IMPLEMENTASI KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN BAGI ANAK TUNAGRAHITA KATEGORI RINGAN KELAS II DI SEKOLAH LUAR BIASA RELA BHAKTI I GAMPING.
IMPLEMENTASI KU BAGI ANAK TUNA
SEKOLAH L
Diajuk untu guna M
PROGRAM JURU
FA UNIVE
SI KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDI UNAGRAHITA KATEGORI RINGAN KELAS I AH LUAR BIASA RELA BHAKTI I GAMPING
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan una Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
Kharismantiwi Alfiah NIM 11103244020
GRAM STUDI PENDIDIKAN LUAR BIASA JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN NIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
JULI 2015
NDIDIKAN LAS II DI ING
(2)
IMPLEMENTASI KU BAGI ANAK TUNA
SEKOLAH L
Diajuk untu guna M
PROGRAM JURU
FA UNIVE
i
SI KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDI UNAGRAHITA KATEGORI RINGAN KELAS I AH LUAR BIASA RELA BHAKTI I GAMPING
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan una Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
Kharismantiwi Alfiah NIM 11103244020
GRAM STUDI PENDIDIKAN LUAR BIASA JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN NIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
JULI 2015
NDIDIKAN LAS II DI ING
(3)
(4)
iii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar karya saya sendiri.
Sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang ditulis atau
diterbitkan orang lain kecuali sebagai acuan atau kutipan dengan mengikuti tata
penulisan karya ilmiah yang telah lazim.
Tanda tangan dosen penguji yang tertera dalam halaman pengesahan adalah asli.
Jika tidak asli, saya siap menerima sanksi ditunda yudisium pada periode
berikutnya.
Yogyakarta, 4 Juni 2015 Yang Menyatakan,
Kharismantiwi Alfiah NIM 11103244020
(5)
(6)
v MOTTO
“Kemenangan seindah-indahnya dan sesukar-sukarnya yang boleh direbut oleh manusia ialah menundukkan diri sendiri”
(Ibu Kartini)
“Sesungguhnya beserta (sehabis) kesulitan itu ada kemudahan”
(Qs. Al-Insyirah, 30: 6)
“Not every child has an equal talent or an equal ability or equal motivation, but children have the equal right to develop their talents, their abilities and their
motivation” (John Fitzgerald Kennedy)
(7)
vi
PERSEMBAHAN
Rasa syukur yang mendalam kupanjatkan kehadiratMu Ya Allah. Dengan
ridho-Mu kupersembahkan karyaku ini untuk:
Ayah dan Mama tercinta
Almamaterku Universitas Negeri Yogyakarta Nusa, Bangsa, dan Agama
(8)
vii
IMPLEMENTASI KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN BAGI ANAK TUNAGRAHITA KATEGORI RINGAN KELAS II DI
SEKOLAH LUAR BIASA RELA BHAKTI I GAMPING Oleh
Kharismantiwi Alfiah NIM 11103244020
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) bagi siswa tunagrahita kategori ringan kelas II di SLB Rela Bhakti I Gamping dan hambatan yang dialami guru, serta upaya yang dilakukan.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Subyek penelitian ini adalah guru, wakil kepala sekolah bagian kurikulum, dan kepala SLB Rela Bhakti I Gamping. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi, dan analisis dokumen. Instrumen utama adalah peneliti dengan menggunakan pedoman wawancara, observasi, dan analisis dokumen. Data dianalisis melalui reduksi data, display data, dan penarikan kesimpulan. Teknik pemeriksanaan keabsahan data menggunakan peningkatan ketekunan, membercheck, dan triangulasi data.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perencanaan pembelajaran meliputi silabus dan RPP yang disesuaikan dengan hasil asesmen untuk menentukan indikator pencapaian. Perencanaan belum disertai catatan khusus selama proses pembelajaran yang dapat digunakan sebagai bahan refleksi pada perencanaan selanjutnya. Pelaksanaan pembelajaran ditinjau dari sisi pendekatan tematik yang diterapkan dalam kegiatan eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi terlihat belum optimal. Perencanaan yang sudah disusun belum dapat dilaksanakan secara keseluruhan karena pembelajaran yang bersifat situasional. Saat proses pembelajaran berlangsung guru membuat keputusan memilih KD yang relevan dengan kondisi situasional siswa. Evaluasi pembelajaran menggunakan dua cara yaitu: evaluasi proses dan hasil. Evaluasi proses dengan pengamatan belum terdapat catatan-catatan pengamatan. Sedangkan, evaluasi hasil diperoleh melalui nilai akhir yang dibandingkan dengan kriteria ketuntasan minimal (KKM) dan dideskripsikan sesuai hasil kemampuan siswa. Hambatan yang dialami guru dalam menerapkan pembelajaran tematik, kondisi siswa saat pembelajaran belum kondusif, minimnya keikutsertaan guru dalam pelatihan-pelatihan, kesulitan memperoleh buku teks khusus tunagrahita kategori ringan. Upaya yang dilakukan menyampaikan materi pembelajaran secara separatif, memberi motivasi dan memberi nasihat pada siswa, mengoptimalkan kemampuan guru, materi dikembangkan sendiri oleh guru.
(9)
viii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala karunia yang telah
diberikan selama ini, sehingga Penelitian skripsi yang berjudul “Implementasi
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan bagi Anak Tunagrahita Kategori Ringan
Kelas II di Sekolah Luar Biasa Rela Bhakti I Gamping” dapat terselesaikan
dengan baik.
Keberhasilan penyusunan skripsi ini tentu tidak lepas dari bantuan,
bimbingan, dan uluran tangan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini,
peneliti ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pihak dalam membantu
terselesaikannya skripsi ini, antara lain:
1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan
bagi Peneliti untuk menimba ilmu dari masa awal studi sampai dengan
terselesaikannya tugas akhir skripsi ini.
2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah
memberikan ijin penelitian.
3. Ketua Jurusan Pendidikan Luar Biasa yang telah membantu kelancaran
dalam proses penyusunan skripsi ini.
4. Ibu Dr. Mumpuniarti, M. Pd. selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan arahan, bimbingan, dan masukan selama menyelesaikan tugas
akhir skripsi ini.
5. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Pendidikan Luar Biasa yang selalu
(10)
ix
6. Ibu Sri Purwanti, S. Pd. selaku kepala Sekolah Luar Biasa Rela Bhakti I
Gamping yang telah memberikan ijin penelitian dan kemudahan hingga
penelitian ini berjalan dengan lancar.
7. Ibu Retno Hidayati, S. Pd. selaku wakil kepala Sekolah Luar Biasa Rela
Bhakti I Gamping yang memberikan ijin dan kemudahan hingga penelitian
ini berjalan dengan lancar.
8. Bapak Sutrisno selaku guru kelas II SDLB/C Sekolah Luar Biasa Rela
Bhakti I Gamping yang telah yang membantu Peneliti dalam melakukan
penelitian.
9. Seluruh Guru dan karyawan Sekolah Luar Biasa Rela Bhakti I Gamping atas
dukungan dan semangatnya kepada Peneliti untuk menyelesaikan penelitian
ini.
10.Siswa kelas II SDLB/C SLB Rela Bhakti I Gamping yang telah membantu
Peneliti selama penelitian.
11.Kedua Orangtua, Bapak Riyadi, S.H. dan Ibu Sutini serta adik saya
Mahendra Maulana yang selalu memberikan doa dan dukungan yang tak
mungkin dapat tergantikan selama masa kuliah hingga terselesaikannya
tugas akhir ini.
12.Sahabat-sahabat Yoesniar, Echa, Nike, Sasya, Arshanty dan Mas Aik yang
selalu memberikan motivasi sampai tugas akhir skripsi ini terselesaikan.
13.Teman-teman PLB C angkatan 2011 yang selalu mendukung dan
(11)
x
14.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah membantu penyusunan skripsi.
Semoga segala kebaikan semua pihak mendapat balasan pahala dari Allah SWT. Saran dan kritik yang bersifat konstruktif sangatlah penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi peneliti dan pihat-pihak yang bersangkutan.
Yogyakarta, 4 Juni 2015 Peneliti
Kharismantiwi Alfiah NIM 111032344020
(12)
xi DAFTAR ISI
hal
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PERNYATAAN ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 6
C. Fokus Penelitian ... 6
D. Rumusan Masalah ... 7
E. Tujuan Penelitian ... 7
F. Manfaat Penelitian ... 7
G. Batasan Istilah ... 8
BAB II KAJIAN TEORI A. Kajian Tentang Tunagrahita ... 9
1. Pengertian Tunagrahita Kategori Ringan ... 9
2. Karakteristik Tunagrahita Kategori Ringan ... 11
B. Kajian Tentang KTSP ... 12
1. Konsep Kurikulum ... 12
(13)
xii
3. Konsep KTSP ... 18
4. Tujuan KTSP ... 19
5. Prinsip pengembangan KTSP ... 19
6. Komponen KTSP ... 20
C. Implementasi KTSP bagi Anak Tunagrahita ... 24
1. Implementasi Kurikulum ... 24
2. Implementasi KTSP bagi Anak Tunagrahita Kategori Ringan ... 25
3. Perencanaan Pembelajaran ... 28
a. Asesmen ... 31
b. Tujuan ... 34
c. Menentukan Tema Pembelajaran ... 35
d. Mengembangkan Materi Pembelajaran ... 36
e. Menentukan Metode... 37
f. Penggunaan Media ... 38
g. Menyusun Prosedur/Langkah Pembelajaran ... 38
h. Menentukan Evaluasi Kemajuan ... 38
4. Pelaksanaan Pembelajaran ... 39
a. Persyaratan Pelaksanaan Proses Pembelajaran ... 39
b. Pelaksanaan Pembelajaran... 40
5. Evaluasi Pembelajaran ... 45
D. Penelitian yang Relevan ... 48
E. Kerangka Pikir ... 49
F. Pertanyaan Penelitian ... 53
BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ... 54
B. Subyek Penelitian ... 54
C. Lokasi Dan Waktu Penelitian ... 55
D. Metode Pengumpulan Data ... 56
E. Instrumen Penelitian ... 58
(14)
xiii
G. Teknik Analisis Data ... 61
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Setting Penelitian ... 63
1. Profil Sekolah ... 63
2. Visi, Misi, dan Tujuan Sekolah ... 63
3. Lokasi Penelitian ... 65
4. Struktur Kurikulum SDLB ... 66
B. Hasil Penelitian ... 67
1. Perencanaan Pembelajaran ... 68
2. Pelaksanaan Pembelajaran ... 82
3. Evaluasi Hasil Belajar ... 92
4. Hambatan dalam Implementasi KTSP serta Upaya yang Dilakukan ... 94
C. Pembahasan ... 97
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 117
B. Saran ... 118
DAFTAR PUSTAKA ... 120
(15)
xiv
DAFTAR TABEL
hal Tabel 1. Kegiatan Penelitian ... 55 Tabel 2. Asesmen... 75
(16)
xv
DAFTAR GAMBAR
hal Gambar 1. Kerangka Berpikir ... 52
(17)
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
hal
Lampiran 1 Pedoman Observasi Pelaksanaan Pembelajaran KTSP ... 125
Lampiran 2 Pedoman Observasi Penilaian Pembelajaran Dalam KTSP Berdasarkan Persyaratan Pelaksanaan Proses Pembelajaran .... 129
Lampiran 3 Pedoman Observasi Penilaian Pembelajaran dalam KTSP Berdasarkan Program Pembelajaran Individual (PPI) ... 130
Lampiran 4 Pedoman Wawancara Kepala Sekolah ... 131
Lampiran 5 Pedoman Wawancara Waka Kurikulum ... 133
Lampiran 6 Pedoman Wawancara Guru tentang Implementasi KTSP Kelas II SDLB/C ... 134
Lampiran 7 Pedoman Dokumentasi ... 140
Lampiran 8 Pedoman Analisis RPP/PPI ... 141
Lampiran 9 Display Data Pelaksanaan Pembelajaran ... 142
Lampiran 10 Hasil Observasi Penilaian Pembelajaran Dalam KTSP Berdasarkan Persyaratan Pelaksanaan Proses Pembelajaran .... 156
Lampiran 11 Hasil Observasi Penilaian Pembelajaran dalam KTSP Berdasarkan Program Pembelajaran Individual (PPI) ... 158
Lampiran 12 Hasil Wawancara Kepala Sekolah ... 159
Lampiran 13 Hasil Wawancara Waka Kurikulum ... 163
Lampiran 14 Display Data Wawancara Guru kelas II ... 167
Lampiran 15 Hasil Dokumentasi ... 185
Lampiran 16 Silabus ... 186
Lampiran 17 RPP ... 189
Lampiran 18 Membercheck ... 195
Lampiran 19 Hasil Analisis RPP/PPI ... 245
Lampiran 20 Catatan Lapangan ... 246
Lampiran 21 Surat Ijin Penelitian FIP ... 252
Lampiran 22 Surat Rekomendasi Kantor Kesatuan Bangsa ... 253
Lampiran 23 Surat Ijin Kantor Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah ... 254
Lampiran 24 Surat Keterangan dari Lokasi Penelitian ... 255
(18)
1 BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Pendidikan merupakan hal yang penting dalam kehidupan manusia. Setiap manusia berhak memperoleh pendidikan, tak terkecuali adalah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). ABK adalah sebutan untuk anak yang mengalami hambatan fisik, emosional, mental, intelektual, sosial sehingga memerlukan pendidikan khusus untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki agar mampu menyesuaikan diri hidup di masyarakat tanpa bergantung pada orang lain. Hal ini dikemukakan secara jelas dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 5 ayat 2 (2003: 8) bahwa “warga Negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.” Salah satu ABK yang dimaksud adalah anak tunagrahita kategori ringan.
