi pengetahuan dan keterampilan kepada siswa untuk menguasai teknik-teknik membaca yaitu melafalkan huruf menggabungkan bunyi membentuk suku kata menjadi kata dengan lafal tepat.

Membaca permulaan perlu diberikan pada anak tunagrahita ringan agar siswa memiliki kemampuan untuk memahami dan menyuarakan tulisan


(39)

22

dengan intonasi yang wajar sebagai dasar untuk membaca lanjut. Hal ini mendukung anak tunagrahita ringan dalam melakukan aktivitas sehari-hari, misalnya membaca petunjuk jalan, nama toko, membaca label makanan, membaca label obat-obatan, sejumlah keamanan sosial dan lain sebagainya.

Proses belajar membaca permulaan pada siswa tunagrahita ringan berbeda dengan proses belajar membaca permulaan anak pada umumnya. Hal ini dikarenakan siswa tunagrahita ringan memiliki keterlambatan perkembangan segi kognitif. Keterbatasan daya pikir yang dialami siswa tunagrahita ringan menyebabakan mereka kesulitan mengenal huruf, membedakan huruf, ketepatan menyuarakan tulisan, lafal dan kejelasan suara, merangkai huruf menjadi suku kata lalu menjadi kata. Melalui penggunaan media Baba dalam mengenalkan huruf, membaca bersuara suku kata dan kata diharapkan dapat membantu dalam proses belajar membaca nyaring suku kata dan kata anak tunagrahita ringan.

3. Kemampuan Membaca Anak Tunagrahita Ringan

Kemampuan serta kematangan anak tunagrahita dalam membaca dipengaruhi oleh faktor-faktor persepsi dan memori. Persepsi dan memori merupakan proses mental yang berpusat di otak dan dimiliki oleh setiap individu, dengan adanya fungsi intlektual ini anak tunagrahita yang terbatas, mempengaruhi pada kemampuan mental lainya, di antaranya kemampuan presepsi dan memorinya.


(40)

23

Menurut Amin (1995: 197) satuan pendidikan luar biasa untuk tunagrahita ringan memiliki tugas perkembangan sesuai dengan usia kronologisnya sebagai berikut:

a. Anak yang berumur antara 4-6 tahun: umur kecerdasanya antara 2,5 – 4 tahun. Pada tingkat ini mengembangkan kemampuan fisik, mental dan sosial anak.

b. Anak yang berumur antara 7-12 tahun; umur kecerdasanya antara 5-9 tahun. Pada tingkat awal anak tunagrahita sudah merasa cukup siap untuk mengikuti program fisik, sosial, dan akademik tapi belum cukup matang untuk elemen-elemen yang diperlukan untuk membaca. Maka anak belajar dengan melakukan permainan-permainan dan aktivitas-aktivitas singkat.

c. Anak yang berumur antara 13-15 tahun, umur kecerdasanya berkisar antara 9-11 tahun. Pada tingkat ini anak tunagrahita ringan meneruskan mempelajari tool subject, yakni: membaca, menulis, dan berhitung.

d. Anak yang berumur antara 16-18 tahun. Umur kecerdasannya berkisar antara 10-12 tahun. Pada tingkat ini anak tunagrahita mempelajari untuk menambahkan tingkatan efisiean tool subject: yakni: membaca, menulis, dan berhitung, yang pelaksanaanya digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka kematangan tunagrahita dalam belajar membaca berkisar pada usia antara 13-15 tahun, umur kecerdasannya berkisar 9-11 tahun. Walaupun demikian perlu diingat bahwa selain terlambat perkembangan mental juga terbatas dalam kemampuan kecerdasannya. Selain itu kematangan ini banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Subjek pada penilitian ini usia anak berumur 10 tahun: usia kecerdasannya berada antara 5-9 tahun yang berada pada SDLB kelas II. Maka sesuai dengan kemampuan usia kecerdasannya siswa belum matang dalam keterampilan membaca maka diperlukan modifikasi pembelajaran dalam penyampain materi pembalajaran membaca permulaan dengan


(41)

24

melakukan permainan-permainan. Hal ini sesuai dengan penerapan belajar membaca melalui media Baba yang akan digunakan dalam pembelajaran membaca permulaan bagi siswa tunagrahita yakni belajar sambil bermain yakni menyusun huruf-huruf dan merangkainya menjadi kata yang bermakna.

Menurut Munawir (2005: 144) keterampilan membaca berkembang melalui beberapa tahap, yaitu

1) Tahap Pertumbuhan Kesiapan Membaca

Tahap ini merupakan kompetensi yang harus dikuasai anak untuk dapat mulai belajar membaca. Kompetensi itu misalnya dapat membedakan bentuk,warna,ukuran arah dan sebagainya.

2) Tahap Awal Belajar Membaca

Pengajaran membaca pada tahap awal belajar membaca meliputi dua tahap yaitu membaca global, membaca unsur, dan membaca tanpa memikirkan unsur-unsurnya. Pada tahap membaca global, guru memperkenalkan kata-kata sederhana sebanyak-banyaknya (kosakata pandang) untuk diamati. Membaca unsur menyangkut membedakan kata-kata dan mencari asosiasi antara huruf dan bunyi.

3) Tahap Perkembangan Keterampilan Membaca

Tahap ini merupakan kelanjutan dari tahap membaca global dan membaca unsur dan juga disebut membaca tanpa memikirkan unsur-unsur. Pada tahap ini, anak mampu membaca kosakata sederhana secara otomatis sehingga tidak perlu lagi memperhatikan unsur-unsur setiap kata.


(42)

25

4) Tahap Penyempurnaan Keterampilan Membaca

Pada tahap ini kegiatan membaca tidak lagi ditekankan pada teknik membaca, tetapi sudah pada makna bacaan. Kegiatan membaca lebih ditekankan pada peningkatan kemampuan membaca pemahaman tingkat lanjut, keterampilan belajar dan kecepatan membaca.

