BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Masalah penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya NAPZA atau yang sering dikenal masyarakat adalah NARKOBA Narkotika dan
Bahan Obat Berbahaya merupakan masalah yang sangat kompleks. Hal tersebut memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan
kerjasama multidisipliner, multisektor, dan peran serta masyarakat secara aktif yang dilaksanakan secara berkesinambungan, konsekuen, dan konsisten.
Gambaran masyarakat Indonesia yang ingin dicapai melalui pembangunan di bidang kesehatan, sebagaimana dirumuskan dalam Visi Indonesia sehat 2010,
ditandai dengan penduduk yang hidup dalam lingkungan dan perilaku sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu, serta memiliki
derajat kesehatan yang setinggi-tingginya Lamsudin dalam Afiatin Tina, 2001, hal 5.
Salah satu masalah penting yang dihadapi untuk mewujudkan Visi tersebut adalah penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya NAPZA,
atau yang lebih populer dengan sebutan narkoba, terutama dikalangan generasi muda. Dari tujuh problem utama kesehatan remaja, yaitu merokok, penyalahgunaan alkohol
dan obat-obatan, keselamatan di jalan, kesehatan seksualitas, aktivitas fisik, gizi dan berat badan, dan bunuh diri Raphael dalam Afiatin Tina 1996, hal 5,
penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan menempati peringkat tertinggi dan
Universitas Sumatera Utara
merupakan tantangan paling besar dalam masalah kesehatan dan sosial Brounstein dan Zweig dalam Afiatin, Tina 2002, hal 5.
Pengaturan psikotropika berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997, bertujuan untuk menjamin ketersediaan guna kepentingan kesehatan dan ilmu
pengetahuan, mencegah penyalahgunaan psikotropika, serta pemberantasan peredaran gelap psikotropika. Penyelenggaraan konferensi tentang psikotropika pertama kali
dilaksanakan oleh The Unite Nations Conference for the Adoption of Protocol on Pscyhotropic Substances mulai tanggal 11 Januari sampai 21 Februari 1971, di Wina,
Austria, telah menghasilakan Convention Psychotropic Substance 1971. Materi muatan konvensi tersebut didasarkan pada resolusi The United Nations Economic and
Social Council Nomor 1474 XLVIII tanggal 24 Maret 1070 merupakan aturan- aturan untuk disepakati, menjadi kebiasaan internasional sehingga harus dipatuhi
oleh setiap negara, bagi kepentingan pergaulan bangsa-bangsa yang beradab. Sebagai suatu perangkat hukum internasional, konvensi tersebut mengatur kerja sama
internasioanal dalam pengendalian dan pengawasan produksi, dan penggunaan psikotropika, serta mencegah, pemberantasan penyalahgunaannya dengan membatasi
penggunaan hanya bagi kepentingan pengobatan dan ilmu pengetahuan sunarso, siswantono 2004.
Pokok-pokok pikiran yang tercantum dalam United Illicit Trafic in Narcotic Drugs and Psyhotropic substance, 1998, antara lain dikatakan bahwa: masyarakat
bangsa-bangsa dan negara-negara di dunia perlu memberikan perhatian dan prioritas utama atas masalah pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika.
Pemberantasan terhadap kedua masalah tersebut merupakan masalah semua negara
Universitas Sumatera Utara
yang perlu ditangani secara bersama pula. Peredaran dan perdagangan penyalahgunaan psikotropika dapat digolongkan ke dalam kejahatan internasional.
Dalam Muladi, 2002: 107-108, kejahatan internasional membuktikan adanya peningkatan kuantitas dan kualitas kejahatan ke arah organisasi kejahatan
transnasional, melewati batas-batas negara dan menunjukkan kerja sama yang bersifat regional maupun internasional.
Latar belakang penegakan hukum terhadap psikotropika, didasarkan atas asumsi bahwa terdapat korelasi antara para pengonsumsi psikotropika ini, dengan
sikap negatif yang ditimbulkan, antara lain memiliki potensi untuk melakukan perbuatan kriminal. Romli Atmasasmita 1997: 151-152 dalam penelitiannya telah
mengkaji tentang dasar hukum mengenai status tindak pidana narkotika transnasional menurut konvensi Wina 1998. Penegakan hukum terhadap tindak pidana psiktropika
telah banyal dilakukan oleh aparat hukum dan telah banyak mendapat putusan hakim di sidang pengadilan Sunarso, Siswantoro: 7 . Setelah kemerdekaan, Pemerintah
Republik Indonesia membuat perundang-undangan yang menyangkut produksi, penggunaan dan distribusi dari obat-obat berbahaya Dangerous Drugs Ordinance
dimana wewenang diberikan kepada Menteri Kesehatan untuk pengaturannya State Gaette No.419, 1949.