Tunagrahita kategori ringan adalah istilah bagi individu yang mengalami keterbatasan intelektual. Hal ini menyebabkan individu mengalami kesulitan dalam berpikir secara abstrak. Karakteristik anak tunagrahita di antaranya adalah intelegensi yang kurang berkembang menyebabkan kesulitan dalam berpikir abstrak. Mumpuniarti (2007: 16) berpendapat anak normal mampu mencapai tahap operasional konkret pada usia 11 tahun, sedangkan pada anak tunagrahita dapat dicapai pada usia 15 tahun atau 17 tahun. Tunagrahita memiliki kemampuan intelektual yang rendah sehingga kemampuan berpikirnya terbatas. Pendidikan khusus harus diberikan agar dapat mengakomodasi kebutuhan
(19)
2
belajarnya. Pembelajaran fungsional sesuai diterapkan untuk anak tunagrahita kategori ringan.
Pembelajaran fungsional diterapkan untuk melatih kemandirian siswa tunagrahita. Pembelajaran ini dapat diaplikasikan pada setiap aktivitas. Dalam proses pembelajaran dilakukan dengan mengoptimalkan seluruh sumber belajar yang berkaitan dengan aktivitas kehidupan sehari-hari. Aktivitas tersebut dapat ditentukan dengan pendekatan model tematik. Hal ini dilakukan karena pendekatan tematik dapat memberikan pengalaman belajar pada siswa dengan keterbatasan intelektual.Seperti yang tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi (2006: 24) menyatakan bahwa “pendekatan model tematik diterapkan untuk satuan pendidikan khusus SDLB, SMPLB, SMALB, C, C1, D1, G.”
Pendidikan memerlukan kurikulum sebagai pedoman dalam pelaksanaan untuk mencapai tujuan pendidikan. Dalam kurikulum terdapat tujuan, isi, materi, dan evaluasi yang saling berkaitan sehingga kegiatan pendidikan dapat terlaksana secara jelas. Kurikulum untuk siswa tunagrahita disusun sesuai dengan potensi yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan belajarnya.
Kurikulum yang berlaku sekarang adalah kurikulum tingkat satuan pendidikan (selanjutnya disebut KTSP). KTSP adalah kurikulum berbasis sekolah yang dalam penerapannya disesuaikan dengan kondisi siswa, keadaan sekolah, dan masyarakat. KTSP merupakan pengembangan kurikulum lanjutan dan hasil evaluasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang diterapkan pada tingkat satuan pendidikan. KTSP dikembangkan dan dilaksanakan oleh setiap satuan
(20)
3
pendidikan yaitu sekolah (Depdiknas, 2008: 13). KTSP merupakan kebijakan pemerintah yang harus dilaksanakan oleh setiap satuan pendidikan, termasuk Sekolah Luar Biasa (selanjutnya disebut SLB). Dalam menerapkan KTSP di SLB dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan siswa.
Siswa tunagrahita memerlukan program kurikulum yang dapat mengakomodasi kebutuhan belajar sesuai dengan kemampuan siswa sehingga implemetasi KTSP perlu disesuaikan dengan layanan pendidikan tunagrahita. Oleh karena itu, perlu kurikulum yang disusun secara individual yang sesuai dengan keadaan masing-masing siswa. Hal ini sesuai dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi (2006: 24) menyatakan bahwa “Kurikulum satuan pendidikan SDLB, SMPLB, SMALB, C, C1, D1, G dirancang sangat sederhana sesuai dengan batas-batas kemampuan siswa dan sifatnya lebih individual”. Kurikulum yang dirancang bagi anak tunagrahita kategori ringan dapat dimodifikasi sesuai dengan kemampuannya. Program pembelajaran bagi tunagrahita kategori ringan harus dimodifikasi sesuai potensi siswa tunagrahita.
Program bagi tunagrahita kategori ringan disebut Program Pendidikan Individual (selanjutnya adalah PPI). PPI merupakan program yang diindividualkan sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki anak. PPI yang dirancang guru dapat mengoptimalkan potensi siswa, karena perencanaan berdasarkan pada kemampuan individu masing-masing.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala SLB Rela Bhakti I Gamping pada tanggal 10 Desember 2014 di dapat informasi bahwa KTSP sudah lama
(21)
4
diterapkan tetapi belum ada penelitian mengenai implementasi KTSP. KTSP masih diterapkan pada kelas I, II, III, V, dan VI, tetapi pada kelas I merupakan kelas awal sebagai tahap percobaan siswa memperoleh layanan pendidikan khusus, untuk kelas IV sudah menerapkan Kurikulum 2013. Berkaitan dengan implementasi KTSP diperoleh bahwa siswa-siswa di kelas III, V, dan VI memiliki hambatan penyerta selain tunagrahita kategori ringan. Oleh karena itu, peneliti memfokuskan pada siswa yang hanya mengalami tunagrahita kategori ringan yaitu pada kelas II.
Selanjutnya, wawancara juga dilakukan dengan guru kelas II SDLB/C, pada tanggal 16 Desember 2014. Berdasarkan hasil wawancara, implementasi KTSP dalam kegiatan belajar mengajar perlu dilakukan penyesuaian karena perubahan dari kurikulum yang sentralistik ke desentralistik. Hal yang dimaksudkan adalah KBK disusun dari pusat, guru dapat langsung menerapkan pedoman kurikulum yang sudah ditentukan. Sedangkan KTSP, guru dapat menyesuaikan indikator pencapaian dengan kemampuan masing-masing siswa. Wakil Kepala Sekolah bagian Kurikulum (Waka Kurikulum) menyatakan bahwa terdapat beberapa hambatan dalam melakukan penyesuaian kurikulum dengan potensi siswa. Hal ini disebabkan kesulitan dalam menentukan kebutuhan siswa.
Berkaitan dengan implementasi KTSP pada perencanaan pembelajaran beberapa informasi diperoleh dari guru kelas II SDLB/C pada tanggal 16 Desember 2014 bahwa perencanaan pembelajaran berupa silabus dan Rencana Pembelajaran (RPP) disusun sendiri oleh guru kelas II. RPP yang disusun merupakan RPP tematik. Guru menyusun silabus dan RPP tematik secara mandiri
(22)
5 dengan menentukan tema.
Selain itu, pada tanggal 17 Desember 2014, dilakukan observasi pelaksanaan pembelajaran di kelas II SDLB/C. Berdasarkan hasil observasi ditemukan bahwa guru belum melaksanakan pembelajaran berbasis pendekatan tematik integratif sesuai dengan RPP tematik yang sudah disusun. Pelaksanaan pembelajaran masih menerapkan per bidang studi dalam penyampaian materi di kelas. Guru memegang peran utama dalam pelaksanaan pembelajaran, artinya guru lebih mendominasi kegiatan pembelajaran di kelas. Pembelajaran juga belum memberikan pengalaman belajar bagi siswa. Siswa cenderung pasif mendengarkan penyampaian materi secara verbal. Ketika menyampaikan materi dilakukan secara klasikal sehingga seluruh siswa menerima materi yang disamaratakan, tetapi dalam pemberian tugas dibedakan sesuai dengan kemampuan siswa. Menurut guru layanan individual diberikan dengan penugasan sesuai kemampuan masing-masing siswa. Berkaitan dengan pemahaman guru dalam pelaksanaan KTSP pada anak tunagrahita kategori ringan, Wakil kepala sekolah bagian kurikulum Sekolah menyebutkan bahwa kemampuan guru belum sepenuhnya memahami dan memberikan layanan individual sesuai kebutuhan siswa. Hal ini disebabkan karena keterbatasan dari guru yang bersifat pribadi.
Berangkat dari masalah-masalah tersebut disimpulkan bahwa ada indikasi implementasi KTSP yang dilaksanakan pada kegiatan pembelajaran di Sekolah Luar Biasa belum berjalan optimal. Penerapan kurikulum bagi siswa tunagrahita dirancang secara fungsional sesuai dengan kebutuhan belajarnya. Pembelajaran fungsional untuk setiap anak tunagrahita juga berbeda. Guru sebagai pelaksana
(23)
6
kurikulum hendaknya dapat menerapkan kurikulum yang fungsional bagi anak tunagrahita secara individual.