Berdasarkan tahap-tahapan membaca di atas maka dalam penelitian ini pada tahap awal belajar membaca yakni memperkenalkan kosa kata sederhana (nama-nama hewan dan buah-buahan) kepada siswa tunagrahita. Membaca permulaan sebagai tahap awal untuk mengenal, memahami, mengerti huruf menjadi kata dengan bantuan yang konkret.

4. Metode Membaca Permulaan

Metode pembelajaran bahasa merupakan langkah-langkah kerja pembelajaran bahasa yang harus dikuasai oleh guru; mencakup pemilihan, penentuan, dan penyusunan secara sistematis bahan yang diajarkan. Metode pembelajaran ditetapkan berdasarkan tujuan dan materi pembelajaran serta karakteristik siswa sehingga dapat membantu siswa memahami materi pembelajaran dan mencapai tujuan pembelajaran (Endang Supartini, 2001: 62).

Akhadiah (dalam Darmiyati Zuchdi dan Budiasih, 2001: 61-66), mengemukakan bahwa dalam pembelajaran membaca permulaan, ada beberapa metode yang dapat digunakan antara lain


(43)

26 a. Metode Abjad dan Metode Bunyi

Langkah-langkah pengajarannya pada metode abjad dan metode bunyi memiliki kesamaan. Perbedaanya terletak pada pengucapan atau cara mengeja huruf. pada metode abjad, huruf diucapkan sebagai abjad sedangkan metode bunyi huruf diucapkan sesuai dengan bunyinya. Langkah-langkahnya antara lain:

1) Mengenalkan/membaca beberapa huruf misal: m, n, a.

2) Merangkai huruf-huruf menjadi suku kata, misal: b-u  bu d-i

 di

3) Merangkai suku kata menjadi kata, misal : budi  budi

4) Merangkai kata menjadi kalimat-kalimat, misal: ini budi  ini budi b. Metode Kupas Rangkai Suku Kata dan Metode Kata Lembaga

Kedua metode ini dalam penerapannya menggunakan cara mengurai dan merangkaikan.

1) Metode kupas rangkai Suku kata Langkah-langkah sebagai berikut:

(1) Menguraikan kata menjadi suku kata, misal: mata  ma-ta (2) Merangkai suku kata menjadi kata-kata, misal: ma-ta  mata 2) Metode Kata Lembaga

Penerapannya menggunakan langkah-langkah sebagai berikut: (1) Mengenalkan kata, misal: bola

(2) Menguraikan kata menjadi suku kata, misal: bo – la (3) Menguraikan suku kata menjadi huruf, misal: b – o – l – a


(44)

27

(4) Merangkai kembali huruf-huruf menjadi suku kata, misal: bo-la (5) Merangkai kembali suku kata menjadi kata, misal: bola

c. Metode Global

Dalam penerapannya menggunakan langkah-langkah sebagai berikut: (1) Membaca kalimat secara utuh di bawah sebuah gambar, misal: ini

bola

(2) Setelah hafal membaca dengan gambar, dilanjutkkan membaca tanpa gambar.

(3) Menguraikan kalimat menjadi kata-kata, misal: ini bola

(4) Mengurai kata-kata menjadi suku kata-suku kata, misal: i-ni bo-la (5) Menguraikan suku kata-suku kata menjadi huruf-huruf, misal: i-n-i

b-o-l-a

d. Metode SAS (Struktural Analitik Sintetik)

Menurut Momo (Darmiyati Zuchdi dan Budiasih, 2001: 63-66) langkah-langkahnya sebagai berikut:

(1) Guru bercerita atau bertanya jawab dengan siswa disertai dengan gambar, misal: gambar ruang kelas.

(2) Membaca gambar-gambar, misal: meja, buku, guru, papan tulis. (3) Membaca kalimat-kalimat dibawah gambar-gambar, misal: ini

buku, ini kursi.

(4) Setelah hafal membaca dengan gambar dilanjutkan membaca tanpa gambar.

(5) Menganalisis dan mensintesiskan satu kalimat menjadi kata-kata, suku kata dan huruf, kemudian menjadi suku kata, kata-kata dan kalimat. Misalnya:


(45)

28

ini bola ini bola i ni bo la i n i b o l a

i ni bo la ini bola

ini bola

Di dalam pelaksanaan kegitan belajar mengajar guru harus mampu menggunakan metode-metode yang sesuai dan dilaksanakan secara bervariasi. Hal ini dimaksudkan untuk menarik perhatian belajar siswa dan agar siswa tidak merasa jenuh atau bosan dengan materi pelajaran yang diberikan. Cara yang dapat ditempuh adalah dengan variasi penggunaan media-media pembelajaran.

5. Faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Membaca Anak Tunagrahita Ringan

Kemampuan membaca permulaan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yang perlu diperhatikan agar siswa mencapai prestasi belajar yang optimal. Berikut faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan membaca yang dikemukakan oleh beberapa ahli.

Menurut Lamb dan Arnold (dalam Rahim 2008: 16-19) faktor yang mempengaruhi membaca permulaan adalah sebagai berikut:

a. Faktor Fisiologis

Faktor fisiologis mencakup kesehatan fisik, pertimbangan neurologis, dan jenis kelamin. Kelelahan juga merupakan kondisi yang tidak menguntungkan bagi anak belajar, khususnya belajar membaca. b. Faktor Intelektual

Secara umum intelegensi anak tidak sepenuhnya mempengaruhi berhasil tidaknya anak dalam membaca permulaan. Faktor metode


(46)

29

mengajar guru, prosedur, dan kemampuan guru juga turut mempengaruhi kemampuan membaca permulaan anak.

c. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan juga mempengaruhi kemajuan membaca siswa. Faktor lingkungan itu mencakup: (1) latar belakang dan pengalaman siswa di rumah, (2) sosial ekonomi keluarga siswa.

d. Faktor Psikologis

Faktor psikologis lain yang juga mempengaruhi kemajuan kemampuan membaca anak adalah faktor psikologis. Faktor ini mencakup: (1) motivasi, (2) minat, dan (3) kematangan sosial, emosi, dan penyesuain diri.