Menyadari hal tersebut maka Presiden mengeluarkan instruksi No.6 tahun 1971 dengan membentuk badan koordinasi, yang terkenal dengan nama BAKOLAK
INPRES 671, yaitu sebuah badan yang mengkoordinasikan antar departemen semua kegiatan penanggulangan terhadap berbagai bentuk yang dapat mengancam
Universitas Sumatera Utara
keamanan negara, yaitu pemalsuan uang, penyelundupan, bahaya narkotika, kenakalan remaja, kegiatan subversif dan pengawasan terhadap orang-orang asing.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA. Kepala Badan Narkotika Nasional BNN Anang Iskandar mengatakan, pihaknya menggunakan yurisprudensi sebagai payung
hukum untuk menindak pengguna narkoba jenis baru.Pengguna narkoba jenis baru tidak bebas, kita punya yurisprudensi karena membahayakan jadi bisa dipidana, kata
Anang Iskandar pada peringatan Hari Anti Narkoba Internasional HANI 2013 di Jakarta, Ahad 226.
Anang menjelaskan, narkoba jenis baru adalah jenis racikan bandar menggunakan bahan-bahan yang legal tapi setelah diracik menjadi bahan yang
mempunyai dampak sangat membahayakan bagi kesehatan.Kita harus hati-hati dengan narkoba jenis baru ini, karena belum masuk dalam ketentuan undang-undang
di negara manapun, katanya menambahkan. Saat ini muncul 250 jenis narkoba baru masuk ke Indonesia dimana terdata
jumlah pengguna narkoba mencapai empat juta orang dan sebagian besar usia produktif. Indonesia disinyalir berada diperingkat keempat terbesar pengguna
narkoba di dunia dan setiap tahun jumlahnya terus meningkat. BNN juga merilis data kelompok berusia 10-20 tahun sebagai pengguna aktif dan terjadi peningkatan 2,5
persen pengguna baru dimana setiap tahun peningkatan satu persen pengguna baru. Menurut data BNN saat ini ada 40 unit lembaga rehabilitasi yang ditempati
sekitar 16.000 orang pengguna narkoba menjalani rehabilitasi ditambah dua unit lembaga milik BNN yang menampung 2.000 orang. BNN menyediakan anggaran
sebesar Rp1 triliun pada 2013 untuk penanganan narkoba.
Universitas Sumatera Utara
http:www.republika.co.idberitanasionalhukum130623mou6d3-untuk-narkoba- jenis-baru-bnn-gunakan-yurisprudensi. Diakses pada tanggal 26 Juli 2013, pukul 11:
35. Jakarta - Badan Narkotika Nasional BNN mencatat angka prevalensi dari
penyalahgunaan narkoba sangat mengkhawatirkan. Berdasarkan data terbaru, tercatat ada 3,7 – 4,7 juta penduduk Indonesia yang menjadi pecandu narkoba narkotika dan
obatbahan berbahaya. Besarnya angka tersebut menyebabkan kerugian material bagi negara sebesar Rp: 48,2 triliun. Sepanjang tahun 2012, terdapat sebanyak 26.458
kasus narkoba yang terdiri dari: 17.620 kasus narkotika, 1.599 kasus psikotropika, serta 7.239 kasus zat adiktif. Sementara, jumlah tersangka yang terkait kasus narkoba
ini mencapai 32.743 orang. Di lain sisi, Gerakan Nasional Anti Narkoba GRANAT mencatat sebanyak 50 orang per hari meninggal akibat narkoba.
Korban penyalahgunaan NAPZA rentan pada usia remaja walaupun tidak sedikit juga orang tua yang ikut menjadi korban penyalahgunaan NAPZA.