Peneliti tertarik melakukan penelitian ini untuk mengetahui dan mendapatkan gambaran tentang implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) bagi anak tunagrahita kategori ringan kelas II di SLB Rela Bhakti I Gamping. Dengan penelitian ini diharapkan mampu menggambarkan secara jelas mengenai penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di SLB kemudian ditinjau dari segi teori. Dengan demikian, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai pertimbangan dan langkah selanjutnya untuk pengembangan kurikulum bagi siswa tunagrahita kategori ringan.
B.Identifikasi Masalah
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara awal, teridentifikasi beberapa masalah terkait implementasi KTSP kelas II SDLB di SLB Rela Bhakti I Gamping yaitu:
1. Guru belum sepenuhnya memahami konsep dan pengembangan KTSP yang dapat menyesuaikan kebutuhan belajar siswa tunagrahita.
2. Belum maksimalnya pembelajaran tematik integratif di kelas.
3. Ada indikasi implementasi KTSP yang disesuaikan dengan karakteristik tunagrahita kategori ringan belum optimal.
C.Fokus Penelitian
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka peneliti membatasi masalah penelitian yaitu tentang adanya indikasi implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) bagi anak tunagrahita II Sekolah Dasar (SD) di SLB Rela
(24)
7
Bhakti I Gamping belum berjalan optimal. Penelitian ini dilaksanakan karena implementasi KTSP di Sekolah Luar Biasa belum banyak diteliti.
D.Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu:
1. Bagaimana implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) bagi siswa tunagrahita kategori ringan kelas II di SLB Rela Bhakti I Gamping? 2. Apa saja hambatan yang dialami guru dan upaya yang dilakukan dalam
implementasi KTSP bagi siswa tunagrahita kategori ringan kelas II di SLB Rela Bhakti I Gamping?
E.Tujuan Penelitian
Berdasarkan identifikasi dan rumusan masalah, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) bagi siswa tunagrahita kategori ringan kelas II di SLB Rela Bhakti I Gamping.
2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan hambatan yang dialami guru dan upaya yang dilakukan dalam implementasi KTSP bagi siswa tunagrahita kategori ringan kelas II di SLB Rela Bhakti I Gamping.
F.Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat menambah khasanah keilmuan Pendidikan Khusus Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), dalam implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada siswa tunagrahita.
(25)
8 2. Manfaat Praktis
a. Bagi Kepala Sekolah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi kinerja guru dan pemahaman guru dalam pelaksanaan KTSP bagi siswa tunagrahita kategori ringan.
b. Bagi Guru
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tolak ukur sejauh mana pemahaman mengenai implementasi KTSP bagi tunagrahita kategori ringan. c. Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini dapat dijadikan referensi pengetahuan dan dasar bagi penelitian selanjutnya. Terutama dalam mendalami teori tentang kurikulum bagi siswa tunagrahita kategori ringan.
G.Batasan Istilah
1. Implementasi KTSP bagi tunagrahita kategori ringan adalah penerapan/pelaksanaan KTSP yang dilakukan oleh guru di kelas meliputi penyusunan silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), pelaksanaan pembelajaran, evaluasi pembelajaran, dan hambatan-hambatan dalam implementasi. KTSP serta upaya yang dilakukan guru dalam mengatasi kendala.
2. Anak tunagrahita adalah anak dengan keterbatasan intelektual yang tidak mampu berpikir abstrak yang berdampak pada kemampuan akademik dan non akademik.
(26)
9 BAB II KAJIAN TEORI
A.Kajian Tentang Tunagrahita 1. Pengertian Tunagrahita Ringan
Anak tunagrahita secara umum adalah kondisi yang kompleks, menunjukkan kemampuan intelektual yang rendah (IQ≤70). American Association of Mental Retardation (AAMR) yang sekarang organisasi tersebut telah berganti nama menjadi American Assosiation of Intellectual Developmental Disability (AAIDD) dalam (Smith & Tyler, 2010: 268) mendefinisikan “mental retardation is a disability characterized by significant limitations both in intellectual functioning and in adaptive behavior as expressed in conceptual, social, and practical adaptive skills.This disability originates before age 18”.
Istilah tunagrahita digunakan pada individu yang mengalami dua kriteria keterbatasan yaitu dalam fungsi intelektual dan perilaku adaptif, seperti: pemahaman konsep, sosial, dan keterampilan adaptif. Amin (1995: 11) menegaskan anak yang mengalami keterbatasan intelektual kurang cakap dalam memikirkan hal-hal yang abstrak. Sutjihati (2007: 105) menambahkan kapasitas belajar anak tunagrahita yang tidak dapat berpikir secara abstrak tersebut berdampak pada kemampuan belajar dan membaca, menulis, dan menghitung (calistung), termasuk tunagrahita kategori ringan. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa tunagrahita adalah individu yang mengalami kesulitan dalam berpikir secara abstrak,
(27)
10
dengan keterbatasan tersebut menyebabkan kemampuan belajarnya mengalami kesulitan. Tunagrahita dibagi menjadi tiga jenis, yaitu tunagrahita kategori ringan, sedang, dan berat. Tunagrahita kategori ringan memiliki tingkat intelegensi tertinggi dibandingkan dengan kategori tunagrahita lainnya. Tingkat intelegensi anak tunagrahita kategori ringan adalah 55-70 sedangkan tunagrahita kategori sedang berada pada 35-40 hingga 50-55 dan kategori berat berada pada 20-25 hingga 30-40 atau berada dibawah 20 atau 25 (Mumpuniarti, 2007: 14).
Tunagrahita kategori ringan masih mampu didik dalam bidang akademik secara fungsional sehingga bermakna bagi kehidupannya; tunagrahita kategori sedang masih dapat dilatih untuk menanamkan kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari (binadiri); tunagrahita kategori berat hanya mampu rawat karena keterbatasannya dalam mengurus diri sendiri, sehingga sering disebut idiot (Sutjihati, 2007: 106-108). Tunagrahita kategori ringan yang termasuk dalam klasifikasi tersebut adalah individu yang masih dapat dididik dengan pembelajaran akademik fungsional dikemas dalam materi yang sederhana. ‘Mild intellectual disabilities has learning difficulties, is able to work, can maintain good social relationships, contributes to society’ menurut AAIDD (dalam Smith & Tyler, 2010: 270). Maksud pernyataan tersebut adalah bahwa tunagrahita kategori ringan mengalami kesulitan dalam belajar, tetapi masih mampu melakukan pekerjaan, dapat menyesuaikan diri pada lingkungan sosial dan dapat bergaul dalam masyarakat.
(28)
11
dikatakan juga bahwa tunagrahita kategori ringan adalah individu yang mengalami keterbatasan dalam kemampuan intelektual dan perilaku adaptif, tetapi masih memiliki potensi dalam kemampuan akademik sederhana.
2. Karakteristik Tunagrahita Ringan
Anak tunagrahita mengalami keterbatasan proses kemampuan intelektual dan keterampilan adaptif. Karakteristik ini yang menyebabkan anak tunagrahita berbeda dengan anak seusianya. Sebagaimana yang diungkapkan Mumpuniarti (2007: 16) anak tunagrahita mengalami ketertinggalan dua atau lima tingkatan di bidang kognitif dibandingkan dengan anak normal yang seusia. Karakteristik tertentu pada anak tunagrahita meliputi: masalah pada kognitif, masalah pada perilaku adaptif, serta kebutuhan untuk memperoleh dukungan untuk dapat hidup mandiri. Sesuai dengan pendapat Smith & Tyler (2010: 271) the three defining characteristics are: problems with cognition; problem with adative behavior; and a need for supports to sustain independence.
Karakteristik anak tunagrahita diantaranya adalah intelegensi yang kurang berkembang menyebabkan kesulitan dalam berpikir abstrak. Mumpuniarti (2007: 16) berpendapat perkembangan anak tunagrahita yang lebih lambat dari anak normal karena MA (Mental Age) tidak berkembang sesuai dengan CA-nya (Chronological Age), sehingga ini yang menyebabkan keterbelakangan mental anak. Sutjihati Soemantri (2007: 106-107) menyebutkan karakteristik anak tunagrahita kategori ringan diantaranya:
a) Masih dapat belajar membaca, menulis, dan berhitung sederhana.
(29)
12 bimbingan yang baik.
c) Tidak mampu melakukan penyesuaian sosial secara mandiri, tidak mampu membelanjakan uangnya, tidak dapat merencanakan masa depan, serta sering berbuat kesalahan.
d) Secara fisik tidak berbeda dari anak normal pada umumnya.
e) Masih ada kemungkinan dapat bersekolah di sekolah anak berkesulitan belajar dengan mendapatkan bimbingan dari guru khusus pada kelas khusus. Dari berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa karakteristik anak tunagrahita kategori ringan memiliki kemampuan intelektual yang rendah sehingga kemampuan berpikirnya rendah. Namun, siswa tunagrahita kategori ringan masih memiliki potensi yang dapat dioptimalkan.
B.Kajian Tentang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 1. Konsep Kurikulum
Kurikulum di Indonesia mengalami beberapa kali perubahan dengan tujuan untuk menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Perubahan kurikulum dilakukan agar mampu menghasilkan lulusan (output) yang memenuhi kebutuhan masyarakat.
Kurikulum didefinisikan sebagai dokumen perencanaan yang berisi tentang tujuan yang harus dicapai, isi materi dan pengalaman belajar yang harus dilakukan siswa, strategi yang dapat dikembangkan, evaluasi yang dirancang untuk mengumpulkan informasi tentang pencapaian tujuan, serta implementasi dari dokumen yang dirancang dalam bentuk nyata (Wina Sanjaya, 2010: 9). Dalam undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
(30)
13
Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menyatakan bahwa “Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu” (2003: 6). Dengan adanya kurikulum, proses pembelajaran menjadi terarah dan teratur untuk dapat mencapai tujuan pendidikan.
Kurikulum bagi pendidikan khusus disesuai dengan kondisi dan kemampuan siswa. Kurikulum yang ditetapkan pemerintah sebagai kebijakan dengan memperhatikan kebutuhan siswa sesungguhnya. Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas (2003; 18) “Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik emosional mental sosial dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa”
Pengertian kurikulum tidak hanya terbatas pada rencana tertulis saja, tetapi juga seluruh kegiatan yang ada di sekolah. Arifin berpendapat (2012: 4) kurikulum merupakan semua kegiatan dan pengalaman potensial (isi/materi) yang telah disusun secara ilmiah, yang dapat dilakukan dimana pun atas tanggung jawab sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan. Pengertian kurikulum dapat diartikan sebagai berbagai macam aktivitas yang dilakukan sekolah untuk membimbing siswa dalam belajar sehingga mencapai tujuan pendidikan, yang diutamakan yaitu proses belajar mengajar, mengatur strategi pembelajaran, mengevaluasi program pembelajaran (Trianto, 2010: 15). Wina Sanjaya (2010: 9) berpendapat kurikulum mencakup dua sisi yang sama
(31)
14
penting, yaitu perencanaan pembelajaran serta bagaimana perencanaan itu diimplementasikan menjadi pengalaman belajar siswa dalam rangka pencapaian tujuan yang diharapkan.
Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan kurikulum bukan hanya seperangkat dokumen saja, tetapi segala bentuk aktivitas yang dikemas dalam program pendidikan yang dirancang dan dilaksanakan terhadap siswa untuk mencapai tujuan pendidikan.
Menurut Nasution (2005: 8-9) berbagai tafsiran kurikulum dapat ditinjau dari segi lain, diantaranya sebagai berikut:
1) Kurikulum dapat dipandang sebagai produk, merupakan hasil dari para pengembang kurikulum yang dituangkan dalam bentuk dokumen kurikulum dan bersifat idea.
2) Kurikulum dipandang sebagai program, dapat berupa mengajarkan berbagai mata pelajaran tetapi dapat juga dengan berbagai macam kegiatan yang mempengaruhi perkembangan individu, misal: pertandingan, pramuka, dsb. 3) Kurikulum dipandang sebagai hal-hal yang dipelajari siswa, yakni tentang
pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dapat diberikan kepada siswa. 4) Kurikulum sebagai pengalaman siswa. Pandangan kurikulum ini sebagai
kurikulum secara aktual menjadi kenyataan pada siswa, berbeda dengan ketiga pandangan kurikulum yang telah disebutkan diatas. Dalam pelaksanaannya akan berbeda dari yang direncanakan dengan yang diharapkan menurut rencana.
(32)
15
Penerapan kurikulum dalam pembelajaran dikelola oleh pendidik. Karena kurikulum yang direncanakan merupakan pemikiran dari para pengembang kurikulum. Menurut Nasution (2005: 8) kurikulum yang bersifat idea karena mengandung harapan/cita-cita pendidikan.
Pendapat Wina Sanjaya (2010: 22)mengenai pengertian kurikulum dapat dipahami dua hal menjadi yaitu;
(1)Kurikulum sebagai suatu rencana atau program tertulis yaitu kurikulum ideal (ideal curriculum) yang menggambarkan suatu cita-cita untuk mencapai tujuan pendidikan.
(2)Kurikulum pada aspek pengalaman belajar siswa, yang pada hakikatnya adalah kurikulum aktual. Kurikulum aktual adalah kurikulum yang riil terjadi di dalam kelas. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab kurikulum aktual diterapkan di antaranya:
a) Kelengkapan sarana prasarana yang tersedia di sekolah.
b) Kapasitas kemampuan guru dalam menerapkan program kurikulum dalam pembelajaran.
c) Kebijakan sekolah.
Dengan keterbatasan tersebut maka guru dapat menerapkan kurikulum sesuai dengan kondisi yang ada. Kurikulum aktual yang benar-benar dapat diterapkan pada siswa perlu dilakukan modifikasi.
Menurut Mohammad Ali (2010: 13) penerapan kurikulum aktual dapat diterapkan di kelas, namun tetap memperhatikan rambu-rambu dan mematuhi syarat dalam dokumen, serta bagi guru dalam melakukan modifikasi kurikulum
(33)
16
dapat melatih kreativitasnya. Dalam proses pembelajaran juga terdapat kegiatan lain yang tidak termuat dalam dokumen kurikulum. Ini yang disebut kurikulum tersembunyi (hidden curriculum). Menurut Wina Sanjaya (2010: 26) kurikulum tersembunyi memiliki dua makna, yakni:
a) Kurikulum tersembunyi dipandang sebagai tujuan yang tidak tertulis, tetapi pencapaiannya perlu dipertimbangkan guru agar kualitas pembelajaran lebih bermakna. Khairun Nisa (2009: 78) menambahkan kurikulum tersembunyi dalam mencapai pembelajaran yang bermakna yaitu tingkah laku, sikap, cara bicara, dan perlakuan guru terhadap siswa yang mengandung pesan moral.
b) Kurikulum tersembunyi juga dapat diartikan sebagai gejala sesuatu yang terjadi tanpa direncanakan terlebih dahulu yang dapat dimanfaatkan oleh guru untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Kurikulum tersembunyi merupakan hasil dari suatu proses pendidikanyang tidak terencana. Penerapan kurikulum tersembunyi dalam aktivitas pembelajaran dapat meningkatkan kualitas pembelajaran nyata sesuai kondisi di kelas serta mampu meningkatkan kreativitas guru.
2. Paradigma Pembelajaran dalam KTSP
Paradigma pembelajaran saat ini mulai mengalami pergeseran dari behavioristik ke konstruktivistik. Pada KTSP menerapkan teori belajar konstruktivistik. Pergeseran paradigma pembelajaran dikarenakan selama ini didasarkan pada pendekatan teori belajar behavioristik sehingga perlu untuk dikembangkan menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Menurut aliran
(34)
17
behavioristik, belajar pada hakekatnya adalah pembentukan asosiasi antara kesan yang ditangkap pancaindra dengan kecenderungan untuk bertindak atau hubungan antara Stimulus dan Respons (dalam Wina Sanjaya, 2010: 237). Pembelajaran yang menggunakan teori behavioristik diilustrasikan, stimulus diberikan guru secara aktif dan siswa yang merespon. Dalam teori ini siswa sebagai individu yang pasif. Pendekatan teori belajar behavioristik menganggap bahwa perilaku yang dapat diukur dan dapat diamati merupakan hasil belajar individu (Benny, 2009: 154). Belajar merupakan hasil perubahan perilaku setelah memperoleh pengalaman. Pengalaman belajar dapat diketahui melalui perilaku yang dapat diamati bukan dengan proses mental. Proses mental adalah pikiran, perasaan, dan motif yang dialami tetapi tidak dapat dilihat oleh orang lain (Santrock, 2010: 266). Meskipun tidak dapat diamati, tetapi merupakan sesuatu yang nyata.
Teori behavioristik berbeda dengan kontriktivisme. Kontruktivisme menganut bahwa siswa dapat membangun sendiri pengetahuannya dengan pengalaman yang nyata. Pendekatan konstruksivistik menekankan pada perlunya proses mental seseorang dilibatkan secara aktif dalam menempuh proses belajar dan membangun pengetahuan (Benny, 2009: 154). Hal ini berbeda dengan teori behavioristik yang tidak memperhatikan proses mental dalam pembelajaran. Menurut kaum konstruksivistik belajar diartikan tidak sekedar menghafal, tetapi proses membangun pengetahuan melalui pengalaman (Wina Sanjaya, 2010: 246). Pengetahuan tersebut bermakna jika dibangun dan ditemukan sendiri oleh siswa. Hal ini sesuai dengan pandangan dari teori
(35)
18
gestalt bahwa seseorang memperoleh pengetahuan melalui sensasi atau informasi dengan melihat strukturnya secara keseluruhan kemudian menata kembali dalam struktur yang lebih sederhana (dalam Sugihartono, dkk., 2007: 107). Oleh karenan itu, guru bertugas mengatur lingkungan belajar mengajar sehingga siswa dapat membangun pengetahuannya sendiri serta memperoleh pengalaman langsung.
3. Konsep KTSP
Kurikulum yang berlaku kini adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kurikulum ini merupakan pengembangan dan penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya yaitu Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). KBK ditetapkan oleh pusat, sedangkan dalam KTSP diserahkan dan disusun oleh satuan pendidikan yang bersangkutan dan tetap berpedoman pada Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang telah ditetapkan.
KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan dimasing-masing satuan pendidikan (Arifin, 2012: 184). Menurut Joko Susilo (2012: 97) KTSP diolah dari standar isi dan standar kompetensi lulusan yang berarti menekankan pada kompetensi. Sedangkan menurut Mulyasa (2011: 21) KTSP merupakan salah satu wujud reformasi pendidikan yang memberikan otonomi kepada sekolah dalam pengembangan kurikulum sesuai dengan potensi, tuntutan, dan kebutuhan.
KTSP memberikan keleluasan pada satuan pendidikan yang bersangkutan untuk mengembangkan sendiri kurikulum untuk dapat disesuaikan dengan
(36)
19
kebutuhan yang bersangkutan karena lebih mengetahui secara mendalam kondisi daerah setempat dan kebutuhan belajar siswa sehingga dapat mengoptimalkan seluruh potensi yang ada. Artinya dokumen KTSP dikembangkan sendiri oleh Satuan Pendidikan.
4. Tujuan KTSP
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) memiliki tujuan dalam meningkatkan dan mengembangkan kualitas pendidikan. Tujuan KTSP, meliputi:
(a)Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengembangkan kurikulum dengan mendayagunakan sumber daya yang ada di lingkungan dan sekolah;
(b)Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam pengembangan kurikulum melalui pengambilan keputusan secara bersama-sama dalam rangka peningkatan mutu pendidikan;
(c)Meningkatkan kompetisi yang sehat antar satuan pendidikan dalam mencapai kualitas pendidikan yang lebih baik (Mulyasa, 2011: 22).
5. Prinsip Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dikembangkan berdasarkan pada prinsip-prinsip:
a) Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan siswa dan lingkungannya;
b) Beragam dan terpadu;
c) Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan; d) Relevan dengan kebutuhan kehidupan;
e) Menyeluruh dan berkesinambungan; f) Belajar sepanjang hayat;
(37)
20
g) Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah (Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006).
Pengembangan KTSP memfokuskan pada kompetensi tertentu, berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang utuh dan terpadu, serta dapat diterapkankan pada siswa sebagai wujud dari hasil belajar. Penerapan kurikulum dilakukan guru dengan merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran, sehingga menjadi tolok ukur dalam penguasaan dan pemahaman terhadap apa yang dipelajari (Mulyasa, 2010: 146).
6. Komponen Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Secara umum pelaksanaan KTSP meliputi lima komponen yaitu sebagai berikut.
(a)Visi, Misi, dan Tujuan Pendidikan Satuan Pendidikan
Visi, misi, dan tujuan pendidikan merupakan hal mutlak dalam sebuah organisasi atau lembaga. Sebuah organisasi (lembaga sekolah) memiliki tujuan yang akan dicapai. Dengan adanya visi dan misi yang jelas sehingga tujuan pada suatu lembaga dapat tercapai. Menurut Morrisey (dalam Mulyasa, 2011: 176) menyatakan bahwa “visi adalah hal yang mewakili dari yang telah diyakini sebagai bentuk organisasi selanjutnya dalam pandangan pelanggan, karyawan, pemilik, dan stakeholder lainnya.”
Menurut Mulyasa (2011: 177) dalam mengembangkan visi di sekolah harus mampu memanfaatkan kekuatan yang sesuai dengan kegiatan internal sekolah. Kekuatan tersebut disebutkan sebagai berikut:
1) Kekuatan yang berhubungan dengan kondisi di lingkungan sekitar sekolah (masyarakat).
(38)
21
2) Kekuatan yang berhubungan dengan klien pendidikan, yaitu latar belakang sosial, aspirasi keuangan, sumber-sumber masyarakat, dan karakteristik lingkungan.
Visi dan misi selalu berdampingan karena keduanya berkaitan erat dengan tujuan. Visi lebih bersifat abstrak karena merupakan buah pikir (ide). Sedangkan, misi merupakan perwujudan dari visi yang telah dirumuskan. Misi menggunakan kata-kata operasional dalam penjabarannya sehingga mudah untuk dimaknai dan dilaksanakan. Dengan adanya visi dan misi yang jelas dari suatu lembaga Sekolah setiap warga sekolah yang bersangkutan juga dapat membantu mewujudkan visi dan misi sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan.