Hal senada dikemukakan Mecer seperti yang dikutip Mulyono (2003: 201) yakni terdapat delapan faktor yang mempengaruhi keberhasilan membaca, yaitu; (1) kemampuan mental, (2) kemampuan visual, (3) kemampuan mendengarkan, (4) kemampuan wicara dan bahasa, (5) keterampilan berpikir dan memperhatikan, (6) perkembangan motorik, (7) kematangan sosial dan emosional, (8) motivasi dan minat.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan membaca, yakni faktor internal maupun eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri siswa misalnya; keadaan fungsi jasmani, keadaan fungsi mental, kematangan berpikir, motivasi maupun minat. Sedangkan faktor ekternal adalah faktor yang mempengaruhi dari luar diri siswa misalnya: latar belakang keluarga, Faktor metode mengajar guru, prosedur, dan kemampuan guru juga turut mempengaruhi kemampuan membaca permulaan siswa.


(47)

30

Kemampuan membaca permulaan siswa tunagrahita lebih cenderung dipengaruhi oleh faktor internal yakni dari dalam diri siswa dikarenakan fungsi intelektual siswa tunagrahita ringan yang berada di bawah rata-rata, sehingga siswa mengalami kesulitan dalam mempelajari materi yang bersifat abstrak dan gampang lupa dengan materi pelajaran yang baru diajarkan. Untuk mengatasi kesulitan tersebut maka dibutuhkan lebih banyak waktu untuk melatih kemampuan membaca permulaan siswa secara berulang-ulang, karena karakteristik belajar siswa tunagrahita ringan cenderung pasif, siswa hanya meniru bila disuruh menirukan oleh guru. Disamping itu juga peran seorang guru sangat mempengaruhi ketika menyampaikan materi melihat karakteristik siswa tersebut maka diperlukan metode dan media yang sesuai dengan karakteristik dan kemampuan siswa, sehingga menimbulkan motivasi pada siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran secara optimal. Dan salah satu alternatif media pembelajaran dalam membaca bagi siswa tunagarahita ringan adalah melalui media Baba karena dapat mengaktifkan siswa dalam mengenal huruf membaca suku kata dan kata dengan lafal dan intonasi yang tepat.

C. Metode dan Media Pembelajaran 1. Pengertian Metode Pembelajaran

Konsep pembelajaran memiliki dua karakter yakni karakter belajar yang memiliki arti mengakumulasikan pengetahuan dan karakter mempraktekkan terus-menerus. Dari kedua karakter yakni belajar dan mempraktikkan terus-menerus, pembelajaran memiliki arti penguasaan cara


(48)

31

pengembangan diri (Senge et.al, 2002: 60-61). Senge et.al (2002: 59) mendefinisikan pembelajaran merupakan “pengujian pengalaman secara terus-menerus dan pengubahan pengalaman itu menjadi pengetahuan yang dapat diakses oleh seluruh anggota organisasi, dan relevan dengan tujuan utamanya.”

Istilah pembelajaran merupakan istilah baru yang digunakan untuk menunjukkan kegiatan guru dan siswa. Istilah pembelajaran mengacu pada segala kegiatan yang berpengaruh langsung terhadap proses belajar siswa. Dalam pembelajaran, interaksi siswa tidak dibatasi oleh kehadiran guru secara fisik. Siswa dapat belajar melalui bahan ajar cetak, program radio, program televisi, atau media lainnya. Pengertian tersebut memperlihatkan bahwa ciri utama pembelajaran adalah meningkatkan dan mendukung proses belajar siswa. Hal ini menunjukkan unsur kesengajaan dari pihak di luar individu yang melakukan proses belajar (Kusnin, 2008: 2). Hakekat pembelajaran yaitu membekali siswa untuk bisa hidup mandiri kelak setelah dirinya dewasa tanpa tergantung pada orang lain, karena dirinya telah memiliki kompetensi, kecakapan hidup. Dengan demikian, pembelajaran tidak hanya sampai mengetahui dan memahami (Suherman, 2008: 2). Pembelajaran merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai komponen yang saling berhubungan satu sama lain. Komponen tersebut meliputi tujuan/kompetensi, materi, metode, dan evaluasi.

Metode merupakan salah satu yang penting diperhatikan guru dalam pembelajaran (Rusman, 2008: 1). Untuk melakukan proses belajar mengajar


(49)

32

perlu dipikirkan metode yang tepat karena dengan menggunakan metode yang tepat maka pembelajaran itu akan berhasil (Adi, 2000: 75). Hal senada juga dikemukakan Jamalus & Mahmud (2011: 28), bahwa “dalam proses belajar -mengajar ada beberapa komponen yang memegang peranan, yaitu guru, siswa, tujuan, materi, metode pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran serta evaluasi.” Metode pembelajaran berarti berkaitan dengan model yang digunakan untuk pembelajaran. Metode tersebut mencakup teknik dan media yang digunakan untuk menyampaikan suatu materi pelajaran. Untuk menggunakan model pembelajaran, hal yang perlu diperhatikan adalah sesuai tidaknya suatu metode pembelajaran yang dipilih untuk menyampaikan materi tersebut. Kesesuaian antara metode dan materi pelajaran sangat terkait karena akan dapat mempermudah atau memperlancar penerimaan materi bila model yang dipilih sesuai dengan materi yang sedang diajarkan.

Menurut Jamalus & Mahmud (2011: 30) metode pembelajaran dalam proses belajar-mengajar adalah “seperangkat upaya yang direncanakan dan disusun dengan tujuan menciptakan suasana belajar-mengajar yang saling menguntungkan”. Pendapat ini didukung oleh Moeslichatoen (1999: 7) bahwa

“metode merupakan bagian dari strategi kegiatan”, sehingga yang dimaksud

dengan metode adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Metode

menurut Salma (2008: 18) adalah “cara-cara atau teknik yang dianggap jitu


(50)

33

biasa dikaitkan dengan media dan waktu belajar sehingga metode merupakan komponen strategi pembelajaran yang sederhana.