Kondisi psikologis remaja yang masih rentan seringkali berujung pada masalah
penyalahgunaan NAPZA, khususnya pada remaja yang memiliki banyak masalah tanpa dukungan dari sekitar. Keluarga dan lingkungan menjadi faktor utama dalam
usaha pencegahannya. Meskipun diakui bahwa keluarga merupakan orang terdekat yang membawa pengaruh bagi keluarga, namun pengaruh teman dan lingkungan
sosial remaja juga harus dikaji kembali. Masa remaja adalah merupakan peralihan dari masa kanak-kanak menuju
dewasa awal, sering ditadai dengan konflik dan stres Landau 1994. Dalam masa peralihan ini remaja perlu banyak belajar berbagai keterampilan intelektual dan sosial
Universitas Sumatera Utara
baru. Perjuangan remaja untuk dapat berfungsi tepat dalam peran-peran baru mereka, sering menimbulkan situasi yang penuh stres, dan untuk mengatasi hal tersebut,
banyak diantara mereka yang “ lari “ ke, atau menggunakan narkoba. Bahkan tidak sedikit dari antara mereka yang menggunakan narkoba sebagai simbol
pemberontakan dalam keluarga. Hawari 1998 menyebutkan ada tiga kelompok besar penyalahguna Narkoba
beserta resiko yang dialaminya. Pertama, kelompok ketergantungan primer, yang ditandai dengan adanya kepribadian yang tidak stabil, mengalami gangguan, cemas
dan depresi. Mereka mencoba mengobati sendiri gangguan yang dialami tanpa berkonsultasi dengan dokter sehingga terjadi penyalahgunaan sampai pada tingkat
ketergantungan. Kedua, kelompok ketergantungan simtomatis, yang ditandai dengan adanya kepribadia anti sosial psikoptik. Mereka menggunakan narkoba tidak hanya
untuk diri sendiri, tetapi juga “ menularkannya “ kepada orang lain dengan berbagai cara sehingga orang lai dapat “ terjebak “ hingga mengalami ketergantungan yang
serupa. Ketiga, kelompok ketergantungan reaktif. Kelompok ini terutama terdapat pada remaja karena dorongan ingin tahu, pengaruh lingkungan dan tekanan kelompok
teman sebaya. Hermawan 1986 mengemukakan sejumlah alasan remaja menggunakan
narkotika, diantaranya: a untuk membuktikan keberanian dalam melkukan tindakan- tindakan yang berbahaya atau riskan, seperti misalnya berkelahi dan ngebut di
jalanan; b untuk menantang dan melawan otoritas, misalnya orang tua, guru, dan hukum; c untuk mempermudah penyaluran dan perbuatan seks; d untuk
melepaskan diri dari kesepian dan memperoleh pengalaman-pengalam emosional; e
Universitas Sumatera Utara
untuk berusaha dalam menemukan arti dalam hidup; f untuk mengisi kekosongan dan perasaan bosan karena kurang kesibukan; g untuk menghlangkan rasa frustasi
dan kegelisahan yang disebabkan oleh suatu problem yang tidak dapat diatasi dan jalan-jalan pikiran yang buntu; h untuk mengikuti kemauan teman dan memupuk
solidaritas dengan teman; dan i karena didorong rasa ingin tahu dan iseng. Peranan pemerintah untuk memperhatikan para korban penyalahgunaan
NAPZA sangatlah penting, memberikan anggaran yang cukup untul mereka yang bermasalah dengan penyalahgunaan NAPZA tersebut. Pemerintahlah yang paling
berperan aktif dalam hal ini, walaupun tidak terlepas juga kerjasama dari pihak swasta dan lembaga swadaya masyarakat. Melihat persoalan yang dihadapi para
penyalahguna NAPZA yang ingin bertobat tapi menghadapi permasalahan dengan biaya pengobatannya di rumah sakit tertentu, maka pemerintah harus lebih serius
dalam melihat hal ini. Masalah penyalahgunaan NAPZA di Negara kita ini semakin meningkat,
sehingga menjadi tugas kita bersama untuk memerangi, memberantas masalah tersebut. Untuk memerangi dan memecahkan masalah penyalahgunaan NAPZA,
maka pemerintah Indonesia membentuk lembaga Rehabilitasi Sosial terhadap korban penyalahgunaan NAPZA dan bekerja sama juga dengan pihak lembaga swadaya
masyarakat maupun pihak swasta yang ikut serta peduli dalam masalah memerangi penyalahgunaan NAPZA sebagai wujud memperbaiki generasi penerus di masa yang
akan datang. Korban penyalahgunaan NAPZA ini tidak mengenal usia, mulai dari remaja,
dewasa, sampai kalangan orang tua baik pria maupun wanita. Juga tidak mengenal
Universitas Sumatera Utara
kondisi perekonomian, baik kaya maupun miskin tetap saja ada yang menjadi korban penyalahgunaan NAPZA ini, hanya jenis NARKOBA yang dikonsumsilah yang
menjadi perbedaannya. Upaya pencegahan dan penaggulangan terhadap penyalahgunaan NAPZA telah
dilakukan oleh berbagai pihak. Pemerintah, misalnya, telah membentuk Badan Narkotika Nasional BNN melalui keputusan presiden No. 17 Tanggal 12 Maret
2002, yang secara ex-officio diketahui oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Badan ini memiliki struktur hingga kabupatenkota. Di tingkat pusat, badan ini
bertugas membantu presiden melaksanakan koordinasi dalam rangka ketersediaan, pencegahan , dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.