Tujuan pendidikan satuan pendidikan adalah segala sesuatu yang menjadi acuan dalam mengembangkan KTSP di satuan pendidikan yang bersangkutan (Mulyasa, 2011: 178). Tujuan pendidikan satuan pendidikan berupaya untuk meningkatkan potensi siswa sebagai anggota masyarakat serta mampu mengadakan hubungan sosial dengan masyarakat dan alam sekitar, maka untuk mencapai hal itu, tujuan pendidikan satuan pendidikan berpedoman pada tujuan pendidikan nasional (Oemar Hamalik, 2009: 178). Menurut Herbert Spencer (dalam Nasution, 2009:17) tujuan pendidikan dalam lima bagian berkenaan dengan:
(1)Kegiatan demi kelangsungan hidup, seperti menjaga kesehatan, mencegah dari penyakit, hidup teratur, mampu melindungi diri dari bahaya.
(39)
22
(2)Usaha mencari nafkah, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bekerja.
(3)Mengurus dan menjaga keluarga, bertanggung jawab atas pendidikan anak dan kesejahteraan keluarga.
(4)Pemeliharaan hubungan dengan masyarakat dan Negara.
(5)Penggunaan waktu senggang untuk menikmati kegiatan yang menyenangkan.
Bagian-bagian tersebut merupakan kebutuhan manusia sejak lahir hingga dewasa. Dalam pendidikan, tujuan yang dicapai harus secara konkrit dan jelas, sehingga kegiatan pendidikan mampu memenuhi kebutuhan siswa ketika dewasa sehingga menjadi generasi yang survive pada masa yang akan datang.
(b)Struktur Muatan KTSP
Struktur muatan dalam panduan KTSP (BSNP, 2006: 9-13) memuat hal-hal sebagai berikut.
1) Mata Pelajaran 2) Muatan Lokal
3) Kegiatan Pengembangan Diri 4) Pengaturan Beban Belajar
5) Kenaikan kelas, Penjurusan, dan Kelulusan 6) Pendidikan Kecakapan Hidup
7) Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal dan Global (c)Kalender Pendidikan
Dalam Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi bahwa “kalender pendidikan adalah pengaturan waktu untuk kegiatan pembelajaran siswa selama satu tahun ajaran yang mencakup permulaan
(40)
23
tahun pelajaran, minggu efektif belajar, waktu pembelajaran efektif dan hari libur” (2006: 44). Mulyasa (2013: 25) menambahkan hari libur dapat berbentuk jeda tengah semester selama-lamanya satu minggu, dan jeda antar semester.
(d)Silabus
Silabus merupakan penjabaran Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar ke dalam materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian Kompetensi untuk penilaian (Martiyono, (tanpa tahun): 217). Mulyasa (2011: 209) menyatakan bahwa Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP) menyiapkan kurikulum dan silabus, sehingga tugas guru menjabarkan, menganalisis, dan menyesuaikan kurikulum dengan karakteristik siswa dan kondisi sekolah. Meskipun, bagi sekolah yang mampu dapat menyusun silabus secara mandiri diperkenankan dan tetap berpedoman pada SKKD.
Dalam mengembangkan silabus, guru diberikan keleluasan dalam mengembangkan dan menyusunnya (dalam artian dapat memodifikasi silabus) secara mandiri dengan tetap berpedoman pada SK dan KD. Martiyono (tanpa tahun, 219) berpendapat pengembangan silabus dapat dilakukan oleh pihak terkait, yaitu guru secara mandiri atau berkelompok dalam satu sekolah atau dari beberapa sekolah, Kelompok Kerja Guru (KKG) atau Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), dan Dinas Pendidikan.
(41)
24
Kunandar (2007: 250) menjabarkan komponen-komponen silabus, sebagai berikut.
1) Standar Kompetensi Mata Pelajaran 2) Kompetensi Dasar
3) Hasil belajar
4) Indikator Hasil Belajar 5) Materi Pokok
6) Kegiatan Pembelajaran 7) Alokasi Waktu
8) Adanya penilaian
9) Sarana dan sumber belajar
Komponen-komponen tersebut dapat disajikan dalam format tabel horizontal atau vertikal baik dalam bentuk naratif atau matrik disesuaikan dengan masing-masing ketentuan satuan pendidikan.
(e)Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
RPP adalah rancangan yang berisi prosedur dan pengorganisasian pembelajaran (Martiyono, tanpa tahun: 229). Sedangkan menurut Mulyasa (2011: 212) rencana yang menggambarkan prosedur dan manajemen pembelajaran untuk mencapai satu atau lebih kompetensi dasar yang ditetapkan dalam Standar Isi dan dijabarkan dalam silabus. Dalam PP Nomor 1 tahun 2008 tentang Standar Proses Pendidikan Khusus menyatakan bahwa RPP disusun setiap KD yang dapat dilaksanakan dalam satu kali pertemuan atau lebih.
C.Implementasi KTSP bagi Anak Tunagrahita Kategori Ringan 1. Implementasi Kurikulum
Implementasi adalah penerapan dari sesuatu yang telah ditentukan. Menurut Joko Susilo (2008: 74) “implementasi adalah suatu penerapan ide,
(42)
25
konsep, kebijakan, atau inovasi dalam suatu tindakan praktis mampu memberikan dampak berupa perubahan dalam pengetahuan, keterampilan, maupun nilai dan sikap.” ‘Oxford Advance Learner’ Dictionary (dalam Susilo, 2008: 74) menyatakan implementasi adalah ‘put somethimg into effect’, maksudnya adalah penerapan yang mampu memberikan dampak.
Implementasi kurikulum menurut Joko Susilo (2012: 175) adalah operasional kurikulum dalam bentuk tertulis menjadi aktual dalam bentuk kegiatan pembelajaran dalam pendidikan. Menurut Oemar Hamalik (2009: 238) implementasi kurikulum adalah pelaksanaan program kurikulum yang dikembangkan terlebih dulu kemudian dilaksanakan di sekolah, sambil dilakukan penyesuaian dengan keadaan lapangan dan karakteristik siswa, baik kemampuan kognitifnya, psikis dan fisiknya.
Berdasarkan pendapat tersebut dapat diketahui bahwa implementasi kurikulum adalah penerapan/pelaksaan program kurikulum berupa aktivitas dan pengelolaan sekolah dan kelas yang telah dikembangkan dan menyesuaikan dengan situasi sekolah dan kemampuan siswa.
2. Implementasi KTSP bagi Anak Tunagrahita Kategori Ringan
Anak tunagrahita kategori ringan memiliki keterbatasan dalam berpikir. IQ yang berkisar 55-70, menyebabkan tidak dapat berpikir secara abstrak. Keterbatasan kemampuan berpikir tunagrahita kategori ringan menunjukkan bahwa perlu dilakukan penyesuaian kurikulum dengan kemampuan dan kebutuhan belajar siswa. Siswa tunagrahita memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga kurikulumnya pun berbeda dengan kurikulum pada
(43)
26
umumnya. Smith and Tyler menegaskan (2010: 284) “most students with intellectual disabilities do not fully access the general education curriculum.” Kebanyakan siswa dengan ketidakmampuan berpikir tidak dapat secara utuh menjangkau kurikulum pendidikan secara umum. Dengan demikian, penerapan KTSP di SLB lebih ditekankan pada kebutuhan belajar anak dan potensi yang dimiliki anak.
Anak tunagrahita tidak dapat mencapai tujuan pendidikan menggunakan kurikulum regular, maka kurikulum fungsional lebih tepat. Menurut pendapat Rusch (dalam Smith & Tyler, 2010: 288) ”….. functional curriculum, a curriculum that focuses on skills used in daily life before and after graduation.” Maksud pemaparan tersebut kurikulum fungsional adalah kurikulum yang berfokus pada kecakapan hidup sehari-hari yang dapat digunakan sejak mulai hingga lulus dari pendidikan. Pendapat ini sejalan dengan yang ditegaskan Kurikulum Pendidikan Luar Biasa dalam Endang R. & Zaenal A. (2005: 40) kurikulum bagi anak yang memiliki keterbatasan intelektual bertujuan memberi bekal kemampuan yang berupa perluasan serta peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperoleh dan bermanfaat bagi siswa agar mampu hidup mandiri disesuaikan dengan karakteristiknya.
Kurikulum dan pembelajaran tidak dapat dipisahkan, keduanya merupakan hal yang saling berkaitan. Kurikulum dapat bermakna apabila diwujudkan dalam proses pembelajaran, begitu pula dengan pembelajaran akan berlangsung baik apabila ada kurikulum sebagai pedomannya (Deni, 2014: 54).
(44)
27
Implementasi kurikulum di sekolah bagi tunagrahita kategori ringan memerlukan tahapan yang tepat agar penerapan tersebut berhasil dan mampu menyesuaikan dengan karakteristik siswa.
Implementasi kurikulum bagi tunagrahita kategori ringan nampak dalam pembelajaran yang dilakukan oleh guru, maka pemahaman dan kompetensi guru memiliki peran penting. Dalam mengembangkan indikator pencapaian kompetensi sesuai kekhususan siswa dilakukan secara berkelompok oleh guru-guru. Namun, dalam pelaksanaannya indikator pencapaian kompetensi menyesuaikan dengan kondisi masing-masing siswa tunagrahita kategori ringan. Bartleman et al. (2010:1) menyatakan desain pembelajaran untuk siswa tunagrahita memerlukan kualitas pengajaran yang berkaitan dengan hasil assessmen, tujuan IEP (Individualized Education Program) atau PPI (Program Pembelajaran Individual), dan perencanaan pendidikan yang diberikan pada penyandang tunagrahita.
Menurut pendapat Kunandar (2007: 235) implementasi kurikulum mencakup tiga kegiatan pokok, yakni perencanaan/pengembangan program, pelaksanaan pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran. Senada dengan pendapat Oemar Hamalik (2009: 249) menyebutkan tahapan implementasi kurikulum meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas maka, impelementasi kurikulum bagi anak tunagrahita meliputi: perencanaan pembelajaran, pelaksanaan program pembelajaran, dan evaluasi hasil pembelajaran.
(45)
28 3. Perencanaan Pembelajaran
Perencanaan pembelajaran adalah kegiatan merencanakan semua komponen pembelajaran, terutama dalam rencana pelaksanaan pembelajaran agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan baik, terarah, dan jelas (Martiyono: (tanpa tahun, 23). Perencanaan pembelajaran dalam kurikulum KTSP adalah langkah-langkah yang disusun untuk memudahkan guru dalam menerapkan pembelajaran bagi siswa, sesuai dengan SKKD yang ditetapkan.