Berdasarkan definisi yang dikemukakan para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan metode pembelajaran ialah cara kerja yang bersistem dan direncanakan serta disusun guna mencapai tujuan pembelajaran yang saling menguntungkan dalam proses belajar mengajar.

2. Jenis-jenis Metode Pembelajaran

Dalam pelaksanaan pembelajaran, terdapat berbagai macam metode yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Dalam memilih metode pembelajaran tersebut, hal-hal yang harus diperhatikan di antaranya “kemampuan guru, tempat terjadinya pembelajaran, karakteristik peserta didik, bahan, tersedianya prasarana dan sarana atau media, waktu yang tersedia, situasi tempat” (Adi, 2000: 80). Selain itu, kriteria lain dalam memilih metode menurut Brady seperti yang dikutip oleh Adi (2000: 80) meliputi: “macam, ruang lingkup, kecocokan, kepatutan dan berhubungan, terutama dikaitkan dengan bahan pembelajaran”.

Adapun berbagai metode pembelajaran yang dimaksud dapat dijelaskan seperti berikut:

a) Metode ceramah

Menurut Djamarah dan Zain (2002: 110) metode ceramah

merupakan “metode caramah adalah cara penyajian pelajaran yang

dilakukan guru dengan penuturan atau penjelasan lisan secara langsung terhadap siswa”. Metode ini pun digunakan untuk menyampaikan topik


(51)

34

bahasan yang memiliki tujuan agar peserta didik dapat memiliki pengalaman terhadap aspek yang diajarkan melalui mendengarkan, melihat, membaca, menulis dan menirukan. Sementara menurut Pasaribu (2009: 19) metode ceramah memiliki karakteristik yakni: “siswa mendengar secara pasif dan guru menerangkan pelajaran, sebagian besar melalui bahasa lisan”. Metode ceramah merupakan metode yang paling sering digunakan atas dasar pertimbangan tertentu.

b) Metode eksperimen

Metode eksperimen atau metode percobaan menurut Jamalus

(2011: 36) ialah sebuah metode yang dimaksudkan “agar murid aktif

mengadakan percobaan sendiri, kemudian mendapat kesimpulan, pengetahuan sendiri atau cara memecahkan persoalan sesudah melakukan eksperimen tersebut”.

c) Metode diskusi

Metode diskusi merupakan metode mengajar yang sangat erat hubungannya dengan memecahkan masalah. Metode ini lazim juga disebut sebagai diskusi kelompok dan resitasi bersama. Menurut Hasibuan (2002: 20) metode diskusi ialah “suatu cara penyajian bahan pelajaran, dimana guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengadakan perbincangan ilmiah yang bertujuan untuk mengumpulkan pendapat, dan menyusun berbagai alternatif pemecahan atas suatu masalah”.


(52)

35

d) Metode latihan atau drill

Menurut Sagala (2005: 217) metode latihan (drill) atau metode

training merupakan “suatu cara mengajar yang baik untuk menanamkan

kebiasaan-kebiasaan tertentu. Juga sebagai sarana untuk memperoleh suatu ketangkasan, ketepatan, kesempatan dan keterampilan”. Sementara menurut Jamalus (2011: 34) metode ini digunakan untuk “menanamkan suatu keterampilan tertentu terhadap murid dengan melakukannya secara terus-menerus dan melatih murid untuk belajar mandiri”. Metode latihan atau drill merupakan metode yang digunakan untuk melatih siswa agar dapat memahami, menghafal dan mengerti materi yang disampaikan, khususnya yang berhubungan dengan teknik dan keterampilan untuk menanamkan kebiasaan

e) Metode tanya jawab

Menurut Hidayat (2003: 46) metode Tanya jawab merupakan

“metode pengajaran yang dilakukan guru dengan cara berbincang

-bincang atau tanya jawab yang berbentuk percakapan antara dua orang atau lebih”. Sementara menurut Adi (2010: 85) metode tanya jawab sebagai sebuah metode pembelajaran melalui interaksi dua arah yaitu “pengajar dan peserta didik, yang keduanya saling memberi dan menerima sehingga peserta didik ikut aktif dalam proses belajar

mengajar”. Metode tanya jawab merupakan suatu metode yang

digunakan guru kepada siswa berupa perbincangan atau obrolan yang dilakukan dua orang atau lebih.


(53)

36

f) Metode demonstrasi

Menurut Ali (2007: 84) metode demonstrasi bahwa, “Dalam pengajaran menggunakan metode demonstrasi dilakukan pertunjukan sesuatu proses, berkenaan dengan bahan pelajaran”. Metode ini lebih menarik karena dapat mempertunjukan gerakan-gerakan dan proses seperti di kemukakan Sagala (2005: 210) bahwa: “Metode demonstrasi ini barangkali lebih sesuai untuk mengajarkan bahan-bahan pelajaran yang merupakan suatu gerakan-gerakan, suatu proses maupun hal-hal yang bersifat rutin.”

Jamalus (2011: 33) mengemukakan bahwa dalam metode demonstrasi ini konsep atau pengertian dari suatu pembelajaran “tidak hanya diterangkan melalui kata-kata saja, melainkan dengan memperagakan suatu proses kegiatan atau penggunaan alat yang dapat dilihat atau didengar murid dengan jelas”. Sementara menurut Sudjana

(2009: 83) metode demonstrasi merupakan “metode mengajar yang

sangat efektif, sebab membantu para siswa untuk mencari jawaban dengan usaha sendiri berdasarkan fakta yang benar”.

g) Metode pemberian tugas

Menurut Mulyasa (2008: 113) metode pemberian tugas dilakukan dengan cara guru memberikan seperangkat tugas yang harus dikerjakan peserta didik, baik secara individual atau kelompok. Sesuai dengan topik yang dipelajari, guru memberikan tugas kepada siswa


(54)

37

untuk mendapatkan jawaban, informasi atau pengalaman secara individu atau berkelompok.