Untuk itu usaha yang dilakukan adalah pengurangan pemasokan suplay eduction dan pengurangan permintaan deman reduction. Pengurangan pemasokan
dilakukan dari sisi hukum dan peraturan, dengan memberikan sanksi hukum yang berat bagi pengedar narkoba, sedangkan pengurangan permintaan dilakukan dengan
pembinaan pada masyarakat, khususnya generasi muda, agar tidak terjebak dalam penyalahgunaan NAPZA, juga upaya menghentikan penggunaan penyembuhan bagi
penyalah gna NAPZA Afiatin, tina 2008. Uapaya pemerintah dalam menangani masalah penyalahgunaan NAPZA di
indonesia adalah dengan mendirikan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgnaan NAPZA. Dengan rehabilitasi sosial, penyalahgguna narkoba yang mengikuti
rehabilitasi dapat disembuhkan dan dapat dikembalikan keberfungsian sosialnya ke dalam lingkungan masyarakat selayaknya. Membangun karakter, sifat, siakp, perilaku
dan memberikan keterampilan-keterampilan bagi mereka sebagai modal untuk
Universitas Sumatera Utara
berinteraksi maupun bekerja di sektor-sektor usaha yang bersangkutan dengan keahliannya, misalnya banyak keterampilan yang diberikan seperti keterampilan
otomotif, baik roda dua maupun empat, elektronik, las, desain grafis dan lain sebagainya yang dapat meningkatkan kualitas hidup mereka.
Salah satu lembaga pemerintah Indonesia yang menjadi tempat penelitian penulis menangani permasalahan NAPZA adalah Kementrian Sosial Republik
Indonesia Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Napza. Lembaga di Sumatera Utara yang
menangani masalah penyalahgunaan NAPZA di bawah kementrian sosial adalah Panti Sosial Parmadi Putra “ insyaf “ Sumut, beralamat di jalan Berdikari No.37
Desa Lau Bekeri Kecamatan Kutalimbaru Kabupaten Serdang. Wilayah kerja Panti Sosial Parmadi Putra “Inyaf” Sumut dalam rangka
melaksanakan Rehabilitasi Sosial bagi korban penyalahgunaan NAPZA adalah Kabupaten Kota yang ada di Wilayah Sumatera dan Kalimantan Barat. Jadi semua
yang ada di wilayah tersebut jika ingin di Rehabilitasi Sosial maka tempatnya adalah di Panti Sosial Parmadi Putra “ Insyaf” Sumut.
Masalah penyalahgunaan NAPZA sangat menarik dan penting untuk diteliti karena kita belum mengetahui sepenuhnya bagaimana sebenarnya penyalahgunaan
NAPZA sehingga di sinilah kita dapat mempelajarinya lebih mendalam dan bermanfaat bagi kita untuk menambah wawasan mengenai penyalahgunaan NAPZA.
Dengan demikian penulis tertarik untuk melakukan sebuah penelitian dengan judul “ Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyalahgunaan NAPZA Pada Residen di Panti
Sosial Parmadi Putra “insyaf” Sumut “.
Universitas Sumatera Utara
1.2 Perumusan Masalah