Dalam Permendiknas Nomor 1 Tahun 2008 tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Khusus Tunanetra, Tunarungu, Tunagrahita, Tunadaksa, dan Tunalaras disebutkan bahwa perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Perencanaan pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran. Kunandar menambahkan (2007: 243) guru diharapkan mampu memberikan stimulus atau ransangan dalam pengalaman belajar yang bermakna untuk mengembangkan potensi siswa secara optimal sehingga pengembangan silabus dan rencana pembelajaran yang diberikan tepat sesuai karakteristik siswa. Oleh karena itu, materi pengembangan silabus dan RPP penting dikuasai oleh guru.
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dijabarkan dari silabus untuk mengarahkan kegiatan belajar siswa dalam upaya mencapai KD (Permendiknas Nomor 1 Tahun 2008). Menurut Kunandar (2007: 262) lingkup RPP mencakup satu KD yang terdiri dari satu atau lebih indikator pencapaian untuk satu kali pertemuan atau lebih. RPP yang disusun oleh guru juga memerhatikan beberapa prinsip agar mampu tepat bagi potensi yang dimiliki siswa dan
(46)
29
ketentuan dari sisi kurikulum. Berikut adalah prinsip penyusunan RPP dalam Permendiknas Nomor 1 Tahun 2008, meliputi: identitas mata pelajaran/tema pembelajaran, standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator pencapaian kompetensi, tujuan pembelajaran, materi ajar, alokasi waktu, metode pembelajaran, kegiatan pembelajaran, penilaian hasil belajar, serta sumber belajar. Kunandar (2007: 263) berpendapat RPP hendaknya bersifat luwes (fleksibel) dan dapat memberikan kemungkinan bagi guru untuk menyesuaikan dengan pembelajaran yang sesungguhnya.
Perencanaan pembelajaran bagi siswa tunagrahita mengutamakan pada program yang bersifat individual. Program Pembelajaran individual (PPI) adalah program atau rencana yang disusun untuk individu siswa berkelainan tertentu (Mumpuniarti, 2007: 77). PPI kependekan dari program pendidikan yang diindividualkan. Makna diindividualkan berarti rencana yang dibuat secara khusus harus memenuhi kebutuhan khusus anak. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan yaitu pada aspek tujuan, modifikasi, akomodasi, personil, penempatan anak kebutuhan khusus (Terri Mauro (tanpa tahun) dalam http://specialchildren.about.com. diunduh tanggal 3 januari 2015). Welton & Mallan (1981: 371) individualized instruction is disarmingly simple; the intent is to provide instruction that is keyed to the student’s needs, interests, and abilities and permits the student to maximize his or her potential. Dalam pendapat ini dinyatakan bahwa pembelajaran individual merupakan sesuatu yang sederhana, dengan merumuskan tujuan untuk memberikan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa, minat, dan
(47)
30
kemampuannya serta dapat memungkinkan siswa untuk memaksimalkan potensinya. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa PPI adalah program yang dirancang oleh guru sesuai dengan kebutuhan belajar siswa sehingga program yang diberikan secara tepat dan mampu mengoptimalkan potensi anak.
PPI adalah program yang dirancang menyesuaikan dengan hasil asesmen. PPI lebih tepat digunakan pada anak tunagrahita kategori ringan karena kebutuhan belajarnya bisa terpenuhi. Menurut Endang R. & Zaenal A., 2005: 35) masalah dan hambatan belajar tunagrahita yang kompleks membawa konsekuensi kepada kompetensi guru di dalam menyusun rencana pembelajaran yang mampu mengakomodasi kebutuhan anak tunagrahita. Apabila dalam mengakomodasi kebutuhan tunagrahita mengalami kegagalan dapat dipastikan pada tahap selanjutnya akan menemui masalah.
Program pembelajaran bagi anak tunagrahita dikembangkan dari dua sisi, yaitu: dari sisi kurikulum dan kebutuhan anak. Rancangan PPI dapat disusun dengan dua cara, yaitu:
1) Penyusunan PPI berdasarkan analisis kurikulum dengan hasil asesmen. 2) Penyusunan PPI berdasarkan hasil asesmen, analisis kurikulum hanya
sebagai rujukan formal (Endang R. & Zaenal A., 2005: 145).
Guru dapat memilih salah satu cara tersebut untuk menyusun PPI sesuai dengan kemampuan dan kompetensi masing-masing. Namun, dalam pelaksanaannya PPI harus memenuhi rambu-rambu dalam perancangan program. Menurut Mumpuniarti (2007:77) PPI meliputi: deskripsi
(48)
31
kemampuan yang dimiliki anak; tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek; rincian layanan yang memuat pendidikan khusus dan layanan yang terkait dengan kebutuhan anak; keterangan waktu dimulainya program, waktu selesai, serta evaluasi; setiap tujuan terdapat kriteria ketercapaian.
Menurut Kitano dan Kirby (dalam Endang R. & Zaenal A., 2005: 48) prosedur ideal untuk menentukan program pembelajaran individual yaitu :
1) Pembentukan tim PPI
2) Menilai kebutuhan khusus anak
3) Merancang metode dan prosedur pembelajaran 4) Menentukan evaluasi kemajuan anak
PPI merupakan bentuk perencanaan pembelajaran oleh guru yang digunakan dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar agar lebih terarah. Selain itu, bagi siswa tunagrahita kategori ringan diberikan pembelajaran yang menekankan pada tema-tema tertentu sehingga kegiatan belajar menjadi bermakna dan utuh.
Perencanaan pembelajaran individual bagi anak tunagrahita kategori ringan meliputi: asesmen, merumuskan tujuan pembelajaran, penentuan tema, menentukan materi pembelajaran, menentukan metode, media, dan prosedur, serta menentukan evaluasi pembelajaran.
(a)Asesmen
Program pembelajaran anak tunagrahita kategori ringan berorientasi pada kebutuhan setiap individu. Anak tunagrahita kategori ringan memiliki karakteristik yang berbeda meskipun anak tunagrahita memiliki MA (Mental Age) atau usia mental yang sama (Endang R. & Zaenal A., 2005: 35). Oleh karena itu, anak tunagrahita membutuhkan program
(49)
32
pembelajaran yang dirancang secara individual. Untuk dapat merancang PPI, guru dituntut memiliki kompetensi mampu mengidentifikasi kemampuan dan kebutuhan belajar siswa. Menurut Rochyadi (2005: 61) untuk memperoleh data dan informasi tentang kebutuhan dari masalah yang dihadapi anak, guru dapat melakukannya melalui kegiatan yang disebut asesmen.
Asesmen adalah upaya yang sistematis untuk mengetahui kemampuan, kesulitan dan kebutuhannya pada bidang tertentu, setelah itu data hasil asesmen dapat dijadikan sebagai bahan dalam penyusunan PPI yang sesuai bagi anak (Endang R. & Zaenal A., 2005: 61). Standards for Special Education (2003: 3) mendefinisikan asesmen merupakan proses berkelanjutan dengan mengumpulkan informasi tentang siswa menggunakan sejumlah metode formal dan informal dari berbagai kawasan/area yang dapat diamati dan ditunjukkan (seperti perilaku, komunikasi, intelektual, karakteristik belajar dan fisik), untuk mengembangkan dan melaksanakan program yang tepat sehingga mendukung pembelajaran siswa. Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan asesmen bagi anak tunagrahita adalah serangkaian proses yang dilakukan berkelanjutan untuk mendapatkan informasi/data anak mengenai kebutuhan belajar, kelemahan, dan kemampuan yang dimiliki secara tepat, agar program yang dirancang dapat mengoptimalkan potensinya. Dalam asesmen bagi anak tunagrahita kategori ringan setidaknya ada empat bidang yaitu; bidang akademik, bidang sensorimotor,
(50)
33
bidang menolong diri, dan bidang perilaku (Endang R. & Zaenal A., 2005: 68).
Untuk menggali informasi/data mengenai empat bidang tersebut dilakukan dengan cara observasi, wawancara, tes. Menurut Mary A. Falvey (dalam Endang R. & Zainal A., 2005: 65) metode pengumpulan informasi/data siswa harus mempertimbangkan tiga hal penting berikut ini.
1) Kapan asesmen dilakukan?
Asesmen dilakukan secara terus-menerus untuk menentukan program pembelajaran yang sesuai dan fungsional bagi anak. dengan demikian, asesmen dapat memfasilitasi anak dalam belajar dan keterampilan sehingga hasilnya bersifat fungsional.
2) Dimana asesmen dilakukan?
Asesmen hendaknya dilakukan dalam situasi yang alamiah, (seperti; di rumah, di dalam kelas, di halaman sekolah, di dalam atau di luar kantin, di asrama, dsb). Hal ini dapat melihat perilaku anak secara alami.
3) Bagaimana asesmen dilakukan?
Metode dan teknik menjadi pertimbangan saat melakukan asesmen. Beberapa teknik dapat digunakan dalam melakukan asesmen, diantaranya: observasi, wawancara, dan tes. Berbagai metode digunakan secara kombinasi dan tidak terpisah-pisah. Metode pengumpulan data dilakukan secara mendalam sehingga informasi mengenai kemampuan, masalah, dan kebutuhan anak. Observasi
(51)
34
dengan setting lingkungan yang alamiah membantu guru untuk melihat keterampilan dan kemampuan anak karena perilaku muncul tanpa ada manipulasi dari guru. Wawancara dapat dilakukan guru kepada orang yang paling dekat dengan anak yaitu orang tua/wali siswa. Sedangkan dokumentasi dapat data riwayat kesehatan, dsb. Data/informasi mengenai siswa hendaknya didapatkan secara akurat agar potensi yang akan dikembangkan, sesuai kebutuhan belajar anak. Dengan demikian asesmen diperlukan untuk menentukan pembelajaran yang tepat bagi anak tunagrahita kategori ringan. Hasil asesmen dapat menjadi acuan bagi guru untuk menentukan kebutuhan belajar siswa. (b)Tujuan
Dalam PPI dikenal dengan tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek. Tujuan jangka panjang merupakan tujuan yang akan dilaksanakan dalam waktu yang relatif lama dapat selama satu semester atau satu tahun. Sedangkan tujuan jangka pendek merupakan tujuan yang akan dilaksanakan dalam waktu relatif singkat. Dalam merumuskan tujuan jangka pendek guru juga menggunakan pernyataan-pernyataan yang jelas mengenai perilaku untuk mengukur derajat keberhasilan pembelajaran (Endang R & Zaenal A., 2005: 54-55). Dalam merumuskan tujuan hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
(1) Tujuan dirumuskan berdasarkan kemampuan siswa untuk mencapainya.
(52)
35
(2) Memprioritaskan untuk dapat mencapai kemampuan yang praktis dan fungsional.
(3) Tujuan yang dirumuskan sesuai dengan usia kronologis siswa. (4) Tujuan dirumuskan dengan menggunakan kata-kata operasional. (5) Komponen ABCD (Audience, Behavior, Condition, dan Degree)
menjadi pedoman dalam merumuskan tujuan. (Mumpuniarti, 2007: 75).