Dalam konteks pembelajaran membaca permulaan bagi anak tungrahita, metode latihan, demonstrasi, tanya jawab dan pemberian tugas menjadi metode yang paling cocok untuk digunakan karena membuat siswa berinteraksi dengan guru dan dengan media pembelajaran secara aktif dan langsung.

3. Media Pembelajaran

a. Pengertian Media Pembelajaran

Metode pembelajaran akan menentukan media pembelajaran yang akan digunakan. Hal ini memperlihatkan bahwa antara metode dan media pembelajaran saling terkait satu dengan yang lain. Dalam memilih metode pembelajaran yang akan digunakan harus memperhatikan kriteria-kriteria (Adi, 2000: 80) diantaranya: “kemampuan guru, tempat terjadinya pembelajaran, karakteristik peserta didik, bahan, tersedianya prasarana dan

sarana atau media, waktu yang tersedia, situasi tempat”. Selain itu, kriteria

lain dalam memilih metode menurut Brady seperti yang dikutip oleh Adi (2000: 80) meliputi: “macam, ruang lingkup, kecocokan, kepatutan dan berhubungan, terutama dikaitkan dengan bahan pembelajaran”.

Kata media berasal dari bahasa Latin medius yang secara harfiah berarti tengah, pengantar atau perantara (Munadi 2008: 6). Kata tengah berarti berada di antara dua sisi. Disebut sebagai pengantar media karena perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan sehingga


(55)

38

dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatiaan, dan minat. Dalam hal ini minat serta perhatiaan siswa sehingga proses belajar mengajar terjadi.

Menurut Yosafan (2007: 89), media merupakan alat perangkat yang mengantarkan informasi kepada penerima informasi. Selanjutnya Menurut Hamalik seperti dikutip Yosfan (2007: 90) bahwa media identik dengan menggunakan alat bantu. Sementara itu, Gane dan Brings seperti dikutip Yosfan (2007: 90) mengatakan bahwa media pembelajaran meliputi alat yang secara fisik digunakan untuk menyampaikan isi materi pengajaran, yang terdiri dari: buku, tape recorder, kaset, video kamera, video recorder, film, slide, foto, gambar, grafik, televisi, dan computer, untuk dapat merangsang siswa untuk belajar. Selanjutnya Munandi (2008: 8) berpendapat bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat menyampaikan dan menyalurkan pesan dari sumber secara terencana sehingga tercipta lingkungan belajar kondusif dimana penerimanya dapat melakukan proses belajar secara efisien dan efektif.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat menjadi perantara pesan dalam proses belajar mengajar dari sumber informasi kepada penerima informasi sehingga terjadi proses belajar yang kondusif. Pada hakikatnya media pembelajaran merupakan suatu usaha sadar guru/pengajar untuk membantu siswa atau anak didiknya, agar dapat belajar sesuai dengan kebutuhan dan minatnya.


(56)

39

b. Fungsi Media Pembelajaran

Menurut Levie dan Lentz (dalam Cecep Kustandi dan Bambang 2011: 21-23) menyatakan bahwa ada empat fungsi media pembelajaran khusunya media visual yakni:

1) Fungsi atensi merupakan inti, yakni menarik dan mengarahkan siswa untuk berkonsentrasi kepada isi pelajaran yang berkaitan dengan makna visual yang ditampilkan atau menyertai teks materi pelajaran.

2) Fungsi afektif dapat terlihat dari tingkat kenikmatan siswa ketika belajar (atau membaca) teks yang bergambar. Gambar atau lambang visual dapat menggugah emosi dan sikap siswa.

3) Fungsi kognitif terlihat dari temuan-temuan penelitian yang mengungkapkan bahwa lambang visual atau gambar memperlancar pencapain tujuan untuk memahami dan mengingat informasi dan pesan yang terkandung dalam gambar.

4) Fungsi kompensatoris berfungsi untuk mengakomodasikan siswa yang lemah dan lambat menerima serta memahami isi pelajaran yang disajikan dengan teks atau disajikan dengan verbal.

Selanjutnya Munadi (2008: 36-48) menyebutkan fungsi media pembelajaran yaitu:

1) Media pembelajaran berfungsi sebagai sumber belajar. Mudhofir (Munandi 2008: 37) menyatakan bahwa sumber belajar adalah komponen sistem instruksional yang meliputi pesan, bahan, alat, teknik, dan lingkungan yang mana hal itu dapat mempengaruhi hasil belajar siswa.


(57)

40

Dengan demikian sumber belajar dipahami sebagai segala macam sumber yang ada di luar diri siswa dan memungkinkan atau mempermudah siswa belajar.

2) Fungsi semantik yang diamaksud adalah media berfungsi untuk menambah perbendaharaaan kata (symbol verbal) sehingga makna atau maksudnya benar-benar di pahami (tidak verbalistik).

3) Fungsi manipulatif dimiliki media karena memiliki karakteristik umum yaitu mengatasi batas ruang dan waktu dan mengatasi keterbatasan inderawi.

4) Fungsi psikologis meliputi: fungsi atensi, fungsi afeksi, fungsi kognitif, fungsi imajinatif, dan fungsi motivasi. Penjelasan masing-masing fungsi: a) Media berfungsi atensi karena media mampu meningkatkan

perhatiaan siswa terhadap materi pembelajaran.

b) Media berfungsi afektif karena media mampu menggugah perasaan, emosi, dan tingkat penerimaan atau penolakan siswa terhadap sesuatu.

c) Fungsi kognitif dimiliki media karena media ikut mengembangkan kemampuan kognitif siswa yaitu siswa memperoleh bentuk-bentuk representasi yang mewakili objek-objek yang dihadapi. Semakin banyak objek-objek yang dihadapi semakin banyak gagasan atau pikiran yang dimiliki siswa.

d) Fungsi imajinatif dimiliki media karena media mampu meningkatkan dan mengembangkan daya imajinasi siswa.


(58)

41

e) Adapun fungsi motivasi dimiliki media karena media mampu menimbulkan dorongan untuk berbuat atau melakukan sesuatu. Dengan demikian guru mampu mendorong, mengaktifkan, dan menggerakkan siswanya secara sadar untuk terlibat secara aktif di dalam pembelajaran (Munandi 2008: 43-48).

5) Fungsi sosial-kultural adalah mengatasi hambatan sosio-kultural antara peserta komunikasi dalam pembelajaran. Oleh karena itu media pembelajaran dapat memberikan rangsangan yang sama, yang bisa dinikmati oleh siapa saja sehingga memiliki pengalaman yang sama, dan menimbulkan presepsi yang sama.

Ulasan beberapa fungsi media pembelajaran di atas juga dapat diaplikasikan ke dalam media Baba. Namum fungsi utama dari media ini membantu siswa tunagrahita ringan untuk meningkatkan kemampuan membaca permulaan. Terciptanya proses belajar mengajar yang kondusif dalam pengajaran membaca secara khusus dalam penelitian ini bagi siswa tunagrahita ringan dengan gangguan inteligensi rendah yang mengalami kesulitan belajar membaca permulaan, maka diperlukan media pembelajaran untuk dapat merangsang pikiran, perasaan, minat dan perhatian siswa agar mencapai perkembangan yang optimal, yang meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotor.


(59)

42

D. Media Baba sebagai Media Pembelajaran Membaca Permulaan 1. Pengertian dan Perlengkapan Media Baba

Salah satu bentuk media pembelajaran adalah media Baba. Media Baba yang dimaksud adalah sarana atau alat bantu untuk pembelajaran membaca permulaan, yang diterbitkan oleh Kanisius dan diciptakan oleh Br. Ewald Merkx, MTB, yang sudah mendapat pengesahan SK Dirjen Dikdesmen Depdikbud lewat SK No. 250/C.C6/Kep/LK/2000. Melalui media Baba, siswa diajak belajar sesuai dengan kompetensinya secara aktif. Media Baba membantu keterlibatan siswa secara aktif baik fisik maupun psikis dalam pembelajaran membaca. Dalam media Baba ada pula unsur bermain sambil belajar sehingga tidak memberatkan kognitif siswa. Menurut Merkx (2000:3), penggunaan media ini akan menampakkan hasil yang positif dan optimal jika digunakan selama 30 menit pada setiap hari.

Media Baba merupakan salah satu contoh media grafis. Karena media grafis termasuk media visual, di antaranya mengandung pengungkapan kata-kata dan gambar (Sadiman Arief dkk 2009: 29). Media Baba terdiri dari huruf-huruf, kata-kata, kalimat serta gambar. Secara teoretis, bentuk media Baba yang menggabungkan kata dengan gambar yang menunjukkan kata tersebut merupakan bagian dari pendekatan pengajaran membaca bagi anak dengan disabilitas intelektual yang disebut pendekatan keseluruan kata atau whole word approach untuk konsep membaca fungsional atau functional reading (Myreddi & Narayan, 1998: 2).


(60)

43

Melalui pendekatan ini, siswa belajar untuk menyadari (recognize) dan membaca kata-kata untuk dilafalkan. Pendekatan keseluruhan kata dilakukan dengan mengajarkan perbendaharaan kata konkrit yang berfokus pada tingkat penggambaran (imagery level) dari kata-kata yang hendak dipelajari. Artinya, penggambaran dengan apa yang paling mudah agar sebuah kata dapat menghasilkan sebuah gambar yang konkrit; “imagery level refers to the ease with which a word evokes a concrete picture” (Myreddi & Narayan, 1998: 3).

Langkah-langkah whole word approach antara lain (Myreddi & Narayan, 1998: 3-9):

a. Pilihlah kata-kata yang biasa digunakan dalam lingkungan anak sehari-hari misalnya tentang jenis sayuran, buah-buahan, bagian tubuh, pakaian). Dimulai dengan kata-kata yang memiliki bunyi yang berbeda jauh lalu diikuti dengan yang mirip bunyinya.

b. Mulai dengan memasangkan gambar dengan kata. Pada awalnya, berikan dahulu dua gambar dengan ada tulisan namanya, misalnya gambar bawang dengan tulisan “bawang” dan gambar kentang dengan tulisan “kentang”. c. Jika siswa sudah mampu memasangkan kedua gambar tersebut, langkah

berikutnya adalah siswa diberikan gambar yang terpisah dari tulisannya. Siswa diminta untuk memasangkan tulisan dengan gambarnya yang sesuai.

d. Setelah itu, mintalah siswa untuk menunjukkan kata-kata tersebut pada kartu gambar (flashcards) atau pada lembar kerja.


(61)

44

e. Setelah siswa mampu mengidentifikasi gambar tersebut, mintalah siswa untuk membaca kata-kata tersebut. Ikuti prosedur yang sama untuk mengajarkan kata-kata yang lain.

Sebagai media grafis untuk membaca permulaan yang bersifat fungsional serta dengan memasangkan kata dan gambar, maka media Baba ini menggunakan empat komponen yang sering disebut dengan sarana Baba, yakni:

1) Kotak Abjad Baba

Kotak abjad Baba merupakan sarana belajar untuk mengenal huruf atau kata. Kotak abjad Baba terdiri dari tiga puluh petak kecil, di dalam setiap petak terdapat kepingan-kepingan huruf kecil, jumlah kepingan tiap huruf pada masing-masing petak disediakan delapan huruf. Huruf-huruf tersebut disusun berdasarkan hasil penelitian tentang frekuensi penggunaan huruf yang sesuai dengan bahasa anak. Huruf tersebut

dimulai dari “a” sampai “z” kecuali huruf “q”. Huruf “q” ditiadakan

karena huruf tersebut masih jarang digunakan oleh siswa usia TK dan SD kelas I serta SLB. Kotak abjad ini digunakan secara individual agar semua siswa secara aktif mengikuti proses pembelajaran. Berikut adalah gambar dari kotak abjad Baba.