(c)Menentukan Tema Pembelajaran
Tema merupakan konsep yang menjadi pengikat untuk menyatukan bahasan dalam materi belajar dari beberapa mata pelajaran (Deni, 2014: 101). Pendapat ini didukung oleh Trianto (2013: 154) yang menyatakan bahwa tema merupakan alat untuk pemersatu materi yang beragam dari beberapa mata pelajaran yang saling terkait sehingga dalam pembelajaran yang dilaksanakan mengandung materi-materi yang bermakna. Pembelajaran yang bermakna bagi siswa mampu memberikan pengalaman yang nyata bagi siswa dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Abd. Kadir dan Hanun Asrohah (2014: 67) tema diramu dari kompetensi dasar dan indikator dari beberapa mata pelajaran yang dijabarkan dalam konsep, keterampilan, atau kemampuan yang ingin dikembangkan dan didasarkan atas situasi dan kondisi kelas, guru, sekolah, dan lingkungan.
Namun, dalam penentuan tema juga mempertimbangkan karakteristik siswa, seperti minat, kemampuan, kebutuhan, dan
(53)
36
pengetahuan awal (Trianto, 2013: 154). Pendapat tersebut ditegaskan oleh Deni Kurniawan (2014: 103) yang menyebutkan penentuan tema dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:
(1)Merujuk pada kompetensi dasar (KD) kemudian tentukan tema
(2))menentukan tema kemudian disesuaikan dengan kompetensi dasar (KD) Tema menjadi hal yang penting dalam perencanaan pembelajaran bagi siswa tunagrahita dengan mempertimbangkan antara kompetensi dasar dalam kurikulum dengan karakteristik dan kebutuhan belajar siswa.
Dengan demikian, antara tujuan yang ingin dicapai dengan kebutuhan belajar siswa dapat tercapai. Trianto (2013: 154) menambahkan materi yang tidak dapat dipadukan tidak perlu dipaksakan, sehingga tidak menyusahkan guru dalam menyusun dan menerapkannya. (d)Mengembangkan Materi Pembelajaran
Dalam Permendiknas Nomor 1 tahun 2008 menyebutkan bahwa materi ajar memuat fakta, konsep, prinsip, dan prosedur yang relevan, dan ditulis dalam bentuk butir-butir yang sesuai dengan rumusan indikator pencapaian. Menurut Endang R. & Zaenal A. (2005: 148) mengembangkan materi pembelajaran yang dirancang dalam PPI disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan anak dan menganalisis kurikulum. Pendapat ini didukung oleh Mumpuniarti (2007: 75) yang menyebutkan bahwa pokok-pokok materi yang diajarkan pada anak dapat diambil dari silabus kurikulum sekolah yang telah ditetapkan. Mengembangkan materi pembelajaran dapat diambil dari analisis kurikulum yang disesuaikan dengan kemampuan awal siswa. Materi
(54)
37
pembelajaran yang disajikan bersifat fungsional. Dengan mengembangkan materi pembelajaran, maka guru dapat menentukan metode dan media yang relevan.
(e)Menentukan Metode
Metode pembelajaran adalah cara yang digunakan menyampaikan materi kepada siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran (Abdul Majid, 2013: 193). Metode yang digunakan guru berpengaruh pada kelangsungan kegiatan belajar mengajar. Metode bagi anak tunagrahita yang memiliki keterbatasan dalam bidang akademik maupun non akademik.
Siswa dengan keunikan khusus memerlukan rencana yang lebih terperinci, seperti analisis tugas dan rencana individu (Jacobsen, Eggen, Kauchack, 2009: 164). Metode pembelajaran bagi siswa hambatan mental lebih tepat menggunakan analisa tugas (task analysis).
Analisis tugas merupakan proses memecah tugas pembelajaran yang kompleks menjadi bagian-bagian mendasar sehingga siswa dapat menguasai tiap tahapan (Arends, 2013). Analisis tugas adalah proses memecahkan keahlian yang rumit menjadi keahlian yang lebih sederhana (Jacobsen, Eggen, & Kauchack, 2009: 58). Anak tunagrahita tidak dapat mempelajari sesuatu yang rumit, dengan melakukan proses analisis tugas dalam pembelajaran dapat memecah tahapan yang kompleks menjadi tahapan yang sederhana. Tahapan yang belum dikuasai siswa akan
(55)
38
diketahui oleh guru dan dapat diupayakan dengan pengulangan dalam pembelajaran hingga siswa dapat menyelesaikan tugasnya.
(f)Penggunaan Media
Penggunaan dan pemilihan media juga memiliki peran penting dalam pembelajaran. Media merupakan alat yang digunakan sebagai pengantar pesan-pesan pembelajaran dari guru kepada siswa (Azhar Arsyad, 2011: 4). Media yang menarik mampu meningkatkan kualitas pembelajaran. Penggunaan media pembelajaran dalam proses belajar mengajar dapat membangkitkan keinginanan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsang kegiatan belajar, dan bahkan membawa pengaruh-pengaruh psikologis terhadap siswa (Hamalik dalam Azhar Arshad, 2011: 15).
(g)Menyusun Prosedur/langkah pembelajaran
Proses pembelajaran dimungkinkan dapat mengelompokkan anak berdasarkan karakteristik materi yang akan dibelajarkan secara kooperatif. Meskipun dalam pelaksanaannya dapat dimungkinkan siswa yang heterogen, tetap dikelola secara individual. Dalam pembelajaran sangat dimungkinkan strategi pembelajaran akan berubah sesuai dengan kondisi anak, sehingga kreativitas guru sangat penting (Endang R. & Zaenal Alimin, 2005: 55).
(h)Menentukan Evaluasi Kemajuan
Evaluasi kemajuan belajar hendaknya mengukur derajat pencapaian tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. Dalam evaluasi kemajuan
(56)
39
belajar dilaksanakan dari dua sisi yaitu evaluasi proses dan evaluasi hasil. Evaluasi proses dilaksanakan saat proses pembelajaran berlangsung dan evaluasi hasil dilakukan setelah pemberian materi tuntas diselesaikan. 4. Pelaksanaan Pembelajaran
Pembelajaran adalah proses interaksi guru, siswa, dan sumber belajar dalam lingkungan belajar. Pembelajaran dapat dikatakan berhasil apabila adanya perubahan tingkah laku siswa. Guru memiliki peran penting dalam pembelajaran yaitu mengondisikan lingkungan belajar agar terjadi perubahan perilaku (Kunandar, 2007: 287).
Dalam Permendiknas Nomor 1 Tahun 2008 tentang Standar Proses Pendidikan Khusus telah diatur mengenai syarat pelaksanaan pembelajaran dan kegiatan pembelajaran. Berikut adalah uraiannya.
1. Persyaratan Pelaksanaan Proses Pembelajaran a. Rombong Belajar
Jumlah maksimal siswa setiap rombongan belajar adalah: SDLB : 5 siswa
SMPLB : 8 siswa SMALB : 8 siswa b. Beban Kerja Guru
Beban kerja guru mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan, melaksanakan, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih siswa, serta melaksanakan tugas tambahan.
c. Buku teks pelajaran
1) Buku teks pelajaran yang akan digunakan oleh sekolah dipilih melalui musyawarah guru dan komite sekolah.
2) Buku teks pelajaran dipilih dan dimodifikasi sesuai taraf kemampuan membaca siswa dan satuan pendidikan.
3) Guru menggunakan buku panduan, buku pengayaan, buku referensi, dan pengalaman langsung serta sumber belajar lainnya.
4) Guru membiasakan siswa menggunakan buku-buku dan sumber belajar lain.
d. Pengelolaan kelas
(57)
40
2) Volume dan intonasi suara guru dalam proses pembelajaran harus dapat didengar dengan jelas;
3) Tutur kata guru santun dan dapat dimengerti;
4) Guru menjadwalkan waktu untuk melakukan asesmen serta menyusun dan melaksanakan Program Pembelajaran Individual (PPI);
5) Guru menyesuaikan materi pelajaran dengan kecepatan dan kemampuan belajar sesuai daya tangkap siswa;
6) Guru menciptakan ketertiban, kedisiplinan, kenyamanan, keselamatan, dan keputusan pada peraturan dalam menyelenggarakan proses pembelajaran melalui program bina diri;
7) Guru memberikan penguatan dan umpan balik terhadap respons dan hasil belajar siswa selama proses pembelajaran berlangsung;
8) Guru menghargai pendapat siswa;
9) Guru memakai pakaian yang sopan, bersih, dan rapi;
10) Guru memulai dan mengakhiri proses pembelajaran sesuai dengan waktu yang dijadwalkan dalam PPI.
2. Pelaksanaan Pembelajaran
Pelaksanaan pembelajaran merupakan inti implementasi kurikulum. Karena melalui hal ini pesan-pesan (SK-KD) kurikulum dilaksanakan (Mulyasa, 2013: 180). Pelaksanaan pembelajaran mencakup tiga hal, yakni pembukaan, pembentukan kompetensi, dan penutup (Mulyasa, 2013: 181). Pendapat ini senada dengan pendapat Kunandar (2007: 345) terdapat tiga tahapan dalam kegiatan pembelajaran, yaitu kegiatan pendahuluan/awal/pembukaan, kegiatan inti, dan kegiatan akhir/tindak lanjut.
Dalam Permendiknas Nomor 1 tahun 2008 menyebutkan bahwa pelaksanaan pembelajaran meliputi; kegiatan pendahuluan, kegiatan inti dan kegiatan penutup. Dalam pelaksanaan pembelajaran, guru melakukan beberapa tahap pelaksanaan pembelajaran, antara lain:
(58)
41 a. Kegiatan Pendahuluan/ Pembukaan
Pembukaan adalah kegiatan awal pembelajaran. Dalam kegiatan ini guru menciptakan suasana pembelajaran agar siswa siap secara mental dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar. Kesiapan siswa menentukan kegiatan selanjutnya dalam proses pembelajaran. Apabila siswa belum siap menerima materi yang akan disampaikan guru, siswa akan kesulitan menerima materi belajar. Menurut Hosnan (2014: 142) kegiatan pendahuluan memiliki tujuan untuk menciptakan suasana awal belajar yang efektif dan menyenangkan bagi siswa sehingga siswa dapat mengikuti pembelajaran dengan baik.
Dalam kegiatan awal guru melakukan apersepsi yaitu dengan mengajukan pertanyaan tentang bahan pelajaran yang sudah dipahami sebelumnya serta memberikan komentar pada jawaban siswa (Kunandar, 2007: 345). Dalam Permendiknas Nomor 1 tahun 2008, kegiatan pendahuluan bagi siswa tunagrahita kategori ringan adalah sebagai berikut.
1. Guru mengawali kegiatan belajar mengajar dengan menyapa dan memberi salam kemudian berdoa bersama.
2. Menyiapkan kondisi siswa secara psikis dan fisik, seperti kegiatan memeriksa ketersediaan alat belajar, sikap tubuh, dan menuntun gerak (prompting) sesuai derajat kelainan.
(59)
42
3. Melakukan apersepsi dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari.
4. Guru mengaitkan materi yang akan dipelajari dengan pengetahuan yang siswa miliki.
5. Menyampaikan tujuan dan manfaat pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari sesuai kemampuan berkomunikasi dan bersosialisasi siswa. 6. Menyampaikan cakupan materi dan kegiatan berdasarkan layanan individual yang disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan siswa.