(62)

45

2) Buku Penyerta 1 dan 2

Dalam buku ini disajikan bahan-bahan yang dapat dipakai oleh bapak/ibu guru yang menggunakan Media Baba. Buku ini berisi gambar-gambar yang telah dikenal anak-anak sekaligus dengan kata atau kalimat. Buku ini berfungsi sebagai penyerta kotak abjad Baba. Berikut adalah gambar buku penyerta kotak abjad Baba.

Gambar 2. Buku Penyerta 1 dan 2 3) Almari Abjad Baba

Almari ini berisi 124 kata dasar. Kartu huruf tercetak pada karton dupleks 8 x 4 cm. Almari Baba digunakan untuk pembelajaran secara klasikal oleh guru dalam menyampaikan materi membaca dan menulis permulaan. Artinya bahwa salah satu siswa ditunjuk untuk mengerjakan atau menyusun huruf-huruf menjadi kata pada lemari abjad sesuai dengan kata yang ditentukan oleh guru. Sementara siswa yang lain menyusun pada kotak abjadnya masing-masing. Berikut ini adalah gambar almari Baba.


(63)

46

Gambar 3. Almari Abjad Baba

4) Gambar Peraga Baba

Sebagai peraga disediakan seperangkat gambar yang terdiri atas sepuluh seri, ialah seri A sampai dengan seri J. Masing-masing seri terdiri atas 12 gambar yang dicetak di atas karton dupleks berukuran 20 x 27cm. Berikut ini adalah contoh gambar peraga Baba.

Seria A Seri B


(64)

47

2. Penggunaan Media Baba dalam Membaca Permulaan Siswa Tunagrahita

Pendidikan di SLB C bertujuan untuk memberi keterampilan membaca sebagai dasar bagi siswa tungarahita untuk dapat membaca secara fungsional dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran program tersebut dirancang dari tahap permulaan dan tahap lanjut. Tahap lanjut diorientasikan langsung untuk kegunaan pada kehidupan sehari-hari. Dengan melihat tujuan tersebut, dalam proses pembelajaran peran dan tanggung jawab seorang guru perlu menggunakan alat bantu atau media yang dimaksud untuk membantu atau mendorong semangat siswa untuk aktif dalam mengikuti proses pembelajaran membaca permulaan.

Siswa sulit berpikir abstrak, kurang mampu memusatkan perhatian, mengikuti petunjuk, dan kurang mampu untuk menghindari diri dari bahaya. Siswa cepat lupa, cenderung pemalu, kurang kreatif dan inisiatif, perbendaharaan katanya terbatas, dan memerlukan waktu belajar yang relatif lama. Berkenaan dengan keterbatasan-keterbatasan tersebut, tentu membawa konsekuensi pada kesulitan siswa dalam mengikuti pelajaran-pelajaran akademik, yang antara lain mengalami kesulitan dalam memahami keterampilan membaca permulaan.

Salah satu media yang dapat melibatkan keaktifan siswa baik fisik maupun psikis dalam pembelajaran Bahasa Indonesia adalah media Baba. Media Baba ini mendukung penguasaan materi dan pencapaian tujuan yang disampaikan oleh guru untuk mewujudkan proses yang berorientasi pada keaktifan dan kemandirian siswa.


(65)

48

3. Langkah-langkah Penggunaan Media Baba dalam Membaca Permulaan

Ada beberapa persiapan yang harus dilakukan oleh seorang guru sebelum media ini digunakan dalam pembelajaran yaitu antara lain menyiapakan almari abjad Baba diletakkan di depan kelas digunakan untuk kegiatan secara klasikal dan kotak abjad Baba digunakan untuk kegiatan secara individu. Di bawah ini adalah langkah-langkah pelaksanaan penggunaan media Baba dalam membaca permulaan:

1) Guru mengenalkan gambar yang sesuai dengan materi pelajaran dan di tempel di papan tulis, kemudian siswa disuruh menyebutkan nama gambar tersebut.

2) Guru menyusun kartu huruf sesuai dengan nama gambar tersebut di kotak almari abjad Baba.

3) Guru membagikan buku penyerta yang sesuai dengan gambar yang ditempel di papan tulis.

4) Siswa membuka kotak abjad Baba kemudian menyusun huruf-huruf pada kotak abjad Baba yang sesuai dengan buku penyertanya.

5) Salah satu siswa menyusun pada papan almari Baba sama seperti yang disusun teman-temannya pada kotak abjad Baba, kemudian siswa yang lain mencocokkan dengan yang disusunya. Setelah itu guru membimbing siswa untuk mampu membaca kata atau kalimat yang telah disusunnya secara bersama-sama.


(66)

49

6) Kemudian dilanjutkan dengan gambar yang lain dan siswa diharapkan memberi nama dengan menyusun huruf pada kotak abjad Baba.

7) Siswa menyusun huruf sesuai dengan kata yang diucapkan guru pada kotak abjad Baba kemudian ditulis pada buku masing-masing dengan bimbingan guru.

8) Setelah itu siswa dan guru secara bersama membaca nama-nama gambar yang telah disusun tersebut.

9) Kartu huruf dikembalikan ke kotak abjad Baba masing-masing.

4. Kelebihan dan Kelemahan Media Baba

Setiap media pembelajaran tentu memiliki kelebihan dan kekurangan termasuk media Baba. Berikut ini adalah kelebihan dan kekurangannya:

a. Kelebihan media Baba adalah sebagai berikut: 1) Merupakan media yang tahan lama.

2) Konkrit.

3) Sebagai remedial teaching.

4) Mendorong semangat dan menarik perhatian siswa. 5) Siswa terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran. 6) Melatih konsentrasi dan ketelitian siswa.

7) Memiliki unsur permainan sehingga menimbulkan rasa kegembiraan.

8) Siswa semakin trampil dan cepat dalam menyerap bahan atau materi pembelajaran.

9) Mempermudah guru dalam mengajarkan tentang materi membaca permulaan, dengan metode mengajar yang lebih varitatif.

b. Kelemahan Media Baba adalah

1) Untuk mengadakan media ini dibutuhkan biaya yang relatif mahal. 2) Kartu huruf yang ada dalam kotak abjad Baba terlalu kecil.

3) Membutuhkan banyak waktu dalam mempersiapkan media Baba sebelum pembelajaran dimulai.


(67)

50

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa media Baba mempunyai beberapa kelebihan, dan dari kelebihan di atas semakin yakin peneliti bahwa media ini merupakan salah satu media pembelajaran yang tepat bagi siswa tunagrahita ringan, walaupun ada beberapa kelemahan, tetapi dengan latihan terus-menerus siswa akan mampu mengatasi kelemahanya. Hal ini terbukti dengan adanya penggunaan media ini, terutama tidak memberatkan memori siswa tunagrahita, namun justru lebih menggembirakan bagi siswa, karena mereka belajar sambil bermain sehingga tidak membosankan siswa.

5. Hal-hal Teknis dalam Penggunaan Media Baba

Hal-hal teknis yang harus diperhatikan oleh guru dan siswa dalam penggunaan media Baba adalah sebagai berikut:

a. Membagikan kotak-kotak abjad

Guru memilih beberapa siswa yang bertugas membagikan kotak-kotak abjad secara merata kepada semua siswa. Latihan ini merupakan latihan untuk mengajar siswa bagaimana cara mendistribusikan kotak-kotak abjad. Dalam hal ini tugas guru memberi isyarat kepada siswa untuk membagikan dan mengumpulkan kembali kotak abjad.

b. Membuka kotak abjad

Kotak abjad dibuka secara perlahan-lahan dengan mendorong kunci hitam ke samping. Setelah dibuka guru mendiktekan kata-kata dasar pada gambar seri A yang telah dipajangkan. Dan siswa menyusun huruf-huruf


(68)

51

di lajur pertama pada tutup kotak. Dalam hal ini tugas guru mengamati dan membantu siswa yang mengalami kesulitan.

c. Mengembalikan huruf-huruf

Setelah seri A selesai disusun oleh siswa, siswa membaca kata atau kalimat yang telah disusunnya. Selanjutnya guru menyebut kata demi kata yang huruf-hurufnya harus dikembalikan ke dalam kotak sesuai tempat huruf abjad yang terdapat pada kotak abjad

d. Huruf jatuh

Bila dalam proses pembelajaran siswa menemukan kartu huruf di lantai dan menyerahkan kepada guru, hendaknya diterima dengan baik. Hal ini membantu siswa untuk semakin mengerti bahwa ia telah melakukan suatu perbuatan yang baik. Tugas guru dalam hal ini adalah mengingatkan atau memeriksa kelengkapan huruf-huruf agar keutuhan kartu huruf akan tetap terpelihara.

e. Kotak abjad jatuh

Apabila dalam proses pembelajaran, salah satu siswa menjatuhkan kotak abjad karena kurang berhati-hati, maka guru sebaiknya memberi tugas kepada siswa tersebut untuk mengaturnya kembali. Hal ini di maksud untuk melatih siswa bertanggung jawab dengan tugas.

f. Frekuensi penggunaan

Waktu yang diperlukan dalam proses pembelajaran ini berlangsung selama 30 menit. Setiap hari gambar seri A diulangi sampai siswa betul-betul


(1)

172 Lampiran 15. Data siswa


(2)

173


(3)

174 Lampiran 16. Surat- Surat Penelitian


(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS TUNAGRAHITA RINGAN DENGAN PENDEKATAN BERBASIS MULTIMEDIA UNTUK SEKOLAH LUAR BIASA.

0 5 29

PENGEMBANGAN MEDIA INTERAKTIF DALAM PEMBELAJARAN MEMBACA PERMULAAN PADA ANAK TUNAGRAHITA RINGAN.

5 13 24

Pemanfaatan program geogebra dalam membantu kesulitan siswa kelas III di SLB Dharma Rena Ring Putra II Yogyakarta dalam memahami bentuk-bentuk bangun datar : studi kasus siswa tunagrahita ringan.

0 1 191

PELAKSANAAN PEMBELAJARAN KETERAMPILAN MEMASAK BAGI ANAK TUNAGRAHITA MAMPU DIDIK DI SLB-C DHARMA RENA RING PUTRA II YOGYAKARTA.

5 15 134

PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMBACA PERMULAAN MENGGUNAKAN MEDIA FLASH CARD PADA SISWA TUNAGRAHITA KATEGORI RINGAN KELAS I SEKOLAH DASAR DI SLB C WIYATA DHARMA 2 SLEMAN YOGYAKARTA.

0 6 185

PELAKSANAAN PEMBELAJARAN BAGI SISWA TUNAGRAHITA KATEGORI RINGAN KELAS III DI SEKOLAH DASAR INKLUSI BANGUNREJO II YOGYAKARTA.

0 0 203

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN PICTOGRAPH SEBAGAI MEDIA KOMUNIKASI NON VERBAL ANAK AUTISTIK TIPE RINGAN KELAS TKLB DI SLB DHARMA RENA RING PUTRA II YOGYAKARTA.

1 1 237

KEMAMPUAN MEMBACA PERMULAAN PADA SISWA TUNAGRAHITA RINGAN KELAS DASAR 1 SEKOLAH LUAR BIASA SEKAR TERATAI 1 SRANDAKAN BANTUL.

0 5 103

PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMBACA PERMULAAN DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA BUKU POP-UP PADA ANAK TUNAGRAHITA KATEGORI RINGAN KELAS IV DI SLB DHARMA RENA RING PUTRA 1 YOGYAKARTA.

1 6 161

Pemanfaatan program geogebra dalam membantu kesulitan siswa kelas III di SLB Dharma Rena Ring Putra II Yogyakarta dalam memahami bentuk-bentuk bangun datar : studi kasus siswa tunagrahita ringan - USD Repository

0 1 189