Kegiatan pendahuluan merupakan hal yang penting sebagai langkah awal agar aktivitas pembelajaran inti berlangsung efektif. Guru juga dapat mengetahui tahapan kemampuan pengetahuan siswa sehingga dapat memulai pembelajaran sesuai kemampuan awal.
b. Menyampaikan Materi/Kegiatan Inti
Kegiatan inti merupakan kegiatan untuk pembentukan kompetensi siswa (Mulyasa, 2011: 256). Pembelajaran yang menyenangkan dan menarik akan membantu dalam proses pembentukan kompetensi. Pembentukan kompetensi dikatakan efektif apabila siswa terlibat secara aktif, baik mental, fisik, maupun sosial (2013: 183).
Kunandar (2007: 345) menyebutkan kegiatan yang dapat dilakukan adalah membahas tema yang akan disajikan beserta materi/bahan pembelajaran yang akan dipelajari dan alternatif kegiatan yang akan dilakukan siswa. Pembelajaran dalam KTSP bagi kelas awal
(60)
43
menggunakan pendekatan tematik. Dengan pembelajaran tematik, siswa dapat belajar secara keseluruhan (holistik). Oleh karena itu, guru memegang peranan penting dalam menentukan metode dan strategi yang tepat dan bervariasi dalam penyampaian materi.
Dalam Permendiknas Nomor 1 tahun 2008 tentang Standar Proses Pendidikan Khusus bahwa kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai KD yang dilakukan agar siswa berpartisipasi aktif dalam pembelajaran. Proses kegiatan inti menggunakan metode yang sesuai dengan karakteristik siswa dan mata pelajaran, meliputi proses eksplorasi, elaborasi, dan konfimasi. Adapun penjelasan kegiatannya adalah sebagai berikut.
1) Eksplorasi
Dalam kegiatan eksplorasi, guru:
a) Memberikan kesempatan untuk memperoleh pengalaman langsung yang bersifat multi sensorik.
b) Menggunakan pendekatan yang mengutamakan pendekatan bermain sambil belajar atau lainnya secara bervariasi dan menyenangkan dengan menggunakan media yang menarik.
c) Memfasilitasi interaksi antar siswa dengan siswa, guru, lingkungan, atau sumber lain.
d) Melibatkan siswa dalam setiap kegiatan pembelajaran agar berpartisipasi secara aktif.
(61)
44 dan dalam setiap kegiatan. 2) Elaborasi
Dalam kegiatan elaborasi, guru:
a) Menyusun analisis tugas sesuai dengan kondisi dan potensi siswa baik akademik maupun non akademik.
b) Membiasakan siswa dalam kegiatan yang fungsional seperti membaca, menulis, dan menghitung sederhana sebagai kebiasaan hidup sehari-hari.
c) Memfasilitasi siswa untuk menyajikan hasil kerja individual maupun kelompok.
d) Memfasilitasi siswa untuk mengikuti pameran, lomba, pagelaran, dan festival untuk menunjukkan produk yang dihasilkan.
e) Memfasilitasi siswa melakukan kegiatan yang menumbuhkan kebanggaan dan rasa percaya diri siswa.
3) Konfirmasi
Dalam kegiatan konfirmasi, guru:
a) Memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam terhadap keberhasilan siswa.
b) Memberikan pengalaman yang bermakna dalam mencapai kompetensi dasar dengan narasumber dan fasilitator.
Pelaksanaan pembelajaran bagi tunagrahita kategori ringan disesuaikan dengan perkembangan anak, tidak dapat dipaksakan sesuai dengan target yang akan dicapai guru (Munawir Yusuf, 2005: 98). Oleh
(62)
45
karena itu, pelaksanaan PPI bersifat fleksibel. Ini berarti, ketika pelaksanaan PPI saat pembelajaran tidak dapat dilaksanakan dengan baik, maka guru harus segera mengadakan penyesuaian sehingga PPI benar-benar sesuai penerapannya bagi tunagrahita (Munawir Yusuf, 2005: 100). c. Penutup
Penutup merupakan kegiatan akhir proses pembelajaran. Dalam kegiatan ini guru melakukan beberapa hal yaitu: membuat rangkuman atau kesimpulan, penilaian dan refleksi, umpan balik dan tindak lanjut (Abd. Kadir & Hanun Asrohah, 2014: 160). Permendiknas Nomor 1 tahun 2008 terdapat kegiatan penutup, guru:
1) Melakukan penilaian terhadap kegiatan pembelajaran individual. 2) Memberikan umpan balik terhadap proses dan hasil pembelajaran. 3) Merencanakan kegiatan tindak lanjut, meliputi: pengulangan
pembelajaran, pencatatan dan penilaian anekdot serta layanan individual lainnya sesuai hasil belajar siswa.
Dengan demikian pelaksanaan pembelajaran sebagai pelaksanaan dari rencanaa pelaksanaan pembelajaran yang telah disusun sebelumnya. Melalui pelaksanaan proses pembelajaran dapat diketahui kegiatan yang telah direncanakan dalam PPI.
5. Evaluasi Pembelajaran
Evaluasi merupakan penilaian dan pengukuran terhadap suatu proses pembelajaran. Kegiatan evaluasi dapat menjadi tolak ukur keberhasilan siswa selama pembelajaran. Suharsimi Arikunto (2012: 3) menyatakan bahwa
(63)
46
mengadakan evaluasi meliputi dua cara, yaitu mengukur dan menilai. Dalam pendapatnya tersebut, makna mengukur dan menilai berbeda. Mengukur berarti membandingkan sesuatu dengan satu ukuran dan sifatnya kuantitatif, sedangkan menilai adalah mengambil suatu keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik buruk dan sifatnya kualitatif (Suharsimi Arikunto, 2012: 3). Pendapat ini didukung oleh Anas Sudijono (2008: 8) menyatakan evaluasi adalah kegiatan atau proses mengukur kemudian menilai, sampai tahap mana tujuan yang telah dirumuskan sudah dapat dilaksanakan.
Proses evaluasi bagi anak tunagrahita ringan dengan menggunakan pembelajaran yang bersifat individual ditentukan oleh guru dengan menerapkan standar untuk setiap siswa sesuai dengan kompetensi yang dimiliki anak sesuai hasil asesmen (Munawir Yusuf, 2005: 299). Dalam hal ini guru memantau kemajuan atau kemunduran belajar siswa. Dengan mengetahui hal itu, guru dapat mengetahui kesesuaian strategi, pendekatan, atau media yang digunakan dengan hasil evaluasi terhadap siswa. Teknik penilaian dalam Permendiknas Nomor 20 tahun 2007 sebagai berikut:
1. Penilaian hasil belajar menggunakan berbagai teknik penilaian berupa tes, observasi, penugasan individual atau kelompok, dan bentuk lain sesuai potensi dan perkembangan siswa.
2. Teknik tes berupa tes tertulis, tes lisan, dan tes praktik atau tes kinerja. 3. Teknik observasi atau pengamatan yang dilakukan selama pembelajaran
berlangsung.
4. Teknik penugasan bertentuk tugas rumah atau proyek secara individual atau kelompok.
Proses evaluasi tidak hanya pada hasil saja, tetapi juga saat aspek lain dari diri siswa saat proses pembelajaran berlangsung. Moh. Soleh Hamid (2011: 221) menjelaskan penilaian pembelajaran tidak hanya ditujukan untuk
(64)
47
mengukur tingkat kemampuan kognitif semata, tetapi juga mencakup seluruh aspek kepribadian, seperti perkembangan moral, perkembangan emosional, perkembangan sosial.
Evaluasi hasil pembelajaran tidak hanya mengukur tingkat kemampuan kognitif, terutama bagi anak tunagrahita kategori ringan yang memiliki keterbatasan dalam berpikir. Munawir Yusuf (2005: 100) menyebutkan ada dua jenis evaluasi ditinjau dari pelaksanaan PPI, yaitu:
a. Evaluasi Hasil
Evaluasi hasil merupakan evaluasi yang dilaksanakan setelah proses pembelajaran.
b. Evaluasi proses
Evaluasi proses dilakukan saat proses pembelajaran berlangsung. Dalam evaluasi ini menekankan pada pengelolaan pembelajaran yang dilaksanakan oleh pembelajar meliputi keefektifan strategi pembelajaran yang dilaksanakan, keefektifan media pembelajaran, cara mengajar yang dilaksanakana, serta minat, sikap dan cara belajar siswa (Eko Putro W., 2010: 15)
Menurut Hosnan (2014: 416) penilaian proses pembelajaran menggunakan pendekatan penilaian autentik (authentic assesment) yang menilai kesiapan siswa, proses dan hasil belajar secara utuh. Menurut Pokey & Siders (dalam Santrock, 2010: 657) penilaian autentik adalah mengevalusi pengetahuan atau kemampuan siswa dalam konteks yang mendekati kehidupan nyata. Evaluasi proses dan hasil harus ditindaklanjuti, apabila berhasil dengan
(65)
48
baik, maka PPI dapat diteruskan dan dimantapkan lagi (Munawir Yusuf, 2005: 100). Apabila kurang berhasil perlu diadakan peninjauan kembali dan perubahan strategi pembelajaran.
D.Penelitian yang Relevan
Penelitian berikut ini adalah hasil peneltian yang dinilai relevan dengan penelitian yang berkaitan dengan masalah Implementasi Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan (KTSP). Penelitian Ardian Yunaryo yang berjudul Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan di Sekolah Dasar Masjid Syuhada’ Yogyakarta; 2012. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan oleh Guru SD Masjid Syuhada’ Yogyakarta, yang meliputi : (1) Perencanaan pembelajaran berbasis KTSP, (2) Pelaksanaan pembelajaran berbasis KTSP, (3) Evaluasi pembelajaran oleh guru, (4) Hambatan yang dialami guru dalam pelaksanaan implementasi KTSP, (5) Upaya yang dilakukan oleh guru untuk mengatasi hambatan dalam implementasi KTSP. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Lokasi penelitian yaitu di SD Masjid Syuhada’ Yogyakarta. Subyek penelitiannya yaitu Kepala Sekolah dan Guru SD Masjid Syuhada’. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara, observasi dan dokumentasi. Analisis data yang dilakukan yaitu analisis data kualitatif. Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: (1)Perencanaan pembelajaran belum berjalan dengan optimal ditinjau dari sisi penyusunan RPP yang masih belum tepat, RPP kadang disusun secara akumulasi dalam beberapa pertemuan sekaligus bahkan setelah pelaksanaan pembelajarannya berlangsung.
(1)
(2)
(3)
(4)
Lampiran 24
Gambar 1. Ruang kelas II SDLB terdapat 3 buah kursi dan 3 buah meja siswa, 1
meja guru dan kursi guru, papan tulis, dan papan penyekat antar pembeda kelas.
(5)
Gambar 4. Siswa sedang menulis/menyalin materi yang telah dituliskan guru di
papan tulis
Gambar 3. Guru sedang menuliskan rangkuman materi yang telah dijelaskan
sebelumnya
(6)